Anda di halaman 1dari 4

C34 ALDO PRATAMA 065

Awal Mula Tahun Hijriyah (Dari Masa Rasulullah SAW Sampai Abad
Pertengahan)
Kalender hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam.
Seperti haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan hilal
sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah ta’ala,

ِّ‫اس َو ْال َحج‬ ُ ِ‫ك َع ِن اَأْل ِهلَّ ِة ۖ قُلْ ِه َي َم َواق‬


ِ َّ‫يت لِلن‬ َ َ‫َ ۗ يَ ْسَألُون‬
“Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: “Hilal itu adalah
tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji.”(QS. Al-Baqarah: 189)
Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-
peristiwa besar sebagai acuan tahun. Tahun renovasi Ka’bah misalnya, karena pada tahun
tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar.
Tahun fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena
itu kita mengenal tahun kelahiran Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dengan istilah tahun
fiil/tahun gajah. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai
patokan, misal 7 tahun sepeninggal Ka’ab bin Luai.” Untuk acuan bulan, mereka menggunakan
sistem bulan qomariyah (penetapan awal bulan berdasarkan fase-fase bulan)
Sistem penanggalan seperti ini berlanjut sampai ke masa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
dan khalifah Abu Bakr Ash-Sidiq radhiyallahu’anhu. Barulah di masa khalifah Umar bin Khatab
radhiyallahu’anhu, ditetapkan kalender hijriyah yang menjadi pedoman penanggalan bagi kaum
muslimin.
Pada tahun 638 Masehi, 'Umar bin Al Khattab yang saat itu menjadi khalifah melihat sebuah
masalah. Diceritakan bahwa Abu Musa al Asy'ari sebagai gubernur Basrah kala itu di Irak pada
sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Menulis keluhan kepada Umar:

‫ وقد قرْأنا كتابًا محلُّه‬،‫ فال نَدري على أيٍّ نع َمل‬، ٌ‫إنَّه يأتينا ِمن أمير المؤمنين ُكتب‬
‫ فال ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي‬،‫شعبان‬
"Surat-surat sampai kepada kami dari Amirul Mu'minin, tetapi kami bingung bagaimana
menjalankannya. Kami membaca sebuah dokumen tertanggal Sya'ban, namun kami tidak tahu ini
untuk tahun yang lalu atau tahun ini." (Syaikh Abdurrahman al Jabarti, 1825).
Umar kemudian mengumpulkan para sahabat dan mereka yang bertugas di pusat pemerintahan.
Diceritakan dari Ibnu Abbas bahwa semenjak Nabi datang ke Madinah, tidak ada tahun yang
digunakan dalam penanggalan, demikian juga saat Abu Bakar menggantikan beliau sebagai
khalifah, dan juga di empat tahun pertama pemerintahan Umar bin Khattab. Umar, dalam
pertemuan tersebut berkata: "Perbendaharaan negara semakin banyak. Apa yang kita bagi dan
sebarkan selama ini tidak memiliki catatan tanggal yang pasti. Bagaimana kita bisa mengatasi
ini?"
Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan
mengenai patokan awal tahun.
Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang
mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander). Yang lain
mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu’alaihiwasalam ke kota Madinah.
Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hati Umar bin
Khatab radhiyallahu’anhu ternyata condong kepada usulan ke dua ini,

‫الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها‬


” Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai
patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.
Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.
Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,

‫ق َأ ْن تَقُو َم فِيه‬ َ ‫لَ َم ْس ِج ٌد ُأس‬


ُّ ‫ِّس َعلَى التَّ ْق َو ٰى ِم ْن َأ َّو ِل يَ ْو ٍم َأ َح‬
Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah
lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS. At-Taubah:108)
Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan
hijrahnya Nabi. Sehingga moment tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.
Sudah suatu hal yang maklum, maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk
pada hari tertentu. Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat.
Yaitu hari pertama kemuliaan islam. Hari pertama Nabi shallallahu’alaihiwasallam bisa
menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid (masjid pertama
dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk
menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.
Alasan lain mengapa peristiwa hijrah Nabi Muhammad beserta para pengikutnya menjadi titik
awal tahun Hijriyah, karena peristiwa itu adalah peristiwa besar dalam sejarah awal
perkembangan Islam. Apalagi peristiwa hijrah adalah pengorbanan besar pertama yang
dilakukan Nabi dan umatnya.
Pemilihan peristiwa Hijrah ini sebagai tonggak awal penanggalan islam memiliki makna yang
amat dalam. Seolah-olah para sahabat yang menentukan pembentukan kalender islam tersebut
memperoleh petunjuk langsung dari Allah. Seperti Nadwi yang berkomentar:
"Ia (kalender islam) dimulai dengan Hijrah, atau pengorbanan demi kebenaran dan
keberlangsungan Risalah. Ia adalah ilham ilahiyah. Allah ingin mengajarkan manusia bahwa
peperangan antara kebenaran dan kebatilan akan berlangsung terus. Kalender islam
mengingatkan kaum muslimin setiap tahun bukan kepada kejayaan dan kebesaran islam namun
kepada pengorbanan (Nabi dan sahabatnya) dan mengingatkan mereka agar melakukan hal yang
sama."
Sebenarnya ada opsi-opsi lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun kelahiran atau wafatnya Nabi
shallallahu’alaihiwasallam. Namun mengapa dua opsi ini tidak dipilih? Ibnu Hajar rahimahullah
menjelaskan alasannya,”

‫ وأما وقت الوفاة‬، ‫ألن المولد والمبعث ال يخلو واحد منهما من النزاع في تعيين السنة‬
‫ فانحصر في الهجرة‬، ‫ فأعرضوا عنه لما توقع بذكره من األسف عليه‬، .
“Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara pasti.
Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan menyebabkan kesedihan
manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.”
(Fathul Bari, 7/335).

Penentuan Bulan
Sistem penanggalan yang dipakai sudah memiliki tuntunan jelas di dalam Al Qur'an, yaitu sistem
kalender bulan (qomariyah). Nama-nama bulan yang dipakai adalah nama-nama bulan yang
memang berlaku di kalangan kaum Quraisy di masa kenabian. Namun ketetapan Allah
menghapus adanya praktek interkalasi (Nasi’). Praktek Nasi' memungkinkan kaum Quraisy
menambahkan bulan ke-13 atau lebih tepatnya memperpanjang satu bulan tertentu selama 2
bulan pada setiap sekitar 3 tahun agar bulan-bulan qomariyah tersebut selaras dengan perputaran
musim atau matahari. Karena itu pula, arti nama-nama bulan di dalam kalender qomariyah
tersebut beberapa di antaranya menunjukkan kondisi musim. Misalnya, Rabi'ul Awwal artinya
musim semi yang pertama. Ramadhan artinya musim panas.
Kaum Quraish saat itu sering menyalahgunakan praktik nasi' tersebut dengan tujuan memperoleh
keuntungan dengan kehadiran jamaah haji pada musim yang sama di tiap tahun di mana mereka
bisa mengambil keuntungan perniagaan yang lebih besar. Akibatnya, ini menimbulkan
ketidakjelasan bilangan bulan tersebut. Hingga kemudian, turun firman Allah SWT yang
melarang praktik itu.
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..." (QS At-Taubah
Ayat 36).
Satu tahun hijriyah terdapat 12 bulan: Muharram; Shafar; Rabi'ul Awal; Rabi'ul Akhir; Jumadil
Awal; Jumadil Akhir; Rajab; Sya'ban; Ramadhan; Syawal; Dzulqa'idah; Dzulhijjah. Ada empat
bulan Haram, yang di dalamnya tidak boleh ada pertumpahan darah, yaitu Dzulqa'idah,
Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat
mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan
bulan Muharram.
‫بل بالمحرم فإنه منصرف الناس من حجهم‬
“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah
haji.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu.
Akhirnya para sahabatpun sepakat. Alasan lain dipilihnya bulan muharam sebagai awal bulan
diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah,

‫ألن ابتداء العزم على الهجرة كان في المحرم ؛ إذ البيعة وقعت في أثناء ذي الحجة‬
‫ فكان أول هالل استهل بعد البيعة والعزم على الهجرة هالل‬، ‫وهي مقدمة الهجرة‬
‫ وهذا أقوى ما وقفت عليه من مناسبة االبتداء بالمحرم‬، ‫المحرم فناسب أن يجعل مبتدأ‬
“Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi
dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom)
Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at
adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan muharam
(red. awal bulan muharam). Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling
kuat mengapa dipilih bulan muharam.” (Fathul Bari, 7/335).
Dari musyawarah tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan untuk kaum muslimin, yang
berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun dan bulan
muharam sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini populer dengan istilah kalender
hijriyah.

Anda mungkin juga menyukai