Anda di halaman 1dari 4

Puasa Umat Islam

A. Sebelum Puasa Ramadhan

Pada mulanya umat Islam (kaum muslimin) pada masa Rasulullah SAW. (awal kelahiran
Islam) memandang wajib berpuasa Asyura (10 Muharram) sebagai hari puasa mereka, yang mungkin
menuruti puasa umat Yahudi pada Hari Raya Yom Kippur tanggal 10 bulan Tishri. Hal itu adalah
sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan.

Hari Asyura dijadikan hari raya umat Yahudi yang terbesar, termasuk yang masih dirayakan
oleh penduduk Yahudi Khaibar (dekat Madinah/Yatsrib), yang melaksanakan puasa pada hari itu,
dengan mengenakan pakaian yang serba indah, berbelanja makanan/miunuman dan lain-lainnya.

Orang-orang Islam yang memandang hari raya itu sebagai hari raya mereka, dianggap
mengada-ada dan bukan dari Rasulullah. Maka agar tidak meniru-niru syariat Yahudi itu, mereka
puasa pada hari Tasu’a dan Asyura (tanggal 9 dan 10 Muharam), dengan alasan puasa Asyura
menghapus dosa-dosa yang telah lalu.

Imam Syafi’i mengatakan: “Disukai kita berpuasa tiga hari, yakni hari kesembilan, kesepuluh,
dan kesebelas Muharram.” Hanafi juga berkata: “Tak ada yang salah dalam urusan hari Asyura selain
berpuasa pada hari itu saja. Orang-orang Rawafidh mengada-adakan kesedihan pada itu; orang-
orang jahil Sunni mengada-adakan bid’ah kesukaan.”

Ada riwayat lain bahwa sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, Rasulullah, sahabat-
sahabat beliau dan kaum muslimin pada waktu itu melaksanakan puasa pada tiap-tiap tanggal 13,
14, dan 15 bulan-bulan Qamariyah. Selain itu, mereka biasa berpuasa tanggal 10 Muharam sampai
datang perintah puasa Ramadhan. Dengan demikian, tak ada hubungan sama sekali dengan
peringatan wafatnya Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang diperingati oleh penganut Syi’ah.

Rasulullah telah biasa berpuasa pada hari Asyura dan beliau memerintahkan kaum muslimin
berpuasa pada hari itu. Selain sebagai puasanya umat Yahudi, hari Asyura juga menjadi hari bagi
orang-orang Quraisy pada masa jahiliah, sebagaimana riwayat yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.
Waktu Rasulullah baru saja tiba di Yatsrib (Madinah) dalam rangka hijrah, beliau dapati orang-orang
Yahudi di kota itu berpuada Asyura, sehingga beliau bertanya kepada mereka: “Ada apa dengan
puasa saudara-saudara ini?” Jawab mereka: “Ini adalah hari yang baik bagi kami, karena pada hari
inilah dulu, Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka; maka pada hari ini pula
Musa berpuasa.” Kemudian sahut Rasulullah: “Sebenarnya aku lebih berhak daripada saudara-
saudara untuk mengikuti syariat Musa itu.” Maka pada hari Asyura itu, beliau berpuasa juga pada
hari itu. Menurut sebuah hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah berpuasa pada hari Asyura dan
menyuruh dia (Ibnu Umar) berpuasa pula, sehingga akhirnya puasa pada hari itu beliau tinggalkan
setelah datang perintah puasa Ramadhan.

Menurut riwayat Ahmad bahwa Rasulullah berpuasa pada hari Asyura mungkin untuk
menyertai puasa orang-orang Quraisy pada masa jahiliah yang berpuasa pada hari itu. Seperti halnya
ibadah haji bahwa Rasulullah berpuasa pada hari Asyura, mungkin karena mendapat izin Allah,
mengingat puasa merupakan amal kebajikan. Atau mungkin pula orang-orang Quraisy berpuasa
pada hari Asyura itu karena mengikuti syariat orang-orang (umat) terdahulu.

Tentang perintah Rasulullah untuk berpuasa Asyura menurut Bukhari, Ahmad dan Muslim
adalah sesudah beliau tiba di Yatsrib (Madinah). Perintah tersebut beliau sampaikan pada tahun
pertama tinggal di kota itu. Beliau tiba di kota itu pada tahun pertama tinggal di kota itu. Beliau tiba
di kota itu pada Rabi’ul Awal, sedang perintah itu disampaikan pada awal tahun kedua setelah hijrah,
turunlah wahyu yang berisi perintah puasa Ramadhan atau yang disebut juga ayat Shiyam. Jadi,
hanya satu kali saja perintah puasa Asyura beliau laksanakan sebagai puasa wajib.

B. Puasa Ramadhan

Setelah lebih kurang 18 bulan Rasulullah tinggal di Madinah, maka pada akhir bulan Sya’ban
turunlah wahyu Allah tentang perintah puasa Ramadhan, yang berbunyi:

Pada permulaan turunnya Ayat Shiyam atau awal pelaksanaan perintah puasa Ramadhan,
kaum Muslimin pada waktu itu menghadapi kesukaran dalam pelaksanaannya. Sebab, setelah
berbuka puasa selama beberapa saat, mereka tidak dibolehkan makan, minum dan bercampur
dengan istri/suami hingga terbenamnya matahari pada esok harinya. Dengan kata lain, waktu
berbuka bagi mereka demikian sempit, yakni sejak terbenam matahari sampai kira-kira tibanya
waktu Isya. Sempitnya waktu berbuka itu mereka rasakan berat. Maka sehubungan dengan hal
mereka itu, turunlah wahyu (ayat) yang berbunyi:

Turunnya Ayat Shaum pada tahun kedua Hijriyah itu merupakan kebijaksanaan Allah,
sehingga walaupun turun di tengah-tengah basis Yahudi dan menimbulkan reaksi mereka, tetapi
Rasulullah merasa berkewajiban untuk menunjukkan ketegasan Islam yang membawa syariat baru,
khususnya tentang puasa selain tentang kiblat (perpindahan kiblat) dan shalat. Beliau datang dengan
membawa petunjuk dan agama yang benar untuk mengalahkan terhadap agama-agama seluruhnya,
walaupun orang-orang musyrik membencinya.

Rasulullah tidak peduli terputus hubungan dengan mereka, demi tegaknya syariat baru itu di
tengah-tengah kondisi masyarakat Quraisy di Makkah, Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran.

Dengan beliau sebarluaskan perintah puasa Ramadhan, beliau bertekad untuk menunjukkan
bagaimana merasakan lapar dan dahaga, mengekang nafsu untuk berhubungan badan dan nafsu-
nafsu lainnya.

Turunnya perintah puasa Ramadhan erat hubungannya dengan kondisi moral dan sosial
masyarakat waktu itu, terutama untuk memantapkan latihan jasmani dan rohani, kemauan dan
kegiatan latihan menahan lapar dan dahaga pada siang hari. Dengan demikian, timbul semangat
jihad (berjuang dan berkorban) untuk membela dan membebaskan mereka yang lapar dan sengsara.

Hal itu beliau gunakan sebagai persiapan jiwa dan raga dalam saat siap perang yang
diperlukan untuk membela kemuliaan Islam. Hal itu ditambah dengan anjuran memperbanyak shalat
malam, menyusun barisan (saf), dipimpin dan memimpin diri sendiri, mengikrarkan janji bahwa
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Pada malam hari juga
latihan mengurangi tidur, meningkatkan kewaspadaan, berjaga-jaga dari kemungkinan bahaya yang
setiap saat mengancam, dan melatih banyak membaca Al-Qur’an, terutama ayat-ayat jihad guna
memenangkan perjuangan.

Turunnya perintah puasa Ramadhan pada saat yang demikian mengandung rahasia yang
sangat dalam, untuk melatih sabar menderita di tengah-tengah kehidupan yang mewah dan di
tengah-tengah gejolak nafsu-nafsu serakah dan ananiyah. Turunnya Ayat Shiyam, juga

C. Mengapa Ramadhan?

Mengapa bulan Ramadhan yang dijadikan bulan untuk berpuasa fardu bagi umat Islam? Hal
itu ada beberapa sebab yang barangkali dapat menjadi penguat alasan; sedang yang jelas Allah Yang
Maha Mengetahui tentang rahasianya, termasuk rahasia Rasulullah sendiri. Beberapa sebab itu
antara lain:

1. Bulan diturunkannya Al-Quran (wahyu pertama) pada malam ketujuh belas menurut para
ahli tarikh yang muktabar, sehubungan pula dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 185 dan diturunkannya pada malam Qadar (Lailatul Qadar) yang lebih baik dari seribu
bulan. Karena itu bulan Ramadhan pantas juga disebut bulan Al-Qur’an, bulan Dustur kaum
muslimin yang abadi, bulan pengajaran Samawi, bulan tuntunan, bulan bimbingan dan
irsyad, bulan proklamasi ujud keesaan Allah yang hakiki dan bulan lahirnya Islam sebagai
rahmat untuk umat seluruh alam.
2. Bulan yang membawa kebajikan dan kunggulan dengan kemenangan pertama perang dalam
Islam (Perang Badar Kubra) antara kaum muslimin pimpinan Nabi Muhammad dengan
pasukan Quraisy pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Perang inilah yang sangat menentukan
hidup/matinya cahaya Islam untuk seterusnya, sehingga para penulis Barat berpendapat,
kalau kaum muslimin kalah dalam perang itu. Tentu jalan-nya sejarah Islam dan umat Islam
tidak akan seperti yang kita dapati sekarang ini.
3. Bulan yang didalamnya terdapat peringatan-peringatan yang melindungi kita dan di
dalamnya terdapat tanda – tanda petunjuk dan kebajikan, yang menerangi hati sanubari
kita, yang hilalnya seperti yang disabdakan oleh Rasulullah: “Hilal kebahagiaan dan
kebajikan.”
4. Bulan pada saat Allah memberikan kemenangan pula kepada kaum muslimin pada
penaklukan kota Makkah dan sekaligus penghapusan riwayat pemujaan berhala di dalam
Ka’bah dan sekitarnya.
5. Bulan yang mempunyai kedudukan dan tempat yang terhormat/istimewa dibandingkan
dengan bulan-bulan lainnya. Sejak dulu kala Allah telah mengistimewakan bulan itu dari
bulan-bulan lainnya, dengan turunnya suhuf (catatan wahyu) pada malam pertama kepada
nabi Ibrahim, turunnya Taurat pada malam keenam kepada nabi Musa dan turunnya Injil
kepada Nabi Isa pada malam ketiga belas. Karena itu umat Yahudi melaksanakan puasa pada
bulan Ramadhan untuk menghormati peristiwa besar, yakni turunnya Taurat (Hukum Musa)
itu, demikian pula umat Nasrani pada mulanya berpuasa selama satu bulan penuh pada
bulan Ramadhan sebagaimana dinyatakan oleh Daghfal Handhalah, hadits riwayat Masdi
dan sebagaimana disebutkan pula dalam kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Al-Ghazali.
6. Bulan yang dihormati oleh umat Yahudi dan diikuti juga oleh orang-orang Quraisy untuk
berpuasa. Hal itu karena keluarnya Bani Israil (orang-orang Yahudi) dari Mesir dan menetap
di Palestina hingga menetap pula di Madinah bercampur gaul dengan orang-orang Arab.
Seperti diriwayatkan oleh Aisyah bahwa orang-orang Quraisy selain berpuasa Asyura juga
berpuasa pada bulan Ramadhan bersama Nabi Muhammad juga.
7. Bulan yang termasyhur untuk bertaqarub (mendekat) kepada Allah dan dengan
digunakannya sebagai bulan puasa oleh umat Islam maka bulan tersebut makin tinggi nilai
dan kedudukannya.
8. Sebagai induk, lugu atau kepala bulan-bulan lainnya, sebagaimana yang biasa diserukan oleh
Rasulullah bila berada di ujung terakhir bulan Sya’ban atau menjelang tibanya 1 Ramadhan,
seru beliau:

Anda mungkin juga menyukai