Anda di halaman 1dari 40

LMU PERBANDINGAN AGAMA

1. Definisi

Hari Asyura (‫ ) عاش وراء‬adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender
Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh.

Hari ini menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi'ah dan sebagian Sufi merupakan
hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi Islam Muhammad pada
Pertempuran Karbala tahun 61 H (680). Akan tetapi, Sunni meyakini bahwa Nabi Musa
berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena kaum
Yahudi sudah terbebas dari Fira'un (Exodus). Menurut tradisi Sunni, Nabi Muhammad
berpuasa pada hari tersebut dengan jumlah dua hari dengan tujuan menyelisihi umat Yahudi
dan Nasrani, dan meminta orang-orang pula untuk berpuasa.

2. Sejarah

Pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab. Pada
masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura. Mereka merayakan hari
itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran.

Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) adalah hari raya bersejarah. Pada
hari itu setiap suku mengadakan perayaan dengan mengenakan pakaian baru dan menghias
kota-kota mereka. Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai kelompok Yazidi,
merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka cita.

Pada bulan itu merupakan bulan duka karena dibulan itu, Para pejuang Karbala pada
tahun 61 Hijriah gugur syahid dalam rangka meneggakkan kebenaran. Pemimpin para
pejuang dan pahlawan karbala adalah Imam Husein as, Cucu kesayangan Rasulullah Saw. Di
Karbala, Imam Husein berikut keluarganya da oara sahabat setianya dibantai secara keji di
Karbala. Puncak duka di bulan ini jatuh pada tanggal 10 Muharram. Pada hari itu , Imam
Husein, cucu kesayangan baginda agung Muhammad Rasullulah Saw dibantai, dipisahkan
kepalanya dari tubuhnya dan ditancapkan di ujung tombak untuk dipertontonkan kepada
masyarakat saat itu. Simbol Kebenaran dan kelembutan pada saat itu dihinakan ditengah
masyarakat. Padahal sejarah bersaksibahwa Rasullulah Saw sangat menyayangi cucunya
yang merupakan putra dari hasil pernikahan suci Sayidah Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali
Bin Abi Thalib as. Bahkan dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah Saw selalu
memanggil Imam Husein as dengan sebutan anak, bukan cucu. Ini menunjukkan kecintaan
mendalam Rasullah Saw kepada Iman Husein as. Untuk itu, Bulan Muharram tak diragukan
lagi merupakan bulan duka bagi Rasullah SAW dan keluarganya. Para pecinta Rasullah SAW
dan Keluarga sucinya akan tampak murung dibulan ini. Assalamu Alaika Ya Ibna Rasulillah,
Aba Abdillah Al-Husein.
10 Muharam akrab di istilahkan dengan Asyura. Peristiwa Asyura merupakan tragedi
yang tidak terbatas pada waktu dan tempat. Para Pecinta Ahlul Bait as di bulan ini berupaya
menyatu dengan kesedihan para kekasihnya dan manusia-manusia suci di muka bumi ini
mereka merasakan duka yang mendalam sambil mengingat peristiwa Asyura sekitar 14 Abad
lalu. Tragedi Karbala merupakan Puncak Konfrontasi antara kebenaran dan kebatilan. Para
Pecinta Imam Husein as tak akan melewatkan momentum Asyura dengan meluapkan rasa
kesedihan yang sekaligus mengikat janji untuk terus membela kebenaran dimuka bumi ini.
Pengaruh besar tragedi Karbala hingga kini terus membekas di hati pecinta Rasullah SAW
dan keluarganya dari masa ke masa. Mereka menyadari bahwa selama ada kebatilan, maka
setiap hari ada Asyura dan setiap tempat adalah Karbala. Setiap orang dapat memtik pelajaran
dari peristiwa Asyura. Inilah keistimewaan hari Asyura.

Mengikut masyarakat Islam, hari Asyura telah menyaksikan banyak sejarah besar dan
keajaiban berlaku ke atas para nabi. Disebabkan itu, masyarakat Islam menghormati hari tersebut
seperti juga yang diamalkan oleh Muhammad s.a.w.

Menurut tradisi masyarakat Islam, Nabi Muhammad s.a.w. melakukan puasa Asyura


sejak di Makkah lagi memandangkan puasa Asyura merupakan amalan biasa masyarakat
tempatan. Apabila baginda berhijrah ke Madinah, baginda turut mendapati yang
kaum Yahudi turut berpuasa pada hari Asyura (atau bagi mereka adalah Yom Kippur yang
juga pada hari kesepuluh). Ketika itu, baginda mengesahkan dan mensyariatkan puasa
sehingga ia menjadi satu kewajiban kerana baginda merasakan masyarakat Islam lebih dekat
dengan Nabi Musa. Ibn Hajar al-asqalani, dalam pernyataannya terhadap Sahih Bukhari
mengatakan yang syariat puasa telah dijadikan kepada bulan Ramadhan setahun kemudian.
Kini, masyarakat Islam melakukan puasa pada 10 Muharram sebagai amalan sunat dan bukan
kewajiban.

Masyarakat Islam turut percaya akan berlakunya kejadian besar ketika 10 Muharram:

 Hari pertama Allah menciptakan alam.


 Hari pertama Allah menurunkan rahmat.
 Hari pertama Allah menurunkan hujan.
 Allah menjadikan 'Arasy.
 Allah menjadikan Luh Mahfuz.
 Allah menjadikan Malaikat Jibril.
 Nabi Adam a.s. dicipta.
 Diampunkan dosa Nabi Adam a.s. setelah bertahun-tahun memohon keampunan
kerana melanggar larangan Allah.
 Nabi Idris a.s. diangkat darjatnya oleh Allah dan Malaikat Izrail membawanya ke
langit.
 Diselamatkan Nabi Nuh a.s. dan pengikutnya dari banjir besar selama enam bulan dan
bahtera baginda selamat berlabuh di puncak pergunungan.
 Nabi Ibrahim a.s. dilahirkan di kawasan pedalaman dan terselamat dari buruan Raja
Namrud.
 Nabi Ibrahim a.s. diselamatkan Allah dari api Raja Namrud.
 Nabi Yusuf a.s. dibebaskan dari penjara setelah meringkuk di dalamnya selama tujuh
tahun.
 Nabi Yaakub a.s. telah sembuh buta matanya ketika kepulangan anaknya Yusuf di
hari tersebut.
 Nabi Ayub a.s. disembuhkan dari penyakitnya.
 Nabi Musa a.s. telah diselamatkan daripada tentera Firaun dan berlakunya kejadian
terbelahnya Laut Merah.
 Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s..
 Nabi Yunus a.s. selamat keluar dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya
selama 40 hari 40 malam.
 Kesalahan Nabi Daud a.s. diampuni Allah.
 Nabi Sulaiman a.s. dikurniakan Allah kerajaan yang besar.
 Nabi Isa a.s. diangkat ke syurga ketika diburu oleh tentera Rom untuk menyalib
baginda.
 Saidina Hussein ibni Ali telah syahid akibat dibunuh dengan kejam di Karbala oleh
kaum Syiah Kufah, dan mereka kemudiannya memfitnah Khalifah Yazid ra dari Bani
Umaiyah membunuh Saiyiduna Hussain ra. Fitnah ini digembar gemburkan oleh
kaum Syiah, dan mereka mengelirukan umat manusia dengan menyambut hari Asyura
dengan 'pesta menyakiti diri' konon sebagai tanda kesal diatas kewafatan Saiyiduna
Hussain ra.

3. Makna

Rasul saw menganjurkan umat islam untuk berpuasa sunah pada tanggal 10 muharam.
Muharam adalah bulan pertama di tahun Hijriah. Sama dengan Januari di tahun Masehi. Bagi
umat Islam, Muharam memiliki makna yang sangat besar dalam sejarah penyelamatan akidah
umat, yakni saat Rasulullah SAW mengawali hijrah dari Makkah ke Madinah (Yatsrib, saat
itu). Peristiwa yang terjadi pada tahun 622 Masehi itu merupakan awal mula ditetapkannya
kalender Hijriah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Karena itu, setiap tanggal 1
Muharam ditetapkan sebagai awal tahun baru Islam.

Tak hanya soal hijrah Rasul dan ditetapkannya kalender Islam, bulan Muharam juga
memiliki makna spesial bagi umat Islam sebab banyak hal yang terjadi dalam bulan Suro
(menurut perhitungan Jawa—Red) itu. Salah satunya adalah peringatan hari Asyura atau hari
ke sepuluh di bulan Muharam.

Dalam beberapa literatur, disebutkan bahwa ada banyak peristiwa yang terjadi pada
tanggal 10 Muharam. Misalnya, cerita tentang pendaratan kapal Nabi Nuh AS seusai
mengarungi banjir besar. Namun demikian, banyak yang menyebutkan peristiwa yang
disebutkan pada tanggal 10 Muharam adalah sebuah rekayasa atau mitos semata.

Peristiwa lainnya yang juga dikaitkan dengan tanggal 10 Muharam tersebut adalah
tentang wafatnya Husein bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah SAW di Karbala. Pada
tahun 10 Muharam tahun 61 H atau bertepatan dengan tahun 680 M, Husein bin Ali bin Abu
Thalib yang diyakini sebagai imam ke-3 oleh Muslim Syiah, terbunuh dalam pertempuran di
Karbala. Imam Husein wafat bersama dengan para pengikutnya oleh pasukan Yazid bin
Muawiyah bin Abu Sufyan. Terbunuhnya Husein itu kemudian dikenal dengan peristiwa
Karbala.

Peristiwa ini membawa dampak yang amat besar dalam sejarah perkembangan Islam.
Wafatnya Husein yang tragis pada hari Asyura ini dipandang oleh sebagian kaum Muslimin,
terutama dari kalangan pendukung setia ahlul bait (keturunan Rasulullah SAW) sebagai
penderitaan dan penebusan terbesar dalam sejarah Islam.

Didorong oleh rasa bersalah dan semangat penebusan yang menggelora demi
menjunjung tinggi Rasulullah dan keluarganya, maka peristiwa tersebut hingga hari ini
diperingati secara khusus oleh orang-orang Syiah. Karenanya, hari Asyura ini lebih dikenal
sebagai hari berkabungnya atas kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Pada awalnya, Asyura diperingati secara sederhana, yakni dengan berziarah ke tempat
peristiwa Karbala. Namun, lama-kelamaan, peringatan ini membudaya dan berkembang di
mana-mana serta dilakukan secara besar-besaran dengan memakai pakaian berkabung dan
memperbanyak sedekah. Dalam peringatan ini, sering kali juga dipentaskan drama massal
yang menceritakan episode wafatnya Husein, penyesalan, dan kesiapan berkorban.

Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wa Al-Nihayah mengungkapkan, peringatan


Asyura diselenggarakan di Baghdad selama pemerintahan Mu’izz Al-Daulah dari Dinasti
Buwaihiyah yang berhaluan Syiah. Pada hari tersebut, semua aktivitas perdagangan
ditiadakan dan seluruh penduduk berkeliling kota sembari menangis, meratap, dan memukul
kepala. Mereka berkeliling dengan menggenakan pakaian hitam, bahkan kaum perempuannya
diharuskan berpenampilan kusut.
A. BEBERAPA HADIS TENTANG KHASIAT PUASA HARI ASYURA:

Dari Abu Qatadah al-Anshari r.a. katanya:"Rasulullah s.a.w. ditanya orang tentang
puasa hari Arafah (9 Zulhijjah). Jawab baginda, “Semoga dapat menghapus dosa tahun yang
lalu dan yang akan datang”. Kemudian Nabi ditanya pula tentang puasa hari Asyura (10
Muharram). Jawab baginda, “Semoga dapat menghapuskan dosa tahun yang lalu. (Riwayat
Muslim) 

Ibn Abbas (r.a) menceritakan; "Apabila Rasulullah   datang ke Madinah, baginda


melihat orang Yahudi berpuasa pada Hari Asyura, lalu baginda bertanya: "Apakah ini?".
Mereka (orang Yahudi) menjawab: "Hari ini adalah hari yang baik kerana pada hari ini Allah
menyelamatkan Nabi Musa dan bangsa Israel daripada musuh mereka, maka Musa pun
berpuasa". Lalu baginda (Nabi Muhammad) bersabda: "Aku lebih berhak dengan Musa
daripada kamu." Baginda (Nabi Muhammad) pun berpuasa dan menyuruh orang ramai
supaya berpuasa." (HR Bukhari) 

Aisyah (r.a) berkata; "Rasulullah   mengarahkan supaya berpuasa pada Hari


Asyura. Apabila puasa bulan Ramadan difardhukan (diwajibkan), siapa yang hendak
berpuasa (pada Hari Asyura) maka dia boleh berpuasa dan sesiapa yang hendak berbuka,
maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa)." (HR Bukhari dan Muslim)

Secara bahasa, kata Asyura dalam bahasa Arab bermakna sepuluh, sedangkan secara
istilah, asyura adalah tanggal 10, khususnya di bulan Muharam. Dinamakan demikian, karena
sejumlah peristiwa yang terjadi pada tanggal tersebut dan hadis Rasul SAW yang
menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunah.

Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Muslim dari
Abu Hurairah RA, bahwa berpuasa pada hari itu memiliki sejumlah keutamaan serta hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Baihaki. “Barang siapa yang melapangkan keluarga dan
familinya pada hari Asyura, niscaya Allah melapangkannya sepanjang tahun itu.” (HR al-
Baihaki).

Fir’adi Nashruddin Abu Ja’far dalam artikelnya yang bertajuk “Puasa Asyura”
mengungkapkan bahwa pada masa permulaan Islam kalangan ulama berbeda pendapat
mengenai hukum berpuasa di hari Asyura ini. Namun, setelah disyariatkannya puasa
Ramadhan, para ulama menyepakati hukum puasa di hari Asyura ini adalah sunah.

Abu Hanifah berpendapat bahwa pada awalnya diwajibkan kemudian dihapus.


Sementara Imam Ahmad menyatakannya sebagai puasa sunah, begitu juga pendapat jumhur
(mayoritas) ulama.

Rasulullah SAW tidak memerintahkan secara umum tentang puasa tersebut. Nabi
SAW bersabda: “Sesungguhnya hari ini adalah hari Asyura, tidak diwajibkan kamu
melakukan puasanya, tetapi saya berpuasa. Barang siapa yang ingin berpuasa, berpuasalah,
dan barang siapa yang tidak ingin berpuasa, hendaklah ia berbuka (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya hari Asyura
adalah termasuk hari-hari (yang dimuliakan) Allah. Barang siapa yang suka berpuasa,
berpuasalah. (Muttafaq ‘alaihi)

Ritual puasa pada tanggal 10 Muharam ini ternyata juga dilakukan oleh orang-orang
Yahudi sebagai rasa syukur atas keselamatan yang mereka peroleh dengan
ditenggelamkannya Firaun dan tentaranya di Laut Merah oleh Allah. Karenanya, untuk
membedakan dengan ajaran orang-orang Yahudi, umat Islam disunahkan juga untuk berpuasa
pada tanggal 9 Muharam.

Dari Abu Musa al-Asy’ari RA, dia berkata, “Hari Asyura itu diagungkan oleh orang
Yahudi dan mereka menjadikan sebagai hari raya. Maka, Rasulullah SAW bersabda,
“Berpuasalah pada hari itu.” (Muttafaq alaihi).

Ibnu Taimiyah berkata: “Disunahkan bagi yang berpuasa pada hari Asyura untuk
berpuasa pada tanggal sembilannya karena hal tersebut adalah perintah Rasulullah SAW yang
paling akhir.”

B. KEUTAMAAN PUASA ASYURA

Mengenai derajat keutamaan berpuasa di hari Asyura ini kalangan ulama memiliki
pendapat yang berbeda. Sebagian ulama berpendapat derajat pertama dan yang paling utama
adalah dengan melakukan puasa tiga hari, yaitu tanggal sembilan, sepuluh, dan sebelas
Muharam.

Ada juga yang berpendapat derajat keutamaan ini adalah dengan berpuasa pada
tanggal sembilan dan sepuluhnya saja sebagaimana diterangkan dalam hadis riwayat Muslim
dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Apabila (usia) ku sampai tahun
depan, aku akan berpuasa pada (hari) ke sembilan.”

Sementara ada pula yang berpendapat, berpuasa hanya pada tanggal sepuluhnya.
Namun, sebagian ulama memakruhkannya. Sebab, Nabi SAW memerintahkan umat Islam
untuk membedakan kebiasaan Yahudi yang hanya berpuasa pada hari Asyura dengan umat
Islam agar berpuasa pada hari ke sembilan atau hari ke sebelas secara beriringan dengan
puasa pada hari ke sepuluh, atau ketiga-tiganya.

Para ulama menyebutkan bahwa puasa sembilan, sepuluh dan sebelas. Tingkat kedua,
berpuasa pada hari ke sembilan dan ke sepuluh. Tingkat ketiga, berpuasa hanya pada hari ke
sepuluh.
Dalam kitab Shahih Muslimterdapat riwayat dari Abu Qatadah RA, bahwa seseorang
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa Asyura, beliau bersabda: “Puasa pada hari
Asyura menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang lewat.”

Dari Aisyah RA, dia berkata, “Hari Asyura adalah hari yang dipuasakan oleh
orangorang Quraisy pada masa jahiliyah, Rasulullah juga biasa mempuasakannya. Dan
tatkala datang di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan menyuruh orangorang untuk
turut berpuasa. Maka, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, beliau bersabda, ‘Siapa yang
ingin berpuasa, hendaklah ia berpuasa dan siapa yang ingin meninggalkannya, hendaklah ia
berbuka.” (Muttafaq alaihi).

Dari Abu Hurairah RA dia berkata, “Rasulullah SAW ditanya, ‘Shalat apa yang lebih
utama setelah shalat fardhu? Nabi menjawab, ‘Shalat di tengah malam’. Mereka bertanya
lagi, ‘Puasa apa yang lebih utama setelah puasa Ramadhan?’ Nabi menjawab, ‘Puasa pada
bulan Allah yang kamu namakan Muharram.” (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).

Puasa Muharram dan sangat dianjurkan pada tanggal 9 dan 10 (Tasu’a dan‘Asyura).
Dari Muawiyah bin Abu Sufyan RA, dia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“Hari ini adalah hari Asyura dan kamu tidak diwajibkan berpuasa padanya. Sekarang, saya
berpuasa, siapa yang mau, silakan puasa dan siapa yang tidak mau, silakan berbuka.” (HR
Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, “Nabi SAW datang ke Madinah lalu beliau melihat
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, Nabi bertanya, ‘Ada apa ini?’ Mereka
menjawab, hari Asyura itu hari baik, hari Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa SAW dan
Bani Israel dari musuh mereka sehingga Musa AS berpuasa pada hari itu. Kemudian, Nabi
SAW bersabda, ‘Saya lebih berhak terhadap Musa daripada kamu,’ lalu Nabi SAW berpuasa
pada hari itu dan menganjurkan orang agar berpuasa pada hari itu.” (Muttafaq alaihi).

C. UNGKAPAN SYUKUR

Peringatan hari Asyura sebenarnya sudah dilakukan pada masa pra-Islam oleh
orangorang Arab. Mereka menjadikan hari Asyura sebagai hari raya resmi bangsa Arab. Pada
masa itu, orang-orang berpuasa dan ber syu -kur menyambut Asyura. Mereka merayakan hari
itu dengan penuh sukacita, mengenakan pakaian baru, dan menghias kota-kota mereka.
Sekelompok bangsa Arab yang dikenal sebagai kelompok Yazidi mera ya kan hari raya
tersebut sebagai hari kegembiraan.

Setelah ajaran Islam datang, kebiasaan berpuasa pada hari Asyura ini diteruskan
sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW melakukan puasa Asyura
sejak beliau masih menetap di Makkah. Saat hijrah ke Madinah, beliau juga mendapati kaum
Yahudi turut berpuasa pada hari Asyura. Dalam masyarakat Yahudi, hari Asyura dikenal
sebagai Yom Kippur yang juga jatuh pada hari ke sepuluh pada bulan Muharam.

Sejak saat itu, menurut Ibnu Hajar alAsqalani dalam kitab Sahih Bukhari, Rasulullah
SAW mengesahkan dan mensyariatkan puasa pada hari Asyura. Misalnya, hadis yang
diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Qatadah. Nabi SAW bersabda, “Puasa pada hari Asyura
(10 Muharram), aku berharap kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa setahun yang telah
lalu.” (HR Muslim).

“Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Puasa yang paling
utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, yakni bulan Muharam dan
shalat yang paling utama setelah shalat fardu adalah shalat malam. (HR Muslim).

4. Peristiwa-Peristiwa di 10 Muharram

Imam ghazali menyebutkan, pada hari asyura, allah menciptakan arasy, langit, bumi,
matahari, bulan, bintang-bintang, dan surga. Hari Asyura (hari ke sepuluh bulan Muharam)
menjadi hari yang paling penting bagi umat Islam. Selain merupakan hari di mana
disyariatkannya untuk pertama kali sebagai hari berpuasa dalam sejarah Islam dan terjadinya
peristiwa Karbala, berdasarkan hadis yang dicatat oleh Imam al-Ghazali, pada hari Asyura
dalam tahuntahun yang berbeda terjadi beberapa peristiwa penting lainnya.

Dalam sebuah hadis yang dicatat oleh alGhazali di dalam bukunya Mukasyafah
alQulub al-Muqarrib min ‘Allam al-Guyub (Pembuka Hati yang Mendekatkan dari Alam
Gaib) disebutkan bahwa pada hari Asyura, Allah menciptakan arasy, langit, bumi, matahari,
bulan, bintang-bintang, dan surga. Pada hari itu juga Allah pertama kali menurunkan hujan
dan rahmat-Nya serta menjadikan Malaikat Jibril.

Sejarah Islam juga mencatat pada tanggal 10 Muharam ini juga terjadi sejumlah
peristiwa yang berkaitan dengan para nabi yang diutus oleh Allah SWT. Pada hari Asyura ini
Nabi Adam diciptakan, diampunkan dosanya setelah bertahun-tahun memohon ampunan
karena melanggar larangan Allah dan masuk surga. Pada tanggal yang sama, Nabi Idris
diangkat derajatnya oleh Allah dan Malaikat Izrail membawanya ke langit.

Pada masa Nabi Nuh, beliau dan para pengikutnya yang beriman kepada Allah SWT
selamat dari banjir besar setelah bahtera yang membawa mereka selamat berlabuh di puncak
pegunungan. Peristiwa tersebut terjadi hari Asyura. Nabi Ibrahim dilahirkan pada hari Asyura
dan di hari itu pula ia diselamatkan dari api Raja Namrud.

Pada hari Asyura, mata Nabi Ya’qub disembuhkan dari kebutaannya dan pada hari itu
pula putranya, Nabi Yusuf, dibebaskan dari penjara setelah meringkuk di dalamnya selama
tujuh tahun. Demikian pula pada hari Asyura, Nabi Musa bersama pengikutnya diselamatkan
dari kejaran Fir’aun dan tentaranya setelah Allah menenggelamkan Fir’aun dan pasukannya
di Laut Merah. Pada hari yang sama, Allah juga menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa.

Nabi Yunus selamat keluar dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40
hari 40 malam pada hari Asyura. Pada hari itu pula Nabi Sulaiman diberi kerajaan yang
besar. Sementara Nabi Isa dilahirkan dan diangkat ke langit pada hari yang sama.

5. Golongan Mahzab Islam yang memperingati 10 Muharram

a. Asyura Sunni

Sebelum Islam, Hari Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa orang
Mekkah biasanya melakukan puasa. Ketika Nabi Muhammad melakukan hijrah ke Madinah,
ia mengetahui bahwa Yahudi di daerah tersebut berpuasa pada hari Asyura - bisa jadi saat itu
merupakan hari besar Yahudi Yom Kippur. Saat itu, Muhammad menyatakan bahwa Muslim
dapat berpuasa pada hari-hari itu.

Hari Asyura merupakan peringatan hal-hal di bawah ini dimana Muslim Sunni
percaya terjadi pada tanggal 10 Muharram, diantaranya adalah:

 Hari diciptakannya Nabi Adam dan hari tobatnya pula


 Berlabuhnya bahtera Nabi Nuh di bukit Judi
 Bebasnya Nabi Nuh dan ummatnya dari banjir besar.
 Nabi Idris diangkat ke surga
 Nabi Ibrahim selamat dari apinya Namrudz
 Kesembuhan Nabi Yakub dari kebutaan dan ia dibawa bertemu dengan Nabi Yusuf
pada hari Asyura.
 Nabi Musa selamat dari pasukan Fir'aun saat menyeberangi Laut Merah
 Nabi Sulaiman diberikan kerajaan besar dan menguasai bumi
 Nabi Yunus dikeluarkan dari perut paus
 Nabi Isa diangkat ke surga setelah usaha tentara Roma untuk menangkap dan
menyalibnya gagal.
b. Asyura Syi'ah

Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680 merupakan hari


pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala, Iraq sekarang. Pertempuran ini terjadi antara
pasukan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Husain bin Ali beranggotakan sekitar 70-an orang
melawan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad, atas perintah Yazid bin
Muawiyah, khalifah Umayyah saat itu.

Pada hari itu hampir semua pasukan Husain bin Ali, termasuk Husain-nya sendiri
syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan, serta anak Husain yang sakit bernama Ali zainal
abidin bin Husain. Kemudian oleh Ibnu Ziyad mereka dibawa menghadap Khalifah di
Damaskus, dan kemudian yang selamat dikembalikan ke Madinah.

6. Peringatan Hari Asyura'

Setiap tahun umat Islam selalu memperingati hari Asyura. Kita memperingatinya
dengan cara yang telah dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah saw. Dimana agar kita
berpuasa pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, serta banyak beristigfar memohon
ampunan dari Allah atas dosa-dosa yang telah kita perbuat. Begitu pula agar di hari Asyura,
kita banyak bersedekah, terutama kepada anak yatim.

Karena itu kegiatan tersebut, selalu dikerjakan oleh Muslimin sejak zaman Rasulullah
sampai sekarang dan insya Allah sampai akhir zaman.

Dengan demikian apabila ada orang yang berkomentar bahwa Asyura sekarang tidak
diperingati, maka penilaian semacam itu tidak benar, sebab bertolak belakang dengan apa
yang selama ini dikerjakan umat Islam. Tapi kalau yang dimaksud, harus memperingati
Asyura dengan cara memukul-mukul badan dengan rantai dan pedang sampai berlumuran
darah, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang syiah, memang tidak dilakukan oleh
umat islam. Sebab hal tersebut dilarang oleh Allah dan RasulNya.

Hari Asyura adalah hari yang bersejarah, hari dimana Allah SWT, telah mengampuni
hamba-hambaNya yang bertaubat, serta memohon ampun atas semua dosa-dosa yang telah
diperbuat. Sehingga hari itu merupakan hari maghfiroh atau hari pengampunan. Itulah
diantara alasan-alasan mengapa hari Asyura diperingati. Sebelum umat Muhammad
dianjurkan oleh Rasulullah saw memperingati hari Asyura, orang-orang Yahudi dan Arab
Jahiliyah sudah memperingati hari tersebut. Hal mana mereka lakukan, karena mereka juga
mengetahui akan kebesaran hari tersebut, di mana banyak peristiwa yang terjadi pada hari itu
seperti :

- Pada hari Asyura Allah SWT, telah mengampuni dosa nabi Adam as.
- Pada hari Asyura Allah SWT telah menyelamatkan dan mendaratkan Nabi Nuh as
dengan kapalnya.
- Pada hari Asyura Allah SWT telah menyelamatkan Nabi Musa as dan kaumnya serta
menenggelamkan Fir’aun bersama tentaranya.
- Pada hari Asyura Allah SWT telah menyelamatkan Nabi Yunus as dari ikan Khuut
(Paus).

Di samping itu masih banyak lagi peristiwa yang terjadi pada hari Asyura.
Cara orang-orang Yahudi memperingati hari Asyura, diantaranya ada yang dengan
merayakan hari tersebut dengan berpuasa sehari, tepatnya berpuasa pada hari ke sepuluh
dalam bulan Muharram.

Orang-orang Arab Jahiliyah juga mengikuti jejak orang-orang Yahudi, mereka


merayakan hari itu, bahkan pada hari itu mereka membungkus Ka’bah dengan kain.
Adapun sebab dan cara Rasulullah memperingati Asyura, maka diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim sebagai berikut : 

Ketika Rasulullah saw kembali ke Madinah (dari bepergian) beliau mendapatkan orang-orang
Yahudi sedang berpuasa, kemudian beliau berkata kepada mereka : “Hari apa yang kalian
puasai ini?” Mereka menjawab : “Hari ini adalah hari yang sangat mulia, hari di mana Allah
telah menyelamatkan Nabi Musa as dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun beserta
tentaranya. Oleh karena Musa as berpuasa pada hari tersebut sebagai rasa syukur kepada
Allah, maka kami ikut berpuasa.

Kemudian Rasulullah berkata: “Kami lebih berhak dan lebih utama dalam mengikuti
Nabi Musa as daripada kalian.” Selanjutnya Nabi Muhammad berpuasa dan menganjurkan
umatnya untuk berpuasa pada hari Asyura. Bahkan beliau kemudian menganjurkan agar
umatnya berpuasa dua hari, yaitu pada hari kesembilan dan kesepuluh pada bulan Muharram,
dan puasa tersebut dikenal dengan puasa Tasua dan Asyura. Disamping hadits diatas, masih
banyak hadits yang menerangkan mengenai pahala orang yang berpuasa pada hari tersebut.
Oleh karena itu kita sekarang memperingati hari tersebut, kita memperingati dengan
melaksanakan apa-apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw dimana agar kita berpuasa
dan bertaubat memohon ampunan dari Allah atas segala dosa yang telah kita perbuat. Karena
di hari Asyura Allah memberikan ampunan (magfiroh) pada hamba-hambaNya yang berdo’a
memohon ampunan. Disamping masih banyak lagi ajaran Rasulullah, seperti agar kita banyak
bersodaqoh pada anak yatim.

Itulah cara memperingati hari Asyura, sesuai dengan apa yang telah dijalankan dan
diajarkan oleh Rasulullah saw beserta sahabat-sahabat dan sesuai dengan apa yang dilakukan
oleh Imam Ali ra dan Imam Husin ra, serta oleh seluruh Ahlil Bait dan turunannya sampai
sekarang.

Dan Bagaimana hukumnya orang-orang syi’ah yang memperingati hari Asyura


dengan jalan menangis dan memukul-mukul badannya, bahkan ada yang melukai dirinya
sendiri sampai berlumuran darah, ada yang memukuli badannya sendiri dengan rantai,
bahkan ada yang melukai dirinya dengan pedang?

Ulama-ulama kita menilai cara mereka tersebut, merupakan suatu perbuatan bid’ah
(dholaalah), karena sangat menyimpang dari ajaran Rasulullah saw.

Rasulullah saw bersabda : “Bukan dari golonganku, orang-orang yang suka memukuli
wajahnya dan merobek kantongnya (pakaiannya) serta menyerukan kepada perbuatan
jahiliyah.”

Dalam sabdanya yang lain, beliau melarang orang-orang menangisi orang-orang yang
sudah mati. Seperti yang dilakukan orang-orang Syi’ah sekarang, mereka berkumpul dan
menangis bersama-sama, dengan berteriak-teriak, sebentar memuji dan sebentar melaknat
serta memukuli badannya.

Cara semacam itu adalah cara orang-orang Jahiliyah yang dilarang oleh Rasulullah
saw.

Dalam kitab “Attasyayyu’ Baina Mafhumi Al Aimmah Wa Mafhumi Al-Farisi”


disebutkan : Bahwa orang-orang Syi’ah juga berpuasa pada hari Asyura, tetapi hanya sampai
waktu ashar saja.

Berpuasa semacam ini jelas merupakan suatu perbuatan bid’ah, karena tidak pernah
dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah saw.

Perlu diketahui bahwa orang-orang Syi’ah dalam memperingati hari Asyura, mereka
hanya mengambil dari satu peristiwa saja, yaitu dimana pada hari itu, Sayyidina Husin
menjadi syahid di Karbala (Irak). Adapun mereka menangis dan memukul-mukul badannya,
sebagaimana yang kami sebutkan di atas, maka menurut pengakuan ulama mereka, adalah
usaha mereka dalam menebus dosa-dosa orang-orang Syi’ah yang terdahulu, yang karena
perbuatan mereka, Sayyidina Husin sampai mati terbunuh (syahid) di Karbala.

7. Siapa pembunuh Imam Husin ?

Dalam kita-kitab sejarah dikisahkan : Bahwa Imam Husin dalam rangka menghindari
Bai’at kepada Yazid, beliau beserta keluarganya meninggalkan Madinah manuju Makkah.
Berita sampainya Imam Husin di Makkah ini tersebar ke berbagai daerah, bahkan orang-
orang Kufah setelah mendengar berita tersebut, mereka segera mengirim surat kepada Imam
Husin, dengan maksud meminta kepadanya agar beliau datang ke Kufah untuk di bai’at
sebagai khalifah.

Meskipun surat yang dikirim dari Kufah tidak ada henti-hentinya, namun Imam Husin
tetap tidak mau pergi ke Kufah. Sebab beliau masih ingat betul pengkhianatan orang-orang
Kufah terhadap ayahnya dan saudaranya. Mereka mengaku sebagai Syi’ahnya Imam Ali, tapi
kenyataannya mereka justru berkhianat.

Setelah melalui berbagai surat gagal, maka orang-orang Kufah tersebut mengutus
beberapa orang guna menemui Imam Husin, meminta agar Imam Husin mau datang ke Kufah
untuk dibai’at sebagai khalifah.

Sebagai orang yang arif lagi bijaksana, walaupun sudah berkali-kali dikhianati oleh
orang-orang yang mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait, beliau akhirnya mengutus Muslim
bin Agil (sepupunya) ke Kufah guna membuktikan apa yang sudah mereka sampaikan.
Sesampainya Muslim bin Agil di Kufah, puluhan ribu penduduk Kufah menyambutnya serta
membai’atnya sebagai wakil Imam Husin. Muslim bin Agil segera mengirim surat kepada
Imam Husin memberitahukan mengenai keadaan dan apa yang terjadi di Kufah, serta
mengharap agar Imam Husin segera berangkat ke Kufah.

Setelah menerima surat tersebut, Imam Husin segera memutuskan untuk segera pergi
ke Kufah dan rencana tersebut beliau sampaikan kepada famili-familinya serta sahabat-
sahabatnya.

Abdullah bin Abbas (sepupu Imam Ali) begitu mendengar rencana Imam Husin
tersebut segera mendatangi Imam Husin dan menasehati agar Imam Husin menggagalkan
rencananya. Sebab Ibnu Abbas tahu benar watak orang-orang yang selalu mengaku sebagai
Syi’ahnya Ahlul Bait tersebut.

Dengan harapan dapat menyelamatkan Negara dari orang-orang yang tidak layak
memimpin negara, maka Imam Husin terpaksa menolak nasihat Ibnu Abbas dan keluarganya
yang lain dan tetap berangkat ke Kufah beserta keluarga dan familinya.

Namun apa yang terjadi di Kufah? Muslim bin Agil akhirnya ditangkap dan dibunuh
oleh Gubernur Kufah (Ubaidillah bin Ziyad). Sedang orang-orang Kufah yang telah
menyatakan dirinya sebagai Syi’ahnya Imam Husin dan telah membai’at Muslim bin Agil
sebagai wakil Imam Husin tersebut, telah berkhianat. Mereka berubah haluan, mereka
terpengaruh oleh bujukan dan rayuan Ubaidillah bin Ziyad dan berbalik menjadi pengikut
Yazid. Bahkan mereka menjadi tentara yang dikirim oleh Ubaidillah bin Ziyad waktu
menyerang dan membunuh Imam Husin beserta keluarganya di Karbala.

Begitulah asal mula terjadinya peristiwa Karbala. Satu-satunya anak laki-laki


Sayyidina Husin yang tidak mati dan selamat dari kekejaman orang-orang Syi’ah tersebut
adalah Sayyidina Ali Zainal Abidin. Beliaulah yang paling mengetahui sebab terjadinya
peristiwa Karbala.

Seorang ahli sejarah (tokoh Syi’ah) yang dikenal dengan sebutan AL Ya’Quubi,
menerangkan dalam kitabnya sebagai berikut : Ketika Imam Ali Zainal Abidin memasuki
kota kufah, beliau melihat orang-orang Syi’ah (Syi’ah ayahnya) menangis, beliaupun berkata
kepada mereka :
“ Kalian membunuhnya tetapi kalian menangisinya. Kalianlah yang membunuhnya,
lalu siapa yang membunuhnya kalau bukan kalian ? Kalianlah yang membunuhnnya.”

Itulah keterangan ulama Syi’ah, mengenai kata-kata Imam Ali Zainal Abidin dalam
menanggapi tangisan orang-orang Syi’ah, atas terbunuhnya keluarga Rasulullah saw di
Karbala.

Tetapi anehnya sekarang dalam berkampanye, orang-orang Syi’ah selalu membawa


cerita-cerita Karbala dengan mengkambing hitamkan orang lain, padahal merekalah
pembunuh dan penyebab terbunuhya Imam Husin dan keluarganya di Karbala.

Hal yang sama dalam pengkhianatan orang-orang Syi’ah, adalah apa yang mereka
lakukkan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib ra (ayah Imam Husin ra). Karena tidak puas
dengan keputusan Imam Ali ra dalam perdamaiannya dengan Mu’awiyah, maka sebagian
orang Syi’ah telah bersekongkol dengan musuh-musuh Imam Ali ra yang kemudian dikenal
dengan nama Khowaarij. Bahkan pembunuh Imam Ali ra yang bernama Abdurrahman bin
Muljam, adalah seorang Syi’ah yang ikut berkhianat.

Setiap muslim akan merasa sedih dan berduka, apabila membaca atau mendengarkan
sejarah terbunuhnya Imam Husin ra dan keluarganya di Karbala. Tetapi juga dapat kita
ketahui, bagaimana ketabahan Imam Husin ra dalam menghadapi musuh yang begitu banyak.
Beliau tidak takut dan tidak gentar serta tidak mengenal taqiyah dalam menghadapi musuh-
musuhnya. Karena kebenaranlah beliau berkorban. Dan karena berkorban itu, beliau
mendapat kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT sebagai syahid. Sehingga tepat sekali,
kalau sebelumnnya Rasulullah saw sudah mengatakan, bahwa Sayyidina Husin ra dan
Sayyidina Hasan ra adalah Sayyidaa Syabaab Ahlil Jannah (Pemimpin Pemuda Surga)
Dengan demikian, hari Asyura adalah hari kemenangan dan kegembiraan, terutama bagi
Imam Husin ra, sebab pada hari itu Imam Husin bertemu dengan orang-orang yang
dicintainya, yaitu ibunya Fatimah Az-Zahra’ ayahnya Imam Ali dan datuknya Rasulullah
saw, sehingga hari itu merupakan hari yang sudah lama dinanti-nantikanya.

Pada hari itu beliau menghadap Tuhanya dalam keadaan berpuasa Asyura,
sebagaimana yang di sunnahkan oleh Rasulullah SAW. “Bahkan saat saudarinya
menganjurkan agar beliau membatalkan puasanya, maka beliau menjawab ”Saya akan
berbuka bersama datukku Rasulullah saw.”

Itulah Imam Husin, meskipun beliau dalam peperangan, tapi beliau tetap berpuasa
Asyura. 

8. Bagaimana dengan Hadist Syiah ; menangis atas kematian Sayyidina Husin ?

Sejak dahulu orang-orang Syi’ah sudah terkenal dalam membuat hadist-hadist palsu,
bahkan mereka mempunyai keahlian dalam membuat riwayat-riwayat palsu. Mereka tidak
segan-segan mencatut nama-nama Ahlul Bait, demi kepentingan golongannya. Mereka juga
terbiasa menghalalkan segala cara demi kepentingannya.

Begitu juga dalam memperingati hari Asyura. Ulama SyI’ah dalam usahanya
menguatkan cara memperingati hari tersebut, mereka telah membuat hadist-hadist palsu
dengan mengatas namakan Ahlul Bait. Diantaranya sebagai berikut :

1. Barang siapa menangis atau menangis-tangiskan dirinya atas kematian Husin, maka
Allah akan mengampuni segala dosanya baik yang sudah dilakukkan maupun yang
akan dilakukan.
2. Barang siapa menangis atau menangis-tangiskan dirinya atas kematian Husin,
wajiblah (pastilah) dirinya mendapat surga.
Demikianlah jaminan dari ulama Syi’ah, cukup menangis atas kematian Sayyidina
Husin ra pasti masuk surga.

Disamping riwayat-riwayat diatas, masih banyak lagi riwayat-riwayat palsu yang


mereka buat, tidak kurang dari 458 (empat ratus lima puluh delapan) riwayat, mengenai
ziarah kemakam Imam-imam Syi’ah, bahkan dari jumlah tersebut 338 (tiga ratus tiga puluh
delapan) khusus mengenai kebesaran dan keutamaan serta pahala besar bagi peziarah
kemakam Imam Husin ra atau ke Karbala. Sebagai contoh :

1. Barang siapa ziarah kemakam Imam Husin sekali, maka pahalanya sama dengan haji
sebanyak 20 kali.
2. Barang siapa ziarah kemakam Imam Husin di Karbala pada hari arafah, maka
pahalanya sama dengan haji 1.000.000 kali bersama Imam Mahdi, disamaping
mendapatkan pahalanya memerdekakan 1000 (seribu) budak dan pahalanya
bersodaqoh 1000 ekor kuda.
3. Barang siapa ziarah ke makam Imam Husin pada Nisfu Sya’ban maka sama dengan
ziarah Allah di ‘Arasy-Nya.
4. Barang siapa ziarah kemakam Imam Husin diKarbala pada hari Asyura, maka akan
mendapat pahala dari Allah sebanyak pahalanya orang haji 2000 kali dan diberi
pahalanya orang umroh sebanyak 2000 kali dan diberi pahalanya orang yang
berperang bersama Rasululllah saw 2000 kali.
5. Andaikata saya katakan mengenai pahalanya ziarah ke makam Imam Husin niscaya
kalian tinggalkan ibadah haji dan tidak seorangpun yang akan mengerjakan haji.
ItuIah diantara hadist-hadist palsu yang bersumber dari kitab Syi’ah : “ WASAAIL
ASY-SYI’AH” oleh Al Khurrul Amily ( ulama Syi’ah ).
Ulama-ulama kita tidak ada yang melarang orang berkunjung atau berziarah ke
Karbala. Bahkan dengan berkunjung ke Karbala, kita akan mendapat pelajaran, bagaiaman
kita harus waspada dan tidak mudah menerima rayuan orang-orang syi’ah yang sejak dulu
sudah dikenal sebagai orang-orang yang suka berdusta dan berkhianat. Sebagaimana yang
mereka lakukkan terhadap Imam Ali ra dan Imam Husin ra serta Ahlul Bait pada masa lalu.

Kita bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa datangnya tahun baru, baik
tahun masehi, tahun hijriyah atau tahun jawa ini perlu diperingati. Beraneka ragam cara yang
mereka lakukan dalam merayakannya mulai dari cara yang sangat sederhana/kecil-kecilan
sampai cara yang bersifat besar-besaran. Demikian pula di kalangan kaum muslimin
Indonesia, setiap bulan Muharram ada tradisi mengadakan kegiatan rutin tahunan dalam
rangka memperingati tahun baru hijriyah, baik itu berupa kegiatan ritual atau kegiatan sosial.

 Yang berupa kegiatan ritual misalnya :

-  Melakukan shalat tasbih;


-  Puasa hari Tasu'a dan hari Asyura'
-  Membaca surat ikhlas dengan hitungan tertentu;
 Adapun yang berupa kegiatan sosial misalnya :
-  Bersilaturrahim/berkunjung ke rumah sanak famili;
-  Besedekah kepada fakir miskin;
-  Membuat anggota keluarga merasa gembira dengan diberi hadiah.

Tradisi yang biasa mereka lakukan itu memang termasuk salah satu masalah furu'iyah
yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang timbulnya
dikarenkan tidak adanya dalil yang sharih atau nash syar’i yang khusus menjelaskan tentang
masalah itu. Namun dalam beberapa dalil syar'i, secara umum toh syari'at kita menganjurkan
berbuat baik/beramal sholih, baik yang berupa ibadah mahdlah atau ibadah ghairu mahdlah,
yang bersifat qauliyah, badaniyah, atau maliyah.

Perbedaan pendapat tersebut bisa kita lihat secara jelas dari tulisan para ulama kita
dalam kitabnya masing-masing. Antara lain :

1. Dalam kitab Nihayatuz Zain hal. 196 disebutkan :

"Diriwayatkan dari sebagian orang-orang yang mempunyai sifat utama bahwa


amalan pada hari asyura'/10 Mkuharram itu ada dua belas macam, yakni : shalat, -yang
afdlol shalat tasbih- puasa, bersedekah, membuat anggota keluarga merasa gembira,
mandi, manziarahi orang alim/orang shalih, menjenguk orang sakit mengusap
kepala/menyantuni anak yatim, memakai celak, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlash
1.000 x dan silaturrahim. Mengenai anjuran puasa dan membuat gembira kepada anggota
keluarga ada hadits yang menerangkannya. Selain dua hal tersebut tidak ada hadits yang
menerangkannya. Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa barang siapa yang membaca
kalimat ini pada hari Asyura', maka hatinya tidak mati, yaitu subhanallah mil'al mizan dan
seterusnya. Sayyid Al-Ajhuri meriwayatkan bahwa barang siapa yang membaca hasbiyallah
wani'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nashir 70 x pada hari Asyura' maka Allah akan
menghindarkan orang tersebut dari keburukan dalam tahun ini.

2. Dalam kitab Asnal Mathalib fi Ahaditsa Mukhtalifatil Maratib juz II hal 586 disebutkan:

"(Beberapa hadits tentang keutamaan hari Asyura') Telah tercatat dalam beberapa
hadits antara lain tentang puasa (Asyura'). Dalama kitab shahih Bukhari dan Muslim dari
A'isah ra, dia berkata : bahwa kaum Quraisy di zaman Jahiliyah berpuasa pada hari
Asyura'. Rasulullah SAW. juga berpuasa pada hari itu. Sewaktu beliau hadir/hijrah ke
Madinah masih juga beliau melakukan dan memerintahkan puasa Asyura' tetapi ketika
puasa Ramadlan telah diwajibkan, beliau meninggalkannya, barang siapa menghendaki
puasa disilahkan berpuasa, dan barang siapa yang menghendaki tidak berpuasa boleh
meninggalkannya. Adapun hadits "tausi'ah" yang lafdznya : barang siapa membuat gembira
kepada keluarganya pada hari Asyura', maka Allah akan memberikan kelapangan
kepadanya sepanjang tahun. Hadits tersebut masih diperselisihkan oleh para ahli hadits
tentang keshahihannya.

3.    Dalam kitab I'anatut Thalibin juz II hal. 266 diterangkan :

“Imam Ajhuri berkata : sungguh saya telah menanyakan kepada sebagian dari para
imam ahli hadits dan ahli fiqih tentang memakai celak, menanak biji-bijian, memakai
pakaian yang serba baru dan memperlihatkan kegembiraan, beliau menjawab : mengenai
hal itu tidak ada riwayat hadits yang shahih dari Nabi atau salah seorang sahabat dan tidak
ada salah seorang pun dari para pemimpin Islam yang menganjurkannya”.

Walaupun demikian, karena sudah menjadi tradisi, maka hal tersebut bisa saja
dilestarikan (jangan ditinggalkan), namun dengan catatan : bagi yang melakukannya jangan
mempunyai i'tikad/anggapan bahwa yang dilakukan itu merupakan anjuran khusus dari
Rasulullah SAW. kecuali beberapa amalan yang memang sudah dinash dalam hadits nabi.
Ketentuan ini sesuai dengan keterangan dalam kitab mafahim yang ditulis oleh Sayyid
Muhammad Alawi, hal. 314 :

"Kita mempunyai tradisi yang sudah berlaku yaitu kita berkumpul untuk perayaan
sejumlah hari-hari yang bernilai sejarah, seperti kelahiran nabi, peringatan Isra' Mi'raj,
malam NishfuSya'ban, peringatan hijrahnya nabi, malam nuzulul qur'an dan peringatan
perang badar. Menurut anggapan kita, perkara semacam itu merupakan suatu tradisi semata
tidak ada sangkut pautnya dengan syari'at agama, maka tidak bisa dikatakan bahwa hal
tersebut disyari'atkan atau disunnatkan. Namun amalan tadi sama sekali tidak bertentangan
dnegan prinsip-prinsip agama. Karena yang menjadi kekhawatiran itu hanya lah timbulnya
anggapan adanya anjuran syari’at terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak disyari’atkan
9. Peringatan Asyura Di Dunia

Banyak cara dan tradisi yang dilakukan umat Islam dalam menyambut tahun baru
Islam pada 1 Muharam hingga pada hari ke sepuluh. Terkadang, untuk menyemarakkan syiar
dan dakwah, umat Islam menyelenggarakan kegiatan dengan tema gebyar Muharam atau
hijrah. Berikut sejumlah cara peringatan Asyura atau menyambut tahun baru Islam di
sejumlah negara.

Dari kawasan Asia hingga Afrika, Asyura senantiasa diperingati dengan suasana yang
daoat membangkitkan sanubari setiap insan. Semua orang yang mengikuti peringatan
pembantaian Imam Husein as di hari Asyura merasa terpukul dengan peristiwa sadis itu.
Dengan menghadiri peringatan Imam Husein as, setiap orang saling mengucapkan bela
sungkawa kepada lainnya.

Tak diragukan lagi, puncak acara peringatan Asyura diperingati di negara-negara


Timur Tengah yang di sana banyak pengikut dan pecinta Ahlul Bait as. Ketika bulan
Muharam tiba, setiap sudut di negara-negara itu diliputi rasa duka. Negara-negara yang
menonjol dalam memperingati bulan duka di bulan Muharam adalah Iran, Irak, Lebanon dan
Suriah. Di negara-negara itu, peringatan perayaan Asyura di gelar begitu dahsyat dan merata
di seluruh penjuru.

Di sejumlah negara seperti Afghanistan, Iran, Azerbaijan, Irak, Lebanon, Bahrain, dan
Pakistan, Asyura adalah hari libur nasional. Di semua negara itu Asyura diperingati dengan
berbagai upacara keagamaan di samping juga pawai dan teater rakyat di jalanan kota-kota
besar. Di Bahrain diadakannya teater rakyat yang memperagakan peristiwa asyura di
Manama.

Pada peringatan Asyura di Iran Sebagai negara Muslim yang penduduknya adalah
pengikut Syiah, peringatan Asyura menjadi ritual mutlak di Iran. Ritual Asyura yang
berkembang di Iran, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam
Modern, antara lain adalah prosesi dan pertunjukan lakon tanpa gerak atau dialog tentang
tragedi Karbala.

Para peserta prosesi terbagi ke dalam beberapa kelompok, seperti sinahzan (orang-
orang yang memukuli dada mereka dengan telapak tangan), zanjirzan (orangorang yang
memukuli punggung mereka dengan rantai), dan syamsirzan (orangorang yang melukai dahi
mereka dengan pedang atau pisau). Sebagian juga menyiksa diri mereka dengan batu. Yang
lain membawa alam yang melambangkan panjipanji Husein di Karbala.

Dalam beberapa prosesi, nakhl (pohon kurma) dibawa karena menurut tradisi jenazah
Husain yang tidak berkepala dibawa dengan usungan yang terbuat dari cabang-cabang pohon
kurma. Prosesi ini diiringi barisan musik dukacita dan perang. Prosesi teragung berlangsung
di hari Asyura itu sendiri.
Sementara dalam ritual diam, ada raudhah khvani, pembacaan dan pelantunan kisah
Husein, keluarganya, dan para pengikutnya di pertempuran Karbala yang berdarah. Seorang
pendongeng martirologi Syiah duduk di hadapan hadirin di mimbar di dalam kemah hitam, di
bawah kajang, atau di gedung besar khusus yang disebut Husainiyah atau takiyah. Ritual
diam paling terkenal di Iran adalah ta’ziyah, satusatunya drama serius yang dikembangkan di
dunia Islam, drama yang membawakan kesyahidan Husain di hari Asyura.

Ritual Asyura banyak yang dibawa oleh kaum Muslim India ke Karibia pada paruh
pertama abad ke-19 M. Peringatan Asyura di sana disebut Hosay dan berlangsung selama tiga
malam dan satu hari. Malam terakhir Asyuralah yang paling spektakuler, di mana berbagai
replika warna-warni makam Husain yang disebut tajas, yang tingginya hampir lima meter,
diarak menyertai tassahdan irama tabuhan.

Sementara di Irak selatan, prosesi dan majelis merupakan pemandangan umum pada
sepuluh hari pertama bulan Muharram, yang berpuncak di hari Asyura itu sendiri. Seperti
halnya di Karibia, perayaan Asyura di Irak selatan juga tampak meriah.

Menurut data sejarah, Irak yang juga tempat bersaksi akan Asyura, adalah negara
yang paling luar biasa dalam memperingati tragedi Karbala. Khusus di Irak, Asyura
dipusatkan di Karbala, tempat peristiwa pembantaian itu berlangsung sekaligus menjadi
pusara Husein bin Ali bin Abi Thalib dan keluarga serta sahabatnya yang ikut gugur dalam
peristiwa itu.

Jutaan orang dari seluruh Irak dan mancanegara berkumpul di sekitar makam untuk
berziarah, mendengar pembacaan narasi peristiwa pembantaian yang dikenal dengan maqtal,
hikmah Asyura, melakukan berbagai ritus  shalat dan doa serta mengadakan beragam acara
budaya.

Bahkan masyarakat setempat sudah mempersiapkan bulan duka itu sepuluh hari
sebelum masuknya bulan Muharam. Mereka memulai hari-hari bulan Muharram dengan
memberi nama satu persatu para pahlawan Karbala pada hari-hari itu sesuai dengan urutan
hari. Mereka hampir setaip malam setelah mendengar khutbah para penceramah, menggelar
upacara duka dengan menepuk dada sebagai simbol kesedihan yang mendalam.

Mereka melakukan itu secara berkelompok. Pada malam 9 muharram yang juga
disebut dengan istilah Tasua, mereka menyalakan obor yang dibuat dari pohon kurma dari
malam hingga pagi hari Asyura.

Hal yang tak lupt menjadi perhatian di hari Asyura adalah “Maqtal”. Maqtal
merupakan buku yang mengungkapkan peristiwa Asyura berlandaskan pada pernyataan para
sejarawan. Pada hari Asyura itu maqtal dibaca dengan nada sedih. Shahid Ayatollah
Mohammad Bagir Hakim adalah diantara pembaca maqtal yang tersohor di Irak. Bahkan
banyak pecinta Ahlul Bait as dari berbagai negara datang ke Irak untuk mendengarkan maqtal
yang dibacakan oleh Shahid Mohammad Bagir Hakim.
Pada hari Asyura, masyarakat Irak memadati masjid-masjid dan huseinah untuk
mendengar maqtal yang dibacakan para tokoh dan ulam setempat. Ini adalah dianatar
fenomena pada hari Asyura di Irak. Ketika waktu Dzhur tiba, mereka bergerak menuju
Karbala dan menggelar upacara di haram suci Imam Husin as. Di tempat itu, para pecinta
Imam Husein as meluapkan rasa duka mereka di hadapan makam suci Imam Husein as.
Waktu Dzuhur adalah puncak kesedihan bagi para pecinta Ahlul Bait as karena saat itu
diyakini bahwa Imam Husein, Keluarganya dan para sahabat setinya tengah menghadapi
masa genting di tengah kepungan para musuh di Karbala.

Ayura di Lebanon juga mempunyai ciri khas tersendiri. Jika ingin mengikuti upacara
duka kepada Imam Husein dengan sambutan hangat penduduk setempat, anda dapat
mendatangi Lebanon. Cukup mendekati salah satu pengikut Ahlul Bait as Lebanon, anda
pasti akan merasakan kerinduan mereka kepada Imam Husein as yang tercermin dalam
upacara-upacara peringatan Asyura.

Sepanjang bulan Muhara, khususnya dari tanggal 1 hingga 10 Muharram, berbagai


kawasan yang penuh dangan para pecinta Ahlul Bait as, seperti Zaheya dan Beqa, berubah
menjadi pemukiman yang di penuhi dengan warna hitam. Pada hari-hari itu, Huseiniyah yang
merupakan tempat pertemuan kalangan pecinta Ahlul Bait, menjadi ajang upacara duka
kepada Imam Husein as. Di huseiniyah-huseiniyah itu, mereka memulai acara duka dengan
membaca zirayah Asyura dan mengenang peristiwa-perisiwa yang terjadi di Karbala. Di
penghujung acara, para pecinta mendapat jamuan makanan nazar.

Dalam pawai akbar di sore hari 9 Muharram dan 10 Muharram, seluruh masyarakat
pecinta Ahlul Bait as memadati jalan-jalan. Pada tanggal 10 Muharram, mereka
mempersembahkan acara pementasan peristiwa Asyura. Masyarakat memadati tempat
penyelenggaraa pementasan yang digelar secara terbuka, dan mengenang peristiwa menyayat
hati itu. Dalam pementasan itu digambarkan sekelompok pasukan Bani Umayah yang
dilengkapi dengan kuda, pedang dan pakaian lengkap perang. Wajah mereka tampak sadis.
Sementara di sudut lain ada kelompok lain yang menggambarkan ketertindasan para pengikut
dan keluarga Imam Husein as. Dalam pementasan itu juga tampak kemah-kemah keluarga
Rasullah Saw yang dikepung oleh para musuh.

Peringatan Asyura lainnya juga digelar di India dan Pakistan. Di Pakistan, peringatan
Asyura sudah dilakukan semenjak 12 abad lalu. Bahkan dalam sejarah negara ini tercantum
bahwa kolonial Inggris setempat melarang peringatan perayaan Asyura yang merupakan
sumber inspirasi perlawanan bagi umat tertindas. Inggris yang saat itu menjajah Pakistan,
merasa khawatir akan pelaksanaan acara peringatan Imam Husein as yang dapat
mengerakkan semangat perjuangan masyarakat setempat. Meski dilarang, para pecinta Ahlul
Bait as saat itu tetap mengelar upacara duka kepada Imam Husein as menjadi bagian dari
budaya setempat. Bahkan banyak para penulis dan penyair yang berbicara tentang Imam
Husein as dan Asyura.

Pada Perayaan Asyura di India dan Pakistan dalam Ritual Asyura di kedua negara ini
mengikuti pola Iran dengan beberapa pengurangan dan penambahan. Takziyah sebagai
bentuk teatrikal dramatis tak dikenal di kedua negara ini. Pembacaan lukisan Syiah tidak ada.
Namun, yang menarik dari perayaan hari Asyura di kedua negara ini adalah fakta bahwa
kaum Sunni dan bahkan Hindu ikut aktif dalam banyak ritual Asyura. Bahkan, kaum Sunni
memiliki ritual tersendiri.

Ciri paling khas dari peringatan Asyura di anak Benua India-Pakistan adalah
penafsiran artistik raksasa tentang mausoleum Husein yang dibawa dalam prosesi Asyura.
Pada akhir Asyura, struktur-struktur ini, yang disebut ta’ziyah, dikuburkan di pemakaman
lokal yang disebut Karbala atau dibenamkan di air.

Jenis raudhah khvani dalam peringatan kesyahidan Husain, yang disebut majelis atau
majelis di India, dilaksanakan di bangunan terbuka atau di gedung khusus yang disebut
imambarahatau asyurkhanah.

Peringatan Asyura dan 40 Hari Syahadah Imam Husein yang dikenal dengan istilah
Arbain, digelar di berbagai kota di Pakistan seperti Karachi, Hyderabad, Kotri dan Thatha.
Dalam acara Asyura, masyarakat menghindari makan dan minum hingga berakhirnya upcara
peringatan. Hal itu sengaja dilakukan untuk menghormati Imam Husein, keluarganya dan
para sahabatnya yang dibiarkan kehausan di Karbala. Setelah usianya peringatan Asyura,
masyarakat dijamu makanan dan minuman nazar.

Di India yang merupakan negara sekuler dengan mayoritas penduduk beragama


Hindu, Asyura juga ditetapkan sebagai hari libur nasional. Di India, Upacara duka kepada
Imam Husein as tidak hanya diperingati umat Islam, tapi para pemeluk agama Hindu pun
menghormati peringatan Asyura itu. Mereka mengelar upacara-upacara Imam Husein as di
tempat-tempat yang diwaqafkan untuk mengenang Imam Husein as. Upacara duka kepada
Imam Husein as mendapat tempat tersendiri bagi masyarakat India baik umat Islam maupun
Hindu. Bahkan pemimpin pergerakan terkemuka India, Mahatma Ghandi mengakui bahwa
pergerakkan anti kolonial di India terinspirasi dari perjuangan Imam Husein as. Ini
menunjukkan bahwa tragedi Asyura mempunyai pengaruh yang luar biasa.

Upacara duka kepada Imam Husein as dapat disaksikan dibeberapa kota India seperti
Lakhnau, Bengal, dan Benares. Di kota-kota itu, ummat Islam dan para pengikut Ahlul Bait
menghomati hari Asyura dengan menghindari makan dan minum, bahkan menjauhi canda
dan tawa.

Sedangakn di Asia Barat, peringatan Asyura juga akan disaksikan di Turki.


Masyarakat Turki juga sejak lama mengenang hari ini dengan berbagai upacara dan
menyebutnya sebagai hari Asure. Tradisi mengenang Imam Husein as sangat kental di negara
ini. Hal itu bisa dilihat dari sastra-sastra Turki yang sarat dengan gerakan Imam Husein as.
Hal yang mennjol di negeri ini dalam memperingati tragedi Asyura tercermin dalam sastra
dan tradisi pementasan di tempat terbuka. Masyarakat dalam jumlah besar pada tanggal 10
Muharram sangat antusias mendengar puisi-puisi dan pementasan tragedi Asyura yang
digelar diberbagai kota termasuk Istanbul.
Peringatan Asyura juga dikenang di Afrika, khususnya Afrika Utara. Dinegara-negara
Afrika Utara, upacara dan pawai duka diperingati seperti di negara-negara Islam lainnya.
Bersamaan dengan menyebarnya peringatan Asyura di masa pemerintah El Baweh di Iran,
Irak dan pemerintahan Fathimi di Mesir, peringatan tragedi Asyura juga meluas di negara-
negara Afrika.

Di Tunisia, masyarakat setempat juga memperingati tragedi Asyura. Bahkan di negeri


ini ada tradisi menghidupkan api ditempat-tempat tertentu dengan keyakinan bahwa hal itu
akan membahagiakan anak-anak Imam Husein as di Karbala.

Sendangkan Di Spanyol diadakannya Upacara Hosay di Port. Seluruh etnik dan


komunitas agama di Trinidad dan Tobago serta Jamaika berpartisipasi memperingati hari
Asyuro. Mereka menyebut Asyura dengan “Hosay” atau “Hussay”, yang diambil dari nama
“Husain”.

10. Peringatan Asyura di Indonesia

Tragedi Asyura juga diperingati di Indonesia, Malaysia dan Thailand. Di Indonesia,


peringatan Asyura semakin semarak pasca Revolusi Islam Iran. Pada tanggal 10 Muharram,
berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang,
Makassar, Medan, Samarinda, Banjarmasin bahkan Jayapura menjadi saksi peringatan
Asyura. Dikota-kota itu, semua pecinta keluarga Rasullah SAW dalam jumlah ribuan
berbondong-bondong menghadiri peringatan Asyura di kota masing-masing.

Di Jawa, Asyura dikenal dengan sebutan Suro menurut perhitungan Kalender Jawa.
Orang Jawa yang menyebutnya dengan Suro memperingati hari ini dengan berbagai upacara
yang bertujuan meminta keselamatan dan membuang kesialan. Di Yogyakarta untuk
peringatan 10 Muharram diadakan Pembuatan jenang di Pakualaman. Peringatan tragedi
Karbala ternyata sudah menjadi bagian dari tradisi lama nusantara.

Jika di sejumlah negara perayaan yang terkait dengan bulan Muharam adalah
peringatan hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharam, di Indonesia perayaan bulan
Muharam tidak hanya terkait dengan hari Asyura saja, tetapi juga menyangkut perayaan 1
Muharam yang dikenal dengan istilah 1 Suro. Perayaan 1 Suro ini dianggap banyak kalangan
sebagai produk kebudayaan daerah setempat yang banyak mendapatkan pengaruh ajaran
Hindu.

Tradisi untuk merayakan 1 Suro tersebut hingga saat ini masih berlangsung di
sejumlah wilayah di Indonesia, seperti di Demak, Kudus, Yogyakarta, dan Solo. Perayaan 1
Suro ini antara lain dilakukan dengan melakukan ziarah ke tempat-tempat yang dipercaya
mempunyai daya supranatural yang kuat.

Bagi masyarakat Jawa yang masih menjalankan tradisi perayaan 1 Suro ini, mereka
mengenal beberapa tempat yang biasa dipakai untuk perayaan 1 Suro. Tempattempat
tersebut, antara lain, Sungai Sipendok yang terletak di lereng timur Gunung Merbabu,
Boyolali, kawah Gunung Merbabu, kawah Gunung Merapi, puncak Gunung Sumbing di
Temanggung, puncak Gunung Sindoro di Wonosobo, dan Desa Guyangan, Nogotirto,
Sleman, Yogyakarta.

Di tempat-tempat tersebut, para peziarah selain mengadakan ritual sesaji sedekah,


juga melakukan ritual mandi ataupun berendam untuk tujuan penyucian diri di aliran sungai
yang berada di tempat-tempat tersebut. Ritual penyucian diri ini hanya boleh dilakukan di
waktu tengah malam pada tanggal 1 Muharam. Sesudah mandi atau berendam, dilanjutkan
dengan mengadakan tirakatan di pinggiran sungai sampai pagi hari.

Di Indonesia, seperti Bengkulu dan Pariaman (Sumatra Barat), kematian Husein juga
diperingati secara khusus di hari Asyura. Peringatan hari Asyura di Indonesia dilakukan
dalam bentuk upacara Tabut, yakni dengan jamuan makanan dan arak-arakan. Arakan tabut
ini dibuat dari batang pisang yang disusun dan dihiasi sedemikian indah dari bunga-bunga
beraneka warna.

Setelah upacara selesai, tabut dibawa ke pinggir pantai sambil diiringi teriakan “hayya
Husain, haiyya Husain! (Hidup Husein).” Sebagai tanda upacara sudah selesai, tabut
kemudian dibuang ke laut. Namun, belum ada penelitian khusus apakah upacara Tabut ini
tumbuh dengan sendirinya sebagai produk kebudayaan daerah atau merupakan pengaruh dari
ajaran Syiah.

Tradisi kuno nusantara dalam mengenang peristiwa asyura dikenal dengan istilah
Tabot. Tabot adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu yang diadakan bertujuan
untuk mengenang tentang kisah kepahlawanan dan kesyahidan kematian cucu Nabi
Muhammad Rasullulah SAW, Imam Husain bin Ali di padang Karbala tanggal 10 Muharram
61 Hijriah bersamaan 681 Masehi. Menurut sejarah, peringatan Asyura di Bengkulu itu untuk
pertama kali dilakukan oleh Syeikh Burhanuddin yang dikenal Imam Senggolo, pada tahun
1685 Syeikh Burhanuddin menikahi dengan warga setempat kemudian keturunannya disebut
sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari tanggal 1 hingga 10 Muharram pada
setiap tahun.

Pada Awalnya Inti dari Upacara Tabot adalah untuk mengenang keluarga dan para
pecinta Ahlul Bait as dalam mengumpulkan potongan tubuh Husein dan memakamkannya di
Padang Karbala. Istilah Tabot berasal dari kata Arab Tabut yang secara harfiah berarti “kotak
kayu” atau “peti”.

Tadisi itu diduga bermuara dari upacara berkabung yang dibawa oleh para tukang
yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para pekerja yang
merasa serupa dan secocok dengan tata hidup masyarakat Bengkulu memutuskan tinggal dan
mendirikan pemukiman baru yang disebut Berkas, sekarang dikenali dengan nama Kelurahan
Tengah Padang. Para Pekerja yang memilih tinggal di Bengkulu itu dipimpin oleh Syeikh
Burhanuddin. Tradisi yang dibawa dari Madras dan Bengali diwariskan kepada keturunan
mereka yang telah berasimilasi dengan masyarakat Bengkulu asli. Keturunan mereka dikenal
dengan sebutan orang-orang Sipai.

Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya tersebut mengalami asimilasi dan
akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan dan di lembagakan yang
kemudian dekenal dengan sebutan upacara Tabot. Upacara Tabot ini semakin luas dari
Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan
Singkil. Namun dalam perkembangannya, upacara Tabot tidak bertahan lama di banyak
tempat. Hingga akhirnya hanya terdapat di dua tempat, yakni Bengkulu dengan nama Tabot
dan di Pariaman, Sumatera Barat sekitar tahun 1831 upacara tradisional ini dikenal dengan
istilah Tabuik dan ada juga yang menyebutnya Tabut. Kedua Upacara itu mempunyai
substansi sama, namun cara pelaksaannya sedikit berbeda.

Di kalangan suku Banjar yang merupakan muslim Sunni di Kalimantan, Hari Asyura
dirayakan ekspresi kegembiraan dengan membuat bubur Asyura yang terbuat dari beras dan
campuran 41 macam bahan yang berasal dari sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan.
Bubur Asyura tersebut akan disajikan sebagai hidangan berbuka puasa sunat Hari Asyura.
Perayaan Asura ini dilaksanakan pada bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender
kamariyah, tepatnya pada tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 10 tersebut orang-orang
disibukan dengan membuat bubur asura. Sebelumnya dilakukan dulu acara sumbangan untuk
mengumpulkan dana pembuatan bubur asura. Kegiatan pembuatan bubur asura ini dilakukan
pihak ibu-ibu. Apabila sudah masak, maka kaum laki-laki dikampung itu besaruan. Setelah
terkumpul maka bubur itu dihidangkan dan dibacakan doa selamat oleh orang alim, dan acara
pun selesai.

            Bubur Asura itu terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dan dicampur dengan
segala macam sayur-sayuran. Pembuatan bubur ini konon merupakan kenangan terhadap
suatu peristiwa pada zaman dahulu, ketika dalam suasana terkepung dan kekurangan
makanan, dikumpulkan segala macam tumbuh-tumbuhan yang tumbuh disekitarnya dan
dicampur dengan persedian bahan makanan yang ada menjadi bubur yang bisa dimakan. Ini
adalah kisah dari Sayyidina Hasan dan Husin yang menimpa mereka beserta rombongan di
karbala. Sehingga orang Banjar mengambil hikmah dari kisah tersebut dengan meniru-niru
kegiatan mereka.

Pembuatan bubur asyura ini diperingati untuk mengenang sekaligus mengambil


hikmah dari berbagai peristiwa bersejarah bagi kaum Muslim sejak Nabi Adam alaihi salam
(AS), manusia pertama yang diciptakan Allah SWT hingga kenabian Muhammad SAW, rasul
terakhir sampai akhir zaman.

Disebutkan dalam kitab:

1. Nihayatuz Zain (Syeikh Nawawi)


2. Nuzhatul Majalis (Syeikh Abdul Rahman Al-Usfuri)
3. Jam’ul Fawaid ( Syeikh Daud al-Fatani)
Bahwa ketika bahtera Nabi Nuh berlabuh di Bukit Judi, baginda menyuruh kaumnya
mengumpullkan barang makanan yang ada. Antara bahan yang dapat dikumpulkan ialah
kacang baqila’/ kacang ful, kacang adas, ba’ruz , tepung , kacang hinthoh dan lain-lain.
Semuanya ada tujuh jenis bijian lalu dimasak.

Dalam syair Imam Ibnu Hajar al-Asqalani pula dinyatakan: “Pada Hari ‘Asyura ada 7
yang dimakan yaitu gandum (tepung), beras, kemudian kacang mash (kacang kuda), dan
kacang adas (kacang dal). Dan kacang himmash (kacang putih), dan kacang lubia (sejenis
kacang panjang) dan kacang ful.”

Tentunya karena bukan hadis nabi yang shahih tradisi ini bukanlah merupakan
sesuatu yang bersifat Sunnah Rasul namun tidaklah jadi kesalahan kepada siapa saja yang
ingin memasak, menjamu atau memakan bubur yang dinamakan bubur ‘Asyura itu.
Sementara itu, sejumlah ulama atau pemuka agama Islam suku Banjar selalu mengingatkan,
pembuatan bubur asyura bukan perintah Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW, tapi
hanya sebuah tradisi. Oleh karena itu kaum Muslim berhati-hati dalam menyikapi hari asyura
ataupun niat dalam pembuatan bubur asyura agar jangan sampai menimbulkan kesyirikan
atau kemusyrikan. Pergunakan tradisi ini untuk memperolah pahala bersilaturrahim, pahala
bergotong-royong, pahala memberi orang makan, dan menunjukkan indahnya persaudaraan
umat Islam.

11. HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH

A. SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA

Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan
diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid’ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan
syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai
tasyabbuh dengan orang Yahudi.

“Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai
di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.”

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-
orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka
menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil
dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau
Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka
kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.”
Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa
jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya.
Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.

Diriwayatkan pada hadits lain.

“Artinya : Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh
berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”

“Artinya : Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang
Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu”

“Artinya :Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari


Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun
kemarin”

B. CARA BERPUASA DI HARI ASYURA

1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan
al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2: “Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah
sehari sebelum dan setelahnya.”

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:


“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah
kalian menyerupai orang Yahudi.”

Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata
(dalam Zaadud Ma’al 2/76):”Ini adalah derajat yang paling sempurna.” Syaikh Abdul Haq
ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang Utama.”

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan
termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah
Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam
Ma’arifus Sunan 5/434

Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan
untuklebih hati-hati.Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam
Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam
menentukan awal bulan.
2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram

Mayoritas Haditsnya menunjukkan cara ini: “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat
berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada
tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
wafat.”

Dalam riwayat lain :

“Artinya : Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan
puasa pada hari kesembilan.”

“Artinya : Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan Yahudi,


berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :”Keinginan beliau untuk berpuasa
pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada
tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan
dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan
Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat
Muslim”

3. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram

“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari
sebelumnya atau sehari setelahnya”

Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):

a. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.

b. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah

c. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada
perawi jalan/sanad marfu’

Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah
karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.

Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49):”Dalam sebagian riwayat disebutkan
atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang
menunjukkan kebolehan….”
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):”Dan ini adalahl akhir perkara Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki
ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang
musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi
ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk
dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :”Kami lebih
berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli
kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.”

Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :”Berdasarkan ini, seandainya tidak


berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11″

4. Berpuasa pada 10 Muharram saja

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang
terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan
tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a’lam.”

C. BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA

1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura

2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.

3. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.

4. Membakar kemenyan.

5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.

6. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun
(Sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif)

7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin

8. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.

9. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):”Adapun pernyataan sebagian orang yang


menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim,
menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-
Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan
keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-
amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini
(10 Muharram) maka hukumnya adalah bid’ah.”
Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang
belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun
yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah
bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam
(kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah
dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah
perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat
kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari
lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”

Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu
Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata : “Hadits-hadits tentang bercelak
pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-
fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.

“Artinya : Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura,


niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.

Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak,
memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta.
Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan
dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah.
Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.

Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata :
“Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-
Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan
Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122

Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan


keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak
sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.

“Artinya : Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di
tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.

Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain. Adapun haditsnya; “Artinya :
Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah
sakit selamanya”

Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai
hadits maudlu (palsu).
Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul
Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-
Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para
pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.

12. Pesta Duka Di Hari ‘Asyura

Berbagai keyakinan sesat Syiah tentang pesta duka di bumi Karbala yang mereka
peringati setiap tanggal sepuluh Muharram (hari ‘Asyura). Mereka melakukan berbagai
bentuk penyiksaan diri dengan benda-benda tajam, seperti rantai besi, pedang, cambuk dan
benda tajam lainnya. Hal itu mereka yakini sebagai bukti cinta mereka kepada Ahlul Bait
(Keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yang diwujudkan dalam bentuk
kesedihan dan kedukaan atas terbunuhnya cucu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Husain
Radhiyallahu ‘anhuma di tempat tersebut.

A. PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA

Hari ‘Asyura, orang-orang Syiah meyakininya sebagai hari sial yang membawa
celaka. Sejak awal bulan Muharram (bahkan selama sebulan penuh) mereka tidak melakukan
hal-hal penting di rumah, seperti tidak bepergian, tidak melakukan pernikahan, tidak berhias,
tidak memakai pakaian yang bagus, tidak memakan makanan yang enak dan lain-lain. Anak
yang lahir di bulan Muharram mereka yakini bernasib sial.

Secara khusus, pada hari ‘Asyura, mereka melakukan ritual yang amat mengerikan
dengan menyiksa diri dengan benda-benda keras dan tajam. Semangat untuk menyakiti dan
melukai tubuh sendiri akan kian terlucut dengan rangsangan sya’ir-sya’ir kisah terbunuhnya
Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu di padang Karbala yang diperdengarkan, karya tokoh-
tokoh Syi’ah. Kisah tersebut dibumbui dengan berbagai kebohongan serta cacian terhadap
para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Jika para pembaca kurang yakin silakan saksikan apa yang sedang berlangsung di
padang Karbala pada hari Asyura. Mereka berdatangan dari berbagai negara, dengan
berpakaian serba putih. Sambil bergoyang pelan, mereka melantunkan kata ‘haidar’, ‘haidar’.
Selanjutnya, sebilah pedang mereka ayun-ayunkan ke salah satu bagian tubuh secara
perlahan, sehingga tubuh mereka bersimbah darah. Perayaan duka di Karbala ini lebih
dikenal di kalangan Syiah dengan sebutan ritual al-Husainiyyah.

Penyiksaan diri pada hari ‘Asyura tersebut tidak hanya dilakukan di bumi Karbala
saja, tetapi juga dilakukan oleh kelompok Syiah di berbagai tempat lain. Menurut mereka,
kegiatan penyiksaan diri pada sepuluh Muharram itu memiliki nilai ibadah yang tinggi,
sebagaimana diungkapkan oleh imam-imam mereka.

B. UNGKAPAN PARA TOKOH SYIAH TENTANG HUKUM DAN KEUTAMAAN


PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA

Salah seorang dari tokoh Syiah telah menulis buku khusus tentang ritual pada hari
‘Asyura di Karbala dengan judul al-Mâjalis al-Fâkhirah Fi Ma’âtimil ‘Ithrahi ath-Thâhirah[2]
atau menurut penulis, kitab tersebut berjudul Manâsik al-Husainiyyah.

Salah seorang tokoh mereka menyebutkan bahwa ritual penyiksaan diri pada hari
‘Asyura di Karbala dimulai pada abad IV Hijriah pada masa dinasti al-Buwaihi. Kemudian
berlanjut pada masa dinasti al-Fathimiyah. Acara tersebut sekarang ini diselenggarakan di
negara-negara berpenduduk mayoritas orang-orang Syiah. Seperti Irak, Iran, India, Siria, dan
daerah lain-lain sekitarnya dari golongan Syiah.

Ad-Dimastâni, ulama Syiah yang lain menegaskan : “Meratapi kematian Husain


dengan berteriak-teriak hukumnya wajib ‘aini (wajib atas setiap pribadi)”.

Ayatullah al-‘Uzhma syaikh Muhammad Husain an-Nâti berkata : “Tidak ada masalah
tentang hukum bolehnya memukul pipi dan dada dengan tangan sampai merah dan
menghitam. Dan lebih ditekankan lagi, memukul pundak dan punggung dengan rantai sampai
kulit kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu menyebabkan
keluarnya darah. Begitu pula mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan
pedang”

Setelah menyimak berbagai ungkapan tokoh-tokoh Syiah Rofidhoh di atas dapat kita
ketahui bahwa apa yang dinisbahkan kepada mereka itu benar. Dan bukanlah sebuah isu yang
dibuat-buat.

Bila ungkapan-ungkapan tersebut kita sorot dengan cahaya al-Qur’ân dan petunjuk
Sunnah serta keyakinan para ulama Salaf, niscaya akan dijumpai jurang pemisah yang sangat
dalam antara keyakinan orang-orang Syiah dengan keyakinan kaum Muslimin.

C. SESATNYA PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA

Kekeliruan dan kesesatan acara pesta duka tidak sulit untuk dilacak. Sebab terdapat
banyak pelanggaran terhadap ajaran Islam. Berikut ini, keterangannya:

1. Ibnu Katsîr rahimahullah berkata:

“Setiap muslim akan merasa sedih atas terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma.
Sesungguhnya dia adalah salah seorang dari generasi terkemuka kaum muslimin, juga salah
seorang ulama di kalangan para Sahabat, dan anak dari putri kesayangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah seorang ahli ibadah, seorang pemberani dan pemurah.
Tentang apa yang dilakukan Syiah (di hari ‘Asyura) seperti bersedih-sedih dan berkeluh-
kesah merupakan tindakan tidak pantas. Boleh jadi, itu mereka lakukan adalah karena pura-
pura dan riya. Sesungguhnya ayah Husain (‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhuma) jauh
lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Akan tetapi,
mereka tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari berkabung layaknya hari kematian
Husain Radhiyallahu ‘anhuma (yang diperingati). ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu
terbunuh pada hari Jum’at saat keluar rumah mau melaksanakan shalat Subuh, pada tanggal
tujuh belas Ramadhan, tahun 40 H.

Demikian juga ‘Utsmân Radhiyallahu ‘anhu, beliau lebih mulia dari ‘Ali
Radhiyallahu ‘anhu dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau dibunuh saat terjadi
pengepungan terhadap rumahnya, pada hari tasyriîq di bulan Dzulhijjah, tahun 36 H. Beliau
disembelih dari urat nadi ke urat nadi. Tidak pernah ada orang berduka di hari kematiannya.

Demikian pula halnya ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu. Beliau lebih afdhal
dari ‘Utsmân dan ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma. Terbunuh di mihrab saat shalat Subuh saat
sedang membaca al-Qur’ân. Namun, tidak ada orang yang menjadikan hari kematiannya
sebagai hari berduka.

Dan demikian juga Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu ‘anhu. Beliau lebih afdhal
dari ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, tidak pernah hari kematiannya dijadikan sebagai
hari berkabung.

Allah Azza wa Jalla telah memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


penghulu anak Adam di dunia dan akhirat, sama seperti para nabi sebelumnya. Namun, tidak
ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari bela sungkawa, atau melakukan
perbuatan orang-orang dari sekte Syiah pada hari kematian Husain. Tidak seorang pun
menyebutkan bahwa terjadi sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa
yang disebutkan Syiah pada hari kematian Husain. Seperti terjadinya gerhana matahari,
adanya cahaya merah di langit dan lain-lain”

2. Syaikh Fâdhil ar-Rûmi rahimahullah, seorang ulama Dinasti Utsmaniyah


mendudukkan kesalahan Syiah dalam masalah ini :

“Adapun menjadikan tanggal sepuluh Muharram sebagai hari berduka karena


terbunuhnya Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma yang dilakukan kaum Syiah, hal itu
adalah perbuatan orang-orang sesat sewaktu di dunia. Tetapi, mereka mengira telah
melakukan sesuatu yang amat baik. Padahal, Allah Azza wa Jalla dan Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam saja tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah para nabi
atau hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi terhadap hari kematian orang-orang
yang kedudukannya di bawah mereka.

Pada kesempatan lain beliau menyatakan: “Diantara bentuk bid’ah yang dilakukan
sebagian manusia pada hari ‘Asyura adalah menjadikan hari tersebut sebagai hari berduka.
Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa diri pada hari tersebut. Disamping itu, mereka
mencaci para Sahabat Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah meninggal,
berdusta atas nama keluarga Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam, dan melakukan berbagai
kemungkaran lainnya yang dilarang dalam al-Qur’ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam serta kesepakatan kaum Muslimin.

Sesungguhnya, Husain Radhiyallahu ‘anhuma telah dimuliakan Allah Azza wa Jalla


dengan menjadikannya sebagai orang yang mati syahid pada hari tersebut. Dia dan
saudaranya Hasan adalah dua pemuda penghuni Jannah. Sekalipun terbunuhnya dua orang
bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan tetapi Allah Azza wa Jalla
mensyariatkan bagi kaum muslimin ketika mengalami musibah untuk mengucapkan kalimat
istirjâ’ (innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn).

Kalimat istirjâ’ merupakah salah satu anugerah yang hanya diberikan kepada umat
Islam. Sa’id bin Jubair Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kalimat istirjâ’ tidak diberikan bagi
umat-umat lain kecuali untuk umat ini (umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Jika seseorang diberi (sebelumnya, red) tentu akan diberikan kepada Nabi Ya’qub
Alaihissalam. Tidakkah Anda perhatikan beliau mengucapkan sebagai ganti kalimat istirjâ’
aduhai, betapa sedihnya kehilangan Yusuf'”

Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kalimat


istirjâ’. Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, maka ia ucapkan ‘innâ
lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn’, (dan berdoa) ya Allah beri aku pahala atas musibah yang
menimpaku, gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya, melainkan Allah akan
memberinya pahala untuknya atas musibah itu dan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik
dari yang ia alami” [HR. Muslim 2/632 no (918]

3. Adapun melakukan sesuatu yang dilarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pada hari peringatan musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama, perbuatan
ini dosanya akan lebih besar lagi. Apalagi, jika disertai dengan memukul-mukul muka,
merobek-robek baju, berteriak-teriak yang merupakan kebiasaan bangsa Jahiliyyah, melaknat
dan mencaci orang-orang Mukmin (para Sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum), serta
membantu orang-orang zindiq untuk merusak Islam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan hukum menyiksa diri atas
peristiwa musibah yang menimpa seseorang dalam hadits berikut ini: “Tidak termasuk
golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju dan berteriak-teriak
seperti orang-orang jahiliyah” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada empat
perkara yang termasuk perkara jahiliyah terdapat di tengah umatku; berbangga dengan
kesukuan, mencela keturunan (orang lain), meminta hujan dengan bintang-bintang dan
meratapi mayat”
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan: “Wanita yang meratapi
mayat apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, ia akan dibangkit pada hari kiamat dengan
memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta” [HR. Muslim]

Abu Musa al-Asy ‘ari Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berlepas diri orang-orang
yang Rasulullah berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita
yang mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-robek
baju (saat ditimpa musibah)” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

4. Pelanggaran lain dalam bentuk mencela para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.

Banyak sekali ayat maupun hadits yang menerangkan keutaman Sahabat. Dan
sebaliknya juga terdapat nash-nash yang mengharamkan melaknat dan mencaci para Sahabat.
Secara khusus, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dengan tegas umatnya
mencela para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum : “Jangan kalian mencela para sahabatku.
Seandainya salah seorang kalian mengimfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak
akan sampai (nilainya) segegam (pahalanya) salah seorang mereka dan tidak pula
separohnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Maka, berdasarkan hadits ini, seorang mukmin wajib memuliakan mereka dan
menyebut mereka dengan kebaikan serta menahan lisan dari mencela mereka.
Peristiwa terbunuhnya ‘Utsmân dan Husain Radhiyallahu ‘anhuma menyebabkan terjadinya
fitnah yang besar dan tersebarnya kedustaan yang banyak. Akibatnya, muncul berbagai
bentuk kesesatan dan bid’ah-bid’ah, menjerumuskan sebagian generasi umat ini sejak dulu
sampai sekarang. Beragam kedustaan dan kesesatan serta bid’ah-bid’ah semakin hari semakin
bertambah dan berkembang. Dan telah menimbulkan berbagai akibat-akibat yang tidak
mungkin kita urai dalam bahasan singkat ini.

Imam al-Ghazâli rahimahullah dan ulama lainnya berkata : “Diharamkan para


penceramah untuk meriwayatkan kisah terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma, juga
tentang hal-hal yang terjadi antara sesama para Sahabat dalam perselisihan dan pertikaian
mereka. Karena, hal itu dapat memotivasi orang untuk membenci para Sahabat Radhiyallahu
anhum dan mencela mereka. Mereka adalah teladan umat, dimana para ulama mendapatkan
ilmu melalui mereka. Kemudian ilmu tersebut sampai kepada kita melalui para ulama yang
mengambil ilmu dari mereka. Maka, orang yang mencela mereka adalah orang yang mencela
diri dan agamanya”.

Ibnu Shalâh rahimahullah dan Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Para Sahabat
seluruhnya adalah adil (terpercaya). Saat wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
jumlah Sahabat mencapai seratus empat belas ribu (114.000) orang. Al-Qurân dan Hadits
telah menyatakan akan keadilan (ketakwaan) dan kemuliaan mereka. Dan segala sesuatu yang
terjadi di antara mereka, terdapat pertimbangan-pertimbangan (yang membuat mereka tidak
dihukumi telah berbuat kesalahan murni, red) yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu
dalam tulisan singkat ini.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah : “Itu adalah peristiwa pertumpahan darah yang Allah
menghindarkan tangan-tangan kita darinya. Maka hendaklah kita mensucikan lidah kita dari
membicarakannya”.
13. Kesimpulan

Pada Intinya, Peringatan Asyura mempunyai pengaruh luar biasa di seluruh pelosok
penjuru dunia. Saat Perjuangan dalam berbagai sejarah dan peristiwa-peristiwa penyelamatan
akidah umat sehingga dapat diterima oleh seluruh kalangan dan berbagai suku. Misi
perjuangan yang bukan milik kaum tertentu, tapi untuk semua kaum di muka bumi ini.
Referensi

1. (Hadith riwayat Muslim dan Abu Daud) Dari Ibn ‘Abbas katanya: “Ketika
nabi berpuasa pada hari ‘Asyura, dan baginda menyuruh para sahabat
berpuasa padanya. ”Para Sahabat berkata: “Wahai rasulullah, sesungguhnya hari
itu hari yang dibesarkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasara.” Lalu sabda nabi
: “Maka pada tahun hadapan in sya Allah kita akan berpuasa (bermula) pada
hari kesembilan.” Lalu Ibn ‘Abbas menceritakan: “Tidak sempat datang tahun
hadapan, nabi diwafatkan (oleh Allah).”
2. Sahih Bukhari 1900; Sahih Muslim 1130
3. Javed Ahmad Ghamidi. Mizan, The Fast, Al-Mawrid
4. Ayyatullahi, Sayyid Mehdi (2005). Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Jakarta: Penerbit Al-Huda. ISBN 979-3515-42-2.
5. https://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Asyura
6. http://www.albayyinat.net/asyurt.html
7. http://ustadqomari.blogspot.co.id/2013/11/peringatan-asy-syura.html
8. http://ahlulbaitnabisaw.blogspot.com/2014/07/peringatan-asyura-dari-irak-
hingga.html
9. Consultant-Speaker-Motivator: www.ahmad-sanusi-husain.com 
10. Alfalah Consulting - Kuala Lumpur : www.alfalahconsulting.com
11. Islamic Investment Malaysia: www.islamic-invest-malaysia.com
12. Pelaburan Unit Amanah Islam: www.unit-amanah-islam.com
13. http://www.ahmad-sanusi-husain.com/2012/11/sejarah-hari-asyura-10-
muharram.html
14. Azra, Azyumardi.“Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu
Kalimantan”, dalam Aswab Mahasin (ed.),  Ruh Islam dalam Budaya Bangsa
Aneka Budaya Nusantara. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996.
15. Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar. Jakarta:  PT RajaGrapindo Persada, 1997.
16. Ideham,Suriansyah. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2005.
17. Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam Representasi dan
Ideologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
18. Wajidi. Akluturasi Budaya Banjar di Banua Halat. Yogyakarta, Pustaka Book
Publisher, 2011.
19. Yusuf,Khudori. “Maulid”, http://dc308.4shared.com,(diakses pada tanggal 8
mei 2012).
20. Zainuddin,Hasan.“Kehidupan Islam Kalsel”,http:
hasanzainuddin.wordpress.com, (diakses pada tanggal 3 mei 2012).
21. Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam Representasi dan Ideologi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 386.
22. Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar (Jakarta:  PT RajaGrapindo Persada, 1997), 5.
23. Hasan Zainuddin, “Kehidupan Islam Kalsel”, http:
hasanzainuddin.wordpress.com, (diakses pada tanggal 3 mei 2012).
24. Wajidi, Akluturasi Budaya Banjar di Banua Halat (Yogyakarta, Pustaka Book
Publisher, 2011), xix-xx.
25. Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”,
dalam Aswab Mahasin (ed.),  Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya
Nusantara (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), 191.
26. Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Badan Penelitian
dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2005), 45-46.
27. Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar, 318.
28. Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, 319-339.
29. Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam Representasi dan Ideologi, 100.
30. http://hanafialrayyan.blogspot.co.id/2012/09/peraaan-keagamaan-di-
kalimantan-selatan.html http://yan-latifah.blogspot.co.id/2013/11/bubur-asyura-
tradisi-suku-banjar.html
31. Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril
Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu
Saif Ahmad Abu Ali
32. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad
6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733,
Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq
4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya
5/253
33. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud
2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288,
Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
34. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib
Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan
bapaknya keduanya Dha’if.
35. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-
Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
36. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297,
308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
37. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam
Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta
Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
38. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345,
Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-
Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
39. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam
Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha
telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim
Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
40. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095,
Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam
Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88
41. https://kuikutsunnah@gmail.com
42. https://kaffah4829.wordpress.com/artikel/hari-asyura-10-muharram-antara-
sunnah-dan-bid’ah/
43. http://islamindonesia.id/berita/peringatan-asyura-di-berbagai-negara.htm
44. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
45. Penisbatan kepada nama Husain Radhiyallahu ‘anhuma
46. Man Qatalal Husain, hal: 56,60,65-66
47. al-Bidâyah wan Nihâyah (8/208)
48. Majâlisul Abrâr majlis no 37.
49. Diriwayatkan Imam ath-Thabari rahimahullah dalam Tafsirnya (13/39)
50. Lihat “Ash shawa’iq Al Muhriqoh” karangan Al Haitamy: 2/640.
51. https://almanhaj.or.id/2607-pesta-duka-di-hari-asyura.html
52. Nidia Zuraya, ed: Syahruddin el-fikri, e-Majalah Republika islam bigest, B6-
B7, Ahad 12 Desember 2010.

Anda mungkin juga menyukai