Anti Toksin
Anti Toksin
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
Penyusun
halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
PRAKATA ..................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Prospek Masa Depan .................................................................... 2
1.3 Kerja dan Efek Toksik .................................................................... 3
II. RACUN ALAMI PADA TANAMAN PANGAN DAN PENCEGAHAN 6
KERACUNANNYA ...............................................................................
2.1 2.1 Kacang merah (Phaseolus vulgaris) ...................................... 6
2.2 2.2 Singkong ................................................................................ 6
2.3 2.3 Pucuk bambu (rebung) ........................................................... 7
2.4 2.4 Biji buah-buahan .................................................................... 7
2.5 2.5 Kentang .................................................................................. 7
2.6 2.6. Tomat Hijau ........................................................................... 8
2.7 2.7. Parsnip (semacam wortel) ..................................................... 8
2.8 2.8. Seledri .................................................................................. 8
2.9 2.9. Zucchini (semacam ketimun) ................................................ 9
2.10 2.10. Bayam ................................................................................. 9
III. TOKSIKOLOGI TUMBUHAN .............................................................. 11
3.1 Senyawa Racun pada Tanaman ................................................... 11
3.2 Absorpsi Tokson ............................................................................ 12
3.3 Mekanisme Kerja Efek Toksik ....................................................... 15
IV FAKTOR YANG PENENTU RESIKO TOKSISITAS ............................ 18
4.1 4.1 Faktor Penentu Resiko pada Fase Eksposisi .......................... 18
4.1.1. Dosis ................................................................................... 18
4.1.2. Dosis .................................................................................. 18
4.1.3. Dosis .................................................................................. 18
4.1.3. Keadaan Fungsi Organ yang Kontak .................................. 19
No teks halaman
2.1 Contoh racun yang terkandung pada tanaman pangan dan gejala 9
keracunannya .....................................................................................
5.1 Kriteria Ketoksikan akut xenobiotika ................................................... 27
No teks halaman
BAB I.
PENDAHULUAN
BAB II.
RACUN ALAMI PADA TANAMAN PANGAN DAN PENCEGAHAN
KERACUNANNYA
2.2 Singkong
Singkong mengandung senyawa yang berpotensi racun yaitu linamarin
dan lotaustralin. Keduanya termasuk golongan glikosida sianogenik. Linamarin
terdapat pada semua bagian tanaman, terutama terakumulasi pada akar dan
daun. Singkong dibedakan atas dua tipe, yaitu pahit dan manis. Singkong tipe
pahit mengandung kadar racun yang lebih tinggi daripada tipe manis. Jika
singkong mentah atau yang dimasak kurang sempurna dikonsumsi, maka racun
tersebut akan berubah menjadi senyawa kimia yang dinamakan hidrogen
sianida, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Singkong manis
mengandung sianida kurang dari 50 mg per kilogram, sedangkan yang pahit
mengandung sianida lebih dari 50 mg per kilogram. Meskipun sejumlah kecil
sianida masih dapat ditoleransi oleh tubuh, jumlah sianida yang masuk ke tubuh
tidak boleh melebihi 1 mg per kilogram berat badan per hari. Gejala keracunan
sianida antara lain meliputi penyempitan saluran nafas, mual, muntah, sakit
kepala, bahkan pada kasus berat dapat menimbulkan kematian. Untuk
2.5 Kentang
Racun alami yang dikandung oleh kentang termasuk dalam golongan
glikoalkaloid, dengan dua macam racun utamanya, yaitu solanin dan
chaconine. Biasanya racun yang dikandung oleh kentang berkadar rendah dan
2.7. Parsnip
Parsnip mengandung racun alami yang disebut furokumarin
(furocoumarin). Senyawa ini dihasilkan sebagai salah satu cara tanaman
mempertahankan diri dari hama serangga. Kadar racun tertinggi biasanya
terdapat pada kulit atau lapisan permukaan tanaman atau di sekitar area yang
rusak. Racun tersebut antara lain dapat menyebabkan sakit perut dan nyeri
pada kulit jika terkena sinar matahari. Kadar racun dapat berkurang karena
proses pemanggangan atau perebusan. Lebih baik bila sebelum dimasak,
parsnip dikupas terlebih dahulu.
2.8. Seledri
Seledri mengandung senyawa psoralen, yang termasuk ke dalam
golongan kumarin. Senyawa ini dapat menimbulkan sensitivitas pada kulit jika
terkena sinar matahari. Untuk menghindari efek toksik psoralen, sebaiknya
hindari terlalu banyak mengkonsumsi seledri mentah, dan akan lebih aman jika
seledri dimasak sebelum dikonsumsi karena psoralen dapat terurai melalui
proses pemasakan.
2.10. Bayam
Asam oksalat secara alami terkandung dalam kebanyakan tumbuhan,
termasuk bayam. Namun, karena asam oksalat dapat mengikat nutrien yang
penting bagi tubuh, maka konsumsi makanan yang banyak mengandung asam
oksalat dalam jumlah besar dapat mengakibatkan defisiensi nutrien, terutama
kalsium. Asam oksalat merupakan asam kuat sehingga dapat mengiritasi
saluran pencernaan, terutama lambung. Asam oksalat juga berperan dalam
pembentukan batu ginjal. Untuk menghindari pengaruh buruk akibat asam
oksalat, sebaiknya kita tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung
senyawa ini terlalu banyak.
Tabel 2.1. Contoh racun yang terkandung pada tanaman pangan dan gejala
keracunannya
Fitoaleksin adalah zat toksin yang dihasilkan oleh tanaman dalam jumlah
yang cukup hanya setelah dirangsang oleh berbagai mikroorganisme patogenik
atau oleh kerusakan mekanis dan kimia. Fitoaleksin dihasilkan oleh sel sehat
yang berdekatan dengan sel-sel rusak dan nekrotik sebagai jawaban terhadap
zat yang berdifusi dari sel yang rusak. Fitoaleksin terakumulasi mengelilingi
jaringan nekrosis yang rentan dan resisten. Ketahanan terjadi apabila satu jenis
fitoaleksin atau lebih mencapai konsentrasi yang cukup untuk mencegah
patogen berkembang
Fitoaleksin adalah zat toksin yang dihasilkan oleh tanaman dalam jumlah
yang cukup hanya setelah dirangsang oleh berbagai mikroorganisme patogenik
atau oleh kerusakan mekanis dan kimia. Fitoaleksin dihasilkan oleh sel sehat
yang berdekatan dengan sel-sel rusak dan nekrotik sebagai jawaban terhadap
zat yang berdifusi dari sel yang rusak. Fitoaleksin terakumulasi mengelilingi
jaringan nekrosis yang rentan dan resisten. Ketahanan terjadi apabila satu jenis
fitoaleksin atau lebih mencapai konsentrasi yang cukup untuk mencegah
patogen berkembang
BAB III.
TOKSIKOLOGI TUMBUHAN
xenobiotika yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan seringkali
merupakan tahap yang paling lambat, oleh sebab itu akan menjadi faktor
penentu kecepatan ketersediaan hayati obat. Tetapi sebaliknya, untuk
xenobiotika yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat
sedangkan laju lintas xenobiotika melewati membran sel merupakan tahap
paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.
Pada pemakaian oral (misal sediaan dalam bentuk padat), maka terlebih
dahulu kapsul/tablet akan terdisintegrasi, sehingga xenobiotika akan
terdisolusi/terlarut di dalam cairan saluran pencernaan (lumen). Tokson yang
terlarut ini akan terabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan
ditranspor melalui pembuluh kapiler mesenterika menuju vena porta hepatica
menuju hati sebelum ke sirkulasi sistemik.
Umumnya absorpsi ditentukan oleh pH cairan lumen serta pKa dan laju
pelarutan dari suatu xenobiotika. Pariabel biologi lainnya, seperti ada tidaknya
makanan, waktu pengosongan lambung, waktu transit di saluran cerna, dan
mikro-flora usus, mungkin juga dapat mempengaruhi laju absorpsi dan jumlah
xenobiotika yang akan terabsorpsi. Telah dilaporkan bahwa, selama di dalam
saluran cerna mungkin terjadi penguraian kimia baik yang terjadi akibat proses
kimia (misalnya hidrolisis ester) atau akibat penguraian oleh mikro flora usus,
seperti reduksi senyawa azo menjadi amina aromatik yang lebih bersifat toksik
dari senyawa induknya.
Beberapa faktor yang mungkin berpengaruh pada jumlah xenobiotika
yang mampu mencapai system sirkulasi sistemik dalam bentuk bebasnya
setelah pemberian oral (ketersediaan hayati) adalah:
1. pH yang extrim, dimana mungkin berpengaruh pada stabilitas
xenobiotika. Seperti telah diketahui pH lambung adalah sangat asam dan
pH lambung bervariasi untuk spesies yang berbeda, seperti pada tikus
pH labungnya berkisar 3,8 - 5,0, dan pada kelinci berkisar 3,9.
sedangkan pH lambung manusia berkisar 1 - 2. Telah dilaporkan
terdapat beberapa senyawa obat yang stabilitasnya menurun dalam pH
asam. Sebagai contoh, obat eritromisin memiliki sifat kestabilan yang
bergantung pada pH. Dalam suatu media yang bersifat asam, seperti
cairan lambung, peruraian terjadi secara cepat, sedangkan pada pH
netral atau alkali eritromisin relative stabil. Sehingga obat-obat seperti itu
tidak diharapkan mengalami kontak dengan cairan asam lambung. Oleh
sebab itu pada perencanaan formulasi sediaan farmaseutika
kebanyakan obat seperti ini dibuat missal dalam bentuk tablet salut
enterik, sehingga tablet tersebut tidak akan pecah di dalam cairan
lambung melainkan di dalam usus halus.
2. Enzim-enzim hidrolisis, saluran cerna kaya terhadap berbagai enzim
hidrolisis non spesifik, seperti: enzim lipase, protease, amilase. Enzim-
enzim ini mungkin juga dapat menguraikan xenobiotika selama berada di
saluran cerna.
3. Mikroflora usus, telah dilaporkan bahwa mikroflora usus dapat
menguraikan molekul xenobiotika menjadi produk metabolik yang
mungkin tidak mempunyai aktifitas farmakologik dibandingkan dengan
senyawa induknya atau bahkan justru membentuk produk metabolik
dengan toksisitas yang lebih tinggi. Umumnya mikroflora usus hidup di
saluran pencernaan bagian bawah dan di saluran cerna bagian atas
umumnya steril karena pH lambung yang relatif asam. Namun
belakangan telah ditemukan juga bahwa terdapat mikroba yang sanggup
hidup di dalam cairan lambung, yaitu heriobakter vilori .
4. Metabolisme di dinding usus, dinding usus dengan bantuan enzim-enzim
katalisis mempunyai kemampuan untuk melakukan metabolisme (reaksi
biokimia) bagi senyawa tertentu sebelum mencapai pembuluh darah
vena hepatika. Enzim-enzim yang banyak dijumpai pada dinding saluran
cerna seperti umumnya enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis dan
konjugasi (seperti reaksi kunjugasi glukuronat), reaksi monoamine
oksidase, dan beberapa enzim yang mengkatalisis reaksi oksidatif
lainnya seperti CYP3A4/5 (sitokrom3A4/5).
5. Metabolisme di hati. Setelah xenobiotika diabsorpsi dari saluran cerna
maka dari pembuluh-pembuluh kapiler darah di mikrovili usus melalui
pembuluh vena hepatika menuju hati. Hati adalah tempat utama
terjadinya reaksi meabolisme. Telah banyak dilaporkan, bahwa sebagian
dari xenobiotika telah mengalami reaksi metabolisme di hati sebelum
terbatas, terutama sejauh ditimbulkan efek toksik. Dalam sub bahasan ini akan
dibicarakan beberapa mekanisme utama yang penting.
Gambar 3.2. Difusi bentuk non-ion senyawa asam dan basa melalui membran
biologik
BAB IV.
FAKTOR YANG PENENTU RESIKO TOKSISITAS
4.1.1. Dosis
Semua zat adalah racun dantidak ada zat yang bukan racun; hanya
dosislah yang membuat suatu zat bukan racun. Hal ini berarti zat yang
potensial belum tentu menyebabkan keracunan. Hampir tiap individu dapat
dideteksi sejumlah tertentu zat seperti DDT dan timbal, tetapi zat-zat tersebut
tidak menimbulkan reaksi keracunan karena dosis yang ada masih berad
dibawah konsentrasi toksik. Setelah dosis berada pada dosis toksik maka zat
tersebut dapat menimbulkan kercunan. Hal yang sebaliknya, jika zat yang
digunakan dalam jumlah yang besar maka dapat menimbulkan kerusakan atau
keracunan bagi tubuh, bahkan air sekalipun. Karenanya perlunya pengetahuan
yang mendasari tentang resiko toksisitas suatu zat.
Dosis terutama ditentukan oleh konsentrasi dan lamanya ekposisi zat.
Racun pada konsentrasi yang rendah tetapi terdapat kontak yang lama dapat
menimbulkan efek Tosik yang sama dengan zat yang terpapar pada
konsentrasi tinggi dengan waktu kontak yang singkat.
penting adalah pakaian yang tercemar dibersihkan secara teratur dan ditangani
secara terpisah dari pakaian atau benda yang lain. Higiene kerja seseorang
penting artinya terutama dalam hal pembatasan pembentukan debu atau
pemaparan zat kimia, meminimalkan kontak antara bahan berbahaya dengan
kulit, ataupun anggota tubuh yang lain. Untuk perlunya pengetahuan dan
peraturan tentang penggunaan alat-alat kerja, sarung tangan, dan lain secara
benar.
toksikologi, paparan xenobiotika dapat terjadi melalui jalur injeksi, seperti injeksi
intravena, intramuskular, subkutan, intraperitoneal, dan jalur injeksi lainnya.
4.2 Metabolisme
Xenobiotika yang masuk ke dalam tubuh akan diperlakukan oleh sistem
enzim tubuh, sehingga senyawa tersebut akan mengalami perubahan struktur
kimia dan pada akhirnya dapat dieksresi dari dalam tubuh. Proses biokimia
yang dialami oleh ”xenobiotika” dikenal dengan reaksi biotransformasi yang
juga dikenal dengan reaksi metabolisme. Biotransformasi atau metabolism
pada umumnya berlangsung di hati dan sebagian kecil di organ-organ lain
seperti: ginjal, paru-paru, saluran pencernaan, kelenjar susu, otot, kulit atau di
darah.
Secara umum proses biotransformasi dapat dibagi menjadi dua fase,
yaitu fase I (reaksi fungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Dalam fase
pertama ini tokson akan mengalami pemasukan gugus fungsi baru,
pengubahan gugus fungsi yang ada atau reaksi penguraian melalui reaksi
oksidasi (dehalogenasi, dealkilasi, deaminasi, desulfurisasi, pembentukan
oksida, hidroksilasi, oksidasi alkohol dan oksidasi aldehida); rekasi reduksi
(reduksi azo, reduksi nitro reduksi aldehid atau keton) dan hidrolisis (hidrolisis
dari ester amida). Pada fase II ini tokson yang telah siap atau termetabolisme
melalui fase I akan terkopel (membentuk konjugat) atau melalui proses sintesis
BAB V.
TOKSIKOLOGI DAN FAKTOR PENENTU TOKSISITAS
dosis yang rendah sedangkan yang lainnya memerlukan dosis yang lebih tinggi.
Kurva seperti di atas, mengikuti pola distribusi Gaussian, namun berbeda dalam
praktisnya distribusi suatu frekuensi respon tidak selalu memenuhi pola
distribusi Gaussian.
Pada prakteknya baik uji toksikologi maupun farmakologi, dimana
percobaan invivo tidak semudah pada percobaan invitro. Karena secara invivo,
terdapat sejumlah reaksi umpan balik yang dapat terjadi, sebagai contoh:
misalnya zat yang bekerja mengubah tekanan darah. Dengan bertambahnya
perubahan tekanan darah maka mekanisme homeostasis juga akan mengubah
lebih banyak hubungan antara dosis dan efek. Kenaikan dosis biasanya akan
menyebabkan lebih banyak sistem organ yang dikenai dan akan memberikan
efek kerja yang jauh berbeda. Pada efek toksik akan menimbulkan kematian,
berbagai sistem organ akan banyak mengalami kegagalan satu persatu.
Sebaliknya, jumlah individu yang menunjukkan efek toksik atau efek terapetik
tergantung dari dosisnya.
Dalam toksikologi, kurva frekuensi-respon biasanya tidak dipergunakan.
Melainkan, adalah lazim mengeplot data dalam bentuk kurva yang
menghubungkan dosis suatu xenobiotika uji dengan persentase kumulatif
hewan uji yang memperlihatkan respon. Kurva semacam itu biasanya dikenal
sebagai kurva dosis-respon.
Hanya melalui suatu percobaan maka kita dapat memilih dosis dimana
seluruh hewan akan memberikan respon (misalnya mati) atau seluruh hewan uji
tidak memberikan respon. Dosis awal mungkin saja dosis yang demikian kecil
sehingga tidak ada efek ”mati” yang dapat diwujudkan oleh hewan uji. Pada
kelompok hewan berikutnya, dosisnya ditingkatkan dengan suatu perkalian
tetap, misal dua atau berdasarkan hitungan logaritma, sampai pada akhirnya
ditemukan suatu dosis yang cukup tinggi yang bila diberikan, akan mematikan
seluruh hewan dalam kelompk itu.
yang cukup tinggi, 100% hewan uji mati sebagai akibat pemejanan xenobiotika
uji. Hubungan ini menggambarkan bahwa respon yang timbul langsung
berkaitan dengan kadar/dosis dari suatu senyawa yang ada. Sehingga tidak
dapat disangkal bahwa bahaya atau amannya suatu senyawa kimia itu
tergantung pada dosis yang diberikan.
aman suatu toksikan dapat terserap oleh organisme tanpa menimmbulkan efek
toksik.
Konsep NOEL pada umumnya dapat diterima untuk sebagian besar jenis
wujud efek toksik, tetapi untuk beberapa efek toksik seperti karsinogennik yang
diperantrai oleh mekanisme genotoksik, konsep itu merupakan masalah yang
masih diberdebatkan. Dalam karsinogenesis, bila kurva takaran-respons
diekstrapolasi ke arah basis, bisanya melintas titik nol (Gambar 4.3) Artinya:
dengan teknik analisa yang ada, tidak terlihat NOEL, sehingga tidak dapat
disimpulkan batas aman pemejanan, karena semua peringkat takaran
pemejanan yang diuji merupakan efek toksik.
Jadi dari kasus takaran pemejanan tunggal (pemejanan akut) pada
hubungan dosis dan respon, terdapat parameter kuantitatif utama ketoksikan
racun, yaitu: LD50 dan NOEL.
Harga LD50 merupakan tolak ukur toksisitas akut racun. Semakin kecil
harga LD50 , racun berarti semakin besar potensi toksik atau toksisitas akut
racun, yang kriterian tersaji pada Tabel 5.1. Harga NOEL merupakan parameter
batas aman dosis pemejanan racun yakni: takaran tertinggi yang tidak
menimbulkan efek toksik atau kematian subjek uji
Misal harga NOEL (A) lebih kecil dibanding dengan (B), maka batas aman dosis
pemejanan racun (B) lebih besar daripada (A), meskipun toksisitas akut (B)
lebih besar daripada (A). Hal dapat terjadi, terutama bila kurva kekerabatan
dosis-respons yang dibandingkan tidak sejajar (Gambar 4.4, a), misal pada
mekanisme dan wujud toksik A dan B berbeda. Tapi bila kurva yang
dibandingkan adalah sejajar (gambar 4.4.b.) mungkin perbedaan toksisitas akut
berbanding lurus dengan perbedaan batas aman dosis pemejanan.
BAB VI.
ZAT ANTI NUTRISI
6.3 Leguminosa
Leguminosa, seperti kedelai dan kacang tanah merupakan sumber gizi
penting bagi ternak. Namun penggunaannya harus dibatasi, karena leguminosa
mengandung zat-zat antinutrisi, antara lain: Protein inhibitor (penghambat
protease), phytphaemagluttin (Lectin), urease, hypoxygenase, glukoside-
sianogenik dan faktor-faktor antivitamin. Hampir semua leguminosa
mengandung unsur penghambat tripsin, dan akan mengikat tripsin sehingga
terbentuk suatu kompleks yang inaktif. Sebagai akibatnya tripsin tidak dapat
berfungsi. Keadaan ini menyerupai dengan kejadian gangguan sintesis tripsin
oleh pankreas. Sebagai konsekuensinya, pankreas akan mengalami hipertrofi
untuk mensintesis tripsin secara berlebih. Hipertrofi pankreas akan diikuti
pada struktur zat kimia triptofan. Kelas tanaman yang penting dari indol
alkaloid adalah ergotalkoloid (ergotamine, ergokristin, dll), fescue
alkaloid (ergovalin, ergosin, ergonin, amida asam lisergat), 3-metilindol
(diproduksi oleh fermentasi triptofan dalam rumen dan b-karbolin.
Indol alkaloid beracun pada ternak yang paling penting adalah alkaloid
ergot yang diproduksi oleh jamur parasit pada biji jenis rumput-rumputan
dan biji padi-padian. Istilah ergot umumnya digunakan untuk jenis jamur
Claviceps. Tiga jenis Claviceps yang utama adalah Claviceps Purpurea,
Claviceps paspali, dan Claviceps cinerea.
Ketiga jenis jamur Claviceps tersebut terdapat pada tanaman gandum
dan beberapa rumput liar. Claviceps paspali tumbuh pada rumput
spesies paspalum (seperti Dallis dan Bahia) dan Claviceps cinerea
merupakan parasit pada beberapa rumput lainnya (seperti tobasa grass).
Ergot secara khusus menunjuk pada sclerotium yang dibentuk oleh
claviceps purporea pada saat tumbuh pada gandum (secale cereale).
Ergot digunakan untuk tujuan medis seperti pengontrol perdarahan pada
saat kelahiran.
Ergotalkaloid mengandung asam lisergat sebagai komponen dasar
(Lysergic acid diethylamide/LSD) yaitu obat halusinasi yang merupakan
perubahan pada ergot. Kelompok racun pada ergot alkaloid adalah
ergotamine, ergonovin, dan ergotoxin. Ergotamine dan ergotoxin
merupakan turunan polipeptida dari asam lysergic. Ergotoxin merupakan
campuran dari tiga alkaloid. Ergot alkaloid berpengaruh langsung pada
system stimulus pada otot halus, menyebabkan vasokontriksi dan
meningkatkan tekanan darah. Selama trisemester ketiga kehamilan,
ergot berakibat seperti oxitocin, otot rahim pada tingkat ini lebih sensitive
terhadap ergot dari pada otot halus lainnya.
Penyebaran ergot pada manusia adalah masalah besar di prancis sejak
abad 9-14. Ciri-ciri terjangkitnya ergot diperlihatkan dengan adanya
gatal-gatal, mati rasa, kram otot, kejang dan sakit yang teramat sangat.
Telapak kaki, kaki, dan kadang-kadang tangan akan dipengaruhi oleh
sugesti perasaan dingin diselingi dengan rasa terbakar (st. Anthony fire).
Mati rasa dan rasa lemas akan mengikuti, dengan kehilangan rasa pada
jari tangan dan telapak kaki bahkan seluruh anggota badan. Wabah
tersebut berkurang karena perubahan aktivitas perkebunan. Gandum
putih menggantikan gandum hitam sebagai hasil panen yang terbesar
dan lebih kecil kemungkinan terinfeksi ergot. Pembajakan yang dalam
menghasilkan sclerotia terkubur dan mereka tidak dapat berkecambah
dan membentuk spora.
Akibat umum dari ergot pada mahluk hidup dapat di kategorikan dalam
empat kelompok yaitu pertama adalah efek behavioral yang meliputi
kejang, terganggunya koordinasi tubuh, kepincangan, kesulitan
bernapas, terlalu banyak air liur dan diare. Kedua adalah kehilangan
anggota tubuh. Ketiga adalah efek reproduksi yang terdiri dari aborsi,
tingginya angka kematian kelahiran, penurunan produksi susu dan
keempat adalah pengurangan konsumsi pakan dan bobot badan. Akibat-
akibat tersebut tidak terlihat seluruhnya pada setiap jenis mahluk hidup,
tergantung pada jenis spesiesnya dan tergantung pada sumber ergot,
jumlah yang dikonsumsi, lama penyebaran dan usia serta tingkat
produksi dari hewan.
Sapi dapat terkena wabah ergotisme berupa kejang dan gangrene.
Kekejangan terutama oleh infeksi Claviceps pasapali pada rumput-
rumputan paspalus spp (seperti rumput dallis) dan bukan oleh ergot
Claviceps purpurea. Masalah ergot penting pada peternakan di AS,
dikarenakan sapi mengkonsumsi rumput Dallis yang mengandung Ergot.
Ciri-ciri klinisnya adalah mudah terkejut, terganggunya koordinasi tubuh
dan sawan. Perpindahan sapi dari padang rumput yang terinfeksi
membutuhkan waktu 3-10hari. Ergot menyebabkan gangrene pada sapi
disebabkan oleh ergot dari claviceps paspali dan claviceps purpurea.
Gangren dapat terjadi pada ujung telinga dan ekor, tapi umumnya yang
terinfeksi adalah telapak kaki. Ciri-ciri umum termasuk kaki belakang
yang halus dengan perkembangan gangrene dan pengelupasan kuku.
Ada efek kecil pada reproduksi, dengan aborsi dan agalactia (yang
terlihat pada babi) tidak terdeteksi.
Domba yang mengkonsumsi ergot Claviceps purpurea kelihatan sulit
bernafas, pernafasan terlalu cepat, diare dan pendarahan dalam saluran
sebesar 7 persen dari glikosida. Bila senyawa ini dihidrolisa oleh asam
atau enzim maka akan menghasilkan methyl ethyl keton + glukosa +
asam sianida.
Asam sianida (HCN): Lebih dari 100 jenis tanaman mempunyai
kemampuan untuk memproduksi asam sianida. Jenis tanaman tersebut
antara lain family rosaceae, possifloraceae, leguminosae, sapindaceae,
dan graminae. Manihot utilissima sebagai salah satu tanaman yang
mengandung asam sianida. Asam sianida merupakan anti nutrisi yang
diperoleh dari hasil hidrolisis senyawa glikosida sianogenik seperti
linamarin, luteustralin, dan durin. Salah satu contoh hasil hidrolisis
adalah pada linamarin dengan hasil hidrolisisnya berupa D-glukosa +
HCN + aceton dengan bantuan enzim linamerase tanaman terhadap
gangguan/kerusakan. Asam sianida hanya dilepaskan apabila tanaman
terluka. Tahap pertama dari proses degradasi adalah lepasnya molekul
gula (glukosa) yang dikatalis oleh enzim glukosidase. Sianohidrin yang
dihasilkan bias berdissosiasi secara nonenzimatis untuk melepaskan
asam sianida dan sebuah aldehid atau keton, namun pada tanaman
reaksi ini biasanya dikatalis oleh enzim.
Jika sianida masuk dalam tubuh, efek negatifnya sukar diatasi. Kejadian
kronis akibat adanya sianida terjadi karena ternyata tidak semua SCN
(tiosianat) terbuang bersama-sama dengan urin, walaupun SCN dapat
melewati glomerulus dengan baik, tetapi sesampainya di tubuli di
sebagian akan diserap ulang, seperti halnya klorida. Selain itu,
kendatipun system peroksidase kelenjar tiroid dapat mengubah tiosianat
menjadi sulfat dan sianida, tetapi hal ini berarti sel-sel tetap berenang
dalam konsentrasi sianida di atas nilai ambang. Jelaslah bahwa sianida
dapat merugikan utilisasi protein terutama asam-asam amino yang
mengandung sulfur seperti metionin, sistein, sistin, vitamin B12, mineral
besi, tembaga, yodium, dan produksi tiroksin.
Inhibisi sitokrom oksidase akan menekan transport electron dalam siklus
krebs yang menghasilkan energy, sehingga gejala keracunan pertama
adalah hewan tampak lesu, tak bergairah seolah-olah tidak mempunyai
banyak tenaga untuk bergerak, nafsu makannya juga sangat menurun.
BAB VII.
SENYAWA RACUN PROTEIN DAN ASAM AMINO
7.2 Papain
Papain adalah suatu enzim pemecah protein (enzim proteolitik) yang
terdalam dalam getah papaya yang memiliki aktifitas proteolitik minimal 20
unit/gram preparat dan tergolong ke dalam senyawa oraganik komplek yang
tersusun dari gugusan asam amino. Papain adalah protease sulfilhidril karena
memiliki gugusan sulfilhidril (SH) pada bagian aktifnya. Papain kali pertama
ditemukan pada tahun 1975 oleh graffiti Huges.
7.4 Mimosin
Mimosin merupakan zat racun atau zat anti nutrisi yang berasal dari
lamtoro atau leguminosa. Mimosin merupakan racun yang berasal dari turunan
asam amino. Mimosin merupakan racun yang berasal dari turunan asam amino
heterosiklik, yaitu asam amino yang mempunyai rantai karbob melingkar
dengan gugus berbeda. Mimosin mempunyai gugus keton dan hidroksil pada
inti pirimidinnya, yang diketahui bersifat toksik. Mimosin sering disebut
leusenina, dengan rumus molekul C8H10O4N2.
Penelitian mendalam mengenai senyawa ini belum banyak dilakukan,
beberapa ahli mendapatkan gejala keracunan. Percobaan pada tikus dengan
memberikan mimosin sebanyak 1% menyebabkan gejala toksik dengan
terjadinya alopecia, penghambatan pertumbuhan dan gejala memperpendek
umur tikus. Percobaan lain dengan ekstrak lamtoro pada makanan tikus
ternyata menyebabkan kerusakan pada folikel rambut, sehingga merusak
rambut tikus. Ternyata beberapa pengamat mensinyalir adanya gejala rontok
rambut pada manusia jika makan bahan senyawa ini.
Pencegahan dapat dilakukan dengan membatasi pemberian bahan
pakan yang mengandung senyawa tersebut dalam ransum yaitu kurang dari
5%. Mimosin diketahui stabil dan sedikit larut dalam air. Kelarutannya adalah
500 (1 gram dalam 500 cc air) sehingga apabila senyawa tersebut dilarutkan
lebih 500 CC air maka senyawa tersebut akan berkurang sifar toksiknya.
Mimosin merupakan senyawa yang tidak mudah rusak pada pemanasan biasa,
kadar kerusakannya mulai terjadi jika dilakukan pemanasan tinggi, sekitar 227 -
228°C, hal ini dapat digunakan sebagai pencegahan keracunan dengan
pemanasan terlebih dahulu bahan pakan yang mengandung senyawa tersebut
sebelum diberikan pada unggas.
7.5 Latirogen
Latirogen adalah racun yang ditemukan dalam chick pea dan vetch yaitu
sejenis kacang polong. Latirogen merupakan derivate asam amino yang
bekerja melawan metabolism asam glutamate, sebagai neurotransmitter di
otak. Ketika latirogen terkonsumsi dalam jumlah banyak oleh ternak, maka akan
DAFTAR PUSTAKA
Adams, C. A., 2000. Enzim komponen penting dalam pakan bebas antibiotika.
Feed Mix Special. http ://www.alabio.cbn.net. (20 Agustus 2003).
Bangun, A. P., dan B. Sarwono. 2002. Khasiat dan Manfaat Mengkudu. Agro
Media Pustaka, Jakarta
Block, E. l985. The Chemistry of Garlic and Onions. Scientific America 252 : 94-
l00
Choct, M. 1997. Feed enzymes; current and future aplication. In: 11th annual
Asia Pacific Lecture Tour. 73-82.
Cieglar, A., S. Kadis and J. A. Samuel. 1971. Microbial Toxic. Vol. VI.
Academic Press. New York.
Culvenor, C. C. J. 1974. The hazard from toxic fungi in Australia. Aust. Vet.
J. 50: 69-78.
Garlich, J. D., H. T. Tung and P. B. Hamilton. 1973. The effect of short term
feeding of aflatoxin on egg production and some plasma constituents of
the laying hen. Poult. Sci. 52: 2206-2211.
Han, I. K., J. H. Lee, X. S. Piao, and D. Li. 2001. Feeding and management
system to reduce environmental pollution in swine production. Asian-
Aust. J. Anim. Sci. 14 : 432 – 444
Harianto. l996. Manfaat serat makanan. Sadar Pangan dan Gizi Vol. 5 (2) : 4-5
Hetzel, D. J. S., dan Irawan. 1979. The effect of aflatoxin on growing ducks.
Laporan Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan II. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Ternak, Ciawi. Bogor.
Jain, R. G., and D. B. Konar. l98l. Blood Sugar Lowering Activity of Garlic
(Allium sativum). Medikon l977, VI : 3-l5
Mahmilia, F. 2005. Perubahan nilai gizi tepung eceng gondok fermentasi dan
pemanfaatannya sebagai ransum ayam Pedaging. JITV 10 (2) : 90 – 95
Malik, Z.A. and S. Siddique. l98l. Hypotensive effect of freeze dried garlic
(Allium sativum). SAP. In : Dog. JPMA. 31 : 12-13
Men, B.X., B. Ogle, and J.E. Linberg. 2001. Use of duckweed as a protein
supplement for growing ducks. Asian-Aust. J. Anim. Sci.14 (12) : 1741-
1746
Nye, A. R. l990. Garlic and Health. Medical Progress No. : l7, August : 7-l0.
Parry, J. W. 1969. Spices. Vol. II. Publishing Co. Inc. New York.
Santoso, U. 2000. Mengenal daun katuk sebagai feed additive pada broiler.
Poultry Indonesia, Juni/Nomor 242 : 59 – 60
Sudibia, I M. l997. Kandungan zat kimia pada bawang merah (Allium cepa) dan
bawang putih (Allium sativum). Majalah Ilmiah UNUD. No. l5l/September
: 15-16