i
3.1.3.3 Mastitis ........................................................................................... 21
3.2 Penyakit Non Infeksius ................................................................................... 22
3.2.1 Retensi Plasenta ....................................................................................... 22
3.2.2 Distokia .................................................................................................... 24
3.2.3 Prolapsus Vagina ..................................................................................... 25
3.2.4 Hipokalsemia ........................................................................................... 26
3.3 Pelaksanaan Inseminasi Buatan ...................................................................... 27
3.4 Pemeriksaan Kebuntingan .............................................................................. 29
LAMPIRAN .............................................................................................................. 34
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Jadwal Kegiatan PKL Hewan Besar ....................................................................... 4
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Dunia peternakan merupakan salah satu bidang yang sangat berperan penting bagi
kegiatan ekonomi di Indonesia. Peternakan yang banyak di kembangkan yaitu ternak
besar, yang meliputi ternak perah dan ternak potong. Ternak potong umumnya
dimanfaatkan untuk kebutuhan daging sedangkan ternak perah memiliki manfaat ganda
selain untuk perah juga dapat dimanfaatkan dagingnya. Ternak perah adalah ternak yang
menghasilkan susu melebihi kebutuhan anak-anaknya sehingga dapat dimanfaatkan
untuk kebutuhan manusia.
Peternakan Indonesia saat ini sudah sangat berkembang sehingga bisa dikatakan
bahwa agribisnis ternak besar, terutama sapi potong, kambing, dan sapi perah merupakan
salah satu usaha yang sudah berskala industri agribisnis modern. Tingginya permintaan
masyarakat akan konsumsi daging dan susu menjadikan pengetahuan akan manajemen
peternakan ternak besar juga ikut berkembang. Agribisnis ternak besar nasional meliputi
usaha pengelolaan sarana produksi, pengelolaan budidaya, pengelolaan processing
(olahan), dan pemasaran. Berkembangnya dan banyaknya minat dunia ternak besar
adanya regulasi ternak melalui Keppres dan SK Menteri.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani menjadikan agribisnis
ternak besar yang modern memiliki permintaan yang semakin meningkat. Mengingat
daging dan susu merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak digemari
masyarakat Indonesia. Daging dan susu yang dihasilkan ternak besar kaya akan zat gizi
dan dibutuhkan oleh tubuh sebagai zat pembangun terutama pada masa pertumbuhan.
Pertumbuhan populasi ternak besar dari tahun ketahun rata-rata meningkat, akan tetapi
peningkatannya tidak setinggi pada ternak unggas. Saat ini sebagian peternakan ternak
besar telah dikelola dalam bentuk usaha peternakan komersial dan sebagian lagi masih
berupa peternakan rakyat yang dikelola dalam skala kecil, populasi tidak terstruktur dan
belum menggunakan sistem breeding yang terarah, walaupun dalam hal manajemen
umumnya telah bergabung dalam koperasi.
Pengembangan ternak besar dapat dilakukan dengan cara meningkatkan
produktivitas ternak besar baik dari segi teknis maupun dari segi ekonomis. Produktivitas
1
ternak besar harus dipacu untuk dapat ditingkatkan, diantaranya manajemen reproduksi
dan manajemen pakan. Hal tersebut dikarenakan besarnya produksi daging dan susu
ditentukan oleh keberhasilan program-program reproduksi dan manajemen pakan yang
balance (seimbang) baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik dalam peternakan ternak besar
maka masyarakat mengolah daging dan susu yang diproduksi menjadi berbagai macam
olahan seperti dendeng, kerupuk kulit, dangke, kerupuk susu, susu pasteurisasi, atau
mereka menjualnya dalam bentuk segar. Dalam peternakan ternak besar dibutuhkan suatu
analisa usaha mulai aspek hukum, aspek teknis dan produksi, aspek organisasi dan
manajemen, aspek keuangan dan kelayakan usaha sehingga dapat diketahui seberapa
besar keuntungan yang diperoleh dari peternakan tersebut. Hal inilah yang
melatarbelakangi diadakannya Praktek Kerja Lapangan (PKL).
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) merupakan kegiatan integral proses
kegiatan belajar mengajar yang mempunyai ciri khusus yakni adanya keterpaduan
pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. PKL merupakan merupakan kegiatan integral
dari sistem perguruan tinggi yang tidak dapat dipisahkan dari kurikulum setelah jenjang
Strata 1 (S1) yang berarti PKL sebagai pengikat dan perangkum semua ilmu yang terdapat
dalam kurikulum serta memberikan pengalaman belajar yang menghubungkan konsep
akademis dengan realita kehidupan di masyarakat, khususnya peternak. PKL membentuk
pengalaman mahasiswa dalam menangani kasus- kasus di bidang peternakan dan
manajemen yang terkait serta menambah kepribadian mahasiswa untuk mandiri. Dalam
melaksanakan PKL, mahasiswa tidak terpaku pada pemikiran satu sektor karena
permasalahan di suatu daerah selalu berkaitan dengan sektor yang lain (lintas sektoral),
maka kerja sama yang baik dengan dinas atau instansi terkait harus terjalin dengan baik.
Dalam melaksanakan program PKL diperlukan keterlibatan masyarakat dan petugas di
daerah secara aktif sejak awal.
1.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) Ternak Besar ini bagi kami
mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga, adalah untuk menambah pengetahuan, pengalaman serta wawasan dalam
tatalaksana pemeliharaan ternak besar, manajemen kesehatan ternak, serta menerapkan
2
ilmu yang diperoleh di perkuliahan dan belajar membekali diri dengan keterampilan
untuk tujuan dunia kerja.
3
BAB II
PELAKSANAAN KEGIATAN
Analisis hasil kegiatan berdasarkan pada data yang diperoleh selama masa kerja
kegiatan Praktik Kerja Lapangan hewan besar. Data diperoleh dari hasil pengamatan dan
wawancara selama melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapangan hewan besar. Analisis
hasil kegiatan kemudian digunakan untuk pemngembangan ilmu dalam bidang profesi
dokter hewan dan sebagai bahan evalusi pelaksanaan praktik kerja lapangan oleh Farm.
4
PKB-IB
2 28/10/2019
Ante mortem – post mortem
4 29/10/2019 Keswan
5 30/10/2019 Keswan
6 31/10/2019 Keswan
7 1/11/2019 Keswan
Keswan
8 2/11/2019
PKB-IB
9 3/11/2019 Keswan
10 4/11/2019 Keswan
Ante mortem – post mortem
11 5/11/2019
Keswan
12 6/11/2019 PKB-IB
Keswan
13 7/11/2019 Pelayanan Terpadu
Pengobatan Lanjutan
14 8/11/2019 Keswan
15 9/11/2019 Keswan
16 10/11/2019 Keswan
17 11/11/2019 Keswan
18 12/11/2019 Keswan
Keswan
19 13/11/2019
Penyuluhan
20 14/11/2019 Keswan
21 15/11/2019 Keswan
22 16/11/2019 Keswan
23 17/11/2019 PKB-IB
24 18/11/2019 PKB-IB
Ante mortem – post mortem
25 19/11/2019
Keswan
26 20/11/2019 PKB-IB
5
BAB III
PEMBAHASAN
Etiologi
Gejala Klinis
Gejala awal yang muncul adalah demam tinggi secara mendadak (40,5 – 41°C),
nafsu makan hilang, peningkatan pernafasan dan kesulitan bernafas (dyspneu), diikuti
dengan keluarnya Ieleran hidung dan mata (lakrimasi) yang bersifat serous. Jalan kaku
dan pincang karena rasa sakit yang sangat, kemudian dapat terjadi kelumpuhan dan
kesakitan pada kaki, otot gemetar serta lemah. Kekakuan mulai dari satu kaki ke kaki
yang lain, sehingga hewan tidak dapat berdiri selama 3 hari atau lebih. Leher dan
punggung mengalami pembengkakan. Produksi susu menurun dengan tajam.
Kadangkadang pada tahap akhir kebuntingan diikuti adanya keguguran. Gambaran darah
dalam fase demam menunjukkan adanya kenaikan jumlah neutrofi l dan penurunan
limfosit. Biasanya dijumpai lekositosis pada awal penyakit, kemudian diikuti dengan
lekopenia.
Diagnosa Banding
6
Pencegahan dan Pengobatan
7
faktor, diantaranya adalah kelembaban dan vegetasi. Musim hujan juga diduga menjadi
penyebab infestasi cacing saluran pencernaan pada Sapi dikarenakan keadaan lingkungan
yang semakin lembab sehingga menunjang perkembangan cacing saluran pencernan. Saat
musim hujan, kelembaban udara yang tinggi, dan temperatur yang rendah adalah kondisi
yang disukai oleh cacing parasit untuk berkembang.
Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan tidaklah rutin sehingga pengendalian infeksi cacingan
pada Sapi Bali kurang efektif. Pemberantasan cacingan dapat dilakukan dengan
menggunakan anthelminthika, program pemberian anthelminthika sebaiknya dilakukan
sejak sapi baru berumur 7 hari dan diulang secara berkala setiap 3-4 bulan sekali guna
membasmi cacing secara tuntas.
8
Gejala Klinis
Berat ringannya fasciolosis tergantung pada jumlah metaserkaria yang tertelan dan
infektifi tasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan mengakibatkan
kematian pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa. Selain itu, tergantung
pula pada stadium infestasi yaitu migrasi cacing muda dan perkembangan cacing dewasa
dalam saluran empedu, serta infestasi Fasciola sp. dapat bersifat akut maupun kronis.
Infestasi F.gigantica pada domba dan kambing biasanya bersifat akut dan fatal. Bentuk
akut; Bentuk ini disebabkan adanya migrasi cacing muda di dalam jaringan hati, sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan hati. Ternak menjadi lemah, nafas cepat dan pendek,
perut membesar dan rasa sakit. Bentuk kronis; F.gigantiga mencapai dewasa 4-5 bulan
setelah infestasi, gejala yang nampak adalah anemia, sehingga menyebabkan ternak lesu,
lemah, nafsu makan menurun, cepat mengalami kelelahan, membrana mukosa pucat,
diare dan edema di antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus dan kematian dapat terjadi
dalam waktu 1-3 bulan (Boray, 1982).
Pada bentuk akut dapat keliru dengan hepatitis karena gangguan nutrisi
Migrasi intra hepatik dari larva Taenia hydatigena
Pada bentuk kronis dapat keliru dengan : - infestasi cacing saluran pencernaan lain
- bovine paratubercular enteritis
Pengendalian
Pemutusan siklus hidup fasciolosis dapat dilakukan dengan menghindari
menggembalakan ternak pada pagi hari, sehingga ternak tidak mengkonsumsi ujung
9
rumput yang masih basah oleh embun dan kemungkinan mengandung metaserkaria.
Selaim itu peternak juga sebaiknya disarankan untuk mencari rumput pada pagi hari. Pada
manusia, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memasak daging/hati secara
sempurna.
Pengobatan
Pemberian obat cacing secara periodik dan diberikan minimal 2 kali dalam 1 tahun.
Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan dengan tujuan untuk
mengeliminasi migrasi cacing dewasa, sehingga selama musim kemarau ternak dalam
kondisi yang baik dan juga menjaga lingkungan, terutama kolam air, agar selama musim
kemarau tidak terkontaminasi oleh larva cacing. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir
musim kemarau dengan tujuan untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke
dalam parenkim hati. Pada pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat
membunuh cacing muda.
3.1.2.3 Coccidiosis
Etiologi
Patofisiologis
Infeksi terjadi setelah hewan tertelan ookista infektif. Sejauh ini hanya ookista yang
bersporulasi saja yang infektif dan bila inang yang peka menelan ookista bersporulasi
dalam jumlah banyak maka akan menimbulkan gejala klinis. Kehebatan gejala klinis yang
timbul tergantung dari jumlah ookista ditimbulkan akan makin hebat. Menurut Mundt et
al. (2005) ada atau tidaknya gejala klinis tergantung keseimbangan antara imunitas
dengan dosis infeksi. Gejala penyakit muncul dalam berbagai situasi disaat keseimbangan
(imunitas dan dosis infeksi) gagal terbentuk akibat kondisi yang antara lain dipengaruhi
oleh cuaca, pakan yang buruk dan stress pada hewan. Patogenisitas koksidiosis
tergantung beberapa faktor yaitu jumlah sel inang yang rusak, jumlah merozoit dan lokasi
parasit di dalam jaringan sel inang. Gejala Klinis Gejala koksidiosis yang parah ditandai
10
dengan diare yang hebat, tinja cair bercampur mukus dan darah yang berwarna merah
sampai kehitaman beserta reruntuhan sel-sel epitel. Diare ini seringkali mengotori daerah
sekitar perianal, kaki belakang dan pangkal ekor. Pada kondisi diare, hewan terus merejan
dan dapat mengakibatkan prolapsus rektum. Perjalanan klinis penyakit ini bervariasi
antara 4– 14 hari (Fraser, 2006). Menurut Radostits et al. (2006) kejadian koksidiosis
sebagian besar terjadi pada pedet selama musim hujan dimana pedet sudah terinfeksi dari
induk atau saat dipindahkan ke peternakan lain. Gejala klinis lainnya seperti kehilangan
nafsu makan dan berat badan turun, anemia, anoreksia dan umumnya hewan terlihat
kurus. Pengembangan gejala klinisnya itu tergantung dari beberapa faktor seperti jenis-
jenis spesies Eimeria spp., umur, jumlah ookista yang tertelan dan adanya infeksi
sekunder, serta sistim tata laksana peternakan (Daugschies dan Najdrowsk 2005).
Diagnosa Banding
Pada penyakit colibacillosis, Salmonellosis, dan enteritis, gejala klinis yang ditemui
memiliki banyak kesamaan. Gejala klinis yang muncul dapat dibedakan dari konsistensi
feses. Pada infeksi bakterial, feses yang dihasilkan adalah encer dan berlendir. Lendir
yang dihasilkan merupakan hasil aktivitas bakteri di dalam saluran pencernaan.
Sedangkan pada coccidiosis feses berbentuk cair dan tidak berlendir. Feses pada penyakit
coccidiosis bercampur darah atau bekuan darah yang berasal dari rupturnya dinding usus.
Terapi pada penyakit ini biasa dilakukan secara preventif. Tindakan preventif
bertujuan untuk menghambat perkembangan stadium Eimeria sp. atau membunuh semua
11
stadium. Sulfadimethoxine merupakan antibiotik sulfonamide. Obat ini mampu
menghambat perkembangan stadium Eimeria sp. sehingga mengurangi jumlah ookista
infektif yang nantinya dapat meminimalisasi penyebaran penyakit coccidiosis.
3.1.2.4 Scabiosis
Etiologi
Penyakit skabies disebabkan oleh berbagai jenis tungau atau kudis. Tungau
merupakan arthropoda yang masuk dalam kelas Arachnida, sub kelas Acarina, ordo
astigmata, dan famili Sarcoptidae. Contoh tungau (acariformis) astigmata adalah
Sarcoptes scabiei, Psoroptes ovis, Notoedres cati, Chorioptes sp, dan Otodectes cynotys.
Notoedres sp. dan Chonoptes sp. (Wardhana dkk., 2006).
Cara Penularan
Penularan scabies terutama terjadi secara kontak, baik antar hewan piaraan, maupun
antara hewan piaraan dan hewan liar yang menderita scabies. Penyakit scabies pada suatu
peternakan umumnya terjadi akibat masuknya hewan penderita sub-klinis (belum terlihat
gejalanya) ke peternakan tersebut, atau hewan penderita dalam stadium awal penyakit. Di
samping itu, penularan dapat pula terjadi melalui alat peternakan yang tercemar tungau
Sarcoptes, walaupun tungau ini hanya mampu bertahan hidup dalam waktu yang relatif
singkat di luar tubuh inang (Putra, 1994).
Gejala Klinis
Bentuk lesi skabies sama pada berbagai jenis hewan, namun lokasi lesi bervariasi.
Pada kambing, lesi umumnya mulai dari daerah hidung lalu menyebar keseluruh tubuh.
Pada babi, lesi umumnya pada daun telinga, cungur, bagian dorsal dan leher, bahu, bagian
dalam dari paha, sepanjang punggung, pangkal ekor dan pada kaki. Pada sapi, lesi banyak
dijumpai pada kulit di daerah leher, punggung dan pangkal ekor. Pada penderita skabies
yang kronis lesi dijumpai pada kulit di daerah abdomen dan ambing. Pada unta, lesi
dijumpai pada kulit daerah pangkal ekor, leher, axilla, daerah sternum, abdomen, flank,
daerah preputium atau daerah ambing pada hewan betina, daerah sekitar mata, sehingga
dapat menutupi seluruh bagian kepala/muka (Wardhana, 2006).
12
Diagnosa
Diagnosa dapat ditetapkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kulit.
Kerokan kulit diambil pada bagian sekitar lesi, dan kulit dikerok hingga sedikit berdarah.
Hasil kerokan diletakkan pada kaca objek dan ditetesi KOH 10 %, kemudian ditutup
dengan kaca penutup. Setelah 15 menit, preparat kemudian diamati di bawah mikroskop.
Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara menggosok papula
menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah tertutup dengan tinta
didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh menit, kemudian tinta diusap/dihapus
dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam
terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag. Visualisasi terowongan
yang dibuat tungau juga dapat dilihat menggunakan mineral oil atau flourescence
tetracycline test (Morsy et al., 1989).
Diagnosa Banding
Dermatitis yang disebabkan oleh jamur, dan kadang sulit dibedakan dengan
demodecosis tipe skuamosa (pada anjing) (Wardhana, 2006).
Pencegahan
Jaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat ternak yang
masuk ke dalam peternakan, dan populasi ternak (densitas) agar disesuaikan dengan luas
lahan/kandang yang tersedia, sehingga tidak terlalu padat (Airlian et al., 1988).
Pengobatan
13
3.1.2.5 Demodekosis
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh sejenis tungau yang disebut Demodex sp., berbentuk
seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek dan gemuk serta
memiliki 3 ruas. Bagian perutnya terbungkus kitin dan bergaris melintang menyerupai
cincin serta memipih ke arah caudal. Ukuran tungau bervariasi antara 0,2 – 0,4 mm
(Desch and Hillier, 2003).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada kulit berupa alopecia (kebotakan), kemerahan, dan
kulit mejadi berkerak. Pada tahap yang lebih lanjut, dapat terjadi demodecosis general
disertai dengan peradangan dan infeksi sekunder oleh bakteri. Lapisan kulit yang
terinfeksi terasa lebih berminyak saat disentuh (Desch and Hillier, 2003).
Diagnosa
Diagnosa Banding
14
Pencegahan
Pengobatan
3.1.2.6 Surra
Etiologi
Penyakit surra disebabkan oleh Trypanosoma evansi. Protozoa ini merupakan fl a
gellata dari subfi lum sarcomastigophora, super kelas mastigophorasica, kelas
zoomastigophorasida, ordo kinetoplastorida, familia trypanosomatidae, dan genus
Trypanosoma. Bentuk tubuhnya seperti kumparan dengan salah satu ujung lancip dan
ujung yang lain sedikit tumpul. Kebanyakan tubuhnya langsing tetapi ada pula yang
berbentuk buntak dan berbentuk tanggung (intermediate). T.evansi berukuran panjang
antara 11,7-33,3 µm (rata -rata 24 µm) dan lebar antara 1,0-2,5 µm (rata-rata 1,5 µm)
(Luckins, 1996).
Cara Penularan
Penularan penyakit surra melalui vektor lalat pengisap darah yang termasuk
golongan Tabanidae. Cara penularannya secara mekanik murni, artinya trypanosoma
tidak mengalami siklus hidup dalam lalat tersebut. Di samping lalat tabanus, terdapat lalat
penghisap darah lain yang mampu menularkan penyakit surra, antara lain Chrysops sp,
Stomoxys sp, Heamatopota sp, Lyperosia sp, Haematobia sp. Selain itu, arthropoda lain
seperti Anopheles, Musca, pinjal, kutu dan caplak dapat pula bertindak sebagai vektor.
Hewan yang mengandung parasit tanpa menunjukkan gejala sakit merupakan sumber
penyakit (Murray and Gray, 1984).
15
Gejala Klinis
Diagnosa Banding
16
Pencegahan
Pencegahan melalui vaksinasi sampai saat ini belum dapat dilakukan. Tindakan
pencegahan lainnya yang dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku
adalah :
Pengobatan
Belum ada vaksin yang diproduksi untuk mencegah penyakit surra, sedangkan obat
surra yang direkomendasikan adalah suramin, isometamidium klorida, dan diminizena
aceturate (OIE, 2010). Meskipun suramin diketahui paling efektif untuk mengobati
trypanosomiasis, tetapi sediaan ini tidak dijumpai di Indonesia. Produk obat untuk
trypanosomiasis yang dijual di Indonesia adalah Trypamidium-samorin
Etiologi
Gejala Klinis
Masa tunas 1-3 minggu. Gejala Klinis tetanus untuk semua hewan hampir mirip.
Tanda awal ialah sedikit kekakuan, gelisah dan terjadi kekejangan yang berlebihan bila
ada sedikit rangsangan dari luar (suara, sentuhan, cahaya dan lain-lain). Pada kuda terjadi
kekakuan yang khas berupa spasmus membrana niktitan, trompet hidung melebar, ekor
naik dan kaki membentuk kuda-kuda. Bila yang terserang otot-otot fascia maka hewan
akan susah membuka mulut, sehingga penyakit dinamai ”Lock jaw”. Bila toksin sudah
17
menyerang otak maka akan terjadi kekejangan umum, konvulsi yang berkesinambungan
terjadi disebabkan oleh aspeksia (Direktur Kesehatan Hewan, 2002).
Diagnosa Banding
Adanya tanda kekejangan yang terjadi maka tetanus dapat dikelirukan dengan
penyakit lain seperti (Direktur Kesehatan Hewan, 2002) :
a. Gras tetani : pada penyakit ini terdapat hipocalcemia
b. Keracunan striknin : kekejangan yang terjadi tidak tergantung adanya rangsangan dari
luar c. Muscular rheumatism : merupakan penyakit kronis.
d. Stiff lamb disease : ada gejala diare
e. Rabies : ada gejala kelumpuhan
18
a Luka dibuat segar, dengan membuang bagian jaringan yang rusak, kemudian luka
dicuci dengan KMnO4 atau H2O2 dan diobati dengan antibiotika.
b Diberikan antitoksin tetanus dosis kuratif
c Perlakuan pada hewan sakit diberikan:
(1) kandang bersih, kering, gelap
(2) diberikan kain penyangga perut
(3) makanan disediakan setinggi hidung
(4) luka yang ada diobati
3.1.3.2 Collibacillocis
Etiologi
E.coli penyebab colibacillosis adalah bakteri berbentuk batang berukuran 0,5x1,0-
3,0 mikrometer, Gram negatif, motif dan tidak membentuk spora. Bakteri ini tidak selalu
berbentuk, melainkan dapat dijumpai dengan bentuk coccoid bipolar hingga fi lamen.
Kedudukan sel bakteri satu dengan yang lain lazimnya sendiri-sendiri, tetapi dapat pula
merupakan rantai pendek (short chains). Skema antigenik genus didasarkan pada adanya
bermacam tipe antigen yaitu O, H dan K. Yang terakhir ini dibagi ke dalam antigen L, A
dan B (Subronto, 2008).
Gejala Klinis
Feses encer atau serupa pasta, berwarna putih sampai kuning dan mengandung noda
darah. Feses berbau tengik dan mengotori sekitar anus dan ekornya. Denyut nadi dan suhu
tubuh naik mencapai 40,5°C. Penderita terlihat apatis, lemah, berhenti minum dan secara
cepat mengalami dehidrasi. Pada palpasi perut ditemukan reaksi nyeri. Tanpa
pengobatan, hewan dapat mati dalam waktu 3-5 hari. Pada kejadian colibacillosis jangan
lupa untuk memperhatikan terhadap kemungkinan peradangan pusar dan jaringan
sekitarnya (Subronto, 2008).
19
Gambar 7. Feses sapi berwarna putih kekuningan
Diagnosa Banding
Sulit dibedakan dengan Salmonellosis pada anak sapi baru lahir. Colibacillosis yang
ditandai dengan diare dapat dikelirukan dengan diare akibat makanan. Gejala diare dapat
pula ditemukan pada anak hewan yang mendapat susu berlebihan atau makanan induk
yang terdiri atas hijauan amat muda (Subronto, 2008).
20
3.1.3.3 Mastitis
Etiologi
Berbagai jenis bakteria telah diketahui sebagai agen penyebab mastitis antara lain adalah
:
1. Streptococcus agalactiae
2. Streptococcus disgalactiae
3. Streptococcus uberis
4. Streptococcus zooepidemicus
5. Staphylococcus aureus
6. Escherichia coli
7. Enterobacter aerogenes
8. Pseudomonas aeruginosa
Dalam keadaan tertentu dijumpai pula penyebab mastitis oleh Mycoplasma sp., Nocardia
asteroides, dan juga yeast (Candida sp).
Gejala Klinis
Sapi penderita mastitis dapat diketahui dengan adanya pembengkakan pada ambing
dan puting yang terjadi pada satu kwartir atau Iebih. Rasa sakit timbul sewaktu diperah
dan diikuti oleh penurunan produksi yang bervariasi mulai dari ringan sampai berat
bahkan tidak keluar susu sama sekali. Infeksi bakteri dapat menyebabkan susu berubah
warna menjadi merah karena bercampur dengan nanah. Banyak kejadian mastitis
subklinis yang mengakibatkan penurunan produksi susu. Pengaruh mastitis pada ambing
dapat menyebabkan infeksi, jumlah sel darah putih meningkat, penurunan produksi susu,
hilangnya kwartir (tidak berfungsi), perubahan bentuk ambing, dan akibat mastitis ke
depan dapat menyebabkan produksi susu tidak mampu mencapai maksimal.
21
Gambar 8. Mastitis pada kambing
Diagnosa Banding
Mastitis dapat dikelirukan dengan pembesaran ambing karena tumor.
Pengobatan dan Pencegahan
Higiene dan manajemen pemerahan, serta sanitasi kandang yang baik dapat
mencegah timbulnya penyakit ini. Hewan penderita mastitis dipisahkan dengan hewan
yang sehat. Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik sesuai dengan
bakteri yang menginfeksi, dan disarankan agar dilakukan uji sensitivitas terhadap bakteri
sebelum melakukan pengobatan agar diperoleh hasil yang optimal.
Patofisiologi
22
secara fisiologis selaput fetus akan keluar dalam waktu 1-12 jam. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor internal dan eksternal seperti uterus paresis, aborsi, stres,
terlambat melahirkan atau prematur, distoksia, kembar, status hormonal yang tidak
seimbang, infeksi, faktor genetik, defisiensi vitamin dan mineral. Menurut penelitian,
masa bunting yang tidak normal dan gangguan saat melahirkan merupakan faktor yang
paling berpengaruh seperti gangguan kontraksi uterus akibat perlukaan atau mekanisme
stress.
23
Gejala Klinis
Selaput fetus menggantung keluar dari vulva 12 jam atau lebih sesudah kelahiran
normal, abortus atau distokia. Presentasi retensio plasenta yang menunjukkan gejala sakit
kurang lebih 75% tetapi kurang lebih 20 % gejala metritis diperlihatkan antara lain
depresi, tidak ada nafsu makan, peningkatan suhu tubuh, frekuensi pulsus meningkat dan
berat badan menurun.
Pengobatan
Ada beberapa terapi dan pengobatan yang dapat diberikan pada kasus retensi
plasenta yaitu pemberian preparat hormon, pelepasan secara manual, pemberian
antibiotic sistemik, dan injeksi kolagenase.Untuk treatment pengobatan yang akan
diberikan pada kasus retensi plasenta pertama-tama harus memperhatikan adanya infeksi
ikutan.Penanganan pada kasus retensi plasenta bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa
plasenta dari saluran reproduksi, ini harus segera dilakukan dengan segera untuk
menghindari terjadinya infertilitas pada induk. (Hardjopranjoto,1995).
3.2.2 Distokia
Merupakan suatu kondisi stadium pertama kelahiran (dilatasi cervik) dan kedua
(pengeluaran fetus) lebih lama dan menjadi sulit dan tidak mungkin lagi bagi induk untuk
24
mengeluarkan fetus. Sebab –sebab diantaranya herediter, gizi, tatalaksana, infeksi,
traumatik dan berbagai sebab lain. Penanganan yang dapat dilakukan diantaranya :
Mutasi, mengembalikan presentasi, posisi dan postur fetus agar normal dengan
cara di dorong (ekpulsi), diputar (rotasi) dan ditarik (retraksi).
Penarikan paksa, apabila uterus lemah dan janin tidak mampu menstimulir
perejanan.
Pemotongan janin (fetotomi), apabila presentasi, posisi dan postur janin yang
abnormal tidak bisa diatasi dengan penarikan paksa dan keselamatan induk yang
diutamakan.
Operasi Secar (Sectio Caesaria ), merupakan alternatif terakhir apabila semua
cara tidak berhasil. Operasi ini dilakukan dengan pembedahan perut
(Laparotomy) dengan alat dan kondisi yang steril.
25
nilai kondisi tubuh yang berlebihan merupakan factor predisposisi terjadinya prolaps
vagina (Scott et al. 2011).
Gejala Klinis
Keluarnya mukosa vagina dari vulva. Vagina yang terpapar di luar vulva dapat
menyebabkan iritasi dan abrasi pada permukaan mukosa akibat ekornya sendiri.
Pengobatan
Tindakan yang dilakukan di lapangan dimulai dengan membersihkan mukosa
vagina yang keluar dengan air mengalir sambil memasukkan mukosa vagina kembali ke
posisi normal dengan hati-hati tanpa melukai mukosa tersebut (lege artis). Setelah
berhasil memasukkan kembali mukosa vagina ke posisi normalnya, dilakukan penjahitan
simple interrupted di labia vulva menggunakan tali raffia untuk mencegah prolaps vagina,
kemudian dilepas setelah seminggu. Tali raffia sebelumnya disterilkan menggunakan
alkohol 70%. Teknik ini berbeda dengan Hillman dan Gilbert (2008) yang menyarankan
penahitan Caslick atau penjahitan Buhner sampai fibrosis terjadi di vestibular kaudal
vagina agar prolaps vagina tidak berulang lagi.
3.2.4 Hipokalsemia
Hipokalsemia atau milk fever atau parturient paresis merupakan gangguan
metabolisme yang sering terjadi pada sapi dengan produksi susu tinggi. Metabolisme
kalsium dapat terganggu akibat kegagalan penyerapan kalsium post laktasi dan terjadi
26
dekalsifikasi dari tulang akibat PTH tidak merespon akibat asupan kalsium dalam tubuh
kurang. Gejala klinis dapat dilihat melalui tiga fase. Fase pertama merupakan awal
dengan gejala tetani. Fase kedua recumbency sternum dan fase ketiga recumbency lateral.
Terapi dapat dilakukan dengan injeksi preparat kalsium, penambahan ATP, dan
pemberian mineral pada minum ternak.
Tujuan
Keuntungan
27
5. Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun
pejantan telah mati;
6. Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik
pejantan terlalu besar;
7. Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan
dengan hubungan kelamin.
Kerugian
1. Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka
tidak akan terjadi kebuntingan;
2. Akan terjadi kesulitan kelahiran (distokia), apabila semen beku yang digunakan
berasal dari pejantan dengan breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada
sapi betina keturunan / breed kecil;
Prosedur
28
9. Semen disuntikkan/disemprotkan pada badan uterus yaitu pada daerah yang
disebut dengan 'posisi ke empat'.
10. Setelah semua prosedur tersebut dilaksanakan maka keluarkanlah gun dari uterus
dan servix dengan perlahan-lahan.
29
3 bulan : pada sapi dara cornua uteri terasa asimetris pada lantai pelvis,
sedangkan induk menggantung di pelvis, slip membrane foetus teraba
4 bulan : slip membrane foetus membesar dan menggantung diabdomen.
Kotiledon terasa
5 bulan : slip membrane foteus semakin turun, kotiledon membesar ,
terdapat pantulan fetus jika teraba
6 bulan : fetus mulai naik, fremitus mulai teraba tetapi masih lemah
7 bulan : fetus berada di bawah pelvis, fremitus semakin kencang.
8 bulan : fetus sejajajr dengan pelvis, jika dilakukan pemeriksaan perektal
akan teraba kepala fetus
9 bulan : kepala sudah masuk di pelvis, jika dilakukan pemeriksaan perektal
akan teraba kaki
30
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit pada ternak besar dapat disebabkan oleh banyak penyebab baik factor
internal, penyakit, bakteri, parasit, dan lainnya faktor lingkungan dan perawatan juga
mempengaruhi daripada terjadinya penyakit dan proses kesembuhan selain dari individu
ternak sendiri.
4.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penyuluhan dan edukasi yang lebih kepada peternak mengenai
perawatan dan pemeliharaan ternak sehingga peternak dapat mengetahui sedini mungkin
masalah-masalah yang dialami ternaknya. Hal ini nantinya juga dapat berdampak pada
kemudahan petugas dalam melakukan penanganan kepada ternak.
31
DAFTAR PUSTAKA
Airlian LG and Vyszenki-Moher DL. 1988. Life Cycle of Sarcoptes scabiei var canis.
Journal of Parasitology 74- 427-430.
Benchohra M, Kalbaza AY, Amara K. 2015. Vaginal and Rec tal Prolapse (Type II) in
Montbeliarde Dairy Cow-Case Report. Glob Vet. 14 (1): 56-58.
Boray JC 1982. Handbook Series in Zoonosis Section C : Parasitic Zoonotic Vol. Ill. CRC
Press inc. Boca Raton, Florida Hal: 71-81.
Daugschies A, Najdrowsk M. 2005. Eimeriosis in cattle: current understanding. J Vet
Med. 5(2): 417-427.
Desch CEA, Hillier 2003. Demodex injai : A New Species of Hair Follicle Mite (Acari :
Demodecidae) from the Domestic Dog (Canidae). Abstract. J. Med. Entomol. 40(2)
: 146-149.
Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI,
Jakarta Indonesia.
Fraser CM. 2006. The Merck Veterinary Manual, A Hand Book of Diagnosis Therapy
and Disease Prevention and Control for Veterinarians. Ed ke-7. Amerika Serikat
(US): NIT.
Galloway JH 1974. Farm Animal Health and Disease Control. Lea & Febiger
Philadelphia. Hal: 286.
Gilbert R.O., S.T. Shin, C.L. Guard, H.N. Erb, and M. Frajblat. 2005. Prevalence of
endometritis and its effect on reproductive performance of dairy cows.
Theriogenology 64: 1879– 1888.
Hall. 1989. Desease and Parasites of Livestock in the Tropics. 21nd Longman. London
and New York. Hal: 207-212.
Hardjopranjoto, H.S, 1995, Ilmu Kemajiran Pada Ternak, Airlangga University Press,
Hal: 103-114, 139-146.
Luckins AG 1996. “Trypanosoma evansi” in Asia. Parasitology Today 4(5) : 137142.
Morsy GH, Turek JJ and Gaafar SM 1989. Scanning Electron Microscopy of Sarcoptic
Mange Lesions in Swine. Veterinary Parasitology 31: 281288.
Mundt HC, Bangoura B, Mengel H, Keidel J, Daughschies A. 2005. Control of clinical
coccidiosis of calves due to Eimeria bovis and Eimeria zuernii with toltrazuril under
field conditions. J Parasitol Res. 97(1): 134-142.
Murray M and Gray AR 1984. The Current Situation on Animal Trypanosomiasis in
Africa. Prev. Vet. Med. 2 : 23-30.
32
Putra AAG 1994. Kajian Epidemiokogi dan Kerugian Ekonomi Scabies. Buletin Sains
Veteriner X (26): 88-109.
Radostits OM, Gay CC, Constable PD. 2006. Veterinary medicine a Text Book of the
Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goat, and Hourses. Ed ke-8. Philadelphia (US):
Bailliere Tindall.
Scott PR, Penny CD, Macrae AI. 2011. Chapter 2: Obstetrics and parturient diseases.
Didalam: Cattle Medicine. London (UK): Manson Publishing Ltd.
Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta Indonesia.
The Office of International des Epizooties 2010. OIE Terrestrial Manual. Trypanosoma
evansi Infection (Surra). Chapter 2.1.17.http://www.oie. int [5 Desember 2019].
Toelihere, M.R, 1981, Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi, Edisi Pertama, Institut
Pertanian Bogor, Hal: 52-57, 76-85.
Wardhana, A. H., Manurung, J dan T. Iskandar. 2006. Skabies: Tantangan Penyakit
Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Wartazoa. 16 (1). 40-52.
33