Anda di halaman 1dari 62

PROFIL PETERNAKAN

SAPI PERAH RAKYAT DI INDONESIA


PROFIL PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT DI INDONESIA

Sudi Nurtini
Mujtahidah Anggriani Ummul Muzayyanah

GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS


Hak Penerbitan © 2014 GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS
P.O. Box 14, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
E-mail : gmupress@ugm.ac.id
Homepage : http://www.gmup.ugm.ac.id

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit, seba-
gian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, photoprint, microfilm
dan sebagainya.

Cetakan pertama .......... 2014

1648.02.01.12

Diterbitkan dan dicetak oleh


GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI
1110111-C1E
KATA PENGANTAR

Penulisan buku yang berjudul Profil Peternakan Sapi Perah Rakyat di


Indonesia ini dimaksudkan untuk mengenalkan kepada pembaca tentang peran
dan potensi peternakan sapi perah rakyat yang tersebar di seluruh pedesaan
terutama di Pulau Jawa, sebagai penyedia pangan sumber protein hewani yang
sangat bermanfaat untuk pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Dalam buku ini diuraikan tentang keberadaan peternakan sapi perah
rakyat di Indonesia yang diketahui sebagai salah satu penyumbang dalam hal
penyediaan bahan baku pada Industri Pengolahan Susu (IPS). Dalam rangka
meningkatkan pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia, juga dikaji
beberapa kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan industri persusuan
domestik. Secara khusus juga dibahas kemungkinan-kemungkinan konsep
dan strategi perluasan pasar dan manfaat susu sebagai pangan sumber protein
hewani.
Diharapkan buku ini dapat memberi kontribusi nyata bagi pengembangan
peternakan sapi perah rakyat dan industri persusuan domestik di Indonesia,
utamanya dalam hal peningkatan kesejahteraan peternak sapi perah rakyat
dan peningkatan konsumsi susu nasional. Ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya disampaikan kepada pendamping/editor yang telah membantu dalam
penulisan buku ini.
Penyusunan buku ini tidak akan pernah dapat terlaksana tanpa dukungan
dari beberapa pihak, terutama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Gadjah Mada (LPPM UGM) yang telah membantu
terwujudnya buku ini, untuk itu penulis menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya. Kepada semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya buku ini diucapkan terima kasih. Semoga buku ini dapat berguna
dalam upaya pembangunan industri persusuan di Indonesia.

Yogyakarta, Agustus 2014


Penulis

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL...................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
BAB II PETERNAKAN SAPI PERAH SEBAGAI PENGHASIL
PANGAN BERGIZI TINGGI ................................................ 5
2.1 Peranan Susu Bagi Tubuh Manusia................................. 5
2.2 Komposisi Susu............................................................... 6
BAB III PETERNAKAN SAPI PERAH DI INDONESIA.................. 11
3.1 Sejarah Peternakan Sapi Perah di Indonesia ................... 11
3.2 Situasi Peternakan Sapi Perah di Indonesia .................... 12
3.3 Jenis-Jenis Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia ... 18
BAB IV INDUSTRI PERSUSUAN DI INDONESIA ......................... 23
4.1 Perdagangan Susu Dunia................................................. 23
4.2 Perdagangan Susu Indonesia ........................................... 24
4.3 Industri Pengolahan Susu ................................................ 28
4.4 Kebijakan Persusuan Nasional ........................................ 31
BAB V USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT ....... 51
5.1 Karakteristik Peternak Sapi Perah Rakyat ...................... 51
5.2 Aspek Budi Daya Peternakan Sapi Perah Rakyat ........... 52
5.3 Aspek Ekonomi Peternakan Sapi Perah Rakyat.............. 68
5.4 Produksi dan Konsumsi Susu .......................................... 74
5.5 Pemasaran Susu Segar di Tingkat Peternak Sapi Perak
Rakyat ............................................................................. 80
5.6 Dinamika Peternakan Sapi Perah Rakyat ........................ 85
BAB VI PERAN KOPERASI PADA PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT ........................................................ 90
6.1 Perkembangan Koperasi Susu ......................................... 90
6.2 Peran Koperasi pada Usaha Peternakan Sapi Perah
Rakyat ............................................................................. 95

vii
BAB VII PERAN PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN
PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT ............................. 99
7.1 Masalah dan Hambatan ................................................... 99
7.2 Penelitian Sapi Perah yang Berhubungan dengan Faktor-
Faktor Teknis ................................................................... 102
7.3 Penelitian di Bidang Pakan ............................................. 103
7.4 Penelitian pada Pengembangbiakan Sapi Perah (Dairy
Breeding) ......................................................................... 106
7.5 Penelitian di Bidang Manajemen dan Perawatan
Kesehatan Sapi Perah ...................................................... 107
7.6 Penelitian Faktor Sosial Ekonomi Dan Kebijakan
Peternakan Sapi Perah ..................................................... 108
BAB VIII PENUTUP .............................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 113
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. 120
GLOSARIUM ........................................................................................... 138
INDEKS .................................................................................................... 144

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Vitamin yang Dibutuhkan Manusia dalam Susu...... 5


Tabel 2. Perbandingan Kandungan Susu dari Berbagai Jenis Ternak .... 6
Tabel 3. Komposisi Kimia Susu................................................. 7
Tabel 4. Komponen Utama Berbagai Mineral pada Susu .......... 8
Tabel 5. Kandungan Berbagai Vitamin pada Susu ............................. 9
Tabel 6. Rasio Susu dalam Negeri dan Susu Impor untuk IPS
di Indonesia .......................................................................... 17
Tabel 7. Sentra Peternakan Sapi Perah di Luar Pulau Jawa ............... 20
Tabel 9. Kriteria Pembayaran Susu Segar Tahun 1987–2004 ............ 26
Tabel 10. Perlakuan pada Berbagai Produk Olahan Susu .................... 29
Tabel 11. Jumlah Susu Segar dari Anggota GKSI yang Dibeli IPS
Tahun 2004 ........................................................................... 30
Tabel 12. Perkembangan Harga Susu yang Dibayar IPS ..................... 31
Tabel 13. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas .............................. 36
Tabel 14. Kesejahteraan Sosial yang Hilang Akibat Kebijakan Harga
Susu ...................................................................................... 38
Tabel 15. Kesejahteraan Sosial yang Hilang Akibat Kebijakan
Produk Susu.......................................................................... 39
Tabel 16. Industri Pengolahan Susu di Indonesia Tahun 2007............. 44
Tabel 17. Kegiatan/Tanggung Jawab Lembaga Kebijakan Persusuan . 47
Tabel 18. Penguasaan Lahan Hijauan .................................................. 53
Tabel 19. Beberapa Indikasi Reproduksi Sapi Perah di Daerah Tropis 59
Tabel 20. Rata-Rata Keuntungan Usaha Peternakan Sapi Perah
Rakyat................................................................................... 61
Tabel 4. Perhitungan Titik Impas, Estimasi Gross Margin, dan
Nisbah R/C ........................................................................... 74
Tabel 21. Dampak School Milk Program di Thailand.......................... 78
Tabel 22. Perkembangan Koperasi Persusuan di Indonesia ................. 95
Tabel 23. Jumlah Koperasi Peternakan Sapi Perah Utama Tahun
1996–2002 ............................................................................ 95

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Susu Segar Hasil Peternakan Sapi Perah Rakyat ................. 10


Gambar 2. Populasi Sapi Perah di Indonesia (Ekor) .............................. 13
Gambar 3. Persentase Populasi Sapi Perah Berdasarkan Umur ............. 14
Gambar 4. Produksi Susu Segar di Beberapa Produsen Utama (Ton) ... 15
Gambar 5. Proporsi Penggunaan Susu Segar di Indonesia Tahun 2004 16
Gambar 6. Ekspor Impor Produk Susu Tahun 2011 ............................... 26
Gambar 7. Efek Kebijakan Harga Maksimum ....................................... 32
Gambar 8. Efek Kebijakan Harga Minimum ......................................... 33
Gambar 9. Efek dari Tarif dan Kuota ..................................................... 34
Gambar 10. Efek Subsidi Harga Input ..................................................... 35
Gambar 11. Kebijakan Perdagangan Alternatif pada Produksi Susu ....... 40
Gambar 12. Organisasi Pendukung Kebijakan Persusuan ....................... 47
Gambar 13. Kebun Rumput Peternak Sapi Perah Rakyat ........................ 54
Gambar 14. Peternak Menyiapkan Hijauan untuk Dicacah dengan
Chopper ................................................................................ 55
Gambar15. Tempat Pakan Hijauan.......................................................... 57
Gambar 16. Hijauan Diangkut dengan Gerobak ...................................... 58
Gambar 17. Inseminasi Buatan oleh Inseminator .................................... 59
Gambar 18. Pemerahan dengan Mesin Perah .......................................... 61
Gambar 19. Siklus Manajemen Perawatan Kesehatan Ternak Perah....... 67
Gambar 20. Produksi Susu Domestik dan Konsumsi .............................. 76
Gambar 21. Peternak Menyetor Susu pada Kelompok ............................ 81
Gambar 22. Mobil Koperasi Mengambil Susu dari Kelompok ............... 81
Gambar 23. Pakan Konsentrat.................................................................. 83
Gambar 25. Peran Koperasi pada Tata Niaga Persusuan ......................... 97
Gambar 26. Faktor-Faktor Pengaruh Produktivitas Peternakan Sapi
Perah Rakyat ........................................................................ 100
Gambar 27. Penelitian Bidang Nutrisi dan Pakan Ternak ........................ 105

xi
Gambar 28. Penelitian Bidang Pengembangbiakan Ternak ..................... 107
Gambar 29. Penelitian Bidang Manajemen dan Perawatan Kesehatan
Sapi Perah ............................................................................. 108
Gambar 30. Penelitian Bidang Sosial Ekonomi dan Kebijakan ............... 110

xii
BAB I
PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diukur berdasarkan kenaikan


Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor pertanian, yang terdiri atas subsektor
pertanian dalam arti sempit, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan
memberikan kontribusi terbesar kedua setelah sektor industri terhadap nilai
PDB. Subsektor peternakan memegang peranan penting dalam meningkatkan
perekonomian Indonesia. Nilai PDB pertanian pada tahun 2011 atas dasar harga
konstan sebesar Rp313,7 triliun, atau meningkat sebesar 2,95 persen dari tahun
2010 sebesar Rp304,7 triliun. Nilai PDB subsektor peternakan pada tahun 2011
sebesar Rp39,9 triliun, atau meningkat sebesar 4,49% dari tahun 2010 sebesar
Rp38,2 triliun. Laju pertumbuhan subsektor peternakan pada tahun 2011 sebesar
4,49%, mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010 sekitar 4,27 persen
(Dirjen Peternakan, 2012).
Dalam rangka meningkatkan perekonomian rakyat, lembaga keuangan
internasional (The International Finance Corporation-IFC) mempromosikan
investasi yang berkelanjutan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia
melalui peningkatan kesejahteraan dan menurunkan tingkat kemiskinan. Sektor
pertanian di Indonesia menjadi prioritas utama dari pemerintah untuk mencapai
swasembada sektor ini. Investasi di bidang peternakan sapi perah atau industri
persusuan dapat terus dikembangkan dan mampu membuka peluang usaha dan
kesempatan kerja. Peternakan sapi perah merupakan usaha peternakan yang
penting. Program pemerintah terus dikembangkan dalam rangka memenuhi
kebutuhan susu nasional yang berasal dari produk lokal dan diharapkan dapat
mencapai 50% pada tahun 2020.
Peternakan sapi perah di Indonesia didominasi oleh peternakan sapi
perah rakyat. Peternakan sapi perah rakyat merupakan peternakan sapi perah
yang diusahakan oleh peternak dengan skala kepemilikan kecil.
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia terus-menerus mengalami
perkembangan dari tahun ke tahun. Perkembangan ini salah satunya disebabkan
oleh meningkatnya permintaan susu sebagai akibat dari meningkatnya jumlah
penduduk dan kesadaran masyarakat terhadap gizi seimbang akan pangan
sumber protein hewani. Peternakan sapi perah rakyat di Indonesia masih dikelola
dengan manajemen tradisional dan skala pemilikan yang belum ekonomis, yaitu

1
sekitar 1–4 ekor, dengan produksi susu yang masih rendah, yaitu rata-rata 10
liter per hari per ekor. Kondisi skala usaha yang belum ekonomis ini antara
lain disebabkan oleh terbatasnya modal peternak dan kesulitan mencari pakan
hijauan. Terbatasnya lahan untuk tanaman pakan hijauan ternak menjadi salah
satu kendala dalam penyediaan jumlah dan kualitas pakan ternak. Hal ini yang
menyebabkan usaha budi daya sapi perah belum efisien.
Usaha peternakan sapi perah masih didominasi di wilayah Pulau Jawa.
Wilayah utama usaha peternakan sapi perah mencapai 97% berada di Pulau
Jawa. Data statistik kependudukan menunjukkan bahwa lebih dari 58%
penduduk Indonesia bermukim di Pulau Jawa dengan luas area hanya 6,9%
dari seluruh luas wilayah Indonesia. Kondisi ini berbanding terbalik dengan
kondisi di pulau lain seperti Kalimantan dan Sumatra yang berturut-turut
hanya sekitar 5,5% dan 21% penduduk tinggal di pulau-pulau ini, tetapi luas
wilayah kedua pulau ini mencapai 28,1% dan 24,7% dari seluruh luas wilayah
Indonesia. Dari uraian di atas, dapat terlihat bahwa kepadatan penduduk Pulau
Jawa yang tinggi menyebabkan lahan usaha peternakan sangat sempit. Hal ini
menjadi salah satu penyebab usaha peternakan sapi perah di Indonesia belum
maksimal pengusahaannya.
Kebijakan pemerintah yang sangat populer di kalangan peternak kecil/
rakyat adalah adanya konsep Pola Inti Rakyat atau Program Inti Rakyat (PIR).
PIR ini merupakan konsep hubungan antara peternak kecil dengan perusahaan
besar dalam mengolah bahan baku dari peternak kecil sebagai supplier.
Konsep bisnis antarpeternak kecil dan perusahaan pengolah susu
dimanfaaatkan oleh koperasi lokal untuk menghasilkan produk akhir dari
koperasi, yaitu berupa susu cair dan yoghurt untuk dijual di pasar lokal. Peternak
yang terlibat dalam aktivitas ini terutama berlokasi di wilayah yang jauh dari
lokasi pabrik pengolahan susu, peternak yang memproduksi susu segar dengan
kualitas yang rendah dan tidak memenuhi persyaratan IPS, atau peternak yang
memilki kelebihan susu segar namun tidak dapat ditampung IPS.
Permasalahan yang dihadapi oleh peternak kecil terkait dengan
hubungannya sebagai penyedia susu segar bagi IPS adalah rendahnya kualitas
susu segar yang dihasilkan peternak kecil membuat susu hasil produksi ternak
mereka tidak dapat memenuhi standar yang diminta oleh pabrik pengolah susu.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah kapasitas perusahaan yang terba-
tas, sehingga tidak dapat menampung semua susu dari peternak. Hasil
pengolahan susu berupa susu cair dan yoghurt masih terbatas atau rendah
permintaannya, sehingga beberapa perusahaan memandang bahwa bisnis
mengolah susu ini belum dapat dijadikan bisnis andalan yang menguntungkan.
Susu yang dihasilkan sapi setidaknya 5% digunakan untuk ternak muda (pedet).
Kebijakan industri persusuan di Indonesia secara tegas difokuskan pada
upaya perkembangan sapi perah rakyat yang dihimpun dalam wadah koperasi

2
BAB II
PETERNAKAN SAPI PERAH SEBAGAI PENGHASIL
PANGAN BERGIZI TINGGI

2.1 PERANAN SUSU BAGI TUBUH MANUSIA

Peternakan sapi perah merupakan usaha peternakan yang menghasilkan


produk susu sebagai komoditas utama. Susu merupakan salah satu sumber
pangan yang mengandung gizi tinggi. Kelebihan produk susu dibanding
sumber pangan lain adalah terdapatnya unsur-unsur gizi yang diperlukan tubuh
secara lengkap dan seimbang. Susu mempunyai kandungan gizi sempurna,
sangat bermanfaat dan esensial untuk manusia, terutama dalam membantu
pertumbuhan dan membangun kapasitas intelektual yang harus dibangun pada
periode umur di bawah lima tahun (balita).
Susu memiliki komposisi zat gizi yang lengkap sehingga rasanya enak.
Kelebihan lain dalam susu adalah daya cerna susu sangat tinggi dibanding
sumber pangan lain. Kesempurnaan susu sebagai bahan makanan disebabkan
juga karena mutu protein dan lemak yang dikandung lebih tinggi dibanding
dengan kandungan protein dan lemak dari pangan lain. Pada Tabel 1 ditunjukkan
jumlah vitamin yang terkandung dalam susu yang dapat membantu memenuhi
kebutuhan vitamin dalam tubuh manusia.
Tabel 1. Jumlah Vitamin yang Dibutuhkan Manusia dalam Susu
Kandungan
Wanita Hamil
Vitamin Dewasa Anak-anak dalam Liter Air
dan Menyusui
Susu
A 4.000–5.000 IU 6.000–5.000 IU 200–500 IU 7.000–8.000 IU
D 400 IU 400–800 IU 400 IU 150 IU
B1 1,2 mg 2 mg 0,6–8 mg 0,4 mg
B2 - - - 5–8 mg
C 70–75 mg 100mg 35–100 mg 20 mg
Sumber: Rasyid, 2012.

5
Produk susu yang dihasilkan dari usaha peternakan dapat berasal dari
berbagai jenis ternak, yaitu dari kerbau, kambing, dan domba. Kandungan susu
dari berbagai jenis ternak ini dapat dijelaskan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Kandungan Susu dari Berbagai Jenis Ternak
Kal- Pro- Le- Vit.
Susu Asal KH Besi Kapur Vit. A Vit B
ori tein mak B1
Ternak (mg) (mg) (mg) (IU) (IU)
(Kal) (g) (g) (IU)
Sapi FH 65 3,5 3,5 4,6 0,1 120 100 50 1,5
Sapi India 71 3,75 4 4,4 - - - - -
Kerbau 106 4,13 7,41 5,18 - 120 160 - 1
Kambing 80 4,3 4,8 4,4 0,1 110 180 45 1
Domba 190 5,3 7,3 4,7 0,05 200 1 - 2
Sumber: Rasyid, 2012.

Bahan-bahan yang terkandung dalam susu memiliki fungsi, yaitu


sebagai bahan pembakar yang terdapat pada laktosa dan lemak, sebagai bahan
pembangun yang terdapat pada protein dan beberapa mineral, serta bahan
pembantu yang terdapat pada mineral dan vitamin.
Selain dikenal sebagai pangan sumber protein hewani, susu dan hasil
olahannya juga merupakan pangan sumber kalsium yang utama. Mengonsumsi
pangan sumber kalsium sangat bermanfaat untuk tubuh manusia terutama
para remaja karena dapat memberikan cadangan kalsium yang cukup, yang
diperlukan dalam pertumbuhan dan pembentukan tulang yang tecermin pada
densitas tulang dan ukuran tulang, termasuk tinggi badan. Densitas tulang
seseorang pada masa dewasa yang berhubungan dengan osteopenia dan
osteoporosis ditentukan oleh pembentukan tulang selama remaja dan peak bone
mass. Mineral utama yang dibutuhkan bertambah bersamaan dengan proses
pertumbuhan tulang saat remaja. Elemen utama penyusun tulang adalah kalsium
dan fosfor. Apabila pada masa remaja dan dewasa awal kekurangan kalsium,
maka akan meningkatkan risiko osteoporosis (Spear, 2004 cit. Hardinsyah et
al., 2008).

2.2 KOMPOSISI SUSU

Susu merupakan produk hasil peternakan yang kompleks, kaya akan


lemak, protein, dan laktosa. Campuran komposisi susu juga dilengkapi dengan
berbagai mineral seperti Kalsium (Ca) dan Potasium (P), serta vitamin yang
keseluruhannya sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia.

6
BAB III
PETERNAKAN SAPI PERAH DI INDONESIA

3.1 SEJARAH PETERNAKAN SAPI PERAH DI INDONESIA

Peternakan sapi perah di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh


Belanda di Jawa pada tahun 1905 untuk memenuhi kebutuhan mereka akan
susu dan produk olahan susu (keju). Langkah pertama yang dilakukan oleh
Belanda yaitu mengembangkan peternakan sapi perah di daerah pegunungan
di Jawa Tengah (Boyolali, Salatiga, dan Ambarawa) dan kemudian diperluas
ke Jawa Barat (wilayah Bandung) dan Jawa Timur (Nongkojajar, Malang, dan
Batu). Peternakan sapi perah yang dikelola oleh peternak lokal dimulai setelah
kemerdekaan yaitu ketika bangsa sapi Friesian Holstein didistribusikan pada
peternak kecil di Jawa Timur (Pasuruan, Malang, dan Batu), Jawa Tengah
(Semarang, Boyolali, Salatiga, Ambarawa, dan Solo), dan Jawa Barat (Pasar
Minggu, Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan Bandung). Dibandingkan dengan
daerah-daerah lain, perkembangan peternakan sapi perah berkembang pesat di
daerah Malang, Boyolali, dan Bandung, sehingga daerah-daerah ini dijadikan
pusat pengembangan peternakan sapi perah.
Peternakan sapi perah rakyat tumbuh sejak zaman pendudukan
Jepang dan revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1942–1950). Pada
saat itu, perusahaan sapi perah terbengkalai dan ditinggalkan pemiliknya.
Sapi perah yang ada kemudian sebagian dipotong dan sebagian lagi
sempat tersebar di kalangan rakyat. Di antaranya ada yang berkembang
biak dan menjadi titik tolak tumbuhnya peternakan rakyat sapi perah
(Soehaji, 2009).
Peternakan sapi perah berkembang mengikuti kebijakan pemerintah
(Subandriyo dan Adiarto, 2009). Selanjutnya, dijelaskan bahwa pada
dekade antara 1950–1961, pada periode usaha rehabilitasi melalui Rencana
Kemakmuran Istimewa (RKI), bidang peternakan mulai mendapat perhatian,
meskipun belum diprioritaskan yang utama. Peternakan sapi perah mulai
mendapat perhatian pada Periode Pembangunan Nasional Semesta Berencana
(1996–1998).

11
3.2 SITUASI PETERNAKAN SAPI PERAH DI INDONESIA

Indonesia memiliki iklim tropis dengan musim penghujan antara


November sampai April dan musim kemarau yang dimulai pada bulan Mei
sampai dengan Oktober. Rata-rata kelembapan relatif terendah pada bulan
Agustus sekitar 74% dan tertinggi pada Maret sekitar 87%. Kondisi iklim ini
terutama beberapa daerah di Indonesia yang berada di dataran tinggi mendukung
untuk mengembangkan usaha peternakan sapi perah.
Peternakan sapi perah di dataran tinggi di Pulau Jawa dapat bertahan dan
berkembang baik dengan ternak sapi perah jenis Frieisn Holstein (FH), dengan
syarat bahwa ternak dikelola dengan baik dan dapat mengatisipasi ketersediaan
pakan hijauan pada saat musim kemarau, terutama pada masa kekurangan air.
Eksistensi peternakan sapi perah di Indonesia secara historis tidak
terlepas dari penjajahan pemerintah Belanda, dan saat ini telah menjadi salah
satu aset komoditas unggulan dalam bidang pertanian itu sendiri. Sekalipun
usaha ini masih dibayangi beberapa keterbatasan, kinerja produksi peternakan
sapi perah telah memberikan hasil yang nyata. Hal ini tecermin antara lain, total
produksi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun dan adanya sentra-sentra
produksi di luar Pulau Jawa meskipun kecepatan peningkatan produksi ini
belum mampu mengimbangi kecepatan peningkatan konsumsi susu.
Sapi perah adalah ternak yang sangat tepat untuk dikembangkan
mengingat produk yang dihasilkan ternak tersebut merupakan bahan pangan
yang bergizi, yaitu susu dan daging. Hal ini juga sangat sesuai dengan kondisi
sekarang di mana banyak terjadi kasus gizi buruk yang untuk pemulihan status
gizi tersebut, pemberian susu tampaknya paling tepat.
Usaha budi daya sapi perah merupakan salah satu industri berbasis
pedesaan dan padat karya, sehingga dapat membangkitkan perekonomian
masyarakat di pedesaan yang merupakan jumlah terbesar dari penduduk
Indonesia. Potensi sumber daya peternak sapi perah cukup besar, yaitu 127.211
kepala keluarga yang sebagian besar menjadi anggota 90 koperasi susu/KUD
yang ada di Indonesia (Setiawati, 2008).
Populasi ternak sapi perah yang merupakan penghasil utama susu segar
pada tahun 2011 meningkat sekitar 22,27% dibandingkan tahun sebelumnya,
yaitu dari 488.448 ekor pada tahun 2010 menjadi 597.213 ekor (Gambar 2).
Wilayah provinsi yang paling banyak populasi ternak sapi perahnya adalah
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat sehingga ketiga provinsi tersebut
merupakan pemasok utama susu untuk kebutuhan konsumsi susu nasional.
Laporan kondisi statistik peternakan Indonesia oleh Dirjen Peternakan
menunjukkan bahwa peternakan sapi perah tersebar di seluruh Indonesia, yaitu
terdapat di 19 provinsi dari 33 provinsi yang ada. Namun, dari data tersebut,
97% peternakan sapi perah berada di Pulau Jawa, yaitu di Provinsi Jawa Timur

12
BAB IV
INDUSTRI PERSUSUAN DI INDONESIA

4.1 PERDAGANGAN SUSU DUNIA


Perdagangan susu dunia di pasar internasional sangat kecil proporsinya
dibandingkan dengan total produk susu dunia, yaitu sekitar 7%. Di bidang
persusuan hanya sedikit negara-negara di dunia yang merupakan negara
pengekspor. Selandia Baru yang mempunyai produksi susu sekitar 2% dari
produksi susu dunia, mengekspor 80% produksinya, sehingga Selandia Baru
merupakan negara pengekspor terbesar kedua dan menyumbang 25% dari
ekspor susu dunia. Australia yang produksinya hanya kurang dari 2% dari
produksi susu dunia mengekspor 45% hasil produksi susunya dan mempunyai
kontribusi sekitar 10% dari ekspor susu dunia. Pengekspor terbesar adalah
Uni Eropa yang menyumbang 47% pada ekspor susu dunia. Amerika Serikat
menyumbang 8% dari ekspor susu dunia. Dengan demikian, Uni Eropa,
Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat mempunyai kontribusi sebesar
90% terhadap total ekspor dunia. Sisanya 10% datang dari eksportir lainnya
seperti Kanada, negara-negara Eropa yang bukan Uni Eropa, Argentina, dan
Uruguay (Malcolm, 1999).
Asia mengimpor 50% lebih susu bubuk skim (skim milk powder =
SMP) dan whey powder, sepertiga susu bubuk penuh (whole milk powder =
WMP) dan sekitar 20% minyak mentega, keju dan susu cair termasuk susu
kental. Amerika Latin mengimpor hampir 30% keju, SMP, WMP, dan bubuk
whey, serta susu. Afrika mengimpor keju (23% dari suplai ekspor) dan susu
cair (15%), Timur Tengah mengimpor minyak mentega (15% dari suplai
ekspor), keju (13% dari ekspor dunia), WMP (11%), dan susu cair (11%).
WMP sebagian besar diekspor ke negara-negara tropis yang mempunyai
suplai susu segar dan refregerasi terbatas.
Pasar susu dunia mengalami distorsi yang sangat berat sebagai
akibat dari tingginya tingkat intervensi pemerintah negara-negara produsen
maupun pengimpor susu dunia. Untuk melindungi pendapatan peternaknya,
negara produsen susu utama di dunia (kecuali Selandia Baru) pada umumnya
menerapkan kebijaksanaan subsidi ekspor yang tinggi di satu pihak dan
sekaligus juga menerapkan perlindungan cukup ketat terhadap industri dalam
negeri dengan melakukan pembatasan impor.

23
Harga didasarkan per gram
lemak, per gram SNF dan:
• TS (Totalsolids) minimum
11%, dengan bonus atau
penalti Rp5/kg untuk +/- TS
sebesar 0,1%.
1998–
• TPC (bakteri) terhitung
April Ya Ya Ya Ya Ya
antara 20 dan 30 juta dengan:
2004
o Bonus tersedia untuk TPC
terhitung di bawah 20 juta
dan
o Penalti dijatuhkan untuk
TPC terhitung lebih dari
30 juta.
Harga didasarkan per gram
lemak, per gram SNF dan:
• Susu dengan TS (Total
Solids) kurang dari 11% akan
ditolak.
• Susu dengan TS lebih dari
11% akan mendapatkan
bonus.
Mei 2004 Ya Ya Ya Ya
• TPC (bakteri) terhitung
antara 20 dan 30 juta dengan:
o Bonus yang tersedia untuk
TPC terhitung di bawah
20 juta dan
o Penalti yang dijatuhkan
untuk TPC terhitung lebih
dari 30 juta.
Harga didasarkan per gram
lemak, per gram SNF, dan:
• Susu dengan TS (Total
Solids) kurang dari 11% akan
ditolak.
• Susu dengan TS (Total Solids)
antara 11% dan 11,2% akan
mendapat penalti.
• Susu dengan TS lebih dari
11,3% akan mendapatkan
bonus.

27
• TPC (bakteri) terhitung antara
10 dan 15 juta dengan:
o Bonus tersedia untuk TPC
terhitung di bawah 10 juta
Juni 2004 Ya Ya Ya Ya dan
o Penalti yang dijatuhkan
untuk TPC terhitung lebih
dari 15 juta.

Harga didasarkan pada per gram


lemak, per gram SNF dan:
• Susu dengan TS (Total
Solids) kurang dari 11% akan
ditolak.
• Susu dengan TS (Total
Solids) antara 11% dan
11,2% akan mendapat
penalti.
• Susu dengan TS lebih dari
11,3% akan mendapatkan
bonus.
Mulai
• TPC (bakteri) terhitung di
Agustus Ya Ya Ya Ya Ya
antara 10 dan 15 juta dengan:
2004
o Bonus tersedia untuk TPC
terhitung di bawah 10 juta
dan
o Penalti dijatuhkan untuk
TPC terhitung lebih dari
15 juta.
• Penalti untuk kandungan
antibiotik. Jika susu
tersebut ditemukan positif
mengandung antibiotik, akan
dikenakan penalti sebesar
Rp200/kg.
Sumber: GKSI (2004) cit. Stanton, Emms & Sia (2005)

4.3 INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU

Pengolahan susu bisa dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu treat-
ment centres dan processing plants (pabrik-pabrik pengolah susu). Perlakuan
treatment centres memproses susu segar dari peternak sapi perah atau kope-
rasi susu dengan pasteurisasi atau sterilisasi saja, sedang pabrik-pabrik susu
mengolah susu segar menjadi produk-produk susu yang bernilai tambah lebih
tinggi (Erwidodo dan Trewin, 1996).

28
Industri pasteurisasi merupakan salah satu pilihan bagi koperasi un-
tuk menyelamatkan susu segar sebagai komoditas yang mudah rusak karena
dapat memperpanjang daya simpan susu segar (pada suhu 4oC dapat bertahan
lebih kurang 4 hari). Demikian pula dengan pasteurisasi, koperasi dapat mem-
peroleh nilai tambah yaitu mendapatkan marjin lebih tinggi dibanding bila
dipasarkan dalam bentuk susu segar. Dari hasil penelitian Ikopin dilaporkan
bahwa usaha pasteurisasi susu memberikan margin cukup besar.
Untuk memperpanjang umur simpan susu sebelum dikonsumsi (oleh
manusia), ada beberapa cara teknologi pengolahan. Paket teknologi ini di-
gunakan untuk mengolah susu menjadi produk olahan susu yang mendekati
kebutuhan konsumen. Sebagai contoh, di Indonesia saat ini karena preferensi
konsumen adalah susu bubuk dan susu kental manis maka yang lebih berkem-
bang produk susu olahan adalah juga kedua macam susu tersebut. Sementara
di negara dengan budaya minum susu yang kuat, produk olahan susu yang di-
tawarkan lebih banyak berupa susu cair pasteurisasi atau sterilisasi dilengkapi
dengan olahan seperti keju dan mentega (Murti, et al., 2009). Berbagai macam
perlakuan terhadap susu dan produknya ditampilkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Perlakuan pada Berbagai Produk Olahan Susu

No Perlakuan yang Diterapkan Produk yang Dihasilkan

1 Pendinginan: 0,55o C Susu beku


10–150 C Susu dingin
2 Pemanasan: 76o C Susu pasteurisasi
>100o C Susu sterilisasi
3 Pemanasan + asidifikasi laktat Susu fermentasi
Pemanasan + gelifikasi Susu menggumpal/gel
4 Pemanasan + penurunan kadar air
- Konsentrasi (pengentalan) kemudian Susu kental tidak manis
sterilisasi
- Konsentrasi kemudiaan penggulaan Susu kental manis
- Pengeringan Susu bubuk
5 Pengentalan (konsentrasi) lewat cara:
- Sentrifugasi Krim
- Agitasi (kocok) Mentega
- Pemanasan + sentrifugasi Minyak mentega
6 Konsentrasi bahan kering lewat:
- Koagulasi, kemudian pengaliran cairan
whey Keju
- Ultrafitrasi, kemudian koagulasi Keju ultrafiltrasi
Sumber: Ramet (1985) cit. Murti, et al., (2009)

29
Ketergantungan peternak sapi perah terhadap IPS sangat tinggi. Seki-
tar 80% dari produksi susu dalam negeri dimanfaatkan oleh IPS sebagai bahan
baku. Sisanya dikonsumsi sendiri oleh peternak (5%), untuk industri pengola-
han makanan lainnya (10%), dan untuk pedet (5%) seperti telah dijelaskan di
depan.
Beberapa IPS pengolah susu yang diambil dari koperasi persusuan di
Indonesia berkembang pesat. Produk olahan susu yang dihasilkan, antara lain
susu cair siap konsumsi, susu UHT, susu bubuk, susu untuk balita hingga
orang lanjut usia. Tabel 11 di bawah ini menyajikan detail dari jumlah susu
segar yang diproduksi anggota koperasi GKSI yang dibeli perusahaan-perusa-
haan pengolahan susu di tahun 2004.

Tabel 11. Jumlah Susu Segar dari Anggota GKSI yang Dibeli IPS Tahun 2004

Jawa Jawa
Jawa Total untuk
Nama Perusa- Barat/ Tengah/ %
Timur Pulau Jawa
haan Jakarta DIY Bagian
Ton Ton
Ton Ton

Nestlé - - 183.017 183.017 47,0

Friesche Vlag
36.616 28.855 7.093 72.564 18,7
(FVI)

FI (Foremost
34.133 3.327 - 37.460 9,6
Indonesia)

Indomilk 17.579 - 11.093 28.672 7,4

Ultra Jaya 24.619 - - 24.619 6,3

Indolakto 17.808 - - 17.808 4,7

Sari Husada - 16.506 - 16.506 4,2

Lainnya - 4.484 3.873 8.357 2,1

Total 130.755 53.172 205.076 389.003 100,0

% dari suplai
51,9 59,4 86,1 65,2
provinsi *

Keterangan: *perkiraan
Sumber: GKSI (2005) cit. Stanton, Emms & Sia (2005)

30
Sejumlah perusahaan pengolah susu memiliki permintaan tersendiri
untuk kriteria susu yang mereka beli dari koperasi/GKSI. Beberapa perusahaan
besar memiliki daya tawar tinggi dan harganya kompetitif dibandingkan
dengan produk impor, contohnya Nestle, Indomilk, Ultra Jaya Milk, dan lain-
lain. Perkembangan harga susu yang dibeli industri meningkat terus (Tabel
12) sejak pertengahan tahun 1990-an. Peningkatan ini cukup pesat terutama
sejak liberalisasi persusuan pada tahun 1998. Stanton, Emms dan Sia (2005)
menuliskan bahwa sumber-sumber industri mengatakan harga rata-rata telah
stabil pada harga sedikit di atas Rp1.700 per liter sejak tahun 2002.

Tabel 12. Perkembangan Harga Susu yang Dibayar IPS

Tahun
Harga susu
(Rp/liter)
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Harga dalam
705 975 1.275 1.299 1.686 1.739 1.725
Rupiah
% Perubahan - +38,3% +30,8% +1,9% + 29,8% + 3.1% (0,8%)
Sumber: Departemen Pertanian, Indonesia cit. Stanton, Emms & Sia, 2005

4.4 KEBIJAKAN PERSUSUAN NASIONAL

Kebijakan pemerintah atau intervensi pemerintah dalam kegiatan per-


ekonomian suatu negara tidak bisa dihindari, baik itu negara maju ataupun
negara sedang berkembang. Di Amerika Serikat dan sebagian besar negara
industri lainnya, pasar jarang bebas dari intervensi pemerintah. Di samping
menarik pajak dan memberi subsidi, pemerintah sering mengatur pasar (bah-
kan di pasar persaingan) dengan berbagai cara, misalnya kontrol harga. Di
negara maju yang paling liberal pun campur tangan pemerintah dalam pasar
hasil pertanian selalu ada agar dapat mengurangi ketidakpastian dan instabil-
ity dan sekaligus juga sebagai support price policy, seperti di Amerika Serikat
pada gandum dan susu (Widodo, 2001). Bentuk intervensi pemerintah antara
lain adalah kebijakan harga, tarif, kuota, dan subsidi.

31
adalah harga dunia, yaitu harga impor CIF (cost, insurance, and freight) untuk
barang yang diimpor dan harga ekspor FOB (free on board) untuk barang yang
diekspor. Maka sebuah negara mengimpor sebagian barang yang bisa diimpor
dan mengekspor sebagian barang yang bisa diekspor, kecuali pemerintah
melakukan intervensi. Produsen diuntungkan dan konsumen dirugikan dengan
kebijakan-kebijakan yang meningkatkan harga dalam negeri untuk barang
yang bisa diimpor dan yang bisa diekspor, sedangkan konsumen diuntungkan
dan produsen dirugikan dengan kebijakan-kebijakan yang menurunkan harga
domestik.

Analisis Kebijakan Proteksi pada Susu Segar


Erwidodo dan Trewin (1996) telah mencoba menganalisis beberapa
kebijakan alternatif pada persusuan nasional terhadap kesejahteraan sosial,
seperti ditampilkan pada Tabel 14 dan Tabel 15. Untuk memudahkan
penjelasan pada Tabel 14 dan Tabel 15, maka operasi jumlah kebijakan tersebut
diilustrasikan pada Gambar 11. Untuk menyederhanakan permasalahan
diasumsikan bahwa suplai domestik (Sd) dibuat dengan anggapan bahwa
Indonesia tidak memiliki produksi domestik pada harga dunia. Suplai agregat
S* merupakan bauran antara kurva suplai domestik Sd dan kurva suplai impor
Sw dengan rasio satu bagian impor dan r bagian suplai domestik, sehingga S*
adalah pada 1(r+1) jaraknya dari Sd ke Sw.
Tabel 14. Kesejahteraan Sosial yang Hilang Akibat Kebijakan Harga Susu
Perubahan Ke- Tidak Ada Tarif Rasio Impor Kuota Impor
sejahteraan Perdagangan Impor (r=Q2/Q1-Q2) (Q1-Q3)
Perubahan surplus
b+e e b+e e
produsen
-(b+c+e+f+g+i)
Perubahan surplus -(b+c+d+e+ -(e+f+ atau
-(e+f+g+h+i)
konsumen f+g+h+i) g+h+i) -(e+f+g+h+i)
sehingga h=b+c
Perubahan peneri-
0 g+h 0 0
maan pemerintah
Kesejahteraan sos-
-(c+d+f+g+h+i) -(f+i) -(c+f+g+i) -(f+g+h+i)
ial yang hilang
Sumber: Erwidodo dan Trewin (1996)

Dari Tabel 14 terlihat bahwa keuntungan produsen pada kebijakan rasio


impor (busep = bukti serap susu) lebih besar daripada saat kondisi tarif impor
maupun kuota. Namun, bila dibandingkan dengan kondisi tarif impor, skema
busep tidak memiliki implikasi bagi pendapatan atau pengeluaran pemerin-

38
tah. Hal ini karena pada skema Bukti Serap Susu (BUSEP) keuntungan yang
diperoleh pengolah (IPS) dari mengimpor bahan baku susu dengan adanya
tarif h, digunakan untuk menyubsidi pembelian susu domestik (b+c), sehingga
kebijakan ini dianggap sebagai kebijakan tarif/subsidi swadana. Secara kes-
eluruhan, tarif impor menyebabkan kerugian sosial paling kecil.
Kebijakan rasio impor membantu peternak sapi perah dengan
meningkatnya produksi susu segar domestik dan meningkatnya pendapatan
peternak. Kebijakan ini memberikan jaminan pada peternak bahwa semua susu
segar akan diserap oleh para pengolah (IPS) dengan harga wajar. Seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 8, bahwa kebijakan rasio impor, susu lokal yang
dibeli sebanyak Q2, sedang dengan tarif impor atau kuota yang menyebabkan
harga konsumen yang sama yaitu Pw*, maka susu lokal yang dibeli hanya Q3.
Apabila tujuan pemerintah adalah meminimalkan biaya bagi masya-
rakat tetapi juga meningkatkan produksi susu segar domestik dan bukan
mempertahankan harga susu segar, maka kerangka analisis kesejahteraan sosial
perlu digunakan dengan cara berbeda. Di sini pilihan-pilihan kebijakan lain
seperti subsidi produksi menjadi relevan. Tabel 15 menunjukkan efek kebijakan
tarif impor, rasio impor, dan subsidi produksi terhadap kesejahteraan sosial
pada kondisi mempertahankan produksi susu segar domestik.
Tabel 15. Kesejahteraan Sosial yang Hilang Akibat Kebijakan Produk Susu
Rasio Impor (harga
Tarif Impor (Pw* Subsidi Produsen
Perubahan Kesejahteraan Produksi Domestik
- Pw) (Pw* - Pw)
Pw*)

Perubahan surplus produsen e e e

Perubahan surplus kon-


-(e+f+g+h+i) -(e-f+bagian i) b) 0
sumen

Perubahan penerimaan
g+h 0 -(e+f)
pemerintah
Kesejahteraan sosial yang
-(f+i) -(f+bagian i) b) -f
hilang
Data adalah bagian area dari diagram pada Gambar 11
a)

Bagian i menggambarkan kenyataan bahwa pada kondisi rasio impor konsumen menghadapi suatu
b)

harga antara Pw* dan Pw karena bercampurnya produk domestik dengan harga Pw* dan produk
impor dengan harga Pw
Sumber: Erwidodo dan Trewin (1996)

Pw* pada Gambar 11, kondisi seperti Tabel 15 mencerminkan harga


produsen domestik pada saat kondisi rasio impor, yang juga menjadi harga
perbatasan dalam tarif impor maupun kuota impor yang menyebabkan tingkat
produksi domestik yang sama.

39
Keterangan:
Sd = suplai domestik
S* = suplai agregat
SW = suplai dunia
Pd = harga produksi domestik
Pw = harga perbatasan
Pw* = Pw + tarif atau harga domestik
Dd = permintaan domestik
Q3 = produksi domestik pada harga perbatasan pada tarif
Q2 = produksi domestik pada rasio impor
Q1 = permintaan domestik pada harga perbatasan plus tarif
Q0 = permintaan domestik pada harga perbatasan
Gambar 11. Kebijakan Perdagangan Alternatif pada Produksi Susu
Sumber: Erwidodo dan Trewin (1996)

Di antara kebijakan-kebijakan yang bertujuan mempertahankan pro-duksi


domestik dengan biaya minimal, ternyata seperti yang ditampilkan pada Tabel
15, subsidi produsen lebih unggul dibanding rasio impor yang pada gilirannya
juga lebih unggul dibanding tarif impor.
Metode analisis yang dirancang untuk mengamati hal-hal yang berkaitan
dengan analisis kebijakan pertanian, yaitu Policy Analysis Matrix (PAM).
Pendekatan ini sangat cocok dengan analisis empiris tentang kebijakan harga

40
komoditas pertanian dan pendapatan pertanian, kebijakan investasi publik, dan
efisiensi serta kebijakan penelitian pertanian dan perubahan teknologi.
Tujuan utama analisis PAM adalah mengukur dampak kebijakan peme-
rintah pada profitabilitas privat (private profitability) dari suatu sistem pertanian
dan efisiensi penggunaan sumber daya. Profitabilitas privat dan kemampuan
bersaing harus mendapatkan perhatian terbesar apabila bertujuan meningkatkan
pendapatan pertanian. Profitabilitas sosial (social profitability) dan efisiensi sering
mendapatkan perhatian dari para perencana perekonomian yang ingin meng-
alokasikan sumber daya yang ada bagi sektor-sektor dan pertumbuhan pendapatan
agregat dalam perekonomian. Kedua rangkaian hal tersebut memfokuskan pada
efek-efek insentif dari sebuah kebijakan (Monke dan Pearson, 1995).
Kerangka kerja dari analisis pertanian ini menekankan pada isu dasar,
yaitu apakah intervensi pemerintah memengaruhi tujuan dari pengembangan
pertanian? Empat komponen dari kerangka kerja sebuah kebijakan adalah:
1) tujuan-tujuan yang diinginkan, 2) kendala-kendala yang ada, 3) kebijakan-
kebijakan yang berupa instrumen pemerintah, dan 4) strategi yang diwujudkan
dalam paket instrumen dari kebijakan tersebut. Strategi para pengambil
kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang dimaksudkan untuk me-
ningkatkan outcome ekonomi (yang telah ditetapkan oleh para pengambil
kebijakan). Berbagai kebijakan tersebut pada pelaksanaannya akan menghadapi
berbagai kendala ekonomi baik yang diakibatkan oleh aspek penawaran,
permintaan serta harga dunia yang bisa mendukung atau menghambat terca-
painya tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian dampak kebijakan terhadap
pencapaian tujuan memungkinkan untuk melakukan penyesuaian strategi yang
telah ditetapkan bila memang diperlukan (Pearson et al., 2004).
Analisis kebijakan mempunyai tujuan dasar berupa: 1) efisiensi,
yaitu memaksimalkan pendapatan dari sumber daya-sumber daya yang bisa
digunakan, 2) pemerataan, yaitu distribusi pendapatan di antara kelompok-
kelompok dan wilayah-wilayah yang dipilih, dan 3) keamanan, yaitu
tersedianya suplai pangan pada harga yang stabil. Namun, kebijakan pertanian
mempunyai kendala-kendala yang membatasi, yaitu: 1) suplai, yang dibatasi
oleh sumber daya, teknologi dan harga input relatif, 2) permintaan yang
dibatasi oleh populasi, pendapatan, selera, dan harga output relatif, serta
3) harga dunia yang memengaruhi jumlah yang diimpor dan yang diekspor.
Ada tiga kategori kebijakan pertanian, yaitu kebijakan harga komoditas,
kebijakan makroekonomi, dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga
pertanian menggunakan instrumen seperti 1) pajak dan subsidi, sehingga terjadi
transfer di antara anggaran publik, produsen, dan konsumen, 2) pembatasan
perdagangan internasional yang diwujudkan dengan pajak, dan pembatasan
kuota impor ataupun ekspor, serta 3) pengawasan langsung, seperti peraturan
pada margin pemasaran ataupun harga. Untuk kebijakan makro ekonomi yang

41
memengaruhi pertanian yaitu kebijakan moneter dan fiskal, kebijakan nilai tukar
valuta asing dan kebijakan harga faktor produksi (tingkat bunga, upah, sewa
tanah), sumber daya alam dan penggunaan lahan. Kebijakan investasi publik
yang berpengaruh pada pertanian, yaitu 1) infrastruktur, seperti transportasi,
irigasi, 2) sumber daya manusia, misalnya pendidikan, pelatihan, kesehatan,
dan 3) penelitian dan teknologi, misalnya di bidang produksi dan teknologi
pengolahan (Monke dan Pearson,1995).
Satu hal yang harus dipahami bahwa tidak mungkin suatu instrumen
kebijakan langsung menguntungkan semua pihak, sehingga diperlukan skala
prioritas secara sektoral atau regional, namun diharapkan memiliki implikasi
yang luas dan berdampak pada pencapaian tujuan kebijakan.
Peraturan-peraturan yang bertujuan memproteksi industri susu Indone-
sia, meningkatkan produksi dalam negeri dan meningkatkan pendapatan
peternak sapi perah yang telah dikeluarkan pemerintah selama ini adalah rasio
impor susu, lisensi impor, dan perdagangan pemerintah, pembatasan investasi
pengolahan susu dan tarif impor. Kebijakan persusuan yang terakhir adalah
penghapusan rasio impor dan pengendalian impor susu.

Kebijakan Rasio Impor


Kebijakan ini merupakan kebijakan yang paling kompleks yang
memengaruhi industri persusuan nasional dan merupakan hambatan perda-
gangan non-tariff, yaitu pemerintah mengontrol besarnya impor susu berdasarkan
kuantitas susu domestik yang dibeli oleh para IPS. Dari semua kebijakan susu
Indonesia, kebijakan ini memiliki dampak paling langsung pada produsen susu
domestik. Untuk mengimpor bahan baku susu, IPS perlu menunjukkan bukti
serap (busep) atau sertifikat penyerapan yang mengindikasikan volume susu
dalam negeri yang telah diserapnya. Instrumen kebijakan ini merupakan suatu
bentuk kuota impor yang bertujuan memproteksi peternak sapi perah dalam
negeri dengan mewajibkan IPS untuk menyerap susu segar yang diproduksi di
dalam negeri. Rasio impor ini dievaluasi setiap enam bulan melalui serangkaian
pertemuan.
Pertemuan asosiasi pengolah susu (IPS) untuk mengestimasi impor yang
diperlukan untuk memenuhi permintaan pasar setelah mempertimbangkan
produksi susu dalam negeri.
Pertemuan pengolah dan koperasi peternak susu (GKSI) untuk mene-
gosiasikan kebutuhan impor yang didasarkan pada estimasi GKSI tentang
produksi dalam negeri. Pertemuan tim koordinasi yang melegalisasikan rasio
impor susu IPS-GKSI dalam bentuk keputusan menteri. Perubahan-perubahan
rasio impor ini lebih banyak dilandasi oleh faktor-faktor produksi dan konsumsi
susu di dalam negeri (Erwidodo dan Trewin, 1996).

42
Mengingat rasio impor dinegosiasi ulang setiap enam bulan maka setelah
rasio tersebut ditetapkan, IPS diperbolehkan mengimpor susu yang diperlukan
dalam periode enam bulan, dengan syarat IPS telah menyerap produksi susu
di dalam negeri.
Harga susu segar tidak ditetapkan secara langsung oleh pemerintah.
Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sebagai perwakilan peternak
sapi perah menegosiasikan harga susu segar dengan IPS. Harga yang telah
disepakati ini ditetapkan setiap bulan dengan memperhitungkan faktor-faktor
biaya produksi, biaya penanganan, dan pendistribusian serta harga impor. Harga
yang telah ditetapkan ini biasanya dikaitkan dengan standar kualitas tertentu
(misalnya persentase kandungan lemak maupun kandungan solid non fat/SNF
= bahan padat bukan lemak). Susu berkualitas rendah bisa ditolak ataupun
dikenakan sanksi harga, sedang susu yang berkualitas baik mendapatkan bonus
harga.

Lisensi Impor dan Perdagangan Pemerintah


Dengan kebijakan lisensi impor, hanya importir yang ditunjuk, termasuk
perusahaan milik negara, yang diizinkan untuk mengimpor produk susu tertentu
(pada saat kebijakan busep masih diberlakukan) adalah berikut ini.
1. PT Panca Niaga merupakan satu-satunya pengimpor susu untuk
industri pangan nonsusu.
2. PT Kerta Niaga merupakan satu-satunya importir produk akhir susu.
3. Para pengolah susu terpilih (IPS) yang diizinkan untuk mengimpor
bahan mentah susu sepanjang mereka menyerahkan sertifikat BUSED.
Lisensi impor bertujuan untuk membantu melaksanakan rasio impor
dan tarif bagi industri oleh pemerintah (Erwidodo dan Trewin, 1996).

Sampai dengan tahun 2007 jumlah Industri Pengolah Susu yang ada di
Indonesia sebanyak 13 buah merupakan industri skala besar baik PMA, PMDN,
maupun kombinasi PMA dan PMDN yang semuanya terdapat di Pulau Jawa,
seperti pada Tabel 16.

43
BAB V
USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT

5.1 KARAKTERISTIK PETERNAK SAPI PERAH RAKYAT

Usaha peternakan sapi perah saat ini masih didominasi oleh usaha
peternakan rakyat dengan manajemen tradisional dan skala pemilikan yang
belum ekonomis, yaitu sekitar 1–4 ekor, dengan produksi susu yang masih
rendah, yaitu rata-rata 10 liter per hari per ekor. Pulau Jawa masih menjadi
wilayah utama usaha sapi perah yang menghasilkan sekitar 97–98 % dari
produksi susu nasional pada tahun 2007. Kondisi skala usaha yang belum
ekonomis ini, antara lain disebabkan oleh terbatasnya modal peternak dan
kesulitan mencari pakan hijauan karena terbatasnya lahan untuk tanaman pakan
ternak sehingga penyediaan jumlah dan kualitas pakan juga terbatas. Hal ini
mengakibatkan usaha budi daya sapi perah belum efisien, diperkirakan skala
ekonomis dapat dicapai dengan kepemilikan 10–12 ekor sapi per peternak
(Ahmad dan Hermiyetti, 2008). Untuk usaha peternakan sapi perah tingkat
rumah tangga dapat memberikan keuntungan jika jumlah yang dipelihara
minimal 6 ekor (Setiani dan Prasetyo, 2008). Komposisi ternak produktif
dan nonproduktif juga merupakan faktor yang harus diperhatikan pada usaha
pemeliharaan sapi perah. Agar kelangsungan usaha dan kestabilan produksi
terjaga, maka komposisi ternak pada usaha sapi perah adalah 85% ternak
produktif dan 15% ternak nonproduktif. Disarankan bahwa dalam upaya
meningkatkan usaha sapi perah perlu dilakukan fasilitasi peningkatan skala
usaha dari 2 ekor menjadi sekitar 7–15 ekor/rumah tangga, dan peningkatan
produksi dari sekitar 5/ekor/hari menjadi minimal 10/ekor/hari (Sarjana et al.,
2005).
Perbandingan sapi laktasi yang efisien adalah 4:3, artinya bahwa apabila
jumlah sapi yang dipelihara 7 ekor, harus terdiri dari empat ekor sapi laktasi,
satu ekor sapi kering, dan dua ekor pedet (Mahaputra cit. Prasetyo, 2008).
Dilaporkan bahwa usaha tani sapi perah sebagai penghasil bahan baku IPS yang
potensial serta sustainable untuk dikembangkan adalah dengan skala pemilikan
>3UT atau rata-rata 5,23 UT dan proporsi sapi laktasi ≥70% (Nurtini, 2005).

51
Struktur industri persusuan di Indonesia sangat lengkap. Mulai dari
peternak dan kelompoknya, koperasi susu/KUD, Gabungan Koperasi Susu
Indonesia (GKSI), Asosiasi Peternak (APSPI dan PPSKI), dan Dewan
Persusuan Nasional. Ditambah lagi dengan perguruan tinggi dan lembaga
penelitian yang menghasilkan teknologi dan sumber daya manusia yang
kompeten (Setiawati, 2008).
Dijelaskan bahwa kelompok yang merupakan organisasi tempat para
peternak sapi perah yang dinamis berkumpul mempunyai peran yang penting
bagi berkembangnya agribisnis sapi perah yang efisien. Koperasi susu
mempunyai peran yang besar dalam membantu peternak khususnya dalam
hal penyediaan sarana dan prasarana, seperti pakan konsentrat, peralatan
produksi, pelayanan kesehatan ternak, dan juga dalam hal pemasaran susu,
yaitu pengumpulan susu dari para anggota untuk kemudian dijual ke IPS. Di
samping itu, koperasi melalui GKSI mempunyai peran untuk memperjuangkan
kepentingan anggotanya, yaitu dalam hal memperoleh dukungan pemerintah
untuk mengembangkan agribisnis sapi perah serta dalam hal negoisasi dengan
IPS untuk memperoleh harga yang layak.

5.2 ASPEK BUDI DAYA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT

Pemilikan ternak pada peternakan sapi perah rakyat di Indonesia cukup


tinggi variasinya. Hasil penelitian di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur pada tahun 2008 (Priyanti et al.,
2009) adalah rata-rata jumlah sapi terbanyak di Jawa Timur (8,03 ekor), Jawa
Tengah rata-rata 6,73 ekor, DIY rata-rata 5,03 ekor, dan Jawa Barat 4,21 ekor.
Komposisi sapi laktasi yang dimiliki hanya 51,6% dari total pemilikan, yang
berarti masih jauh dari komposisi sapi laktasi yang ideal atau ekonomis. Sisa
pemilikan adalah berupa sapi kering, dara, dan pedet. Hal ini menunjukkan
bahwa beban ketergantungan sapi yang tidak berproduksi terhadap sapi laktasi
cukup tinggi. Pedet jantan yang dimiliki relatif kecil karena pada umumnya
pedet jantan segera dijual setelah berumur 6–12 bulan. Pedet betina dan dara
digunakan untuk replacement sapi induk sehingga kepemilikannya relatif
cukup besar. Dengan komposisi pemilikan ternak seperti tersebut di atas maka
diperoleh nilai nisbah R/C di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY, serta
Jawa Timur masing-masing berturut-turut adalah sebagai berikut: 1,33; 1,19;
dan1,42.
Hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Santosa, et al., (2013)
melaporkan bahwa peternak sapi perah rakyat di Kecamaran Musuk, Kabu-
paten Boyolali, Jawa Tengah R/C-nya adalah 1,28.

52
Gambar 19. Siklus Manajemen Perawatan Kesehatan Ternak Perah
Sumber: Aiumlamai (1999)

Pengapkiran
Peternak sapi perah rakyat sering mempertahankan semua ternaknya,
bahkan sapi yang berproduksi rendah atau yang tidak pernah bunting pun tetap
dipelihara. Manajemen yang baik mengharuskan pengapkiran ternak yang tidak

67
pencapaian keberhasilan industri persusuan nasional. Untuk itu diperlukan suatu
perencanaan strategis yang didasarkan kepada suatu kajian terhadap situasi
faktual, yaitu aspek-aspek potensi yang dimiliki, serta prospek dan kendala
yang dihadapi subsektor ini. Perkiraan peningkatan permintaan ataupun upaya
perluasan pasar SSDN melalui Program Susu untuk Anak Sekolah berbasis
bahan baku susu lokal merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan
baik, sehingga konsumsi susu merupakan suatu keharusan.

89
BAB VI
PERAN KOPERASI PADA PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT

Pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia masih memiliki


peluang besar untuk terus dikembangkan. Di samping itu, peternakan sapi perah
dapat menjadi sumber mata pencaharian/penghasilan bagi penduduk miskin.
Namun dalam mengembangkan usaha peternakan sapi perah, banyak upaya
yang harus dilakukan, baik penyediaan sumber produksi maupun penanganan
hasil produksi sapi, yaitu produk susu. Oleh karena itu, terkait dengan kondisi
ini, pemerintah membentuk koperasi bagi peternak sapi perah untuk dapat
membantu mengembangkan peternakan sapi perah mereka.
Peningkatan usaha ternak kiranya dapat difasilitasi jika para peternak
yang umumnya terdiri atas peternak kecil mau bergabung dalam suatu wadah
koperasi. Menurut Handoko (2003), usaha koperasi umumnya masih berskala
kecil, namun usaha kecil ini sangat mendukung perekonomian bangsa.

6.1 PERKEMBANGAN KOPERASI SUSU

Koperasi susu pertama di Indonesia didirikan di Pujon, Malang, Jawa


Timur pada tahun 1962. Tujuan pendirian koperasi adalah untuk mengatasi
persaingan antarpeternak sapi perah dalam hal penetapan harga susu, rendahnya
kualitas bibit sapi, rendahnya produksi susu, dan kualitas susu. Sebelum tahun
1962, yaitu sebelum berdirinya koperasi, para peternak sapi perah saling
bersaing terutama dalam penetapan harga susu. Mereka bersaing menurunkan
harga susu dengan cara mencampur susu hasil produksi sapi mereka dengan
air agar mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Koperasi susu terus dikembangkan di beberapa daerah. Pada tahun 1967
koperasi susu dibentuk di Nongkojajar Pasuruan, Pangalengan, dan Sukabumi
pada tahun 1969, dan di Bogor pada tahun 1970. Pada tahun 1978, koperasi
susu juga didirikan di Grati, Ungaran, Boyolali, Solo, dan Garut, sedangkan
di DI Yogyakarta pada tahun 1979.
Pada tahun 1978, ada 11 koperasi susu yang beroperasi di seluruh
Indonesia. Koperasi susu ini memiliki 2.800 anggota dengan total sapi perah

90
ada 48.600 ekor. Saat itu produksi susu mencapai 62.300.000 liter. Meskipun
demikian, peternak masih menghadapi masalah pada penjualan susu yang
bersaing dengan membanjirnya susu impor yang masuk yang harganya lebih
murah. Harga susu pada waktu itu sangat murah hanya 40–80 rupiah per liter
di tingkat petani. Koperasi menjadi kurang aktif dan beberapa dipaksa untuk
membubarkan diri.
Beberapa koperasi persusuan besar di Indonesia, antara lain Sinau
Andadani Ekonomi (Pujon, Jawa Timur), Kemusuk (Boyolali, Jawa Te-
ngah), Bandung Selatan (Pangalengan, Jawa Barat), dan Warga Mulya (DI
Yogyakarta). Fungsi utama dari koperasi adalah memberikan pelayanan pada
peternak sapi perah terutama pada kegiatan pengumpulan susu, pemberian
kredit usaha, penyuluhan, dan pelatihan pada anggota koperasi. Tujuan utama
dari koperasi adalah untuk menyediakan layanan yang terkait dengan kegiatan
yaitu pengumpulan susu, kredit, penyuluhan, dan pelatihan kepada anggota.
Pada masa Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I dan II,
pengembangan usaha peternakan sapi perah meluncurkan program inseminasi
buatan dan program perbaikan kualitas pakan ternak. Program-program ini
dilakukan dalam rangka untuk meningkatan produksi susu.
Guna menyelesaikan masalah persusuan tidak dapat dihadapi hanya
oleh masing-masing koperasi persusuan, bahkan masalah yang menyangkut
kebijakan pemerintah tidak dapat diselesaikan oleh satu instansi saja. Maka,
muncul pemikiran untuk menyatukan kekuatan persusuan nasional yang sudah
ada, sehingga pada tanggal 19–21 Juli 1976 dengan didukung oleh Menteri
Muda Urusan Koperasi diadakan Temu Karya yang diikuti oleh 11 koperasi
persusuan di Pusat Pendidikan Koperasi Jakarta. Salah satu keputusan yang
monumental adalah dibentuknya Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia
(BKKSI). Pada Temu Karya Koperasi Susu kedua yang diselenggarakan di
Malang, Jawa Timur tanggal 29–31 Maret 1979 dihadiri oleh 17 koperasi susu,
salah satu keputusannya adalah menyempurnakan nama organisasi dari BKKSI
menjadi Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Pada tahun 2007, anggota
GKSI berjumlah 100 koperasi yang tersebar di Pulau Jawa.
Koperasi susu yang berada di seluruh Indonesia bergabung dalam
satu wadah yang disebut Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). GKSI
merupakan sebuah organisasi nasional yang terdiri dari koperasi susu yang
merumuskan berbagai layanan koperasi untuk peternakan sapi perah. Pelayanan
berupa pasokan bibit sapi perah, pemasaran susu segar, dukungan teknis,
produksi pakan ternak, obat-obatan hewan dasar, peralatan susu, kapal tanker
jalan, pengolahan susu, dan pelatihan. Saat itu diperkenalkan pada tahun 1978
untuk memperkuat personel sistem koperasi dan meningkatkan layanan yang
diberikan oleh koperasi kepada peternak sapi perah. GKSI menetapkan harga
susu berdasarkan kualitas susu, yaitu besarnya solid non-fat (SNF) dan lemak

91
Koperasi sangat berperan dalam tata niaga persusuan di Indonesia
(Gambar 26). Usaha koperasi harus terus dibina. Seperti yang dicanangkan Ke-
menterian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengenai koperasi
dan perdagangan dalam negeri bahwa beberapa cara untuk membina koperasi
yaitu dengan cara berikut. Pertama, memantapkan dan mengembangkan lebih
lanjut usaha koperasi primer dalam bidang-bidang pelayanan kebutuhan pokok
untuk masyarakat, produksi dan pengolahan hasil serta pemasarannya, simpan-
pinjam, dan jasa-jasa lainnya, agar tumbuh menjadi suatu lembaga ekonomi
yang mandiri, mampu melayani kebutuhan para anggota dan masyarakat di
sekitarnya. Kedua, meningkatkan kemampuan perencanaan usaha koperasi
primer. Ketiga, meningkatkan kemampuan koperasi primer untuk memanfaat-
kan berbagai fasilitas perkreditan yang tersedia untuk pertumbuhan usahanya.
Keempat, meningkatkan dan membina usaha Koperasi Simpan Pinjam agar
mampu berperan aktif dengan efektif dalam mengisi kebutuhan para anggota
koperasi. Kelima, mengembangkan kerja sama dan jalinan usaha antara koperasi
primer dengan dukungan koperasi sekundernya. Keenam, memantapkan dan
mengembangkan pusat-pusat pelayanan koperasi sehingga benar-benar dapat
berperan dalam mendukung pengembangan usaha koperasi sekunder dan kop-
erasi primer lainnya. Kini sudah saatnya masyarakat peternakan mengembalikan
fungsi dan peran koperasi susu sebagaimana fitrahnya.

98
BAB VII
PERAN PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN
PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT

7.1 MASALAH DAN HAMBATAN

Peternakan sapi perah berskala kecil di beberapa negara yang sedang


berkembang pada umunya produktivitasnya relatif rendah. Hal tersebut, antara
lain karena kurang tersedianya pengetahuan/penelitian dan teknologi yang
tepat untuk dapat diadopsi oleh peternak kecil/peternak rakyat, karena kondisi
sosio-ekonomi dan agroekologi yang sangat berbeda dengan yang ada di negara
maju (Chantalakhana,1999).
Di negara maju setiap masalah yang berkaitan dengan proses produksi
akan dimintakan penyelesaiannya kepada lembaga penelitian milik pemerintah
ataupun perguruan tinggi. Kondisi ini belum biasa terjadi di negara sedang
berkembang. Peternak kecil akan mengadopsi inovasi baru jika ada program
dari pemerintah lewat penyuluhan. Meskipun ada program dari pemerintah ten-
tang inovasi baru tidak serta merta peternak akan mengadopsi inovasi tersebut.
Efektivitas dari petugas penyuluh, inovasi, kesesuaian dengan budaya setem-
pat, serta pengaruh langsung terhadap pendapatan peternak ikut memengaruhi
adopsi inovasi baru tersebut. Jelaslah bahwa masalah yang berhubungan den-
gan produktivitas yang rendah pada peternak kecil/peternak rakyat di negara
sedang berkembang tidak dapat diselesaikan dengan penelitian saja, tetapi ada
faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan juga seperti kebijakan pemer-
intah, infrastruktur, dan efesiensi petugas penyuluh. Di samping itu, banyak
permasalahan lain yang dihadapi peternak rakyat dalam menjalankan usahanya
seperti permodalan, konsekuensi jika skala usaha ditingkatkan, konsekuensi
apabila mengadopsi teknologi. Chantalakhana (1999) menyebutkan banyak
faktor tambahan yang memengaruhi pengem-bangan peternak sapi perah rakyat.
Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan pada empat kategori: 1) dukungan
kelembagaan, 2) komponen teknologi, 3) kebijakan pemerintah, dan 4) faktor
sosio-ekonomi peternak. Apabila salah satu dari faktor tersebut tidak ada, maka
akan menghambat salah satu program pengembangan.

99
Gambar 26. Faktor-Faktor Pengaruh Produktivitas Peternakan Sapi Perah Rakyat
Sumber: Chantalakhana, 1999.

Dukungan Kelembagaan
Berikut ini contoh-contoh lembaga pendukung yang diperlukan untuk
mempermudah pertumbuhan industri persusuan, yaitu lembaga pemberi kredit,
fasilitas pelatihan peternak, pusat pengumpulan susu, fasilitas pemasaran
dan pengolahan, koperasi persusuan, atau kelompok peternak, dan layanan
penyuluhan dan penelitian. Sebagian besar peternak rakyat sumber keuangannya

100
terbatas. Peternak-peternak ini memiliki pendidikan formal yang rendah dan
pengetahuan tentang peternakan sapi perah yang terbatas. Minimal dua atau tiga
bulan pelatihan praktis yang intensif diperlukan untuk memberikan pengetahuan
teknis yang memadai tentang peternakan sapi perah kepada peternak-peternak
skala kecil ini.

Faktor-Faktor Teknis
Faktor teknis yang merupakan syarat mutlak adalah sebagai berikut:
1. Bangsa sapi perah yang cocok/sesuai untuk daerah yang panas dan lembap.
2. Tersedianya pakan yang berkualitas baik, terutama hijauan, juga air bersih.
3. Manajemen pemeliharaan peternakan yang baik.
4. Pengawasan yang rutin dan pencegahan parasit dan penyakit hewan tropis.
Pelayanan penyuluhan sapi perah yang mengusahakan inseminasi buatan,
perawatan kesehatan, seperti vaksinasi dan pelayanan lainnya yang dibutuhkan
peternak untuk meningkatkan efisiensi peternakan mereka.
Untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam pengembangan
peternakan sapi perah skala kecil memang diperlukan penelitian-penelitian
yaitu tidak saja dari aspek teknis produksi peternakan sapi perah, akan tetapi
termasuk juga penelitian di bidang sosial, ekonomi, dan kebijakan.

Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah yang kondusif terhadap peternakan sapi perah
dapat menguntungkan perkembangan persusuan. Sebagai contoh, di Thailand
(Chantalakhana, 1999) beberapa kebijakan pemerintah yang menghasilkan
dampak positif yang besar pada produksi peternakan sapi perah seperti berikut
ini.
1. Kampanye minum susu yang disponsori oleh pemerintah untuk mening-
katkan konsumsi susu susu segar dari kira-kira 2 kg per kapita menjadi 15
kg sebelum tahun 2000.
2. Program Susu Sekolah (School Milk Program) yang dicanangkan selama
tahun 1994–1995 untuk meningkatkan minum susu di antara murid-murid
sekolah di luar kota untuk meningkatkan kesehatan murid-murid.
3. Diversifikasi produksi padi ke peternakan sapi perah, untuk mengurangi
pertanian padi di daerah tertentu.
Pemerintah Indonesia mungkin dapat meniru langkah Pemerintah
Thailand dalam mengembangkan persusuan di negaranya, seperti kampanye
minum susu segar dan program susu masuk sekolah. Di satu sisi meningkatkan
konsumsi minum susu masyarakat, tetapi dampaknya juga dirasakan oleh
produsen susu segar yang tidak lain adalah peternak sapi perah rakyat. Tentunya,
juga diperlukan dukungan pemerintah yang berupa penguatan sistem penelitian

101
Gambar 30. Penelitian Bidang Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Sumber: Chantalakhana (1999).

110
Ringkasan
Kebijakan pemerintah dapat berdampak pada pengembangan peternakan
sapi perah skala kecil. Program pemerintah tentang promosi bidang persusuan
dan pelayanan penyuluhan dapat membantu pengembangan peternakan sapi
perah. Penelitian sosial ekonomi yang berkaitan dengan sistem produksi
peternakan sapi perah antara lain adalah aspek ekonomi usaha peternakan
sapi perah, hambatan-hambatan, dampak lingkungan dan keberlanjutan usaha.
Pengetahuan mengenai manajemen peternakan sapi perah seperti tipe gudang
pakan dan perawatan serta pemberian pakan pedet yang berhubungan dengan
kondisi tropis adalah relatif belum banyak dilakukan khususnya yang dapat
diterapkan pada peternakan sapi perah skala kecil.

111
BAB VIII
PENUTUP

Keberpihakan penentu kebijakan pada peternak sapi perah rakyat perlu


ditingkatkan. Dinamika industri persusuan domestik masih terbuka lebar untuk
diamati baik dari sisi adopsi teknologi (bibit, pakan, penyakit, manajemen),
estimasi efisiensi (permodalan, penggunaan input, skala usaha), pemasaran,
maupun kelembagaan peternakan sapi perah. Studi dengan topik-topik tersebut
dapat meningkatkan pengetahuan kita mengenai ekonomika persusuan sehingga
membuka kesempatan meningkatnya akurasi kebijakan peternakan yang dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak dan pada gilirannya akan
memantapkan industri persusuan nasional.
Usaha peternakan sapi perah adalah agribisnis yang memerlukan
dukungan teknologi tinggi serta menuntut pola pemeliharaan yang baik, dengan
mewujudkan good farming practices. Walaupun kelembagaan dalam agribisnis
sapi perah relatif sudah sangat maju dibandingkan dengan komoditas peternakan
lainnya, akan tetapi pemberdayaan peternak masih sangat diperlukan. Dukungan
teknologi dari semua aspek berdasarkan kearifan/sumber daya lokal sangat
diperlukan.
Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa peternak sapi perah rakyat
merupakan salah satu komponen sistem agribisnis, meski sudah menjalani
proses dinamisasi, namun masih tidak mudah untuk mengikuti tuntutan
pengembangan agribisnis. Hal ini disebabkan karena kecilnya usaha, rendahnya
pendapatan, rendahnya tingkat pendidikan, tingkat komersialisasi usaha
peternakan sapi perah rakyat yang belum penuh dan orientasi bisnis yang
belum memadai.
Kewirausahaan menuntut perilaku yang lebih dinamis daripada sekadar
orientasi bisnis. Hal ini terkait dengan timbulnya banyak inovasi. Peranan public
sector masih sangat besar dalam litbang yang diharapkan menghasilkan inovasi
di bidang peternakan dan agribisnis. Sistem informasi agribisnis yang memadai
diharapkan dapat memperbesar peluang timbulnya jiwa kewirausahaan dan
penerapan inovasi pada usaha peternakan sapi perah rakyat.

112
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I. dan Hermiyetti. 2008. “Analisis Produksi dan Konsumsi Susu di


Indonesia”. Prosiding Seminar Nasional Prospek Industri Sapi Perah
Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta. 21 April 2008. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor bekerja sama dengan
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Ahmadi, Kustono, T. Soetarno, dan B. Rustamadji. 2004. “Kajian Lapangan
Kinerja Persusuan Nasional”. Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Persusuan Nasional Menggugat Unfair Trade Persusuan Di Era
Perdagangan Bebas. Fakultas Peternakan UGM. 24 September 2004.
1 – 8.
Aiumlamai, S. 1999. Dairy Management and Animal Health. Smallhol-der
Dairying in the Tropics. The University of Melbourne. International
Livestock Research Institute, Nairobi, Kenya.
Aiumlamai, S. 2005. FTA (Free Trade Area) and Research Priorities for The
Dairy Industry in Thailand. AHAT/BSAS International Conference.
November 14-18, 2005, Khon Kaen, Thailand.
Aviliani. 2008. “Dukungan Perbankan Terhadap Agribisnis Sapi Perah
Menyongsong Perdagangan Bebas 2020”. Prosiding Seminar
Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas
2020. Jakarta 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Boediyana, T. 2010. “Pengembangan Pasar SSDN Melalui PMTAS dan
Gerimis Bagus/Sekawan”. Makalah dipresentasikan pada Seminar
Pengembangan Pengolahan dan Kerjasama Pemasaran Persusuan
Nasional yang Berkelanjutan dalam Upaya Peningkatan Produksi dan
Konsumsi Susu Segar dalam Negeri. Peringatan Hari Susu Nusantara
2010. Lembang, Bandung, 30 Mei 2010.
Budiarsana, I. G.M. dan E. Juarini. 2008. “Analisis Biaya Produksi pada Usaha
Sapi Perah Rakyat: Studi Kasus di Daerah Bogor dan Sukabumi”.
Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas
2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi

113
Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Darmawan, Y. Rismayanti, T. Maryati, dan O. Marbun. 2008. “Kelembagaan
Persusuan dan Manfaatnya di Tingkat Peternak Sapi Perah: Studi
Kasus di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung
Barat Jawa Barat”. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju
Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Bogor bekerja sama dengan Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. 2003.
Buku Statistik Peternakan 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2004.
“Upaya Perlindungan Pemerintah Terhadap Peningkatan Daya
Saing Persusuan Nasional”. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Persusuan Nasional Menggugat Unfair Trade Persusuan di Era
Perdagangan Bebas. Fakultas Peternakan UGM. 29 September 2004.
2 – 3.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. 2008. Kebijakan Model
Pengembangan Industri Pengolahan Susu. Direktorat Jenderal
Industri Agro dan Kimia. Departemen Perindustrian Republik
Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian Republik
Indonesia. Available at: http//www.ditjenak.go.id. Accesion date:
April, 16, 2011.
Diwyanto, K., S. Bahri dan E. Masbulan. 2000. “Ketersediaan dan Kebutuhan
Teknologi, Peternakan dan Veteriner dalam Upaya Meningkatkan
Ketahanan Pangan”. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan. Bogor. 51 – 63.
Djaja, W. 1991. “Perhitungan Jumlah Sapi Produktif dan Non Produktif”.
Buletin PPSKI Nomor 33 Th VII April–Juni 1991. 35.
Erwidodo dan F. Hasan. 1993. “Evaluasi Kebijaksanaan Industri Per-susuan
di Indonesia”. Jurnal Agro Ekonomi 12(1). Pusat Pene-litian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor. 48–65.
Erwidodo and R. Trewin. 1996. The Social Welfare Impact of Indonesian
Dairy Policies. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(3). The
Australian National University. 55–84.
FAO. 2011. Dairy Trade. Pro-Poor Livestock Policy Initiative (PPLPI).
Available at:http://www.fao.org/ag/pplpi.html. Accession date: March,
25, 2011.

114
Fatah, L. 2006. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Jurusan
Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat
bekerja sama dengan Pustaka Benua. Banjarbaru.
Firman. A. 2007. Kajian Koperasi Persusuan di Jawa Barat, FA-PET UNPAD
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/ 03/kajian_
koperasi_persusuan_di_jawa_barat.pdf
Hardinsyah, E. Damayanthi dan W. Zulianti. “Hubungan Konsumsi Susu
dan Kalsium dengan Densitas Tulang dan Tinggi Badan Remaja”.
Prosiding Prospek Industri Sapi Perah menuju Perda-gangan Bebas
2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Harpini, B. 2008. “Upaya Mendorong Industri Pengolahan dan Pemasaran Susu
pada Peternakan Rakyat”. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah
Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor bekerja sama dengan
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Januar. 2002. “Upaya-Upaya Menata Kembali Kebijakan Pertanian di Bidang
Ketahanan Pangan dalam Wacana Otonomi Daerah”. Prosiding
Round Table Kebijakan Pangan Nasional dalam Kerangka Otonomi
Daerah. Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. 49 – 56.
Krisnamurthi B, 1998, “Perkembangan Kelembagaan dan Perilaku Usaha
Koperasi Unit Desa di Jawa Barat”. Disertasi. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor. (http://repository.ipb.ac.id/bitstream/
handle/123456789/859/1998bkr.pdf?sequence=4.
Porter, E. Michael. 1994. Keunggulan Bersaing Menciptakan dan
Mempertahankan Kinerja Unggul. Binarupa Aksara. Jakarta Barat.
Malcolm, B. 1999. Dairy Trade and Marketing. Smallholder Dairying In The
Tropics. International Livestock Research Institute. Nairobi, Kenya.
348 – 349.
Monke, E.A. and S.R. Pearson. 1995. The Policy Analysis Matrix for Agri-
cultural Development. Cornell University Press. Ithaca and London.
Murti.T.W., H. Purnomo dan S. Usmiati. 2009. “Pascapanen dan Teknologi
Pengolahan Susu”. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. LIPI Press. Jakarta.
Nicholson, W. 1991. Mycroeconomics Theory. Basic: Principles and Extensions.
The Dryden Press.
Nopirin. 1999. Ekonomi Internasional. BPFE. Yogyakarta.

115
of Livestock Development Thailand”. Dairy Expert Roundtable
Meeting. December 8 & 9, 2010. Muak Lek, Thailand.
Warr, P.G. 1992. “Comparative and Protection in Indonesia”. Bulletin of
Indonesian Economic Studies. 28(3). The Australian National
University. 41–67.
Widodo, S. 1989. Production Efficiency of Tice Farmens in Java, Indonesia
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Lacticia Press. Yogyakarta.
Widodo, S. 2001. Ketahanan Pangan pada Era Globalisasi dan Otonomisasi.
Agro Ekonomi. 8(2). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian UGM. Yogyakarta. 1–8.
________. 2008. Campur Sari Agro Ekonomi. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

119
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.
Perkembangan Peternakan Sapi Perah dan Koperasi Susu di Indonesia
Tahun Peternakan Sapi Perah Koperasi Persusuan
Belanda memperkenalkan sapi perah
1905
di Jawa
Sapi bangsa Frisian Holstein menye-
1940-an–1950-an bar pada peternak di Jawa timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat
Koperasi persusuan pertama di
1962
Pujon (Jawa timur)
Koperasi persusuan didirikan
1967 di Nongkojajar, Pasuruan
(Jawa Timur)
Koperasi persusuan di Panga-
1969 lengan dan Sukabumi (Jawa
Barat) berdiri
Repelita I dan II menggalakkan pro-
gram perbaikan pakan dan inseminasi
196–1979
buatan untuk meningkatkan produksi
susu.
Koperasi persusuan berdiri di
1970
Bogor (Jawa Barat)
Koperasi persusuan berdiri di
GKSI memperkenalkan penentuan Grati, Ungaran, Boyolali, dan
harga susu berdasarkan komposisi Solo (Jawa Tengah) dan Garut
lemak dan solid-non-fat dalam susu. (Jawa Barat). GKSI berdiri. 11
1978
Produksi susu mencapai 62,3 juta liter. koperasi persusuan berdirian
Harga susu di tingkat peternak 40–80 dengan anggota 2.800 peter-
rupiah per liter. nak dan 48.600 sapi perah di
Indonesia.
Koperasi susu Warga Mulya
Indonesia mengimpor sapi perah dari
1979 berdiri di Provinsi Di Yogya-
Australia dan New Zealand
karta
Selama Repelita III, pemerintah In-
donesia bekerja sama dengan GKSI
1979-1984
membuat kebijakan mewajibkan IPS
mengambil susu dari peternak kecil.

120
GKSI mulai memberikan
kredit dalam bentuk perleng-
Indonesi mengimpor 36.200 sapi per-
1981 kapan pendingin susu, milk
ah dari Austalia dan New Zealand
can, dan sepeda motor pada
koperasi persusuan
Tim teknis yang terdiri dari Menteri
Perindustrian, Menteri Perdagangan
dan Koperasi, dan Menteri Pertanian
bersatu dalam rangka:
1. Menentukan kesepakatan harga GKSI memantau harga susu
1982
beli susu antara IPS dan koperasi setiap 6 bulan
persusuan
2. Menentukan rasio antara penyera-
pan produski susu lokal dan vo-
lume susu bubuk impor
Hasil kerja tim teknis adalah me-
ningkatkannya harga susu menjadi
Diperkenalkan `Koperasi
1983 300–328 rupiah per liter. Indonesia
Model`
mengimpor sapi perah 67.000 ekor
dari Australia dan New Zealand
Produski susu mencapai 227,2 juta
1984 liter. Konsumsi susu mencapai 622,8
juta liter
Selama Repelita IV penetapan target
1984–1989 50% pemenuhan kebutuhan susu dari
produksi lokal hingga tahun 1989
Deklarasi keputusan Presiden No. 2
merumuskan pembangunan persusu-
an nasional dengan menghubungkan
7 kementerian: Menteri Pertanian,
Menteri Perindustri dan Perdagangan,
Menteri Koperasi, Menteri Kesehatan,
Badan Koordinasi Perumahan dan
Investasi. Pemerintah mendukung pe-
menuhan fasilitas untuk meningkatkan
1985
produktivitas ternak:
1. Berdirinya pusat inseminasi buat-
an (Jawa Barat) dan Singosari
Jawa Timur)
2. Berdirinya pusat investigasi pe-
nyakit di DI Yogyakarta
3. Berdirinya pusat pelatihan per-
susuan di Batu (Jawa Timur) dan
Baturaden (Jawa Tengah).

121
Target produksi susu tidak tercapai.
Total konsumsi susu mencapai 761
1989
juta liter namun produksi susu lokal
hanya 292,8 juta liter
Selama Repelita V, target peningkatan
1989–994 produksi susu lokal untuk memenuhi
50% kebutuhan konsumsi susu
Target selama 1989–1994 tidak terca-
pai dan Indonesia masih mengimpor
602,8 juta liter (lebih dari 50% kebu-
1994
tuhan susu). Konsumsi susu nasional
mencapai 862,1 juta liter dan produksi
susu lokal mencapai 385,5 juta liter
Selama Repelita VI, target pemenuhan
1994-1999 505 kebutuhan nasila dari produksi lo-
kal dilanjutkan
Terdapat 80.931 peternak sapi perah
Terdapat 4 koperasi persusuan
dan 324.719 ekor sapi perah di Indo-
di Indonesia, yaitu Sinau An-
nesia. Target pemenuhan kebutuhan
dani Ekonomi (Pujon, Jawa
domestik dari 505 produksi lokal ti-
Timur), Kemusuk (Boyolali,
1999 dak tercapai. Konsumsi susu nasinal
Jawa Tengah), Bandung
mencapai 966,7 juta liter dan produski
Selatan (Pangalengan, Jawa
susu lokal mencapai 378,9 juta liter.
Barat) dan Warga Mulya
Indonesia mengimpor 509,5 juta liter
(DIY).
susu.
Sumber: Sulastri dan Maharjan, 2007

122
Lampiran 2.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah Pemasok Bahan Baku IPS
Biaya
Keterangan Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Strata 1:
Harga privat 3.928.772,27 263.109,24 4.585.284,82 - 919.621,59
Harga sosial 4.030.188,05 274.008,71 3.785.678,71 - 29.499,37
Perbedaan - 101.415,78 - 10.899,47 799.605,91 - 890.122,22
Strata 2:
Harga privat 4.803.559,81 284.000,65 5.476.056,70 - 956.497,54
Harga sosial 4.962.222,70 291.691,93 4.427.736,30 242.794,48
Perbedaan - 158.662,89 - 7.691,28 1.048.320,41 - 1.199.292,02
Strata 3:
Harga privat 3.690.467,98 261.447,63 4.494.311,10 - 1.065.290,75
Harga sosial 3.800.225,95 273.658,19 3.807.262,76 - 280.695,00
Perbedaan - 109.757,97 - 12.210,56 687.048,34 - 784.595,75
Strata 4:
Harga privat 5.410.878,01 275.622,87 4.602.885,69 532.369,45
Harga sosial 5.598.223,52 287.457,04 3.996.306,10 1.314.460,38
Perbedaan - 187.345,51 - 11.834,17 606.579,59 - 782.090,94
DIY:
Harga privat 4.458.419,52 271.045,10 4.789.634,53 - 602.260,11
Harga sosial 4.597.977,61 281.703,97 4.004.245,96 312.027,68
Perbedaan - 139.558.09 - 10.658,87 785.388,56 - 779.690,49
Sumber: Nurtini, (2006)

Lampiran 3.
Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Sapi Perah di DIY

Penerimaan Biaya Produksi


Strata
(Rp/UT/tahun) (Rp/UT/tahun)
1 3.928.772,27 4.848.393,86
2 4.803.559,81 5.760.057,35
3 3.690.467,98 4.755.758,73
4 5.410.878,01 4.878.508,56
DIY 4.458.419,52 5.060.679,62
Sumber: Nurtini, (2006)

123
Lampiran 4.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya pada Strata 1
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 3.928.772,27(A) (A) 263.109,24(B) 4.585.284,62(C) (C -919.621,59(D)
Nilai sosial 4.030.188,05(E) 274.008,71(F) 3.785.678,71(G) - 29.499,37(H)
Divergensi - 101.415,78(I) -10.899,47(J) 799.605,91(K) - 890.122,22(L)

Keuntungan privat D = A-B-C - 919.621,5898


Keuntungan sosial H = E-F-G - 29.499,3696
Transfer output I = A-E - 101.415,7800
Transfer input J = B-F - 10.899,4708
Transfer faktor K = C-G 799.605,9112
Transfer bersih L = D-H = I-J-K - 890.122,2203
Rasio biaya privat PCR = C/(A-B) 1,2509
Rasio biaya sumber daya domestik DRCR = G/(E-F) 1,0079
Koefisien proteksi output nominal NPCO = A/E 0,9748
Koefisien proteksi input nominal NPCI = B/F 0,9602
Koefisien proteksi efektif EPC = (A-B)/(E-F) 0,9759
Koefisien keuntungan PC = D/H 31,1743
Rasio subsidi bagi produsen SRP = L/E - 0,2209

Sumber: Nurtini, (2006)

124
Lampiran 5.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya pada Strata 2
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 4.803.559,81(A) (A) 284.000,65(B) 5.476.056,70(C) (C -956.497,54(D)
Nilai sosial 4.962.222,70(E) 291.691,93(F) 4.427.736,30(G) 242.794,48(H)
Divergensi - 158.662,89(I) -7.691,28(J) 1.048.320,41(K) - 1.199.292,02(L)

Keuntungan privat D = A-B-C -956.497,5389


Keuntungan sosial H = E-F-G 242.794,4815
Transfer output I = A-E - 158.662,8910
Transfer input J = B-F - 7.691,2781
Transfer faktor K = C-G 1.048.320,4074
Transfer bersih L = D-H = I-J-K - 1.199.292,0203
Rasio biaya privat PCR = C/(A-B) 1,2116
Rasio biaya sumber daya domestik DRCR = G/(E-F) 0,9480
Koefisien proteksi output nominal NPCO = A/E 0,9680
Koefisien proteksi input nominal NPCI = B/F 0,9736
Koefisien proteksi efektif EPC = (A-B)/(E-F) 0,9677
Koefisien keuntungan PC = D/H - 3,9395
Rasio subsidi bagi produsen SRP = L/E - 0,2417

Sumber: Nurtini, (2006)

125
Lampiran 6.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya pada Strata 3
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 3.690.467,98(A) (A) 261.447,63(B) 4.494.311,10(C) (C -1.065.290,75(D)
Nilai sosial 3.800.225,95(E) 273.658,19(F) 3.807.262,76(G) - 280.695,00(H)
Divergensi - 109.757,97(I) -12.210,56(J) 687.048,34(K) - 784.595,75(L)

Keuntungan privat D = A-B-C - 1.065.290,7454


Keuntungan sosial H = E-F-G - 280.695,0002
Transfer output I = A-E - 109.757,9665
Transfer input J = B-F - 12.210,5581
Transfer faktor K = C-G 687.048,3368
Transfer bersih L = D-H = I-J-K - 784.595,7452
Rasio biaya privat PCR = C/(A-B) 1,3107
Rasio biaya sumber daya domestik DRCR = G/(E-F) 1,0796
Koefisien proteksi output nominal NPCO = A/E 0,9711
Koefisien proteksi input nominal NPCI = B/F 0,9554
Koefisien proteksi efektif EPC = (A-B)/(E-F) 0,9723
Koefisien keuntungan PC = D/H 3,7952
Rasio subsidi bagi produsen SRP = L/E - 0,2065

Sumber: Nurtini, (2006)

126
Lampiran 7.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya pada Strata 4

Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 5.410.878,01(A) (A) 275.622,87(B) 4.602.885,69(C) (C 532.369,45(D)
Nilai sosial 5.598.223,52(E) 287.457,04(F) 3.996.306,10(G) 1.314.460,38(H)
Divergensi - 187.345,51(I) -11.834,17(J) 606.579,59(K) - 782.090,94(L)
Keuntungan privat D = A-B-C 532.369,4483
Keuntungan sosial H = E-F-G 1.314.460.3845
Transfer output I = A-E - 187.345,5145
Transfer input J = B-F -11.834,1717
Transfer faktor K = C-G 606.579,5934
Transfer bersih L = D-H = I-J-K - 782.090,9362
Rasio biaya privat PCR = C/(A-B) 0,8963
Rasio biaya sumber daya domestik DRCR = G/(E-F) 0,7525
Koefisien proteksi output nominal NPCO = A/E 0,9665
Koefisien proteksi input nominal NPCI = B/F 0,9588
Koefisien proteksi efektif EPC = (A-B)/(E-F) 0,9670
Koefisien keuntungan PC = D/H 0,4050
Rasio subsidi bagi produsen SRP = L/E - 0,1397

Sumber: Nurtini, (2006)

127
Lampiran 8.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya di DIY
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 4.458.419,52(A) (A) 271.045,10(B) 4.789.634,53(C) (C - 602.260,11(D)
Nilai sosial 4.597.977,61(E) 281.703,97(F) 4.004.245,96(G) 312.027,49(H)
Divergensi - 139.558,09(I) - 10.658,87(J) 785.388,56(K) - 779.690,49(L)

Keuntungan privat D = A-B-C - 602.260,1065


Keuntungan sosial H = E-F-G 312.027,6760
Transfer output I = A-E - 139.558,0900
Transfer input J = B-F - 10.658,8697
Transfer faktor K = C-G 785.388,5622
Transfer bersih L = D-H = I-J-K - 779.690,4925
Rasio biaya privat PCR = C/(A-B) 1,1438
Rasio biaya sumber daya domestik DRCR = G/(E-F) 0,9277
Koefisien proteksi output nominal NPCO = A/E 0,9696
Koefisien proteksi input nominal NPCI = B/F 0,9622
Koefisien proteksi efektif EPC = (A-B)/(E-F) 0,9701
Koefisien keuntungan PC = D/H - 1.9301
Rasio subsidi bagi produsen SRP = L/E - 0,1696

Sumber: Nurtini, (2006)

128
Lampiran 17.
Arah Kebijakan Persusuan untuk Meningkatkan Kesejahteraan di Pedesaan

136
Lampiran 18.
Pilar-Pilar Pendukung Pembangunan Persusuan
Pembangunan Sumber Peningkatan produktivitas Memperkuat Hubungan
daya Manusia dan Penge- dan Daya Saing Peternak Antara Peternak dan Kon-
tahuan Manajemen Sapi Perah Skala Kecil sumen untuk Menciptakan
Harga Produk Susu yang
yang Layak, Melalui :
1) Pelatihan keterampi- 1) Alternatif model pem- 1) Meningkatkan akses
lan bangunan persusuan jaringan pemasaran bagi
2) Effective M&E of sec- 2) Memilih model pem- peternak;
toral development bangunan persusuan 2) Penguatan insentif harga
3) Mendukung kola- yang sesuai dengan untuk susu berkualitas;
borasi daerah dalam kondisi lokal 3) Menciptakan kondisi
manajemen pengeta- 3) Membantu peternak supply chain yang kom-
huan melalui jaringan kecil untuk memenuhi petitif
peternak skala kecil sumber daya yang 4) Menciptakan sistem
diperlukan penetapan harga yang
adil dan transparan;
5) Mengedukasi konsumen
pada pengetahun dan
kelebihan produk susu;
6) Menstimulasi permin-
taan konsumen; dan
7) Menurunkan kerugian
dalam supply chain

137
GLOSARIUM

Abortus : Berakhirnya kebuntingan dengan dikeluar-


kannya fetus baik dalam keadaan hidup,
tetapi belum sanggup hidup terus mati sampai
kebuntingan 260 hari (152–270), mati, atau
hidup kurang dari 24 jam
Agribisnis : Usaha yang berkaitan dengan pertanian
Agroekosistem : Sistem yang melibatkan lingkungan dan
pertanian
Anestrus : Keadaan ketika aktivitas seksual berhenti,
ditandai dengan tidak munculnya estrus
Antiseptik : Bersifat mencegah pembusukan dan
pelapukan dengan mencegah atau merusak
mikroorganisme
Bloat atau tympany : Pembesaran lambung akibat meningkatnya
gas dalam perut secara berlebihan
Breeding herd : Kelompok ternak terseleksi yang memenuhi
kualifikasi sebagai ternak bibit
Busep : Bukti serap susu, yaitu sertifikat yang berisi
informasi kemampuan Industri Pengolahan
Susu (IPS) dalam menyerap susu segar dalam
negeri hasil peternak sapi perah rakyat
Calving : Stadium melahirkan anak pada sapi
Calving interval : Waktu yang diperlukan dari sejumlah induk
sejak beranak pertama hingga beranak
berikutnya
Cut and carry : Penyediaan pakan ternak dengan diarit
Deadweight loss : Kesejahteraan yang hilang akibat adanya
kebijakan pemerintah yang campur tangan
tentang penetapan harga

138
Downer cow syndrome : Suatu kelainan ketika serabut otot mengalami
nekrosis akibat meningkatnya permeabilitas
sel terhadap kation pada kondisi rendahnya
kadar kalsium darah
Harga privat : Harga yang benar-benar diterima dan
dikeluarkan oleh pelaku bisnis yang terlibat
Harga sosial : Yang terjadi sebelum ada kebijakan peme-
rintah atau sering disebut harga bayangan;
yaitu sebagai harga yang terjadi pada suatu
perekonomian bila pasar berada dalam
keadaan persaingan sempurna dan dalam
kondisi keseimbangan
Hygiene : Kebersihan
Input tradable : Input yang diperdagangkan di pasar
internasional
Inseminasi buatan : Disebut juga kawin suntik adalah kegiatan
mengawinkan ternak dengan tidak
menggunakan ternak jantan dan umumnya
menggunakan jarum
Inseminator : Orang yang melaksanakan inseminasi buatan
atau petugas yang mengawinkan hewan
Insentif ekonomi : Suatu nilai yang dapat memacu kegiatan
ekonomi
Instability : Ketidakstabilan
Ketosis : Penurunan kadar glukosa darah akibat tidak
seimbangnya input dan output energi meta-
bolisme pada masa awal laktasi. Sering juga
disebut asetonemia atau hypoglisemia ketosis
Keuntungan : Disebut juga profit, yaitu selisih antara total
penerimaan dan biaya produksi
Koefisien keuntungan : Indikator tingkat keuntungan yang merupakan
rasio keuntungan pada harga privat deng-an
keuntungan pada harga sosial
Koefisien keuntungan (PC) : Indikator tingkat keuntungan yang merupa-
kan rasio keuntungan pada harga privat de-
ngan keuntungan pada harga sosial

139
Transfer output : Selisih antara penerimaan pada harga privat
dengan penerimaan pada harga sosial
Transfer faktor : Nilai yang menunjukkan perbedaan besarnya
biaya input domestik pada harga privat
dengan harga sosial
Treatment centers : Lembaga yang memproses susu segar dari
peternak sapi perah atau koperasi susu dengan
pasteurisasi atau sterilisasi saja
World Trade Organization : Organisasi dunia yang mengatur perdagangan
(WTO) dunia agar tercapai sistem perdagangan yang
bebas hambatan

143
INDEKS

G P
GKSI, 15, 101 peternakan sapi perah rakyat, 105
Peternakan sapi perah rakyat, 1
K Pola Inti Rakyat, 2
komposisi susu, 6
koperasi persusuan sekunder, 101 S
koperasi primer, 101 susu, 10

144
BIODATA PENULIS

Sudi Nurtini, lahir di Yogyakarta tanggal 25


Desember 1953. Gelar S1 diperoleh dalam bidang
ilmu peternakan dari Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada pada tahun 1978. Pada tahun 1985
menyelesaikan S2 di bidang Ekonomi Pertanian dari
Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Gelar S3 diperoleh dari Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada pada tahun 2006. Saat ini
bekerja sebagai dosen Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada dan menjabat sebagai
Ketua Bagian Sosial Ekonomi Peternakan sejak
tahun 2008. Jabatan Guru Besar dengan spesialisasi
ekonomi peternakan diperoleh pada tahun 2009. Organisasi profesi yang diikuti
adalah Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia. Penulis telah melakukan beberapa
pengabdian masyarakat dan penelitian di bidang agribisnis peternakan dan
dipublikasikan di forum seminar nasional maupun internasional.

Mujtahidah Anggriani Ummul MUZAYYANAH,


menyelesaikan pendidikan doktor dan meraih gelar
Ph.D dari Hiroshima University, Jepang. Sejak
menjadi staff pengajar di Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2003,
penulis aktif melakukan penelitian terkait ekonomi
peternakan, quantitative analysis dan consumer
economics. Berbagai publikasi dan seminar ilmiah
baik tingkat nasional maupun internasional telah
diikuti yang antara lain tergabung dalam Tropical
Animal Production, Asian-Australasian Association
of Animal Production, the Association for Regional
Agricultural and Forestry Economics, Sustainable Animal Agriculture for
Developing Countries Association, dan the Society of Sustainable Future for
Human Security.

145

Anda mungkin juga menyukai