Sudi Nurtini
Mujtahidah Anggriani Ummul Muzayyanah
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit, seba-
gian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, photoprint, microfilm
dan sebagainya.
1648.02.01.12
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL...................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
BAB II PETERNAKAN SAPI PERAH SEBAGAI PENGHASIL
PANGAN BERGIZI TINGGI ................................................ 5
2.1 Peranan Susu Bagi Tubuh Manusia................................. 5
2.2 Komposisi Susu............................................................... 6
BAB III PETERNAKAN SAPI PERAH DI INDONESIA.................. 11
3.1 Sejarah Peternakan Sapi Perah di Indonesia ................... 11
3.2 Situasi Peternakan Sapi Perah di Indonesia .................... 12
3.3 Jenis-Jenis Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia ... 18
BAB IV INDUSTRI PERSUSUAN DI INDONESIA ......................... 23
4.1 Perdagangan Susu Dunia................................................. 23
4.2 Perdagangan Susu Indonesia ........................................... 24
4.3 Industri Pengolahan Susu ................................................ 28
4.4 Kebijakan Persusuan Nasional ........................................ 31
BAB V USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT ....... 51
5.1 Karakteristik Peternak Sapi Perah Rakyat ...................... 51
5.2 Aspek Budi Daya Peternakan Sapi Perah Rakyat ........... 52
5.3 Aspek Ekonomi Peternakan Sapi Perah Rakyat.............. 68
5.4 Produksi dan Konsumsi Susu .......................................... 74
5.5 Pemasaran Susu Segar di Tingkat Peternak Sapi Perak
Rakyat ............................................................................. 80
5.6 Dinamika Peternakan Sapi Perah Rakyat ........................ 85
BAB VI PERAN KOPERASI PADA PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT ........................................................ 90
6.1 Perkembangan Koperasi Susu ......................................... 90
6.2 Peran Koperasi pada Usaha Peternakan Sapi Perah
Rakyat ............................................................................. 95
vii
BAB VII PERAN PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN
PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT ............................. 99
7.1 Masalah dan Hambatan ................................................... 99
7.2 Penelitian Sapi Perah yang Berhubungan dengan Faktor-
Faktor Teknis ................................................................... 102
7.3 Penelitian di Bidang Pakan ............................................. 103
7.4 Penelitian pada Pengembangbiakan Sapi Perah (Dairy
Breeding) ......................................................................... 106
7.5 Penelitian di Bidang Manajemen dan Perawatan
Kesehatan Sapi Perah ...................................................... 107
7.6 Penelitian Faktor Sosial Ekonomi Dan Kebijakan
Peternakan Sapi Perah ..................................................... 108
BAB VIII PENUTUP .............................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 113
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. 120
GLOSARIUM ........................................................................................... 138
INDEKS .................................................................................................... 144
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
xi
Gambar 28. Penelitian Bidang Pengembangbiakan Ternak ..................... 107
Gambar 29. Penelitian Bidang Manajemen dan Perawatan Kesehatan
Sapi Perah ............................................................................. 108
Gambar 30. Penelitian Bidang Sosial Ekonomi dan Kebijakan ............... 110
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
sekitar 1–4 ekor, dengan produksi susu yang masih rendah, yaitu rata-rata 10
liter per hari per ekor. Kondisi skala usaha yang belum ekonomis ini antara
lain disebabkan oleh terbatasnya modal peternak dan kesulitan mencari pakan
hijauan. Terbatasnya lahan untuk tanaman pakan hijauan ternak menjadi salah
satu kendala dalam penyediaan jumlah dan kualitas pakan ternak. Hal ini yang
menyebabkan usaha budi daya sapi perah belum efisien.
Usaha peternakan sapi perah masih didominasi di wilayah Pulau Jawa.
Wilayah utama usaha peternakan sapi perah mencapai 97% berada di Pulau
Jawa. Data statistik kependudukan menunjukkan bahwa lebih dari 58%
penduduk Indonesia bermukim di Pulau Jawa dengan luas area hanya 6,9%
dari seluruh luas wilayah Indonesia. Kondisi ini berbanding terbalik dengan
kondisi di pulau lain seperti Kalimantan dan Sumatra yang berturut-turut
hanya sekitar 5,5% dan 21% penduduk tinggal di pulau-pulau ini, tetapi luas
wilayah kedua pulau ini mencapai 28,1% dan 24,7% dari seluruh luas wilayah
Indonesia. Dari uraian di atas, dapat terlihat bahwa kepadatan penduduk Pulau
Jawa yang tinggi menyebabkan lahan usaha peternakan sangat sempit. Hal ini
menjadi salah satu penyebab usaha peternakan sapi perah di Indonesia belum
maksimal pengusahaannya.
Kebijakan pemerintah yang sangat populer di kalangan peternak kecil/
rakyat adalah adanya konsep Pola Inti Rakyat atau Program Inti Rakyat (PIR).
PIR ini merupakan konsep hubungan antara peternak kecil dengan perusahaan
besar dalam mengolah bahan baku dari peternak kecil sebagai supplier.
Konsep bisnis antarpeternak kecil dan perusahaan pengolah susu
dimanfaaatkan oleh koperasi lokal untuk menghasilkan produk akhir dari
koperasi, yaitu berupa susu cair dan yoghurt untuk dijual di pasar lokal. Peternak
yang terlibat dalam aktivitas ini terutama berlokasi di wilayah yang jauh dari
lokasi pabrik pengolahan susu, peternak yang memproduksi susu segar dengan
kualitas yang rendah dan tidak memenuhi persyaratan IPS, atau peternak yang
memilki kelebihan susu segar namun tidak dapat ditampung IPS.
Permasalahan yang dihadapi oleh peternak kecil terkait dengan
hubungannya sebagai penyedia susu segar bagi IPS adalah rendahnya kualitas
susu segar yang dihasilkan peternak kecil membuat susu hasil produksi ternak
mereka tidak dapat memenuhi standar yang diminta oleh pabrik pengolah susu.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah kapasitas perusahaan yang terba-
tas, sehingga tidak dapat menampung semua susu dari peternak. Hasil
pengolahan susu berupa susu cair dan yoghurt masih terbatas atau rendah
permintaannya, sehingga beberapa perusahaan memandang bahwa bisnis
mengolah susu ini belum dapat dijadikan bisnis andalan yang menguntungkan.
Susu yang dihasilkan sapi setidaknya 5% digunakan untuk ternak muda (pedet).
Kebijakan industri persusuan di Indonesia secara tegas difokuskan pada
upaya perkembangan sapi perah rakyat yang dihimpun dalam wadah koperasi
2
BAB II
PETERNAKAN SAPI PERAH SEBAGAI PENGHASIL
PANGAN BERGIZI TINGGI
5
Produk susu yang dihasilkan dari usaha peternakan dapat berasal dari
berbagai jenis ternak, yaitu dari kerbau, kambing, dan domba. Kandungan susu
dari berbagai jenis ternak ini dapat dijelaskan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Kandungan Susu dari Berbagai Jenis Ternak
Kal- Pro- Le- Vit.
Susu Asal KH Besi Kapur Vit. A Vit B
ori tein mak B1
Ternak (mg) (mg) (mg) (IU) (IU)
(Kal) (g) (g) (IU)
Sapi FH 65 3,5 3,5 4,6 0,1 120 100 50 1,5
Sapi India 71 3,75 4 4,4 - - - - -
Kerbau 106 4,13 7,41 5,18 - 120 160 - 1
Kambing 80 4,3 4,8 4,4 0,1 110 180 45 1
Domba 190 5,3 7,3 4,7 0,05 200 1 - 2
Sumber: Rasyid, 2012.
6
BAB III
PETERNAKAN SAPI PERAH DI INDONESIA
11
3.2 SITUASI PETERNAKAN SAPI PERAH DI INDONESIA
12
BAB IV
INDUSTRI PERSUSUAN DI INDONESIA
23
Harga didasarkan per gram
lemak, per gram SNF dan:
• TS (Totalsolids) minimum
11%, dengan bonus atau
penalti Rp5/kg untuk +/- TS
sebesar 0,1%.
1998–
• TPC (bakteri) terhitung
April Ya Ya Ya Ya Ya
antara 20 dan 30 juta dengan:
2004
o Bonus tersedia untuk TPC
terhitung di bawah 20 juta
dan
o Penalti dijatuhkan untuk
TPC terhitung lebih dari
30 juta.
Harga didasarkan per gram
lemak, per gram SNF dan:
• Susu dengan TS (Total
Solids) kurang dari 11% akan
ditolak.
• Susu dengan TS lebih dari
11% akan mendapatkan
bonus.
Mei 2004 Ya Ya Ya Ya
• TPC (bakteri) terhitung
antara 20 dan 30 juta dengan:
o Bonus yang tersedia untuk
TPC terhitung di bawah
20 juta dan
o Penalti yang dijatuhkan
untuk TPC terhitung lebih
dari 30 juta.
Harga didasarkan per gram
lemak, per gram SNF, dan:
• Susu dengan TS (Total
Solids) kurang dari 11% akan
ditolak.
• Susu dengan TS (Total Solids)
antara 11% dan 11,2% akan
mendapat penalti.
• Susu dengan TS lebih dari
11,3% akan mendapatkan
bonus.
27
• TPC (bakteri) terhitung antara
10 dan 15 juta dengan:
o Bonus tersedia untuk TPC
terhitung di bawah 10 juta
Juni 2004 Ya Ya Ya Ya dan
o Penalti yang dijatuhkan
untuk TPC terhitung lebih
dari 15 juta.
Pengolahan susu bisa dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu treat-
ment centres dan processing plants (pabrik-pabrik pengolah susu). Perlakuan
treatment centres memproses susu segar dari peternak sapi perah atau kope-
rasi susu dengan pasteurisasi atau sterilisasi saja, sedang pabrik-pabrik susu
mengolah susu segar menjadi produk-produk susu yang bernilai tambah lebih
tinggi (Erwidodo dan Trewin, 1996).
28
Industri pasteurisasi merupakan salah satu pilihan bagi koperasi un-
tuk menyelamatkan susu segar sebagai komoditas yang mudah rusak karena
dapat memperpanjang daya simpan susu segar (pada suhu 4oC dapat bertahan
lebih kurang 4 hari). Demikian pula dengan pasteurisasi, koperasi dapat mem-
peroleh nilai tambah yaitu mendapatkan marjin lebih tinggi dibanding bila
dipasarkan dalam bentuk susu segar. Dari hasil penelitian Ikopin dilaporkan
bahwa usaha pasteurisasi susu memberikan margin cukup besar.
Untuk memperpanjang umur simpan susu sebelum dikonsumsi (oleh
manusia), ada beberapa cara teknologi pengolahan. Paket teknologi ini di-
gunakan untuk mengolah susu menjadi produk olahan susu yang mendekati
kebutuhan konsumen. Sebagai contoh, di Indonesia saat ini karena preferensi
konsumen adalah susu bubuk dan susu kental manis maka yang lebih berkem-
bang produk susu olahan adalah juga kedua macam susu tersebut. Sementara
di negara dengan budaya minum susu yang kuat, produk olahan susu yang di-
tawarkan lebih banyak berupa susu cair pasteurisasi atau sterilisasi dilengkapi
dengan olahan seperti keju dan mentega (Murti, et al., 2009). Berbagai macam
perlakuan terhadap susu dan produknya ditampilkan pada Tabel 10.
29
Ketergantungan peternak sapi perah terhadap IPS sangat tinggi. Seki-
tar 80% dari produksi susu dalam negeri dimanfaatkan oleh IPS sebagai bahan
baku. Sisanya dikonsumsi sendiri oleh peternak (5%), untuk industri pengola-
han makanan lainnya (10%), dan untuk pedet (5%) seperti telah dijelaskan di
depan.
Beberapa IPS pengolah susu yang diambil dari koperasi persusuan di
Indonesia berkembang pesat. Produk olahan susu yang dihasilkan, antara lain
susu cair siap konsumsi, susu UHT, susu bubuk, susu untuk balita hingga
orang lanjut usia. Tabel 11 di bawah ini menyajikan detail dari jumlah susu
segar yang diproduksi anggota koperasi GKSI yang dibeli perusahaan-perusa-
haan pengolahan susu di tahun 2004.
Tabel 11. Jumlah Susu Segar dari Anggota GKSI yang Dibeli IPS Tahun 2004
Jawa Jawa
Jawa Total untuk
Nama Perusa- Barat/ Tengah/ %
Timur Pulau Jawa
haan Jakarta DIY Bagian
Ton Ton
Ton Ton
Friesche Vlag
36.616 28.855 7.093 72.564 18,7
(FVI)
FI (Foremost
34.133 3.327 - 37.460 9,6
Indonesia)
% dari suplai
51,9 59,4 86,1 65,2
provinsi *
Keterangan: *perkiraan
Sumber: GKSI (2005) cit. Stanton, Emms & Sia (2005)
30
Sejumlah perusahaan pengolah susu memiliki permintaan tersendiri
untuk kriteria susu yang mereka beli dari koperasi/GKSI. Beberapa perusahaan
besar memiliki daya tawar tinggi dan harganya kompetitif dibandingkan
dengan produk impor, contohnya Nestle, Indomilk, Ultra Jaya Milk, dan lain-
lain. Perkembangan harga susu yang dibeli industri meningkat terus (Tabel
12) sejak pertengahan tahun 1990-an. Peningkatan ini cukup pesat terutama
sejak liberalisasi persusuan pada tahun 1998. Stanton, Emms dan Sia (2005)
menuliskan bahwa sumber-sumber industri mengatakan harga rata-rata telah
stabil pada harga sedikit di atas Rp1.700 per liter sejak tahun 2002.
Tahun
Harga susu
(Rp/liter)
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Harga dalam
705 975 1.275 1.299 1.686 1.739 1.725
Rupiah
% Perubahan - +38,3% +30,8% +1,9% + 29,8% + 3.1% (0,8%)
Sumber: Departemen Pertanian, Indonesia cit. Stanton, Emms & Sia, 2005
31
adalah harga dunia, yaitu harga impor CIF (cost, insurance, and freight) untuk
barang yang diimpor dan harga ekspor FOB (free on board) untuk barang yang
diekspor. Maka sebuah negara mengimpor sebagian barang yang bisa diimpor
dan mengekspor sebagian barang yang bisa diekspor, kecuali pemerintah
melakukan intervensi. Produsen diuntungkan dan konsumen dirugikan dengan
kebijakan-kebijakan yang meningkatkan harga dalam negeri untuk barang
yang bisa diimpor dan yang bisa diekspor, sedangkan konsumen diuntungkan
dan produsen dirugikan dengan kebijakan-kebijakan yang menurunkan harga
domestik.
38
tah. Hal ini karena pada skema Bukti Serap Susu (BUSEP) keuntungan yang
diperoleh pengolah (IPS) dari mengimpor bahan baku susu dengan adanya
tarif h, digunakan untuk menyubsidi pembelian susu domestik (b+c), sehingga
kebijakan ini dianggap sebagai kebijakan tarif/subsidi swadana. Secara kes-
eluruhan, tarif impor menyebabkan kerugian sosial paling kecil.
Kebijakan rasio impor membantu peternak sapi perah dengan
meningkatnya produksi susu segar domestik dan meningkatnya pendapatan
peternak. Kebijakan ini memberikan jaminan pada peternak bahwa semua susu
segar akan diserap oleh para pengolah (IPS) dengan harga wajar. Seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 8, bahwa kebijakan rasio impor, susu lokal yang
dibeli sebanyak Q2, sedang dengan tarif impor atau kuota yang menyebabkan
harga konsumen yang sama yaitu Pw*, maka susu lokal yang dibeli hanya Q3.
Apabila tujuan pemerintah adalah meminimalkan biaya bagi masya-
rakat tetapi juga meningkatkan produksi susu segar domestik dan bukan
mempertahankan harga susu segar, maka kerangka analisis kesejahteraan sosial
perlu digunakan dengan cara berbeda. Di sini pilihan-pilihan kebijakan lain
seperti subsidi produksi menjadi relevan. Tabel 15 menunjukkan efek kebijakan
tarif impor, rasio impor, dan subsidi produksi terhadap kesejahteraan sosial
pada kondisi mempertahankan produksi susu segar domestik.
Tabel 15. Kesejahteraan Sosial yang Hilang Akibat Kebijakan Produk Susu
Rasio Impor (harga
Tarif Impor (Pw* Subsidi Produsen
Perubahan Kesejahteraan Produksi Domestik
- Pw) (Pw* - Pw)
Pw*)
Perubahan penerimaan
g+h 0 -(e+f)
pemerintah
Kesejahteraan sosial yang
-(f+i) -(f+bagian i) b) -f
hilang
Data adalah bagian area dari diagram pada Gambar 11
a)
Bagian i menggambarkan kenyataan bahwa pada kondisi rasio impor konsumen menghadapi suatu
b)
harga antara Pw* dan Pw karena bercampurnya produk domestik dengan harga Pw* dan produk
impor dengan harga Pw
Sumber: Erwidodo dan Trewin (1996)
39
Keterangan:
Sd = suplai domestik
S* = suplai agregat
SW = suplai dunia
Pd = harga produksi domestik
Pw = harga perbatasan
Pw* = Pw + tarif atau harga domestik
Dd = permintaan domestik
Q3 = produksi domestik pada harga perbatasan pada tarif
Q2 = produksi domestik pada rasio impor
Q1 = permintaan domestik pada harga perbatasan plus tarif
Q0 = permintaan domestik pada harga perbatasan
Gambar 11. Kebijakan Perdagangan Alternatif pada Produksi Susu
Sumber: Erwidodo dan Trewin (1996)
40
komoditas pertanian dan pendapatan pertanian, kebijakan investasi publik, dan
efisiensi serta kebijakan penelitian pertanian dan perubahan teknologi.
Tujuan utama analisis PAM adalah mengukur dampak kebijakan peme-
rintah pada profitabilitas privat (private profitability) dari suatu sistem pertanian
dan efisiensi penggunaan sumber daya. Profitabilitas privat dan kemampuan
bersaing harus mendapatkan perhatian terbesar apabila bertujuan meningkatkan
pendapatan pertanian. Profitabilitas sosial (social profitability) dan efisiensi sering
mendapatkan perhatian dari para perencana perekonomian yang ingin meng-
alokasikan sumber daya yang ada bagi sektor-sektor dan pertumbuhan pendapatan
agregat dalam perekonomian. Kedua rangkaian hal tersebut memfokuskan pada
efek-efek insentif dari sebuah kebijakan (Monke dan Pearson, 1995).
Kerangka kerja dari analisis pertanian ini menekankan pada isu dasar,
yaitu apakah intervensi pemerintah memengaruhi tujuan dari pengembangan
pertanian? Empat komponen dari kerangka kerja sebuah kebijakan adalah:
1) tujuan-tujuan yang diinginkan, 2) kendala-kendala yang ada, 3) kebijakan-
kebijakan yang berupa instrumen pemerintah, dan 4) strategi yang diwujudkan
dalam paket instrumen dari kebijakan tersebut. Strategi para pengambil
kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang dimaksudkan untuk me-
ningkatkan outcome ekonomi (yang telah ditetapkan oleh para pengambil
kebijakan). Berbagai kebijakan tersebut pada pelaksanaannya akan menghadapi
berbagai kendala ekonomi baik yang diakibatkan oleh aspek penawaran,
permintaan serta harga dunia yang bisa mendukung atau menghambat terca-
painya tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian dampak kebijakan terhadap
pencapaian tujuan memungkinkan untuk melakukan penyesuaian strategi yang
telah ditetapkan bila memang diperlukan (Pearson et al., 2004).
Analisis kebijakan mempunyai tujuan dasar berupa: 1) efisiensi,
yaitu memaksimalkan pendapatan dari sumber daya-sumber daya yang bisa
digunakan, 2) pemerataan, yaitu distribusi pendapatan di antara kelompok-
kelompok dan wilayah-wilayah yang dipilih, dan 3) keamanan, yaitu
tersedianya suplai pangan pada harga yang stabil. Namun, kebijakan pertanian
mempunyai kendala-kendala yang membatasi, yaitu: 1) suplai, yang dibatasi
oleh sumber daya, teknologi dan harga input relatif, 2) permintaan yang
dibatasi oleh populasi, pendapatan, selera, dan harga output relatif, serta
3) harga dunia yang memengaruhi jumlah yang diimpor dan yang diekspor.
Ada tiga kategori kebijakan pertanian, yaitu kebijakan harga komoditas,
kebijakan makroekonomi, dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga
pertanian menggunakan instrumen seperti 1) pajak dan subsidi, sehingga terjadi
transfer di antara anggaran publik, produsen, dan konsumen, 2) pembatasan
perdagangan internasional yang diwujudkan dengan pajak, dan pembatasan
kuota impor ataupun ekspor, serta 3) pengawasan langsung, seperti peraturan
pada margin pemasaran ataupun harga. Untuk kebijakan makro ekonomi yang
41
memengaruhi pertanian yaitu kebijakan moneter dan fiskal, kebijakan nilai tukar
valuta asing dan kebijakan harga faktor produksi (tingkat bunga, upah, sewa
tanah), sumber daya alam dan penggunaan lahan. Kebijakan investasi publik
yang berpengaruh pada pertanian, yaitu 1) infrastruktur, seperti transportasi,
irigasi, 2) sumber daya manusia, misalnya pendidikan, pelatihan, kesehatan,
dan 3) penelitian dan teknologi, misalnya di bidang produksi dan teknologi
pengolahan (Monke dan Pearson,1995).
Satu hal yang harus dipahami bahwa tidak mungkin suatu instrumen
kebijakan langsung menguntungkan semua pihak, sehingga diperlukan skala
prioritas secara sektoral atau regional, namun diharapkan memiliki implikasi
yang luas dan berdampak pada pencapaian tujuan kebijakan.
Peraturan-peraturan yang bertujuan memproteksi industri susu Indone-
sia, meningkatkan produksi dalam negeri dan meningkatkan pendapatan
peternak sapi perah yang telah dikeluarkan pemerintah selama ini adalah rasio
impor susu, lisensi impor, dan perdagangan pemerintah, pembatasan investasi
pengolahan susu dan tarif impor. Kebijakan persusuan yang terakhir adalah
penghapusan rasio impor dan pengendalian impor susu.
42
Mengingat rasio impor dinegosiasi ulang setiap enam bulan maka setelah
rasio tersebut ditetapkan, IPS diperbolehkan mengimpor susu yang diperlukan
dalam periode enam bulan, dengan syarat IPS telah menyerap produksi susu
di dalam negeri.
Harga susu segar tidak ditetapkan secara langsung oleh pemerintah.
Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sebagai perwakilan peternak
sapi perah menegosiasikan harga susu segar dengan IPS. Harga yang telah
disepakati ini ditetapkan setiap bulan dengan memperhitungkan faktor-faktor
biaya produksi, biaya penanganan, dan pendistribusian serta harga impor. Harga
yang telah ditetapkan ini biasanya dikaitkan dengan standar kualitas tertentu
(misalnya persentase kandungan lemak maupun kandungan solid non fat/SNF
= bahan padat bukan lemak). Susu berkualitas rendah bisa ditolak ataupun
dikenakan sanksi harga, sedang susu yang berkualitas baik mendapatkan bonus
harga.
Sampai dengan tahun 2007 jumlah Industri Pengolah Susu yang ada di
Indonesia sebanyak 13 buah merupakan industri skala besar baik PMA, PMDN,
maupun kombinasi PMA dan PMDN yang semuanya terdapat di Pulau Jawa,
seperti pada Tabel 16.
43
BAB V
USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT
Usaha peternakan sapi perah saat ini masih didominasi oleh usaha
peternakan rakyat dengan manajemen tradisional dan skala pemilikan yang
belum ekonomis, yaitu sekitar 1–4 ekor, dengan produksi susu yang masih
rendah, yaitu rata-rata 10 liter per hari per ekor. Pulau Jawa masih menjadi
wilayah utama usaha sapi perah yang menghasilkan sekitar 97–98 % dari
produksi susu nasional pada tahun 2007. Kondisi skala usaha yang belum
ekonomis ini, antara lain disebabkan oleh terbatasnya modal peternak dan
kesulitan mencari pakan hijauan karena terbatasnya lahan untuk tanaman pakan
ternak sehingga penyediaan jumlah dan kualitas pakan juga terbatas. Hal ini
mengakibatkan usaha budi daya sapi perah belum efisien, diperkirakan skala
ekonomis dapat dicapai dengan kepemilikan 10–12 ekor sapi per peternak
(Ahmad dan Hermiyetti, 2008). Untuk usaha peternakan sapi perah tingkat
rumah tangga dapat memberikan keuntungan jika jumlah yang dipelihara
minimal 6 ekor (Setiani dan Prasetyo, 2008). Komposisi ternak produktif
dan nonproduktif juga merupakan faktor yang harus diperhatikan pada usaha
pemeliharaan sapi perah. Agar kelangsungan usaha dan kestabilan produksi
terjaga, maka komposisi ternak pada usaha sapi perah adalah 85% ternak
produktif dan 15% ternak nonproduktif. Disarankan bahwa dalam upaya
meningkatkan usaha sapi perah perlu dilakukan fasilitasi peningkatan skala
usaha dari 2 ekor menjadi sekitar 7–15 ekor/rumah tangga, dan peningkatan
produksi dari sekitar 5/ekor/hari menjadi minimal 10/ekor/hari (Sarjana et al.,
2005).
Perbandingan sapi laktasi yang efisien adalah 4:3, artinya bahwa apabila
jumlah sapi yang dipelihara 7 ekor, harus terdiri dari empat ekor sapi laktasi,
satu ekor sapi kering, dan dua ekor pedet (Mahaputra cit. Prasetyo, 2008).
Dilaporkan bahwa usaha tani sapi perah sebagai penghasil bahan baku IPS yang
potensial serta sustainable untuk dikembangkan adalah dengan skala pemilikan
>3UT atau rata-rata 5,23 UT dan proporsi sapi laktasi ≥70% (Nurtini, 2005).
51
Struktur industri persusuan di Indonesia sangat lengkap. Mulai dari
peternak dan kelompoknya, koperasi susu/KUD, Gabungan Koperasi Susu
Indonesia (GKSI), Asosiasi Peternak (APSPI dan PPSKI), dan Dewan
Persusuan Nasional. Ditambah lagi dengan perguruan tinggi dan lembaga
penelitian yang menghasilkan teknologi dan sumber daya manusia yang
kompeten (Setiawati, 2008).
Dijelaskan bahwa kelompok yang merupakan organisasi tempat para
peternak sapi perah yang dinamis berkumpul mempunyai peran yang penting
bagi berkembangnya agribisnis sapi perah yang efisien. Koperasi susu
mempunyai peran yang besar dalam membantu peternak khususnya dalam
hal penyediaan sarana dan prasarana, seperti pakan konsentrat, peralatan
produksi, pelayanan kesehatan ternak, dan juga dalam hal pemasaran susu,
yaitu pengumpulan susu dari para anggota untuk kemudian dijual ke IPS. Di
samping itu, koperasi melalui GKSI mempunyai peran untuk memperjuangkan
kepentingan anggotanya, yaitu dalam hal memperoleh dukungan pemerintah
untuk mengembangkan agribisnis sapi perah serta dalam hal negoisasi dengan
IPS untuk memperoleh harga yang layak.
52
Gambar 19. Siklus Manajemen Perawatan Kesehatan Ternak Perah
Sumber: Aiumlamai (1999)
Pengapkiran
Peternak sapi perah rakyat sering mempertahankan semua ternaknya,
bahkan sapi yang berproduksi rendah atau yang tidak pernah bunting pun tetap
dipelihara. Manajemen yang baik mengharuskan pengapkiran ternak yang tidak
67
pencapaian keberhasilan industri persusuan nasional. Untuk itu diperlukan suatu
perencanaan strategis yang didasarkan kepada suatu kajian terhadap situasi
faktual, yaitu aspek-aspek potensi yang dimiliki, serta prospek dan kendala
yang dihadapi subsektor ini. Perkiraan peningkatan permintaan ataupun upaya
perluasan pasar SSDN melalui Program Susu untuk Anak Sekolah berbasis
bahan baku susu lokal merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan
baik, sehingga konsumsi susu merupakan suatu keharusan.
89
BAB VI
PERAN KOPERASI PADA PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT
90
ada 48.600 ekor. Saat itu produksi susu mencapai 62.300.000 liter. Meskipun
demikian, peternak masih menghadapi masalah pada penjualan susu yang
bersaing dengan membanjirnya susu impor yang masuk yang harganya lebih
murah. Harga susu pada waktu itu sangat murah hanya 40–80 rupiah per liter
di tingkat petani. Koperasi menjadi kurang aktif dan beberapa dipaksa untuk
membubarkan diri.
Beberapa koperasi persusuan besar di Indonesia, antara lain Sinau
Andadani Ekonomi (Pujon, Jawa Timur), Kemusuk (Boyolali, Jawa Te-
ngah), Bandung Selatan (Pangalengan, Jawa Barat), dan Warga Mulya (DI
Yogyakarta). Fungsi utama dari koperasi adalah memberikan pelayanan pada
peternak sapi perah terutama pada kegiatan pengumpulan susu, pemberian
kredit usaha, penyuluhan, dan pelatihan pada anggota koperasi. Tujuan utama
dari koperasi adalah untuk menyediakan layanan yang terkait dengan kegiatan
yaitu pengumpulan susu, kredit, penyuluhan, dan pelatihan kepada anggota.
Pada masa Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I dan II,
pengembangan usaha peternakan sapi perah meluncurkan program inseminasi
buatan dan program perbaikan kualitas pakan ternak. Program-program ini
dilakukan dalam rangka untuk meningkatan produksi susu.
Guna menyelesaikan masalah persusuan tidak dapat dihadapi hanya
oleh masing-masing koperasi persusuan, bahkan masalah yang menyangkut
kebijakan pemerintah tidak dapat diselesaikan oleh satu instansi saja. Maka,
muncul pemikiran untuk menyatukan kekuatan persusuan nasional yang sudah
ada, sehingga pada tanggal 19–21 Juli 1976 dengan didukung oleh Menteri
Muda Urusan Koperasi diadakan Temu Karya yang diikuti oleh 11 koperasi
persusuan di Pusat Pendidikan Koperasi Jakarta. Salah satu keputusan yang
monumental adalah dibentuknya Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia
(BKKSI). Pada Temu Karya Koperasi Susu kedua yang diselenggarakan di
Malang, Jawa Timur tanggal 29–31 Maret 1979 dihadiri oleh 17 koperasi susu,
salah satu keputusannya adalah menyempurnakan nama organisasi dari BKKSI
menjadi Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Pada tahun 2007, anggota
GKSI berjumlah 100 koperasi yang tersebar di Pulau Jawa.
Koperasi susu yang berada di seluruh Indonesia bergabung dalam
satu wadah yang disebut Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). GKSI
merupakan sebuah organisasi nasional yang terdiri dari koperasi susu yang
merumuskan berbagai layanan koperasi untuk peternakan sapi perah. Pelayanan
berupa pasokan bibit sapi perah, pemasaran susu segar, dukungan teknis,
produksi pakan ternak, obat-obatan hewan dasar, peralatan susu, kapal tanker
jalan, pengolahan susu, dan pelatihan. Saat itu diperkenalkan pada tahun 1978
untuk memperkuat personel sistem koperasi dan meningkatkan layanan yang
diberikan oleh koperasi kepada peternak sapi perah. GKSI menetapkan harga
susu berdasarkan kualitas susu, yaitu besarnya solid non-fat (SNF) dan lemak
91
Koperasi sangat berperan dalam tata niaga persusuan di Indonesia
(Gambar 26). Usaha koperasi harus terus dibina. Seperti yang dicanangkan Ke-
menterian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengenai koperasi
dan perdagangan dalam negeri bahwa beberapa cara untuk membina koperasi
yaitu dengan cara berikut. Pertama, memantapkan dan mengembangkan lebih
lanjut usaha koperasi primer dalam bidang-bidang pelayanan kebutuhan pokok
untuk masyarakat, produksi dan pengolahan hasil serta pemasarannya, simpan-
pinjam, dan jasa-jasa lainnya, agar tumbuh menjadi suatu lembaga ekonomi
yang mandiri, mampu melayani kebutuhan para anggota dan masyarakat di
sekitarnya. Kedua, meningkatkan kemampuan perencanaan usaha koperasi
primer. Ketiga, meningkatkan kemampuan koperasi primer untuk memanfaat-
kan berbagai fasilitas perkreditan yang tersedia untuk pertumbuhan usahanya.
Keempat, meningkatkan dan membina usaha Koperasi Simpan Pinjam agar
mampu berperan aktif dengan efektif dalam mengisi kebutuhan para anggota
koperasi. Kelima, mengembangkan kerja sama dan jalinan usaha antara koperasi
primer dengan dukungan koperasi sekundernya. Keenam, memantapkan dan
mengembangkan pusat-pusat pelayanan koperasi sehingga benar-benar dapat
berperan dalam mendukung pengembangan usaha koperasi sekunder dan kop-
erasi primer lainnya. Kini sudah saatnya masyarakat peternakan mengembalikan
fungsi dan peran koperasi susu sebagaimana fitrahnya.
98
BAB VII
PERAN PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN
PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT
99
Gambar 26. Faktor-Faktor Pengaruh Produktivitas Peternakan Sapi Perah Rakyat
Sumber: Chantalakhana, 1999.
Dukungan Kelembagaan
Berikut ini contoh-contoh lembaga pendukung yang diperlukan untuk
mempermudah pertumbuhan industri persusuan, yaitu lembaga pemberi kredit,
fasilitas pelatihan peternak, pusat pengumpulan susu, fasilitas pemasaran
dan pengolahan, koperasi persusuan, atau kelompok peternak, dan layanan
penyuluhan dan penelitian. Sebagian besar peternak rakyat sumber keuangannya
100
terbatas. Peternak-peternak ini memiliki pendidikan formal yang rendah dan
pengetahuan tentang peternakan sapi perah yang terbatas. Minimal dua atau tiga
bulan pelatihan praktis yang intensif diperlukan untuk memberikan pengetahuan
teknis yang memadai tentang peternakan sapi perah kepada peternak-peternak
skala kecil ini.
Faktor-Faktor Teknis
Faktor teknis yang merupakan syarat mutlak adalah sebagai berikut:
1. Bangsa sapi perah yang cocok/sesuai untuk daerah yang panas dan lembap.
2. Tersedianya pakan yang berkualitas baik, terutama hijauan, juga air bersih.
3. Manajemen pemeliharaan peternakan yang baik.
4. Pengawasan yang rutin dan pencegahan parasit dan penyakit hewan tropis.
Pelayanan penyuluhan sapi perah yang mengusahakan inseminasi buatan,
perawatan kesehatan, seperti vaksinasi dan pelayanan lainnya yang dibutuhkan
peternak untuk meningkatkan efisiensi peternakan mereka.
Untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam pengembangan
peternakan sapi perah skala kecil memang diperlukan penelitian-penelitian
yaitu tidak saja dari aspek teknis produksi peternakan sapi perah, akan tetapi
termasuk juga penelitian di bidang sosial, ekonomi, dan kebijakan.
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah yang kondusif terhadap peternakan sapi perah
dapat menguntungkan perkembangan persusuan. Sebagai contoh, di Thailand
(Chantalakhana, 1999) beberapa kebijakan pemerintah yang menghasilkan
dampak positif yang besar pada produksi peternakan sapi perah seperti berikut
ini.
1. Kampanye minum susu yang disponsori oleh pemerintah untuk mening-
katkan konsumsi susu susu segar dari kira-kira 2 kg per kapita menjadi 15
kg sebelum tahun 2000.
2. Program Susu Sekolah (School Milk Program) yang dicanangkan selama
tahun 1994–1995 untuk meningkatkan minum susu di antara murid-murid
sekolah di luar kota untuk meningkatkan kesehatan murid-murid.
3. Diversifikasi produksi padi ke peternakan sapi perah, untuk mengurangi
pertanian padi di daerah tertentu.
Pemerintah Indonesia mungkin dapat meniru langkah Pemerintah
Thailand dalam mengembangkan persusuan di negaranya, seperti kampanye
minum susu segar dan program susu masuk sekolah. Di satu sisi meningkatkan
konsumsi minum susu masyarakat, tetapi dampaknya juga dirasakan oleh
produsen susu segar yang tidak lain adalah peternak sapi perah rakyat. Tentunya,
juga diperlukan dukungan pemerintah yang berupa penguatan sistem penelitian
101
Gambar 30. Penelitian Bidang Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Sumber: Chantalakhana (1999).
110
Ringkasan
Kebijakan pemerintah dapat berdampak pada pengembangan peternakan
sapi perah skala kecil. Program pemerintah tentang promosi bidang persusuan
dan pelayanan penyuluhan dapat membantu pengembangan peternakan sapi
perah. Penelitian sosial ekonomi yang berkaitan dengan sistem produksi
peternakan sapi perah antara lain adalah aspek ekonomi usaha peternakan
sapi perah, hambatan-hambatan, dampak lingkungan dan keberlanjutan usaha.
Pengetahuan mengenai manajemen peternakan sapi perah seperti tipe gudang
pakan dan perawatan serta pemberian pakan pedet yang berhubungan dengan
kondisi tropis adalah relatif belum banyak dilakukan khususnya yang dapat
diterapkan pada peternakan sapi perah skala kecil.
111
BAB VIII
PENUTUP
112
DAFTAR PUSTAKA
113
Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Darmawan, Y. Rismayanti, T. Maryati, dan O. Marbun. 2008. “Kelembagaan
Persusuan dan Manfaatnya di Tingkat Peternak Sapi Perah: Studi
Kasus di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung
Barat Jawa Barat”. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju
Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Bogor bekerja sama dengan Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. 2003.
Buku Statistik Peternakan 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2004.
“Upaya Perlindungan Pemerintah Terhadap Peningkatan Daya
Saing Persusuan Nasional”. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Persusuan Nasional Menggugat Unfair Trade Persusuan di Era
Perdagangan Bebas. Fakultas Peternakan UGM. 29 September 2004.
2 – 3.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. 2008. Kebijakan Model
Pengembangan Industri Pengolahan Susu. Direktorat Jenderal
Industri Agro dan Kimia. Departemen Perindustrian Republik
Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian Republik
Indonesia. Available at: http//www.ditjenak.go.id. Accesion date:
April, 16, 2011.
Diwyanto, K., S. Bahri dan E. Masbulan. 2000. “Ketersediaan dan Kebutuhan
Teknologi, Peternakan dan Veteriner dalam Upaya Meningkatkan
Ketahanan Pangan”. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan. Bogor. 51 – 63.
Djaja, W. 1991. “Perhitungan Jumlah Sapi Produktif dan Non Produktif”.
Buletin PPSKI Nomor 33 Th VII April–Juni 1991. 35.
Erwidodo dan F. Hasan. 1993. “Evaluasi Kebijaksanaan Industri Per-susuan
di Indonesia”. Jurnal Agro Ekonomi 12(1). Pusat Pene-litian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor. 48–65.
Erwidodo and R. Trewin. 1996. The Social Welfare Impact of Indonesian
Dairy Policies. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(3). The
Australian National University. 55–84.
FAO. 2011. Dairy Trade. Pro-Poor Livestock Policy Initiative (PPLPI).
Available at:http://www.fao.org/ag/pplpi.html. Accession date: March,
25, 2011.
114
Fatah, L. 2006. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Jurusan
Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat
bekerja sama dengan Pustaka Benua. Banjarbaru.
Firman. A. 2007. Kajian Koperasi Persusuan di Jawa Barat, FA-PET UNPAD
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/ 03/kajian_
koperasi_persusuan_di_jawa_barat.pdf
Hardinsyah, E. Damayanthi dan W. Zulianti. “Hubungan Konsumsi Susu
dan Kalsium dengan Densitas Tulang dan Tinggi Badan Remaja”.
Prosiding Prospek Industri Sapi Perah menuju Perda-gangan Bebas
2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Harpini, B. 2008. “Upaya Mendorong Industri Pengolahan dan Pemasaran Susu
pada Peternakan Rakyat”. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah
Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor bekerja sama dengan
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia.
Januar. 2002. “Upaya-Upaya Menata Kembali Kebijakan Pertanian di Bidang
Ketahanan Pangan dalam Wacana Otonomi Daerah”. Prosiding
Round Table Kebijakan Pangan Nasional dalam Kerangka Otonomi
Daerah. Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. 49 – 56.
Krisnamurthi B, 1998, “Perkembangan Kelembagaan dan Perilaku Usaha
Koperasi Unit Desa di Jawa Barat”. Disertasi. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor. (http://repository.ipb.ac.id/bitstream/
handle/123456789/859/1998bkr.pdf?sequence=4.
Porter, E. Michael. 1994. Keunggulan Bersaing Menciptakan dan
Mempertahankan Kinerja Unggul. Binarupa Aksara. Jakarta Barat.
Malcolm, B. 1999. Dairy Trade and Marketing. Smallholder Dairying In The
Tropics. International Livestock Research Institute. Nairobi, Kenya.
348 – 349.
Monke, E.A. and S.R. Pearson. 1995. The Policy Analysis Matrix for Agri-
cultural Development. Cornell University Press. Ithaca and London.
Murti.T.W., H. Purnomo dan S. Usmiati. 2009. “Pascapanen dan Teknologi
Pengolahan Susu”. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. LIPI Press. Jakarta.
Nicholson, W. 1991. Mycroeconomics Theory. Basic: Principles and Extensions.
The Dryden Press.
Nopirin. 1999. Ekonomi Internasional. BPFE. Yogyakarta.
115
of Livestock Development Thailand”. Dairy Expert Roundtable
Meeting. December 8 & 9, 2010. Muak Lek, Thailand.
Warr, P.G. 1992. “Comparative and Protection in Indonesia”. Bulletin of
Indonesian Economic Studies. 28(3). The Australian National
University. 41–67.
Widodo, S. 1989. Production Efficiency of Tice Farmens in Java, Indonesia
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Lacticia Press. Yogyakarta.
Widodo, S. 2001. Ketahanan Pangan pada Era Globalisasi dan Otonomisasi.
Agro Ekonomi. 8(2). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian UGM. Yogyakarta. 1–8.
________. 2008. Campur Sari Agro Ekonomi. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
119
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Perkembangan Peternakan Sapi Perah dan Koperasi Susu di Indonesia
Tahun Peternakan Sapi Perah Koperasi Persusuan
Belanda memperkenalkan sapi perah
1905
di Jawa
Sapi bangsa Frisian Holstein menye-
1940-an–1950-an bar pada peternak di Jawa timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat
Koperasi persusuan pertama di
1962
Pujon (Jawa timur)
Koperasi persusuan didirikan
1967 di Nongkojajar, Pasuruan
(Jawa Timur)
Koperasi persusuan di Panga-
1969 lengan dan Sukabumi (Jawa
Barat) berdiri
Repelita I dan II menggalakkan pro-
gram perbaikan pakan dan inseminasi
196–1979
buatan untuk meningkatkan produksi
susu.
Koperasi persusuan berdiri di
1970
Bogor (Jawa Barat)
Koperasi persusuan berdiri di
GKSI memperkenalkan penentuan Grati, Ungaran, Boyolali, dan
harga susu berdasarkan komposisi Solo (Jawa Tengah) dan Garut
lemak dan solid-non-fat dalam susu. (Jawa Barat). GKSI berdiri. 11
1978
Produksi susu mencapai 62,3 juta liter. koperasi persusuan berdirian
Harga susu di tingkat peternak 40–80 dengan anggota 2.800 peter-
rupiah per liter. nak dan 48.600 sapi perah di
Indonesia.
Koperasi susu Warga Mulya
Indonesia mengimpor sapi perah dari
1979 berdiri di Provinsi Di Yogya-
Australia dan New Zealand
karta
Selama Repelita III, pemerintah In-
donesia bekerja sama dengan GKSI
1979-1984
membuat kebijakan mewajibkan IPS
mengambil susu dari peternak kecil.
120
GKSI mulai memberikan
kredit dalam bentuk perleng-
Indonesi mengimpor 36.200 sapi per-
1981 kapan pendingin susu, milk
ah dari Austalia dan New Zealand
can, dan sepeda motor pada
koperasi persusuan
Tim teknis yang terdiri dari Menteri
Perindustrian, Menteri Perdagangan
dan Koperasi, dan Menteri Pertanian
bersatu dalam rangka:
1. Menentukan kesepakatan harga GKSI memantau harga susu
1982
beli susu antara IPS dan koperasi setiap 6 bulan
persusuan
2. Menentukan rasio antara penyera-
pan produski susu lokal dan vo-
lume susu bubuk impor
Hasil kerja tim teknis adalah me-
ningkatkannya harga susu menjadi
Diperkenalkan `Koperasi
1983 300–328 rupiah per liter. Indonesia
Model`
mengimpor sapi perah 67.000 ekor
dari Australia dan New Zealand
Produski susu mencapai 227,2 juta
1984 liter. Konsumsi susu mencapai 622,8
juta liter
Selama Repelita IV penetapan target
1984–1989 50% pemenuhan kebutuhan susu dari
produksi lokal hingga tahun 1989
Deklarasi keputusan Presiden No. 2
merumuskan pembangunan persusu-
an nasional dengan menghubungkan
7 kementerian: Menteri Pertanian,
Menteri Perindustri dan Perdagangan,
Menteri Koperasi, Menteri Kesehatan,
Badan Koordinasi Perumahan dan
Investasi. Pemerintah mendukung pe-
menuhan fasilitas untuk meningkatkan
1985
produktivitas ternak:
1. Berdirinya pusat inseminasi buat-
an (Jawa Barat) dan Singosari
Jawa Timur)
2. Berdirinya pusat investigasi pe-
nyakit di DI Yogyakarta
3. Berdirinya pusat pelatihan per-
susuan di Batu (Jawa Timur) dan
Baturaden (Jawa Tengah).
121
Target produksi susu tidak tercapai.
Total konsumsi susu mencapai 761
1989
juta liter namun produksi susu lokal
hanya 292,8 juta liter
Selama Repelita V, target peningkatan
1989–994 produksi susu lokal untuk memenuhi
50% kebutuhan konsumsi susu
Target selama 1989–1994 tidak terca-
pai dan Indonesia masih mengimpor
602,8 juta liter (lebih dari 50% kebu-
1994
tuhan susu). Konsumsi susu nasional
mencapai 862,1 juta liter dan produksi
susu lokal mencapai 385,5 juta liter
Selama Repelita VI, target pemenuhan
1994-1999 505 kebutuhan nasila dari produksi lo-
kal dilanjutkan
Terdapat 80.931 peternak sapi perah
Terdapat 4 koperasi persusuan
dan 324.719 ekor sapi perah di Indo-
di Indonesia, yaitu Sinau An-
nesia. Target pemenuhan kebutuhan
dani Ekonomi (Pujon, Jawa
domestik dari 505 produksi lokal ti-
Timur), Kemusuk (Boyolali,
1999 dak tercapai. Konsumsi susu nasinal
Jawa Tengah), Bandung
mencapai 966,7 juta liter dan produski
Selatan (Pangalengan, Jawa
susu lokal mencapai 378,9 juta liter.
Barat) dan Warga Mulya
Indonesia mengimpor 509,5 juta liter
(DIY).
susu.
Sumber: Sulastri dan Maharjan, 2007
122
Lampiran 2.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah Pemasok Bahan Baku IPS
Biaya
Keterangan Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Strata 1:
Harga privat 3.928.772,27 263.109,24 4.585.284,82 - 919.621,59
Harga sosial 4.030.188,05 274.008,71 3.785.678,71 - 29.499,37
Perbedaan - 101.415,78 - 10.899,47 799.605,91 - 890.122,22
Strata 2:
Harga privat 4.803.559,81 284.000,65 5.476.056,70 - 956.497,54
Harga sosial 4.962.222,70 291.691,93 4.427.736,30 242.794,48
Perbedaan - 158.662,89 - 7.691,28 1.048.320,41 - 1.199.292,02
Strata 3:
Harga privat 3.690.467,98 261.447,63 4.494.311,10 - 1.065.290,75
Harga sosial 3.800.225,95 273.658,19 3.807.262,76 - 280.695,00
Perbedaan - 109.757,97 - 12.210,56 687.048,34 - 784.595,75
Strata 4:
Harga privat 5.410.878,01 275.622,87 4.602.885,69 532.369,45
Harga sosial 5.598.223,52 287.457,04 3.996.306,10 1.314.460,38
Perbedaan - 187.345,51 - 11.834,17 606.579,59 - 782.090,94
DIY:
Harga privat 4.458.419,52 271.045,10 4.789.634,53 - 602.260,11
Harga sosial 4.597.977,61 281.703,97 4.004.245,96 312.027,68
Perbedaan - 139.558.09 - 10.658,87 785.388,56 - 779.690,49
Sumber: Nurtini, (2006)
Lampiran 3.
Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Sapi Perah di DIY
123
Lampiran 4.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya pada Strata 1
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 3.928.772,27(A) (A) 263.109,24(B) 4.585.284,62(C) (C -919.621,59(D)
Nilai sosial 4.030.188,05(E) 274.008,71(F) 3.785.678,71(G) - 29.499,37(H)
Divergensi - 101.415,78(I) -10.899,47(J) 799.605,91(K) - 890.122,22(L)
124
Lampiran 5.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya pada Strata 2
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 4.803.559,81(A) (A) 284.000,65(B) 5.476.056,70(C) (C -956.497,54(D)
Nilai sosial 4.962.222,70(E) 291.691,93(F) 4.427.736,30(G) 242.794,48(H)
Divergensi - 158.662,89(I) -7.691,28(J) 1.048.320,41(K) - 1.199.292,02(L)
125
Lampiran 6.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya pada Strata 3
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 3.690.467,98(A) (A) 261.447,63(B) 4.494.311,10(C) (C -1.065.290,75(D)
Nilai sosial 3.800.225,95(E) 273.658,19(F) 3.807.262,76(G) - 280.695,00(H)
Divergensi - 109.757,97(I) -12.210,56(J) 687.048,34(K) - 784.595,75(L)
126
Lampiran 7.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya pada Strata 4
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 5.410.878,01(A) (A) 275.622,87(B) 4.602.885,69(C) (C 532.369,45(D)
Nilai sosial 5.598.223,52(E) 287.457,04(F) 3.996.306,10(G) 1.314.460,38(H)
Divergensi - 187.345,51(I) -11.834,17(J) 606.579,59(K) - 782.090,94(L)
Keuntungan privat D = A-B-C 532.369,4483
Keuntungan sosial H = E-F-G 1.314.460.3845
Transfer output I = A-E - 187.345,5145
Transfer input J = B-F -11.834,1717
Transfer faktor K = C-G 606.579,5934
Transfer bersih L = D-H = I-J-K - 782.090,9362
Rasio biaya privat PCR = C/(A-B) 0,8963
Rasio biaya sumber daya domestik DRCR = G/(E-F) 0,7525
Koefisien proteksi output nominal NPCO = A/E 0,9665
Koefisien proteksi input nominal NPCI = B/F 0,9588
Koefisien proteksi efektif EPC = (A-B)/(E-F) 0,9670
Koefisien keuntungan PC = D/H 0,4050
Rasio subsidi bagi produsen SRP = L/E - 0,1397
127
Lampiran 8.
Matriks PAM Usaha Tani Sapi Perah dan Indikatornya di DIY
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Domestik
Nilai privat 4.458.419,52(A) (A) 271.045,10(B) 4.789.634,53(C) (C - 602.260,11(D)
Nilai sosial 4.597.977,61(E) 281.703,97(F) 4.004.245,96(G) 312.027,49(H)
Divergensi - 139.558,09(I) - 10.658,87(J) 785.388,56(K) - 779.690,49(L)
128
Lampiran 17.
Arah Kebijakan Persusuan untuk Meningkatkan Kesejahteraan di Pedesaan
136
Lampiran 18.
Pilar-Pilar Pendukung Pembangunan Persusuan
Pembangunan Sumber Peningkatan produktivitas Memperkuat Hubungan
daya Manusia dan Penge- dan Daya Saing Peternak Antara Peternak dan Kon-
tahuan Manajemen Sapi Perah Skala Kecil sumen untuk Menciptakan
Harga Produk Susu yang
yang Layak, Melalui :
1) Pelatihan keterampi- 1) Alternatif model pem- 1) Meningkatkan akses
lan bangunan persusuan jaringan pemasaran bagi
2) Effective M&E of sec- 2) Memilih model pem- peternak;
toral development bangunan persusuan 2) Penguatan insentif harga
3) Mendukung kola- yang sesuai dengan untuk susu berkualitas;
borasi daerah dalam kondisi lokal 3) Menciptakan kondisi
manajemen pengeta- 3) Membantu peternak supply chain yang kom-
huan melalui jaringan kecil untuk memenuhi petitif
peternak skala kecil sumber daya yang 4) Menciptakan sistem
diperlukan penetapan harga yang
adil dan transparan;
5) Mengedukasi konsumen
pada pengetahun dan
kelebihan produk susu;
6) Menstimulasi permin-
taan konsumen; dan
7) Menurunkan kerugian
dalam supply chain
137
GLOSARIUM
138
Downer cow syndrome : Suatu kelainan ketika serabut otot mengalami
nekrosis akibat meningkatnya permeabilitas
sel terhadap kation pada kondisi rendahnya
kadar kalsium darah
Harga privat : Harga yang benar-benar diterima dan
dikeluarkan oleh pelaku bisnis yang terlibat
Harga sosial : Yang terjadi sebelum ada kebijakan peme-
rintah atau sering disebut harga bayangan;
yaitu sebagai harga yang terjadi pada suatu
perekonomian bila pasar berada dalam
keadaan persaingan sempurna dan dalam
kondisi keseimbangan
Hygiene : Kebersihan
Input tradable : Input yang diperdagangkan di pasar
internasional
Inseminasi buatan : Disebut juga kawin suntik adalah kegiatan
mengawinkan ternak dengan tidak
menggunakan ternak jantan dan umumnya
menggunakan jarum
Inseminator : Orang yang melaksanakan inseminasi buatan
atau petugas yang mengawinkan hewan
Insentif ekonomi : Suatu nilai yang dapat memacu kegiatan
ekonomi
Instability : Ketidakstabilan
Ketosis : Penurunan kadar glukosa darah akibat tidak
seimbangnya input dan output energi meta-
bolisme pada masa awal laktasi. Sering juga
disebut asetonemia atau hypoglisemia ketosis
Keuntungan : Disebut juga profit, yaitu selisih antara total
penerimaan dan biaya produksi
Koefisien keuntungan : Indikator tingkat keuntungan yang merupakan
rasio keuntungan pada harga privat deng-an
keuntungan pada harga sosial
Koefisien keuntungan (PC) : Indikator tingkat keuntungan yang merupa-
kan rasio keuntungan pada harga privat de-
ngan keuntungan pada harga sosial
139
Transfer output : Selisih antara penerimaan pada harga privat
dengan penerimaan pada harga sosial
Transfer faktor : Nilai yang menunjukkan perbedaan besarnya
biaya input domestik pada harga privat
dengan harga sosial
Treatment centers : Lembaga yang memproses susu segar dari
peternak sapi perah atau koperasi susu dengan
pasteurisasi atau sterilisasi saja
World Trade Organization : Organisasi dunia yang mengatur perdagangan
(WTO) dunia agar tercapai sistem perdagangan yang
bebas hambatan
143
INDEKS
G P
GKSI, 15, 101 peternakan sapi perah rakyat, 105
Peternakan sapi perah rakyat, 1
K Pola Inti Rakyat, 2
komposisi susu, 6
koperasi persusuan sekunder, 101 S
koperasi primer, 101 susu, 10
144
BIODATA PENULIS
145