Benar saja, di ujung kailnya tersangkut ikan besar bersisik emas. Toba
segera membawa ikan besar itu untuk dimasak di rumah. Sesampainya di rumah,
Toba kecewa karenakayu bakarnya habis.
Toba : “Ah, tidak ada kayu bakar di sini. Ehmm... sebaiknya aku mencari kayu
bakar dulu di ladang sekarang.”
Kemudian ikan itu pun dimasukkan ke dalam ember, dan Toba pergi mencari
kayu bakar ke ladang.
Seru Toba sambil membawa kayu bakar ke belakang rumahnya. Api sudah
mulai menyala, namun saat Toba hendak mengambil ikan, alangkah terkejutnya dia
karena ikan itu sudah lenyap. Yang ada justru berkeping-keping uang emas.
Toba : ”Hah, di mana ikan itu tadi. Dan itu uang emas siapa?”
Namun saat Toba membuka pintu kamar, alangkah terkejutnya dia. Seorang
perempuan tinggi semampai dengan rambut panjang sedang menyisir rambutnya di
depan cermin.
Toba : ”Wah... alangkah cantikknya perempuan ini.” “Hei, siapakah engkau ini?”
tanya Toba.
Ikan : ”Aku dikutuk oleh Dewata menjadi ikan, tapi berkat engkau kutukan itu
hilang. Mari kita ke dapur, akan kumasakkan kamu makanan. Kamu pasti
lapar.”
Ikan : ”Aku mau jadi istrimu, tapi aku punya satu syarat.” kata perempuan itu.
Ikan : ”Jika kita menikah nanti, jangan pernah mengungkit asal mulaku sebagai
seekor ikan. Aku tidak akan menanggung akibatnya jika kamu
melanggarnya.”
Toba menyanggupinya, baginya itu syarat yang mudah. Toba dan perempuan
itu akhirnya menikah.
Samosir tumbuh menjadi anak yang sangat nakal dan pemalas. Kerjanya
hanya main-main dan keluyuran. Toba masih berusaha sabar dengan kelakuan
Samosir. Jika Toba bekerja di ladang, Samosir tidak pernah mau mengantar
makanan yang sudah dimasak ibunya. Akhirnya istri Toba lah yang mengantarkan
makanan itu kepada Toba.
Toba : ”Istriku, kamu jangan terlalu memanjakan anak kita, Samosir. Jika
terus dimanjakan, dia akan tambah nakal.”
Suatu hari istri Toba membujuk Samosir untuk mau mengantarkan makanan
ke ladang untuk ayahnya. Semula Samosir rtidak mau namun ibunya terus
membujuknya. Akhirnya Samosir mau.
Samosir : ”Baiklah, ibu. Nanti akan kuantar makanan ini untuk ayah.”
Samosir : ”Aduh... lapar sekali aku.” “Ah... aku makan saja makanan ini.
He...he...he...”
Dia pun memakan makanan yang seharusnya untuk ayahnya. Samosir hanya
menyisakan sedikit makanan. Di ladang, Toba tidak sabar menunggu makanan yang
tidak kunjung datang. Ia sudah sangat lapar, apalagi tadi pagi tidak sempat
sarapan karena banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukannya hari ini.
Toba : ”Ke mana saja kamu Samosir, ayah sudah menunggumu lama sekali.”
Toba : ”Hei, Samosir. Kamu sudah memakan makanan ayah ya?” “Kelakuanmu
ini sudah diluar batas. Dasar anak ikan...!” “Hei, kemari kamu!”
Kemarahan Toba tidak terbendung lagi. Tanpa sadar dia sudah mengucapkan
pantangan yang dulu sudah disyaratkan istrinya. Toba memukuli Samosir hingga
menangis. Samosir pun berlari menuju ibunya.
Samosir : ”Hu...hu... Ibu, kata ayah aku ini anak ikan. Apa benar ibu?”
Istri Toba merasa sangat sedih karena Toba telah mengungkit asal-usulnya.
Kemudian dia menyuruh Samosir untuk berlari ke atas bukit.
Istri Toba : ”Samosir cepatlah kau lari ke atas bukit nak, sebelum air bah
datang.”
Dia tidak sempat melarikan diri. Toba hanyut dan tenggelam dalam air bah.
Segera saja air bah menggenangi lembah dan hanya menyisakan puncak bukit di
tengahnya. Di bukit itu Samosir sembunyi. Namun saat air bah menjadi danau,
Samosir pun berubah menjadi pulau. Itulah sebabnya danau itu dinamakan Danau
Toba dan pulau di tengahnya disebut Pulau Samosir.