Anda di halaman 1dari 13

RESUME BIDANG ILMU BEDAH MULUT

OPERKULEKTOMI

Dosen Pembimbing:
drg. Helmi Hirawan Sp. BM

Disusun Oleh:
Ghina Nurul ‘Adilah
G4B019012

Komponen
Pembelajaran Resume Diskusi
Daring

Nilai & Tanggal

Tanda Tangan
DPJP

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI
PURWOKERTO
2021
A. TINJAUAN PUSTAKA
Perikoronitis adalah keradangan jaringan gingiva disekitar mahkota gigi
yang erupsi sebagian. Gigi yang sering mengalami perikoronitis adalah pada gigi
molar ketiga rahang bawah. Proses inflamasi pada perikoronitis terjadi karena
terkumpulnya debris dan bakteri di poket perikorona gigi yang sedang erupsi
atau impaksi (Mansour and Cox, 2006).
Faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan perikoronitis adalah
mahkota gigi yang erupsi sebagian atau adanya poket di sekeliling mahkota gigi
tersebut, gigi antagonis yang supraposisi, dan kebersihan rongga mulut yang
buruk (Meurman et al, 2003). Perikoronitis berhubungan dengan bakteri dan
pertahanan tubuh. Jika pertahanan tubuh lemah seperti saat menderita influenza
atau infeksi pernafasan atas, atau karena penggunaan obat-obat imunosupresan
maka pertahanan tubuh seorang pasien akan lemah dan mempermudah timbulnya
perikoronitis (Hupp et al, 2008).
Penyebab perikoronitis adalah terjebaknya makanan di bawah operkulum.
Selama makan, debris makanan dapat berkumpul pada pseudopoket antara
operkulum dan gigi impaksi. Poket yang tidak bisa dibersihkan mengakibatkan
bakteri berkolonisasi dan menyebabkan perikoronitis (Hupp et al, 2008).
Mikroflora pada perikoronitis didapatkan mirip dengan mikroflora pada poket
periodontal. Bakteri- bakteri tersebut memicu inflamasi pada daerah perikorona
(Leung, 1993). Perikoronitis juga diperparah dengan adanya trauma akibat gigi
antagonis. Selain itu faktor emosi, merokok, dan infeksi saluran respirasi juga
memperparah perikoronitis (Topazian, 2002).
Gejala awal perikoronitis berupa nyeri dan pembengkakan lokal pada
operkulum yang menutupi mahkota gigi. Selain itu, adanya bau mulut yang tidak
enak akibat adanya pus, ulkus pada jaringan operkulum yang terinfeksi akibat
kontak yang terus menerus dengan gigi antagonis dan meningkatnya suhu tubuh
dapat menyertai gejala-gejala klinis dari perikoronitis. Apabila perikoronitis
tidak diterapi dengan adekuat sehingga infeksi menyebar ke jaringan lunak,
dapat timbul gejala klinis yang lebih serius berupa limfadenitis pada kelenjar
limfe submandibularis, trismus, demam, lemah, dan bengkak pada sisi yang
terinfeksi (Laine et al, 2003).
1. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang umum muncul pada kondisi perikoronitis antara lain
gingiva kemerahan dan bengkak di regio gigi yang erupsi sebagian, serta rasa
sakit saat mengunyah. Perikoronitis secara klinis dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu :
a. Perikoronitis akut
Pada perikoronitis akut terjadi pembengkakan pada gingiva disekitar
gigi, eritema, disertai eksudat dan terasa sakit bila ditekan. Rasa sakit yang
muncul dapat menyebar ke leher, telinga, dan dasar mulut. Gejala yang
timbul meliputi limfadenitis pada kelenjar limfe submandibularis,
pembengkakan wajah, eritema, edema, terasa keras saat operkulum
dipalpasi, malaise, bau mulut, dan eksudat purulen yang keluar dari poket
operkulum saat palpasi. Jika tidak segera ditangani maka dapat timbul
gejala sistemik, seperti demam dibawah 38,5o serta rasa ketidaknyamanan.
Trismus juga dapat terjadi pada kondisi perikoronitis akut (Shepherd dan
Brickley, 1994).
b. Perikoronitis Subakut
Perikoronitis subakut ditandai dengan adanya nyeri yang terus
menerus namun tidak disertai oleh trismus atau gejala sistemik.
c. Perikoronitis Kronis
Perikoronitis kronis ditandai dengan timbulnya rasa tidak nyaman
yang terus menerus. Pada gambaran radiologi didapatkan resorpsi tulang
alveolar sehingga ruang folikel melebar, tulang interdental diantara molar
kedua dan ketiga mengalami resorpsi sehingga terdapat poket periodontal
pada distal gigi molar kedua (Laine el al, 2003).
2. Etiologi
Perikoronitis merupakan infeksi bakteri pada gingiva yang paling sering
terjadi pada gigi molar ketiga rahang bawah. Pada gigi yang erupsi sebagian,
mahkota gigi ditutupi oleh jaringan lunak yang disebut dengan operkulum.
Pada saat makan, debris makanan dapat berkumpul pada pseudopoket antara
operkulum dan gigi impaksi. Poket pada operkulum tidak dapat dibersihkan
secara sempurna sehingga mengakibatkan bakteri berkolonisasi dan sering
mengalami infeksi (Keys and Bartold, 2000).
Penyebab utama dari infeksi ini adalah flora normal rongga mulut yang
terdapat dalam sulkus gingiva. Flora normal tersebut yaitu polibakteri yang
terdiri atas bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Sixou et al, 2003).
Bakteri gram positif seperti Gamella, Lactococcus, Streptococcus,
Staphylococcus, Actinomyces, Bacillus, Corynenebacterium, Lactobacillus,
Propionibacterium, Peptostreptococcus, Prevotella, Bacteroides,
Fusobacterium, Leptotrichia, dan Porphyromonas. Sedangkan bakteri gram
negatif antara lain Capnocytophaga dan Pseudomonas. Mikroflora pada
perikoronitis yang ditemukan mirip dengan mikroflora pada poket
periodontal. Bakteri-bakteri tersebut yang memicu inflamasi pada daerah
perikorona. Perikoronitis juga dipicu oleh trauma akibat gigi antagonisnya
yang terus menerus berkontak (Leung, 2004).
Bakteri Streptococcus mutans dapat tumbuh subur dalam suasana asam
dan menempel pada mukosa ruang perikorona karena kemampuannya
membuat polisakarida ekstra sel yang sangat lengket dari karbohidrat
makanan. Polisakarida yang mempunyai konsistensi seperti gelatin sehingga
bakteri-bakteri terbantu untuk melekat pada mukosa serta saling melekat satu
sama lain. Setelah semakin bertambah, bakteribakteri ini akan menghambat
fungsi saliva dalam menetralkan suasana asam dalam rongga mulut (Volk dan
Wheeler, 1990). Bakteri Streptococcus mutans merupakan bakteri yang paling
dominan peranannya dalam patogenesis perikoronitis. Bakteri lain yang
banyak ditemukan pada operkulum perikoronitis adalah Actinomyces.
Actinomyces banyak ditemukan dalam gigi karies, poket gingiva dan kripta
tonsil sebagai saprofit. Prevotella merupakan bakteri lain yang banyak
ditemukan pada operkulum perikoronitis. Prevotella adalah organisme
anaerobik yang umumnya ditemukan pada infeksi rongga mulut, termasuk
penyakit periodontal (Eduaro and mario, 2005).
3. Patofisiologi
Perikoronitis berawal dari gigi yang erupsi sebagian, mahkota gigi
diliputi oleh jaringan lunak yang disebut dengan operkulum. Antara
operkulum dengan mahkota gigi yang erupsi sebagian terdapat spasia yang
membentuk pseudopoket. Debris makanan dapat berkumpul pada poket antara
operkulum dan gigi impaksi, sehingga tidak dapat dibersihkan dari sisa
makanan dengan sempurna akhirnya menyebabkan infeksi oleh berbagai
macam flora normal rongga mulut, terutama mikroflora subgingiva yang
membentuk koloni di celah tersebut. Keadaan ini juga dapat diperparah
karena salah satunya kebersihan rongga mulut yang kurang, sehingga terdapat
akumulasi plak, dapat mendukung berkembangnya koloni bakteri dan juga
infeksi ini dapat bersifat lokal atau dapat meluas ke jaringan yang lebih dalam
dan melibatkan spasia jaringan lunak yang lainnya (Bataineh et al, 2003).
4. Operkulektomi
Operkulum adalah flap jaringan gingiva yang padat berserat yang
mencakup sekitar 50 % dari permukaan oklusal yang menutupi sebagian dari
molar ketiga pada mandibula. Pengambilan flap ini dikenal sebagai
operkulektomi. Operkulektomi dilakukan dengan menggunakan
menggunakan pisau bedah biasa atau gunting. Operkulektomi atau
perikoronal flap adalah pembuangan operkulum secara bedah. Perawatan
perikoronitis tergantung pada derajat keparahan inflamasinya. Komplikasi
sistemik yang ditimbulkan dan pertimbangan apakah gigi yang terlibat
nantinya akan dicabut atau dipertahankan (Shepherd dan Brickley, 1994).
Selain itu hal yang perlu diperhatikan adalah faktor usia dan kapan
dimulai adanya keluhan. Perlu adanya observasi mengenai hal tersebut karena
jika usia pasien adalah usia muda dimana gigi terakhir memang waktunya
untuk erupsi dan mulai keluhan baru saja terjadi, maka operkulektomi
sebaiknya tidak dilakukan dulu. Kondisi akut merupakan kontra indikasi
dilakukannya operkulektomi, namun tindakan emergensi dapat dilakukan
hingga kondisi akut dapat ditanggulangi kemudian keadaan dievaluasi untuk
dapat melakukan operkulektomi (Shepherd dan Brickley, 1994).

a. Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi operkulektomi adalah sebagai berikut
 Erupsi sempurna ( bagian dari gigi terletak pada ketinggian yang
sama pada garis oklusal)
 Adanya ruang yang cukup untuk ditempati coronal, adanya ruangan
yang cukup antara ramus dan sisi distal M2
 Inklinasi yang tegak
 Ada antagonis dengan oklusi yang baik
Kontraindikasi operkulektomi adalah sebagai berikut
 Kondisi perikoronitis akut.
 Gigi tumbuh unfavorable atau gigi tumbuh dengan posisi horizontal.
b. Teknik dan Penatalaksanaan Operkulektomi
1) Persiapan alat dan bahan :
Diagnostik set Semen spatel
Pinset chirurgis Tampon
Glass plate Cotton pelet
Akuades steril dan spuit Periodontal probe
Cotton roll Periodontal pack (dressing)
Alkohol 70% Gunting
Betadine antiseptic Scalpel
Neir beiken
2) Penatalaksanaan
Operkulektomi atau pericoronal flap adalah pembuangan
operkulum secara bedah. Perawatan perikororonitis tergantung pada
derajat keparahan inflamasinya. Komplikasi sistemik yang
ditimbulkan dan pertimbangan apakah gigi yang terlibat nantinya
akan dicabut atau dipertahankan. Selain itu hal yang perlu
diperhatikan dan adalah faktor usia dan kapan dimulai adanya
keluhan. Perlu adanya observasi mengenai hal tersebut karena jika
usia pasien adalah usia muda dimana gigi terakhir memang waktunya
untuk erupsi dan mulai keluhan baru saja terjadi, maka
operkulektomi sebaiknya tidak dilakukan dulu. Kondisi akut
merupakan kontraindikasi dilakukannya operkulektomi, namun
tindakan emergensi dapat dilakukan hingga kondisi akut dapat
ditanggulangi kemudian keadaan dievaluasi untuk dapat melakukan
operkulektomi.
3) Teknik Operkulektomi
Kunjungan Pertama
a) Menentukan perluasan dan keparahan struktur jaringan yang
terlibat serta komplikasi toksisitas sistemik yang ditimbulkan.
b) Menghilangkan debris dan eksudat yang terdapat pada permukaan
operkulum dengan aliran air hangat atau aquades steril.
c) Usap dengan antiseptik.
d) Operkulum/pericoronal flap diangkat dari gigi dengan
menggunakan scaler dan debris di bawah operkulum dibersihkan.
e) Irigasi dengan air hangat/aquades steril. Pada kondisi akut
sebelum dilakukan pembersihan debris dapat diberikan anastesi
topikal. Pada kondisi akut juga tidak boleh dilakukan kuretase
maupun surgikal. Bila operkulum membengkak dan terdapat
fluktuasi, lakukan insisi guna mendapatkan drainase. Bila perlu
pasang drain dan pasien diminya datang kembali setelah 24 jam
guna melepas/mengganti drainnya.
f) Pemberian medikasmentosa. Seperti obat kumur, analgesik,
muscle relaxan (bila perlu), dan antibiotik.
g) Jika kondisi akut, maka perawatan selanjutnya diberikan di
knjungan kedua. Pasien diinstruksikan agar berkumur dengan air
hangat tiap 1 jam, banyak istirahat, makan yang banyak dan
bergizi, menjaga kebersihan mulutnya, kontrol kembali 5 hari
kemudian
h) Kondisi pasien kemudian dievaluasi di kunjungan berikutnya dan
dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya bila kondisi pasien telah
membaik dan keadaan akut telah reda.
Kunjungan Kedua
a) Evaluasi hasil medikasi, apakah peradangan masih terjadi atau
tidak .
b) Irigasi dan bersihkan daerah inflamasi bila dirakan masih ada
debris
c) Asepsis area operkulektomi dan area anestesi dengan povidone
iodine. Serta, siapkan tampon dan suction
d) Anastesi daerah yang ingin dilakukan operkulektomi. Anastesi
tidak perlu mencapai sampai tulang, hanya sampai periosteal.
e) Lakukan operkulektomi (eksisi periodontal flap) dengan
memotong bagian distal M3. Jaringan di bagian distal M3
(retromolar pad) perlu dipotong untuk menghindari terjadinya
kekambuhan perikoronitis. Ambil seadekuat mungkin. Penjahitan
dilakukan jika trauma terlalu besar atau bleeding terlalu banyak.
f) Teknik operkulektomi yang lain dapat dilakukan secara partial
thickness mucogingival flap pada daerah lingual. Untuk daerah
bukal juga dibuat insisi partial thickness flap dengan
meninggalkan selapis jaringan. Partial thickness flap adalah flap
yang dibuat dengan jalan menyingkap hanya sebagian ketebalan
jaringan lunak yakni epitel dan selapis jaringan ikat, tulang masih
ditutupi jaringan ikat termasuk periosteum. Indikasi untuk
dilakukannya teknik ini adalah flap yang akan ditempatkan ke
arah apikal atau operator tidak bermaksud membuka tulang.
Setelah dilakukan flap dapat dilakukan eksisi seluruh jaringan
retromolar pad kemudian menyatukan flap bukal dan lingual
dengan melakukan penjahitan
g) Bersihkan daerah operasi dengan air hangat/aquades steril.
h) Keringkan agar periodontal pack yang akan diaplikasikan tidak
mudah lepas.
i) Aplikasikan periodontal pack. Penggunaan periodontal pack
bukan medikasi, namun menutupi luka (dressing) agar proses
penyembuhan tidak terganggu. Dressing periodontal dulu
mengandung zinc-oxide eugenol, namun sekarang kurang disukai
karena dapat mengiritasi. Karena alasan itu, sekarang ini
digunakan bahan dressing periodontal bebas eugenol. Dalam
mengaplikasikannya harus hati-hati sehingga dapat menutupi
daerah luka dan mengisi seluruh ruang interdental karena di
situlah letak retensinya. Pada daerah apikal, periodontal pack
diaplikasikan jangan melebihi batas epitel bergerak dan epitel tak
bergerak dan mengikuti kontur. Pada daerah koronal jangan
sampai mengganggu oklusi. Dengan demikian, retensi periodontal
pack menjadi baik.
j) Instuksikan pada pasien agar datang kembali pada kunjungan
berikutnya (kalau tidak ada keluhan, satu minggu kemudian)
k) Pada kunjungan berikutnya, pack dibuka dan dievaluasi
keadaannya.
B. LAPORAN KASUS
Pemeriksaan Subyektif
1. Chief complain: Pasien datang mengeluhkan gusi pada gigi paling
beakang bawah kiri sering tergigit
2. Present illness: Pasien merasakan makanan sering terselip pada gigi
belakang bawah kiri
3. Past medical history: Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
4. Past dental history: Tidak disebutkan dalam kasus
5. Family history: Tidak disebutkan dalam kasus
6. Social history: Tidak disebutkan dalam kasus

Pemeriksaan Objektif
1. Keadaan umum pasien baik
2. Inspeksi:
Ekstra Oral : Tidak ada kelainan
Intra Oral : Pembengkakan gusi yang menutupi sebagian distal gigi 38
dan warna sedikit kemerahan
Gigi 38 karies klas 1 GV black

Gambaran Klinis Rongga Mulut Pasien Sebelum Dilakukan Perawatan

Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
Assessment
Perikoronitis kronis pada gigi 38

Planning
Operkulektomi

Penatalaksanaan Kasus
Kunjungan I
1. Pemeriksaan keadaan umum pasien dan pengisian informed consent.
2. Persiapan alat dan bahan
Diagnostik set Kassa steril
Pinset Chirugis Povidone iodine
Gunting jaringan Saline
Scaple Pehachaine
Blade no. 15 Coe pack
Spuit
3. Asepsis dan melakukan tindakan anastesi dengan menggunakan 2% lidocaine
with 1:80.000 adrenaline berupa infiltrasi pada bagian lingual dan distal gigi
38
4. Eksisi operkulum sampai ke distal CEJ gigi 38
5. Debridemen dengan saline dan povidon iodin
6. Deep dengan kassa steril
7. Aplikasi coe pack
8. Instruksi dan Edukasi
- Tidak memainkan lidah pada bagian luka
- Diet lunak
- Jangan merokok
- Tidak makan dan mnum panas
9. Pasien diresepkan beberapa obat
R/ Amoxicillin tab 500mg No. XV
S. 3 dd. tab I p.c.
R/ Asam Mefenamat tab 500mg No. X
S.p.r.n. 3 dd. tab I aggied dol. p.c.
Kunjungan II
Pasien kontrol untuk melihat kondisi penyembuhan dan pelepasan coe pack
DAFTAR PUSTAKA
Bataineh QM et al. 2003. The Predisposing Factors of Pericoronitis of
Mandibular Third Molars in a Jordania Population. J Oral Maxillofacial
surgery.
Eduaro AP, Mario JAC. 2005. Prevotella Intermedia and Porphyromonas
GingivaisIsolated from Osseointegrated Dental Implants: Colonization and
Antimicrobial Susceptibility. Brazilian J Microbiol.
Hupp J, Ellis E, Tucker H. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery
5th edition. St. Louis Missouri. Mosby Elsevier.
Mansour MH, Cox SC. 2006. Patiens Presenting to the general practitioner with
pain from dental origin. Australia Med J.
Meurman JH, Rajasuo A, Murtomaa H, Savoleinen S. 1995. Respiratory tract
infections and contaminant pericoronitis of the wisdom teeth. British Med.
Keys D and Bartold M. 2000. Periodontal conditions of relevance to the
Australian Defence Force. Australian Defence Force Health.
Laine M, Venta I, Hyrkas T, Jian MA and Konttinen YT. 2003. Chronic
Inflamation around painless partially erupted third molars. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod.
Leung AKC and Robson WLM. 2004. Childhood Cervical Lymphadenopathy.
Ped Health Care. Shepherd JP, Brickley M. 1994. Surgical Removal of
Third Molars. British Med J.
Sixou JL, Magaud C, Jolived-Gougeon A, Cormier M, Bonnaure-Mallet M. 2003.
Evaluation of the Mandibular Third Molar Pericoronitis Flora and Its
Susceptibility to Different Antibiotics Prescribed in France. J. Clin. Micro.
Topazian RG, Goldberg MH, and Hupp JR. 2002. Oral and Maxillofacial
Infection.4th Edition. Philadhelphia: WB Saunders Company.
Volk WA dan Wheeler MF. 1984. Basic Microbiology. 5th Edition. Harper and
Row, Publisher, Inc. Diterjemahkan oleh Adisoemarto S, 1990.
Mikrobiologi Dasar jilid 2; Erlangga; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai