BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perikoronitis
2.1.1 Definisi
erupsi sebagian. Gigi yang sering mengalami perikoronitis adalah pada gigi molar
ketiga rahang bawah. Proses inflamasi pada perikoronitis terjadi karena terkumpulnya
debris dan bakteri di poket perikorona gigi yang sedang erupsi atau impaksi
gigi yang erupsi sebagian dan/ atau adanya poket di sekeliling mahkota gigi tersebut,
gigi antagonis yang supraposisi, dan oral hygiene yang buruk. (Meurman et al. 2003,
pertahanan tubuh lemah seperti saat menderita influenza atau infeksi pernafasan atas,
pasien akan lemah dan mempermudah timbulnya perikoronitis. (Hupp et al. 2008, p
155).
2.1.2 Etiologi
Etiologi utama perikoronitis adalah flora normal rongga mulut yang terdapat
dalam sulkus gingiva. Flora normal yang terlibat adalah polibakteri, meliputi bakteri
Gram positif dan bakteri Gram negatif. (Sixou et al. 2003, pp 5794-7). Mikroflora
diperparah oleh trauma akibat gigi antagonis. Selain itu faktor emosi, merokok, dan
ditemukan pada kasus-kasus perikoronitis adalah bakteri aerob Gram positif coccus
prevotella yang dominan, membuat penderita mengalami kondisi akut (Leung 1993,
pp 1-4). Hal ini berkaitan erat dengan patogenesis dimana peradangan terjadi akibat
adanya celah pada perikorona yang menjadi media subur bagi koloni bakteri. (Sixou
yang berbentuk bulat atau bulat telur dan tersusun dalam bentuk rantai. Bakteri ini
tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 18o-40 oC. Streptococcus mutans biasanya
ditemukan pada rongga mulut manusia yang mengalami luka. (Livia C et al. 2012, pp
11-12).
cenderung untuk tetap berkoloni dan membentuk rantai kokus. Panjangnya rantai
Gambar 2.2 Gambaran Mikroskopis Streptococcus Mutans (Volk dan Wheeler. 1990, p 39 )
Streptococcus mutans dapat tumbuh subur dalam suasana asam dan menempel
sel yang sangat lengket dari karbohidrat makanan. Polisakarida ini mempunyai
mukosa serta saling melekat satu sama lain. Dan setelah makin bertambahnya bakteri
akan menghambat fungsi saliva dalam menetralkan suasana asam dalam rongga
2.1.4.2 Actinomyces
perikoronitis. Actinomyces juga banyak ditemukan dalam gigi karies, pada poket
gingiva dan kripta tonsil sebagai saprofit. Menurut Lall tahun 2010, actinomyces
termasuk mikroflora yang pertumbuhannya lambat dan termasuk bakteri gram positif
yang belum bisa diisolasi. Mikroflora ini banyak berhubungan dengan infeksi oral
2.1.4.3 Prevotella
ditemukan pada infeksi rongga mulut. Prevotella juga termasuk jenis bakteri yang
2.1.3 Patogenesis
Perikoronitis berawal dari gigi yang erupsi sebagian, mahkota gigi diliputi
oleh jaringan lunak yang disebut dengan operkulum. Antara operkulum dengan
mahkota gigi yang erupsi sebagian terdapat spasia, bagian dari dental follicle, yang
and Perez. 2004, pp 120-5). Selama makan, debris makanan dapat berkumpul pada
poket antara operkulum dan gigi impaksi. Operkulum tidak dapat dibersihkan dari
sisa makanan dengan sempurna sehingga sering mengalami infeksi oleh berbagai
macam flora normal rongga mulut, terutama mikroflora subgingiva yang membentuk
koloni di celah tersebut. Kebersihan rongga mulut yang kurang, sehingga terdapat
2003, pp 227-31). Menurut Keys dan Bartold (2000, pp 114-8) infeksi tersebut dapat
bersifat lokal atau dapat meluas ke jaringan yang lebih dalam dan melibatkan spasia
jaringan lunak.
Selain itu faktor emosi, merokok, dan infeksi saluran respirasi juga memperparah
Gingiva kemerahan dan bengkak di regio gigi yang erupsi sebagian, rasa sakit
pada waktu mengunyah makanan, merupakan gejala klinis yang sering ditemukan
pada penderita perikoronitis (Samsudin dan Mason. 1994, p 32). Bau mulut yang
tidak enak akibat adanya pus dan meningkatnya suhu tubuh dapat menyertai gejala-
Gambar 2.6 .Mahkota Gigi Molar Ketiga Rahang Bawah Tertutup sebagian oleh operkulum yang
berwarna kemerahan dan bengkak. (Fragiskos. 2007, p 122)
Pada beberapa kasus dapat ditemukan ulkus pada jaringan operkulum yang
terinfeksi akibat kontak yang terus menerus dengan gigi antagonis. Apabila
lunak, dapat timbul gejala klinis yang lebih serius berupa limfadenitis pada kelenjar
limfe submandibularis, trismus, demam, lemah, dan bengkak pada sisi yang terinfeksi
2.1.4 Klasifikasi
Perikoronitis akut diawali dengan rasa sakit yang terlokalisir dan kemerahan
pada gingiva. Rasa sakit dapat menyebar ke leher, telinga, dan dasar mulut. Pada
pemeriksaan klinis pada daerah yang terinfeksi, dapat terlihat gingiva yang
kemerahan dan bengkak, disertai eksudat, dan terasa sakit bila ditekan. Gejala
meliputi limfadenitis pada kelenjar limfe submandibularis, dan kelenjar limfe yang
dalam, pembengkakan wajah, dan eritema, edema dan terasa keras selama palpasi
pada operkulum gigi molar, malaise, bau mulut, eksudat yang purulen selama palpasi.
Demam akan terjadi apabila tidak diobati. Umumnya serangan akut dapat
biasanya ditemukan akumulasi plak dan debris akibat pembersihan yang sulit
dilakukan pada pseudopoket sekitar gigi yang erupsi sebagian. Trismus dapat terjadi
menerus pada operkulum tetapi tidak ada trismus ataupun gangguan sistemik.
Perikoronitis kronis ditandai dengan rasa tidak enak yang timbul secara
berkala. Rasa tidak nyaman dapat timbul apabila operkulum ditekan. Tidak ada gejala
klinis yang khas yang menyertai perikoronitis kronis. Pada gambaran radiologi bisa
didapatkan resorpsi tulang alveolar sehingga ruang folikel melebar, tulang interdental
di antara gigi molar kedua dan molar ketiga menjadi atrisi dan menghasilkan poket
periodontal pada distal gigi molar kedua (Laine et al. 2003, pp 227-8).
2.1.5 Terapi
sistemik, dan kondisi gigi yang terlibat. Terapi umum dilakukan pada penderita
perikoronitis adalah terapi simptomatis, antibiotika, dan bedah. Berkumur dengan air
garam hangat dan irigasi dengan larutan H2O2 3% di daerah pseudopoket merupakan
pemberian analgetik yang adekuat untuk mengurangi rasa sakit. Analgetik yang
sering diberikan adalah golongan anti inflamasi non steroid atau golongan opioid
ringan apabila pasien mengeluh rasa sakit yang berat (Soelistiono. 2005 pp 13-24).
Antibiotika diberikan kepada penderita pada fase akut yang supuratif apabila tindakan
bedah harus ditunda (Martin, Kanatas, Hardy. 2005 pp 327-30). Terapi bedah
meliputi operkulektomi dan odontektomi yang dilakukan setelah fase akut reda,
tergantung dari derajat impaksi gigi (Blakey, White, Ofenbacher. 1996 pp 1150-60).
Prognosis dari perikoronitis baik apabila penderita dapat menjaga kebersihan rongga
mulutnya.
2.2.1 Definisi
Dressing agent adalah salah satu pilihan terapi yang cepat meredakan rasa
sakit dan memberikan efek anti inflamasi. Dressing agent Alvogyl® yang diproduksi
oleh Septodont Company adalah dressing agent dengan komposisi dari beberapa
bahan aktif antara lain butamben, iodoform, eugenol, penghawar, minyak zaitun,
sodium lauryl sulfate, spearmint oil, purified water, dan kalsium karbonat. Eugenol
2.2.2 Komposisi
1. Butamben 25,70 g
Butamben adalah anestesi lokal yang digunakan dalam suspensi epidural untuk
jangka panjang penekanan selektif dari transmisi sinyal nyeri pada tulang belakang
dan sebagai pengobatan nyeri berupa salep pada kulit (Beekwilder. 2006, p 141).
Butamben digunakan secara topikal sebagai lokal anestesi, pada kulit dan
mukosa membran untuk analgesik yang efektif. Topikal anestesi mempunyai rentang
2. Iodoform 15,80 g
antimikroba. Iodoform juga bermanfaat untuk mengurangi resiko adanya infeksi dan
3. Eugenol 13,70 g
mempunyai efek antioksidan dan efek anti inflamasi, dengan menghambat sintesa
mengaktivkan NF-B, yaitu faktor penting yang meregulasi respon inflamasi dan
ekspresi sitokin pada inflamasi. TNF menstimulasi aktivitas sel pada otot polos, dan
berperan dalam proses inflamasi. COX-1 pada hampir seluruh sel, dan COX-2
diinduksi oleh growth factors, sitokin, dan LPS melalui aktivasi NF-B pada beberapa
1. Minyak Zaitun
2. Spearmint oil
dalam plak dan merupakan komposisi dari obat kumur. Namun memiliki
2007, p 192)
4. Kalsium Karbonat
pp 1-4)
2.2.3 Indikasi
Alergi pada salah satu kandungan di dalamnya, misal terhadap eugenol. Tidak
lain dalam dressing agent telah banyak dibuktikan sebagai senyawa antimikroba. Dan
mengurangi resiko adanya infeksi dan inflamasi pada penyembuhan luka. Begitupun
Hal itu lah yang akan digunakan sebagai dasar dilakukannya penelitian ini
untuk melihat pengaruh efek dressing agent terhadap penurunan jumlah bakteri pada