Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Nyadran adalah salah satu prosesi adat jawa dalam bentuk kegiatan tahunan di bulan
ruwah (sya’ban), dari mulai bersih-bersih makam leluhur, masak makanan tertentu, seperti
apem, bagi-bagi makanan, dan acara selamatan atau disebut kenduri. Nama nyadran sendiri
berasal dari kata Sradha – nyradha – nyradhan, kemudian menjadi nyadran. Di kabupaten
Kendal sering ditemukan didaerah pesisir seperti melarung kepala kerbau.
Menurut pengertian yang lain Nyadran merupakan reminisensi dari upacara sraddha
Hindu yang dilakukan pada zaman dahulukala. Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa pada
bulan Jawa-Islam Ruwah sebelum bulan Puasa, Ramadan, bulan di mana mereka yang
menganut ajaran Islam berpuasa.
Upacara sadran ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam dan menabur bunga
(nyekar). Selain itu upacara ini juga dilaksanakan oleh orang Jawa yang tidak menganut ajaran
Islam
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara menghilangkan ritual-ritual yang tidak sesuai dengan ajaran agama
islam?
2. Bagaimana cara agar masyarakat tidak mengikuti ritual tersebut?
3. Bagaimana cara menjadi masyarakat islam yang sebenar-benarnya,yang bersumber pada
Alquran dan sunnah?

TUJUAN
1. Agar menghilangkan ritual-ritual yang tidak sesuai dengan ajaran agama islam.
2. Agar masyarakat tidak mengikuti ritual tersebut
3. Agar menjadi masyarakat islam yang sebenar-benarnya, yang bersumber pada Alquran
dan sunnah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Nyadran sejatinya reminisensi (kenangan) dari upacara hindu, nyadran dilestarikan oleh
sebagian orang jawa dan menjadi adat mereka. Nyadran dilakukan di waktu tertentu, yaitu di
bulan sya’ban, yang oleh orang jawa disebut ulan ruwah. Sebagian referensi menyebutkan, kata
ruwah merupakan turunan dari kata arwah (ruh).Nyadran bukan semata kegiatan senang-senang,
bergembira ria, namun ada unsur ritual tertentu. Keberadaan ritual ini tidak akan lepas dari
keyakinan tertentu atau ideologi yang menjadi motivasi utama untuk melakukannya. Nyadran
tidak hanya dilakukan kaum muslimin, tapi juga selain penganut islam, seperti kejawen, hindu,
dan penganut aliran kepercayaan lainnya.

Dengan memahami tradisi nyadran, kita tentu sepakat nyadran 100% bukan ajaran islam.
Hanya saja, oleh sebagian orang jawa diklaim sebagai bagian dari islam. Mulai dari sejarah yang
melatar belakanginya, hingga perjalanannya, bukti nyata nyadran bukan ajaran islam. Bahkan
sejatinya, nyadran merupakan reminisensi ajaran hindu. Di sebagian situs berita dirilis, “Umat
Islam dan katholik ‘Nyadran’ bersama.” Sungguh aneh jika masih dianggap ajaran islam??

Salah satu fenomena akhir zaman, yang dialami umat Islam, membeo kepada orang kafir
dalam tradisi dan dan ritual mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan kaum sebelum kalian, sama persis
sebagaimana jengkal tangan kanan dengan jengkal tangan kiri, hasta kanan dengan hasta kiri.
Sampai andaikan mereka masuk ke liang biawak, kalian akan mengikutinya.” (HR. Bukhari
3456, Muslim 2669 dan yang lainnya).

Meskipun konteks hadis ini berbicara tentang orang yahudi dan nasrani, tapi secara
makna mencakup seluruh kebiasaan kaum muslimin yang mengikuti tradisi dan budaya yang
menjadi ciri khas orang kafir.

Sementara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kaidah, meniru


ritual orang kafir, apapun bentuknya, berarti telah meniru kebiasaan mereka. Dan tindakan ini
telah melanggar peringatan dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

2
“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.”
(HR. Abu Daud 4031 – hadis shahih).

Ritual ( Nyadran) ini tidak lebih hanya meminjam istilah dalam islam untuk melengkapi
acara semacam ini. Agar bisa diterima kaum muslimin sebagai bagian ajaran islam. Tentu saja
ini adalah tindak kriminal terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah
mengajarkan demikian kepada umatnya. Bagaimana mungkin bisa diyakini sebagai bagian dari
islam. Bukankah ini sama halnya dengan berdusta atas nama beliau? Itulah yang dimaksud
tindakan kriminal terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Malik pernah mengatakan,

“Siapa yang melakukan perbuatan bid’ah dalam islam, dan dia anggap itu baik, berarti
dia menganggap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat terhadap risalah.” (Al-
Inshaf fima Qiila, hlm. 40).

Jika nyadran itu disertai dengan persembahan sesaji (sesajen) kepada jin, nyai loro kidul
(ratu jin pantai selatan) maka jelas hal ini adalah haram dan merupakan bid’ah yang dlolalah
(sesat). Demikian pula persembahan dan sesaji kepada arwah leluhur adalah sesat. Karena arwah
itu berada di alam barzakh dan tidak butuh makanan fisik. Apa yang sering disebut-sebut sebagai
arwah yang muncul di alam kita itu hanyalah rekayasa dan tipu daya jin, yang menjelma dan
mengaku-ngaku sebagai arwah orang yang sudah meninggal.

Baik waktu nyadran maupun waktu apapun, kita tidak boleh menyembah jin terlebih jin-
jin yang minta sesaji itu pasti adalah jin kafir. Keyakinan bahwa jin itu adalah penguasa atau
penunggu wilayah tertentu, gunung, pohon, batu, bangunan tertentu dan lain-lain adalah
keyakinan yang sesat. Karena jin itu hanyalah makhluk Allah biasa sebagaimana anjing, kucing,
tumbuhan, bakteri, virus dan makhluk hidup ciptaan Allah lainnya, hanya bedanya jin itu tidak
kelihatan dan satu dua jin memiliki kemampuan tertentu.

Keyakinan bahwa jin itu bisa mendatangkan rezeki atau keberkahan jelas adalah
keyakinan yang sesat. Karena jin itu tidak mengetahui hal yang ghaib, dan ia tidak menguasai
rezeki manusia. Adapun jin memang bisa saja bertingkah merusak hasil panen, mengusir ikan di
laut, hal ini sebagaimana perilaku preman dan tukan peras jika tidak dikasih uang ia akan berulah

3
dan membuat onar. Maka aksi premanisme oleh jin seperti ini harus dilawan dan diberantas dan
bukan dilestarikan.

Keyakinan bahwa jin itu bisa mendatangkan malapetaka jika tidak diberi sesaji maka hal
itu juga sama seperti aksi preman dari bangsa manusia. Jika tidak diberi uang, maka jalan kita
akan dihalangi, dagangan kita menjadi tidak laku, panen kita menjadi gagal, tangkapan nelayan
menjadi sedikit dan bahkan nyawa kita diancam. Maka memberi sesaji pada jin itu sama saja
dengan memberi upeti kepada preman dan penjahat, agar kita terlindung dari kejahatan mereka.

Barangsiapa yang menjadikan syaithan menjadi pelindung selain Allah, maka


sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata” (Q.S. An-Nisaa [4] : 119)

Sungguh bodoh orang yang berlindung dan memohon pertolongan kepada jin-jin terkutuk
itu. Karena sesunguhnya jin itu tidak mau menolong manusia

Sesungguhnya setan itu tidak mau menolong manusia (Q.S. Al-Furqon [25] : 29)

Maka kalau pun setan itu menolong manusia pasti ada maunya dan akan meminta imbalan
kekafiran dan kezhaliman. Banyak sekali orang yang meminta kekayaan dan meminta kesaktian
kepada jin, harus melakukan syarat-syarat yang keji seperti memakan darah dan mayat,
membunuh orang, menyobek Al-Qur’an dll.

4
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Nyadran sejatinya reminisensi (kenangan) dari upacara hindu, Nyadran bukan semata
kegiatan senang-senang, bergembira ria, namun ada unsur ritual tertentu. Keberadaan ritual ini
tidak akan lepas dari keyakinan tertentu atau ideologi yang menjadi motivasi utama untuk
melakukannya. Nyadran bukan merupakan ajaran agama islam, Hanya saja, oleh sebagian orang
jawa diklaim sebagai bagian dari islam. Jika nyadran itu disertai dengan persembahan sesaji
(sesajen) kepada jin, nyai loro kidul (ratu jin pantai selatan) maka jelas hal ini adalah haram dan
merupakan bid’ah yang dlolalah (sesat). Demikian pula persembahan dan sesaji kepada arwah
leluhur adalah sesat

SARAN

Para kader Muhammadiyah diwajibkan untuk tidak mengikuti tradisi (Nyadran) yang
bukan merupakan ajaran agama islam. Karna itu termasuk dalam bid’ah yang sesat.

5
DAFTAR RUJUKAN

https://abangdani.wordpress.com/2013/06/24/tradisi-nyadran-dalam-pandangan-syariat/

Artikel jurnal online diakses pada 29/08/2018 pukul 08.40 Wib

https://seteteshidayah.wordpress.com/2013/07/16/tradisi-nyadran/

Artikel jurnal online diakses pada 29/08/2018 pukul 08.50 Wib

Anda mungkin juga menyukai