َ ا َّتقُوا هَّللا َ َح َّق ُت َقا ِت ِه َواَل َتمُو ُتنَّ إِاَّل َوأَ ْن ُت ْم مُسْ لِم
“islami” namun justru mendapatkan bencana alam: gempa
،ُون bumi, tsunami, banjir, dan lain sebagainya. Melihat fakta yang
terlihat ganjil ini, mungkin timbul pertanyaan, benarkah
.الزا ِد ال َّت ْق َوى
َّ َو َت َز َّو ُدوا َفإِنَّ َخي َْر bencana alam itu adalah sebuah teguran, atau benarkah
teguran hanya berupa bencana alam?
Hadirin Rahimakumullah,
َ َِين إِ َذا أ
َ صا َب ْت ُه ْم مُصِ ي َب ٌة َقالُوا إِ َّنا هَّلِل ِ َوإِ َّنا إِ َل ْي ِه َرا ِجع َ الَّذ
sebuah gejala natural biasa. Ia bisa ditelusuri sebab-sebabnya
secara konkret sehingga gempa bumi, tsunami, likuifaksi, atau ُون
lainnya terjadi. Namun, banyak pula ayat Al-Qur’an dan hadits
yang menggambarkan bahwa bancana menjadi salah satu Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
cara Allah memberikan teguran. Bagaimana kita seharusnya mereka mengucapkan: ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn’
bersikap? (sesungguhnya kita semua milik Allah dan kepada Allah pula
kita semua kembali).” (QS al-Baqarah:156)
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Memaknai bencana alam sebagai teguran hanya mungkin
Seyogiannya kita menempatkan diri secara proporsional. diperuntukkan kepada diri sendiri. Artinya, bencana alam
Mana sikap yang harus diperuntukkan kepada orang lain dan dapat menjadi wasilah untuk bermuhasabah (introspeksi)
mana yang harus diperuntukkan kepada diri sendiri. Kepada terhadap seluruh praktik penghambaan kita kepada Allah.
orang lain, tak ada wewenang kita untuk memvonis mereka Bencana mengandung penderitaan, dan dalam sebuah
yang menjadi korban bencana adalah orang-orang yang riwayat dinyatakan bahwa penderitaan adalah di antara cara
sedang kena azab dari Allah. Mengeluarkan vonis semacam Allah menghapus dosa dan kesalahan hamba-Nya. Jangan-
ini bisa jadi merupakan keangkuhan karena tidak ada bukti jangan bencana alam teguran bagi diri kita yang tengah diliputi
apa pun yang bisa menjelaskan bahwa bencana di lokasi kesombongan, hasud, tebar permusuhan, gemar menyakiti
tertentu pasti adalah azab Allah. orang lain, atau semacamnya?
Kita bisa mengetahui bencana yang menimpa kaum Nabi Luth Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
adalah sebuah azab hanya karena ada nash yang
menerangkan hal itu. Di zaman tak ada lagi rasul seperti Dengan membedakan mana sikap kepada orang lain dan
sekarang ini, informasi rahasia seperti sekarang tidak bisa kita mana sikap kepada diri sendiri ini kita akan menjadi lebih bijak
dapatkan. Bahkan dalam hadits ada pernyataan bahwa orang dalam merespons bencana alam. Kepada korban, kita lebih
yang meninggal karena tenggelam dan tertimpa reruntuhan sibuk untuk berempati, berdoa, dan menolong semampu kita.
sebagai mati syahid. Dengan demikian semakin tidak jelas Bukan mencaci-maki yang bisa menyinggung perasaan
apakah sebuah bencana benar-benar azab atau bukan. mereka yang kini sudah menderita. Kepada diri sendiri, kita
Jangan-jangan sejumlah korban meninggal dunia akibat bisa lebih banyak mencari kesalahan-kesalahan sendiri,
beristighfar, dan berbenah untuk menjadi pribadi yang lebih menganjurkan kita untuk mengoreksi diri sendiri. Kenikmatan,
baik sebagai hamba Allah sejati. keamanan, keselamatan, atau kesejahteraan belum tentu
sebuah anugerah. Bisa jadi itu adalah musibah (teguran).
Hadirin Rahimakumullah, Jangan-jangan zona nyaman yang kita rasakan adalah siksa
Allah kepada hamba-Nya agar tak dapat merasakan dengan
Yang penting dicatat pula adalah bahwa teguran tidak hanya baik kedurhakaan-kedurhakaan dirinya hingga kelak ia akan
berupa bencana. Orang sering salah persepsi bahwa teguran menerima azab yang lebih pedih. Nikmat duniawi disegerakan,
hanya berupa peristiwa yang membuat orang menderita. Inilah dan di saat bersamaan azab atas dosa-dosanya
salah satu pemicu kesombongan orang-orang yang sedang ditangguhkan. Azab yang ditangguhkan berpotensi lebih berat
bergelimang nikmat merasa baik-baik saja. Padahal yang lebih karena manusia bisa jadi terus-menerus menumpuk dosa
gawat dari teguran bencana itu adalah teguran nikmat. Dalam akibat terlena dengan gemerlap kelezatan duniawi yang ia
Islam, teguran yang kedua ini dikenal dengan istilah istidrâj, alami. Na’ûdzubillâhi min dzâlik.
yakni situasi yang dialami seseorang yang terlihat makin enak,
makin nyaman, atau makin sejahtera. Meski tampil sebagai Betapa banyak orang yang lulus dari ujian berupa bencana
kenikmatan namun sejatinya sederet kondisi ini sebenarnya karena insaf, tobat, dan berusaha memperbaiki diri. Tapi
adalah jebakan. Istidraâ’ adalah perangkap Allah untuk betapa banyak pula orang gagal menjadi hamba yang baik
hamba-Nya yang durhaka untuk kian terjerumus ke dalam karena mendapat ujian berupa nikmat: terbuai, sombong,
kegelapan. merasa tak punya kesalahan, menambah-nambah dosa tiap
hari, lalu kian terjerumus dalam kesesatan dan kedurhakaan.
Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam pernah Wallahu a’lam bish shawâb.
berkata:
Alih-alih mengajak kita untuk menilai orang lain saat diri kita Khutbah II
memperoleh rezeki atau nikmat, pengarang al-Hikam ini justru
هّٰلِل أَ ِبى َب ْك ٍر َو ُع َمر َوع ُْث َمان َو َعلِى َو َعنْ َب ِق َّي ِة الص ََّحا َب ِة
اَ ْل َحمْ ُد ِ َع َ
لى إِحْ َسا ِن ِه َوال ُّش ْك ُر َل ُه َع َ
لى َت ْو ِف ْي ِق ِه َو ِا ْم ِت َنا ِنهِ.
َن َهى َواعْ َلم ُْوا أَنَّ هّٰللا َ أَ َم َر ُك ْم ِبأَمْ ٍر َبدَأَ ِف ْي ِه ِب َن ْفسِ ِه َو َثـ َنى اخ ُذ ْل َمنْ َخ َذ َل ْالمُسْ لِ ِمي َْن َو
ص َر ال ِّدي َْن َو ْ
َوا ْنصُرْ َمنْ َن َ
هّٰللا ْن .اَل ٰلّهُـ َّم
صلُّ ْو َن
ِب َمآل ِئ َك ِت ِه ِبقُ ْدسِ ِه َو َقا َل َتعا َ َلى إِنَّ َ َو َمآل ِئ َك َت ُه ُي َ ك إِ َلى َي ْو َم ال ِّدي ِ َدمِّرْ أَعْ دَا َء ال ِّدي ِ
ْن َواعْ ِل َكلِ َما ِت َ
صلُّ ْوا َع َل ْي ِه َو َسلِّم ُْوا
لى ال َّن ِبى يآ اَ ُّي َها الَّ ِذي َْن آ َم ُن ْوا َ
َع َ الزالَ ِز َل َو ْالم َِح َن َوس ُْو َء ْال ِف ْت َن ِة
ْاد َفعْ َع َّنا ْال َبالَ َء َو ْا َلو َبا َء َو َّ