Anda di halaman 1dari 4

di Afrika.

Perang Etiopia-Eritrea adalah perang yang terjadi


pada Mei 1998 sampai Juni 2000, antara Etiopia dengan Eritrea sebagai
salah satu bagian dari konflik Tanduk Afrika.

Konflik antara dua negara ini dimulai selepas Perang Dunia kedua.
PBB mengeluarkan resolusi tahun 1950. Isinya, mengembalikan
kedaulatan dan menyatukan Eritrea sebagai wilayah Ethiopia. Yang
artinya memasukkan Eritrea ke dalam wilayah Ethiopia.
Di samping itu, Haile Selassie, Kaisar Ethiopia saat itu, punya
ambisi untuk menjadikan Ethiopia sebagai pemimpin di Afrika. Ia sangat
suka membuat kebijakan-kebijakan keras untuk memenuhi tujuannya.
Pada saat itu, dia membebaskan budak-budak di seluruh wilayah
Ethiopia. Kebijakan yang dibuatnya membuat rakyat bisa mengeluarkan
suara dan punya hak memilih.

Dikarenakan Eritrea “udah diatur” sama pemerintahan Ethiopia,


Selassie menerapkan kebijakan-kebijakan yang ketat. Tahun 1959,
pemerintah Eritrea berubah nama menjadi Admnistrasi Eritrea. Segala
hukum Ethiopia pun berlaku buat penduduk Eritrea. Partai politik Eritrea
tidak boleh didirikan, kebebasan pers dikekang, dan bahasa Eritrea tidak
boleh lagi diajarkan di sekolah.

Puncaknya, pada 14 November 1962, Selassie mengeluarkan Order


Nomor 27 yang mengatakan kalau periode federal Eritrea berakhir.
Ethiopia secara sepihak memasukkan Eritrea ke dalam provinsi ke-14-
nya.

Penduduk Eritrea pada gak terima. Mereka yang tidak suka dengan
sikap Selassie melakukan perlawanan dan meletuskan perang
kemerdekaan sejak September 1961 hingga Mei 1991. Pada waktu ini,
Eritrea didukung negara arab dan gerilyawan Palestina, sementara Uni
Soviet dan Kuba memberikan bantuan ekonomi dan alat militer kepada
Ethiopia.

Di masa ini Uni Soviet sedang berperang melawan Afghanistan


(yang mana negara arab). Setelah jatuhnya Uni Soviet, PBB melakukan
intervensi kepada dua negara ini. Hasilnya: 24 Mei 1993, Eritrea
berdaulat dan mendapat pengakuan penuh dengan Asmara sebagai
ibukota.

Walaupun dengan merdeka dan diakuinya Eritrea konflik ini belum


selesai. Konflik masih berlanjut, dikarenakan batas-batas wilayah antara
kedua negara ini tidak ditetapkan dengan jelas dan beberapa bagian
menjadi diperebutkan. Setelah kemerdekaan, kedua negara saling
bertengkar tentang masalah keuangan dan perdagangan, serta saling
mengklaim daerah perbatasan antara lain Badme, Tsorona-Zalambessa,
and Bure. Sejak tahun 1991 mereka sudah setuju untuk mendirikan
sebuah komisi khusus untuk membahas klaim masing-masing.

Pada tanggal 6 Mei 1998, konvoi komisi perbatasan Eritrea


memasuki daerah perbatasan Padang Badme, di bagian utara
provinsi Tigrai Ethiopia, disana konvoi Eritrea tersebut ditembaki dan
terbunuh oleh milisi Tigrai dan kepolisian setempat. Eritrea lalu
mengirim pasukan untuk membalas mereka-mereka yang menyerang
komisi perbatasan Eritrea. Pada tanggal 12 Mei 1998, Ethiopia mulai
memobilisasi angkatan bersenjata mereka untuk perang, dan pemerintah
Ethiopia memutus semua hubungan dengan Eritrea.

Setelah serangkaian insiden bersenjata yang mengakibatkan


beberapa pejabat Eritrea tewas di Badme, pada tanggal 6 Mei 1998,
kekuatan militer Eritrea yang besar mulai memasuki wilayah Badme
sepanjang perbatasan kedua negara di utara Trigay Region. Hal tersebut
menyebabkan baku tembak antara tentara Eritrea dengan polisi milisi di
Trigey dan pasukan keamanan yang mereka temui.

Pada 13 Mei 1998, sebagaimana gambaran radio Eritrea yang


menggambarkan perang total, Ethiopia memulai mobilisasi pasukannya
untuk melakukan serangan penuh terhadap Eritrea. Perang
memperebutkan perbatasan terjadi. Sejak 1998-2000, sekitar 70.000
orang tewas.

Sampai kemudian, tahun 2000, PBB mengeluarkan resolusi 1312


tahun 2000. Mereka membikin zona aman di Eritrea. Buat ngejaganya,
dibentuklah United Nations Mission in Ethiopia and Eritrea (UNMEE).
Pasukan yang terdiri dari berbagai negara. Pada 12 Desember 2000,
Ethiopia dan Eritrea ketemuan di Aljazair. Mereka membuat perjanjian
perdamaian yang bernama Algiers Agreement.

Berikut tujuan dari perjanjian perdamaian Algiers Agreement,


Lagi-lagi, perjanjian damai ini tidak membuat hubungan kedua
negara jadi akur. Konflik masih terjadi. Korban berjatuhan dan tawanan
perang masih banyak. Ethiopia tidak bisa terima dengan isi perjanjian
yang ada di sana, termasuk batas-batas wilayahnya.

Hingga delapan tahun kemudian, secara mengejutkan, Ethiopia


menyetujui perjanjian damai Algiers Agreement. Mereka membebaskan
tahanan, juga menyetujui pembagian wilayah kota Badme. Penerbangan
Ethiopia ke Eritrea pun dibuka kembali sebagai tanda mereka mulai
“akur”. Iya, peristiwa ini baru aja terjadi tahun 2018 yang lalu.

Ada pun orang di balik semua ini adalah Abiy Ahmed, Perdana
Menteri Ethiopia yang baru dilantik pada April 2018. Bagi Abiy Ahmed
dan Ethiopia, keputusan itu tentu bukan sesuatu yang mudah dilakukan.
Butuh keberanian untuk “melepas ego”. Kebijakan yang diambil pasti
mendapat banyak perspektif. Ada yagn setuju dan ada juga yang kontra.

Tapi, biar bagaimana pun juga, kebijakan yang diambil Abiy


membuat dua negara ini akhirnya menyelesaikan konflik panjang yang
selama ini terjadi. Pada tahun 2019 lalu, Abiy pun diberi nobel
perdamaian.

Anda mungkin juga menyukai