Anda di halaman 1dari 8

KETUBAN PECAH DINI PADA

KEHAMILAN PREMATUR
(ICD 10 – O42)
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/10

Tanggal terbit:
Panduan
Praktis
Klinis

1. Wewanti  PPK ini dikembangkan untuk memberikan panduan mengenai


tatalaksana ketuban pecah dini pada kehamilan prematur.
 PPK ini memberikan rekomendasi serta dasar informasi
mengenai penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan
prematur.
 PPK ini berlaku sejak tanggal diterbitkan hingga revisi
berikutnya.
 PPK ini berisi panduan praktis, tidak berisi uraian lengkap
tentang penyakit.

2. Pengertian Ketuban pecah dini (KPD) prematur adalah pecahnya selaput ketuban
sebelum terjadinya persalinan dan sebelum usia kehamilan mencapai
37 minggu.1,2,3 KPD memanjang adalah ketuban pecah yang sudah
terjadi ≥24 jam dan sebelum onset persalinan.1,4 Istilah ‘latensi’
merujuk pada waktu antara ketuban pecah hingga persalinan.3
Faktor risiko KPD adalah:1,2,3
 Riwayat KPD/KPD prematur pada kehamilan sebelumnya
 Riwayat persalinan prematur
 Infeksi intraamnion
 Infeksi genital/infeksi menular seksual
 Infeksi saluran kemih berulang
 Insufisiensi serviks
 Perdarahan vaginal pada trimester dua dan tiga
 Status sosialekonomi rendah
 Indeks massa tubuh (IMT) rendah (<19,8)
 Merokok
 Distensi uterus (kehamilan multipel, polihidramnion)
 Serklase
 Amniosentesis
3. Anamnesis Penilaian awal ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD prematur
harus meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia
kehamilan dan presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan maternal
dan fetal.1,2 Pada anamnesis wajib ditanyakan:
 Hari pertama menstruasi terakhir, hari perkiraan lahir, usia
kehamilan.
 Adanya keluhan keluarnya cairan dari jalan lahir, waktu dan
kuantitas cairan yang keluar, sedikit atau banyak, berbau
atau tidak.
 Evaluasi gerakan janin.
 Ada demam atau tidak.
 Kontraksi/his sudah muncul atau belum.
 Apakah ada perdarahan vaginal sebelumnya?
 Apakah ada riwayat trauma, kontak seksual sebelumnya?
 Riwayat pemeriksaan antenatal.
 Riwayat kesehatan selama hamil.
 Anamnesis faktor risiko.

4. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan umum:


 Keadaan umum
 Tanda-tanda vital
 Berat badan, kenaikan berat badan, tinggi badan, indeks
massa tubuh

Pemeriksaan rutin:
 Palpasi abdomen dengan manuver Leopold I-IV
 Mengukur tinggi fundus uteri (TFU)
 Pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ)
 Menilai adanya his

Pemeriksaan spesifik:1,2,3,5
 Inspeksi langsung pada vulva untuk menilai adanya aliran
cairan ketuban yang mengalir keluar.
 Bila tidak tampak cairan keluar dari serviks pasien bisa
diminta untuk batuk atau ditekan ringan di fundus. Jika
tampak cairan mengalir dari kanalis servikalis akan
membantu penegakan diagnosis KPD.

 Pemeriksaan spekulum juga digunakan untuk menilai


adanya servisitis, prolaps tali pusat atau prolaps bagian
terbawah janin (pada presentasi bukan kepala), menilai
dilatasi dan pendataran serviks, mendapatkan sampel dan
mendiagnosis KPD secara visual.
 Pada pemeriksaan spekulum dilihat adanya cairan ketuban
yang mengalir keluar dari kanalis servikalis dan ‘pooling’
pada forniks posterior. Jika jelas terlihat cairan amnion
mengalir dari serviks, tidak diperlukan lagi pemeriksaan
lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis.
 Pada ibu hamil yang tidak yakin dengan pecahnya selaput
ketuban dapat ditawarkan pemeriksaan dengan spekulum
untuk mengetahui adanya cairan ketuban yang mengalir.
 Pemeriksaan digital vaginal sebaiknya dihindari kecuali
akan segera dilakukan induksi persalinan atau terdapat his
yang adekuat karena akan meningkatkan risiko infeksi
maternal dan neonatus.

5. Pemeriksaan 1. Uji nitrazin dari cairan di forniks posterior dapat dilakukan untuk
penunjang membantu menegakkan diagnosis berdasarkan pH cairan amnion
(pH cairan amnion biasanya ~ 7,1-7,3 sedangkan sekret vagina ~
4,5-6).1,2,3,4,5 Hasil positif palsu dapat terjadi akibat kontaminasi
dengan darah, semen, antiseptik alkaline, infeksi bakteri.3
2. Uji ferning dilakukan sebaiknya dilakukan pada cairan di forniks
posterior.1,2,3,4 Kontaminasi dengan darah dan serviks mukus
dapat memberikan hasil positif palsu.2,3 Adanya gambaran
ferning (arborasi) dari carian di forniks posterior yang
mengering mengindikasikan KPD.1,2,3,5
3. Pemeriksaan ultrasonografi dapat berguna untuk melengkapi
diagnosis dan menilai indeks cairan amnion.1,2,3,4 Jika didapatkan
volume cairan amnion atau indeks cairan amnion berkurang
maka kecurigaan ketuban pecah sangat besar, meskipun volume
cairan ketuban normal tidak menyingkirkan diagnosis.1,2
Oligohidramnion ditegakkan jika dijumpai single deepest pocket
(SDP) <2 cm.4 Selain itu USG dapat digunakan untuk menilai
taksiran berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan
kelainan kongenital janin.1,2
4. Kardiotokografi dilakukan dan didokumentasikan untuk menilai
kesejahteraan janin dan aktivitas uterus.4

5. Pemeriksaan darah rutin dan urin rutin.


6. Pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan jika tetap belum
bisa menegakkan diagnosis KPD adalah insulin-like growth
factor binding protein (IGFBP-1), C-reactive protein (CRP).1
7. Fetal fibronectin pada skrining servikovaginal juga dapat
disarankan jika pemeriksaan lain belum mendukung diagnosis
KPD preterm, tetapi tidak disarankan sebagai pemeriksaan
rutin.3

6. Kriteria diagnosis 1. Riwayat pecahnya selaput ketuban atau keluarnya air ketuban ≤1
jam sebelum masuk fase persalinan pada usia kehamilan <37
minggu.
2. Pada pemeriksaan inspekulo didapatkan adanya cairan ketuban
mengalir dari kanalis servikalis atau adanya ‘pooling’ air
ketuban di forniks posterior.
3. Pemeriksaan penunjang lain mendukung diagnosis KPD
prematur.
7. Diagnosis Ketuban Pecah Dini (KPD) pada kehamilan prematur (ICD 10 – 0.42)

8. Diagnosis banding 1. Leukorea pada kehamilan


2. Inkontinensia urin

9. Tatalaksana Prinsip utama penatalaksanaan KPD prematur adalah untuk


mencegah mortalitas dan morbiditas perinatal yang dapat meningkat
karena infeksi atau akibat kelahiran prematur.1 Pendekatan
berdasarkan usia kehamilan akan lebih sesuai pada kasus KPD
prematur.

Manajemen ekspektatif
 Usia kehamilan <24 minggu
Pada usia kehamilan <24 minggu dengan KPD prematur,
morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia dan
takipnea transien lebih besar apabila bayi dilahirkan. Morbiditas
mayor seperti sindroma distress pernapasan dan perdarahan
intraventrikuler tidak berbeda secara signifikan.1
Mempertahankan kehamilan adalah pilihan yang lebih baik.1,3

Namun perlu konseling dan informed choice kepada pasien dan


keluarga untuk evaluasi kemungkinan pilihan terminasi.1,6
Sebagian pasien dengan KPD prematur <24 minggu akan
melahirkan dalam waktu 1 minggu dengan lama periode laten
rata-rata 6 hari. Banyak bayi yang dilahirkan pasca previable
KPD akan mengalami permasalahan jangka panjang, temasuk
penyakit paru kronis, gangguan tumbuh kembang, hidrosefalus
dan cerebral palsy. Previable KPD juga dapat menyebabkan
Potter’s syndrome, yang insidensinya berhubungan dengan usia
kehamilan dan derajat oligohidramnion. Oleh sebab itu pasien
perlu diberikan konseling mengenai luaran dan keuntungan serta
kerugian manajemen ekspektatif, yang mungkin tidak bisa
bertahan lama untuk bisa melahirkan bayi yang sehat.2

 Usia kehamilan 24-32 minggu


Persalinan sebelum usia 32 minggu berhubungan dengan risiko
morbiditas berat dan kematian neonatus.2,3 Jika tidak dijumpai
infeksi intraamnion, manajemen konservatif lebih dipilih untuk
memperlama kehamilan hingga 34 minggu sehingga mengurangi
risiko morbiditas terkait prematuritas pada bayi baru lahir.2,3,6
Edukasi harus diberikan kepada pasien dan keluarga bahwa
bahkan dengan semua usaha mempertahankan kehamilan,
banyak pasien dengan KPD prematur akan melahirkan dalam
waktu 1 minggu. Risiko kompresi tali pusat cukup sering (32-
76%) sehingga diperlukan monitor keadaan janin setiap hari.2,6

 Usia kehamilan 32-33 minggu


Pada pasien dengan KPD 32-33 minggu jika diketahui paru
sudah matang, dapat dipertimbangkan untuk terminasi, dengan
persiapan perawatan neonatus prematur.2 Jika tidak diketahui
pematangan paru janin, maka diberikan kortikosteroid untuk
pematangan paru, dan dipertimbangkan untuk persalinan 48 jam
kemudian atau menunggu hingga 34 minggu dengan pengawasan
ketat. Memperlama kehamilan setelah maturitas paru tercapai
akan meningkatkan risiko kompresi tali pusat, amnionitis, lama
rawat inap di rumah sakit, dan infeksi neonatal.2
Persalinan diketahui lebih baik daripada mempertahankan
kehamilan dalam menurunkan insidensi korioamnionitis secara
signifikan.1,3

Selama manajemen konservatif harus dilakukan:2


 Pemberian kortikosteriod 1 seri
 Pemberian antibiotik
 Pemberian tokolitik jangka pendek jika diperlukan
 USG
 Monitor kesejahteraan janin harian atau kontinyu jika
diperlukan (KTG, profil biofisik)
 Monitor kontraksi uterus
 Monitor keadaan ibu, observasi ketat tanda infeksi:
 Takikardia ibu atau janin
 Suhu oral >38 ºC
 Kontraksi reguler
 Nyeri fundus uteri
 Lekositosis

Kontraindikasi manajemen konservatif adalah:2,3


 Korioamnionitis
 Solusio plasenta
 Nonreassuring fetal testing
 Sudah dalam fase aktif persalinan

Manajemen aktif
Pada usia kehamilan ≥34 minggu, mempertahankan kehamilan akan
meningkatkan risiko korioamnionitis dan sepsis. Tidak ada perbedaan
signifikan terhadap kejadian sindrom distres pernapasan.1 Pada usia
ini maka KPD sebaiknya diterapi dengan terminasi kehamilan. 1,3,6
Penundaan terminasi hingga kehamilan aterm (manajemen
ekspektatif) meningkatkan risiko korioamnionitis, namun
menurunkan risiko distres pernapasan pada neonatus. Pasien harus
memberikan persetujuan untuk dilakukan terminasi, setelah paham
mengenai keuntungan dan risiko dilakukannya terminasi kehamilan
saat usia kehamilan 34 minggu.1,6

Pemberian antibiotik
Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD prematur untuk
mengurangi morbiditas maternal dan neonatal, serta untuk
memperlama fase laten.1,3,5 Eritromisin dan penisilin adalah antibiotic
of choice. Regimen yang dapat diberikan (sesuai ketersediaan obat di
Indonesia):

1. Ampisilin 2 g/6 jam/IV + eritromisin 250 mg/6 jam/oral


selama 48 jam, dilanjutkan amoksisilin 250 mg/8 jam/oral +
eritromisin 250 mg/6 jam/oral selama 5 hari.1,2,3,4,5,6,7
2. Eritromisin 250 mg/6 jam/oral selama 10 hari.5,7
3. Cefazolin 1 g/8 jam/IV + eritromisin 250 mg/6 jam/oral
selama 48 jam dilanjutkan cefaleksin 500 mg/6 jam/oral +
eritromisin 250 mg/6 jam/oral selama 5 hari.1
4. Vancomycin 1 g/12 jam/IV + eritromisin 250 mg/6 jam/oral
selama 48 jam dilanjutkan klindamisin 300 mg/8 jam/oral
selama 5 hari.1
Pasien dengan KPD prematur sebaiknya dilakukan skrining untuk
ISK, IMS dan GBS, dan antibiotika lain dapat diberikan sesuai hasil
pemeriksaan.2,3,7

Pemberian kortikosteroid
Kortikosteriod antenatal harus diberikan pada semua pasien dengan
KPD prematur (24-34 minggu).1,4,5,7 Kortikosteroid antenatal akan
menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal, termasuk sindrom
distres pernapasan, perdarahan intraventrikuler dan enterokolitis
nekrotikans, tanpa meningkatkan risiko infeksi maternal atau
neonatal.2,3,4 Regimen yang dapat diberikan adalah Deksametason 6
mg/12 jam/IM diberikan sebanyak 4 kali (sesuai ketersediaan obat di
Indonesia).:1,2,3,4
Pemberian kortikosteroid setelah usia kehamilan setelah 34 minggu
tidak direkomendasikan kecuali ada bukti ketidakmatangan paru janin
dari amniosentesis.2,3 Satu tahap kortikosteroid ekstra sebaiknya
dipertimbangkan jika beberapa minggu telah berlalu sejak pemberian
awal dan adanya episode baru dari KPD prematur pada usia gestasi
awal. Satu tahapan tambahan diterima pada usia gestasi <33 minggu,
minimal 14 hari setelah terapi pertama, yaitu saat usia gestasi <30
minggu, berhubungan dengan penurunan sindrom distres pernapasan,
bantuan ventilasi, penggunaan surfaktan dan morbiditas neonatal.
Akan tetapi pemberian kortikosteroid lebih dari 2 tahap harus
dihindari.1

Pemberian tokolitik
Pemberian tokolitik jangka pendek dapat memperpanjang fase laten,
namun pemberian jangka panjang tidak dianjurkan karena tidak
berhubungan dengan perbaikan morbiditas maternal maupun
neonatal. Pemberian tokolitik jangka pendek dimaksudkan untuk
memberi waktu bagi pemberian antibiotik dan kortikosteroid.2

Nifedipin 20 mg dosis awal dilanjutkan 10-20 mg 3-4 kali sehari


dapat, disesuaikan dengan aktivitas uterus, selama 48 jam. Dosis total
diatas 60 mg berhubungan dengan peningkatan efek samping sebesar
3-4 kali lipat, misalnya nyeri kepala dan hipotensi.8

Pemberian neuroprotektan
Pemberian magnesium sulfat dapat dipertimbangkan untuk efek
neuroproteksi pada KPD prematur <31 minggu bila persalinan
diperkirakan akan terjadi dalam waktu 24 jam, untuk menurunkan
risiko cerebral palsy. Dosis MgSO4 yang dapat diberikan adalah
larutan 20% intravena 4-6 g bolus selama 20-30 menit dilanjutkan 1-
2 g/jam untuk dosis pemeliharaan sampai persalinan atau sampai 12
jam terapi.1,4

Metode persalinan
Tanpa adanya kontraindikasi persalinan vaginal maka induksi dapat
dilakukan pada pasien dengan KPD prematur. Induksi persalinan
dengan prostaglandin vaginal maupun mekanis dengan balon kateter
tidak disarankan karena dapat meningkatkan risiko infeksi intrauterin.
Penggunaan oksitosin untuk induksi lebih dipilih dibandingkan
prostaglandin vaginal pada pasien dengan ketuban yang sudah pecah.1
Seksio sesarea dilakukan atas indikasi standar.

Perawatan KPD prematur di rawat jalan


Tidak ada perbedaan bermakna mengenai frekuensi korioamnionitis,
sindrom distres respirasi maupun sepsis neonatal pada pasien KPD
prematur yang dirawat di rumah sakit atau dirawat di rumah. Pasien
KPD prematur sebaiknya dirawat di rumah sakit hingga setidaknya
48 jam sebelum diputuskan untuk dipulangkan. Keputusan untuk
memulangkan pasien dengan KPD prematur dan dilanjutkan dengan
perawatan di rumah/poliklinik bersifat individual, tidak didapatkan
tanda-tanda infeksi intrauterin dan terbatas pada pasien tertentu.
Pasien harus dapat memonitor dan mencatat suhu tubuh setiap 4-8
jam.5

10. Edukasi  Pasien diberikan edukasi tentang mekanisme terjadinya ketuban


pecah dini saat kehamilan preterm, komplikasi dan rencana
penatalaksanaan serta informed choice tentang tata laksana
tersebut.

 Pasien dengan KPD preterm harus dijelaskan kemungkinan


terjadinya persalinan prematur, serta risiko yang mungkin terjadi
pada bayi yang lahir prematur.
 Pasien dengan usia kehamilan ≥34 minggu harus diberikan
informed choice sebelum dilakukan terminasi kehamilan
mengenai keuntungan dan risiko dilakukannya terminasi
kehamilan.
 Pasien dengan usia kehamilan <24 minggu harus dijelaskan
mengenai viabilitas yang sangat rendah jika bayi dilahirkan
dalam usia <24 minggu dan kemungkinan bayi tetap tidak
dilahirkan secara sehat jika dipertahankan sampai menjelang
cukup bulan.
11. Prognosis Ad vitam: dubia
Ad functionam: dubia
Ad sanationam: dubia

12. Indikator medis Lama rawat inap tergantung dari onset pecahnya ketuban hingga
terminasi kehamilan, yaitu:
 2 hari pasca SC
 24 jam pasca persalinan vaginal

13. Syarat pulang pasien  Kondisi umum baik


rawat inap  Mobilisasi baik
 BAB dan BAK normal
 Tidak ada tanda-tanda infeksi

14. Penelaah kritis SMF Obsteri dan Ginekologi

15. Kepustakaan 1. Perkumpulan Obsteri dan Ginekologi Indonesia, Himpunan


Kedokteran Fetomaternal, 2016. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran: Ketuban pecah dini.

2. Medina TM, Hill DA. Preterm premature rupture of membranes:


Diagnosis and management. Am Fam Physician 2006;73:659-64,
665-6.
3. Mercer BM. Preterm premature rupture of the membranes.
Obstet Gynecol 2003;101:178-93
4. Jazayeri A, Smith CV (ed). Premature rupture of membranes.
Taken from: https://emedicine.medscape.com/article/261137-
overview on May 29th 2018
5. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 2010.
Green-top Guideline No. 44: Preterm Premature Rupture of
Membranes.
6. Alabama Perinatal Excellence Collaborative, 2016. APEC
Guideline: Premature rupture of membranes.
7. Yudin MH, van Schalkwyk J, Van Eyk N. Antibiotic therapy in
preterm premature rupture of the membrane. SOGC Clinical
Practice Guideline. JOGC 2009;23:863-867
8. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 2011.
Green-top Guideline No. 1b: Tocolysis for Women in Preterm
Labour.

Anda mungkin juga menyukai