Anda di halaman 1dari 22

Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 71

BAB 4 CUSTOMER VALUE MINDSET


 
PENDAHULUAN
Empat penyebab yang mengubah secara radikal lingkungan bisnis sekarang adalah: (1)
proses globalisasi, (2) pemanfaatan smart technology di hampir semua arena kehidupan
masyarakat, (3) pengadopsian strategic quality management, (4) Revolusi Manajemen.
Proses globalisasi yang semakin meningkat menjadikan customer menempati posisi
mengendalikan bisnis. Smart technology, yang menjadikan komputer sebagai teknologi
intinya, telah menyebabkan perubahan radikal di dalam tempat kerja. Smart technology
memerlukan knowledge workers untuk menjadikan teknologi tersebut produktif. Di lain
pihak, smart technology menjadikan knowledge workers kreatif di dalam menghasilkan
produk dan jasa. Dengan kreativitas ini, customer sangat dimanjakan oleh produser di
dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan mereka. Smart technology
menjadikan customer memegang kendali bisnis, melalui kebutuhan, keinginan, dan
harapan mereka. Pengadopsian strategic quality management memasukkan customer ke
dalam model pengelolaan kualitas (lihat kembali ke Bab 2 pada Gambar 2.5 Titik Berat
Pengelolaan Kualitas di Jaman Strategic Quality Management). Dalam strategic quality
management, kualitas produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan ditentukan oleh
seberapa tinggi value yang dinikmati oleh customer dari pemanfaatan produk dan jasa
tersebut.
Perubahan pasar—dari pasar massa (mass market) ke pasar segmentasian (segmented
market)—menyebabkan produser mengubah pendekatan yang digunakan untuk
memproduksi produk dari mass production ke mass customization atau ke customized
production. Perubahan teknologi ke smart technology menyebabkan produser
menyediakan produk dengan menempuh mass customization atau customized production
tanpa terkena penalti biaya, sehingga produser mampu menghasilkan produk dan jasa
sesuai kebutuhan segmen pasar tertentu pada harga yang terjangkau oleh customer.
Revolusi Manajemen mengubah secara radikal prinsip-prinsip manajemen yang
digunakan untuk mengelola perusahaan. Dalam prinsip-prinsip manajemen baru ini,
pengetahuan diterapkan dalam pengelolaan untuk memuasi kebutuhan customer.
Customer yang memegang kendali bisnis ini memerlukan reorientasi produser di
dalam mengelola kegiatannya. Diperlukan pergeseran mindset produser ke customer
value mindset di dalam mengelola perusahaannya untuk memasuki lingkungan yang telah
dan sedang mengalami perubahan radikal tersebut.
Bab ini menguraikan pergeseran mindset ke customer value mindset yang diperlukan
oleh personel di dalam menjalankan bisnis perusahaannya agar pas dengan tuntutan
lingkungan bisnis baru. Uraian dimulai dari penjelasan konsep customer value. Uraian
rinci mengenai customer value mindset disajikan untuk menjelaskan komponen yang
membentuk customer value sehingga dapat diketahui bagaimana membangunnya. Bab ini
diakhiri dengan uraian perwujudan customer value mindset dalam SPPM.
Tujuan penulisan bab ini adalah: (1) mengungkapkan komponen customer value
mindset untuk menunjukkan adanya kesempatan yang terbuka bagi manajemen dalam
membangun mindset baru yang pas dengan tuntutan lingkungan bisnis, (2) menunjukkan
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 72

pentingnya pembangunan customer value mindset di dalam lingkungan bisnis global


sekarang ini.
 
SIAPA CUSTOMER ITU?
Sebelum diuraikan customer value mindset, perlu diketahui siapa customer itu dan
pandangan perusahaan terhadap customer dan berbagai upaya untuk meningkatkan
kedekatan perusahaan dengan customer-nya, serta penempatan customer pada peringkat
pertama di antara berbagai pemangku kepentingan organisasi.
 
Konsep Customer
Dalam bahasa Jepang, customer disebut dengan kata okyakusama yang artinya sama
maknanya dengan customer itu sendiri dan tamu terhormat. Bagi personel Disney World,
customer selalu dipandang sebagai “tamu”, dan di banyak perusahaan customer
dipandang sebagai bagian dari “keluarga” mereka. Dalam lingkungan bisnis sekarang,
customer mendambakan perlakuan istimewa sebagai layaknya seorang tamu— dan
mereka sekarang mendapatkannya dengan mudah.
Customer adalah siapa saja yang menggunakan keluaran pekerjaan seseorang atau
suatu tim. Definisi ini mengandung arti bahwa customer dapat bersifat intern maupun
ekstern dipandang dari sudut organisasi. Definisi ini mencakup pula pemasok dalam
rantai customer. Banyak perusahaan yang mulai menjalin hubungan kemitraan dengan
para pemasoknya melalui pengembangan proses sertifikasi pemasok (vendor
certification) untuk mendapatkan pemasok yang andal dalam penyediaan produk dan jasa
bagi customer akhir.
Dari definisi tersebut di atas, customer tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan kata pelanggan, karena pelanggan dalam bahasa Indonesia mempunyai
pengertian sebagai pembeli berulang kali (repeat buyer). Customer dapat mencakup
repeat buyer maupun one-time buyer. Customer juga tidak sama dengan consumer,
karena consumer (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi konsumen) adalah
orang yang memanfaatkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh seseorang atau suatu
tim. Konsumen susu bayi adalah bayi, sedangkan pelanggan produk tersebut adalah ibu
bayi. Customer mencakup pengertian pelanggan (repeat buyer), pembeli sekali (one-time
buyer), maupun konsumen (consumer). Dengan demikian, jika kita ingin
mengindonesiakan kata customer, sebaiknya diserap saja kata tersebut menjadi
“kastamer.” Dalam buku ini istilah customer tetap tidak diterjemahkan dan dicetak
dengan huruf miring.
Tujuan bisnis adalah menciptakan customer. Itu lah sebabnya bahwa satu-satunya
alasan keberadaan bisnis adalah customer. Pasar tidak diciptakan oleh Tuhan, alam, atau
kekuatan ekonomi, namun oleh para pebisnis.i Di dalam diri customer terdapat berjuta
kebutuhan yang masih bersifat potensial, dan baru menjadi permintaan yang efektif
setelah pebisnis mengubahnya melalui pemasaran dan inovasi. Melalui kegiatan
pemasaran, pebisnis mengidentifikasi, mengetahui, dan memahami dengan baik berbagai
kebutuhan potensial customer. Melalui inovasi, pebisnis mengubah kebutuhan potensial
customer tersebut menjadi permintaan efektif dengan penyediaan produk dan jasa yang
pas dengan kebutuhan potensial customer tersebut. Sebelum Xerox menciptakan mesin
photocopy dan sebelum Apple Computer menciptakan personal computer (PC), tidak
ada pasar produk mesin photocopy dan PC. Melalui inovasi dan pemasaran (kredit, iklan,
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 73

keterampilan menjual) kebutuhan potensial customer diubah oleh pebisnis menjadi


permintaan efektif atas produk dan jasa.
 
Customer intern. Konsep customer intern diperkenalkan dalam perusahaan yang
manajemennya memandang bahwa proses pembuatan produk dan penyediaan jasa
merupakan suatu rangkaian rantai customer (customer chain). Suatu tahap proses
menghasilkan keluaran yang akan ditransfer ke proses berikutnya. Proses berikutnya ini
bertindak sebagai customer, sedangkan proses sebelumnya bertindak sebagai pemasok.
Proses berikutnya ini kemudian akan menjadi pemasok bagi proses selanjutnya. Dengan
demikian proses pembuatan produk dan penyerahan jasa merupakan suatu rantai
customer.
 
Customer ekstern. Customer ekstern disebut pula dengan customer akhir. Kedekatan
perusahaan dengan customer luar merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
perusahaan yang menggunakan total quality management. Untuk mendekatkan
perusahaan dengan customer luar, banyak perusahaan yang melakukan segmentasi
customer, sehingga produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan sesuai dengan
kebutuhan segmen pasar tertentu. Kedekatan perusahaan dengan customer luar juga
mengakibatkan perusahaan senantiasa melakukan improvement berkelanjutan terhadap
proses yang digunakan untuk menghasilkan produk dan jasanya.
 
Pemasok sebagai mitra bisnis. Konsep customer mencakup pemasok masukan yang
diolah menjadi keluaran. Sekarang disadari oleh manajemen perusahaan, bahwa kualitas
hubungan antara perusahaan dengan pemasok sangat menentukan kualitas produk dan
jasa yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan customer akhir. Untuk menghasilkan
produk dan jasa berkualitas bagi customer akhir, perusahaan membutuhkan pemasok
yang menerapkan manajemen kualitas terhadap produknya. Oleh karena itu, perusahaan
menempuh proses sertifikasi pemasok untuk mendapatkan pemasok yang dapat
diandalkan sebagai mitra bisnis dalam rangka melayani kebutuhan customer akhir.
 
Pandangan Perusahaan terhadap Customer
Berikut ini disajikan berbagai pernyataan yang mengungkapkan berbagai pandangan
perusahaan terhadap customer mereka.ii
1. Customer adalah orang yang paling penting dalam kantor kami, baik dalam hal ia
datang sendiri maupun melalui surat.
2. Customer tidak tergantung kepada kita..... kita tergantung kepadanya.
3. Customer bukan merupakan gangguan bagi pekerjaan kita.... ia adalah tujuan
pekerjaan kita. Kita tidak berbuat baik dalam melayaninya......ia berbuat baik kepada
kita dengan memberi kesempatan kepada kita untuk melayaninya.
4. Customer bukan orang yang menjadi tumpahan bantahan kita. Tidak ada orang yang
dapat memenangkan perbantahan dengan customer.
5. Customer adalah orang yang membawa keinginannya kepada kita. Tugas kita adalah
menangani keinginannya secara menguntungkan, baik untuknya maupun untuk kita.
 
 
 
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 74

Peningkatan Kedekatan dengan Customer


Ian D. Littman memberikan nasihat demikian: “The best way to understand your
customer is to become your customer and walk a mile in his shoes.”iii Banyak perusahaan
menempuh berbagai cara berikut ini untuk meningkatkan kedekatan hubungannya dengan
customer.
1. Pembentukan organisasi para pemakai produk.
2. Tim desain produk yang melibatkan customer.
3. Kelompok customer untuk pemecahan masalah.
4. Survai kepuasan customer.
5. Program percontohan (pilot program) untuk pengujian pasar produk baru.
 
Customer Ditempatkan pada Peringkat Pertama Di Antara Berbagai
Pemangku Kepentingan Organisasi
Meskipun di masa lalu sudah sering terdengar ungkapan “customer adalah raja,” namun
dalam manajemen tradisional, customer tidak ditempatkan pada peringkat pertama di
antara berbagai pemangku kepentingan organisasi—pihak-pihak yang menaruh
kepentingan dalam organisasi, seperti pemilik atau pemegang saham, personel, customer,
pemasok, mitra bisnis, instansi pajak, dan badan pengatur. Hal ini tercermin dari struktur
organisasi dan proses bisnis yang tidak didesain dengan customer sebagai fokusnya.
Gambar 4.1 melukiskan peran setiap pemangku kepentingan utama organisasi
perusahaan: pemegang saham atau pemilik perusahaan, personel (manajemen dan
karyawan), dan customer. Pemegang saham adalah pemangku kepentingan yang
menyebabkan perusahaan ada, melalui investasi yang mereka lakukan pada saat
perusahaan pertama kali didirikan atau pada saat perusahaan melakukan ekspansi bisnis
(1) Personel perusahaan, yang terdiri dari manajemen dan karyawan, merupakan
pemangku kepentingan (stakeholder) yang berperan untuk menjadikan organisasi sebagai
institusi pencipta kekayaan. Investasi yang dilakukan oleh pemegang saham digunakan
oleh personel perusahaan untuk mendapatkan berbagai sumber daya yang diperlukan
untuk menghasilkan produk dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan customer (2) Oleh
personel perusahaan, sumber daya dikorbankan dalam bentuk biaya untuk memperoleh
pendapatan dari customer. Customer merupakan pemangku kepentingan yang berperan
sebagai pemacu bisnis perusahaan agar berjalan secara berkelanjutan (self propelling).
Customer adalah pembeli produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan sehingga
mendatangkan pendapatan bagi perusahaan (3) Pendapatan yang menghasilkan laba
memadai yang diperoleh perusahaan dari customer inilah yang menjanjikan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan. Pendapatan yang diperoleh dari
customer ini digunakan untuk menutup biaya, termasuk biaya personel, yang bagi
personel merupakan kompensasi yang diperoleh dari perusahaan atas peran mereka dalam
mengelola perusahaan sebagai institusi pencipta kekayaan. Pendapatan dari customer ini
juga digunakan untuk membayar dividen kepada pemegang saham (4) sebagai
kompensasi atas peran pemegang saham sebagai penyedia dana bagi keberadaan
perusahaan.
 
 
 
 
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 75

Pemangku kepentingan yang Pemangku kepentingan


menyebabkan perusahaan ada yang memacu bisnis
dan memampukan perusahaan perusahaan self
melakukan ekspansi propelling

PEMEGANG SAHAM
(SHAREHOLDERS) CUSTOMER

Cost of Capital
Pendapatan
(Dividen)
(4) (3) Produk dan
Investasi
Jasa
(1) (2)

PERSONEL
PERUSAHAAN Biaya

Investasi hanya
dilakukan oleh
pemegang saham jika
bisnis perusahaan Pemangku kepentingan
menjanjikan profitable yang menjadikan
customers perusahaan sebagai
wealth-creating institution

 
Gambar 4.1 Peran Pemangku Kepentingan Utama Perusahaan
 
Pemegang saham hanya akan bersedia untuk menginvestasikan dana mereka ke suatu
perusahaan jika personel perusahaan menjanjikan adanya profitable customer. Dua
pemangku kepentingan lain—pemegang saham dan personel perusahaan—hanya akan
berada dalam suatu perusahaan karena adanya customer yang mengonsumsi produk dan
jasa yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Tanpa customer, suatu
perusahaan tidak akan layak secara ekonomis untuk menerima investasi dari pemegang
saham, dan tanpa investasi yang dilakukan oleh pemegang saham, tidak akan ada
perusahaan sebagai entitas bisnis, dan pada gilirannya tidak ada alasan bagi personel
untuk bekerja di situ. Oleh karena di antara pemangku kepentingan utama perusahaan
tersebut, customer merupakan pemangku kepentingan yang menjadi penyebab
kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan, manajemen kontemporer
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 76

menempatkan customer pada peringkat pertama di antara keseluruhan pemangku


kepentingan perusahaan. Penempatan customer pada peringkat pertama dalam
keseluruhan pemangku kepentingan perusahaan mengubah secara radikal desain struktur
dan proses SPPM yang digunakan oleh manajemen dalam menjalankan bisnis
perusahaan. Semua komponen struktur SPPM (struktur organisasi, jejaring informasi, dan
sistem penghargaan personel) didesain untuk memenuhi kebutuhan customer. Begitu
juga, semua tahap proses SPPM (perumusan strategi, perencanaan strategik, penyusunan
program, penyusunan anggaran, pengimplementasian, dan pemantauan) didesain untuk
menghasilkan value terbaik bagi customer. Bab 10 sampai dengan Bab 18 buku ini
menguraikan secara mendalam desain struktur SPPM yang berfokus kepada customer.
Bab 20 sampai dengan Bab 29 buku ini membahas secara mendalam desain setiap tahap
proses SPPM yang ditujukan untuk memuasi kebutuhan customer.
 
KONSEP CUSTOMER VALUE
Customer value adalah selisih antara manfaat yang diperoleh customer dari produk dan
jasa yang dikonsumsinya dengan pengorbanan yang dilakukan oleh customer untuk
memperoleh manfaat tersebut. Manfaat yang diperoleh dan pengorbanan yang dilakukan
oleh customer ditentukan oleh kualitas hubungan yang dibangun antara produser dengan
para pemasok, antara produser dengan para mitra bisnisnya, dan antara produser dengan
customer-nya. Oleh karena itu, formula customer value dapat dinyatakan secara
matematis sebagai berikutiv:
 
 
Customer value = (Benefit – Sacrifice) * Relationship
 
 
Dari formula customer value tersebut terlihat bahwa tanda yang digunakan untuk
menunjukkan peran hubungan dalam membentuk customer value adalah tanda perkalian
(*). Hal ini berarti bahwa hubungan berkualitas (quality relationship) menjanjikan
pelipatgandaan value yang dibangun oleh produser bagi customer.
Hubungan berkualitas yang dibangun oleh produser dengan para pemasok dan
dengan para mitra bisnisnya akan menjadikan produser mampu menghasilkan kualitas
produk dan jasa secara konsisten bagi customer. Kualitas produk dan jasa yang konsisten
akan meningkatkan keandalan produser sebagai penyedia value bagi customer.
Keandalan produser akan memicu kecepatan produser sebagai penyedia value bagi
customer. Pada akhirnya kualitas, keandalan, dan kecepatan akan menjadikan produser
penghasil produk dan jasa yang efisien.
 
PARADIGMA CUSTOMER VALUE STRATEGY
Pentingnya paradigma digambarkan oleh Frank Outlaw melalui kata-kata bijak berikut
ini:
Watch your thoughts; they become words.
Watch your words; they become actions.
Watch your actions; they become habits.
Watch your habits; they become character.
Watch your character; it becomes destiny.
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 77

 
Di dalam manajemen tradisional, produser produk dan jasa berpandangan bahwa
kelangsungan hidup dan perkembangan organisasinya ditentukan oleh kemampuan
organisasi tersebut di dalam memproduksi dan menyediakan produk dan jasa, terlepas
dari apakah produk dan jasa tersebut menghasilkan manfaat bagi customer atau tidak.
Oleh karena itu, di masa lalu seringkali kita dengar ungkapan: “Kami menjual apa yang
dapat kami buat (we sell what we produce).” Produser berangkat memasuki bisnis dengan
mengajukan pertanyaan: “Apa yang akan kami jual (what do we want to sell)?
Di dalam manajemen kontemporer, paradigma customer value strategy memandang
bahwa suatu organisasi akan dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan memiliki
kesempatan untuk bertumbuh, jika organisasi tersebut mampu memproduksi dan
menyediakan produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customer. Ungkapan yang
dipakai berubah menjadi: “Kami membuat apa yang dibutuhkan oleh customer.”
Produser berangkat memasuki bisnis dengan mengajukan pertanyaan: “Apa yang ingin
dibeli oleh customer (what does the customer want to buy)? Kepuasan yang dicari,
dinilai, dan dibutuhkan oleh customer itu lah yang harus diproduksi dan disediakan oleh
produser. Itu lah sebabnya hakikat tugas utama pemasaran bukan untuk menjual apa yang
diproduksi dan disediakan oleh perusahaan, namun mengetahui dan memahami customer
sedemikian rupa sehingga produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan pas dengan
kepuasan yang dicari, dinilai, dan dibutuhkan oleh customer.
Di dalam lingkungan bisnis yang di dalamnya customer memegang kendali bisnis,
paradigma customer value strategy memfokuskan semua sumber daya yang dikuasai oleh
organisasi untuk menghasilkan value untuk memenuhi kebutuhan customer. Paradigma
customer value membangkitkan kegairahan di dalam diri personel organisasi untuk
menghasilkan manfaat dalam keseluruhan proses pemanfaatan produk oleh customer,
yang lebih besar daripada pengorbanan yang dilakukan oleh customer di dalam
memperoleh manfaat tersebut.
Paradigma customer value strategy mengarahkan semua proses bisnis dan organisasi
untuk menghasilkan value bagi customers. Customer value strategy mengubah arah
perhatian manajer, dari fokus untuk memuasi kepentingan diri sendiri, berbalik menuju
ke pemuasan kebutuhan customer. Dengan demikian, dalam setiap tahap proses
manajemen, kegiatan ditujukan untuk menghasilkan value bagi customer. Proses
manajemen yang berhasil adalah proses yang mampu menghasilkan satisfied customer.
Di dalam lingkungan bisnis yang di dalamnya customer memegang kendali bisnis,
organisasi akan berhasil sebagai wealth creating institution bila:
1. Mendesain produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customer.
2. Memproduksi produk dan jasa tersebut serta mendistribusikannya ke customer
dengan proses operasi yang cost effective.
3. Memasarkan dan menjual produk dan jasa tersebut secara efektif kepada customer.
Jika kita perhatikan ketiga syarat untuk menjadikan perusahaan sukses sebagai
wealth creating institution tersebut di atas, tidak satu pun syarat yang tidak berkaitan
dengan customer. Pada langkah pertama untuk menciptakan kekayaan, organisasi harus
mendesain produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customer. Dengan demikian
kebutuhan, keinginan, dan harapan customer-lah yang menjadi dasar desain produk yang
dibuat oleh perusahaan. Pada langkah selanjutnya, produk dan jasa yang telah didesain
tersebut kemudian harus diproduksi dan didistribusikan kepada customer secara cost
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 78

effective—suatu proses produksi dan proses distribusi yang hanya mengkonsumsi biaya
untuk aktivitas penambah nilai (value-added activities) bagi customer. Dengan demikian,
keberhasilan organisasi ditentukan oleh kemampuannya untuk menghilangkan aktivitas
bukan penambah nilai (non-value-added activities) dalam kegiatan memproduksi dan
mendistribusikan produk kepada customer. Pada tahap akhir kegiatan penciptaan
kekayaan, organisasi harus mampu secara efektif memasarkan produk dan jasa kepada
customer. Dengan demikian, penggeseran paradigma ke customer value, akan
memberikan jaminan bagi organisasi perusahaan untuk berhasil sebagai institusi pencipta
kekayaan.
 
KESELURUHAN PROSES PEMANFAATAN PRODUK
Paradigma customer value mengubah pandangan produser terhadap kualitas produk. Di
masa lalu kualitas produk hanya dipandang sebagai kesesuaian antara spesifikasi produk
yang dihasilkan dengan spesifikasi yang direncanakan, sehingga kualitas produk hanya
diinspeksi secara fisik pada atribut yang melekat dalam produk. Oleh karena itu, di masa
lalu, produser melakukan trade-off di antara kualitas, biaya, dan jadwal waktu. Jika
diinginkan kualitas produk meningkat, biaya juga ikut meningkat dan dengan jadwal
waktu penyerahan lebih lama.
Dengan paradigma customer value, kualitas produk hanya merupakan satu di antara
komponen customer value, dan produser mencari sinergi di antara kualitas, biaya, dan
jadwal waktu. Peningkatan kualitas produk dicapai dengan mengurangi kesalahan dalam
proses produksi, sehingga menurunkan biaya, dan jadwal waktu penyerahan produk yang
direncanakan dapat ditepati. Kualitas tidak hanya dibatasi pada atribut yang melekat
dalam produk, namun jauh lebih luas dari itu, mencakup semua aspek organisasi
perusahaan, bahkan meluas ke organisasi pemasok dan organisasi mitra bisnis.
Berdasarkan paradigma baru ini, kualitas harus dikelola melalui proses dan sistem, tidak
hanya diinspeksi ke dalam produk.
Customer value dihasilkan oleh produser pada setiap tahap proses pemanfaatan
produk oleh customer. Secara keseluruhan, proses pemanfaatan produk oleh customer
dilaksanakan melalui proses: find, acquire, transport, store, use, dispose of, dan stop
(disingkat FATSUDS).v
Proses pemanfaatan produk dimulai dari usaha untuk mencari (find) produk yang
dibutuhkan oleh customer. Produk dapat dicari melalui kehadiran customer secara fisik di
pasar (marketplace) atau melalui teknologi informasi (cyberspace). Pada tahap pencarian
ini, customer berusaha untuk mendapatkan informasi tentang produk yang memenuhi
kebutuhan, keinginan, dan harapannya. Tahap pencarian ini merupakan tahap krusial,
karena tahap-tahap berikutnya tidak akan terwujud jika pada tahap awal ini customer
tidak memperoleh informasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan
paradigma customer value, produser memandang usaha dan cara untuk memudahkan
customer dalam pencarian produk yang dihasilkan, bukan berdasar pertimbangan manfaat
dan pengorbanan dari sudut produser, namun berdasar manfaat dan pengorbanan dari
sudut customer.
Setelah produk ditemukan, tahap berikutnya adalah pemerolehan (acquire). Minat
untuk membeli, yang telah dipicu melalui tahap pertama, kemudian dilanjutkan dengan
usaha untuk memperoleh produk yang dibutuhkan oleh customer. Proses pemerolehan
produk oleh customer terdiri dari tiga proses berikut ini: (1) pemesanan, (2) penerimaan
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 79

barang, (3) pembayaran. Ketiga proses tersebut dilayani oleh produser melalui prosedur
order penjualan, prosedur pengiriman barang, dan prosedur penagihan (billing
procedure). Produser yang menggunakan paradigma customer value berusaha keras dan
smart agar ketiga prosedur yang digunakan untuk melayani customer dalam pemerolehan
produk tersebut menghasilkan manfaat lebih besar bagi customer dibandingkan dengan
pengorbanan yang dilakukan oleh customer.
Di samping mengusahakan manfaat yang diperoleh customer dalam tahap
pemerolehan produk lebih besar dari pengorbanan yang dilakukan dalam mendapatkan
manfaat tersebut, berdasarkan paradigma customer value, produser perlu membangun
hubungan berkualitas (quality relationship) dengan customer, sehingga customer menjadi
repeat buyer melalui kemudahan yang didapat dalam proses pemerolehan produk yang
dibutuhkan. Hubungan berkualitas juga dapat dibangun oleh produser dengan mitra
bisnisnya untuk menyediakan produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customer.
Sebagai contoh, sebuah rumah sakit menjalin hubungan kemitraan dengan perusahaan
asuransi yang menyelenggarakan asuransi kesehatan melalui billing system yang
berkaitan dengan biaya rawat inap pasien. Pasien yang memiliki polis asuransi kesehatan
memperoleh kemudahan di dalam pembayaran biaya rawat inapnya melalui billing
system yang dirancang oleh rumah sakit tersebut untuk menagih klaim asuransi kesehatan
ke perusahaan asuransi mitra bisnis rumah sakit tersebut.
Setelah produk dibeli, umumnya produk memerlukan transportasi untuk
memindahkannya dari gudang produser ke lokasi pemakaian oleh customer. Faktor
sekuriti dan ketepatan waktu pengangkutan merupakan manfaat yang biasanya diperlukan
oleh customer. Produser yang menggunakan paradigma customer value akan
menawarkan berbagai manfaat yang dapat diperoleh customer di dalam mengatasi
masalah transportasi produk yang telah dibelinya. Kerja sama kemitraan dengan
perusahaan asuransi dan transportasi merupakan usaha yang dapat ditempuh oleh
produser di dalam menyediakan jasa bagi customer pada tahap transportasi ini.
Kadangkala produk yang dibeli oleh customer memerlukan penyimpanan sebelum
produk tersebut dikonsumsi oleh customer. Untuk menyediakan manfaat bagi customer
pada tahap penyimpanan ini, produser dapat menyediakan pengepakan (packing) untuk
menjaga kualitas dan kuantitas produk selama proses penyimpanan, atau memberikan
kode yang mudah diidentifikasi selama proses penyimpanan (misalnya dengan
mencantumkan label masa kadaluwarsa atau informasi penting lain yang bermanfaat bagi
customer. Produser yang menggunakan paradigma customer value akan berusaha untuk
memberikan manfaat bagi customer selama proses penyimpanan produk yang telah dibeli
oleh customer. Produser yang tidak memiliki paradigma customer value, akan
menghentikan kepeduliannya terhadap customer, begitu produk lepas dari gudangnya.
Tahap pemakaian adalah tahap inti suatu produk memberikan manfaat sesungguhnya
bagi customer. Semua tahap sebelumnya akan tidak ada artinya jika pada tahap
pemakaian, customer menjumpai ketidakpuasan signifikan. Pada tahap ini customer
memanfaatkan berbagai atribut yang melekat pada produk untuk memenuhi
kebutuhannya. Produser yang memiliki paradigma customer value tidak menghentikan
usahanya dalam memberikan layanan kepada customer pada saat transaksi penjualan
produk telah selesai, namun senantiasa mendengarkan suara customer di dalam proses
pemakaian ini.
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 80

Setelah produk dikonsumsi oleh customer, umumnya customer akan menghadapi


masalah pembuangan produk bekas pakai. Dengan paradigma customer value, produser
akan mendesain produknya sedemikian rupa sehingga memberikan kemudahan bagi
customer di dalam membuang produk bekas pakai. Bahkan, produser dapat juga
menawarkan jasa untuk pembuangan produk bekas pakai tanpa dibebani biaya.
Adakalanya customer memutuskan penghentian pemakaian produk sebelum masa
kontrak berakhir. Penghentian pemakaian produk di dalam masa kontrak kemungkinan
menimbulkan penalti bagi customer. Produser yang memiliki paradigma customer value
akan mencari berbagai kemudahan bagi customer dalam menghentikan pemakaian
produk yang tidak lagi memenuhi kebutuhannya.
 
PRODUK ADALAH SATU IKAT JASA
Pada dasarnya produk merupakan satu ikat jasa yang disediakan untuk memuasi
kebutuhan customer. Berbagai atribut yang melekat pada produk hanya akan
menghasilkan value jika atribut tersebut menghasilkan manfaat bagi customer. Sebagai
contoh, berbagai atribut yang melekat pada produk mobil, menyediakan jasa bagi
customer seperti jasa transportasi, sekuriti, self esteem dan kedamaian pikiran. Oleh
karena atribut yang melekat pada produk tidak hanya berasal dari tahap pemakaian (use),
namun berasal dari keseluruhan tahap pemakaian produk (FATSUDS), maka jasa yang
dihasilkan oleh suatu produk dimulai sejak saat customer berusaha mencari produk
sampai dengan saat customer menghentikan pemakaian produk. Pandangan bahwa
produk merupakan satu ikat jasa berakibat pada:
1. Produser bertanggung jawab atas penyediaan value pada setiap tahap proses
pemanfaatan produk, baik sendiri maupun bersama-sama dengan mitra bisnisnya.
2. Produser tidak mungkin memiliki kompetensi di dalam menyediakan keseluruhan
jasa yang berkaitan dengan produknya. Produser umumnya hanya memiliki core
competency tertentu untuk menyediakan jasa yang berkaitan dengan produknya.
3. Berdasarkan pada kenyataan pada butir 2 tersebut, produser yang menggunakan
paradigma customer value akan membangun hubungan kemitraan dengan produser
lain, untuk menyediakan quality services bagi customer. Dengan demikian, produk
sebagai ikat jasa hanya dapat dihasilkan dengan kualitas yang konsisten melalui kerja
sama organisasi dalam bentuk jejaring (organization network), yang diikat dengan
quality relationship.
 
Gambar 4.2 melukiskan konsep customer value.vi Dalam gambar tersebut jelas
terlihat bahwa bukan atribut produk yang dapat memberikan kepuasan bagi customer,
namun customer value-lah yang mampu memenuhi kebutuhan customer. Dan customer
value hanya dapat dihasilkan oleh produk setelah produk tersebut melalui proses
pemanfaatan oleh customer (FATSUDS).
 
 
 
 
 
 
 
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 81

Kebutuhan
Customer

Desain dan
Proses Customer Kepuasan
Produksi
PemanfaatanValue Customer

Atribut
Produk

Kondisi SebelumKonsekuensi Pemanfaatan


Kondisi Setelah
Pemanfaatan Pemanfaatan

 
 
Gambar 4.2 Customer Value sebagai Hasil Proses Pemanfaatan Atribut Produk oleh
Customer

CUSTOMER VALUE DALAM LINGKUNGAN BISNIS


KOMPETTITIF
Dalam lingkungan bisnis kompetitif, customer diperebutkan pilihannya oleh banyak
produser. Dengan demikian, hanya dengan menyediakan value bagi customer tidak lah
cukup untuk memenangkan pilihan customer. Dalam lingkungan bisnis kompetitif, untuk
memenangkan pilihan customer, perusahaan harus mampu menyediakan more value
added bagi customer di setiap tahap proses pemanfaatan secara menyeluruh produk dan
jasa. Gambar 4.3 melukiskan usaha perusahaan untuk memberikan more value added di
setiap tahap proses pemanfaatan secara menyeluruh produk.
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 82

FIND

ACQUIRE

Easy To Do
Business With
TRANSPORT

STORE

To Be A Provider of
USE More Value-Added Vendor-Managed Solution to Your
Inventory Next Process

DISPOSE OF

Easy To Do
Business With
STOP

Gambar 4.3 Usaha Untuk Memberikan More Value Added bagi Customer pada Setiap
Tahap Pemanfaatan Secara Menyeluruh Produk dan Jasa

KEYAKINAN DASAR DAN NILAI DASAR UNTUK MEWUJUDKAN


PARADIGMA CUSTOMER VALUE
Untuk mewujudkan paradigma customer value ke dalam perilaku, diperlukan keyakinan
dasar tentang kebenaran customer value tersebut dan nilai dasar yang melandasi customer
value tersebut.
 
Keyakinan Dasar untuk Mewujudkan Paradigma Customer Value
Paradigma customer value strategy perlu diwujudkan ke dalam keyakinan dasar yang
kuat yang harus ditanamkan kepada seluruh personel organisasi bahwa:vii (1) bisnis
merupakan suatu mata rantai yang menghubungkan pemasok dengan customers, (2)
customer merupakan tujuan pekerjaan, (3) sukses merupakan hasil penilaian terhadap
suara customer. Building blocks yang dibangun berdasarkan paradigma customer value
untuk membentuk perilaku bisnis yang sesuai dengan lingkungan bisnis dalam kompetisi
global dilukiskan pada Gambar 4.4.
 
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 83

Tampak Luar
SPPM

Keyakinan Dasar
(1) bisnis merupakan suatu mata
rantai yang menghubungkan
pemasok dengan customer, (2) Customer
customer merupakan tujuan Value Mindset
pekerjaan, (3) sukses merupakan
hasil penilaian terhadap suara
customer

Nilai Dasar
(1) integritas, (2) kerendahan hati,
dan (3) kesediaan untuk melayani.

Paradigma Customer Value Strategy


 
 
Gambar 4.4 Building Blocks yang Membentuk Customer Value Mindset
 
Bisnis merupakan suatu mata rantai yang menghubungkan pemasok dengan
customers. Paradigma customer value perlu diwujudkan dengan keyakinan dasar yang
kuat bahwa “bisnis merupakan suatu mata rantai yang menghubungkan pemasok dengan
customer.” Atas dasar keyakinan dasar ini, manajemen perusahaan berusaha agar
perusahaan yang dipimpinnya menjadi mata rantai fungsional dalam value chain process
dari pemasok sampai ke end customer. Tanpa keyakinan dasar ini, manajemen akan
mudah terjerumus ke dalam pandangan yang bersifat selfish, yang mementingkan tujuan-
tujuan internal perusahaan, seperti laba, efisiensi, dan produktivitas.
Dengan keyakinan itu, personel perusahaan akan menyadari tentang pentingnya
perusahaan memberikan layanan terbaik kepada pemasok dan customer, karena hanya
dengan cara begitu, perusahaan dapat berfungsi sebagai matarantai yang pantas dipilih,
baik oleh pemasok maupun customer, sebagai penghubung untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Berdasarkan keyakinan itu pula, manajemen perusahaan akan menyadari
pentingnya pembinaan hubungan berkualitas (quality relationship) antara perusahaan
dengan para pemasoknya dan antara perusahaan dengan para customer-nya. Hubungan
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 84

berkualitas inilah yang akan menjamin perusahaan mampu menyediakan produk dan jasa
berkualitas secara konsisten kepada customer.
 
Customer merupakan tujuan pekerjaan. Paradigma customer value juga perlu
diwujudkan dengan keyakinan dasar yang kuat bahwa “customer merupakan tujuan
pekerjaan.” Satu-satunya alasan perusahaan tetap berada dalam bisnis adalah karena
customer. Tanpa customer, terlepas dari bagaimanapun keunggulan kualitas produk dan
jasa yang dihasilkan oleh perusahaan dan dari bagaimanapun efisiennya operasi
perusahaan dalam menghasilkan produk dan jasa tersebut, kelangsungan hidup
perusahaan akan tidak terjamin. Oleh karena itu, keyakinan dasar yang perlu ditanamkan
kepada semua personel perusahaan adalah bahwa bukan boss dan bukan diri sendiri yang
menjadi tujuan pekerjaan setiap personel, namun “customer merupakan tujuan
pekerjaan.” The only reason we are in business is our customer.
 
Sukses merupakan hasil penilaian terhadap suara customer. Paradigma customer
value juga harus diwujudkan dalam keyakinan dasar yang kuat bahwa “sukses merupakan
hasil penilaian terhadap suara customer.” Dengan menyadari bahwa customer merupakan
tujuan setiap pekerjaan, maka keyakinan dasar lain yang harus ditanamkan dalam diri
personel perusahaan adalah suara customer selalu benar, oleh karena itu sukses dalam
bisnis ditentukan oleh kemampuan personel dalam mendengarkan suara customer. Ada
kemungkinan, suara customer mencerminkan persepsi salah mereka terhadap pekerjaan
personel. Dalam kondisi ini pun, yang benar tetap suara customer. Dengan keyakinan
dasar bahwa suara customer selalu benar akan menghasilkan sikap ”mengapa pekerjaan
personel menghasilkan persepsi salah di pihak customer.” Tentu ada ketidakberesan
dalam sistem yang digunakan untuk melayani customer yang mengakibatkan salah
persepsi oleh customer.
 
Nilai Dasar untuk Mewujudkan Paradigma Customer Value
Untuk mewujudkan paradigma customer value, perlu ditanamkan personal values yang
cocok dengan paradigma tersebut: (1) integritas, (2) kerendahan hati, dan (3) kesediaan
untuk melayani.viii
 
Integritas. Integritas adalah kemampuan seseorang untuk mewujudkan apa yang telah
dikatakan menjadi suatu realitas, dalam situasi apa pun. Orang yang tidak berintegritas
hanya mampu mewujudkan apa yang telah dikatakan, terbatas yang dipandang
menguntungkan bagi dirinya. Character is what we are in the dark. Jika personel suatu
perusahaan telah menjanjikan sesuatu kepada customer, dan meskipun untuk
merealisasikan komitmen kepada customer tersebut, perusahaan harus mengorbankan
sumber daya tertentu, dan personel tersebut tetap teguh dengan komitmen yang telah
dijanjikan kepada customer, terlepas dari sumber daya yang harus dikorbankan, maka
personel tersebut menjunjung tinggi integritas dalam memenuhi komitmennya kepada
customer. Customer akan memilih berhubungan dengan organisasi yang personelnya
menjunjung tinggi integritas, karena hanya orang yang berintegritas pantas dijadikan
partner dalam bisnis.
 
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 85

Kesediaan untuk melayani. Jika diyakini bahwa fokus usaha perusahaan adalah
customer—karena tanpa customer tidak ada alasan yang menopang keberadaan suatu
organisasi—maka salah satu personal values yang perlu dimiliki oleh setiap anggota
organisasi adalah kesediaan untuk melayani. Kesediaan untuk melayani merupakan
tindakan yang terpuji dalam berhubungan dengan customer. Jika setiap anggota
organisasi ringan hati untuk memberikan layanan kepada customer—dalam kondisi apa
pun—maka customer akan merasa dipedulikan oleh organisasi, dan kepedulian terhadap
customer ini yang mengikat customer dengan organisasi.
 
Kerendahan hati. Personal value “kesediaan untuk melayani” customer hanya dapat
tercipta jika setiap anggota organisasi memiliki personal value “kerendahan hati.”
Kerendahan hati merupakan sikap mental yang mampu menerima seseorang atau sesuatu.
Kerendahan hati ini menjadikan orang menempatkan diri pada posisi mampu menerima
setiap kelainan dalam berhubungan dengan customer. Setiap orang akan dengan senang
hati menerima suatu kondisi yang sesuai dengan harapannya. Namun, tidak setiap orang
mampu menerima suatu kondisi hubungan yang tidak berkenan di hatinya dengan
customer. Hanya orang yang memiliki kerendahan hati mampu secara objektif
memandang setiap kelainan yang terjadi dalam dirinya sebagaimana adanya. Jika setiap
anggota organisasi memiliki keyakinan dasar bahwa suara customer selalu benar, maka
hanya orang yang menghargai “kerendahan hati” yang mampu mewujudkan keyakinan
dasar tersebut.
 
PERWUJUDAN CUSTOMER VALUE MINDSET KE DALAM SPPM
SPPM dibangun berdasarkan mindset tertentu. SPPM yang pas dengan lingkungan bisnis
global harus dibangun berlandaskan pada berbagai mindset yang pas dengan lingkungan
tersebut.
Customer value mindset berdampak besar terhadap SPPM. Struktur SPPM
difokuskan ke customer. Proses SPPM juga difokuskan untuk memuasi kebutuhan
customers. Berikut ini disajikan beberapa contoh perwujudan customer value mindset ke
dalam SPPM.
 
Perwujudan Customer Value Mindset Ke Dalam
Struktur SPPM
Struktur SPPM terdiri dari tiga komponen: struktur organisasi, jejaring informasi, dan
sistem penghargaan. Customer value mindset diwujudkan ke dalam tiga komponen
struktur SPPM berikut ini: (1) struktur organisasi difokuskan ke layanan kepada
customer, (2) jejaring informasi difokuskan untuk menyediakan layanan bagi customer,
(3) sistem penghargaan karyawan didasarkan pada kinerja organisasi dalam memuasi
kebutuhan customer.
 
Struktur organisasi difokuskan ke layanan kepada customer. Di dalam manajemen
tradisional, struktur organisasi dipandang sebagai satu rangkaian kotak-kotak fungsional
(a set of functional boxes) yang dibangun untuk mewujudkan tujuan organisasi. Kotak-
kotak fungsional ini berisi para spesialis yang memiliki kompetensi khusus tertentu
(seperti pemasaran, produksi, engineering, logistik, keuangan, akuntansi, sumber daya
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 86

manusia). Sekelompok spesialis dalam setiap kotak fungsional tersebut berfokus ke


pencapaian tujuan fungsinya masing-masing, bukan tujuan organisasi secara keseluruhan.
Berlandaskan pada customer value mindset, pandangan terhadap organisasi diubah
secara radikal. Organisasi dipandang sebagai suatu kumpulan kompetensi dan sumber
daya yang disediakan untuk dimobilisasi dan dimanfaatkan (a pool of shared
competencies and resources) bagi kepentingan customer. Oleh karena itu, berdasarkan
customer value mindset, struktur organisasi dibangun menjadi cross-functional
organization. Dalam organisasi lintas fungsional ini seluruh sumber daya organisasi
diorganisasi menurut sistem yang digunakan untuk memberikan layanan kepada
customer. Cross-functional organization berorientasi ke sistem yang digunakan untuk
melayani kebutuhan customer. Uraian lebih mendalam tentang pendesainan struktur
organisasi yang berlandaskan pada customer value mindset disajikan dalam lima bab: (1)
Bab 10 Pendesainan Organisasi untuk Menyempurnakan Sistem, (2) Bab 11
Pembangunan Cross-Functional Organization, dan (3) Bab 12 Pembangunan
Boundaryless Organization, (4) Bab 13 Kemitraan Usaha, dan (5) Bab 14 Pendelegasian
Wewenang versus Pemberdayaan Karyawan.
 
Jejaring informasi difokuskan untuk menyediakan layanan berkualitas bagi
customer. Di dalam manajemen tradisional, jejaring informasi merupakan komponen
struktur SPPM yang fungsinya untuk memperlancar komunikasi intern dan kenyamanan
pelaksanaan pekerjaan personel. Oleh karena jejaring informasi dilaksanakan secara
manual, jejaring informasi terpusat secara fisik dan hanya dapat diakses oleh manajemen
puncak.
Jejaring informasi dalam organisasi jaman teknologi informasi memanfaatkan
kemampuan teknologi informasi untuk menyediakan fasilitas information sharing melalui
shared database. Fokus jejaring informasi ditujukan untuk memungkinkan seluruh
personel mampu menghasilkan value terbaik bagi customer. Pusat informasi dapat
diakses oleh seluruh karyawan (tidak hanya manajemen puncak seperti dalam manajemen
tradisional), sehingga jejaring informasi mampu menjadikan seluruh karyawan sebagai
business people—orang yang memiliki kepekaan bisnis, bukan sekadar orang yang diberi
gaji atau upah untuk bekerja. Jejaring informasi bahkan tidak hanya terbatas untuk
melayani kepentingan intern, namun juga dapat digunakan untuk membangun quality
relationship dengan para pemasok, mitra bisnis, dan customers. Berlandaskan customer
value mindset, jejaring informasi didesain untuk melipatgandakan value yang dihasilkan
bagi customer (lihat kembali formula customer value yang merupakan [(manfaat –
pengorbanan) * hubungan]. Uraian lebih mendalam tentang pendesainan jejaring
informasi yang berlandaskan pada customer value mindset disajikan dalam Bab 15
Jejaring Informasi.
 
Sistem penghargaan berbasis kinerja. Di dalam manajemen tradisional, fungsi utama
manajemen adalah melipatgandakan kemampuan aktiva keuangan (financial assets)
untuk menghasilkan laba. Hal ini tercermin dari ukuran kinerja perusahaan yang banyak
digunakan sampai sekarang: return on asset, return on investment, dan residual income.
Pergeseran teknologi yang digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka, dari hard automation ke smart technology, telah menggeser secara radikal
arti pentingnya modal manusia (human assets) dalam menghasilkan produk dan jasa bagi
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 87

kepentingan customer. Di dalam hard automation era, untuk menghasilkan produk dan
jasa, terdapat keterpisahan antara tenaga kerja dengan alat produksi yang digunakan
untuk menghasilkan produk dan jasa. Pencapaian tujuan perusahaan dan perilaku
karyawan dalam mewujudkan tujuan tersebut dikendalikan melalui penunjukan
supervisor yang bertanggung jawab atas pengawasan kinerja tenaga kerja.
Di dalam smart technology era, smart technology hanya dapat produktif jika
dijalankan oleh knowledge workers. Dalam era ini, produk dan jasa dihasilkan oleh
knowledge yang diterapkan oleh knowledge workers melalui smart technology. Antara
alat produksi (knowledge) dengan sumber daya manusia tidak terpisah. Pengawasan
melalui penunjukan supervisor tidak lagi efektif dalam lingkungan kerja yang secara
ekstensif memanfaatkan teknologi informasi, karena di depan monitor komputer, tidak
mungkin dibedakan antara karyawan yang sedang melamun dari karyawan yang berpikir
keras merumuskan strategi perusahaan. Tugas manajer dalam smart technology ini
bergeser menjadi: “bertanggung jawab atas penerapan dan kinerja pengetahuan.”
Penerapan pengetahuan berkaitan dengan peran manajer dalam the application of
knowledge to knowledge, dan kinerja pengetahuan berkaitan dengan peran manajer untuk
menjadikan knowledge yang dimiliki oleh knowledge workers produktif. Dengan
demikian manajer dalam smart technology era ini tidak hanya bertanggung jawab untuk
melipatgandakan keuangan aktiva (tangible maupun intangible assets), namun ditambah
tugas yang dituntut oleh lingkungan smart technology: “melipatgandakan kemampuan
human assets dalam memanfaatkan pengetahuan mereka untuk menghasilkan produk dan
jasa yang memuaskan kebutuhan customer.” Sistem penghargaan berbasis kinerja
merupakan alat utama untuk mewujudkan tugas baru tersebut. Uraian lebih lanjut tentang
sistem penghargaan berbasis kinerja ini disajikan dalam tiga bab: (1) Bab 16 Balanced
Scorecard: Konsep, Evolusi Perkembangan, dan Dampaknya terhadap Desain SPPM, (2)
Bab 17 Sistem Penghargaan Berbasis Kinerja dan (3) Bab 18 Pergeseran Pengukuran
Kinerja ke Cost Effectiveness.

Perwujudan Customer Value Mindset Ke Dalam


Proses SPPM
Proses SPPM terdiri dari enam tahap: perumusan strategi, perencanaan strategik,
penyusunan program, penyusunan anggaran, pengimplementasian, dan pemantauan.
Customer value mindset diwujudkan ke dalam tahap-tahap proses SPPM berikut ini: (1)
perumusan strategi ditujukan untuk menghasilkan value bagi customer, (2) perencanaan
strategik dengan pendekatan balanced scorecard (3) penyusunan anggaran berbasis
aktivitas (activity-based budgeting), (4) pengimplementasian rencana dengan activity-
based management (5) pemantauan pelaksanaan rencana dengan activity-based cost
system.
 
Perumusan strategi ditujukan untuk menghasilkan value bagi customer. Di dalam
manajemen tradisional, fokus strategi ditujukan untuk mengalahkan pesaing. Oleh karena
itu, strategi yang biasanya ditempuh oleh perusahaan di masa lalu adalah grand strategy
dan generic strategy. Grand strategy terdiri dari: strategi pertumbuhan (growth strategy),
strategi stabilitas (stability strategy), dan strategi pengurangan (retrenchment strategy),
atau kombinasi dari ketiga tipe grand strategi tersebut.ix Grand strategy ini umumnya
diterapkan sebagai strategi korporasi (corporate strategy). Generic strategy terdiri dari
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 88

beberapa tipe: broad low cost, broad differentiation, focused low-cost, focused
differentiation. Generic strategy ini umumnya diterapkan sebagai strategi unit bisnis
(business unit strategy).
Customer value mindset mengubah orientasi strategi perusahaan, dari usaha untuk
mengalahkan pesaing ke usaha untuk menghasilkan value terbaik bagi customer. Value
based strategy merupakan strategi yang dirumuskan oleh perusahaan berlandaskan
customer value mindset. Uraian lebih lanjut tentang perumusan strategi ini disajikan
dalam Bab 20 Sistem Perumusan Strategi.
 
Penyusunan strategic plan yang komprehensif. Di dalam manajemen tradisional,
penyusunan rencana strategik menghasilkan sasaran-sasaran strategik (strategic
objectives) yang berfokus ke perspektif keuangan. Dengan demikian strategic initiatives
yang dipilih untuk mewujudkan strategic objectives menjadi sempit lingkupnya.
Penyusunan rencana strategik dengan cara ini tidak memacu manajemen mencari sasaran-
sasaran strategik yang bersifat jangka panjang seperti: pembangunan trust-based
relationship dengan customer, pembangunan kemitraan usaha dengan para pemasok,
pendesainan sistem informasi manajemen yang memuaskan kebutuhan customer,
pengembangan modal manusia.
Berdasarkan customer value mindset, rencana strategik perlu disusun dengan
mencakup empat perspektif: keuangan, customer, proses, serta pembelajaran dan
pertumbuhan. Penyusunan rencana strategik berdasarkan customer value mindset ini
menghasilkan sasaran strategik (strategic objectives) yang mencakup empat perspektif
tersebut, sehingga inisiatif strategik (strategic initiatives) yang dipilih untuk mewujudkan
sasaran-sasaran strategik tersebut cukup komprehensif. Uraian lebih lanjut tentang
penyusunan rencana strategik yang komprehensif ini disajikan dalam Bab 22 Sistem
Perencanaan Strategik dengan Rerangka Balanced Scorecard.
 
Penyusunan anggaran berbasis aktivitas (activity-based budgeting). Di dalam
manajemen tradisional, anggaran disusun berdasarkan pendekatan fungsional, karena
organisasi yang dikenal pada waktu itu adalah organisasi fungsional hirarkhis. Dengan
demikian proses penyusunan anggaran lebih berorientasi untuk mencapai tujuan-tujuan
fungsional, bukan tujuan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, proses
penyusunan anggaran dalam manajemen tradisional dikenal dengan nama functional-
based budgeting.
Berdasarkan customer value mindset, organisasi didesain berdasarkan sistem yang
digunakan untuk menghasilkan value bagi customer. Oleh karena organisasi didesain
menurut sistem yang digunakan untuk menghasilkan value bagi customer, dan sistem ini
terdiri dari proses dan proses terdiri dari berbagai aktivitas, maka penyusunan anggaran
didasarkan pada aktivitas yang membentuk sistem. Penyusunan anggaran dengan cara ini
dikenal dengan nama activity-based budgeting. Uraian lebih lanjut tentang penyusunan
anggaran berbasis aktivitas ini disajikan dalam Bab 24 Activity-Based Budgeting
 
Pengimplementasian rencana dengan activity-based management. Oleh karena dalam
manajemen tradisional anggaran disusun menurut fungsi, maka pengimplementasian
anggaran juga didasarkan pada pengelolaan atas fungsi-fungsi yang dibentuk dalam
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 89

organisasi. Dengan demikian fokus pelaksanaan anggaran lebih ditujukan ke pencapaian


tujuan fungsi daripada tujuan organisasi secara keseluruhan.
Oleh karena berdasarkan customer value mindset, organisasi yang pas dengan
lingkungan bisnis global adalah organisasi lintas fungsional, maka anggaran disusun
dengan menggunakan activity-based budgeting. Oleh karena itu, pengimplementasian
anggaran yang pas dengan pendekatan activity-based budgeting adalah activity-based
management. Fokus activity-based management ini adalah pada aktivitas yang digunakan
oleh organisasi untuk menghasilkan value bagi customer. Activity-based management
dilaksanakan dengan mengurangi dan menghilangkan non-value-added activities. Di
samping itu, pendekatan manajemen ini dilaksanakan dengan mengefisienkan value-
added activities melalui activity selection dan activity sharing. Uraian lebih lanjut tentang
activity-based management ini disajikan dalam Bab 25 Activity-Based Management.
 
Pemantauan pengimplementasian rencana dengan activity-based cost system.
Pengimplementasian rencana memerlukan pemantauan, agar pelaksanaan rencana dapat
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika perencanaan dilaksanakan dengan
menggunakan activity-based budgeting, dan pengimplementasian rencana menggunakan
activity-based management, pemantauan pengimplementasian rencana memerlukan
sistem informasi biaya yang berbasis aktivitas. Sistem akuntansi biaya yang
menggunakan aktivitas sebagai basis ini disebut dengan activity-based cost system.
Activity-based cost system bukan sekadar costing method—metode penentuan kos
produk untuk kepentingan penghitungan kos sediaan yang akan disajikan dalam neraca,
namun lebih dari itu. Activity-based cost system merupakan sistem informasi biaya yang
mampu:
a. Menyediakan informasi biaya untuk memungkinkan manajemen melakukan
pengelolaan berbasis aktivitas (activity-based management).
b. Menyediakan informasi kos produk dan jasa (product and service costs) secara
akurat.
c. Menyediakan informasi kos produk (product costs) untuk kepentingan pelaporan
keuangan kepada pihak luar.
 
Activity-based cost system dilandasi customer value mindset—suatu sikap mental
yang memandang bahwa kepuasan customer merupakan fokus semua aktivitas yang
dilaksanakan dalam bisnis perusahaan. Oleh karena itu, activity-based cost system
merupakan sistem informasi yang menyediakan informasi biaya untuk memungkinkan
personel melakukan pengelolaan berbasis aktivitas (activity-based management). Dengan
activity-based cost system, manajemen dapat melakukan penilaian seberapa cost effective
berbagai aktivitas yang digunakan oleh perusahaan untuk menghasilkan value bagi
customer. Uraian lebih lanjut tentang pemantauan pengimplementasian rencana disajikan
dalam dua bab: (1) Bab 26 Effective Management Control System dan (2) Bab 27
Activity-Based Cost System.
 
RANGKUMAN
Lingkungan bisnis sekarang semakin global, sehingga terjadi di dalamnya perubahan
radikal. Dengan adanya perubahan radikal di lingkungan bisnis tersebut, manajemen
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 90

puncak sampai dengan personel yang paling rendah tingkatannya perlu melakukan
updating terhadap mindset mereka.
Dalam bab ini diuraikan pergeseran ke customer value mindset dan dampaknya
terhadap konsep produk, kepuasan customer, dan SPPM. Konsep produk yang
sebelumnya hanya terbatas pada pengertian fisiknya, dengan customer value mindset,
konsep produk berubah sebagai suatu ikat jasa yang memiliki potensi untuk
menghasilkan value bagi customer. Jika di masa lalu produser mengira bahwa atribut
produk dengan sendirinya akan mampu memuasi kebutuhan customer, dengan customer
value mindset, hanya dengan melalui proses pemanfaatan (use process) atribut produk
dapat menghasilkan value bagi customer. Jika di masa lalu produser yakin bahwa hanya
melalui organisasi perusahaannya kepuasan customer dapat dipenuhinya sendiri, dengan
perubahan konsep produk, kepuasan customer, dan customer value mindset, produser
memerlukan kerja sama kemitraan dengan para pemasok dan mitra bisnisnya untuk
menjadikan perusahaannya mampu berkontribusi melalui core competency-nya dalam
menghasilkan value bagi customer.
Butir-butir penting yang berkaitan dengan customer value adalah:
1. Customer value merupakan kombinasi manfaat dan pengorbanan sebagai hasil
pemakaian produk atau jasa oleh customer dan dilipatgandakan oleh kualitas
hubungan yang dibangun oleh perusahaan dengan pemasok dan mitra bisnisnya serta
dengan customer.
2. Tingkat customer value ditentukan oleh tingkat kesesuaian antara karakteristik dan
atribut produk serta jasa dengan kebutuhan customer.
3. Manajer harus secara cermat mengidentifikasi customer mereka untuk menentukan
value produk dan jasa yang dihasilkan.
4. Manajer dapat memahami lebih baik konsep customer value dan membuat keputusan
lebih baik jika mereka memahami proses customer memperoleh value.
5. Proses customer value mencakup pengakuan kebutuhan, pencarian informasi,
pengalaman dan penggunaan, persepsi, dan pembentukan sikap.
6. Kadang-kadang proses penilaian customer dilaksanakan secara ekstensif dan melalui
pemikiran mendalam. Di lain waktu, proses tersebut dilaksanakan secara cepat dan
melalui kebiasaan.
7. Manajer meningkatkan keputusan strategik mereka jika mereka mempertimbangkan
konsep customer value dan mengidentifikasi secara jelas customer mereka berikut
customer value-nya masing-masing.
 
Kultur organisasi yang berorientasi ke customer value adalah sulit untuk dibangun,
namun tidak berarti tidak mungkin dibangun. Customer value mindset dapat dibangun
melalui usaha bersistem. Melalui pendidikan dan pengalaman, manajemen puncak dapat
menanamkan customer value mindset ke dalam diri seluruh personel perusahaan.
Manajemen puncak dapat mengkomunikasikan customer value mindset melalui personal
behavior dan operational behavior. Melalui pengkomunikasian tidak kenal lelah
customer value mindset kepada seluruh personel perusahaan, proses internalisasi akan
berangsur terjadi dan mindset tersebut dapat tumbuh di dalam diri sebagian besar
personel perusahaan.
 
 
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 91

PERTANYAAN
1. Jelaskan empat penyebab terjadinya perubahan radikal dalam lingkungan bisnis,
yang memerlukan penggeseran mindset ke customer value mindset.
2. “Menurut pandangan saya, customer adalah orang atau organisasi yang membeli
produk yang saya hasilkan” demikianlah pernyataan seorang direktur perusahaan
sepatu.
a. Setujukah Saudara dengan pandangan direktur tersebut? Jelaskan jawaban
Saudara.
b. Apakah dampaknya terhadap pengelolaan perusahaan jika seorang direktur
memiliki pandangan terhadap customer seperti itu?
3. Siapakah customer itu? Jelaskan beda pengertian customer dengan pelanggan dan
konsumen.
4. Di antara berbagai pemangku kepentingan perusahaan, customer merupakan
pemangku kepentingan yang seharusnya ditempatkan pada peringkat pertama.
Setujukah Saudara dengan pernyataan tersebut? Jelaskan jawaban Saudara.
5. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan bertumbuh, perusahaan
sekarang perlu menanamkan customer value mindset ke dalam diri seluruh
personelnya.
a. Jelaskan konsep customer value.
b. Faktor apakah yang dapat melipatgandakan customer value? Jelaskan mengapa
demikian.
c. Jelaskan paradigma customer value.
6. Kegiatan utama apa yang perlu dilakukan oleh perusahaan untuk menjadikan dirinya
sebagai wealth-creating institution? Jelaskan hubungan antara kegiatan utama
tersebut dengan paradigma customer value.
7. Tanpa personal value “kerendahan hati” mungkin kah suatu perusahaan bertahan dan
bertumbuh dalam lingkungan bisnis global? Jelaskan jawaban Saudara.
8. Paradigma customer value mengubah pandangan produser terhadap kualitas produk.
a. Jelaskan perubahan pandangan produser terhadap kualitas produk.
b. Berdasarkan paradigma customer value, customer membutuhkan value pada
setiap tahap proses pemanfaatan menyeluruh produk. Setujukah Saudara dengan
pernyataan tersebut? Jelaskan jawaban Saudara.
9. Produk pada dasarnya adalah “a bundle of services.”
a. Setujukah Saudara dengan pernyataan tersebut? Jelaskan jawaban Saudara.
b. Apa akibat pandangan bahwa produk pada dasarnya adalah “a bundle of
services?”
10 Mungkinkah organisasi memuasi kebutuhan customer sementara para personelnya
tidak menjunjung tinggi nilai integritas? Jelaskan jawaban Saudara.
11. Mungkinkah perusahaan membangun partnered relationship dengan para
pemasoknya namun personelnya tidak memiliki keyakinan “bisnis merupakan
matarantai yang menghubungkan pemasok dengan customers?” Jelaskan jawaban
Saudara.
12. Seorang direktur sebuah pendidikan tinggi membuat pernyataan berikut ini:
“Mahasiswa bukan merupakan customer kami. Mereka datang ke sekolah kami
karena mereka membutuhkan pendidikan yang baik dari kami. Customer kami
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 92

adalah pemakai lulusan, bukan mahasiswa.” Setujukah Saudara dengan pernyataan


direktur tersebut? Jelaskan jawaban Saudara.
13. “Customer bukan orang yang menjadi tumpahan bantahan kita. Tidak ada orang
yang memenangkan perbantahan dengan customer.”
a. Setujukah Saudara dengan pernyataan tersebut?
b. Troubled customer adalah julukan yang diberikan kepada customer yang sangat
sulit layanannya. Meskipun demikian, bagi produser yang memiliki customer
value mindset, customer tersebut malahan sangat disambut kedatangannya.
Bahkan tidak jarang untuk melayani troubled customer, produser harus
mengeluarkan biaya ekstra. Jelaskan mengapa demikian?
14. Upaya-upaya apakah yang seringkali ditempuh oleh manajemen untuk meningkatkan
kedekatan perusahaannya dengan customer akhir?
15. “Kami menjual apa yang kami buat” demikianlah ungkapan yang seringkali kita
dengar dari produser.
a. Paradigma apa yang mendasari pernyataan tersebut?
b. Apakah paradigma tersebut masih pas dengan lingkungan bisnis global sekarang
ini? Jelaskan jawaban Saudara.
16. “Kami membuat apa yang dibutuhkan oleh customer” demikianlah ungkapan yang
dibuat oleh produser yang membawa perusahaannya memasuki lingkungan bisnis
global.
a. Paradigma apa yang mendasari pernyataan tersebut?
b. Apakah paradigma tersebut pas dengan lingkungan bisnis global sekarang ini?
Jelaskan jawaban Saudara.
17. Paradigma customer value mengubah pandangan produser terhadap kualitas produk.
Setujukah Saudara dengan pernyataan ini? Jelaskan jawaban Saudara.
18. Keyakinan dasar apa saja untuk mewujudkan paradigma customer value? Jelaskan
setiap keyakinan dasar yang Saudara sebutkan.
19. Nilai dasar apa saja untuk mewujudkan paradigma customer value? Jelaskan setiap
nilai dasar yang Saudara sebutkan .
20. Jelaskan perwujudan customer value mindset ke dalam struktur SPPM.
21. Jelaskan perwujudan customer value mindset ke dalam proses SPPM.

ENDNOTES
i
Peter F. Drucker, The Essential Drucker (New York: HarperCollins Publisher, 2001), p.20.
ii
Peter Capezio dan Debra Morehouse, Taking the Mystery Out of TQM: Practical Guide to Total Quality Management
(Franklin Lakes: Career Press Inc, 1995), p. 38.
iii
Peter Capezio dan Debra Morehouse, p. 53.
iv
Greg Bounds et. al., Beyond Total Quality Management: Toward The New Emerging Paradigm (New York:
McGraw-Hill, Inc., 1994), p. 175.
v
Bounds et. al., p. 186.
vi
Bounds, et. al., p. 256.
vii
Neil H. Snyder, James D. Dowd, Jr., Dianne Morse Houghton. Vision, Values, and Courage: Leadership for Quality
Management (New York: The Free Press, 1994), pp. 156-167.
viii
Snyder, p. 167-169.
ix
Peter Wright, Charles D. Pringle, dan Mark J. Kroll, pp. 72-80.

Anda mungkin juga menyukai