PEMEGANG SAHAM
(SHAREHOLDERS) CUSTOMER
Cost of Capital
Pendapatan
(Dividen)
(4) (3) Produk dan
Investasi
Jasa
(1) (2)
PERSONEL
PERUSAHAAN Biaya
Investasi hanya
dilakukan oleh
pemegang saham jika
bisnis perusahaan Pemangku kepentingan
menjanjikan profitable yang menjadikan
customers perusahaan sebagai
wealth-creating institution
Gambar 4.1 Peran Pemangku Kepentingan Utama Perusahaan
Pemegang saham hanya akan bersedia untuk menginvestasikan dana mereka ke suatu
perusahaan jika personel perusahaan menjanjikan adanya profitable customer. Dua
pemangku kepentingan lain—pemegang saham dan personel perusahaan—hanya akan
berada dalam suatu perusahaan karena adanya customer yang mengonsumsi produk dan
jasa yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Tanpa customer, suatu
perusahaan tidak akan layak secara ekonomis untuk menerima investasi dari pemegang
saham, dan tanpa investasi yang dilakukan oleh pemegang saham, tidak akan ada
perusahaan sebagai entitas bisnis, dan pada gilirannya tidak ada alasan bagi personel
untuk bekerja di situ. Oleh karena di antara pemangku kepentingan utama perusahaan
tersebut, customer merupakan pemangku kepentingan yang menjadi penyebab
kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan, manajemen kontemporer
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 76
Di dalam manajemen tradisional, produser produk dan jasa berpandangan bahwa
kelangsungan hidup dan perkembangan organisasinya ditentukan oleh kemampuan
organisasi tersebut di dalam memproduksi dan menyediakan produk dan jasa, terlepas
dari apakah produk dan jasa tersebut menghasilkan manfaat bagi customer atau tidak.
Oleh karena itu, di masa lalu seringkali kita dengar ungkapan: “Kami menjual apa yang
dapat kami buat (we sell what we produce).” Produser berangkat memasuki bisnis dengan
mengajukan pertanyaan: “Apa yang akan kami jual (what do we want to sell)?
Di dalam manajemen kontemporer, paradigma customer value strategy memandang
bahwa suatu organisasi akan dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan memiliki
kesempatan untuk bertumbuh, jika organisasi tersebut mampu memproduksi dan
menyediakan produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customer. Ungkapan yang
dipakai berubah menjadi: “Kami membuat apa yang dibutuhkan oleh customer.”
Produser berangkat memasuki bisnis dengan mengajukan pertanyaan: “Apa yang ingin
dibeli oleh customer (what does the customer want to buy)? Kepuasan yang dicari,
dinilai, dan dibutuhkan oleh customer itu lah yang harus diproduksi dan disediakan oleh
produser. Itu lah sebabnya hakikat tugas utama pemasaran bukan untuk menjual apa yang
diproduksi dan disediakan oleh perusahaan, namun mengetahui dan memahami customer
sedemikian rupa sehingga produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan pas dengan
kepuasan yang dicari, dinilai, dan dibutuhkan oleh customer.
Di dalam lingkungan bisnis yang di dalamnya customer memegang kendali bisnis,
paradigma customer value strategy memfokuskan semua sumber daya yang dikuasai oleh
organisasi untuk menghasilkan value untuk memenuhi kebutuhan customer. Paradigma
customer value membangkitkan kegairahan di dalam diri personel organisasi untuk
menghasilkan manfaat dalam keseluruhan proses pemanfaatan produk oleh customer,
yang lebih besar daripada pengorbanan yang dilakukan oleh customer di dalam
memperoleh manfaat tersebut.
Paradigma customer value strategy mengarahkan semua proses bisnis dan organisasi
untuk menghasilkan value bagi customers. Customer value strategy mengubah arah
perhatian manajer, dari fokus untuk memuasi kepentingan diri sendiri, berbalik menuju
ke pemuasan kebutuhan customer. Dengan demikian, dalam setiap tahap proses
manajemen, kegiatan ditujukan untuk menghasilkan value bagi customer. Proses
manajemen yang berhasil adalah proses yang mampu menghasilkan satisfied customer.
Di dalam lingkungan bisnis yang di dalamnya customer memegang kendali bisnis,
organisasi akan berhasil sebagai wealth creating institution bila:
1. Mendesain produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customer.
2. Memproduksi produk dan jasa tersebut serta mendistribusikannya ke customer
dengan proses operasi yang cost effective.
3. Memasarkan dan menjual produk dan jasa tersebut secara efektif kepada customer.
Jika kita perhatikan ketiga syarat untuk menjadikan perusahaan sukses sebagai
wealth creating institution tersebut di atas, tidak satu pun syarat yang tidak berkaitan
dengan customer. Pada langkah pertama untuk menciptakan kekayaan, organisasi harus
mendesain produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customer. Dengan demikian
kebutuhan, keinginan, dan harapan customer-lah yang menjadi dasar desain produk yang
dibuat oleh perusahaan. Pada langkah selanjutnya, produk dan jasa yang telah didesain
tersebut kemudian harus diproduksi dan didistribusikan kepada customer secara cost
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 78
effective—suatu proses produksi dan proses distribusi yang hanya mengkonsumsi biaya
untuk aktivitas penambah nilai (value-added activities) bagi customer. Dengan demikian,
keberhasilan organisasi ditentukan oleh kemampuannya untuk menghilangkan aktivitas
bukan penambah nilai (non-value-added activities) dalam kegiatan memproduksi dan
mendistribusikan produk kepada customer. Pada tahap akhir kegiatan penciptaan
kekayaan, organisasi harus mampu secara efektif memasarkan produk dan jasa kepada
customer. Dengan demikian, penggeseran paradigma ke customer value, akan
memberikan jaminan bagi organisasi perusahaan untuk berhasil sebagai institusi pencipta
kekayaan.
KESELURUHAN PROSES PEMANFAATAN PRODUK
Paradigma customer value mengubah pandangan produser terhadap kualitas produk. Di
masa lalu kualitas produk hanya dipandang sebagai kesesuaian antara spesifikasi produk
yang dihasilkan dengan spesifikasi yang direncanakan, sehingga kualitas produk hanya
diinspeksi secara fisik pada atribut yang melekat dalam produk. Oleh karena itu, di masa
lalu, produser melakukan trade-off di antara kualitas, biaya, dan jadwal waktu. Jika
diinginkan kualitas produk meningkat, biaya juga ikut meningkat dan dengan jadwal
waktu penyerahan lebih lama.
Dengan paradigma customer value, kualitas produk hanya merupakan satu di antara
komponen customer value, dan produser mencari sinergi di antara kualitas, biaya, dan
jadwal waktu. Peningkatan kualitas produk dicapai dengan mengurangi kesalahan dalam
proses produksi, sehingga menurunkan biaya, dan jadwal waktu penyerahan produk yang
direncanakan dapat ditepati. Kualitas tidak hanya dibatasi pada atribut yang melekat
dalam produk, namun jauh lebih luas dari itu, mencakup semua aspek organisasi
perusahaan, bahkan meluas ke organisasi pemasok dan organisasi mitra bisnis.
Berdasarkan paradigma baru ini, kualitas harus dikelola melalui proses dan sistem, tidak
hanya diinspeksi ke dalam produk.
Customer value dihasilkan oleh produser pada setiap tahap proses pemanfaatan
produk oleh customer. Secara keseluruhan, proses pemanfaatan produk oleh customer
dilaksanakan melalui proses: find, acquire, transport, store, use, dispose of, dan stop
(disingkat FATSUDS).v
Proses pemanfaatan produk dimulai dari usaha untuk mencari (find) produk yang
dibutuhkan oleh customer. Produk dapat dicari melalui kehadiran customer secara fisik di
pasar (marketplace) atau melalui teknologi informasi (cyberspace). Pada tahap pencarian
ini, customer berusaha untuk mendapatkan informasi tentang produk yang memenuhi
kebutuhan, keinginan, dan harapannya. Tahap pencarian ini merupakan tahap krusial,
karena tahap-tahap berikutnya tidak akan terwujud jika pada tahap awal ini customer
tidak memperoleh informasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan
paradigma customer value, produser memandang usaha dan cara untuk memudahkan
customer dalam pencarian produk yang dihasilkan, bukan berdasar pertimbangan manfaat
dan pengorbanan dari sudut produser, namun berdasar manfaat dan pengorbanan dari
sudut customer.
Setelah produk ditemukan, tahap berikutnya adalah pemerolehan (acquire). Minat
untuk membeli, yang telah dipicu melalui tahap pertama, kemudian dilanjutkan dengan
usaha untuk memperoleh produk yang dibutuhkan oleh customer. Proses pemerolehan
produk oleh customer terdiri dari tiga proses berikut ini: (1) pemesanan, (2) penerimaan
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 79
barang, (3) pembayaran. Ketiga proses tersebut dilayani oleh produser melalui prosedur
order penjualan, prosedur pengiriman barang, dan prosedur penagihan (billing
procedure). Produser yang menggunakan paradigma customer value berusaha keras dan
smart agar ketiga prosedur yang digunakan untuk melayani customer dalam pemerolehan
produk tersebut menghasilkan manfaat lebih besar bagi customer dibandingkan dengan
pengorbanan yang dilakukan oleh customer.
Di samping mengusahakan manfaat yang diperoleh customer dalam tahap
pemerolehan produk lebih besar dari pengorbanan yang dilakukan dalam mendapatkan
manfaat tersebut, berdasarkan paradigma customer value, produser perlu membangun
hubungan berkualitas (quality relationship) dengan customer, sehingga customer menjadi
repeat buyer melalui kemudahan yang didapat dalam proses pemerolehan produk yang
dibutuhkan. Hubungan berkualitas juga dapat dibangun oleh produser dengan mitra
bisnisnya untuk menyediakan produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customer.
Sebagai contoh, sebuah rumah sakit menjalin hubungan kemitraan dengan perusahaan
asuransi yang menyelenggarakan asuransi kesehatan melalui billing system yang
berkaitan dengan biaya rawat inap pasien. Pasien yang memiliki polis asuransi kesehatan
memperoleh kemudahan di dalam pembayaran biaya rawat inapnya melalui billing
system yang dirancang oleh rumah sakit tersebut untuk menagih klaim asuransi kesehatan
ke perusahaan asuransi mitra bisnis rumah sakit tersebut.
Setelah produk dibeli, umumnya produk memerlukan transportasi untuk
memindahkannya dari gudang produser ke lokasi pemakaian oleh customer. Faktor
sekuriti dan ketepatan waktu pengangkutan merupakan manfaat yang biasanya diperlukan
oleh customer. Produser yang menggunakan paradigma customer value akan
menawarkan berbagai manfaat yang dapat diperoleh customer di dalam mengatasi
masalah transportasi produk yang telah dibelinya. Kerja sama kemitraan dengan
perusahaan asuransi dan transportasi merupakan usaha yang dapat ditempuh oleh
produser di dalam menyediakan jasa bagi customer pada tahap transportasi ini.
Kadangkala produk yang dibeli oleh customer memerlukan penyimpanan sebelum
produk tersebut dikonsumsi oleh customer. Untuk menyediakan manfaat bagi customer
pada tahap penyimpanan ini, produser dapat menyediakan pengepakan (packing) untuk
menjaga kualitas dan kuantitas produk selama proses penyimpanan, atau memberikan
kode yang mudah diidentifikasi selama proses penyimpanan (misalnya dengan
mencantumkan label masa kadaluwarsa atau informasi penting lain yang bermanfaat bagi
customer. Produser yang menggunakan paradigma customer value akan berusaha untuk
memberikan manfaat bagi customer selama proses penyimpanan produk yang telah dibeli
oleh customer. Produser yang tidak memiliki paradigma customer value, akan
menghentikan kepeduliannya terhadap customer, begitu produk lepas dari gudangnya.
Tahap pemakaian adalah tahap inti suatu produk memberikan manfaat sesungguhnya
bagi customer. Semua tahap sebelumnya akan tidak ada artinya jika pada tahap
pemakaian, customer menjumpai ketidakpuasan signifikan. Pada tahap ini customer
memanfaatkan berbagai atribut yang melekat pada produk untuk memenuhi
kebutuhannya. Produser yang memiliki paradigma customer value tidak menghentikan
usahanya dalam memberikan layanan kepada customer pada saat transaksi penjualan
produk telah selesai, namun senantiasa mendengarkan suara customer di dalam proses
pemakaian ini.
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 80
Kebutuhan
Customer
Desain dan
Proses Customer Kepuasan
Produksi
PemanfaatanValue Customer
Atribut
Produk
Gambar 4.2 Customer Value sebagai Hasil Proses Pemanfaatan Atribut Produk oleh
Customer
FIND
ACQUIRE
Easy To Do
Business With
TRANSPORT
STORE
To Be A Provider of
USE More Value-Added Vendor-Managed Solution to Your
Inventory Next Process
DISPOSE OF
Easy To Do
Business With
STOP
Gambar 4.3 Usaha Untuk Memberikan More Value Added bagi Customer pada Setiap
Tahap Pemanfaatan Secara Menyeluruh Produk dan Jasa
Tampak Luar
SPPM
Keyakinan Dasar
(1) bisnis merupakan suatu mata
rantai yang menghubungkan
pemasok dengan customer, (2) Customer
customer merupakan tujuan Value Mindset
pekerjaan, (3) sukses merupakan
hasil penilaian terhadap suara
customer
Nilai Dasar
(1) integritas, (2) kerendahan hati,
dan (3) kesediaan untuk melayani.
berkualitas inilah yang akan menjamin perusahaan mampu menyediakan produk dan jasa
berkualitas secara konsisten kepada customer.
Customer merupakan tujuan pekerjaan. Paradigma customer value juga perlu
diwujudkan dengan keyakinan dasar yang kuat bahwa “customer merupakan tujuan
pekerjaan.” Satu-satunya alasan perusahaan tetap berada dalam bisnis adalah karena
customer. Tanpa customer, terlepas dari bagaimanapun keunggulan kualitas produk dan
jasa yang dihasilkan oleh perusahaan dan dari bagaimanapun efisiennya operasi
perusahaan dalam menghasilkan produk dan jasa tersebut, kelangsungan hidup
perusahaan akan tidak terjamin. Oleh karena itu, keyakinan dasar yang perlu ditanamkan
kepada semua personel perusahaan adalah bahwa bukan boss dan bukan diri sendiri yang
menjadi tujuan pekerjaan setiap personel, namun “customer merupakan tujuan
pekerjaan.” The only reason we are in business is our customer.
Sukses merupakan hasil penilaian terhadap suara customer. Paradigma customer
value juga harus diwujudkan dalam keyakinan dasar yang kuat bahwa “sukses merupakan
hasil penilaian terhadap suara customer.” Dengan menyadari bahwa customer merupakan
tujuan setiap pekerjaan, maka keyakinan dasar lain yang harus ditanamkan dalam diri
personel perusahaan adalah suara customer selalu benar, oleh karena itu sukses dalam
bisnis ditentukan oleh kemampuan personel dalam mendengarkan suara customer. Ada
kemungkinan, suara customer mencerminkan persepsi salah mereka terhadap pekerjaan
personel. Dalam kondisi ini pun, yang benar tetap suara customer. Dengan keyakinan
dasar bahwa suara customer selalu benar akan menghasilkan sikap ”mengapa pekerjaan
personel menghasilkan persepsi salah di pihak customer.” Tentu ada ketidakberesan
dalam sistem yang digunakan untuk melayani customer yang mengakibatkan salah
persepsi oleh customer.
Nilai Dasar untuk Mewujudkan Paradigma Customer Value
Untuk mewujudkan paradigma customer value, perlu ditanamkan personal values yang
cocok dengan paradigma tersebut: (1) integritas, (2) kerendahan hati, dan (3) kesediaan
untuk melayani.viii
Integritas. Integritas adalah kemampuan seseorang untuk mewujudkan apa yang telah
dikatakan menjadi suatu realitas, dalam situasi apa pun. Orang yang tidak berintegritas
hanya mampu mewujudkan apa yang telah dikatakan, terbatas yang dipandang
menguntungkan bagi dirinya. Character is what we are in the dark. Jika personel suatu
perusahaan telah menjanjikan sesuatu kepada customer, dan meskipun untuk
merealisasikan komitmen kepada customer tersebut, perusahaan harus mengorbankan
sumber daya tertentu, dan personel tersebut tetap teguh dengan komitmen yang telah
dijanjikan kepada customer, terlepas dari sumber daya yang harus dikorbankan, maka
personel tersebut menjunjung tinggi integritas dalam memenuhi komitmennya kepada
customer. Customer akan memilih berhubungan dengan organisasi yang personelnya
menjunjung tinggi integritas, karena hanya orang yang berintegritas pantas dijadikan
partner dalam bisnis.
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 85
Kesediaan untuk melayani. Jika diyakini bahwa fokus usaha perusahaan adalah
customer—karena tanpa customer tidak ada alasan yang menopang keberadaan suatu
organisasi—maka salah satu personal values yang perlu dimiliki oleh setiap anggota
organisasi adalah kesediaan untuk melayani. Kesediaan untuk melayani merupakan
tindakan yang terpuji dalam berhubungan dengan customer. Jika setiap anggota
organisasi ringan hati untuk memberikan layanan kepada customer—dalam kondisi apa
pun—maka customer akan merasa dipedulikan oleh organisasi, dan kepedulian terhadap
customer ini yang mengikat customer dengan organisasi.
Kerendahan hati. Personal value “kesediaan untuk melayani” customer hanya dapat
tercipta jika setiap anggota organisasi memiliki personal value “kerendahan hati.”
Kerendahan hati merupakan sikap mental yang mampu menerima seseorang atau sesuatu.
Kerendahan hati ini menjadikan orang menempatkan diri pada posisi mampu menerima
setiap kelainan dalam berhubungan dengan customer. Setiap orang akan dengan senang
hati menerima suatu kondisi yang sesuai dengan harapannya. Namun, tidak setiap orang
mampu menerima suatu kondisi hubungan yang tidak berkenan di hatinya dengan
customer. Hanya orang yang memiliki kerendahan hati mampu secara objektif
memandang setiap kelainan yang terjadi dalam dirinya sebagaimana adanya. Jika setiap
anggota organisasi memiliki keyakinan dasar bahwa suara customer selalu benar, maka
hanya orang yang menghargai “kerendahan hati” yang mampu mewujudkan keyakinan
dasar tersebut.
PERWUJUDAN CUSTOMER VALUE MINDSET KE DALAM SPPM
SPPM dibangun berdasarkan mindset tertentu. SPPM yang pas dengan lingkungan bisnis
global harus dibangun berlandaskan pada berbagai mindset yang pas dengan lingkungan
tersebut.
Customer value mindset berdampak besar terhadap SPPM. Struktur SPPM
difokuskan ke customer. Proses SPPM juga difokuskan untuk memuasi kebutuhan
customers. Berikut ini disajikan beberapa contoh perwujudan customer value mindset ke
dalam SPPM.
Perwujudan Customer Value Mindset Ke Dalam
Struktur SPPM
Struktur SPPM terdiri dari tiga komponen: struktur organisasi, jejaring informasi, dan
sistem penghargaan. Customer value mindset diwujudkan ke dalam tiga komponen
struktur SPPM berikut ini: (1) struktur organisasi difokuskan ke layanan kepada
customer, (2) jejaring informasi difokuskan untuk menyediakan layanan bagi customer,
(3) sistem penghargaan karyawan didasarkan pada kinerja organisasi dalam memuasi
kebutuhan customer.
Struktur organisasi difokuskan ke layanan kepada customer. Di dalam manajemen
tradisional, struktur organisasi dipandang sebagai satu rangkaian kotak-kotak fungsional
(a set of functional boxes) yang dibangun untuk mewujudkan tujuan organisasi. Kotak-
kotak fungsional ini berisi para spesialis yang memiliki kompetensi khusus tertentu
(seperti pemasaran, produksi, engineering, logistik, keuangan, akuntansi, sumber daya
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 86
kepentingan customer. Di dalam hard automation era, untuk menghasilkan produk dan
jasa, terdapat keterpisahan antara tenaga kerja dengan alat produksi yang digunakan
untuk menghasilkan produk dan jasa. Pencapaian tujuan perusahaan dan perilaku
karyawan dalam mewujudkan tujuan tersebut dikendalikan melalui penunjukan
supervisor yang bertanggung jawab atas pengawasan kinerja tenaga kerja.
Di dalam smart technology era, smart technology hanya dapat produktif jika
dijalankan oleh knowledge workers. Dalam era ini, produk dan jasa dihasilkan oleh
knowledge yang diterapkan oleh knowledge workers melalui smart technology. Antara
alat produksi (knowledge) dengan sumber daya manusia tidak terpisah. Pengawasan
melalui penunjukan supervisor tidak lagi efektif dalam lingkungan kerja yang secara
ekstensif memanfaatkan teknologi informasi, karena di depan monitor komputer, tidak
mungkin dibedakan antara karyawan yang sedang melamun dari karyawan yang berpikir
keras merumuskan strategi perusahaan. Tugas manajer dalam smart technology ini
bergeser menjadi: “bertanggung jawab atas penerapan dan kinerja pengetahuan.”
Penerapan pengetahuan berkaitan dengan peran manajer dalam the application of
knowledge to knowledge, dan kinerja pengetahuan berkaitan dengan peran manajer untuk
menjadikan knowledge yang dimiliki oleh knowledge workers produktif. Dengan
demikian manajer dalam smart technology era ini tidak hanya bertanggung jawab untuk
melipatgandakan keuangan aktiva (tangible maupun intangible assets), namun ditambah
tugas yang dituntut oleh lingkungan smart technology: “melipatgandakan kemampuan
human assets dalam memanfaatkan pengetahuan mereka untuk menghasilkan produk dan
jasa yang memuaskan kebutuhan customer.” Sistem penghargaan berbasis kinerja
merupakan alat utama untuk mewujudkan tugas baru tersebut. Uraian lebih lanjut tentang
sistem penghargaan berbasis kinerja ini disajikan dalam tiga bab: (1) Bab 16 Balanced
Scorecard: Konsep, Evolusi Perkembangan, dan Dampaknya terhadap Desain SPPM, (2)
Bab 17 Sistem Penghargaan Berbasis Kinerja dan (3) Bab 18 Pergeseran Pengukuran
Kinerja ke Cost Effectiveness.
beberapa tipe: broad low cost, broad differentiation, focused low-cost, focused
differentiation. Generic strategy ini umumnya diterapkan sebagai strategi unit bisnis
(business unit strategy).
Customer value mindset mengubah orientasi strategi perusahaan, dari usaha untuk
mengalahkan pesaing ke usaha untuk menghasilkan value terbaik bagi customer. Value
based strategy merupakan strategi yang dirumuskan oleh perusahaan berlandaskan
customer value mindset. Uraian lebih lanjut tentang perumusan strategi ini disajikan
dalam Bab 20 Sistem Perumusan Strategi.
Penyusunan strategic plan yang komprehensif. Di dalam manajemen tradisional,
penyusunan rencana strategik menghasilkan sasaran-sasaran strategik (strategic
objectives) yang berfokus ke perspektif keuangan. Dengan demikian strategic initiatives
yang dipilih untuk mewujudkan strategic objectives menjadi sempit lingkupnya.
Penyusunan rencana strategik dengan cara ini tidak memacu manajemen mencari sasaran-
sasaran strategik yang bersifat jangka panjang seperti: pembangunan trust-based
relationship dengan customer, pembangunan kemitraan usaha dengan para pemasok,
pendesainan sistem informasi manajemen yang memuaskan kebutuhan customer,
pengembangan modal manusia.
Berdasarkan customer value mindset, rencana strategik perlu disusun dengan
mencakup empat perspektif: keuangan, customer, proses, serta pembelajaran dan
pertumbuhan. Penyusunan rencana strategik berdasarkan customer value mindset ini
menghasilkan sasaran strategik (strategic objectives) yang mencakup empat perspektif
tersebut, sehingga inisiatif strategik (strategic initiatives) yang dipilih untuk mewujudkan
sasaran-sasaran strategik tersebut cukup komprehensif. Uraian lebih lanjut tentang
penyusunan rencana strategik yang komprehensif ini disajikan dalam Bab 22 Sistem
Perencanaan Strategik dengan Rerangka Balanced Scorecard.
Penyusunan anggaran berbasis aktivitas (activity-based budgeting). Di dalam
manajemen tradisional, anggaran disusun berdasarkan pendekatan fungsional, karena
organisasi yang dikenal pada waktu itu adalah organisasi fungsional hirarkhis. Dengan
demikian proses penyusunan anggaran lebih berorientasi untuk mencapai tujuan-tujuan
fungsional, bukan tujuan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, proses
penyusunan anggaran dalam manajemen tradisional dikenal dengan nama functional-
based budgeting.
Berdasarkan customer value mindset, organisasi didesain berdasarkan sistem yang
digunakan untuk menghasilkan value bagi customer. Oleh karena organisasi didesain
menurut sistem yang digunakan untuk menghasilkan value bagi customer, dan sistem ini
terdiri dari proses dan proses terdiri dari berbagai aktivitas, maka penyusunan anggaran
didasarkan pada aktivitas yang membentuk sistem. Penyusunan anggaran dengan cara ini
dikenal dengan nama activity-based budgeting. Uraian lebih lanjut tentang penyusunan
anggaran berbasis aktivitas ini disajikan dalam Bab 24 Activity-Based Budgeting
Pengimplementasian rencana dengan activity-based management. Oleh karena dalam
manajemen tradisional anggaran disusun menurut fungsi, maka pengimplementasian
anggaran juga didasarkan pada pengelolaan atas fungsi-fungsi yang dibentuk dalam
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 89
puncak sampai dengan personel yang paling rendah tingkatannya perlu melakukan
updating terhadap mindset mereka.
Dalam bab ini diuraikan pergeseran ke customer value mindset dan dampaknya
terhadap konsep produk, kepuasan customer, dan SPPM. Konsep produk yang
sebelumnya hanya terbatas pada pengertian fisiknya, dengan customer value mindset,
konsep produk berubah sebagai suatu ikat jasa yang memiliki potensi untuk
menghasilkan value bagi customer. Jika di masa lalu produser mengira bahwa atribut
produk dengan sendirinya akan mampu memuasi kebutuhan customer, dengan customer
value mindset, hanya dengan melalui proses pemanfaatan (use process) atribut produk
dapat menghasilkan value bagi customer. Jika di masa lalu produser yakin bahwa hanya
melalui organisasi perusahaannya kepuasan customer dapat dipenuhinya sendiri, dengan
perubahan konsep produk, kepuasan customer, dan customer value mindset, produser
memerlukan kerja sama kemitraan dengan para pemasok dan mitra bisnisnya untuk
menjadikan perusahaannya mampu berkontribusi melalui core competency-nya dalam
menghasilkan value bagi customer.
Butir-butir penting yang berkaitan dengan customer value adalah:
1. Customer value merupakan kombinasi manfaat dan pengorbanan sebagai hasil
pemakaian produk atau jasa oleh customer dan dilipatgandakan oleh kualitas
hubungan yang dibangun oleh perusahaan dengan pemasok dan mitra bisnisnya serta
dengan customer.
2. Tingkat customer value ditentukan oleh tingkat kesesuaian antara karakteristik dan
atribut produk serta jasa dengan kebutuhan customer.
3. Manajer harus secara cermat mengidentifikasi customer mereka untuk menentukan
value produk dan jasa yang dihasilkan.
4. Manajer dapat memahami lebih baik konsep customer value dan membuat keputusan
lebih baik jika mereka memahami proses customer memperoleh value.
5. Proses customer value mencakup pengakuan kebutuhan, pencarian informasi,
pengalaman dan penggunaan, persepsi, dan pembentukan sikap.
6. Kadang-kadang proses penilaian customer dilaksanakan secara ekstensif dan melalui
pemikiran mendalam. Di lain waktu, proses tersebut dilaksanakan secara cepat dan
melalui kebiasaan.
7. Manajer meningkatkan keputusan strategik mereka jika mereka mempertimbangkan
konsep customer value dan mengidentifikasi secara jelas customer mereka berikut
customer value-nya masing-masing.
Kultur organisasi yang berorientasi ke customer value adalah sulit untuk dibangun,
namun tidak berarti tidak mungkin dibangun. Customer value mindset dapat dibangun
melalui usaha bersistem. Melalui pendidikan dan pengalaman, manajemen puncak dapat
menanamkan customer value mindset ke dalam diri seluruh personel perusahaan.
Manajemen puncak dapat mengkomunikasikan customer value mindset melalui personal
behavior dan operational behavior. Melalui pengkomunikasian tidak kenal lelah
customer value mindset kepada seluruh personel perusahaan, proses internalisasi akan
berangsur terjadi dan mindset tersebut dapat tumbuh di dalam diri sebagian besar
personel perusahaan.
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 91
PERTANYAAN
1. Jelaskan empat penyebab terjadinya perubahan radikal dalam lingkungan bisnis,
yang memerlukan penggeseran mindset ke customer value mindset.
2. “Menurut pandangan saya, customer adalah orang atau organisasi yang membeli
produk yang saya hasilkan” demikianlah pernyataan seorang direktur perusahaan
sepatu.
a. Setujukah Saudara dengan pandangan direktur tersebut? Jelaskan jawaban
Saudara.
b. Apakah dampaknya terhadap pengelolaan perusahaan jika seorang direktur
memiliki pandangan terhadap customer seperti itu?
3. Siapakah customer itu? Jelaskan beda pengertian customer dengan pelanggan dan
konsumen.
4. Di antara berbagai pemangku kepentingan perusahaan, customer merupakan
pemangku kepentingan yang seharusnya ditempatkan pada peringkat pertama.
Setujukah Saudara dengan pernyataan tersebut? Jelaskan jawaban Saudara.
5. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan bertumbuh, perusahaan
sekarang perlu menanamkan customer value mindset ke dalam diri seluruh
personelnya.
a. Jelaskan konsep customer value.
b. Faktor apakah yang dapat melipatgandakan customer value? Jelaskan mengapa
demikian.
c. Jelaskan paradigma customer value.
6. Kegiatan utama apa yang perlu dilakukan oleh perusahaan untuk menjadikan dirinya
sebagai wealth-creating institution? Jelaskan hubungan antara kegiatan utama
tersebut dengan paradigma customer value.
7. Tanpa personal value “kerendahan hati” mungkin kah suatu perusahaan bertahan dan
bertumbuh dalam lingkungan bisnis global? Jelaskan jawaban Saudara.
8. Paradigma customer value mengubah pandangan produser terhadap kualitas produk.
a. Jelaskan perubahan pandangan produser terhadap kualitas produk.
b. Berdasarkan paradigma customer value, customer membutuhkan value pada
setiap tahap proses pemanfaatan menyeluruh produk. Setujukah Saudara dengan
pernyataan tersebut? Jelaskan jawaban Saudara.
9. Produk pada dasarnya adalah “a bundle of services.”
a. Setujukah Saudara dengan pernyataan tersebut? Jelaskan jawaban Saudara.
b. Apa akibat pandangan bahwa produk pada dasarnya adalah “a bundle of
services?”
10 Mungkinkah organisasi memuasi kebutuhan customer sementara para personelnya
tidak menjunjung tinggi nilai integritas? Jelaskan jawaban Saudara.
11. Mungkinkah perusahaan membangun partnered relationship dengan para
pemasoknya namun personelnya tidak memiliki keyakinan “bisnis merupakan
matarantai yang menghubungkan pemasok dengan customers?” Jelaskan jawaban
Saudara.
12. Seorang direktur sebuah pendidikan tinggi membuat pernyataan berikut ini:
“Mahasiswa bukan merupakan customer kami. Mereka datang ke sekolah kami
karena mereka membutuhkan pendidikan yang baik dari kami. Customer kami
Mulyadi, Universitas Gadjah Mada 92
ENDNOTES
i
Peter F. Drucker, The Essential Drucker (New York: HarperCollins Publisher, 2001), p.20.
ii
Peter Capezio dan Debra Morehouse, Taking the Mystery Out of TQM: Practical Guide to Total Quality Management
(Franklin Lakes: Career Press Inc, 1995), p. 38.
iii
Peter Capezio dan Debra Morehouse, p. 53.
iv
Greg Bounds et. al., Beyond Total Quality Management: Toward The New Emerging Paradigm (New York:
McGraw-Hill, Inc., 1994), p. 175.
v
Bounds et. al., p. 186.
vi
Bounds, et. al., p. 256.
vii
Neil H. Snyder, James D. Dowd, Jr., Dianne Morse Houghton. Vision, Values, and Courage: Leadership for Quality
Management (New York: The Free Press, 1994), pp. 156-167.
viii
Snyder, p. 167-169.
ix
Peter Wright, Charles D. Pringle, dan Mark J. Kroll, pp. 72-80.