Anda di halaman 1dari 13

Hak-Hak Suami

(Sebuah Fenomena yang Mulai Diremehkan Para Istri)


Meningkatnya kasus perceraian perceraian yang terjadi saat ini menyebabkan kita agar selalu
waspada agar hal itu jauh dari kita. Sebagaimana yang sebelumnya sudah pernah dibahas mengenai sebab-
sebab terjadinya perceraian, maka ada baiknya jika kita mengetahui hak=hak suami. Hal ini penting mengingat
hak-hak ini mulai diremehkan oleh para istri dewasa ini. Berikut uraiannya.
Makalah ini dinukil dari kitab "al-Insyirah fi Adab an-Nikah" karya Syeikh Abu Ishak al-Huwaini al-
Atsari. Diterjemahlan secara bebas dan dengan peringkasan pada catatan kaki oleh Retno Ishmah Widiastuti.
Hak-hak seorang suami alas isterinya banyak dan luhur, yang demikian itu karena agungnya hak suami atas
isterinya. Rasululullah telah bersabda:
Seandainya aku diperbolehkan menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, pasti telah
kusuruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya. 1
Ketaatan seorang isteri kepada suaminya adalah sebuah kewajiban, jika ia (isteri) membangkang dan
terus menerus dalam menyelisihi suami, maka ia akan selalu berada dalam murka Allah hingga sang suami
ridha kepadanya.
Dalam hadits Hushain Bin Mihshan, ia berkata bahwa: Bibiku telah bercerita kepadaku seraya
berkata:
"Aku datang kepada Rasululullah karena sebagian kebutuhan, maka beliau berkata: "Siapa ini, apakah
seseorang yang sudah bersuami?" Aku menjawab: "Ya." Beliau berkata: "Bagaimana perlakuanmu
kepadanya?" Dia (Bibiku) menjawab:
"Aku tidak mengabaikannya (artinya aku tidak mengurangi ketaatan kepadanya). Kecuali yang aku tidak
mampu."
Beliau berkata:
"Nah, perhatikanlah bagaimana seharusnya engkau kepadanya, karena sesungguhnya ia
adalah surga dan nerakamu."
Karena perkara tersebut (hak-hak suami, pent) seperti yang telah kami (Abu Ishak al-
Huwaini) sebutkan (betapa agung dan pentingnya, pent) maka kami perlu meringkas
sebagian hak suami atas isterinya, di antaranya:
1. Hendaknya seorang isteri tidak mengurangi ketaatan kepada suaminya, sedangkan asal
ketaatan adalah dalam hal-hal yang ma'ruf (sesuai syar'i). Maka jika suami menyuruh
isterinya untuk melakukan sesuatu yang haram dan yang semisalnya, maka ia (isteri)
harus tidak mau taat (tidak boleh taat, pent) menurut ijma'. Yang demikian itu karena
sabda Rasul.
“Tidaklah ketaatan itu kecuali hanya dalam hal-hal yang ma'ruf. “
Dan juga karena sabda beliau : “Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan
taat pada hal yang ia sukai dan ia benci kecuali jika disuruh untuk melakukan
kemaksiatan. Maka jika disuruh untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban
mendengar dan taat.”
Apabila suami menyuruh isterinya untuk meninggalkan sesuatu dari amalan-
amalan sunnah seperti misalnya puasa dan lain-lain, maka wajib bagi isteri untuk
meninggalkannya (tidak puasa). Jika tidak, maka ia (isteri) berdosa dan puasanya tertolak.
Dan sebab yang demikian itu adalah karena adakalanya suami mempunyai
kebutuhan (biologis) kepadanya (isteri), sedang puasanya (isteri) menjadi penghalang.
Karena itu wajib bagi isteri untuk minta ijin dulu sebelum melakukannya (amalan-amalan
sunnah).
Adapun amalan yang menjadi kewajiban keduanya (suami isteri) maka tidak halal
untuk meninggalkannya hingga seekor unta masuk ke lubang jarum, karena sabda Rasul:
Selain puasa Ramadhan, tidak dihalalkan bagi seorang wanita untuk berpuasa (sunnah)
sedangkan suaminya ada, kecuali dengan ijinnya (suami).
Begitulah aku nasehatkan kepada para suami untuk tidak mempersulit dalam
masalah (pemberian ijin) ini, hendaknya bagi seorang suami untuk ridha dan menerima
apa adanya jika isterinya adalah seorang yang ta'at dan suka beribadah.
Maka hendaknya suami tidak menyulitkan pemberian ijin kepada isteri kecuali jika
benar-benar ada kebutuhan. Dan kepada Allah-lah kita mohon ditunjukkan kebaikan.
2. Hendaknya ketika suami tidak ada, isteri tidak memasukkan ke rumah suaminya, seseorang
yang bukan mahramnya atau seseorang yang tidak disukai suami walaupun ia termasuk
mahramnya. Sabda Rasul :"Janganlah kalian masuk kepada wanita!" Maka berkata seorang
sahabat Anshar: "Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang ipar?" Beliau menjawab:
"Ipar adalah maut“.
Bentuk jamak dari (Al-hamwu) adalah (Ahmaa-u), mereka adalah saudara-saudara dari pihak
suami dan saudara-saudara dari pihak isteri, tetapi yang dimaksudkan (di sini) adalah
saudara-saudara suami. Maka ia (saudara suami) bukan termasuk mahram (bagi isteri).
Namun jika yang dimaksud adalah Bapak suami, maka ia termasuk mahram. Jika demikian
halnya, apalagi orang lain yang bukan mahram! (saudara suami saja tidak halal, apalagi orang
lain yang jelas-jelas bukan mahram). Hal ini dikatakan oleh al-Baghawy dalam "Syarhus-
Sunnah"
Dan juga karena sabdanya :
“Dan sesungguhnya kalian (wahai para suami) mempunyai hak atas mereka (para isteri) yaitu
hendaknya mereka tidak memasukkan ke rumah kalian seseorang yang tidak kalian sukai,
maka jika mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak
menyakitkan. Dan mereka juga punya hak atas kalian yaitu menafkahi mereka dan
memberikan mereka pakaian secara ma'ruf“.
3. Hendaknya isteri tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya, jika ia
berbuat demikian (keluar tanpa ijin) maka ia terus berada dalam kemaksiatan dan
ia Iayak untuk mendapat adzab.
Syaikhul Ibnu Taimiyah berkata; "Tidak dihalalkan bagi isteri untuk keluar dari
rumah suaminya kecuali dengan ijinnya (suami), dan tidak dihalalkan bagi
siapapun untuk mengambilnya (isteri) darinya (suami) dan menahannya dari
suaminya, baik keadaan istri sebagai ibu susu atau bidan atau profesi-profesi lain.
Dan apabila ia keluar dari rumah suaminya tanpa seijinnya maka ia telah berbuat
nusyuz,(durhaka) bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia layak mendapat
adzab.“
Bahkan beliau (Ibnu Taimiyah) berkata: "Jika isteri keluar rumah suami tanpa
seijinnya maka ' tidak ada hak nafkah dan pakaian."
Nabi bersabda yang artinya : Tidak halal bagi seorang wanita untuk berada di
rumah suaminya sedangkan suaminya tidak suka (ridha) dan janganlah ia keluar
rumah dalam keadaan suaminya tidak ridha.
Janganlah mentaati seorangpun di rumah suaminya (selain suaminya), janganlah ia
menjadikan suaminya gusar, janganlah ia menjauhi ranjang suaminya dan janganlah ia
merugikan suaminya walaupun ia (suaminya) lebih dhalim darinya (wanita) sampai (si
isteri) mencari keridhaan suami.
Maka jika suami ridha dan menerimanya, maka itu suatu kenikmatan baginya (wanita).
Allah akan menerima udzur-udzurnya dan akan berserilah wajahnya dan ia tidak berdosa,
tapi jika suami menolak untuk ridha kepadanya maka sungguh ia telah menyampaikan
udzur-udzurnya.
Sekalipun demikian diperbolehkan bagi seorang wanita untuk ikut shalat di masjid,
karena sabda Rasul,
“Jika isteri salah seorang di antara kalian minta ijin untuk ke masjid maka janganlah
melarangnya.”
Dalam hadits di atas ada petunjuk bahwa, keluar (ke masjid) adalah harus dengan ijin
suaminya, kalau suami melarangnya, suami tidak berdosa menurut pendapat terpilih dari
pendapat para pentahqiq. Dan sungguh al-Baihaqi telah berkata: "Itu adalah pendapat
umumnya para utama".
Diperbolehkan bagi wanita untuk keluar ke pasar dan sebagiannya untuk memenuhi
kebutuhannya dengan tetap mempunyai rasa malu yang besar dan harus komitmen
dengan pakaian syar'i dan menjaga anggota badan dari melakukan kemungkaran-
kemungkaran.
Karena hadits 'Aisyah yang berkata:
Telah keluar Saudah bintu Zam'ah pada suatu malam, maka Umar melihatnya dan
mengenalinya, kemudian dia berkata: "Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak
tersembunyi dari kami".
Maka kembalilah Saudah kepada Nabi, kemudian Saudah menceritakan hal itu kepada
Rasulullah, ketika itu beliau berada di rumahku ('Aisyah -red) sedang makan malam dan
di tangan beliau ada tulang, maka turunlah wahyu kepada beliau, yang memberikan
keringanan terhadap masalah itu, Beliau berkata:
"Sungguh Allah mengijinkan kalian (para wanita) untuk keluar memenuhi kebutuhan-
kebutuhan kalian.“
4. Hendaknya istri menjaga harta suaminya, maka ia tidak menggunakannya
tanpa ridha suaminya dan tidak membelanjakannya tanpa sepengetahuan
suaminya, karena sabda Rasulullah, “Janganlah seorang wanita
menginfakkan sesuatupun dari rumah suaminya kecuali dengan ijin
suaminya. Dikatakan: "Wahai Rasulullah, tidak juga makanan?" Rasul
berkata: "Itu adalah. harta kita yang paling utama.“
Beliau juga bersabda:
Jika seorang wanita memberikan sesuatu dari rumah suaminya (dalam
keadaan) perasaan suaminya enak (lapang maka baginya (wanita) pahala
seperti pahala suaminya, baginya kebaikan sebagaimana yang ia niatkan
dan bagi yang memiliki harta (suami) begitu juga (sama-sama mendapat
pahala. -pent.)
5. Hendaknya isteri memberikan pelayanan kepada suami di rumahnya, dan
membantunya untuk mendapatkan rasa hidup yang indah, maka
sesungguhnya hal itu membantunya (suami) untuk bisa mencurahkan
waktu, tenaga dan pikiran untuk melaksanakan kewajibannya. Terlebih lagi
jika ia (suami) sibuk dengan ilmu. Maka isteri shalihah : "Bukanlah bagian
dari dunia melainkan (isteri shalihah itu) adalah yang menjadikanmu
mencurahkan waktu, tenaga dan pikiranmu untuk akhirat"
Sebagaimana dikatakan ad-Darany, sebagaimana terdapat dalam "al-lhya"
(4/699) karangan al-Ghazali. Dan telah lewat hadits yang menguatkan
masalah tersebut.
Khidmah (pelayanan) seorang isteri kepada suaminya adalah wajib menurut
pendapat yang paling rajih (kuat), pendapat selain itu dhaif, tidak bisa
dijadikan hujjah.
Tentang kewajiban isteri memberikan pelayanan kepada suaminya telah
dirajihkan guru kami al-Albani dalam "Adabuz-Zifaf" (180-181)
Bahwa Khidmah (pelayanan/bakti) yang telah disebutkan, wajib dilakukan
secara ma'ruf dalam batas-batas kemampuan isteri. Maka khidmah seorang
(yang biasa) tinggal di kampung berbeda dengan (yang biasa) tinggal di kota,
dan baktinya seorang yang kuat tidak sama dengan baktinya seorang yang
lemah, sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah.
Dan jika seorang isteri tidak mampu melakukan sesuatu, maka suami tidak
boleh membebani apa yang diluar batas kemampuannya. Sementara jika
suami mampu melakukannya, maka hendaknya ia melakukannya, karena
hadits 'Aisyah yang berkata:
Bahwa Rasul biasa menjahit pakaiannya sendiri, menambal kasutnya
(sandalnya) dan beliau berlaku sebagaimana seorang laki-laki berlaku di
rumahnya.
6. Hendaknya isteri bersyukur (berterima kasih) atas segala kebaikan suami kepadanya dan
janganlah isteri mengingkari kebaikan suaminya, maka sesungguhnya yang demikian itu
akan mendatangkan kebencian dari Allah, karena sabda Rasul,
"Allah tidak mau melihat wanita yang tidak tahu berterima kasih kepada suaminya
sedang ia (wanita) tidak merasa cukup kepadanya (suaminya).
Dan juga karena sabda Rasul,
Diperlihatkan kepadaku neraka, maka sebagian besar penghuninya adalah para wanita
yang kufur. Dikatakan: "Apakah mereka kufur kepada Allah?" Rasul menjawab:
"Mereka kufur terhadap suami mereka dan mereka mengingkari kebaikan suami mereka.
Seandainya engkau berbuat balk kepada salah seorang dari mereka sepanjang masa,
kemudian ia (wanita tersebut) melihat sesuatu (yang tidak disukainya), ia akan berkata:
"Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan padamu."
Hadits ini merupakan peringatan penting bagi para wanita yang beriman kepada Allah
dan bagi wanita yang mengharapkan kampung akhirat. Dalam hal ini ada bukti dari hadits
lain: Penghuni surga yang paling sedikit adalah dari kalangan wanita.
Maka tidak pantas seorang wanita yang mencari keselamatan kemudian menyelisihi
suami kepada yang selain diberikan suami dengan kufur/mengingkari kebaikan suaminya
atau banyak mengeluh karena sebab-sebab yang sangat sepele.
Dan wanita mana saja yang menyakiti suaminya akan dilaknat para Bidadari (Wanita-
wanita surga yang disediakan sebagai isteri-isteri pria beriman -red). Maka ia (wanita)
akan berada di jurang kehancuran jika terus-menerus melakukan perkara yang dilarang
itu. Sesuai dengan sabda Rasulullah :
Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, kecuali berkata isterinya yang dari
bidadari:
"Janganlah kau sakiti dia (suami) -Semoga Allah mencelakakan mu- maka tidak lain dia
(suami) disisimu hanya seorang asing yang sebentar lagi akan meninggalkanmu menuju
kepada kami."
Dan masih ada beberapa hak suami selain ini, aku (Abu Ishak al-Huwaini) tidak ingin
menyebutkannya lagi khawatir terlalu berlarut-larut dan apa yang telah kami sebutkan
telah cukup. Walhamdulillah.

Anda mungkin juga menyukai