Anda di halaman 1dari 2

KASUS 2

Apoteker A memiliki sebuah apotek bernama apotek MD dan bekerja sebagai APJ (Apoteker
Penanggung Jawab) disebuah apotek tersebut yang sekaligus bertindak sebagai PSA. Suatu saat
ia mendapatkan tawaran untuk menjadi penanggung jawab di PBF B dan apt. A menerima
tawaran tersebut tanpa melepas status sebagai APJ diapotek MD dan menjadi penanggung jawab
di PBF B. Untuk mencapai target yang telah ditetapkan oleh PBF B, apoteker A melakukan
kerjasama dengan apotek miliknya untuk mendistribusikan obat ke klinik dan balai pengobatan
serta rumah sakit. Apotek akan mendapat fee dari kerjasama ini sebesar 2% faktur penjualan.
Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur pengiriman, faktur
pajak, tanda terima, SP klinik, balai pengobatan serta RS, pengieiman dari apotekke sarana
tersebut dll). Semua disiapkan dengan rapi sehingga setiap adapemeriksaan BPOM tidak terlihat
adanya penyimpangan secara administrasi. Pelanggaran apa yang dilakukan apoteker tersebut?
Dasarnya apa ? Dan bagaimana solusinya?

Jawaban :

1. Pelanggaran yang dilakukan oleh apoteker tersebut adalah :

Pelanggaran 1 :

Melanggar aturan pasal 5 dalam Permenkes RI No.922/MENKES/PER/X/1993 yang


berbunyi Apoteker Pengelola Apotik tidak bekerja di suatu Perusahaan Farmasi dan tidak boleh
menjadi Apoteker Pengelola apotik di Apotik lain. Kedua, melanggar aturan pasal 18 ayat 1
Permenkes RI No.889/MENKES/PER/V/2011 yang berbunyi SIPA bagi Apoteker
Penanggung Jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu)
tempat fasilitas kefarmasian.

Seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) yang
merupakan tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah resmi teregristasi sebagai salah seorang
tenaga kefarmasian yaitu apoteker. Selain itu, apoteker juga harus memiliki izin Surat Izin
Praktek Apoteker (SIPA) yang diperlukan apabila bekerja di fasilitas kefarmasian yaitu di
apotek. Sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) wajib dimiliki ketika melakukan praktisi di
fasilitas produksi atau distribusi/penyalur kefarmasian.

Dalam kasus ini, Apoteker Atidak hanya sebagai apoteker Penanggung Jawab di Apotek
tetapi juga sebagai Apoteker penanggung jawab di PBF, sehingga tidak hanya memiliki SIPA
tetapi juga memiliki SIKA. Perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hal ini diatur dalam Permenkes No.889 Tahun 2011 pasal 18, bahwa
SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh
memiliki SIPA atau SIKA untuk satu tempat saja.

Pelanggaran 2 :
Melanggar UU No.5 tahun 1999 pasal 14 bagian 8 yang berbunyi Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang
mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam
satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.

Pasal tersebut melarang namanya integrasi vertical, yaitu perbuatan usaha membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai produksi sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan
atau merugikan masyarakat.

Pada kasus ini melibatkan sebuah perjanjian antara apotik dan PBF berupa fee, dimana
apotik dan PBF melakukan distribusi yang berkelanjutan hingga ke klinik, balai pengobatan dan
rumah sakit sebagai akhir dari penjanjian tersebut. Sehingga menimbulkan persaingan usaha
yang tidak sehat, dan akan merugikan masyarkat. Jadi, kesimpulannya bahwa pelanggaran pada
apoteker tersebut adalah tindak pidana berupa integrasi vertikal.

2. Solusi yang dapat kami berikan :

1. Sebagai apoteker harus mengetahui daan mentaati regulasi-regulasi terkait pekerjaan


kefarmasian.
2. Apoteker A harus melepas salah 1 jabatan sebagai apoteker penanggang jawab apotek
atau apoeteker penanggung jawab PBF B.
3. Jika apoteker A tetap ingin menjadi apoteker penanggung jawab di PBF, maka apoteker
A harus mencari pengganti untuk menjadi apoteker penanggung jawab di apotik
4. Berhenti bekerjasama dengan PBF dengan perjanjian fee, karena dapat menimbulakan
persaingan tidak sehat dan merugikan fasilitas kefarmasian yang lain.

Daftar Pustaka

Permenkes RI No. 922 Tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek

Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga
Kefarmasian

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopali dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat

Anda mungkin juga menyukai