Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI III

(ANTILEPRA)

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

AQSALLAM ISMAIL (G70118015)


NUR ASITA (G70118042)
NUR HIDAYAH (G70118070)
FITRI ANGGUN SOLEHAH M (G70118085)
INDAH SYAFIRAH DJUMAAN (G70118136)
FATIMA SITI KHOMAIRAH (G70118138)
SINAR WAHYUNI (G70118141)
ISNAINI SAFITRI KAMBEA (G70118143)
SAMAAL MALLISA (G70118160)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae.Penyakit ini biasanya menyerang kulit dan saraf tepi namun juga
dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan
Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara
garis besar terdapat tiga pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang
lebih ringan), lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ
lain) dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013;
Thorat dan Sharma, 2010). Kusta termasuk penyakit tertua.Kata kusta berasal dari bahasa
India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan gejala-gejala
kulit.Secara umum. Selain lepra, kusta juga dikenal dengan nama Morbus Hansen, sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.Gerhard Armauer Hansen pada tahun
1874.(Sandle, 2013).

Lepra atau morbus Hansen (MH) adalah penyakit yang umum ditemukan di Asia, Afrika,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Lepra dapat menyerang semua usia, dan pada
hampir semua studi prevalensi menunjukkan laki-laki lebih banyak dari pada perempuan.
Prevalensi lepra di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 0,94/10.000 penduduk namun di
Sulawesi Utara masih mencapai 2,15/10.000 penduduk

Prevalensi lepra di Indonesia terbilang cukup banyak oleh sebab itu penting bagi kita untuk
mengetahui mengenai lepra, etiologi lepra, epidemiologi, diagnosis, patofisiologi, cara
penularan, penanganan, tatalaksana serta pencegahan pada lepra.

I.2 Rumusan masalah

1. Apa itu Lepra atau Morbus?


2. Bagaimana etiologi lepra?
3. Bagaimana patofisiologi lepra?
4. Bagaimana cara penularan lepra serta diagnosisnya?
5. Bagaimana tatalaksana pada pasien pengidap lepra?
I.3 Tujuan
1. Mengetahui penjelasan dan defenisis Lepra atau Morbus
2. Mengetahui etiologi lepra
3. Mengetahui patofisiologi lepra
4. Mengetahui cara penularan lepra serta diagnosisnya
5. Mengetahui tatalaksana pada pasien pengidap lepra
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Defenisi Lepra


Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae.Penyakit ini biasanya menyerang kulit dan saraf tepi namun juga
dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan
Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara
garis besar terdapat tiga pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang
lebih ringan), lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ
lain) dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013;
Thorat dan Sharma, 2010). Kusta termasuk penyakit tertua.Kata kusta berasal dari bahasa
India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan gejalagejala
kulit secara umum. Selain lepra, kusta juga dikenal dengan nama Morbus Hansen, sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.Gerhard Armauer Hansen pada tahun
1874.(Sandle, 2013).

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular dan bersifat kronik.Penyakit ini
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat dan terjadi
pada kulit dan saraf tepi.Kuman Mycobacterium leprae pertama kali menyerang pada
syaraf perifer, yang kemudian mengenai kulit dan mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
sistem retikulo endotel penderita, mata, otot, tulang dan testis.

II.2 Epidemiologi

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar ke
seluruh dunia lewat perpindahan penduduk yang disebabkan karena perang, penjajahan,
perdagangan antar benua dan pulau-pulau.Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia
termasuk Indonesia, diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang
India dan China yang datang keIndonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang.Distribusi penyakit di tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri berbeda-
beda.
Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya multi drug therapy (MDT) prevalensi
penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga WHO kemudian
mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai permasalahan kesehatan
masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi penyakit kusta didefinisikan sebagai
penurunan prevalensi penyakit hingga mencapai Berdasarkan data WHO tahun 2015, angka
kejadian kusta terbanyak di India, yaitu sebesar 127.326 kasus baru, ini merupakan 60%
dari seluruh kasus baru di dunia. Peringkat kedua diduduki oleh Brazil sebesar 26.395
kasus dan diikuti Indonesia di peringkat ketiga dengan jumlah kasus 17.202.(WHO, 2016).
Diantara negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus kusta tipe MB terbanyak
yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah kasus kusta baru pada
anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,1%. (WHO, 2015).Berdasarkan laporan Dinas
Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali tahun 2013, ditemukan kasus kusta baru sebanyak 84
kasus (9 kusta tipe pausibasiler dan 75 kusta tipe multibasiler) (Dinkes Bali, 2014). Hingga
saat ini, tercatat 20 dari 34 provinsi yang sudah berhasil eliminasi kusta dan Bali termasuk
provinsi yang telah berhasil mengeliminasi kusta, dengan patokan jumlah prevalensi
kurang dari 1/10.000 penduduk (Kemenkes RI., 2015).
II.3 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang merupakan bakteri tahan
asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, aerob dan
bersifat obligat intraseluler.Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Gerhard Armauer
Hansen pada tahun 1873. (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010).

Mycobacterium leprae merupakan bakteri nonmotil dengan panjang 1-8 mikron dan
diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat. M. leprae hidup dalam
sel terutama jaringan bersuhu dingin dan membelah secara biner. Replikasi memerlukan
waktu 11 hingga 21 hari, tumbuh maksimal pada suhu 270 C hingga 300 C (Eichelmann
dkk., 2013; Sekar, 2010). Kuman ini mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf
(Schwann cell) dan sel sistem retikuloendotelial.Secara mikroskopis, tampak basil yang
bergerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi) yang terletak
intraseluler dan ekstraseluler. Pada pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) akan tampak berwarna
merah yang merupakan basil tahan asam. (Rao dkk., 2012).

Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan
mycolic acid.Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan respon imunitas seluler
maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian luar hingga ke membran sel.
Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate dan
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang
aktif secara serologis.Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat memicu
imunoglobulin. Imunoglobulin (Ig) M ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta
tipe LL. (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou dkk., 2013).

II.4 Patogenesis
Kusta ditandai dengan spektrum klinis yang luas berdasarkan respon imunitas seluler
pejamu.Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang
dimediasi oleh Th1, berupa IFN-γ, IL-2 dan TNFα yang menunjukkan adanya respon
hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae.Hal ini ditandai dengan
terbentuknya granuloma dan dominasi sel T CD4+ dan gambaran klinis berupa gangguan
saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit.Sebaliknya kusta tipe
lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2, berupa IL-4,
IL-5, IL-6 dan IL10 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T
CD8+ serta tidak terbentuk granuloma.Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang
menunjukan pola sistem imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia dkk., 2010; Nath dan
Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).

Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah termasuk Toll-
like receptor (TLR).Toll-like receptor2 membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk
mengenali komponen mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya
(Misch dkk; 2010).Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-capped
lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada
spesies mikobakterium berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada
aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon pejamu.Selain itu, stimulasi makrofag oleh
molekul LAM M. leprae yang telah dimurnikan, menunjukkan penurunan pelepasan IFN γ
oleh makrofag, penurunan proliferasi dan aktivasi sel T. (Hart dan Tapping, 2012).

Sel Schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M. leprae. Kerusakan
saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae maupun melalui respon
imunitas.Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel Schwann melalui ikatan PGL-1
dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang terdapat pada membran sel Schwann.
Laminin binding protein 21 (LBP-21) berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke
intraseluler sel schwann, selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan
demielinisasi saraf perifer diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor
neuregulin, aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP)
kinase (Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst, 2015). Demielinisasi oleh M. leprae akan
memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak
bermielin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta
tipe multibasiler (Renault dan Ernst, 2015).

Diagnosis dini dan monitoring fungsi saraf dapat dibantu dengan pemeriksaan sensibilitas
menggunakan monofilamen yang lebih sensitif dibanding dengan menggunakan kapas dan
jarum pentul.Monofilamen adalah suatu benang nilon yang dapat melengkung elastis saat
diberi tekanan tegak lurus.(Shahiduzzaman, 2011; Chen, 2004). Menurut penelitian oleh
Neto pada tahun 2015 di Brazil pada 400 pasien kusta, didapatkan 93% pasien sedikitnya
memiliki 1 gejala sensoris, dan hipoestesia merupakan gejala tersering. Gejala motoris
dialami 59% penderita, dan penebalan saraf dialami 50,25% penderita. Pada tipe
lepromatosa kerusakan saraf ditandai dengan hilangnya sensibilitas minimal (Neto,
2015).Gejala awal infeksi saraf berupa penurunan sensibilitas raba, nyeri, dan suhu, dapat
disertai gejala awal neuritis yaitu kesemutan, nyeri neuropatik, dan penebalan saraf (Rao,
2010).

Salah satu kekurangan pemeriksaan monofilamen adalah tingginya angka subjektivitas,


untuk itu mulai dikembangkan pemeriksaan elektroneurografi (ENG) yaitu suatu
pemeriksaan untuk menilai kecepatan konduksi saraf sensorik dan motorik. Pemeriksaan
ini berguna dalam mengidentifikasi dan membedakan gangguan mono atau polineuropati,
neuropati aksonal ataupun neuropati demyelinating. Neuropati awal pada kusta ditandai
dengan kerusakan demyelinating, sehingga dengan pemeriksaan ENG dapat
mengkonfirmasi diagnosis neuropati dan mendeteksi saraf yang rusak secara dini sehingga
risiko kecacatan kusta bisa diminimalkan (Reni, 2012).Penelitian yang dilakukan oleh
Tzourio dkk melaporkan bahwa tidak adanya korelasi anatara gejala neurologis dan
pemeriksaan ENG pada pasien kusta.Akan tetapi pada studi tersebut terdapat kelemahan
karena pemeriksaan ENG hanya dilakukan pada beberapa pasien. (Skacel dkk., 2000).
Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga disebabkan karena
pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh
monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan
sitokin proinflamasi dan menginduksi apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang
terpapar secara in vitro terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan
nitric oxide yang merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan
saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf
sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst, 2015). Selain
sel Schwann, makrofag merupakan sel host yang paling banyak berinteraksi pada M.
leprae. Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh reseptor komplemen
CR1(CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18) dan diregulasi oleh protein
kinase (Bath dan Prakash, 2012).

II.4 Tanda dan Gejala kusta

Penyakit kusta sangat ditakuti karena dapat menimbulkan cacat tubuh, tetapi gejalanya
tidak selalu kelihatan.Harus diwaspadai apabila mempunyai luka yang tidak kunjung
sembuh dan tidak sakit ketika ditekan.Tanda gejala tahap awal yang muncul adalah berupa
kelainan warna kulit.Biasanya terjadi hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan
eritematosa.Gejala-gejala yang tampak dari penderita digunakan untuk menegakkan
diagnosa. Menurut WHO, kriteria untuk penegakan diagnosis kusta ada tiga, yaitu :

1. Lesi kulit yang berupa bercak hipopigmentasi atau lesi kulit kemerahan dengan
berkurangnya sensasi berbatas tegas
2. Adanya keterlibatan syaraf perifer, seperti tampak pada penebalan berbatas tegas
dengan hilangnya sensasi.
3. Ditemukan basil tahan asam (BTA) di lapisan kulit.

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari
penyakit tersebut yaitu:

1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/ tubuh manusia.


2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lamalama semakin melebar dan
banyak.
3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus
serta peroneus.
4. Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
5. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit
6. Alis rambut rontok

Untuk gejala-gejala umum yang timbul pada kusta, penderita biasanya merasakan beberapa
reaksi, seperti:
1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2. Anoreksia
3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4. Cephalgia
5. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis
6. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.
7. Neuritis
II.5 Cara Penularan
Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M.leprae.Kusta tipe MB merupakan
sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah bakteri pada kusta tipe
lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram jaringan, sedangkan jumlah basil
pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah, namun semua kasus kusta yang aktif
harus dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial (Eichelmann, 2013; Rao,
2012; Thorat, 2010).

Mekanisme transmisi M.leprae hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti.Saluran
pernafasan terutama hidung merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga inhalasi
melalui droplet merupakan metode transmisi utama (Eichelmann, 2013; Rao, 2012). Faktor
risiko terjadinya kusta antara lain kontak yang erat dan lama, lingkungan padat penduduk,
usia, jenis kelamin, serta ras dan etnis tertentu. (Eichelmann, 2013; Thorat, 2010).

II.6 Diagnosis
Berdasarkan WHO tahun 1997, penyakit kusta didiagnosis berdasarkan adanya 3 tanda
kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila individu memiliki satu atau lebih tanda kardinal
berikut (Kumar dan Dogra, 2010):

Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan gangguan atau hilangnya
sensasi.Makula atau plak hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosa atau berwarna
seperti tembaga.Permukaan dapat kering atau kasar karena hilangnya fungsi kelenjar
keringat, dapat pula mengkilap.Anestesi merupakan hal yang spesifik untuk penyakit
kusta.Pemeriksaan adanya gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu.
(Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).

Keterlibatan saraf tepi berupa penebalan saraf.Saraf yang paling sering terkena adalah
nervus ulnaris dan peroneus komunis.Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu
biasanya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB.Penebalan saraf diketahui dengan
pemeriksaan palpasi.Evaluasi meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau dengan palpasi),
konsistensi (lunak, keras) dan ukuran (membesar, normal atau kecil).(Kumar dan Dogra,
2010; Noto dan Schreuder, 2010).
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam Pemeriksaan hapusan
sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus telinga dan lesi kulit.Pewarnaan
dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen.Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit dapat
ditentukan indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam
menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013; Job dan Ponnaiya,
2010).Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis.

Pemeriksaan histopatologis menunjukkan gambaran granuloma yang khas disertai


keterlibatan saraf.Pada kusta tipe tuberkuloid umumnya ditemukan granuloma epiteloid
disertai infiltrat limfosit, sedangkan pada kusta tipe lepromatosa ditemukan gambaran
granuloma makrofag. Pada kusta tipe borderline akan ditemukan granuloma dengan
proporsi sel epiteloid dan makrofag yang bervariasi (Porichha dan Natrajan; 2010).
Pemeriksaan lainnya berupa titer antibodi PGL-1 dan polymerase chain reaction
(PCR).Pemeriksaan antibodi anti PGL-1 terutama digunakan pada kusta tipe MB
sedangkan pada kasus PB sensitivitas hanya 30- 60%.Pemeriksaan PCR memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi namun memerlukan biaya yang besar dan peralatan
khusus sehingga tidak rutin dilakukan (Eichelmann; 2013).

II.7 Klasifikasi Kusta


Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan, prognosis,
komplikasi, perencanaan operasional, dan untuk identifikasi pasien yang kemungkinan
besar akan menderita cacat. Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi
berdasarkan atas Ridley dan Jopling yang membagi kusta menjadi lima spektrum
berdasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis.

Penyakit kusta menurut para ahli dibedakan menjadi beberapa jenis. Beberapa klasifikasi
tersebut antara lain adalah :
Klasifikasi Internasional menurut Madrid pada tahun 1953:
a) Interdeterminate ( I )
Kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2, pada
pemeriksaan bakteriologis jarang ditemukan hasil yang positif, lesi kulit berbentuk
datar yang mana dapat berupa hipopigmentasi ataupun erythematous, dan pada reaksi
lepromin dapat memberikan hasil positif ataupun negatif.
b) Tuberkuloid ( T ) Terdapat makula atau bercak tipis bulat tidak teratur dengan jumlah
lesi 1 atau beberapa. Permukaan kering, kasar sering dengan penyembuhan di tengah.
Tipe Tuberculoid (T) memberikan hasil negatif pada pemeriksaan bakteriologis, banyak
pada kasus erythematous skin lession, dan positif terhadap lepromin.
c) Bordeline ( B ) Kelainan kulit bercak lebih menebal, tidak teratur dan tersebar.
Beberapa kasus timbul dari bentuk tuberculoid sebagai hasil reaksi ulangan. Tipe
Borderline hampir selalu memberikan hasil positif pada pemeriksaan bakteriologis dan
pada reaksi lepromin umumnya negatif.
d) Lepromatosa ( L ) Kelainan kulit berupa bercak-bercak tebal dan difus, bentuk tidak
jelas, berbentuk bintil-bintil (nodule), makula tipis di seluruh badan dan simetris. Tipe
Lepromatous memberikan hasil positif pada pemeriksaan bakteriologis, infiltrasi pada
lesi kulit dapat dijumpai pada jumlah banyak atau sedikit, dan negatif pada pemeriksaan
terhadap lepromin.

Klasifikasi menurut Ridley-Jopling pada tahun 1962 :

a) Tuberkuloid –tuberkuloid ( TT )
b) Bordeline – tuberkuloid ( BT )
c) Bordeline – bordeline ( BB )
d) Bordeline – lepramatosa ( BL )
e) Lepramatosa – lepramatosa ( LL )
Klasifikasi Kusta menurut WHO
II.8 Tatalaksana Lepra
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health OrganizationMultydrug Therapy (WHO-
MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson untuk penderita lepra tipe MB
serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe PB.Rifampisin ini adalah obat
antilepra yang paling penting dan termasuk dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan
lepra dengan hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan resistensi
obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai
monoterapi dianggap tidak etis.

Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan.
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek terapeutik obat, efek samping
obat, ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan penerapannya.1 Prosedur pemberian
MDT adalah sebagai berikut:

1. MDT untuk lepra tipe MB Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600
mg setiap bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone
100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan dengan
kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap bulan dan 50 mg
setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap hari.
2. MDT untuk lepra tipe PB Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi
rifampisin 600 mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak
diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan
dapsone 50 mg setiap bulan.19 Sedangkan pada anak-anak dengan usia dibawah 10
tahun, diberikan kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1
mg/kg berat badan diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan dapsone 2
mg/kg berat badan setiap hari.

Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:

1. Pengobatan reaksi reversal (tipe 1) Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai


neuritis akut, obat pilihan pertama adalahkorikosteroid. Biasanya diberikan prednison
40 mg/hari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan dengan
dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara menndadak.
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Apabila diperlukan dapat
diberikan analgetik dan sedativa.
2. Pengobatan reaksi ENL (tipe 2) Obat yang paling sering dipakai adalah tablet
kortikosteroid antara lain prednison dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya
reaksi, biasanya diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara
bertahap sampai berhenti sama sekali sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan dapat
ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan timbul
ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila obat tersebut
dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu sehingga penderita harus mendapatkan
kortikosteroid secara terus-menerus.

Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko
tinggi terjadinya kerusakan saraf.Selain itu, penderita dengan reaksi lepra terutama reaksi
reversal lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko
tersebut.Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot.Keluhan yang timbul berupa nyeri saraf atau luka yang tidak
sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya, serta
adanya kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju,
memegang benda kecil atau kesulitan berjalan. Pencegahan kecacatan yang terbaik atau
prevention of disability (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini lepra,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi lepra
yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid secepatnya.
Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan misalnya memakai kacamata, merawat
kulit supaya tidak kering dan lainnya apabila terdapat gangguan sensibilitas.

Kualitas hidup

a) Definisi kualitas hidup Kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya
dalam kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan
hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar dan hal-hal lain yang terkalit.
Cakupan tentang kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan
fisik, status psikologik, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan hubungan lingkungan
tempat mereka berada.
b) Faktor penghambat peningkatan kualitas hidup manusia Persoalan rendahnya kualitas
hidup manusia Indonesia dipicu oleh berbagai faktor yang kompleks. Permasalahan
yang dapat menghambat perkembangan kualitas hidup manusia Indonesia diantaranya:
1. Aspek kesehatan meliputi: disparitas status kesehatan; beban ganda penyakit,
terutama penyakit yang menular; kinerja pelayanan kesehatan yang rendah; perilaku
masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat; rendahnya
kondisi kesehatan lingkungan; terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi yang
tidak merata; dan rendahnya status kesehatan penduduk miskin.
2. Aspek pendidikan meliputi: tingkat pendidikan yang relatif rendah; masih terdapat
kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat
seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin; fasilitas pelayanan pendidikan
khususnya untuk jenjang pendidikan menengah pertama dan yang lebih tinggi
belum tersedia secara merata; kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum
mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik; dan anggaran
pembangunan pendidikan belum memadai.
3. Aspek ekonomi meliputi: kegagalan pemenuhan hak dasar; beban kependudukan,
beban masyarakat miskin semakin berat akibat besarnya tanggungan keluarga dan
adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi; dan ketidaksetaraan
gender
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae.Penyakit ini biasanya menyerang kulit dan saraf tepi namun juga
dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ lainnya.

Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar
terdapat tiga pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih
ringan), lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain) dan
borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa).

Obat-obatan yang digunakan dalam World Health OrganizationMultydrug Therapy (WHO-


MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson untuk penderita lepra tipe MB
serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe PB.Rifampisin ini adalah obat
antilepra yang paling penting dan termasuk dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan
lepra dengan hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan resistensi
obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai
monoterapi dianggap tidak etis.
Diskusi

1. Penanya (Andi Muh. Agung P G70118040 Kelompok 2)


Pertanyaan :
Bagaimana cara membedakan gejala atau tanda penyakit kusta dengan penyakit kulit lainnya
seperti herpes?
Penjawab (Fatima Siti Khomairah G70118138)
Jawaban:
Cara membedakan gejala atau tanda dari penyakit kusta dengan penyakit kulit lainnya
misalnya penyakit herpes, yaitu pada penderita penyakit kusta terdapat gejala lesi anestesi
yaitu hilangnya rasa raba, rasa sakit dan suhu yang jelas, dan perubahan warna berupa lesi
hipopigmentasi dan kelainan pertumbuhan rambut. Selain itu, gejala penyakit kusta yang
membedakan dari penyakit kulit lain yaitu penebalan saraf perifer. Penebalan saraf pada
daerah yang berdekatan dengan lesi kulit yang dapat atau tidak disertai adanya rasa nyeri dan
menyebabkan gangguan sensoris dan motoris pada saraf yang terkena. Sedangkan pada
penyakit kulit lainnya misalnya herpes, memiliki gejala seperti tumbuhnya lenting-lenting
bening sekepala jarum pentul bergerombol di bagian bibir, agak kemerahan, awalnya gatal
dan setelah pecah menjadi perih. Selain itu, gejalanya biasa disertai tidak enak badan,
demam, dan nyeri kepala. (Amiruddin, Dali., 2019).

2. Penanya (Ni Komang Eka Sri Wahyuni G70118021 kelompok )


Pertanyaan :
Apakah ibu hamil dapat menularkan kusta pada bayinya?Dan bagaimana pengobatannya?
Penjawab (Fitri Anggun Sholehah M G70118085)
Jawaban : Kusta dan kehamilan saling memengaruhi satu sama lain. Tanda dan gejala kusta
sebagian besar disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh. Perubahan hormon selama
kehamilan dan kusta yang diidap ibu hamil menurunkan kekebalan tubuhnya, sehingga bisa
berdampak negatif pada janin dalam kandungan. Pada wanita usia subur, kehamilan adalah
kondisi khusus yang membutuhkan perhatian pada penderita kusta. Kusta pada wanita hamil
menjadi masalah kompleks, karena bukan hanya fisiologi ibu hamil yang unik, namun ibu
hamil juga mengalami perubahan hormonal saat mengandung dan menyusui. Pada kehamilan
terjadi perubahan metabolisme dan perubahan respon imun yang menyebabkan wanita hamil
berisiko tinggi mengalami infeksi kusta atau mengalami perubahan perjalanan penyakit kusta
yang sebelumnya sudah ada. Selain itu, ibu hamil dengan penyakit kusta membutuhkan
perhatian khusus, mengingat infeksi kusta memberikan dampak baik bagi ibu maupun janin.
(Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku Pedoman
Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2012.)

3. Penanya (Nurul Afifah G70118145 kelompok 4)


Pertanyaan :
Bagaimana cara penularan lepra?
Penjawab : (Samaal Malissa G70118 Kelompok 1)
Jawaban :
Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M.leprae.Kusta tipe MB merupakan
sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah bakteri pada kusta tipe lepromatosa
dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta
tipe yang lain dikatakan lebih rendah, namun semua kasus kusta yang aktif harus
dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial. Mekanisme transmisi M.leprae
hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti.Saluran pernafasan terutama hidung
merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan
metode transmisi utama.Faktor risiko terjadinya kusta antara lain kontak yang erat dan lama,
lingkungan padat penduduk, usia, jenis kelamin, serta ras dan etnis tertentu. (Hadi, M, I.,
2017)

4. Penanya (Silviana Hamdani G70118002 kelompok 4)


Pertanyaan :
Terdapat 4 klasifikasi lepra apakah penanganannya sama atau berbeda?
Penjawab : (Rischa Rhaudatul G70118073 Kelompok 3)
Jawaban:
Berbeda, pada tipe MB (mengandung kuman tipe TT, BT, dan I) menggunakan kombinasi
rimfapisin, dapson dan klofazimin. Sedangkan tipe PB (mengandung tipe kuman LL, BL dan
BB) menggunakan rifampisin dan dapson (menurut WHO 1981; Madrid, 1953)
5. Penanya ( Twulyenna Mallisa G70118046 kelompok 3)
Pertanyaan :
Bagaimana mekanisme resistensi obat antilepra? Apakah ada obat antibiotic lain yang dapat
mengatasi penyakit lepra?
Penjawab : (Aqsallam Ismail G70118015)
Jawaban:
Resistensi terhadap regimen MDT seperti dapson, rifampisin dan ofloxacin, berlangsung
pada asam amino substitusi yang mengikat obat tersebut. Cara yang dapat dilakukan untuk
mengetahui mekanisme resistensi dapat dilakukan dengan menggunakan metode uji berbasis
DNA sekuensing dan deteksi DNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) secara
langsung. Untuk mengetahui resisistensi terhadap gen tersebut dilakukan sekuensing DNA
terhadap M. kusta.Lokus yang mengalami mutasi terhadap MDR dapat dilihat pada gambar
berikut. Daerah gen yang digunakan untuk mendeteksi MDR secara molekuler adalah adalah
gen folP1, rpoB, dan gen gyrA (Deteksi Resistensi Mycobacterium kusta Secara Molekuler,
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 2010).

6. Penanya (Rikha Cahyani Gemintang G70118112 kelpmpok 5)


Pertanyaan :
Pertumbuhan penyakit lepra ada dimana saja?Apakah ada tempat khusus?
Penjawab (Nur Asita G70118042 kelompok 1)
Jawaban :
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular dan bersifat kronik.Penyakit ini
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat dan terjadi
pada kulit dan saraf tepi.Kuman Mycobacterium leprae pertama kali menyerang pada syaraf
perifer, yang kemudian mengenai kulit dan mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikulo endotel penderita, mata, otot, tulang dan testis. (Hadi, M, I., 2017).

7. Penanya (Mutmainnah Ukas G70118113 kelompok 5)


Pertanyaan :
Apakah penggunaan obat antilepra sama dengan penggunaan obat antibiotik ?kalau misalnya
pasien lupa minum obat atau putus penggunaanya apakah bisa?
Penjawab : (Rischa Rhaudatul G70118073 Kelompok 3)
Jawaban :
Untuk pengobatan kusta, World Health Organization (WHO) pada 1 september 1977
merekomendasikan program Multi Drugs Therapy (MDT). Lama pengobatan tipe
Multibacillary Leprosy (MB) selama 12-18 bulan dengan menggunakan kombinasi
rifampisin-dapson-clofazimin, sedangkan untuk tipe Paucibacillary Leprosy (PB) selama 6-9
bulan dengan menggunakan kombinasi rifampisin dan dapson. Lama waktu pengobatan kusta
membuat timbulnya permasalahan pada pelaksanaan program MDT-WHO, yaitu adanya
pasien yang tidak patuh minum obat. Hal tersebut memicu timbulnya resistensi antibiotik,
terutama pada tipe MB. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi obat bakterisidal yang lebih
sederhana dan lebih efisien berdasarkan jangka waktu dari masa pengobatannya. Jadi obat
antikusta itu dikombinasikan dengan antibiotik. karena kusta juga disebabkan oleh bakteri
jadi bisa menyebabkan resistensi kalau tidak rutin digunakan. (Rahmawati, Fiska., 2018).

8. Penanya (Rischa Raudathul Janna G70118073 kelompok 3)


Pertanyaan :
Bagaimana pemberian obat rifampisin terhadap penyakit TB dan Lepra?
Penjawab (Silviana Hamdani G70118002 kelompok 4)
Jawaban :
Jika pasien menderita Tuberkulosis dan Kusta maka pemberian OAT dan MDT diberikan
bersamaan dengan dosis rifampisin sesuai untuk pengobatan Tuberkulosis.Pasien TB yang
menderita kusta PB diberikan OAT dan tambahkan dapson 100 mg. lama pengobatan sesuai
dengan jangka waktu pengobatann Kusta PB.Pasien TB yang menderita Kusta MB diberikan
OAT dan tambahkan Dapson dan Lampren. Lama pengobatan sesuai dengan jangka waktu
pengobatan Kusta PB, jika pengobatan sudah selesai maka pengobatan kusta sesuai blister
MDT (Hadi, M, I., 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Dali. 2019. Penyakit Kusta: Sebuah Pendekatan Klinis. Makassar : Universitas
Hasanuddin Makassar.

Departemen Kesehatan RI, 2012. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta
Cetakan XVIII.Direktorial Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Depkes RI. 2005. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XVII.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Moch. Irfan Hadi, M. KL Mei Lina Fitri Kumalasari, M.Kes. 2017. Kusta Stadium Subklinis
Faktor Risiko Dan Permasalahannya. Program Studi Arsitektur UIN Sunan Ampel Jl. A.
Yani No. 117 Surabaya, Jawa Timur Indonesia, 60237

Northern Territory Goverment. 2010. Guidelines for the Control of Leprosy in the Northern
Territory.Department of Health and Family.p.1-55.

Suzuki, K., Akama, T., Kawashima, A., Yoshihara, A., Yotsu, R.R., Ishii, N. 2012.Current
Status of Leprosy: Epidemiology, Basic Science and Clinical Perspectives. J of
Dermatol;39: 121–29

World Health Organization.A guide to eliminating leprosy as a public health problem, 2nd ed.
Geneva, 1997

World Health Organization.The Assia-Pasific perspective: Redefining Obesity and its treatment.
February 2000:18

Anda mungkin juga menyukai