Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH

PENGONTROLAN K3 DALAM INDUSTRI


TRANSPORTASI UMUM

Disusun Oleh:

Nama : IQBAL BAYU KURNIAWAN

NPM : 22417948

Kelas : 4IC05

JURUSAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
KALIMALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan kerja merupakan proses merencanakan dan mengendalikan
situasi yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja melalui persiapan prosedur
operasi standar yang menjadi acuan dalam bekerja serta hal yang penting bagi
perusahaan, karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan
karyawan, tetapi juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun pada kenyataannya penerapan sistem manajemen keselamatan secara
umum masih sering terabaikan, hal ini ditunjukan dengan masih tingginya angka
kecelakaan kerja yang terjadi (Rika dalam Ibrahim, 2016). Keselamatan dan
kesehatan kerja merupakan aplikasi kesehatan masyarakat dalam suatu tempat
kerja seperti pabrik, perusahaan, kantor, dan sebagainya. Pasien dari kesehatan
kerja adalah masyarakat pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan. Oleh sebab
itu, dalam kesehatan kerja pedomannya adalah penyakit dan kecelakaan akibat
kerja dapat dicegah (Notoatmodjo, 2011:200).
Undang-undang No.13 Tahun 2003 pasal 86 ayat 1 dan 2 menyatakan
bahwa perusahaan harus mempersiapkan sarana dan prasarana sebagai upaya
pencegahan kecelakaan kerja dan program-program yang dapat mengurangi angka
kecelakaan kerja di perusahaan. Salah satu programnya adalah program
keselamatan dan kesehatan kerja. Program ini dibuat berdasarkan kegiatan
produksi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dalam UU No.13 tahun 2003
pasal 87 ayat 1 tentang ketenagakerjaan. menyatakan bahwa “Setiap perusahaan
wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK)
yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan”.
Berdasarkan data yang tercatat dalam Korps Lalu Lintas Kepolisian
Republik Indonesia (Korlantas Polri), tingginya angka kecelakaan kerja salah
satunya dalam jasa transportasi atau angkutan umum. Jumlah kecelakaan pada
tahun 2018 ada 673 kejadian, dengan jumlah korban meninggal 176 orang, jumlah
korban luka berat 150 orang dan jumlah korban luka ringan 813 orang (Korlantas
Polri, 2018). Faktor penyebab kecelakaan terdiri dari aspek teknis, aspek manusia
dan aspek manajemen sistem. Perusahaan transportasi angkutan umum memiliki
sifat yang khas antara lain tempat kerja diruang terbuka yang dipengaruhi cuaca,
kondisi jalan, jangka waktu pekerjaan yang terbatas, risiko kerja yang tinggi,
menggunakan peralatan kerja yang dapat membahayakan keselamatan dan
kesehatan kerja serta pekerja yang banyak mengeluarkan tenaga. Oleh karena itu,
untuk mencegah kecelakaan kerja dan menjaga keselamatan ketika bekerja
diperlukan suatu sistem manajemen keselamatan yang mengatur dan menjadi
acuan bagi pekerja serta pemilik perusahaaan transportasi (Soehatman
Ramli,2018).
Peraturan mengenai sistem manajemen keselamatan perusahaan angkutan
umum tercantum dalam peraturan pemerintah republik indonesia no. 37 tahun
2017 tentang keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan. Perusahaan angkutan
umum yang telah memperoleh izin penyelenggaraan angkutan umum sebelum
berlakunya peraturan menteri perhubungan, wajib membuat, melaksanakan dan
menyempurnakan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
dalam jangka waktu paling lama tahun sejak peraturan berlaku yaitu pada tanggal
14 September 2017. Adapun isi dari sistem manajemen keselamatan perusahaan
angkutan umum ada 10 elemen diantaranya yaitu komitmen dan kebijakan,
pengorganisasian, manajemen bahaya dan risiko, fasilitas pemeliharaan dan
perbaikan kendaraan bermotor, dokumentasi dan data, peningkatan kompetensi
dan pelatihan, tanggap darurat, pelaporan kecelakaan internal, monitoring dan
evaluasi serta pengukuran kinerja sistem manajemen keselamatan (Peraturan
pemerintah no. 37 tahun 2017).
Pada tahun 2018 pemerintah mengeluarkan peraturan baru untuk mengatur
tata kelola keselamatan di perusahaan angkutan umum. Peraturan tersebut adalah
Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 85 tahun 2018 tentang “Sistem
Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum”. Dalam peraturan
tersebut pasal 20 menyatakan bahwa, perusahaan angkutan umum yang telah
memperoleh izin penyelenggaran angkutan umum sebelum berlakunya peraturan
menteri perhubungan, wajib membuat, melaksanakan dan menyempurnakan
Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) Perusahaan Angkutan Umum paling
lama tanggal 15 september 2018. Pada peraturan sebelumnya 10 elemen SMK
perusahaan angkutan umum hanya digambarkan secara garis besar, sehingga
dikeluarkannnya permenhub 85 tahun 2018 ini untuk mengelola dan merinci
secara dalam mengenai 10 elemen smk perusahaan angkutan agar diharapkan
pengelolaannya lebih maksimal.
Hasil studi pendahuluan terhadap Kepala Pelaksana Bina Usaha Angkutan
Dinas Perhubungan Kota Tasikmalaya, diperoleh informasi bahwa ada tiga
perusahaan transportasi bis yang mempunyai jumlah armada terbanyak yaitu PT.
HS Budiman 45 yang memiliki jumlah armada sebanyak 308 unit, PT. Primajasa
PU sebanyak 120 unit dan PT. Doa Ibu Tasikmalaya sebanyak 104 unit, akan
tetapi dalam pelaksanaan sistem manajemen keselamatan perusahaan angkutan
umum ketiga perusahaan tersebut belum melaksanakannya sesuai dengan 10
elemen dari sistem manajemen keselamatan perusahaan angkutan umum. Sehinga
ketiga perusahaan dengan jumlah armada yang banyak tersebut belum
mendapatkan sertifikat sistem manajemen keselamatan perusahaan angkutan
umum.
Survei awal dilakukan terhadap PT. B yang memiliki jumlah armada
terbanyak dari tiga perusahaan transportasi di Kota Tasikmalaya dan telah
mengikuti bimbingan teknis sistem manajemen keselamatan perusahaan angkutan
umum. Perusahaan tersebut mempunyai jumlah armada bus sebanyak ± 308 unit,
mekanik bus sebanyak ± 170, supir sebanyak ± 557 dan kondektur sebanyak ±
450 dengan waktu kerja berbeda-beda. Berdasarkan data kecelakaan di PT. HS.
Budiman 45 pada tahun 2017 jumlah kecelakaan sebanyak 82 kasus dan pada
tahun 2018 sebanyak 69 kasus.
Hasil survei awal terhadap staf keselamatan dan kecelakaan PT. B
mengenai Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan
Umum, diperoleh informasi bahwa masih terdapat beberapa elemen yang belum
dilaksanakan. Adapun permasalahan mengenai implementasi sistem manajemen
keselamatan diantaranya yaitu ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan, hal ini
dibuktikan dengan tidak adanya komitmen dan kebijakan secara tertulis di PT. B
mengenai sistem manajamen keselamatan sehingga tujuan dari adanya kebijakan
sistem manajemen keselamatan tidak diketahui oleh pegawai, pelaksanaan
monitoring dan evaluasi tidak rutin. dilaksanakan serta tidak adanya pengukuran
kinerja mengenai manajemen keselamatan. Kemudian permasalahan komunikasi
antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana dibuktikan dengan tidak adanya
struktur organisasi yang jelas sehingga komunikasi atau alur birokrasi antar
bidang terkait sistem manajemen keselamatan tidak berjalan dengan baik dan
kegiatan pelaksanaan tidak adanya tim tanggap darurat sehingga bila terjadi
kecelakaan tim baru dibentuk yang sifatnya hanya sementara.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nina Sulistiani (2015)
implementasi program sanitasi total dan pemasaran sanitasi di Kabupaten
Bojonegoro masih mengalami kendala dalam pelaksanaanya dengan
menggunakan analisis teori implementasi Van meter dan Van horn karena masih
rendahnya pemahaman masyarakat, sumberdaya anggaran terbatas, kurangnya
komunikasi antar organisasi, standar sanksi dan standar mekanisme belum
dilaksanakan secara menyeluruh dan kondisi sosial ekonomi yang kurang
mendukung.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana manajemen
kesehatan dan keselamatan kerja di industri jasa transportasi.

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah menjelaskan manajemen kesehatan dan
keselamatan kerja di industri jasa transportasi.
BAB II
ISI

2.1 Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang
memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari
bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang
wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan
menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak
boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus
dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang
berlimpah pada masa yang akan datang. K3 baru menjadi perhatian utama pada
tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian
teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong
pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk
pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang
Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun
1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak
menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma
kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3.
Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja,
baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di
ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang
usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
Selain sektor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga
dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian,
industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini,
pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti
hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh.
Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup
kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau
berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan
masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli
terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat investasi.

2.2 Kecelakaan Kerja


Adapun dari berbagai sumber mengenai definisi kecelakaan kerja,
berikutadalah beberapa pendapat baik dari institusi pemerintahan nasional
daninternasional maupun dari beberapa tokoh internasional.
1) Defenisi Kecelakaan Kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga
Kerja(Permenaker) Nomor: 03/Men/1998 adalah suatu kejadian yang tidak
dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban
jiwadan harta benda.
2) Menurut Foressman Kecelakaan Kerja adalah terjadinya suatu kejadian
akibatkontak antara ernegi yang berlebihan (agent) secara akut dengan
tubuh yangmenyebabkan kerusakan jaringan/organ.
3) Sedangkan defenisi yang dikemukakan oleh Frank E. Bird Jr.
kecelakaanadalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki, dapat
mengakibatkan kerugian jiwa serta kerusakan harta benda dan biasanya
terjadi sebagai akibat dariadanya kontak dengan sumber energi yang
melebihi ambang batas ataustruktur.
4) Kecelakaan kerja (accindent ) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak di inginkan yang merugikan terhadap manusia, merusakan harta
benda ataukerugian proses (Sugandi,2003)
5) World Health Organization (WHO) mendefinisikan kecelakaan sebagai
suatu kejadian yang tidak dapat dipersiapkan penanggulangan
sebelumnya,sehingga menghasilkan cidera yang riil.
2.3 K3 dalam Transportasi
Definisi keselamatan dan keamanan dalam transportasi ( secara umum ),
Keselamatan transportasi adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan
transportasi yang lancar sesuai dengan prosedur operasi dan persyaratan kelaikan
teknis terhadap sarana dan prasarana beserta penunjangnya.Keamanan transportasi
adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan transportasi yang bebas dari
gangguan dan/atau tindakan yang melawan hukum.

2.4 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam


Transportasi Darat
Sektor Transportasi Darat memiliki peranan yang sangat penting dalam
masyarakat karena turut menggerakkan roda perekonomian dan mobilitas
masyarakat. Melalui jasa transportasi, diselenggfarakan kegiatan angkiutan
barang, penumpang dan jassa lainnya dari suatu daerah kedaerah lainnya. Untuk
itu, dikembangkan Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Transportasi Darat (SMK3 Transportasi) yang memberikan persyaratan untuk
sistim manajemen K3 untuk membantu perusahaan dalam mengendalikan bahaya
kecelakaan dan meningkatkan kinerja K3 sekaligus produktivitas perusahaan.
Sistim Manajemen K3 Transportasi ini berlaku bagi perusahaan jasa angkutan
darat untuk:
1) Membangun sistim Manajamen K3 untuk mencegah terjadinya kecelakaan
lalu lintas atau kejadian lainnyan yang tidak diinginkan.
2) Menerapkan, memelihara dan meningkatkan SMK3 secara terus menerus.
3) Memastikan bahwa perusahaan telah memenuhi norma keselamatan yang
ditentukan.
2.5 Elemen Sistim Manajemen K3 Transportasi
Sistim Manajemen Keselamatan Transportasi merupakan sistim
manajemen berkelanjutan yang terdiri atas elemen sebagai berikut:

1) Persyaratan Umum
Perusahaan harus menetapkan dan memelihara Sistim Manajemen K3
yang terintegrasi dengan sistim manajemen perusahaan sebagaImana
disyaratkan dalam elemen 5 ini.
2) Kebijakan K3
Perusahaan harus menetapkan dan memelihara kebijakan K3 yang
menunjukkan komitmen perusahaan terhadap keselamatan dalam operasi
angkutan.
3) Perencanaan K3
a. Pemeriksaan Dan Tindakan Koreksi
- Pemantauan dan Pengukuran Kinerja
- Perusahaan harus menetapkan dan memelihara prosedur mengenai
pemantauan dan pengukuran Kinerja K3 perusahaan yang
mencakup
- Inspeksi dan Pengujian
- Perusahaan harus menetapkan prosedur mengenai inspeksi dan
pengujian
b. Tinjauan Manajemen
Perusahaan harus melakukan tinjau ulang oleh manajemen secara
berkala untuk menilai dan mengetahui pelaksanaan SMK3 dalam
perusahaan serta permasalahan yang dihadapi untuk peningkatan
berkelanjutan.

2.6 Process Safety Management


1) Terdapat tiga kriteria pokok Proses Safety Management dengan 13 elemen
elemen. Kriteria Teknologi dan Proses, meliputi elemen-elemen:
a. Informasi keselamatan proses
b. Analisa bahaya proses
c. Keterpaduan mekanik
d. Penelaahan KK awal operasi

2) Kriteria Keselamatan Kerja, meliputi elemen-elemen:


a. penanganan keselamatan kerja kontraktor
b. cara kerja aman
c. prosedur operasi
d. pelatihan karyawan
e. partisipasi karyawan

3) Kriteria Manajemen, meliputi elemen-elemen:


a. manajemen perubahan
b. rencana tanggap darurat
c. audit manajemen keselamatan proses dan penyelidikan kecelakaan

4) Kriteria Teknologi dan Proses.


a. Informasi Keselamatan Proses.
b. Analisa Bahaya Proses.
c. Manajemen
d. Review Keselamatan Pra Start-Up.

5) Kriteria Manajeman
a. Manajemen Perubahan
b. Penyelidikan Kejadian
c. Penanggulangan Darurat
d. Keterpaduan Mekanis
e. Audit
6) Kriteria Keselamatan Kerja.
a. Keselamatan Kerja Kontraktor.
b. Cara & Ijin Kerja Aman.
c. Prosedur Operasi.
d. Pelatihan/Training.
e. Partisipasi Karyawan.
2.7 Reliability Centred Maintenance
1) Basi Principles
Tujuh prinsip dasar tentang RCM:
a. Fungsi dan standard unjuk kerja (Functions and performance
standards).
b. Cara kegagalan memenuhi fungsi (Functional failures).
c. Penyebab kegagalan fungsional (Failure modes).
d. Kejadian-kejadian pada setiap kegagalan (Failure effects).
e. Akibat terjadinya kegagalan (Failure consequences).
f. Pencegahan kegagalan (Preventive tasks).
g. Tindakan alternatif didalam mencegah kegagalan (Default tasks).

2) Persiapan RCM:
Langkah awal penerapan RCM meliputi :
a. Plant register.
b. Maintenance priority list.
c. Technical history data.
d. Decision support tools development.
e. Inherrent Reliability vs. Desired performance.
f. Hidden functions, Failure pattern survey
g. Preventive task selection and DefinePotential-Failure interval.

2.8 Sistim Keselamatan dan Keamanan Transportasi Udara


Sehubungan dengan berbagai musibah transportasi, khususnya kecelakaan
pesawat udara komersial pada awal tahun 2007 telah menjadi pembicaraan hangat
di segala lapisan masyarakat di Indonesia, bahkan menjadi salah satu pusat
perhatian dan keprihatinan Presiden Republik Indonesia. Berbagai berita yang
berkembang dalam media cetak dan elektronik menunjukkan gejala yang
mengkhawatirkan sebagai akibat kesimpang-siuran arus informasi yang bersifat
spekulatif, hal mana dapat meresahkan masyarakat serta menghambat upaya
perbaikan dalam mencari solusi sistim transportasi publik, khususnya angkutan
udara. Pada dasarnya, sesuai statistic industri transportasi mencatat bahwa
transportasi udara adalah moda transportasi yang paling aman sampai saat ini. Hal
mana diatur secara ketat secara internasional sebagaimana disebut dalam
International Civil Aviation Organization (ICAO) Annex 1 s/d Annex 18 yang
secara universal pula diatur oleh setiap negara, yang dalam hal di Indonesia diatur
melalui Civil Aviation Safety Regulations (CASR) Part 1 s/d 830 belum termasuk
berbagai Circular (Edaran).
Keselamatan dan keamanan menjadi persyaratan utama dalam industri
transportasi udara yang harus ditaati dan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh setiap
maskapai. Namun, persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan dalam
sebuah maskapai juga berkaitan sangat erat dengan sistim keselamatan dan
keamanan di pihak otorita penerbangan sipil, bandar udara, pengatur lalu-lintas
udara, ground handling, bengkel perawatan pesawat, badan meteorologi, dan
menyangkut pemahaman masyarakat yang dalam hal ini diwakili para pengguna
jasa transportasi udara. Sehingga sistim keselamatan dan keamanan industri
penerbangan menjadi sangat unik, karena sangat tergantung dengan budaya
keselamatan dan keamanan sebuah bangsa secara keseluruhan.
Salah satu elemen keselamatan yang tidak diatur secara langsung adalah
persyaratan keselamatan dan keamanan bagi para pengguna jasa penerbangan.
Ketentuan ini mengenai ini, biasanya diberlakukan oleh otorita penerbangan sipil
melalui masing-masing maskapai atau bandar udara. Contoh mengenai ketentuan
ini misalnya; penggunaan hand phone di dalam pesawat terbang, pembatasan berat
dan ukuran bagasi kabin, ketentuan barang berbahaya, dst. Dengan demikian,
sesungguhnya sistim keselamatan dan keamanan penerbangan telah disusun
secara rinci dan sedemikian menyeluruh. Ketaatan dalam melaksanakan sistim
keselamatan dan keamanan penerbangan secara sungguh-sungguh, bukan hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah atau operator penerbangan semata, namun
menuntut tanggung jawab bersama seluruh unsur terkait, termasuk pengguna jasa
penerbangan itu sendiri.
Sebuah pesawat terbang diproduksi dengan sangat aman yang dilengkapi
berbagai mekanisme sistim peralatan dan cadangan yang berlapis-lapis serta
dioperasikan melalui prosedur kerja yang sangat rinci demi menghindari
terjadinya kecelakaan. Oleh karena itu, sebuah kecelakaan pesawat terbang sipil
selalu melibatkan berbagai macam penyebab yang kait mengkait atau tidak ada
factor tunggal sebagai penyebab kecelakaan.

2.8.1 Memahami Rekonstruksi Kecelakaan Pesawat Terbang


Memahami rekonstruksi kecelakaan pesawat terbang dapat dibagi dari
berbagai factor, yaitu:
1) Last Defense Failure: merupakan metode kerja atau sistim peralatan yang
telah disusun demikian rupa guna mencegah terjadinya kecelakaan
pesawat.
2) Front Line Failures: Melalui pelatihan yang berkesinambungan maka
diharapkan mereka mampu mengendalikan peralatan kerja (pesawat)
dalam situasi rutin atau kondisi darurat secara handal. Kelalaian
menjalankan tugas secara baik dan benar dapat dimasukkan pada kategori
ini. Hal yang sama berlaku untuk para petugas lapangan yang lain,
misalnya: awak kabin, petugas lalu-lintas udara, petugas check-in counter,
petugas muatan, petugas pemberangkatan pesawat, dsb
3) Predetermine Contributing Factors: Situasi atau kondisi yang kurang
menguntungkan dalam rangka pengoperasian pesawat terbang secara
aman. Misalnya; prosedur yang kurang lengkap, cuaca buruk, informasi
cuaca yang kurang akurat, fasilitas bandara, kerusakan salah satu sistim
atau peralatan pesawat terbang, mengantuk, tekanan mental, masalah
rumah tangga, kurang pengalaman.
4) Supervisory Failures: kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh
manajemen atau para atasan langsung. Hal mana berlaku pula untuk para
atasan pada setiap elemen sistim keselamatan dan keamanan penerbangan.
Misalnya; lemahnya fungsi control, memberikan perintah yang melanggar
ketentuan penerbangan, pelatihan yang kurang memenuhi persyaratan,
kurang kompeten pada bidang kerjanya.
5) Top Management Failures: kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh
top management atau para atasan tertinggi dalam tiap elemen sistim
keselamatan dan keamanan penerbangan dalam menentukan kebijakan
tertinggi. Jika menyangkut otorita penerbangan sipil maka dapat
dikelompokkan dari para Kepala Bidang, Direktorat, Direktur Jenderal,
Menteri bahkan Presiden. Jika elemen maskapai maka termasuk CEO,
Direktur, Kepala Dinas, dst. Pengelompokan Top Management sangat
tergantung dari karakteristik organisasi masing-masing. Kelalaian yang
umumnya terjadi adalah ketidak sesuaian pada; Alokasi anggaran kerja,
kebijakan awal, pemotongan biaya perawatan, pemotongan biaya
pelatihan, atau bahkan rendahnya komitmen terhadap aspek keselamatan
dan keamanan secara umum sebagai kurangnya pengetahuan atau wujud
kekurang pedulian, dsb.

Melalui penjelasan di atas, maka kecelakaan sebuah pesawat selalu


melibatkan berbagai tindak kelalaian atau kerusakan yang ditambah dengan factor
penunjang tertentu dan bersamaan itu pertahaan terakhir gagal dilaksanakan atau
dioperasikan.

2.8.2 Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja Transportasi Laut


Merujuk pada amanat Undang-Undang No.17 Tahun 2008, Pelayaran
merupakan bagian dari sarana transportasi laut yang sangat strategis bagi
wawasan nasional serta menjadi sarana vital yang menunjang tujuan persatuan
dan kesatuan nasional dikarenakan dapat menunjang dan mempermudaha akses
penghubungan dan penjangkauan wilayah satu dengan yang lainnya melalui
perairan. Mengingat tujuh puluh persen wilayah Indonesia adalah wilayah
perairan. Untuk menghadapi perubahan ke depan, Pelayaran atau angkutan laut
mempunyai potensi kuat untuk dikembangkan mengingat karakteristiknya mampu
melakukan pengangkutan secara massal sehingga mampu mendorong dan
menunjang pembangunan nasional demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan mandat Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945.
Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada transportasi laut telah banyak
yang terjadi. Insiden yang terjadi biasanya adalah tenggelam akibat kelebihan
muatan, terbakar atau meledak, ataupun tenggelam akibat dari faktor alam. Tetapi
berdasarkan data dari Mahkamah Pelayaran faktor kesalahan manusia adalah
penyebab utama dari kecelakaan transportasi laut yang ada. Sebanyak 88%
kejadian disebabkan oleh human error dari orang-orang yang ada dalam sistem
transportasi laut. Dan hanya beberapa saja yang disebabkan oleh faktor alam atau
cuaca.
Human Error yang terjadi pada kecelakaan transportasi laut dapat
disebabkan oleh berbagai faktor pada sistem transportasi laut yang ada. Misalkan
kurangnya kepahaman para awak kapal akan rambu-rambu yang ada pada rute
perjalanan, kelalaian petugas pelabuhan dalam melakukan pengawasan terhadap
kapal-kapal yang berlayar. Ataupun kelalaian awak kapal dalam melakukan
maintanence terhadap mesin-mesin yang ada pada kapal. Berikut adalah beberapa
human error yang terjadi pada kecelakaan transportasi laut:
1) Jumlah Penumpang yang tidak sesuai dengan kapasitas.
Dalam kasus kecelakaan transportasi laut sebagian besar kecelakaan yang
terjadi adalah akibat dari jumlah penumpang yang tidak sesuai dengan
kapasitas dari kapal yang berlayar. Hal ini selain disebabkan kelalaian dari
nahkoda kapal kadangkala juga disebabkan kelalaian dari pengawasan
pelabuhan ketika kapal akan diberangkatkan. Hal ini juga disebabkan para
pegawai yang dipelabuhan masih menganggap remeh akan standarisasi
yang telah ditetapkan. Seperti yang terjadi pada perairan Indonesia
beberapa saat yang lalu. Sebanyak 33 imigran yang menumpang kapal
Indonesia menuju Australia tenggelam akibat dari jumlah muatan yang
sangat berlebih. Kapal yang seharusnya hanya diisi oleh 150 orang, diisi
dengan jumlah penumpang sebanya 300 orang. Dalam kasus ini human
error yang terjadi adalah akibat kesalahan dari nahkoda yang menyetir
kapal. Karena imigran-imigran ini adalah imigran yang ilegal sehingga
tidak berada dalam pengawasan Pelabuhan.
2) Faktor Teknis
Faktor lain yang terjadi biasanya sebagai penyebab dari kecelakaan
tranportasi lau adalah faktor teknis. Faktor teknis ini banyak hal yang bisa
menjadi penyebabnya. Seperti desain kapal yang tidak sesuai dengan
standarisasi yang telah ditetapkan. Ada pula maintenance yang dilakukan
oleh para awak kapal yang masih tidak terjadwal dilakukan. Sehingga
ketika kapal berlayar terjadi panas mesin yang menyebabkan mesin panas.
Ataupun faktor teknis ketika membawa barang-barang yang berbahaya.
Karena tidak adanya kesadaran untuk menjaga kapal dari awak kapal
menyebabkan kapal meledak dan terbakar. Kejadian-kejadian yang terjadi
akibat faktor teknis ini seperti yang terjadi pada Kapal Marina.
Begitu banyaknya kejadian-kejadian yang terjadi pada transportasi laut
telah menjadi peringatan sendiri bagi pemerintah Indonesia sendiri. Hal ini
semua sebenarnya masih dapat di lakukan tindakan preventif mulai dari
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pertama perlunya
penyuluhan-penyuluhan terhadap para awak kapal dari masing-masing
kapal yang ada mengenai aturan-aturan yang ada pada pelayaran laut
sehingga tidak akan terjadi kesalahan ataupun kelalaian dari para awak
kapal. Karena penumpang yang memaksakan kehendak untuk tetap dapat
naik pada kapal yang telah penuh oleh penumpang kadangkala terjadi
karena para awak kapal tetap memperbolehkan penumpang untuk naik.
Begitu juga pelatihan untuk para awak kapal untuk dapat melakukan
maintenance terhadap mesin-mesin yang ada pada kapal. Begitu juga
pelatihan untuk dapat menghadapi permasalahan ketika terjadi kerusakan
pada mesin kapal.

Beberapa Faktor yang menunjang terwujudnya keselamatan dan


kelestarian lingkungan laut:
1) Persyaratan Kelaikan Kapal.
2) Pengukuran dan Status Hukum Kapal
3) Kelengkapan Nautis Teknis dan Radio (NTR)
4) Peralatan Pencegahan Perairan dari Kapal/ Marpol
5) Kesehatan dan Kesejahteraan Awak Kapal dan Penumpang
6) Pengawasan
7) Pemuatan

2.8.3 Implementasi untuk Mengurangi Tingkat Kecelakaan Transportasi


Laut
Sebelum melakukan implementasi atau tindakan- tindakan yg harus
dilakukan untuk mengurangi tingkat kecelakaan transportasi laut, kita harus tau
beberapa Pilar Kebijakan dan Program Strategis dalam Transportasi dan
keselamatan. Tiga Pilar Kebijakan dan Program Strategis dalam Transportasi dan
keselamatan:
1) Tujuan
a. Meningkatkan keandalan sarana dan prasarana transportasi.
b. Meningkatkan Keselamatan Transportasi
c. Meningkatkan Keselamatan Transportasi Nasional.
d. Mengurangi kerugian nasional akibat kecelakaan transportasi.
e. Meningkatkan keamanan transportasi nasional untuk mendukung
pemerataan nasional dan meningkatkan kepercayaan internasional.
2) Program Strategis
a. Mengurangi kemungkinan kecelakaan transportasi
b. Meningkatkan kemampuan,keahlian, sertifikasi & kualifikasi serta
kompetensi awak transportasi
c. Meningkatkan kesiapan, kepedulian dan tanggung jawab awak
transportasi.
d. Melakukan standarisasi/asesmen terhadap sarana dan prasarana
transportasi
e. Mencegah terjadinya terorisme dan gangguan transportasi.

Adapun program Strategi Implementasi ada beberapa macam, diantaranya:


1) Strategi implementasi Jangka Pendek
a. Peningkatan pemahaman atau kesadaran tentang pentingnya
keselamatan transportasi (safety cognisance)
b. Peningkatan komitmen keselamatan (safety commitment) pengelola
prasarana dan sarana transportasi prasarana dan sarana transportasi
c. Penanganan masalah-masalah khusus keselamatan transportasi
d. Melakukan penilaian terhadap sarana dan prasarana transportasi
nasional berdasarkan standar keamanan nasional-internasional.
e. Melakukan penilaian terhadap prasarana transportasi nasional
berdasarkan standar keamanan internasional.
f. Memperbaharui rancangan undang-undang anti terorisme sesuai
perkembangan tingkat terorisme internasional dan mengesahkannya.

2) Stretegi Implementasi Jangka Menengah


a. Peningkatan kemampuan (kompetensi) organisasi operator dan
regulator untuk mengelola keselamatan transportasi (safety
competence) transportasi (safety competence)
b. Pemberian fasilitas pendidikan pada awak transportasi mengikuti
perkembangan kebutuhan transportasi
c. Memperketat toleransi kualifikasi pengguna dan awak transportasi.
d. Membentuk suatu badan keselamatan transportasi nasional
BAB III
KESIMPULAN

Dari beberapa butir point-point diatas dapat disimpulkan bahwa peraturan


tentang keselamatan kerja begitu beragam dan kompleks, sehingga memang
benar-benar di cermati dan di pahami di setiap detail yang dijelaskan, karena
makna dan definisi bias lebih dikembangkan kearah yang lebih dalam.
Peraturan-peraturan tersebut dibuat sedemikian hingga dapat
meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja yang dapat berakibat fatal apabila tidak
ditunjang dengan peralatan Keselamatan Kerja yang memadai dan telah
berstandard.

Anda mungkin juga menyukai