Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN ERGONOMI PERKANTORAN

DI DINAS TENAGA KERJA KABUPATEN PONOROGO

Dian Azizah Nur Aini


K7520022

PRODI PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
A. Makna Penting Ergonomi Perkantoran
B. Keterkaitan Ergonomi Perkantoran dengan Administrasi Perkantoran
II. Tujuan Mempelajari Ergonomi Perkantoran
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Ergonomi Perkantoran
1. Pengertian Kantor
Paul Mahieu dalam (Gie, 2007) menyebutkan bahwa kantor adalah
wadah tempat berlangsungnya pekerjaan administratif suatu badan usaha
yang dapat dilakukan dengan mesin atau tangan. Sementara itu, (Peusner,
1972) membagi kantor ke dalam beberapa kategori, yaitu : kantor
pemerintah, kantor komersial, kantor profesional, dan kantor bisnis.
Manusia dan semua aktifitasnya dalam perkantoran, merupakan faktor
utama dan terpenting dalam penentuan kebutuhan ruang gerak yang
nyaman dalam gedung perkantoran (human centered design).
Kantor merupakan sebuah wadah/tempat untuk melakukan sebuah
pekerjaan. Pekerjaan tersebut berhubungan dengan tercapainya suatu
tujuan yang telah ditargetkan oleh organisasi/instansi tersebut (Himmatul
Aula & Nugraha, 2020). Menurut (Sedarmayanti & Nursiswanto, 2014)
mengatakan bahwa kantor merupakan tempat dilaksanakannya segala
kegiatan/aktivitas yang berhubungan dengan penyampaian suatu
informasi, mengumpulkan, menyimpan, mengolah, sampai dengan
pendistribusian/penyaluran informasi tersebut.
2. Unsur-Unsur Kantor
3. Pengertian Ergonomi Kantor
Dalam buku yang berjudul “Office Ergonomics” (Kroemer, 2001)
menyebutkan bahwa office ergonomic merupakan penerapan ilmu
ergonomi pada pekerjaaan kantor meliputi lingkungan kerja perkantoran
dan peralatan kerja yang digunakan dalam perkantoran seperti perabota
kantor (kursi) serta komputer atau dekstop. Ergonomi kantor (office
ergonomics) dapat diartikan sebagai aturan atau pedoman terkait interaksi
atau hubungan antara pekerja dengan peralatan kerja yang digunakan
ketika melakukan pekerjaan perkantoran (Aisha, Studi, Industri, &
Industri, 2014).
Menurut (Niu, 2010) dan (Pramono, Subekti, & Atmoko, 2021),
postur kerja yang tidak normal dan gerakan yang berulang dapat
menyebabkan penyakit akibat kerja, salah satunya musculokeletal
disoreders (MSDs). Penyakit akibat kerja ini menyerang bagian otot, saraf,
tendon, tulang rawan, dan saraf tulang belakang. Banyak risiko lainnya
yang akan terjadi apabila tidak menerapkan ergonomi kerja dalam
pekerjaan kantor. Ergonomi sendiri adalah bagaimana menyesuaikan
pekerjaan dengan pekerjanya (OHCOW, 2008) dalam (Sarvia, et al., 2022)
sehingga jika berbicara tentang ergonomi kantor tujuannya adalah
bagaimana membuat area kerja di kantor sesuai dengan pekerja dan
pekerjaan yang dilakukannya (Healthwise, 2021).
Faktor risiko dalam pekerjaan kantor terkait penggunaan komputer
untuk menyelesaikan pekerjaan antara lain; kursi, meja komputer, telepon,
keyboard dan mouse. Masing-masing dari peralatan tersebut harus
memenuhi syarat ergonomi agar karyawan dapat menggunakannya dengan
nyaman. Maka dari itu, penerapan ergonomi kerja di perusahaan sangatlah
penting dan harus diperhatikan, terutama untuk para pekerja yang bekerja
menghadap pada komputer.
4. Prinsip-Prinsip Ergonomi Kantor
B. Buku Pedoman Kerja
1. Pengertian Buku Pedoman
2. Macam-Macam Buku Pedoman
3. Peranan Buku Pedoman
4. Syarat Buku Pedoman
5. Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
C. Time and Motion Study dalam Kerja
1. Pengertian Time and Motion Study
Pada awalnya time study dan Motion Study digunakan hanya untuk
hal-hal yang sangat spesifik dan dalam ruang lingkup yang sangat sempit
saja. Kedua bidang studi tersebut pertama kali ditemukan dan
dikembangkan masing-masing oleh Frederick Taylor untuk Time study dan
Gilbreths untuk Motion study yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja
perusahaannya. Walaupun dikembangkan dan ditemukan dalam kurun
waktu yang hampir bersamaan, pada awalnya hanya time study dan
penurunan insentif upah buruh yang lebih berkembang dibandingkan
dengan motion study.
Keinginan untuk mendapatkan metode kerja yang lebih baik
menggema pada kurun waktu 1930-an yang kemudian mengakibatkan
perkembangan keilmuan teknik industri untuk mengkombinasikan time
study dengan motion study yang dapat menghasilkan metode kerja yang
lebih baik dan lebih dekat dengan kata ideal. Sekarang ini permasalahan
mendasar adalah menemukan solusi dan metode yang paling tepat
diterapkan, mengingat pada masa lalu terlalu menekankan pada perbaikan
metode yang telah ada, dibandingkan mendefinisikan permasalahan,
menyusun fakta-fakta, dan menemukan solusi yang tetap. Semula motion
and time study dikembangkan oleh sarjana teknik industri dan staf spesial,
dan hal ini pun berlanjut hingga sekarang. Beberapa menganjurkan bahwa
methods engineering, work design, work study atau job design sebaiknya
digunakan dalam perancangan motion and time study dan saat ini motion
and time study bahkan dapat dikatakan sebagai sinonim dari work methods
design and work measurement.
Time and motion study adalah suatu aktivitas untuk menentukan
waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator (yang memiliki skill rata-
rata dan terlatih) baik dalam melaksanakan sebuah kegiatan kerja dalam
kondisi dan tempo kerja yang normal (Widiawati, 2009). Menurut Marvin
E. Mundel dalam (Pertiwi), istilah time and motion itu sendiri
dapatdiartikan atas dua hal, yakni Motion study merupakan Aspek yang
terdiri dari deskripsi, analisis sistematis dan pengembangan metode kerja
dalam menentukan bahan baku, desain output, proses, alat kerja, tempat
kerja, dan perlengkapan untuk setiap langkah dalam suatu proses, aktivitas
manusia yang mengerjakan setiap aktivitas itu sendiri.
Tujuan metode motion study adalah untuk menentukan atau
mendesain metode kerja yang sesuai untuk menyelesaikan sebuah
aktivitas. Kemudian Time study merupakan Aspek yang terdiri atas
keragaman prosedur untuk menentukan lama waktu yang dibutuhkan
dengan standar pengukuran waktu yang ditetapkan, untuk setiap aktivitas
yang melibatkan manusia, mesin atau kombinasi aktivitas (Widiawati,
2009).
2. Prinsip-Prinsip Time and Motion Study
D. Standar Operating Procedur (SOP)
1. Pengertian Standar Operating Procedur
Prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja yang berkaitan satu
sama lainnya, sehingga menunjukan adanya urutan tahapan secara jelas
dan pasti, serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian
suatu bidang tugas.
Menurut (Nafarin, 2009) menjelaskan bahwa:
“Prosedur (Procedure) adalah urut-urutan seri tugas yang saling
berkaitan dan dibentuk guna menjamin pelaksanaan kerja yang
seragam.”

Menurut (Susanto, 2008) menjelaskan bahwa:


“Prosedur adalah rangkaian aktivitas atau kegiatan yang dilakukan
secara berulang-ulang dengan cara yang sama. Prosedur penting
dimiliki bagi suatu organisasi agar segala sesuatu dapat dilakukan
secara seragam”.

Sedangkan menurut (Mulyadi, 2009) menjelaskan bahwa:


“Prosedur adalah suatu urutan kegiatan klerikal, biasanya
melibatkan beberapa orang dalam satu departemen atau lebih, yang
dibuat untuk menjamin penanganan secara seragam transaksi
perusahaan yang terjadi berulang-ulang.”
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli mengenai prosedur, maka
penulis mengambil kesimpulan bahwa prosedur adalah suatu urutan
langkah-langkah pemrosesan data atau urutan kegiatan yang melibatkan
beberapa orang dalam satu departemen atau lebih yang dibuat untuk
menjamin penanganan secara seragam terhadap suatu transaksi perusahaan
yang terjadi berulang-ulang.
Menurut (Insani, 2010), Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah
dokumen yang berisi serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan
mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi perkantoran yang
berisi cara melakukan pekerjaan, waktu pelaksanaan, tempat
penyelenggaraan dan aktor yang berperan dalam kegiatan. Sedangkan,
menurut (Atmoko, 2011) Standar Operasional Prosedur merupakan
gambaran langkah-langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja
internal) yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai
tujuan instansi pemerintah.
SOP sebagai suatu dokumen/instrumen memuat tentang proses dan
prosedur suatu kegiatan yang bersifat efektif dan efisien berdasarkan suatu
standar yang sudah baku. Menurut pendapat tersebut, maka SOP
merupakan bagian dari peraturan tertulis yang membantu untuk mengontrol
perilaku anggota organisasi. SOP mengatur cara pekerja untuk melakukan
peran keorganisasiannya secara terus menerus dalam pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab organisasi.
2. Cara Menyusun Standar Operating Procedur
E. Tata Ruang Kantor
1. Pengertian Tata Ruang
Kantor merupakan tempat sebagai pusat pekerjaan di dalam
organisasi dilakukan. Tata ruang kantor dalam bahasa Inggris disebut
dengan “office layout”. Terdapat beberapa definisi tentang tata ruang
kantor menurut para ahli yaitu sebagai berikut:
a. Menurut G. R. Terry dalam (Wursanto, 2007) kantor adalah orang –
orang. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa suatu kenyataan
bahwa pekerjaan kantor itu dilaksanakan oleh orang-orang, dan untuk
kepentingan orang-orang. Wajah kantor sangat ditentukan oleh
aktivitas orang yang ada di dalam kantor.
b. Quible dalam bukunya The Liang Gie menyatakan bahwa tata ruang
kantor menjelaskan bagaimana penggunaan ruang secara efektif serta
mampu memberikan kepuasan kepada pegawai terhadap pekerjaan
yang dilakukan, maupun memberikan kesan yang mendalam bagi
pegawai (Moekijat, 2008).
Untuk memperjelas pengertian tata ruang perkantoran itu dapatlah
dikutip dua perumusan dari (Gie T. L.) sebagai berikut:
a. “Office layout may be defined as the arrangement of furniture and
equipment within available floor spece”. (Tata ruang perkantoran
dapat dirumuskan sebagai penyusunan perabot dan alat perlengkapan
pada luas lantai yang tersedia).
b. “Office layout is the determination of the space requirements and of
the detailed utilization of this space in orde to provide a participal
arrangement of the physical factors considered necessary for the office
work within reasonable costs”. (Tata ruang perkantoran adalah
penentuan mengenai kebutuhan – kebutuhan ruang dan tentang
penggunaan secara terperinci dari ruang ini untuk menyiapkan suatu
susunan praktis dari faktor-faktor fisik yang dianggap perlu bagi
pelaksanaan kerja perkantoran dengan biaya yang layak).
Selain itu, berdasarkan pendapat Sedarmayanti dalam (Puspitasari
& Oktarina, 2018) office layout merupakan cara membuat susunan dan
mengatur seluruh mesin kantor, alat-alat kantor yang biasa digunakan
pegawai, beserta perabotan pada lokasi ruangan yang sesuai, maka
karyawan bisa bertugas secara mudah dan membuat senang serta tujuan
kerja dapat dicapai secara efisien. Sedangkan menurut (Anggraeni &
Yuniarsih, 2017) tata ruang adalah usaha untuk mengatur susunan
perbekalan kantor yang biasa dipakai pegawai saat bekerja di daerah yang
benar dan sesuai. Oleh karena itu, para karyawan bisa melakukan
pekerjaannya secara bagus serta mempunyai rasa senang pada saat bekerja
sehingga efektivitas dan efisiensi kerja pegawai dapat dicapai.
Menurut (Sedarmayanti & Nursiswanto, 2014) terdapat indikator
yang digunakan dalam penentuan layout kantor yang baik, yaitu
lingkungan fisik, perancangan sistem kerja, dan penataan ruang kantor.
Lingkungan fisik yaitu meliputi suhu ruangan, sirkulasi udara di dalam
ruangan, terhindar dari kebisingan, pencahayaan, bau, dan warna cat
ruangan. Hal tersebut akan baik apabila pegawai dapat melakukan
pekerjaannya secara maksimal, nyaman, aman, dan sehat. Namun
sebaliknya, apabila pegawai merasa tidak sehat, tidak nyaman, dan tidak
aman, maka lingkungan fisik tersebut dapat dikatakan buruk.
Perancangan sistem kerja maupun sistem kerja yang baik akan
membentuk kebutuhan pola kerja, sehingga dapat menciptakan adanya
aktualisasi tugas pegawai secara tepat tentu juga harus berdaya guna. Hal
tersebut didukung juga melalui penggunaan dasar prinsip pengaturan kerja
ergonomi, pengaturan waktu dan tenaga, studi gerak, serta dampak secara
psikologis dan sosial. Penataan ruang kantor berhubungan dengan suatu
cara dan teknik terhadap penggunaan kebutuhan ruangan dan penggunaan
ruang dengan rinci dan sistematis. Penentuan tersebut yaitu untuk
mempersiapkan pengaturan serta susunan alat, perlengkapan, dan perabot
kantor pada tempat yang sesuai.
2. Pedoman Penyusunan Ruang Kantor
Teknik penyusunan tata ruang kantor merupakan hal penting untuk
dilakukan, agar ruang kantor lebih tertata rapi. Sehingga memberikan
kenyamanan dan dapat mempengaruhi kinerja bagi para guru maupun
tenaga kerja yang bersangkutan dalam suatu ruang kantor. Perencanaan
dalam penataan tata ruang kantor antara lain: mempelajari segenap
pekerjaan yang ada dalam suatu kantor spesifikasi letak jendela, dan pintu
serta pilar/tiang, menyusun letak meja kerja untuk para pegawai dengan
berpedoman yang ada. Ruangan dilengkapi meja, kursi, lemari dengan
menggeser-geser posisi tata letaknya, serta kantor disesuaikan dengan
warna yang terang, dan pimpinan kantor memperhatikan pula bahwa
satuan unit kerja yang mengerjakan masalahrahasia diletakan jauh dari
pintu masuk untuk umum, sedangkan unit yang banyak menerima tamu
ditempatkan pada dekat pintu masuk.
Menurut Gie dalam (Zulkarnain, 2015), ada beberapa aspek teknis
seperti:
a. Meja-meja kerja disusun menurut garis lurus dan menghadap ke
jurusan yang sama atau disesuaikan dengan posisi yang mengikuti arus
dan aktifitas kerja yang ada.
b. Pada tata ruang yang terbuka susunan meja-meja itu dapat terdiri atas
beberapa baris atau beberapa kelompok kerja, dan pastikan secara ideal
luas ruang kerja untuk satu orang karyawan lebih kurang 3.7 m.
c. Diantara baris-baris meja itu disediakan lorong untuk keperluan lalu
lintas para pegawai.
d. Jarak antara sesuatu meja dengan meja yang dimuka atau yang di
belakangnya sebesar 80 cm.
e. Pejabat pimpinan bagian yang bersangkutan ditempatkan dibelakang
para pegawainya atau di bagian depan untuk memudahkan pimpinan
menerima tamu dan mengawasi para pegawai yang menjadi tanggung
jawabnya. Penyusunan meja diruang kantor sangat perlu diperhatikan,
untuk memudahkan para pegawai berintraksi di dalam ruang kantor.
Mengenai jarak meja juga diatur ukuranya agar lebih tertata rapi dan
pastinya menjaga kehangatan setiap individu yang berada di ruang
kantor.
f. Pada tata ruang terbuka pegawai dikelompokkan di bawah pengawasan
seorang pejabat mereka ditempatkan di dekat masingmasing pejabat
yang bertanggung jawab atas kelompok itu.
g. Pegawai-pegawai yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lembur,
misalnya mencatat angka-angka kecil secara cermat atau melukis
gambar-gambar yang halus, diberi tempat yang terbanyak memperoleh
penerangan cahaya.
h. Pegawai-pegawai yang bertugas mengenai urusan-urusan yang
mengandung risiko urusan besar ditempatkan di pojok yang tidak
sering dilalui lalu lintas orang-orang.
i. Pegawai-pegawai yang sering membuat hubungan kerja dengan
bagian-bagian lainnya atau dengan publik, ditempatkan di dekat pintu.
j. Lemari dan alat-alat kantor yang menimbulkan suara ribut, misalnya
mesin stensil atau printer ditaruh didekat jendela.
k. Meja yang memuat alat-alat yang banyak memberikan getaran,
misalnya saja mesin hitung, tidak boleh menempel tembok atau tiang,
hal ini untuk mencegah getaran mengganggu seluruh ruangan.
l. Lemari yang berat atau peti besi dapat diletakkan menempel tembok
atau tiang. Bagi pejabat pimpinan yang sering-sering harus menerima
tamu penting dan membicarakan urusan-urusan yang bersifat rahasia.
m. Dapatlah dibuatkan kamar tamu sendiri.
n. Apabila seorang kepala atau tenaga ahli karena sifat pekerjaanya
benar-benar membutuhkan ruang tersendiri, dapatlah dibuatkan kantor
pribadi berukuran 2,5 x 3,6 = 9 m persegi.13
Dalam penataan ruang kantor harus selalu memperhatikan teknik
maupun langkah-langkahnya, agar segala kegiatan yang dilakukan di ruang
kantor tidak terhambat, sehingga para personalia yang berada dilingkungan
tersebut nyaman dan mampu memberikan efek positif pada peningkatan
kinerjanya.
3. Asas-Asas Tata Ruang Kantor
Dalam pelaksanaan ruang kantor banyak hal-hal yang perlu
diperhatikan agar dapar tersusun ruang kerja yang baik untuk jenis
pekerjaan tertentu dan mengatasi kemungkinan bila sewaktu-waktu ingin
merubah tatanan ruang kantor. Ada 4 asas pokok tata ruang yang
dikemukakan oleh Gie dalam (Suardi, 2014) yaitu sebagai berikut:
a. Asas mengenai jarak terpendek: penerapan asas ini adalah dengan
meletakan barang-barang yang diperlukan pegawai dalam bekerja di
dekat tempat duduknya, sehingga akan mengurangi pemborosan
waktu dan tenaga, agar penyelesaian pekerjaan cepat selesai.
b. Asas mengenai rangkaian kerja: yaitu pengaturan dan penempatan
para pegawai seharusnya disesuaikan dengan urutan pelaksanaan dan
penyelesaian pekerjaan.
c. Asas megenai penggunaan segenap ruang: yaitu suatu ruangan harus
ditata sedemikian rupa sehingga suatu ruangan tersebut dapat
dimanfaatkan secara optimal. Artinya, semua sudut dan sisi ruangan
terpakai sesuai dengan komposisinya, tidak terjadi penumpukan di
suatu sudut tetapi disudut yang lain justru dimanfaatkan.
d. Asas mengenai perubahan susunan tempat kerja bagi para pegawai:
adalah asas yang menerapkan prinsip fleksibelitas. Artinya ruangan
tersebut bisa diubah susunannya sesuai dengan situasi dan kondisi,
dengan tidak mengeluarkan biaya yang terlampau banyak.
Banyak sekali hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan tata
ruang kantor mulai dari hal yang terkecil hingga hal yang terbesar. Ini
semua dilakukan untuk mencapai tujuan sekolah dalam meningkatkan
kualitasnya. Oleh sebab itu mengenai jarak, rangkaian kerja, penggunaan
segenap ruangan, hingga perubahan susunan tempat kerjapun senantiasa
diusahakan lebih baik, menarik, dan sesuai dengan prosedur serta
ketentuan yang telah ditetapkan dalam pelaksanan ruang kantor.
4. Menyusun Tata Ruang Kantor
F. Komunikasi Kantor
1. Pengertian Komunikasi Kantor

2. Bentuk-Bentuk Komunikasi Kantor


G. Iklim Kerja

H. Lingkungan Kantor
1. Lingkungan Kantor/Kerja
Menurut (Mardiana, 2005) “Lingkungan kerja adalah lingkungan
dimana pegawai melakukan pekerjaannya sehari-hari”. Lingkungan kerja
yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan para pegawai
untuk dapat berkerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi
emosi pegawai. Jika pegawai menyenangi lingkungan kerja dimana dia
bekerja, maka pegawai tersebut akan betah di tempat kerjanya untuk
melakukan aktivitas sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif dan
optimis prestasi kerja pegawai juga tinggi. Lingkungan kerja tersebut
mencakup hubungan kerja yang terbentuk antara sesama pegawai dan
hubungan kerja antar bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat
pegawai bekerja.
Menurut (Nitisemito, 2001) ”Lingkungan kerja adalah segala
sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya
dalam menjalankan tugastugas yang diembankan.” Selanjutnya menurut
Maryati dalam (Hendri, 2012) banyak faktor yang mempengaruhi
kenyamanan kerja, salah satunya bisa diciptakan melalui perencanaan
lingkungan fisik kantor yang baik, dikarenakan lingkungan fisik kantor
secara langsung akan bersentuhan dengan tubuh kita ,melalui panca indra
kemudian mengalir kedalam hati. Kondisi lingkungan kerja yang
menyangkut segi fisik adalah segala sesuatu yang menyangkut segi fisik
dari lingkungan kerja. Sedangkan lingkungan kerja non fisik merupakan
lingkungan kerja yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, seperti
warna, bau, suara, dan rasa.
Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik apabila dapat
melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, nyaman dan aman, lebih
jauh lagi lingkungan kerja yang kurang baik dapat menyebabkan tidak
efisiennya suatu rancangan sistem kerja, hal ini dikarenakan pola
lingkungan kerja adalah pola tindakan angota organisasi yang
mempengaruhi efektivitas organisasi secara langsung atau tidak langsung,
yang meliputi kinerja dan produktivitas, absenteisme dan perputaran, serta
keanggotaan organisasi.
2. Lingkungan Kerja Fisik
Hubungan antara lingkungan fisik dengan kenyamanan kerja
sangat signifikan. Perasaan nyaman berpusat di hati setiap orang,
lingkungan fisik kantor akan bersentuhan langsung dengan tubuh kita,
melalui media panca indera tersebut kemudian mengalir kedalam hati
sehingga lingkungan fisik kantor yang baik akan menimbulkan perasaan
nyaman. Misalnya seseorang akan merasa nyaman dalam bekerja karena
lingkungan kerjanya tertata rapi dan bersih, warna- warna cat dinding atau
peralatan kantor serasi, dan penerangan kantor yang memadai. Bekerja
akan lebih tenang kalau lingkungan kerja tidak bising, tidak ada suara-
suara yang menganggu konsentrasi kerja atau mungkin bekerja akan lebih
nyaman jika sambil mendengarkan musik yang menyemangati atau yang
menimbulkan inspirasi.
Menurut Sedarmayanti dalam (Ranayudha, 2020) “lingkungan
kerja fisik adalah semua yang terdapat disekitar tempat kerja yang dapat
mempengaruhi pegawai baik secara langsung maupun tidak langsung”.
Sedangkan menurut (Sarwono, 2005) “Lingkungan kerja fisik adalah
tempat kerja pegawai melakukan aktivitasnya”. Lingkungan kerja fisik
mempengaruhi semangat dan emosi kerja para karyawan. Faktor-faktor
fisik ini mencakup suhu udara di tempat kerja, luas ruang kerja,
kebisingan, kepadatan, dan kesesakan. Faktor-faktor fisik ini sangat
mempengaruhi tingkah laku manusia. Selanjutnya menurut Sarwono
menyatakan “Peningkatan suhu dapat menghasilkan kenaikan prestasi
kerja tetapi dapat pula malah menurunkan prestasi kerja.” Selanjutnya
Lingkungan kerja fisik adalah keseluruhan atau setiap aspek dari gejala
fisik dan sosial-kultural yang mengelilingi atau mempengaruhi individu.
Lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-
tugas yang dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak,
keamanan, kebersihan, musik dan lain-lain (Nitisemito, 2001).
Berdasarkan definisi tersebut dapat dinyatakan lingkungan kerja fisik
adalah segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan bekerja yang
mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan beban tugasnya.
Menurut (Hendri, 2012) terdapat indikator-indikator lingkungan
kerja fisik adalah sebagai berikut :
a. Pewarnaan
b. Penerangan
c. Udara
d. Suara Bising
e. Ruang Gerak
f. Keamanan
g. Kebersihan

3. Lingkungan Kerja Non Fisik


Menurut (Serdamayanti, 2001), “Lingkungan kerja non fisik adalah
semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik
hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun
hubungan dengan bawahan”. Sementara itu, (Wursanto I. , 2009)
menyebutnya sebagai lingkungan kerja psikis yang didefinisikan sebagai
“sesuatu yang menyangkut segi psikis dari lingkungan kerja”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat dikatakan
bahwa lingkungan kerja non fisik disebut juga lingkungan kerja psikis,
yaitu keadaan di sekitar tempat kerja yang bersifat non fisik. Lingkungan
kerja semacam ini tidak dapat ditangkap secara langsung dengan
pancaindera manusia, namun dapat dirasakan keberadaannya. Jadi,
lingkungan kerja non fisik merupakan lingkungan kerja yang hanya dapat
dirasakan oleh perasaan.
Berdasarkan pendapat dan uraian tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa lingkungan kerja non fisik adalah lingkungan kerja yang tidak
dapat ditangkap dengan panca indera manusia. Akan tetapi, lingkungan
kerja non fisik ini dapat dirasakan oleh para pekerja melalui hubungan-
hubungan sesama pekerja maupun dengan atasan. Kajian tentang
lingkungan kerja non fisik sebagaimana diuraikan di atas bertujuan untuk
membentuk sikap pegawai. Sikap yang diharapkan tentunya adalah sikap
positif yang mendukung terhadap pelaksanaan kerja yang dapat menjamin
pencapaian tujuan organisasi. Sehubungan dengan masalah pembentukan
dan pengusahan sikap, (Wursanto I. , 2009) mengemukakan bahwa unsur
penting dalam pembentukan dan pengubahan sikap dan perilaku, yaitu
adalah sebagai berikut.
1) Pengawasan yang dilakukan secara kontinyu dengan menggunakan
sistem pengawasan yang ketat.
2) Suasana kerja yang dapat memberikan dorongan dan semangat kerja
yang tinggi.
3) Sistem pemberian imbalan (baik gaji maupun perangsang lain) yang
menarik.
4) Perlakuan dengan baik, manusiawi, tidak disamakan dengan robot
atau mesin, kesempatan untuk mengembangkan karir semaksimal
mungkin sesuai dengan batas kemampuan masing-masing anggota.
5) Ada rasa aman dari para anggota, baik di dalam dinas maupun di luar
dinas.
6) Hubungan berlangsung secara serasi, lebih bersifat informal, penuh
kekeluargaan.
7) Para anggota mendapat perlakuan secara adil dan objektif.
Pendapat lain dikemukakan oleh Herman dalam (Hendri, 2012) bahwa
“faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan internal pegawai atau
sumber daya manusia meliputi serikat kerja, sistem informasi,
karakter/budaya organisasi, dan konflik-konflik internal”. Pendapat
Herman tersebut jika disimak cenderung mengarah kelingkungan kerja
non fisik. Jadi dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang tersebut
merupakan faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja non fisik.
Menurut (Nitisemito, 2001) perusahan hendaknya dapat
mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama antara tingkat atasan,
bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang sama di perusahaan.
Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluargaan,
komunikasi yang baik dan pengendalian diri. Membina hubungan yang
baik antara sesama rekan kerja, bawahan maupun atasan harus dilakukan
karena kita saling membutuhkan. Hubungan kerja yang terbentuk sangat
mempengaruhi psikologis karyawan.

I. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3S)


Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan
upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun
rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya
dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan
pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya
dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja. Kesehatan dan keselamatan Kerja (K3) tidak dapat dipisahkan
dengan proses produksi baik jasa maupun industri. 1. Keselamatan Kerja
Keselamatan Kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat,
alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan
lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan Kerja
memiliki sifat sebagai berikut. a. Sasarannya adalah lingkungan kerja. b.
Bersifat teknik. Pengistilahan Keselamatan dan Kesehatan Kerja bermacam-
macam, ada yang menyebutnya Hygene Perusahaan dan Kesehatan Kerja
(Hyperkes) dan ada yang hanya disingkat K3, dan dalam istilah asing dikenal
Occupational Safety and Health. 2. Kesehatan Kerja Pengertian sehat
senantiasa digambarkan sebagai suatu kondisi fisik, mental dan sosial
seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau gangguan kesehatan
melainkan juga menunjukkan kemampuan untuk berinteraksi dengan
lingkungan dan pekerjaannya. Paradigma baru dalam aspek kesehatan
mengupayakan agar yang sehat tetap sehat dan bukan sekadar mengobati,
merawat, atau menyembuhkan gangguan kesehatan atau penyakit. Oleh
karenanya, perhatian utama di bidang kesehatan lebih ditujukan ke arah
pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya penyakit serta pemeliharaan
kesehatan seoptimal mungkin. Status kesehatan seseorang menurut Blum
(1981) ditentukan oleh empat faktor sebagai berikut. a. Lingkungan, berupa
lingkungan fisik (alami, buatan), kimia (organik/anorganik, logam berat, debu),
biologik (virus, bakteri, mikroorganisme), dan sosial budaya (ekonomi,
pendidikan, pekerjaan). b. Perilaku yang meliputi sikap, kebiasaan, tingkah
laku. c. Pelayanan kesehatan: promotif, perawatan, pengobatan, pencegahan
kecacatan, rehabilitasi. d. Genetik, yang merupakan faktor bawaan setiap
manusia. Definisi kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu
kesehatan/kedokteran beserta praktiknya yang bertujuan agar
pekerja/masyarakat pekerja beserta memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, baik fisik atau mental, maupun sosial dengan usaha-usaha
preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan
kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta
terhadap penyakit-penyakit umum. Konsep kesehatan kerja dewasa ini semakin
berubah, bukan sekadar “kesehatan pada sektor industri” saja melainkan juga
mengarah kepada upaya kesehatan untuk semua orang dalam melakukan
pekerjaannya (total health of all at work). Keselamatan kerja sama dengan
hygene perusahaan. Kesehatan kerja memiliki sifat sebagai berikut. a.
Sasarannya adalah manusia. b. Bersifat medis. Situasi dan kondisi suatu
pekerjaan, baik tata letak tempat kerja atau material-material yang digunakan,
memiliki risiko masing-masing terhadap kesehatan pekerja. Ridley (2008)
menyatakan bahwa kita harus memahami karakteristik material yang
digunakan dan kemungkinan reaksi tubuh terhadap material tersebut untuk
meminimasi risiko material terhadap kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai