Anda di halaman 1dari 23

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Ergonomi Partisipatori


2.1.1 Konsep Ergonomi Partisipatori
Partisipatori ergonomi merupakan salah satu pendekatan proses yang
dilakukan untuk melaksanakan program intervensi ergonomi (Nurmianto, 2008;
Purnomo, 2007; Udo dkk, 2006; wells dkk, 2003; St-Vincen, 2001). Ergonomi
Partisipatori adalah partisipasi aktif dari karyawan pada semua level untuk
menerapkan ergonomi program di tempat kerjanya untuk meningkatkan kondisi
lingkungan kerjanya.
Menurut Sukapto (2008) menyatakan ergonomi partisispatori memiliki 4
elemen pokok yang saling berinteraksi yang terdiri dari karyawan, pengelola
perusahaan, pengetahuan dan metode ergonomi dan konsep disain
pekerjaan. Pentingnya melibatkan karyawan pada semua level untuk mencapai
kesuksesan dalam intervensi ergonomi adalah
1.Karyawan adalah orang yang paling tahu terhadap pekerjaannya
2.Karyawan akan tahu solusi ergonomi yang paling tepat untuk dirinya agar
semakin nyaman dalam bekerja
3.Menjadikan karyawan terlibat dalam proses perubahan
4.Untuk membangun budaya ergonomi yang aman, sehat dan nyaman
Program intervensi ergonomi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
resiko kesehatan dan keselamatan kerja, meningkatkan kondisi lingkungan kerja
untuk mendorong kesejahteraan karyawan, meningkatkan produktivitas dan
kualitas serta mengurangi ketidaknyamanan dan kesalahan manusia (Ercan &
Erdinç, 2006). Wells (2003) menyatakan untuk memulai program ergonomi
diperlukan beberapa persiapan yaitu membentuk komitmen dan dukungan dari
manajemen, membentuk tim ergonomi dan memberikan pelatihan dasar tentang
ergonomi.
Menurut Nagamachi (1995) menyatakan bahwa ergonomi partisipatori
merupakan sebuah konsep dengan melibatkan pekerja secara aktif untuk terlibat d

22
23

dalam mengimplementasikan pengetahuan dan prosedur ergonomi di tempat kerja


mereka. Sedangkan menurut (Haines & Wilson, 1998) mendefinisikan ergonomi
partisipatori sebagai proses perencanaan dan pengendalian dari sejumlah aktivitas
yang melibatkan operator dengan pengetahuan dan kemampuan yang memadai
dalam mempengaruhi proses dan hasil untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut (Motamedzade et al., 2003) ergonomi partisipasi merupakan suatu
teknik untuk mengatur hubungan antar pekerja yang bekerja bersama untuk tujuan
bersama atau menemukan solusi bersama. Orang yang menguasai ilmu ergonomi
partisipasi berperan sebagai jembatan antar individu agar mereka dapat bekerja
bersama dan tujuan pun tercapai. Aktivitas bisa dijalankan dengan melibatkan
banyak pihak, tiap-tiap elemen diberi otonomi untuk berkembang. Metode ini dapat
berjalan dengan baik bila adanya partisipasi dari semua pihak. Pihak-pihak terkait
haruslah memiliki visi dan misi yang sama agar dapat saling membantu untuk
mencapai kesuksesan bersama.
Untuk melaksanakan program ergonomi partisipatori di sebuah industri
diperukan 6 tahapan yaitu:
1. Mengidentifikasi pekerjaan/lokasi yang akan dilakukan perbaikan
2. Melakukan evaluasi ergonomi dan faktor- faktor resiko bahaya dan
menentukan prioritas pekerjaan yang akan dilakukan perbaikan.
3. Menentukan solusi pemecahan masalah ergonomi
4. Melakukan ujicoba solusi yang telah dirancang
5. Mengevaluasi hasil penerapan solusi yang telah dirancang
6. Mengimplementasikan solusi
7. Untuk melakukan perbaikan selanjutnya kembali ke langkah 1
Pada dasarnya pendekatan pada Ergonomi Partisipatori adalah seluruh
peserta diharapkan memiliki keterlibatan langsung dalam perencanaan dan
pelaksanaan tugas-tugas mereka, seperti dengan diadakannya rapat atau pertemuan-
pertemuan yang bertujuan untuk saling tukar pikiran atau menyumbangkan ide-ide
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tugas dengan baik dan sempurna.
Menurut Van Eerd et al. (2010), Ergonomi Patisipatori adalah keterlibatan
dari individu-individu dalam perencanaan dan pengawasan sejumlah aktifitas kerja
24

mereka dengan pengetahuan yang cukup dan kekuasaan untuk mempengaruhi


proses dan hasil dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Sebagian tempat kerja yang menggunakan intervensi ErgoP membentuk
“tim” ergonomi yang mengarahkan proses intervensi tersebut. Kelompok ini
biasanya terdiri dari karyawan, manajer, ahli ergonomi, anggota divisi kesehatan
dan keselamatan kerja dan peneliti. Tim ini biasanya membuat pelatihan untuk
memperkenalkan mereka yang masih awam dengan prinsip-prinsip ergonomi.
Menggabungkan ilmu dari luar dengan pengalaman organisasi yang unik membuat
pemberian intervensi ergonomi yang sesuai dengan kebutuhan dari suatu tempat
kerja menjadi mungkin. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan bahwa intervensi
yang diberikan akan berhasil (Van Eerd et al., 2010).

2.1.2 Penelitian Terdahulu Ergonomi Pertisipatori


Menurut (Matthews, Gallus, & Henning, 2011) ergonomi partisipatori
digunakan untuk mengupayakan perbaikan kondisi kerja di mana para pekerja
diajak ikut memikirkan dan mengambil tindakan terkait dengan perbaikan atau
intervensi yang akan dilakukan oleh peneliti. Ergonomi partisipatori dapat
mengurangi resiko kelelahan kerja yang disebabkan work related musculoskeletal
disorders (Aznam et al., 2017). Dipenilitian aznam menjelaskan bahwa work related
musculoskeletal mucul dari ganguan otot,saraf dan ganguan tendon yang dimana
disebabkan oleh kelahan kerja. Pengaruh lingkungan fisik kerja dapat
mempengaruhi produktivitas dan keselamatan kerja yang dimana bisa diselesaiakan
dengan pendekatan ergonomi pastisipatori (Wardana et al., 2019). Lingkungan
kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang
mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas yang dibebankan, misalnya
pencahayaan, suhu dan kebisingan (Nitisemito, 2002). Ergonomi partisipatori dapat
mengurangi resiko kecelakaan kerja dengan penggunaaan alat pelindungi diri yang
disebabkan human eror (Ikasari et al., 2018). Penelitian ikasari menjelaskan bahwa
pentingnya alat pelindung diri buat karyawan karena bisa mengurangi resiko
kecelakaan kerja melalui penyeleaian ergonomic patisipatori. Menurut
(Motamedzade et al., 2003) dalam penelitianya menyatakan bahwa ergonomi
25

pasrtisipatori dapat mengurangi resiko kecelakaan kerja dan berpengaruh terhadap


produktivitas kerja.
Tabel 2. 1 Penelitian sebelumnya
Penulis Masalah Yang Metode Temuan Penulis
diselediki
Van Eerd et al. (2010) Proses dan implementasi Ergonomi Ergonomi Partisipatori
intervensi ergonomis Partisipatoi cenderung berfokus pada
partisipatif perubahan fisik dan
proses kerja.
(Aznam, Safitri, & Ergonomi Partisipatori Ergonomi Dengan ergonomic
Anggraini, 2017 untuk mengurangi Partisipatori partisipatori bisa
potensi WMSD menurunkan level Rula
menjadi 1 tingkat
(Wardana, Ergantara, Analisa pengaruh Ergonomi Suhu sejuk dan ideal
Anggraini, & Sugianto, lingkungan kerja Partisipatori mempengaruhi
2019 terhadap produktivitas produktivitas yang
melalui pendekatan dihasilkan pekerja
ergonomic partisipatori
Ikasari, Lantara, Analisa APD terhadap Ergonomi Bahwa penggunaan APD
Chairany, & Bella, 2018 produktivtas karyawan Partisipatori berpengaruh signifikan
menggunakan terhadap produktivitas
pendekatan ergonomic kerja dan pengaruh
pasrtisipatori kepada setiap variabel
(Motamedzade et al., Dampak ergonomic Ergonomi Bahwa kondisi kerja dan
2003 ptisipatori terhadap Partisipatori kualitas kerja berpengaruh
kondisi kerja, kualitas terhadap prodktivitas kerja
dan produktivitas menggunakan
penyelesaiaan ergonomic
pastisipatori
Nagamachi, M. (1995) Syarat dan praktik Ergonomi Ergonomi pasrtisipatori
ergonomi partisipatif pasrtisipatori adalah teknologi
26

ergonomic yang sangat


kuat untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja
Philip JW Carrivick dkk Mengevaluasi efektivitas Ergonomi Melalui pendekatan
2007 pendekatan ergonomi Partisipatori ergonomic pastisipatori
partisipatif dalam pekerja jadi lebih nyaman
mengurangi risiko dan dalam pekerja dan bisa
tingkat keparahan cedera mengurangi resiko cidera
atau kecelakaan kerja
(Rasmussen et al., 2017) Proses, hambatan, dan Ergonomi Banyak faktor yang
fasilitator hingga Partisipatori teridentifikasi yang bisa
implementasi program diselesaikan melalui
ergonomi partisipatif di pendekatan ergonomic
antara pekerja perawatan pastisipatori untuk
lansia ditranferkan ke pekerja
lansia.

2.1.3 Theoretical Framework


Dalam membuat sebuah laporan penelitian, kerangka berpikir/kerangka
teoritis (Theoretical Framework) merupakan output atau hasil dari kegiatan tinjauan
pustaka (literature review). Andrade (2009) mendefinisikan Theoritical Framework
sebagai sebuah model konseptual tentang bagaimana seorang peneliti berteori
mengenai keterkaitan antara faktor-faktor yang telah teridentifikasi sebagai hal-hal
yang penting bagi masalah.
Dalam buku yang sama, yaitu metode Penelitian untuk bisnis mengatakan
bahwa Theoritical framework menggambarkan keterkaitan antar lebih dari satu
variabel yang dianggap terintegrasi pada dinamika situasi yang sedang
diteliti/diinvestigasi. Setelah masalah berhasil diidentifikasi, langkah selanjutnya
adalah melakukan tinjauan pustaka untuk mencari variabel-variabel yang
terkait/memiliki kontribusi terhadap masalah tersebut. Setelah variabel-variabel
tersebut diidentifikasi, selanjutnya mengelaborasi keterkaitan/hubungan antara
27

variabel tersebut, lalu diturunkan menjadi hipotesis yang relevan. Hipotesis tersebut
kemudian akan dibuktikan dengan menggunakan metode analisis data yang sesuai.
Theoretical framework selanjutnya akan menjadi landasan bagi seluruh proses
penelitian.
Dibawah ini peneliti membuatkan sebuah theoretical framework untuk
penelitian ini.

MUSKOLUSKELETAL
DISORDER BEBAN KERJA

KELELAHAN KERJA

ALAT PELINDUNG DIRI

ALAT BANTU
KERJA

ERGONOMI
PARTISIPATORI
KESEHATAN DAN
DESAIN
KESELAMATAN KERJA

TATA LETAK

LINGKUNGAN
FISIK KERJA

PENCAHAYAAN TEMPERATUR
LINGKUNGAN

Gambar 2. 1 theoretical framework


Theoretical framework yang baik setidaknya mencakup (Sekaran, 2003) :
1. Variabel – variabel yang dianggap relevan bagi penelitian harus diidentifikasi
secara jelas dan diberi nama yang mudah dimengerti dalam pembahasan.
2. Pembahasan harus menyatakan bagaimana dua atau lebih variabel saling
berkaitan satu sama lain.
3. Jika sifat dan arah hubungan antar variabel dapat disusun berdasarkan
penemuan pada penelitian sebelumnya, maka harus ada indikasi dalam
penjelasan apakah hubungan akan menjadi positif atau negatif.
4. Harus ada keterangan yang jelas alasan menetapkan hubungan antar variabel.
28

5. Argumen dapat ditarik dari temuan penelitian sebelumnya. Diagram skematik


dari kerangka teoritis harus digambarkan untuk memudahkan pembaca
memahami keranga teoritis tersebut.

2.1.4 Stake Holder Ergonomi Partisipatori


Analisis stakeholder diperlukan untuk mengetahui siapa saja yang memiliki
kepentingan/peran secara langsung maupun tidak langsung terhadap
program/proyek yang akan dilaksanakan. Analisis stakeholder atau disebut juga
analisis peran, peran pihak-pihak yang terkait dalam program
Analisis stakeholder merupakan suatu alat untuk:
1. Memberikan gambaran mengenai semua lembaga, kelompok dan individu
yang berkaitan atau berkepentingan dengan program
2. Mengidentifikasi kepentingan pihak-pihak tersebut
3. Menelaah konsekuensi dan implikasi yang harus dipertimbangkan dalam
penyusunan rencana program maupun kegiatan
Dibawah ini peneliti membuatkan sebuah Stakeholder untuk penelitian ini .

Gambar 2. 2 Stake Holder Ergonomi Partisipatori


29

2.2 Kelelahan Kerja


Kelelahan ialah kondisi dimana seorang pekerja mengalami perasaan lelah
dan dapat menurunkan kesiagaan yang berpengaruh terhadap produtivitas kerja.
Menurut Grandjean (1993a) kelelahan kerja merupakan gejala yang ditandai
dengan adanya perasaan lelah dan penurunan kesiagaan. Secara konseptual keadaan
lelah meliputi aspek fisiologis maupun aspek psikologis dan bersifat subjektif
dimana ditandai dengna penurunan kinerja fisikm perasaan lelah dll. Menurut
Lientje Setyawati (2010) kelelahan kerja merupakan fenomena yang disebabkan
oleh faktor biologi pada proses kerja yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun
eksternal.
Faktor internal yang menjadi pengaruh terjadinya kelelahan kerja yaitu
lingkungan kerja yang tidak memadai, dan eksternal pengaruh kelelahan kerja yaitu
masalah psikososial(Lientje Setyawati, 2010). Kelelahan kerja dapat menunjukan
keadaan yang berbeda-beda yang semuanya berkaitan dengan pengurangan
kapasitas kerja dan ketahanan umum (L Setyawati, 1995). Semua pekerjaan akan
mengakibatkan kelelahan kerja, dan kelelahan kerja akan menurunkan sebuah
kinerja serta menambah tingkat kesalahan kerja (Nurmianto, 1996). Setiap pekerja
dengan melebihi batas tertentu akan menimbulkan kelelahan, oleh karena itu setiap
perusahaan haruslah memikirkan waktu istirahat sebelum tenaga pulih kembali.
Menurut Tarwaka and Sudiajeng (2004) Kelelahan adalah suatu
mekanisme perlindungan dari tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan sehingga
terjadi pemulihan setelah melakukan istirahat. Pada susunan syaraf pusat terdapat
sistem aktivasi yang bersifat simpatis dan inhibisi yang bersifat parasimpatis. Istilah
kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu,
tetapi semuanya berawal dari kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja
dan ketahanan tubuh. Kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu kelelahan
otot dan kelelahan umum dimana kelelahan otot adalah tremor pada otot /perasaan
nyeri pada otot. Sedang kelelahan umum biasanya ditandai berkurangnya kemauan
untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni; intensitas dan lamanya kerja fisik;
keadaan lingkungan; sebab-sebab mental; status kesehatan dan keadaan gizi
(Grandjean, 1993b).
30

2.2.1 Nordic Body Map (NBM)


Nordic Body Map merupakan kuesioner berupa peta tubuh yang berisikan
data bagian tubuh yang dikeluhkan oleh para pekerja. Kuesioner Nordic Body Map
adalah kuesioner yang paling sering digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan
pada para pekerja, dan kuesioner ini paling sering digunakan karena sudah
terstandaerisasi dan tersusun rapi .Menurut Tarwaka and Sudiajeng (1985) dengan
melihat dan menganalisis peta tubuh (NBM) dapat diestimasi jenis dan tingkat
keluhan otot skeletal yang dirasakan pekerja. NBM sangat sederhana namun kurang
teliti dikarenakan mengandung subjektivitas tinggi. Untuk mengurangi
subjektivitas lakukan pengisian kuesioner sebelum dan sesudah melakukan
aktivitas kerja (pre and post test).
Melalui Nordic Body Map seperti pada Gambar 2. 3 dapat diketahui bagian-
bagian otot yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak
nyaman (agak sakit) sampai sangat sakit (Corlett, 1992).

Gambar 2. 3 Nordic Body Map


(Sumber: Corlett, 1992. Static Muscle Loading and the Evaluation of
Pasture)
31

Dengan melihat dan menganalisis peta tubuh (NBM) seperti pada Gambar 2.
3, maka dapat diestimasi jenis dan tingkat keluhan otot skeletal yang dirasakan oleh
pekerja. Cara ini sangat sederhana namun kurang teliti karena mengandung
subjektivitas yang tinggi. Untuk menekan bias yang mungkin terjadi, maka
sebaiknya pengukuran di lakukan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas kerja
(pre and post test)
Dari uraian tentang berbagai metode untuk mengukur dan mengenali
sumber keluhan otot skeletal tersebut diatas, terlihat bahwa masing-masing metode
memiliki kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu, sebelum memilih dan
menetapkan metode yang akan digunakan, hendaknya dikaji terlebih dahulu
karakteristik dari aktivitas kerja yang akan diukur, selanjutnya barulah ditetapkan
metode yang cocok untuk kondisi dan karakteristik aktivitas kerja yang ada.

2.2.2 Musculoskeletal disorders


Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal
yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat
sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang
lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan
tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan
keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem
muskuloskeletal (Gawron, 2008)
Menurut Nurmianto Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian
otot skeletal yang dirasa oleh seseorang/pekerja mulai dari keluhan ringan sampai
sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu
yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, igamen
dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan
keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem
musculoskeletal. Tahapan untuk menilai Musculoskelestal adalah mengidentifikasi
keluhan berdasarkan Nordic Body Map (NBM).
32

2.3 Beban Kerja


Menurut Gawron (2008) beban kerja adalah sebuah upaya , kegiatan,
prestasi yang mempunyai tuntutan tugas tertentu. Setiap pekerjaan merupakan
sebuah beban bagi para pelaunya yang tergantung bagaimana orang tersebut bekerja
sehingga menurut Manuaba (2000) beban kerja adalah kemampuan tubuh manusia
dalam menerima sebuah pekerjaan yang harus seimbang baik terhadap fisik,
kemampuan kognisi, maupun keterebatasan dalam menerima suatu beban. Beban
kerja fisik sendiri dapara berupa pekerjaan mengangkat, mendorong, merawat dll.
Hal ini didukung juga oleh Kroemer (2008) yang menyatakan bahwa beban
kerja mental adalah cara yang menggambarkan sebuah tekanan mental dan
ketegangan pada saat bekerja. Beban kerja mental sendiri dapat meyebabkan
kesalahan, salah paham, kelalaian, dan kesalahan yang lainnya. Menurut Suma’mur
(1984) bahwa kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu ke yang
lainnya dan sangat tergantung dari tingkat ketrampilan, kesegaran jasmani, jenis
kelamin, usia, serta ukuran tubuh seseorang pekerja itu sendiri. Maka dari itu beban
kerja perlu mempertimbangkan beberapa pekerja yang bersangkutan yang memiliki
kemampuan fisik yang berbeda.

2.3.1 Recomended Weight Limit (RWL)


Recommended Weight Limit (RWL) merupakan rekomendasi batas beban
yang dapat diangkat oleh manusia tanpa menimbulkan cidera meskipun pekerjaan
tersebut dilakukan secara repetitive dan dalam jangka waktu yang cukup lama.
RWL ini ditetapkan oleh NIOSH pada tahun 1991 di Amerika Serikat. Persamaan
NIOSH berlaku pada keadaan (Waters & Bhattacharya, 1996):
1. Beban yang diberikan adalah beban statis, tidak ada penambahan ataupun
pengurangan beban ditengah-tengah pekerjaan.
2. Beban diangkat dengan kedua tangan.
3. Pengangkatan atau penurunan benda dilakukan dalam waktu maksimal 8 jam.
4. Pengangkatan atau penurunan benda tidak boleh dilakukan saat duduk atau
berlutut.
5. Tempat kerja tidak sempit.
33

Berdasarkan sikap dan kondisi sistem kerja pengangkatan beban dalam


proses pemuatan barang yang dilakukan oleh pekerja dalam eksperimen, penulis
melakukan pengukuran terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
pengangkatan beban dengan acuan ketetapan NIOSH. Persamaan untuk
menentukan beban yang direkomendasikan untuk diangkat seorang pekerja dalam
kondisi tertentu menurut NIOSH adalah sebagai berikut (Waters, et al, 1993):
𝑹𝑾𝑳 = 𝑳𝑪 × 𝑯𝑴 × 𝑽𝑴 × 𝑫𝑴 × 𝑨𝑴 × 𝑭𝑴 × 𝑪𝑴 (1)
Keterangan :
LC : (Lifting Constanta) konstanta pembebanan = 23 kg
HM : (Horizontal Multiplier) faktor pengali horisontal = 25/H
VM : (Vertical Multiplier) faktor pengali vertikal = 1 – 0,003 [V – 75]
DM : (Distance Multiplier) faktor pengali perpindahan = 0,82 + 4,5/D
AM : (Asymentric Multiplier) faktor pengali asimentrik = 1 – 0,0032 A(0)
FM : (Frequency Multiplier) faktor pengali frekuensi
CM : (Coupling Multiplier) faktor pengali kopling (handle)
Catatan :
H = Jarak horizontal posisi tangan yang memegang beban dengan pusat tubuh.
V = Jarak vertikal posisi tangan yang memegang beban terhadap lantai
D = Jarak perpindahan beban secara vertikal antara tempat asal
sampai tujuan
A = Sudut simetri putaran yang dibentuk antara tangan dan kaki.
Untuk Frequency Multiplier (FM) adalah :
1. Durasi pendek : 1 jam atau kurang.
2. Durasi sedang : antara 1 – 2 jam.
3. Durasi panjang : 2 – 8 jam.

Untuk Coupling Multiplier (CM) adalah :


1. Kriteria Good, adalah :
- Kontainer atau Box merupakan design optimal, pegangan bahannya
tidak licin.
- Benda yang didalamnya tidak mudah tumpah.
34

- Tangan dapat dengan nyaman meraih box tersebut.


2. Kriteria Fair, adalah :
- Kontainer atau Box tidak mempunyai pegangan.
- Tangan tidak dapat meraih dengan mudah.
3. Kriteria Poor, adalah :
- Box tidak mempunyai Handle/pegangan.
- Sulit dipegang (Licin, Tajam, dll).
- Berisi barang yang tidak stabil, (Pecah, Jatuh, Tumpah, dll).
- Memerlukan sarung tangan untuk mengangkatnya.
Setelah nilai RWL diketahui, selanjutnya perhitungan Lifting Index, untuk
mengetahui index pengangkatan yang tidak mengandung resiko cidera tulang
belakang, dengan persamaan :

𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝑩𝒆𝒃𝒂𝒏
𝑳𝑰 = (2)
𝑹𝑾𝑳

Jika LI > 1, berat beban yang diangkat melebihi batas pengangkatan yang
direkomendasikan maka aktivitas tersebut mengandung resiko cidera tulang
belakang. Jika LI < 1, berat beban yang diangkat tidak melebihi batas pengangkatan
yang direkomendasikan maka aktivitas tersebut tidak mengandung resiko cidera
tulang belakang (Waters & Bhattacharya, 1996).

2.3.2 Penilaian Konsumsi Energy Beban Kerja


Pengukuran denyut jantung selama kerja merupakan suatu metode untuk
menilai cardiovasculair strain. Salah satu peralatan yang dapat digunakan untuk
menghitung denyut nadi adalah dengan menggunakan rangsangan Electro Cardio
Graph (ECG). Apabila peralatan tersebut tidak tersedia maka dapat dicatat secara
manual menggunakan stopwatch.
Menggunakan nadi kerja untuk mengukur berat ringannya beban kerja
mempunyai beberapa keuntungan. Selain mudah, cepat dan murah juga tidak
diperlukan peralatan yang mahal serta hasilnya cukup reliabel disamping itu tidak
mengganggu proses kerja dan menyakiti orang yang diperiksa. Kepekaan denyut
35

nadi terhadap perubahan pembebanan yang diterima tubuh cukup tinggi. Denyut
nadi akan segera berubah seirama dengan perubahan pembebanan baik yang berasal
dari pembebanan mekanik, fisik maupun kimiawi.
Juga dijelaskan bahwa konsumsi sendiri tidak cukup untuk mengestimasi
beban kerja fisik. Beban kerja fisik tidak hanya ditentukan oleh jumlah kalori yang
dikonsumsi, tetapi juga ditentukan oleh jumlah otot yang terlibat dan beban statis
yang diterima serta tekanan panas dari lingkungan kerjanya yang dapat
meningkatkan denyut nadi. Berdasarkan hal tersebut maka denyut nadi lebih mudah
dan dapat digunakan untuk menghitung indek beban kerja. Salah satu cara yang
sederhana untuk menghitung denyut nadi adalah dengan merasakan denyutan pada
arteri radialis pada pergelangan tangan.
Perhitungan konsumsi energi dan denyut jantung/nadi dengan rumus :
𝑌 = 1.80411 − 0.0229038𝑋 + 4.71733. 10−4 𝑋 2 (3)
Keterangan :
Y = Energi (kkal/menit)
X = Kecepatan denyut jantung/nadi (denyut/menit)

Setelah besaran kecepatan denyut jantung/nadi diseratakan dalam bentuk


energi maka konsumsi energi diperoleh bentuk matematis sebagai berikut :
𝐾𝐸 = 𝐸𝑡 − 𝐸𝑖 (4)
Keterangan :
KE = Konsumsi energi (kkal/menit)
Et = Pengeluaran energi pada saat melakukan kerja (kkal/menit)
Ei = Pengeluaran energi pada saat istirahat (kkal/menit)
Konsumsi Energi untuk Aktivitas Individu Pada fisiologi kerja meneliti
konsumsi energi yang dibutuhkan untuk berbagai macam jenis pekerjaan untuk
aktivitas individu adalah untuk pria 1,2 kcal/menit dan untuk wanita 1,0 kcal/menit

2.4 Lingkungan Fisik Kerja


Lingkungan kerja adalah kehidupan sosial, politik, dan fisik yang
mempunyai pengaruh kepada pekerjaan dan dalam melaksanakan tugasnya.
36

Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari keadaan lingungan yang berada
didekatnya, antara manusia dan lingkungan mempunyai hubungan yang dekat
sekali. Pengertian lingkungan kerja menurut Bambang (1991:122 ) adalah salah
satu faktor yang mempengaruhi kinerja seorang pegawai. Seorang pegawai yang
bekerja di lingkungan kerja yang mendukung dia untuk bekerja dengan maksimal
akan menghasilkan kinerja yang baik, sebaliknya jika seorang pegawai bekerja
dalam lingkungan kerja yang tidak mendukung dan memadai, maka untuk bekerja
dengan maksimal akan membuat pegawai yang bersangkutan menjadi cepat malas,
cepat lelah sehingga kinerja pegawai tersebut akan rendah.
Menurut Sedarmayanti and Pd (2001) Pengertian lingkungan kerja
menurut Sedarmayanti adalah kondisi lingkungan kerja bisa disebut baik atau
sesuai jika manusia bisa menjalankan aktivitas dengan optimal, sehat, amakan dan
nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja bisa dilihat dari dalam jangka waktu yang
lama lebih jauh dari lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik bisa menuntut
tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung didapatkannya
rancangan sistem kerja yang efisien.

2.4.1 Standar Pencahayaan Lingkungan Fisik Kerja


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun
2016 (2016) setiap industri wajib memiliki Persyaratan Faktor Pencahayaan sesuai
standart. Dikarenakan pencahayaan sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan
dan produktifitas.
Persyaratan faktor pencahayaan lingkungan kerja industri merupakan nilai
tingkat pencahayaan yang disarankan berdasarkan jenis area, pekerjaan atau
aktivitas tertentu. Persyaratan pencahayaan lingkungan kerja dikelompokkan
menjadi:
a. Persyaratan pencahayaan dalam gedung industri
b. Persyaratan pencahayaan di luar gedung industri Persyaratan pencahayaan
lingkungan kerja dinyatakan dalam satuan Lux.
37

Berikut adalah standart pencahayaan untuk industri tektil atau batik :


38

2.4.2 Standar Temperatur Lingkungan Fisik Kerja


Suhu yang baik di tempat kerja yang memberikan produktivitas kerja yang
tinggi adalah pada temperatur 240C - 270C. Pengaruh tingkat temperatur pada
tubuh manusia saat bekerja berbeda-beda seperti berikut (Wignjosoebroto, 2008) :
+490C:Temperatur dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh diatas tingkat
kemampuan fisik dan mental.
+300C: Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung
untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan, timbul kelelahan fisik.
+240C: Kondisi optimum.
+100C: Kelakuan fisik yang extreme mulai muncul

2.5 Produktivitas Kerja


Menurut Pheasant (1991) Konsep umum dari produktivitas adalah suatu
perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input) per satuan waktu.
Produktivitas dapat dikatakan meningkat apabila:
1. Jumlah produksi/keluaran meningkat dengan jumlah masukan/ sumber daya
yang sama;
2. Jumlah produksi/keluaran sama atau meningkat dengan jumlah
masukan/sumber daya lebih kecil dan
3. Produksi/ keluaran meningkat diperoleh dengan penambahan sumber daya yang
relatif kecil
Konsep tersebut tentunya dapat dipakai di dalam menghitung produktivitas
di semua sektor kegiatan. Menurut Manuaba (1992) peningkatan produktivitas
dapat dicapai dengan menekan sekecil-kecilnya segala macam biaya termasuk
dalam memanfaatkan sumber daya manusia (do the right thing) dan meningkatkan
keluaran sebesar-besarnya (do the thing right). Dengan kata lain bahwa
produktivitas merupakan pencerminan dari tingkat efisiensi dan efektifitas kerja
secara total.
39

2.5.1 Pengukuran Produktivitas


Pengukuran produktivitas secara umum dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
1. Produktivitas total: adalah perbandingan antara total keluaran (output) dengan
total masukan (input) per satuan waktu. Dalam penghitungan produktivitas
total, semua faktor masukan (tenaga kerja, kapital, bahan, energi) terhadap total
keluaran harus diperhitungkan.
2. Produktivitas parsial: adalah perbandingan dari keluaran dengan satu jenis
masukan atau input per satuan waktu, seperti upah tenaga kerja, kapital, bahan,
energi, beban kerja, dll.

Menurut Soedirman (1986)menghitung produktivitas parsial tenaga kerja


dengan rumus sebagai tersebut berikut ini.

2.6 Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Konsep ergonomi serta keselamatan kesehatan kerja merupakan konsep
penting untuk diterapkan dalam suatu industri, khususnya dalam perancangan
stasiun kerjanya. Kecenderungan yang ada saat ini adalah, pada industri skala kecil
menengah. Konsep tersebut kurang begitu diperhatikan, sehingga dapat
menimbulkan resiko kerja baik dari segi bahaya kondisi lingkungan fisik, sikap dan
cara kerja (Sepang, Tjakra, Langi, & Walangitan, 2013)
40

Hal ini tidak akan terjadi jika dapat diantisipasi pelbagai risiko yang
mempengaruhi kehidupan para pekerja. Pelbagai risiko tersebut adalah
kemungkinan terjadinya Penyakit Akibat Kerja, Penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan dan Kecelakaan Akibat Kerja yang dapat menyebabkan
kecacatan atau kematian. Antisipasi ini harus dilakukan oleh semua pihak dengan
cara penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Pendekatan ini
dikenal sebagai pendekatan ergonomik.
Bekerja dengan tubuh dan lingkungan yang sehat, aman serta nyaman
merupaka hal yang diinginkan oleh semua pekerja. Di era globalisasi menunutu
pelaksanaan Kesehatan dan Keselamaan Kerja (K3) di setiap tempat kerja termasuk
di sektor kesehatan. Untuk itu perlu kita mengembangkan dan mingkatkan K3 di
sektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mingki risiko kecelakaan dan
penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan
efisiensi.

2.6.1 Prosedur Pengunaan Alat Pelindung Diri


Menurut Putri and Yustinus Denny (2014) Alat Pelindung Diri (APD)
adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh pekerja untuk melindungi
seluruh atau sebagian tubuhnya dari kemungkinan adanya pemaparan potensi
bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Alat Pelindung Diri (APD) perlu sebelumnya dipilih secara hati-hati agar
dapat memenuhi beberapa ketentuan yang diperlukan :
a) Alat Pelindung Diri (APD) harus dapat memberikan perlindungan yang adekuat
terhadap bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya yang dihadapi oleh tenaga
kerja.
b) Berat alatnya hendaknya seringan mungkin, dan alat tersebut tidak
menyebabkan rasa ketidaknyamanan yang berlebihan.
c) Alat harus dapat dipakai secara fleksibel.
d) Bentuknya harus cukup menarik.
e) Alat pelindung tahan untuk pemakaian yang lama.
41

f) Alat tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi pemakainya, yang


dikarenakan bentuknya yang tidak tepat atau karena salah dalam penggunaanya.
g) Alat pelindung harus memenuhi standar yang telah ada
h) Alat tersebut tidak membatasi gerakan dan presepsi sensoris pemakainya.
i) Suku cadangnya mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya.

Alat Pelindung Diri (APD) ada berbagai macam yang berguna untuk
melindungi seseorang dalam melakukan pekerjaan yang fungsinya untuk
mengisolasi tubuh tenaga kerja dari potensi bahaya di tempat kerja. Berdasarkan
fungsinya, ada beberapa macam APD yang digunakan oleh tenaga kerja, salah
satunya :
Jenis alat pelindung pernafasan
1. Masker
Alat ini digunakan untuk mengurangi paparan debu atau partikelpartikel
yang lebih besar masuk kedalam saluran pernafasan.
2. Respirator
Alat ini digunakan untuk melindungi pernafasan dari paparan debu, kabut,
uap logam, asap, dan gas-gas berbahaya. Jenis-jenis respirator ini antara
lain:
Alat Pelindung Tangan (Hand Protection)
Alat pelindung tangan digunakan untuk melindungi tangan dan bagian
lainnya dari benda tajam atau goresan, bahan kimia, benda panas dan dingin,
kontak dengan arus listrik. Jenis alat pelindung tangan antara lain:
1. Sarung tangan bersih
Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang di disinfeksi tingkat
tinggi, dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir
misalnya tindakan medik pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka.
Sarung tangan bersih dapat digunakan untuk tindakan bedah bila tidak ada
sarung tangan steril.
2. Sarung tangan steril
Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus
42

digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak tersedia sarung tangan steril
baru dapat digunakan sarung tangan yang didisinfeksi tingkat tinggi.
3. Sarung tangan rumah tangga (gloves)
Sarung tangan jenis ini bergantung pada bahan-bahan yang digunakan:
a. Sarung tangan yang terbuat dari bahan asbes, katun, wool untuk
melindungi tangan dari api, panas, dan dingin.
b. Sarung tangan yang terbuat dari bahan kulit untuk melindungi tangan
dari listrik, panas, luka, dan lecet.
c. Sarung tangan yang terbuat dari bahan yang dilapisi timbal (Pb) untuk
melindungi tangan dari radiasi elegtromagnetik dan radiasi pengion.
d. Sarung tangan yang terbuat dari bahan karet alami (sintetik) untuk
melindungi tangan dari kelembaban air, zat kimia.

2.7 Aspek Penyebab Resiko Kecelakan Kerja


Menuut Aksorn and Hadikusumo (2008) Teori Tiga Faktor Utama (Three
Main Factor Theory) Dari beberapa teori tentang faktor penyebab kecelakaan
yang ada, salah satunya yang sering digunakan adalah teori tiga faktor utama
(Three Main Factor Theory). Menurut teori ini disebutkan bahwa ada tiga faktor
yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Ketiga faktor tersebut dapat
diuraikan menjadi :
1) Faktor Manusia
A. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan alat pelindung diriyaitu penggunaan seperangkat alat
yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh
tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau kecelakaan kerja. APD
tidak secara sempurna dapat melindungi tubuhnya, tetapi akan dapat
mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi. Penggunaan alat
pelindung diri dapat mencegah kecelakaan kerja sangat dipengaruhi
oleh pengetahuan, sikap dan praktek pekerja dalam penggunaan alat
pelindung diri.
43

B. Kelelahan Kerja
Kelelahan kerja banyak diabaikan oleh pekerja karena tuntutan target
perusahaan. sehingga tanpa mempertimbangkan aspek kelelahan kerja
pekerja banyak mengalami gangguan pada pekerja tanpa disadari .
Beban kerja harus sesuai standart yang telah ditentukan sehingga
mengurangi resiko kelelahan kerja.
C. Peraturan K3
Peraturan perundangan adalah ketentuan-ketentuan yang mewajibkan
mengenai kondisi kerja pada umumnya, perencanaan,konstruksi,
perawatan dan pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja
peralatan industri, tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi
medis, P3K dan perawatan medis. Ada tidaknya peraturan K3 sangat
berpengaruh dengan kejadian kecelakaan kerja. Untuk itu, sebaiknya
peraturan dibuat dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk
mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan.

2) Faktor Lingkungan
A. Temperatur Lingkungan
Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivitas kerja
manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur
sekitar 24°C-27°C. Suhu dingin mengurangi efisiensi dengan
keluhan kaku dan kurangnya koordinasi otot. Suhu panas terutama
berakibat menurunkan prestasi kerja pekerja, mengurangi
kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan
keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu
koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta memudahkan untuk
dirangsang.Sedangkan menurut Grandjean dkondisi panas sekeliling
yang berlebih akan mengakibatkan rasa letih dan kantuk, mengurangi
kestabilan dan meningkatkan jumlah angka kesalahan kerja. Hal ini
akan menurunkan daya kreasi tubuh manusia untuk menghasilkan
panas dengan jumlah yang sangat sedikit
44

B. Pencahayaan
Penerangan ditempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang
menerangi benda-benda di tempat kerja. Hal ini penting untuk
menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi.Penerangan yang baik
memungkinkan tenaga kerja melihat obyek yang dikerjakan secara
jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya tidak perlu. Penerangan adalah
penting sebagai suatu faktor keselamatan dalam lingkungan fisik
pekerja. Beberapa penyelidikan mengenai hubungan antara produksi
dan penerangan telah memperlihatkan bahwa penerangan yang cukup
dan diatur sesuai dengan jenis pekerjaan yang harus dilakukan secara
tidak langsung dapat mengurangi banyaknya kecelakaan. Faktor
penerangan yang berperan pada kecelakaan antara lain kilauan
cahaya langsung pantulan benda mengkilap dan bayang-bayang
gelap (ILO, 1989:101). Selain itu pencahayaan yang kurang memadai
atau menyilaukan akan melelahkan mata. Kelelahan mata akan
menimbulkan rasa kantuk dan hal ini berbahaya bila karyawan
mengoperasikan mesin-mesin berbahaya sehingga dapat
menyebabkan kecelakaan (Depnaker RI, 1996:45)
3) Faktor Peralatan
Faktor peralatan sangatlah penting untuk mendukung pekerjaan
tersebut. Apabila faktor peralatan lengkap didukung tata letak yang
sesuai akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja tersebut.

Anda mungkin juga menyukai