Anda di halaman 1dari 10

MODUL PERKULIAHAN

Ergonomi

ERGONOMI MAKRO

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

13
Teknik Teknik Industri W161700019 Anisah Haidar ST, MT

Abstract Kompetensi
Modul 13 ini menjelaskan mengenai Mengetahui dan memahami ergonomi
ergonomic makro makro, serta penelitian ergonomi makro
di Indonesia.
Ergonomi Makro
Ergonomi adalah ilmu terapan yang menjelaskan interaksi antara manusia dengan tempat kerjanya.
Ergonomi antara lain memeriksa kemampuan fisik para pekerja, lingkungan tempat kerja, dan tugas
yang dilengkapi dan mengaplikasikan informasi ini dengan desain model alat, perlengkapan, metode‐
metode kerja yang dibutuhkan tugas menyeluruh dengan aman. Masing‐masing pekerja mempunyai
tanggung jawab sendiri‐sendiri untuk mengetahui tentang fokus keselamatan lingkungan kerja untuk
diri mereka sendiri dan atasan mereka. Tujuan akhir dari program ergonomi adalah untuk
kesempurnaan kerja dengan meminimalkan tekanan kerja yang mungkin bagi tubuh (William
Etchison, M.S., Columbus, Georgia).

Secara umum, ergonomi makro merupakan suatu pendekatan ergonomi yang berbasis pada
perancangan organisasi dalam suatu sistem kerja. Definisi secara konseptualnya yaitu suatu
pendekatan sosioteknik dari tingkat atas ke bawah yang diterapkan pada perancangan sistem kerja
secara keseluruhan pada berbagai level interaksi ergonomi mikro seperti manusia-pekerjaan,
manusia-mesin, dan manusia-perangkat lunak dengan tujuan mengoptimalkan desain sistem kerja
dan memastikan sistem kerja tersebut berjalan dengan harmonis.

Ergonomi makro berperan dalam mendesain beberapa sosioteknikal sistem dalam kaitannya dengan
"manusia-organisasi” dan “teknologi". Ergonomi makro sering disamakan dengan ergonomi
organisasi. Secara kasar dapat dibenarkan karena ergonomi organisasi sering berbicara di lingkup
sistem. Namun, untuk beberapa kasus mungkin kurang tepat karena ergonomi organisasi juga sering
dipakai di tingkat ergonomi mikro, misalnya saja dalam menaksir produktivitas individu atau
kelompok kecil tanpa memperhatikan penyebabnya (hanya ingin tahu seberapa besar produktivitas)
atau analisis fungsi kerja, dan sebagainya.

2018 Ergonomics
2 Anisah Haidar, ST. MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Latar belakang ergonomic makro

Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh H.W.Hendrick pada tahun 1984

Latar belakangnya : Karena perubahan teknologi yang sangat pesat yang melebihi kecepatan
organisasi dalam mengantisipasinya. Karena adanya kegagalan beberapa proses transfer teknologi
pada negara berkembang akibat tidak ditinjaunya unsur makro‐ergonomi.

Sejarah perkembangan ergonomic

DARI MIKRO KE MAKRO

Menurut Hendrick (1986) dijelaskan bahwa perkembangan ilmu ergonomi dapat dibagi menjadi tiga
tahap generasi yang berbeda, yaitu:

1. Generasi I : Sistem Manusia dan Mesin

Ergonomi berkaitan dengan kemampuan fisik, fisiologis, lingkungan dan karakteristik perseptual
dalam merancang dan mengaplikasikan sistem antarmuka antara manusia dengan mesin
(Hendrick, 1986). Kita sering menyebut ini dengan sistem manusia-mesin.

2. Generasi II : HSIT → HCI ( Human Cumputer Interaction )

Ketika perhatian ahli mulai beralih kepada proses kognitif khususnya dikaitkan dengan
berkembangnya sistem kerja komputer. Pada tahap ini para ahli menekankan penelitian pada
bagaimana manusia menerima, mempersepsikan, mengolah dan menyimpulkan data/informasi.
Karena banyaknya pemakaian komputer maka kita sering menyebutnya dengan human-computer
interaction (HCI), yang merupakan bagian dari HSIT ( Human System Interface Technology ).
Sistem manusia-mesin dan HCI keduanya kita sebut dengan ergonomi mikro dari sebuah sistem
kerja (Hendrick, 1986).

3. Generasi III

Ditandai dengan masuknya unsur eksternal yaitu organisasi dan sistem sosioteknikal ke dalam
ergonomi. Generasi ketiga ini disebut ergonomi makro, yang menekankan perhatian pada aspek
penerapan pengetahuan tentang individu dan organisasi pada perancangan, implementasi dan
penggunaan teknologi baru (Dray, 1985).

Yang menjadi fokus dari Generasi I dan II adalah Ergonomi mikro. Sedangkan Yang menjadi fokus
dari generasi III adalah Ergonomi makro.

Definisi ergonomic makro

Ergonomi makro didefinisikan sebagai pendekatan top‐down dari sistem sosioteknikal yang
diterapkan dalam perancangan sistem kerja secara keseluruhan pada berbagai level interaksi
ergonomi mikro dan memanfaatkan hasilnya dalam perancangan manusia‐job, perancangan
manusia‐mesin dan perancangan manusia‐software interface (Hendrick & Kleiner, 2001).

2018 Ergonomics
3 Anisah Haidar, ST. MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pendekatan ergonomi makro berusaha menciptakan harmonisasi atau keseimbangan dalam sistem
kerja secara keseluruhan (Davis & Moro, 2004).

Yang dimaksud dengan pendekatan top‐down yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan analisis
dan desain yang dimulai dari struktur dan proses sistem kerja keseluruhan, dan selanjutnya turun ke
subsistem dan komponen‐komponen sistem. Meskipun demikian, secara nyata disadari bahwa
dalam aplikasi aktual, pendekatan dapat dilakukan dari semua level organisasi (Sanda, 2003). Proses
perancangan ergonomi makro dapat dilakukan secara top‐down, bottom‐up dan middle‐out. Lebih
sering terjadi digunakan kombinasi dari ketiga strategi dan seringkali proses melibatkan partisipasi
karyawan pada semua level organisasi (Hendrick & Kleiner, 2001).

Dalam mempelajari ergonomi makro, kita tidak dapat mengabaikan analisis yang memandang bahwa
organisasi adalah agen transformasi dari input menjadi output yang bersifat sosioteknik. Ini berarti
transformasi yang dilakukan itu tidak saja berkaitan dengan teknologi atau hardware atau software
namun berkaitan juga dengan interaksi sosial diantara pekerja, konteks lingkungan kerja yang
sedang dihadapi, dan yang paling penting adalah pengaruh perubahan teknologi, pekerja, dan
lingkungan pada sistem kerja

Organisasi sebagai sebuah sistem sosioteknik mempunyai 4 subsistem yaitu :

1. Subsistem Teknologi (knowlodege base technology)

2. Subsistem Personel (demografi, pisikologi)

3. Subsistem Lingkungan ekstrenal (temperatur, kelembaban, dll)

4. Subsistem Perancangan sistem kerja (sosial ekonomi, pendidikan, politik, budaya, hukum)

Sistem sosioteknik mempunyai 3 subsistem yang saling berkaitan membentuk pengaruh terhadap
subsistem perancangan organisasi sistem kerja. Tiga subsistem tersebut adalah subsistem teknologi,
personel dan lingkungan eksternal.

Sifat rancangan ergonomic makro

Proses perancangan dalam ergonomi makro bersifat iteratif, non linier dan stokastik. Iteratif berarti
bahwa tahap‐tahap yang dilalui adalah desain, evaluasi, pemurnian, re‐evaluasi, pemurnian lanjut
dan seterusnya.

Non linier bararti bahwa perancangan tidak berjalan pada pola berurutan yang sederhana.

Stokastik adalah membutuhkan penarikan kesimpulan atau keputusan berdasarkan data‐data yang
tidak lengkap.

Seringkali suatu perubahan ergonomi makro dalam sistem kerja tidak mungkin dilakukan pada tahap
awal. Ahli ergonomi dapat memulai dengan membuat perbaikan‐perbaikan ergonomi mikro lebih
dahulu yang akan memberikan hasil‐hasil positif dalam waktu relatif singkat. Jika manajemen telah
melihat hasil‐hasil yang positif, maka akan timbul ketertarikan dan kemauan untuk mendukung
program‐program ergonomi lebih lanjut.

2018 Ergonomics
4 Anisah Haidar, ST. MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pada proses ini ahli ergonomi telah membangun hubungan yang baik dengan pembuat keputusan
kunci sehingga meningkatkan kesadaran tentang lingkup menyeluruh dari ergonomi dan nilai‐nilai
potensial pada organisasi (Hendrick & Kleiner, 2001)

The Ergonomics Three

ORGANIZATIONAL ERGONOMICS.

Pada tataran Perusahaan Berunsurkan manusia, teknologi, organisasi, lingkungan perusahaan.


Pengaturannya : ORGANISASI

ERGONOMI ORGANISASI

Tataran Kerja : SEBUAH INSTITUSI USAHA, SOSIAL, PEMERINTAH DLL

Yang diorganisasi : ORGANISASI INSTITUSI TERSEBUT

SASARAN PERANCANGAN ERGONOMI ORGANISASI adalah Mendapatkan rancangan sistem yang


cocok bagi unsur manusia Rancangan yang sesuai dengan fisik, psikologik dan sosiologik manusia.
SASARAN-SASARAN MANUSIA DI DALAM ORGANISASI YANG BERSANGKUTAN = SASARAN
ORGANISASI

2018 Ergonomics
5 Anisah Haidar, ST. MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Tiga dimensi utama organisasi

1) Kompleksitas Kompleksitas merupakan derajat diferensiasi dan integrasi yang ada di dalam suatu
sistem kerja.

A) Diferensiasi, merupakan tingkat segmentasi, yang terdiri dari 3 tipe:

a.Diferensiasi vertikal :merujuk pada bentuk struktur organisasi. Semakin meningkatnya


diferensiasi, maka demikian pula kompleksitasnya karena jumlah hierarki di dalam
organisasi bertambah. Makin banyak tingkatan yang terdapat di antara top management
dan tingkat hierarki yang paling rendah, makin besar pula distorsi dalam komunikasi, dan
makin sulit pengambilan keputusan dari pegawai manajerial, serta makin sukar bagi top
management untuk mengawasi kegiatan bawahannya. Organisasi dengan jumlah pegawai
yang sama tidak perlu mempunyai tingkat diferensiasi vertikal yang sama. Organisasi
dapat berbentuk tinggi, dengan banyak lapisan hierarki, atau mendatar dengan sedikit
tingkatan. Faktor yang menentukan diferensiasi vertikal adalah rentang kendali (span of
control). Robbins (1990) menyatakan bahwa rentang kendali menetapkan jumlah
bawahan yang dapat diatur dengan efektif oleh seorang manajer. Rentang pengendalian
harus didefinisikan tidak hanya meliputi pembagian bawahan secara formal, tetapi juga
pada menentukan siapa yang mempunyai akses ke manajer. Rentang kendali yang lebar
menunjukkan bahwa manajer akan mempunyai banyak bawahan yang melapor padanya,
sedangkan rentang kendali yang sempit menunjukkan bahwa manajer mempunyai sedikit
bawahan. Semakin kecil rentang kendalinya, maka semakin tinggi organisasinya. Rentang
kendali yang sempit menciptakan diferensiasi vertikal yang tinggi serta organisasi yang
tinggi. Struktur yang tinggi memberikan supervisi dan kontrol yang berorientasi pada
atasan yang lebih ketat dan koordinasi dan komunikasi yang menjadi rumit karena
banyaknya lapisan yang harus dilalui perintah-perintah. Struktur yang datar memiliki
rantai komunikasi yang lebih singkat dan lebih sederhana, dengan peluang supervisi yang
lebih sedikit karena tiap manajer mempunyai banyak orang yang melapor padanya dan
mengurangi peluang kenaikan jabatan karena tingkat manajemen lebih sedikit.
Diferensiasi vertikal dapat ditinjau dari jumlah tingkat dalam divisi-divisi tunggal yang
terdalam dari organisasi, dan jumlah rata-rata tingkat organisasi secara keseluruhan.
Jumlah hubungan antar personel antara manajer dan bawahan meningkat secara
geometrik sedangkan jumlah dari bawahan meningkat secara aritmatik. Hubungan ini
terjadi karena manajer secara potensial dihadapkan pada tiga tipe hubungan yaitu
hubungan perorangan langsung, hubungan pada kelompok secara langsung, dan
hubungan silang. Hubungan perorangan secara langsung terjadi antara manajer dan

2018 Ergonomics
6 Anisah Haidar, ST. MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
masing-masing bawahan secara individual (one-on-one), hubungan pada kelompok
secara langsung terjadi antara manajer dan masing-masing permutasi bawahan yang
mungkin terjadi, dan hubungan silang terjadi ketika bawahan berinteraksi antara satu
dengan lainnya.

b.Diferensiasi horisontal : merujuk pada tingkat diferensiasi antara unit-unit berdasarkan


orientasi pada anggotanya, sifat dari tugas yang mereka laksanakan, serta tingkat
pendidikan dan pelatihannya. Dapat dikatakan bahwa semakin banyak jenis pekerjaaan
yang ada dalam organisasi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang
istimewa, semakin kompleks pula organisasi tersebut. Orientasi yang berbeda akan lebih
menyulitkan pada anggota organisasi untuk berkomunikasi dan menyulitkan manajemen
untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan dalam organisasi. Bukti paling nyata pada
organisasi yang menekankan pada diferensiasi horisontal adalah spesialisasi dan
departementalisasi. Spesialisasi merujuk pada pengelompokan aktivitas tertentu yang
dilakukan satu individu. Bentuk spesialisasi yang paling dikenal adalah spesialisasi
fungsional dimana pekerjaan dipecah-pecah menjadi tugas yang sederhana dan berulang.
Spesialisasi fungsional ini dikenal sebagai pembagian kerja (division of labor). Spesialisasi
fungsional menciptakan kemampuan substitusi diantara para pegawai dan
mempermudah penggantiannya oleh manajemen. Bentuk spesialisasi yang lain adalah
spesialisasi sosial, dimana para individunya yang dispesialisasi, bukan pekerjaannya.
Spesialisasi sosial dicapai dengan menggaji tenaga profesional yang mempunyai
kemampuan yang khusus. Carter dan Keon (1986) menyatakan peningkatan pada salah
satu bentuk spesialisasi dapat berakibat pada peningkatan kompleksitas dalam organisasi
karena peningkatan spesialisasi membutuhkan metode yang lebih mahal dan lebih
canggih untuk sarana koordinasi dan kontrol. Departementalisasi merujuk pada cara
pengelompokan para spesialis. Departementalisasi dapat diartikan sebagai cara
organisasi yang khas dalam mengkoordinasikan aktivitas yang telah didiferensiasikan
secara horisontal. Departementalisasi merupakan proses dimana organisasi secara
struktural dibagi dalam kombinasi-kombinasi pekerjaan dalam sebuah departemen sesuai
dengan karakteristik atau dasar yang sama. Pengelompokan pekerja dalam grup kerja
membutuhkan koordinasi. Hal yang penting dalam menentukan dasar untuk
departementalisasi adalah laporan yang harus diberikan pada top management.
Departementalisasi dibagi menjadi 2 tipe yaitu departementalisasi fungsional dan
divisional. Departementalisasi fungsional memberikan kemungkinan pada personel untuk
saling tukar menukar informasi mengenai spesialisasi fungsional mereka dan
meningkatkan kemampuan mereka sehingga perubahan pada semua product line yang
melintasi departemen tertentu membutuhkan reorganisasi dari seluruh departemen.
Sebaliknya, departementalisasi divisional menggunakan aliran kerja secara berkelompok
pada puncak organisasi. Masing-masing divisi dapat bertanggung jawab sendiri pada
kebutuhan-kebutuhan dari pasar mereka atau lebih fleksibel. Gibson, Ivanchevic, &
Donnelly (2000) menyatakan semakin kompleks organisasi semakin divisional sifat
organisasinya.

c.Dispersi spasial :merujuk pada tingkat sejauh mana lokasi kantor, pabrik, dan personalia
sebuah organisasi tersebar secara geografis. Organisasi yang tersebar secara geografis
akan semakin tinggi kompleksitasnya. Elemen dispersi spasial memperhatikan dua hal

2018 Ergonomics
7 Anisah Haidar, ST. MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yaitu jarak maupun jumlah. Robbins (1990) menyatakan bahwa dispersi spasial dapat
dilihat sebagai perluasan dari diferensiasi horisontal dan diferensiasi vertikal. Integrasi
merupakan jumlah mekanisme yang dirancang untuk komunikasi, koordinasi, dan
pengendalian. Secara umum, jika diferensiasi sistem kerja meningkat, maka kebutuhan
mekanisme integrasi juga meningkat. Hal ini terjadi karena diferensiasi yang lebih besar
meningkatkan jumlah unit, tingkatan, dan departemen yang harus berkomunikasi satu
sama lain, berkoordinasi dengan kegiatan masing-masing, serta pengendalian untuk
operasi yang efisien.

2) Formalisasi : merupakan derajat standarisasi sistem kerja. Tingkat formalisasi suatu organisasi
ditentukan oleh beberapa kriteria. Jika ada sebagian besar kriteria seperti uraian pekerjaan jelas,
aturan jelas, serta prosedur operasi terdefinisi secara rinci, maka dapat dikatakan tingkat
formalisasinya tinggi. Tetapi jika terdapat sebagian dari kriteria seperti aktivitas pekerja tidak
terprogram, fleksibilitas kerja tinggi, serta pekerja leluasa dalam pengambilan keputusan, maka
tingkat formalisasinya rendah.

3) Sentralisasi :merupakan tingkat dimana pembuatan keputusan formal dikonsentrasikan dalam


suatu kelompok individu yang biasanya merupakan level tinggi dalam organisasi. Karakteristik suatu
organisasi yang sentralisasinya tinggi yaitu supervisor level rendah dan karyawan hanya memberikan
input minimal dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pekerjaannya dikarenakan tingkat
profesionalitas pekerja rendah. Sebaliknya, organisasi yang sentralisasinya rendah (desentralisasi),
keputusan didelegasikan ke bawah sampai level terendah yang memiliki keahlian penting. Adapun
bentuk dasar pengambilan keputusan dalam organisasi yaitu strategic (long-range planning) yakni
keputusan jangka panjang dan tactical (day-to-day operation) yang biasanya tak terduga.

Social Ergonomics

Mengapa ergonomic makro ?

 Perkembangan pesat dari teknologi

2018 Ergonomics
8 Anisah Haidar, ST. MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
 Pergeseran demografik

– Usia : keengganan mempelajari – Keterdidikan


yang baru
– Kaum Wanita
– Etnik

 Perubahan nilai

– Selera – Sadar akan hak

– Ekspektasi standar hidup – Isu gender

– Tuntutan “lebih berperan”

 Ekonomi Global

STANDAR-STANDAR DUNIA QCDSHE :

– KUALITAS (QUALITY) – KESELAMATAN (SAFETY)

– HARGA (COST) – KESEHATAN (HEALTH)

– PEYAMPAIAN (DELIVERY)

2018 Ergonomics
9 Anisah Haidar, ST. MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
– LINGKUNGAN
(ENVIRONMENT)

 Litigasi berkaitan dengan Ergonomi

– Undang-undang

– Peraturan-peraturan lain

– Penerapan ketentuan-ketentuan itu semakin nyata

 Kegagalan Ergonomi Mikro

Hubungan ergonomic mikro dan makro

Jika pendekatan ergonomi makro secara sistematik telah digunakan untuk menentukan karakteristik
desain sistem kerja keseluruhan, tahap selanjutnya adalah membawa desain tersebut dalam level
ergonomi mikro.

• Pendefinisian karakteristik desain sistem kerja keseluruhan akan menentukan karakteristik dari
desain job serta hubungan manusia‐mesin dan manusia‐software interface yang merupakan kajian
dalam ergonomi mikro.

• Desain ergonomi makro yang efektif akan menggerakkan aspek‐aspek rancangan ergonomi mikro,
sehingga menjamin kesesuaian secara ergonomi dari komponen‐komponen sistem dengan struktur
sistem kerja keseluruhan (Hendrick & Kleiner, 2001)

2018 Ergonomics
10 Anisah Haidar, ST. MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Anda mungkin juga menyukai