Anda di halaman 1dari 16

Pembahasan

Kanker Kolorektal merupakan kanker pada jaringan kolon yang menyerang jaringan
epitel kolon atau rektum yang merupakan bagian dari usus besar pada sistem pencernaan
(gastro intestinal). Umumnya kanker kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang
dari polip Adenoma Adenokarsinoma adalah neoplasma ganas epitelial dengan sel-sel
penyusunnya identik secara struktural serta fungsional, dengan sel-sel epitel kelenjar normal
pasangannya apokrin, ekrin, endokrin dan kelenjar parenkim. Tumor ini dapat menyebar
melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih,
melalui pembuluh limfe perikolon dan mesokolon, dan melalui aliran darah, biasanya ke hati
karena kolon mengalirkan darah ke sistem portal (Abdullah, 2012).

Pertumbuhan awal tumor sebagai nodul secara tipikal umumya tidak terdeteksi
hingga menimbulkan beberapa gejala karena pola pertumbuhan yang lamban (berkisar 5-15
tahun). Pada saat timbul gejala, kanker telah menyebar ke dalam lapisan lebih dalam dari
jaringan usus dan organ-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar dengan
perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa dan dinding luar usus. Struktur
yang berdekatan seperti hepar, kurvatura mayor, lambung, duodenum, usus halus, pankreas,
limpa, saluran genitourinari dan dinding abdomen juga dapat dikenai oleh perluasan.
Metastase ke kelenjar getah bening regional sering berasal dari penyebaran tumor. Sel-sel
kanker dari tumor primer juga dapat menyebar melalui sistem limpatik atau sistem sirkulasi
ke area sekunder seperti hepar, paru-paru, otak, tulang dan ginjal (Sayuti, 2019).

Gejala awal yang lain sering terjadi pada penderita kanker Kolorektal diantaranya
adalah adanya perubahan kebiasaan buang air besar, diare atau konstipasi. Gejala lanjutan
yang timbul diantaranya nyeri, anoreksia, anemia akibat perforasi usus, dan kehilangan berat
badan. Prognosis kanker kolorektal tergantung pada stadium penyakit saat terdeteksi dan
penanganannya. Sebanyak 75 % pasien kanker kolorektal mampu bertahan hidup selama 5
tahun. Komplikasi primer yang diakibatkan oleh kanker kolorektal diantaranya obstruksi
usus diikuti dengan penyempitan lumen akibat lesi, perforasi dari dinding usus oleh tumor,
diikuti kontaminasi dari rongga peritoneal oleh isi usus, dan perluasan langsung tumor ke
organorgan yang berdekatan (Sayuti, 2019).

Stadium
1. Stadium 0 Kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rectum yaitu pada mukosa
saja. Disebut juga carcinoma in situ.

2. Stadium I Kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan
melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar ke bagian terluar dinding
rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.

3. Stadium II Kanker telah menyebar keluar rektum ke jaringan terdekat namun tidak
menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.

4. Stadium III Kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar ke bagian
tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.

5. Stadium IV Kanker telah menyebar ke bagian lain tubuh seperti hati, paru atau ovarium.
Disebut juga Dukes D rectal cancer.

Gejala

Secara umum kanker kolorektal menimbulkan gejala seperti adanya perubahan pada
pola buang air besar termasuk diare, atau konstipasi atau perubahan pada lamanya saat buang
air besar,dimana pola ini berlangsung selama beberapa minggu hingga bulan, kadang-kadang
perubahan pola itu terjadi sebagai perubahan bentuk dari feses tau kotoran dari hari ke hari,
kadang-kadang keras, lalu lunak, dan seterusnya. Pendarahan pada buang air besar atau
ditemukannya darah di feses, seringkali hanya dapat dideteksi di laboratorium. Rasa tidak
nyaman pada bagian abdomen/perut seperti keram, gas atau rasa sakit yang berulang.
Perasaan bahwa usus besar belum seluruhnya kosong sesudah buang air besar. Rasa cepat
lelah, lesu lemah atau letih . Turunnya berat badan secara drastis dan tidak dapat dijelaskan
sebabnya (Harpa, 2018).

Gejala klinis kanker pada kolon kiri berbeda dengan kolon kanan. Kanker kolon kiri
sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih
karena feses sudah menjadi padat. Pada kanker kolon kanan jarang terjadi stenosis dan feses
masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi. Kanker kolon kiri dan rektum menyebabkan
perubahan pola defekasi seperti konstipasi. Makin ke distal letak tumor feses makin menipis
atau seperti kotoran kambing, atau lebih cair disertai darah atau lendir. Perdarahan akut
jarang dialami, demikian juga nyeri di daerah panggul berupa tanda penyakit lanjut. Pada
obstruksi penderita merasa lega saat flatus (Sayuti, 2019). Sehingga gejala yang biasa timbul
akibat manifestasi klinik dari karsinoma kolorektal dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Gejala subakut

Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada pola buang
air besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare.
Pasien mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor
seringkali menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi (Sayuti, 2019).

Sakit perut bagian bawah biasanya berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri,
yang mereda setelah buang air besar. Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada
pola buang air besar serta adanya darah yang berwarna merah keluar bersamaan dengan
buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah penurunan berat badan dan demam. Meskipun
kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat menjadi tempat utama intususepsi, sehingga
jika ditemukan orang dewasa yang mempunyai gejala obstruksi total atau parsial dengan
intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium enema harus dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan kanker kolon (Sayuti, 2019).

2. Gejala akut

Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan
pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah
kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah
sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan
penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau
buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal
ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika
urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan
hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon (Sayuti,
2019).
Epidemologi

Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal (KKR) adalah kanker ketiga terbanyak
dan merupakan kanker penyebab kematian ketiga terbanyak pada pria dan wanita di Amerika
Serikat.1 Berdasarkan survei GLOBOCAN 2012, insidens KKR di seluruh dunia menempati
urutan ketiga (1360 dari 100.000 penduduk [9,7%], keseluruhan laki-laki dan perempuan)
dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab kematian (694 dari 100.000 penduduk
[8,5%], keseluruhan laki-laki dan perempuan) (Ferlay, 2016). Di Amerika Serikat sendiri
pada tahun 2016, diprediksi akan terdapat 95.270 kasus KKR baru, dan 49.190 kematian
yang terjadi akibat KKR.3 Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal
adalah 1 dari 20 orang (5%) (KKR, 2014). Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada
wanita dibandingkan pada pria. Banyak faktor lain yang dapat meningkatkan risiko individual
untuk terkena kanker kolorektal. Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20
tahun terakhir. Ini berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada
penanganan kanker kolorektal (KKR, 2014).

Faktor Resiko dan Pencegahan

Etiologi kanker kolorektal hingga saat ini masih belum diketahui. Penelitian saat ini
menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki korelasi terbesar untuk kanker kolorektal.
Mutasi dari gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) adalah penyebab Familial Adenomatous
polyposis (FAP), yang mempengaruhi individu membawa resiko hampir 100%
mengembangkan kanker usus besar pada usia 40 tahun (Harpa, 2018).

Faktor Resiko :

 Bertambahnya Usia.
Mayoritas masyarakat yang terdiagnosa dengan kanker kolorektal berusia lebih dari 50
tahun. Namun, kanker kolorektal juga dapat menyerang mereka yang lebih muda meski
jarang terjadi. Usia 50 tahun menjadi batasan usia internasional di mana setiap orang
dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan kolonoskopi atau teropong usus besar.
 Rekam jejak individu atas kanker kolorektal atau polip. Jika Anda pernah terjangkit
kanker kolorektal atau polip adenomatus, maka Anda memiliki risiko lebih tinggi
terhadap kanker kolorektal di kemudian hari.
 Kondisi Radang Usus Kronik. Kondisi radang pada usus yang kronis, seperti ulcerative
colitis dan penyakit Crohn, dapat meningkatkan risiko terhadap kanker kolorektal.
 Beberapa sindrom genetik yang dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal yang
diturunkan dari generasi ke generasi dalam keluarga Anda dapat meningkatkan risiko
terhadap kanker kolorektal pada keluarga Anda. Sindrom ini termasuk familial
adenomatous polyposis dan kanker kolorektal nonpoliposis turunan, yang dikenal dengan
sindrom Lynch. Ditemukan pada sedikit sekali orang dalam populasi.
 Riwayat Keluarga akan Kanker Kolorektal. Anda memiliki kecenderungan
mengembangkan kanker kolorektal jika Anda memiliki orang tua, saudara sekandung,
atau anak dengan penyakit ini. Jika lebih dari satu anggota keluarga memiliki kanker
kolorektal, risiko Anda lebih besar.
 Pasien dengan gaya hidup yang jarang bergerak. Jika Anda tidak aktif, anda berisiko
terkena kanker kolorektal. Melakukan kegiatan fisik dapat mengurangi risiko terhadap
kanker kolorektal.
 Penderita Diabetes.

Orang yang terkena diabetes dan resistensi insulin seperti yang dijumpai pada mereka
yang obes dan mengidap sindrom metabolik memiliki risiko lebih tinggi terhadap kanker
kolorektal.

 Obesitas

Orang yang mengalami obesitas memiliki risiko lebih tinggi terhadap kanker kolorektal
dan risiko lebih tinggi meninggal karena kanker kolorektal dibandingkan dengan mereka
yang memiliki berat badan normal.

 Merokok dapat meningkatkan resiko kanker karena mengandung lebih dari 200 zat
karsinogen.
 Konsumsi makanan berlebihan terutama bila sampai terjadi obesitas merupakan proses
karsinogenik akibat tersimpannya lemak berlebih yang memicu kanker melalui jalur
biokimiawi dalam tubuh.
 Konsumsi makanan rendah serat dapat menyebabkan makanan lebih lambat dalam
perjalanan keluar, sehingga zat karsinogen menjadi lebih lama merangsang sel-sel usus
memicu perubahan pada sel.
 Zat warna ilegal seperti Rhodamin (pewarna tekstil) serta pengawet seperti formalin dan
sebagainya merupakan bahan-bahan kimia pemicu kanker (melalui kerusakan pada
DNA).
 Konsumsi daging merah yang dipanasi hingga lama akan mengakibatkan timbulnya zat
karsinogen pemicu kanker usus besar.
 Konsumsi daging olahan, walaupun bukan daging merah pun seperti daging ayam, oleh
WHO baru saja dinyatakan sebagai karsinogenik (Harpa, 2018).

Pencegahan

Pencegahan kanker kolorektal dapat dilakukan mulai dari fasilitas kesehatan layanan primer
melalui program KIE di populasi/masyarakat dengan menghindari faktor-faktor risiko kanker
kolorektal yang dapat di modifikasi dan dengan melakukan skrining atau deteksi dini pada
populasi, terutama pada kelompok risiko tinggi. Diantara faktor risiko yang dapat
dimodifikasi: inaktivitas, obesitas, konsumsi tinggi daging merah, merokok dan konsumsi
alkohol moderat-sering. Sementara aktivitas fisik, diet berserat dan asupan vitamin D
termasuk dalam faktor protektif (KPKN, 2012).

Beberapa Program Kesehatan yang dapat dilakukan seperti :

 Berolahraga secara rutin.


 Mengonsumsi makanan dan minuman yang tinggi serat.
 Menjaga berat badan ideal.
 Berhenti merokok.
 Mengurangi atau menghindari minuman beralkohol.
 Mengurangi konsumsi daging merah
 Rajin melakukan check up dan pemeriksaan dini apabila memiliki faktor resiko keturunan
 Menjaga berat badan yang ideal (Harpa, 2018).

Diagnosis

1. Anamnesis

Diagnosis awal dijalankan berdasarkan pada faktor resiko dan keluhan pasien. Sebagian besar
penderita datang pada dokter dengan keluhan perubahan kebiasaan defekasi : diare atau
obstipasi, sakit perut tidak menentu, sering ingin defekasi namun tinja sedikit, perdarahan
campur lendir. Kadang-kadang gejala yang timbul menyerupai gejala penyakit disentri.
Penyakit yang diduga disentri, setelah pengobatan tidak ada perubahan, perlu
dipertimbangkan karsinoma kolon dan rektum terutama penderita umur dewasa dan umur
lanjut. Anoreksia dan berat badan semakin menurun merupakan salah satu simtom karsinoma
kolon dan rektum tingkat lanjut (Sayuti, 2019).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik tidak banyak berperan kecuali colok dubur/Rectal Toucher yang dilakukan
pada pasien dengan perdarahan ataupun gejala lainnya. Pada tingkat pertumbuhan lanjut,
palpasi dinding abdomen kadang-kadang teraba masa di daerah kolon kanan dan kiri.
Hepatomegali jarang terjadi. Colok dubur merupakan cara diagnostik sederhana. Pada
pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina iskiadika,
sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba
pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis cavum douglas sebagai
akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang
mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat
dijangkau oleh jari, sehingga colok dubur merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa
kanker kolon (Schwartz, 2005).

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium klinis Pemeriksaan laboratorium terhadap karsinoma kolorektal


bisa untuk menegakkan diagnosa maupun monitoring perkembangan atau kekambuhannya.
Pemeriksaan terhadap kanker ini antara lain pemeriksaan darah, Hb, elektrolit, dan
pemeriksaan tinja yang merupakan pemeriksaan rutin. Anemia dan hipokalemia
kemungkinan ditemukan oleh karena adanya perdarahan kecil. Perdarahan tersembunyi dapat
dilihat dari pemeriksaan tinja (Schwartz, 2005). Selain pemeriksaan rutin di atas, dalam
menegakkan diagnosa karsinoma kolorektal dilakukan juga skrining CEA (Carcinoma
Embrionic Antigen). Carcinoma Embrionic Antigen merupakan pertanda serum terhadap
adanya karsinoma kolon dan rektum. Carcinoma Embrionic Antigen adalah sebuah
glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan
digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk
mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. Carcinoma Embrionic Antigen terlalu
insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai skrining kanker kolorektal.
Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter.
Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit
dan adanya metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor
prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring
berkelanjutan setelah pembedahan (Casciato, 2004). Pemeriksaan penunjang ini diantaranya;

 Pemeriksaan laboratorium

Patologi Anatomi Pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi pada kanker kolorektal


adalah terhadap bahan yang berasal dari tindakan biopsi saat kolonoskopi maupun reseksi
usus. Hasil pemeriksaan ini adalah hasil histopatologi yang merupakan diagnosa definitif.
Dari pemeriksaan histopatologi inilah dapat diperoleh karakteristik berbagai jenis kanker
maupun karsinoma di kolorektal ini (Schwartz, 2005).

 Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu foto polos abdomen atau menggunakan
kontras. Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium
enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm.
Teknik ini jika digunakan bersama-sama sigmoidoskopi, merupakan cara yang hemat biaya
sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi
kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang
mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan
perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada barium enema.
Computerised Tomography (CT) scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Endoscopic
Ultrasound (EUS) merupakan bagian dari teknik pencitraan yang digunakan untuk evaluasi,
staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan
skrining tes (Schwartz, 2005).

 Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rektum. Prosedur kolonoskopi dilakukan saluran pencernaan dengan menggunakan alat
kolonoskop, yaitu selang lentur berdiameter kurang lebih 1,5 cm dan dilengkapi dengan
kamera. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip
dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%,
lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. Kolonoskopi juga
dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan,
komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi
merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory
bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon
non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi
diagnostic (Schwartz, 2005).

4. Diagnosis Banding
1. Irritable bowel syndrome (IBS)

Irritable bowel syndrome (IBS) adalah salah satu penyakit gastrointenstinal fungsional.
Irritable bowel syndrome memberikan gejala berupa adanya nyeri perut, distensi dan
gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik. Diagnosis dari IBS berasarkan atas kriteria
gejala, mempertimbangan demografi pasien (umur, jenis kelamian, dan ras) dan
menyingkirkan penyakit organik.Melalui anamnesis riwayat secara spesifik menyingkirkan
gejala alarm (red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal,
riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala setelah umur 50 tahun
(Sayuti, 2019).

2. Kolitis ulseratif

Kolitis ulseratif adalah peradangan kronis yang terjadi pada usus besar (kolon) dan rektum.
Pada kelainan ini, terdapat tukak atau luka di dinding usus besar sehingga menyebabkan tinja
bercampur dengan darah. Kolitis ulserativa dapat menjadi penyebab kanker kolorektal
(Sayuti, 2019).

3. Penyakit Crohn
Penyakit Crohn merupakan kelainan ulseroinflamasi pada traktus digestivus yang bersifat
kronis dan dapat menyerang setiap segmen traktus digestivus, terutama pada bagian distal
usus halus serta kolon sebelah kanan. Bila mengenai ileum disebut ileitis terminalis dan bila
mengenai kolon disebut colitis granulomatosa. Diagnosis penyakit Crohn secara klinik
seringkali sulit dilakukan karena memiliki gejala yang bervariasi dan menyerupai penyakit
saluran pencernaan lain. Gejala yang paling sering adalah nyeri abdomen disertai diare ringan
dan kadang-kadang demam. Penyakit Crohn pada ileum dan caecum akan menimbulkan
gejala klinik yang menyerupai apendisitis akut (Sayuti, 2019).
3. Fisura ani

Gejala fistula ani diantaranya rasa tidak nyaman, iritasi kulit, keluar cairan terus-meneus yang
tidak membaik dengan sendirinya, dan sebagainya. Fistula ani biasanya lebih sering terjadi
pada laki laki dibanding perempuan. Kasus ini bisa terjadi pada usia 20 tahun hingga 40
tahun. Namun demikian, bisa juga terjadi pada bayi dan anak – anak, biasanya terjadi akibat
kelainan kongenital atau cacat bawaan (Sayuti, 2019).

4. Penyakit divertikulum

Divertikulum Meckel biasanya ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukannya laparotomi.
Dalam penegakkan diagnosis, tes laboratorium tidak dapat digunakan sebagai acuan, namun
lebih digunakan sebagai dasar untuk menangani komplikasi perdarahan yang ditimbulkan.
Pemeriksaan yang bisa dilakukan seperti pemeriksaan darah lengkap, elektrolit gula darah,
BUN, serum kreatinin, dan koagulasi. Pada keadaan klinis dengan temuan perdarahan yang
mengarah ke Divertikulum Meckel pemeriksaan yang berguna adalah dengan scanning
Meckel. Pada keadaan komplikasi non-perdarahan plain foto dapat digunakan (Sayuti, 2019).

Pengobatan

1. Deteksi dini

Pilihan pemeriksaan skrining atau deteksi dini ditentukan berdasarkan risiko individual,
pilihan individual dan akses. Pada orang dewasa dengan risiko sedang, skrining harus dimulai
pada individu berusia 50 tahun dengan pilihan berikut;

Colok dubur. FOBT atau FIT setiap 1 tahun. Sigmoidoskopi fleksibel setiap 5 tahun.
Kolonoskopi setiap 10 tahun. Barium enema dengan kontras ganda setiap 5 tahun. CT
kolonografi setiap 5 tahun deteksi dini pada individual dengan risiko meningkat dan risiko
tinggi rekomendasi skrining pada individual dengan risiko meningkat dibagi menjadi 3:
Pasien dengan riwayat polip pada kolonoskopi sebelumnya, Pasien dengan kanker
kolorektal, Pasien dengan riwayat keluarga (Levin, 2008).

2. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan
kuratif untuk kanker kolorektal (KPKN, 2012).

3. Radioterapi

Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi
untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan radiasi
eksternal dan radiasi internal. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan
stadium dari kanker. Radiasi eksternal (external beam therapy) merupakan penanganan
dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Terapi radiasi tidak
menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Radiasi internal
(brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh
sedekat mungkin pada sel kanker (KPKN, 2012).

4. Kemoterapi Ajuvan
Terapi ajuvan direkomendasikan untuk KKR stadium III dan stadium II yang memiliki risiko
tinggi. Yang termasuk risiko tinggi adalah: jumlah KGB yang terambil > 12 buah, tumor
berdiferensiasi buruk, invasi faskular atau limfatik, atau perineural, tumor dengan obstruksi
atau perforasi, dan pT4. Terapi ini diberikan kepada pasien dengan performance status (PS) 0
atau 1. Selain itu, untuk memantau efek samping, sebelum terapi perlu dilakukan
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), serta
elektrolit darah (KPKN, 2012).
5. Terapi Biologis ( Targetted Therapy)

Berbeda dengan kemoterapi yang menyerang sel kanker sekaligus sel yang sehat, targetted
therapy bekerja dengan membunuh sel-sel kanker secara spesifik. Terapi obat bertarget dapat
diberikan tunggal atau dikombinasi dengan metode pengobatan lain diantaranya seperti
Bevacizumab, Cetuximab, Ziv-Aflibercept, Panitumumab, Regorafenib, BIBF 1120,
Cediranib Panitumumab, regorafenib, BIBF 1120, dan cediranib (KPKN, 2012).

6. Regimen Therapy

Regimen Therapy menggunakan kombinasi komposisi jenis dan jumlah obat serta frekuensi
pemberian obat sebagai upaya terapi  pengobatan. Untuk pengobatan kanker kolorektal
Regimen Theraphy yang idanjurkan adalah dengan menggunakan FOLFOX 6 atau
modifikasinya (mFOLFOX6) (KPKN, 2012).
7. Terapi lain

Metode pengobatan yang sedang dikembangkan pada dekade terakhir ini diantaranya seperti
target terapi yang memblokade pertumbuhan pembuluh darah ke daerah tumor, Terapi Ge,
odifikasi biologi dan kemoterapi : thymidy-late synthase dan 5 fluoro urasil, extra corporal
transcutaneus application dengan ultrasonografi intensitas tinggi, dan imunoterapi
menggunakan nterleukin Limfokin-2 dan Alpa Interferon (KPKN, 2012).

8. Terapi Herbal

Pengobatan herbal dapat dilakukan dengan mengkonsumsi tanaman yang banyak


mengandung flvonoid untuk membunuh sel-sel kanker seperti daun sirsak, keladi tikus, daun
belalai gajah, Echinacea, Bawang putih, kunyit, teh hijau, dan ekstrak manggis sebagai
penunjang penyembuhan kanker dibarengi dengan perubahan pola hidup sehat (Zafrial, 2018)
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah et al, 2012. Molecular Profile of Colorectal Cancer in Indonesia: Is there another
pathway. RIGLD. 5:71-2

Casciato DA, 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins

Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN). 2012. Panduan Penatalaksanaan Kanker


Kolorektal. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Levin B, Lieberman D, McFarland B, et al. Screening and surveillance for the early detection
of colorectal cancer and adenomatous polyps: a joint guideline from the American
Cancer Society, the US Multi-Society Task Force on Colorectal Cancer, and the
American College of Radiology. CA Cancer J Clin 2008; 58: 130–60

Schwartz, 2005. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC

Sayuti, Muhammad, Nouva. 2019. Kanker Kolorektal. Jurnal Averrous. Vol. 5 No. 2

Society AC. Colorectal Cancer Facts & Figures 2014-2016. Color Cancer Facts Fig 2014; 1–
32. 2. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, et al. Cancer incidence and mortality
worldwide: Sources, methods and major patterns in GLOBOCAN 2012. Int J Cancer
2015; 136: E359–E386

Yayasan Kanker Indonesia Harapan Terpadu (HARPA). 2018. Kanker Kolorektal. Jakarta :
Yayasan Kanker Indonesia.

Zafrial, Rizki Muhammad., Amalia, Riezki. 2018. Artikel Tinjauan: Anti Kanker dari
Tanaman Herbal. Jurnal Farmaka. Suplemen Volume 12 Nomor 1
Jawaban Soal

(c). Pengobatan pada penyakit kanker kolorektal


 Pembedahan

Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan
kuratif untuk kanker kolorektal (KPKN, 2012).

 Radioterapi

Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi
untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan radiasi
eksternal dan radiasi internal. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan
stadium dari kanker. Radiasi eksternal (external beam therapy) merupakan penanganan
dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Terapi radiasi tidak
menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Radiasi internal
(brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh
sedekat mungkin pada sel kanker (KPKN, 2012).

 Kemoterapi Ajuvan

Terapi ajuvan direkomendasikan untuk KKR stadium III dan stadium II yang memiliki risiko
tinggi. Yang termasuk risiko tinggi adalah: jumlah KGB yang terambil > 12 buah, tumor
berdiferensiasi buruk, invasi faskular atau limfatik, atau perineural, tumor dengan obstruksi
atau perforasi, dan pT4. Terapi ini diberikan kepada pasien dengan performance status (PS) 0
atau 1. Selain itu, untuk memantau efek samping, sebelum terapi perlu dilakukan
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), serta
elektrolit darah (KPKN, 2012).

 Terapi Biologis ( Targetted Therapy)

Berbeda dengan kemoterapi yang menyerang sel kanker sekaligus sel yang sehat, targetted
therapy bekerja dengan membunuh sel-sel kanker secara spesifik. Terapi obat bertarget dapat
diberikan tunggal atau dikombinasi dengan metode pengobatan lain diantaranya seperti
Bevacizumab, Cetuximab, Ziv-Aflibercept, Panitumumab, Regorafenib, BIBF 1120,
Cediranib Panitumumab, regorafenib, BIBF 1120, dan cediranib (KPKN, 2012).

 Regimen Therapy

Regimen Therapy menggunakan kombinasi komposisi jenis dan jumlah obat serta frekuensi
pemberian obat sebagai upaya terapi  pengobatan. Untuk pengobatan kanker kolorektal
Regimen Theraphy yang idanjurkan adalah dengan menggunakan FOLFOX 6 atau
modifikasinya (mFOLFOX6) (KPKN, 2012).

 Terapi lain

Metode pengobatan yang sedang dikembangkan pada dekade terakhir ini diantaranya seperti
target terapi yang memblokade pertumbuhan pembuluh darah ke daerah tumor, Terapi Ge,
odifikasi biologi dan kemoterapi : thymidy-late synthase dan 5 fluoro urasil, extra corporal
transcutaneus application dengan ultrasonografi intensitas tinggi, dan imunoterapi
menggunakan nterleukin Limfokin-2 dan Alpa Interferon (KPKN, 2012).

 Terapi Herbal

Pengobatan herbal dapat dilakukan dengan mengkonsumsi tanaman yang banyak


mengandung flvonoid untuk membunuh sel-sel kanker seperti daun sirsak, keladi tikus, daun
belalai gajah, Echinacea, Bawang putih, kunyit, teh hijau, dan ekstrak manggis sebagai
penunjang penyembuhan kanker dibarengi dengan perubahan pola hidup sehat (Zafrial, 2018)

Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN). 2012. Panduan Penatalaksanaan Kanker


Kolorektal. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Zafrial, Rizki Muhammad., Amalia, Riezki. 2018. Artikel Tinjauan: Anti Kanker dari
Tanaman Herbal. Jurnal Farmaka. Suplemen Volume 12 Nomor 1
(d). Pencegahan pada penyakit kanker kolorektal
Pencegahan kanker kolorektal dapat dilakukan mulai dari fasilitas kesehatan layanan primer
melalui program KIE di populasi/masyarakat dengan menghindari faktor-faktor risiko kanker
kolorektal yang dapat di modifikasi dan dengan melakukan skrining atau deteksi dini pada
populasi, terutama pada kelompok risiko tinggi. Diantara faktor risiko yang dapat
dimodifikasi: inaktivitas, obesitas, konsumsi tinggi daging merah, merokok dan konsumsi
alkohol moderat-sering. Sementara aktivitas fisik, diet berserat dan asupan vitamin D
termasuk dalam faktor protektif (KPKN, 2012).

Beberapa Program Kesehatan yang dapat dilakukan seperti :

 Berolahraga secara rutin.


 Mengonsumsi makanan dan minuman yang tinggi serat.
 Menjaga berat badan ideal.
 Berhenti merokok.
 Mengurangi atau menghindari minuman beralkohol.
 Mengurangi konsumsi daging merah
 Rajin melakukan check up dan pemeriksaan dini apabila memiliki faktor resiko keturunan
 Menjaga berat badan yang ideal (Harpa, 2018).

Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN). 2012. Panduan Penatalaksanaan Kanker


Kolorektal. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Yayasan Kanker Indonesia Harapan Terpadu (HARPA). 2018. Kanker Kolorektal. Jakarta :
Yayasan Kanker Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai