Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Kanker kolon (Ca Colon) adalah keganasan yang berasal dari jaringan
usus besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau
rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus). Sebagian besar
terdapat di kolon ascendens (30%), diikuti oleh kolon sigmoid (25%),
rektum (20%), kolon descendens (15%) dan kolon transversum (10%)
(Johns Hopkins Medicine Colon Cancer Centre, 2015).
Kanker kolon merupakan kanker yang menyerang bagian usus besar,
yakni bagian akhir dari sistem pencernaan. Sebagian besar kasus kanker
kolorektal dimulai dari sebuah benjolan/polip kecil dan kemudian membesar
menjadi tumor (Yayasan Kanker Indonesia, 2018).
Kanker kolorektal adalah kanker yang dimulai di usus besar atau
rektum. Kanker ini juga bisa disebut kanker usus besar atau kanker rektum,
tergantung tempat bermulanya. Kanker usus besar dan kanker rektum sering
dikelompokkan bersama karena memiliki banyak kesamaan. Hampir semua
kanker usus besar adalah adenokarsinoma. Adenokarsinoma adalah kanker
sel yang melapisi kelenjar dan, dalam kasus kanker usus besar,
memmproduksi lendir. Awalnya kanker kolorektal dapat muncul sebagai
polip jinak tetapi dapat menjadi ganas, menginvasi dan menghancurkan
jaringan normal, dan meluas ke struktur sekitarnya (Smeltzer, 2015).

2. Etiologi
Sebagian besar kanker kolon dimulai dari polip pada lapisan dalam usus
besar atau rektum. Beberapa jenis polip dapat berubah menjadi kanker
selama beberapa tahun, namun tidak semua polip menjadi kanker.
Kemungkinan berubah menjadi kanker tergantung pada jenis polip. 2 jenis
polip utama adalah (American Cancer Society, 2017):

1) Adenomatous polyps (adenoma): Polip ini kadang berubah menjadi


kanker. Karena itu, adenoma disebut kondisi pra-kanker.
2) Hyperplastic polyps dan inflammatory polyps: Polip ini lebih sering
terjadi, namun secara umum tidak bersifat pra-kanker.
Adapun faktor resiko dari kanker kolorektal berdasarkan National
Cancer Institute (National Cancer Institute, 2017) adalah :
1) Usia
Menurut ACA (2017), risiko kanker kolorektal meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Proporsi kasus yang di diagnosis pada individu yang
berusia dibawah 50 tahun meningkat dari 6 % pada tahun 1990 menjadi
11% pada tahun 2013. Sebagian besar (72%) pada kasus ini terjadi pada
individu dengan usia di atas 40 tahun. 2.
2) Genetik
Hampir 30% pasien kanker kolorektal memiliki riwayat keluarga dengan
penyakit ini, sekitar 5% diantaranya disebabkan oleh kelainan genetic
yang diwariskan. Individu dengan riwayat keluarga tingkat pertama
(orangtua, saudara kandung atau anak) yang didiagnosis dengan kanker
kolorektal memiliki risiko 2 sampai 4 kali dibandingkan mereka yang
tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit tersebut.
3) Riwayat menderita adenoma beresiko tinggi ( polip kolorektal yang
berukuran 1 sentimeter atau lebih besar atau memiliki sel yang terlihat
abnormal di bawah mikroskop).
4) Riwayat menderita kolitis ulserativa kronis atau penyakit Crohn selama 8
tahun atau lebih. Penyakit Crohn juga sering disebut colitis
granulomatosis atau colitis transmural, merupakan peradangan di seluruh
dinding granulomatois, sedangkan colitis ulseratif secara primer adalah
inflamasi yang terbatas di selaput lendir kolon. Risiko terjadinya kanker
kolon pada Crohn;s lebih besar.
5) Mengonsumsi alcohol
Konsumsi alcohol sedang dan berat (<12,5 gram perhari, sekitar satu
minuman), dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kolon.
Dibandingkan dengan seseorang yang tidak minum alcohol dan hanya
mengonsumsi sesekali, seseorang yang rata-rata mengonsumsi 2 sampai
3 minuman beralkohol per hari memiliki risiko kanker 20% lebih tinggi,
dan yang mengonsumsi lebih dari 3 minuman per hari memiliki sekitar
40% peningkatan risiko.
6) Merokok
Badan Penelitian Kanker Internasional pada November 2009 melaporkan
bahwa merokok dapat menyebabkan kanker kolorektal. Kaitan terhadap
rectum lebih besar dibandingkan dengan kolon.
7) Gaya hidup (obesitas)
Obesitas dapat meningkatkan risiko kanker kolon yang lebih tinggi pada
pria dibandingkan wanita. Secara khusus seseorang dengan berat badan
normal, pria obesitas memiliki 50% risiko kanker kolon lebih tinggi dan
kanker rectal 20%, sedangkan wanita obesitas memiliki sekitar 20%
peningkatan risiko kanker kolon dan risiko kanker rectal 10%. Obesitas
dapat berdampak negative pada kesehatan metabolic yang merupakan
fungsi utama dari semua proses biokimia didalam tubuh. Studi terbaru
menunjukkan bahwa kesehatan metabolic yang buruk memiliki kaitan
dengan kejadian kanker kolorektal.

3. Patofisiologi
Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang
dari polip adenoma. Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun
umumnya masih terjadi di rektum dan kolon sigmoid. Polip tumbuh dengan
lambat, sebagian besar tumbuh dalam waktu 5-10 tahun atau lebih untuk
menjadi ganas. Ketika polip membesar, polip membesar di dalam lumen dan
mulai menginvasi dinding usus. Tumor di usus kanan cenderung menjadi
tebal dan besar, serta menyebabkan nekrosis dan ulkus. Sedangkat tumor
pada usus kiri bermula sebagai massa kecil yang menyebabkan ulkus pada
suplai darah (Black & Hawks, 2014).
Pada saat timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar ke dalam
lapisan lebih dalam dari jaringan usus dan organ-organ yang berdekatan.
Kanker kolorektal menyebar dengan perluasan langsung ke sekeliling
permukaan usus, submukosa, dan dinding luar usus. Struktur yang
berdekatan, seperti hepar, kurvatura mayor lambung, duodenum, usus halus,
pankreas, limpa, saluran genitourinary, dan dinding abdominal juga dapat
dikenai oleh perluasan. Metastasis ke kelenjar getah bening regional sering
berasal dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja
kelenjar yang jauh sudah dikenai namun kelenjar regional masih normal. Sel-
sel kanker dari tumor primer dapat juga menyebar melalui sistem limpatik
atau sistem sirkulasi ke area sekunder seperti hepar, paru-paru, otak, tulang,
dan ginjal. “Penyemaian” dari tumor ke area lain dari rongga peritoneal dapat
terjadi bila tumor meluas melalui serosa atau selama pemotongan
pembedahan (Black & Hawks, 2014).
Sebagian besar tumor maligna (minimal 50%) terjadi pada area rektal
dan 20–30 % terjadi di sigmoid dan kolon desending. Kanker kolorektal
terutama adenocarcinoma (muncul dari lapisan epitel usus) sebanyak 95%.
Tumor pada kolon asenden lebih banyak ditemukan daripada pada
transversum (dua kali lebih banyak). Tumor bowel maligna menyebar
dengan cara (Black & Hawks, 2014):
a. Menyebar secara langsung pada daerah disekitar tumor secara langsung
misalnya ke abdomen dari kolon transversum.
b. Penyebaran secara langsung juga dapat mengenai bladder, ureter dan
organ reproduksi.
c. Melalui saluran limfa dan hematogen biasanya ke hati, juga bisa
mengenai paru-paru, ginjal dan tulang.
d. Tertanam ke rongga abdomen.
4. Tanda dan Gejala
Kanker kolon seringkali dapat dideteksi dengan prosedur skrining. Adapun
manifestasi klinis dari kanker kolon menurut (National Comprehensive
Cancer Network, 2016) adalah :
1) Anemia

2) Perdarahan pada rectum


3) Nyeri abdomen

4) Perubahan kebiasaan defekasi

5) Obstruksi usus atau perforasi

Sementara (Smeltzer, 2015) menjelaskan manifestasi klinis dari kanker


kolon maupun kanker rektum yaitu :
1) Keluarnya darah di dalam atau pada feses.
2) Penurunan berat badan dan keletihan.
3) Lesi di sisi kanan kemungkinan disertai dengan nyeri abdomen yang
tumpul dan melena.
4) Lesi sisi kiri dikaitkan dengan obstruksi (nyeri dan kram abdomen,
penyempitan ukuran feses, konstipasi dan distensi) dan darah berwarna
merah terang di feses.
5) Lesi rectal dikaitkan dengan tenesmus (mengejan yang nyeri dan tidak
efektif saat defekasi), nyeri rectal, mengalami konstipasi dan diare secara
bergantian, feses berdarah.
6) Tanda-tanda komplikasi : obstruksi usus parsial atau komplet, ekstensi
tumor dan ulserasi ke pembuluh darah sekitar (perforasi, pembentukan
abses, peritonitis, sepsis, atau syok).
7) Dalam banyak kasus, gejala tidak muncul sampai kanker kolorektal
berada dalam stadium lanjut.

5. Pemeriksaan Penunjang
Berikut merupakan pemeriksaan penunjang pada penderita kanker
kolon (Sayuti & Nouva, 2019):
1) Pemeriksaan laboratorium klinis
Pemeriksaan laboratorium terhadap karsinoma kolorektal bisa untuk
menegakkan diagnosa maupun monitoring perkembangan atau
kekambuhannya. Pemeriksaan terhadap kanker ini antara lain
pemeriksaan darah, Hb, elektrolit, dan pemeriksaan tinja yang merupakan
pemeriksaan rutin. Anemia dan hipokalemia kemungkinan ditemukan
oleh karena adanya perdarahan kecil. Perdarahan tersembunyi dapat
dilihat dari pemeriksaan tinja.13Selain pemeriksaan rutin di atas, dalam
menegakkan diagnosa karsinoma kolorektal dilakukan juga skrining CEA
(Carcinoma Embrionic Antigen). Carcinoma Embrionic Antigen
merupakan pertanda serum terhadap adanya karsinoma kolon dan
rektum. Carcinoma Embrionic Antigen adalah sebuah glikoprotein yang
terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan
digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker
kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar.
Carcinoma Embrionic Antigen terlalu insensitif dan nonspesifik untuk
bisa digunakan sebagai skrining kanker kolorektal. Meningkatnya nilai
CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter.
Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium
lanjut dari penyakit dan adanymetastase ke organ dalam. Meskipun
konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen. Nilai
CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring
berkelanjutan setelah pembedahan.
2) Pemeriksaan laboratorium Patologi Anatomi
Pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi pada kanker kolorektal
adalah terhadap bahan yang berasal dari tindakan biopsi saat kolonoskopi
maupun reseksi usus. Hasil pemeriksaan ini adalah hasil histopatologi
yang merupakan diagnosa definitif. Dari pemeriksaan histopatologi inilah
dapat diperoleh karakteristik berbagai jenis kanker maupun karsinoma di
kolorektal ini.
3) Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu foto polos abdomen
atau menggunakan kontras. Teknik yang sering digunakan adalah dengan
memakai double kontras barium enema, yang sensitifitasnya mencapai
90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Teknik ini jika
digunakan bersama-sama sigmoidoskopi, merupakan cara yang hemat
biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak
dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan
jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau kanker
yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium
enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan
perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada barium
enema. Computerised Tomography (CT) scan, Magnetic Resonance
Imaging (MRI), Endoscopic Ultrasound (EUS) merupakan bagian dari
teknik pencitraan yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak
lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan
skrining tes.
4) Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rektum. Prosedur kolonoskopi dilakukan saluran
pencernaan dengan menggunakan alat kolonoskop, yaitu selang lentur
berdiameter kurang lebih 1,5 cm dan dilengkapi dengan kamera.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat
menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari
pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium
enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. Kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi
dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana
komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya
muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara
yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari
inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus,
gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan
neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi
daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi
utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostic.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin. Pilihan dan
rekomendasi terapi tergantung pada beberapa faktor Terapi bedah
merupakan modalitas utama untuk kanker stadium dini dengan tujuan
kuratif. Kemoterapi adalah pilihan pertama pada kanker stadium lanjut
dengan tujuan paliatif. Radioterapi merupakan salah satu modalitas utama
terapi kanker rektum. Saat ini, terapi biologis (targeted therapy) dengan
antibodi monoklonal telah berkembang pesat dan dapat diberikan dalam
berbagai situasi klinis, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan
modalitas terapi lainnya. Penatalaksanaan kanker kolorektal dibedakan
menjadi penatalaksanaan kanker kolon dan kanker rektum (Kemenkes RI,
2016):
Stadium Terapi
Stadium 0 • Eksisi lokal atau polipektomi sederhana.
(TisN0M0) • Reseksi en-bloc segmental untuk lesi
yang tidak memenuhi syarat eksisi lokal.
Stadium I • Wide surgical resection dengan anastomosis
(T1-2N0M0) tanpa kemoterapi ajuvan.
Stadium II • Wide surgical resection dengan anastomosis.
(T3N0M0, T4a-bN0M0) • Terapi ajuvan setelah pembedahan
pada pasien dengan risiko tinggi.
Stadium III • Wide surgical resection dengan anastomosis.
(T apapun N1-2M0) • Terapi ajuvan setelah pembedahan.
Stadium IV • Reseksi tumor primer pada kasus kanker
kolorektal dengan metastasis yang dapat
(T apapun, N apapun M1)
1) Terapi Endoskopi
Terapi endoskopik dilakukan untuk polip kolorektal, yaitu lesi
mukosa kolorektal yang menonjol ke dalam lumen. Metode yang
digunakan untuk polipektomi tergantung pada ukuran, bentuk dan tipe
histolopatologinya. Polip dapat dibiopsi terlebih dahulu untuk
menentukan tindakan selanjutnya. Biopsi polip umumnya dilakukan
dengan mengambil 4-6 spesimen atau 8-10 spesimen untuk lesi yang
lebih besar. Panduan American College of Gastroenterology menyatakan
bahwa:
a. Polip kecil harus dibuang secara utuh.
b. Jika jumlahnya banyak (lebih dari 20), harus dilakukan biopsi
c. representatif.
d. Polip pendukulata besar biasanya mudah dibuang dengan hot snare.
e. Polip sesil besar mungkin membutuhkan piecemeal resection atau
injeksi submukosal untuk menaikkan mukosa dari tunika muskularis
propria agar dapat dilakukan endoscopic mucosa resection (EMR).
2) Pembedahan
Salah satu penatalaksanaan surgery pada pasien kanker kolon adalah
operasi kolostomi (pembuatan stoma). Kolostomi adalah suatu prosedur
pembedahan pengalihan feses dari usus besar dengan menarik bagian
usus melalui sayatan perut lalu menjahitnya di kullit yang sering disebut
stoma. Pembuatan stoma ini dapat bersifat permanen atau sementara
tergantung tujuan dari tindakan dan kondisi kanker yang dialami. Letak
stoma tergantung dari letak massa. Ada tiga tempat pembuatan stoma,
yaitu:
a. Asending colostomy
Jika letak massa pada usus desenden. Konsistensi feses yang keluar
bertektur lebih lembut karena enzyme pencernaan masih keluar pada
bagian ini. Pengeluaran feses tidak dapat diprediksi waktunya.
b. Tranverse colostomy
Jika letak massa pada usus transversedan sigmoid. Konsistensi feses
yang keluar bertektur lembut sedikit padat karena enzyme pencernaan
sudah mulai berkurang pada bagian ini. Pengeluaran feses waktunya
tidak terduga.
c. Desending colostomy
Jika letak massa pada usus bagian desenden, rektal dan sigmoid.
Konsistensifeses yang keluar berbentuk lebih padat dan berwarna
coklat. Pengeluaran feses lebih teratur. Drainase dari kolostomi ini
lebih baik dibandingkan dengan kolostomi transverse. Pada bagian ini
enzyme pencernaan sudah tidak keluar.
3) Kemoterapi
Kemoterapi adalah pengobatan kanker secara farmakologi
menggunakan obat yang bersifat toksik yang dimsukkan melalui
pembuluh darah. Obat kemoterapi ini masuk ke dalam tubuh bersifat
sistemik, mengalir melalui pembuluh darah menuju sel kanker dan organ
tubuh yang sehat. Pemberian obat kemoterapi ini berdasarkan stadium
kanker kolon yang diderita serta kondisi klien dalam pemberian obat
kemoterapi.
4) Radioterapi
Radioterapi bertujuan membunuh sel kanker dengan menggunakan
ionizing irradiation. Radioterapi mempunyai peran yang tidak begitu
besar dalam pengobatan kanker kolon, karena berpotensi melukai
pembuluh darah abdominal. Raditerapi diberikan sesuai dengan stadium
kanker kolon dan kondisi klien. Radioterapi dapat diberikan dengan
terapi tunggal atau dikombinasikan dengnan pemberian kemoterapi.

7. Komplikasi
Komplikasi awal yang dapat terjadi adalah sumbatan (obstruksi) saluran
cerna. Sumbatan tersebut tentu diakibatkan tumor yang memenuhi saluran
usus. Adanya sumbatan tersebut menyebabkan penderitanya mengalami
konstipasi dan nyeri perut. Selain obstruksi, tumor juga dapat menyebabkan
usus mengalami kebocoran (perforasi). Perforasi usus dapat menimbulkan
gejala yang berat seperti nyeri perut hebat, perut terlihat membesar dan
tegang, muntah, serta infeksi berat (Timurtini, 2019).
Tak berhenti di situ, kanker usus juga dapat menimbulkan perdarahan.
Hal tersebut dapat terjadi bila tumor berada di sekitar rektum, salah satu
bagian terakhir usus besar. Perdarahan tumor dapat menyebabkan
penderitanya kehilangan darah yang cukup banyak, sehingga menimbulkan
anemia (kekurangan sel darah merah). Komplikasi lain dari kanker usus
adalah penyebaran sel tumor ke organ yang lain. Proses yang disebut
metastasis ini lazim terjadi pada berbagai jenis kanker, terutama yang
sifatnya ganas. Organ tubuh yang paling sering menjadi sasaran metastasis
sel kanker usus (Timurtini, 2019).
adalah kelenjar getah bening, paru, dan selaput rongga perut. Metastasis
dapat menimbulkan gejala sesuai organ yang terkena, misalnya benjolan di
sekitar leher, sesak napas, dan nyeri perut serta perut yang semakin
membesar (Timurtini, 2019).

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Berikut merupakan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada klien dengan
kanker kolon (Sayuti & Nouva, 2019):
Sebagian besar penderita datang pada dokter dengan keluhan perubahan
kebiasaan defekasi: diare atau obstipasi, sakit perut tidak menentu, sering
ingin defekasi namun tinja sedikit, perdarahan campur lendir. Kadang-
kadang gejala yang timbul menyerupai gejala penyakit disentri. Penyakit
yang diduga disentri, setelah pengobatan tidak ada perubahan, perlu
dipertimbangkan karsinoma kolon dan rektum terutama penderita umur
dewasa dan umur lanjut. Anoreksia dan berat badan semakin menurun
merupakan salah satu simtom karsinoma kolon dan rektum tingkat lanjut.
Pemeriksaan fisik tidak banyak berperan kecuali colok dubur/Rectal
Toucher yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan ataupun gejala
lainnya. Pada tingkat pertumbuhan lanjut, palpasi dinding abdomen kadang-
kadang teraba masa di daerah kolon kanan dan kiri. Hepatomegali jarang
terjadi. Colok dubur merupakan cara diagnostik sederhana. Pada
pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta
spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah.
Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana
sesuai dengan posisi anatomis cavum douglas sebagai akibat infiltrasi sel
neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin
dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat
dijangkau oleh jari, sehingga colok dubur merupakan cara yang baik untuk
mendiagnosa kanker kolon.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis mengenai seseorang,
keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan merupakan
dasar dalam penyusunan rencana tindakan asuhan keperawatan (Dinarti &
Muryant, 2017). Diagnosa yang mungkin muncul:
a. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur operasi dibuktikan dengan mengeluh
nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit
tidur.
DS:
1. Mengeluh nyeri
DO:
1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis: waspada, posisi menghindari nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
b. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis.
DS:
1. Mengeluh mual
2. Merasa ingin muntah
3. Tidak berminat makan
DO:
Tidak tersedia
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mengabsorpsi makanan
ditandai dengan mual dan adanya penyakit kronis
DS:
1. Tidak ada
DO:
1. Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan efek tindakan atau pengobatan (misal.
Pembedahan, kemoterapi dan radioterapi)
DS:
1. Mengungkapkan kecacatan/kehilangan bagian tubuh
DO:
1. Kehilangan bagian tubuh
2. Fungsi/struktur tubuh berubah/hilang
e. Risiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur invasif
Fr:
1. Penyakit kronis (mis: diabetes melitus)
2. Efek prosedur invasif
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan
5. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer (gangguan peristaltik;
kerusakan integritas kulit; perubahan sekresi pH; penurunan kerja siliaris;
ketuban pecah lama; ketuban pecah sebelum waktunya; merokok; statis
cairan tubuh)
6. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder (penurunan hemoglobin;
imunosupresi; leukopenia; supresi respon inflamasi; vaksinasi tidak
adekuat)
f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan bahan kimia iritatif ditandai
dengan bahan kimia iritatif.
DS:

1. Tidak tersedia
DO:

1. Kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit

3. Rencana Keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur operasi dibuktikan dengan mengeluh nyeri,
tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur

1. . Manajemen Nyeri (I.08238)

Observasi

a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas


nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Idenfitikasi respon nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
i. Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik

a. Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS,


hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
Teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi

a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat
e. Ajarkan Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri

Kolaborasi
a. pemberian analgetik, jika perlu

b. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis.

1. Manajemen Mual (I.03117)

Observasi

a. Identifikasi pengalaman mual


b. Identifikasi isyarat ketidaknyamanan nonverbal (misalnya: bayi, anak-
anak, dan mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif)
c. Identifikasi dampak mual terhadap kualitas hidup (mis: nafsu makan,
aktivitas, kinerja, tanggung jawab peran, dan tidur)
d. Identifikasi faktor penyebab mual (mis: pengobatan dan prosedur)
e. Identifikasi antiemetik untuk mencegah mual (kecuali mual pada
kehamilan)
f. Monitor mual (mis: frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan)

Terapeutik

a. Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual (mis: bau tidak sedap,


suara, dan rangsangan visual yang tidak menyenangkan)
b. Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual (mis: kecemasan,
ketakutan, kelelahan)
c. Berikan makanan dalam jumlah kecil dan menarik
d. Berikan makanan dingin, cairan bening, tidak berbau, dan tidak
berwarna, jika perlu

Edukasi

a. Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup


b. Anjurkan sering membersihkan mulut, kecuali jika merangsang mual
c. Anjurkan makanan tinggi karbohidrat, dan rendah lemak
d. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis untuk mengatasi mual
(mis: biofeedback, hipnosis, relaksasi, terapi musik, akupresur)

Kolaborasi

a. Kolaborasi pemberian obat antiemetik, jika perlu

c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mengabsorpsi makanan ditandai dengan
mual dan adanya penyakit kronis

1. Manajemen Nutrisi (I.03119)

Observasi

a. Identifikasi status nutrisi


b. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
c. Identifikasi makanan yang disukai
d. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
e. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
f. Monitor asupan makanan
g. Monitor berat badan
h. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik

a. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu


b. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis: piramida makanan)
c. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
d. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
e. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
f. Berikan suplemen makanan, jika perlu
g. Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastik jika asupan oral
dapat ditoleransi

Edukasi

a. Ajarkan posisi duduk, jika mampu


b. Ajarkan diet yang diprogramkan

d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan efek tindakan atau pengobatan (misal.
Pembedahan, kemoterapi dan radioterapi)

1. Promosi Citra Tubuh (I.09305)


Observasi

a. Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap perkembangan


b. Identifikasi budaya, agama, jenis kelamin, dan umur terkait citra tubuh
c. Identifikasi perubahan citra tubuh yang mengakibatkan isolasi sosial
d. Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap diri sendiri
e. Monitor apakah pasien bisa melihat bagian tubuh yang berubah

Terapeutik

a. Diskusikan perubahan tubuh dan fungsinya


b. Diskusikan perbedaan penampilan fisik terhadap harga diri
c. Diskusikan perubahan akibat pubertas, kehamilan, dan penuaan
d. Diskusikan kondisi stress yang mempengaruhi citra tubuh (mis: luka,
penyakit, pembedahan)
e. Diskusikan cara mengembangkan harapan citra tubuh secara realistis
f. Diskusikan persepsi pasien dan keluarga tentang perubahan citra tubuh
Edukasi

a. Jelaskan kepada keluarga tentang perawatan perubahan citra tubuh


b. Anjurkan mengungkapkan gambaran diri sendiri terhadap citra tubuh
c. Anjurkan menggunakan alat bantu (mis: pakaian, wig, kosmetik)
d. Anjurkan mengikuti kelompok pendukung (mis: kelompok sebaya)
e. Latih fungsi tubuh yang dimiliki
f. Latih peningkatan penampilan diri (mis: berdandan)
g. Latih pengungkapan kemampuan diri kepada orang lain maupun
kelompok

e. Risiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur invasif

1. Pencegahan Infeksi (I.14539)

Observasi

a. Pantau tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik

Terapeutik

a. Batasi jumlah pengunjung


b. Berikan perawatan kulit pada area edema
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
d. Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
Edukasi

a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi


b. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
c. Ajarkan etika batuk
d. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
e. Anjurkan tingkatkan asupan nutrisi
f. Anjurkan tingkatkan asupan cairan
Kolaborasi

a. Kolaborasi pemberian air, jika perlu

f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan bahan kimia iritatif ditandai dengan bahan
kimia iritatif.

1. Perawatan Integritas Kulit (I.11353)

Observasi

a. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis: perubahan


sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu
lingkungan ekstrim, penurunan mobilitas)

Terapeutik

b. Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring


c. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
d. Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare
e. Gunakan produk berbahan petroleum atau minyak pada kulit kering
f. lakukan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit
sensitive
g. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
Edukasi
a. Anjurkan menggunakan pelembab (mis: lotion, serum)
b. Anjurkan minum air yang cukup
c. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
d. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
e. Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrim
f. Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat berada diluar
rumah
g. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
4. Evaluasi
Dalam evaluasi perawat menentukan respon pasien terhadap intervensi
keperawatan dan mengetahui sejauh mana tujuan telah dicapai Jika hasil
tidak terpenuhi, revisi mungkin diperlukan dalam pengkajian (pengumpulan
data), diagnosis keperawatan, perencanaan, atau implementasi. Evaluasi
juga merupakan penilaian ulang dan menginterpretasikan data baru yang
berkelanjutan untuk menentukan apakah tujuan tercapai sepenuhnya,
sebagian, atau tidak sama sekali. Evaluasi memastikan bahwa klien
menerima perawatan yang tepat dan kebutuhannya terpenuhi (Siregar, 2021)
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. (2017). Colorectal Cancer. Facts & Figures 2017-
2019. Atlanta: American Cancer Society.
Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Medika.
Dinarti, & Muryant, Y. (2017). Bahan Ajar Keperawatan: Dokumentasi
Keperawatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Johns Hopkins Medicine Colon Cancer Centre. (2015). Colorectal Cancer
Overview.
Kemenkes RI. (2016). Panduan Penatalaksanaan Kanker kolorektal. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 76.
National Cancer Institute. (2017). Colorectal Cancer.
https://www.cancer.gov/types/colorectal/patient/rectal-treatment-pdq.
National Comprehensive Cancer Network. (2016). Colon Cancer. Washington:
National Comprehensive Cancer Network.
Sayuti, M., & Nouva, N. (2019). Kanker Kolorektal. AVERROUS: Jurnal
Kedokteran Dan Kesehatan Malikussaleh, 5(2), 76.
https://doi.org/10.29103/averrous.v5i2.2082
Siregar, D. (2021). Pengantar Proses Keperawatan: Konsep, Teori dan Aplikasi.
Medan: Yayasan Kita Menulis.
Smeltzer, S. C. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Timurtini, S. (2019). Komplikasi Kanker Kolon.
Yayasan Kanker Indonesia. (2018). Harapan Terpadu World Cancer Day 2018.
Buletin YKI.

Anda mungkin juga menyukai