Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Imunitas didefinisikan sebagai pertahanan terhadap penyakit, terutama


penyakit infeksi. Sedangkan imunitas humoral adalah jenis pertahanan inang yang
deperantarai oleh sekresi antibody dan penting untuk perlindungan terhadap
mikroba ekstraseluler dan toksin-toksinnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Imunitas Humoral adalah jenis pertahanan inang yang diperantarai oleh
sekresi antibodi dan penting untuk perlindungan terhadap mikroba
ekstraseluler dan toksin-toksinnya.
Antibodi bekerja terhadap mikroba di ekstraseluler dengan cara berikatan
pada toksin mikroba dan mencegah penghancuran sel-sel inang. Selain itu
fungsi dari antibodi, yaitu mengeliminasi mikroba, toksin dan sel-sel yang
terinfeksi dari tubuh.

B. Sifat Antibodi yang Menentukan Fungsi Efektornya


Antibodi diproduksi setelah limfosit B dirangsang oleh antigen di dalam
organ limfoid perifer (seperti kelenjar limfe, limpa dan jaringan limfoid
mukosa). Kemudian limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
mensekresi antibodi, sebagian tetap di organ limfoid atau jaringan yang
mengalami radang dan lainnya berpindah menuju sumsum tulang dan tinggal
di sana. Sel plasma membuat dan mensekresi antibodi isotipe yang berbeda.
Antibodi ini memasuki darah dan akan mencapai berbagai tempat infeksi di
perifer, kemudian memasuki sekresi mukosa untuk mencegah infeksi dari
mikroba yang mencoba masuk melalui epitel. Antibodi sendiri berfungsi pada
seluruh bagian tubuh dan lumen dari organ mukosa.
Antibodi protektif diproduksi selama respon pertama (primer) terhadap
suatu mikroba dan dalam jumlah yang lebih besar selama respon berikutnya
(sekunder). Produksi antibodi dimulai dalam satu minggu pertama setelah
ifeksi atau vaksinasi. Sel plasma yang berpindah ke sumsum tulang belaknag
terus mensekresi antibodi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Sebagian limfosit B yang dirangsang antigen, berdiferensiasi menjadi sel
memori, yang tidak mensekresi antibodi namun siap memberikan respon bila
antigen tersebut kembali muncul.
Antibodi menggunakan regio antigen binding (Fab) untuk mengikat dan
menghalangi efek berbahaya dari mikroba dan toksin, dan mereka
menggunakan regio Fc untuk mengaktivasi berbagai mekanisme efektor
untuk mengeliminasi mikroba dan toksin tersebut.
Gambar 2.1 Fungsi Efektor Antibodi

Perubahan kelas dari isotipe dan maturasi afinitas memperkuat fungsi


proteksi dari antibodi. Perubahan dari isotipe antibodi menghasilkan antibodi
dengan regio Fc yang berbeda yang mampi melakukan efektor yang berbeda.
Melalui hal ini, sistem imun humoral mampu untuk mengikut sertakan
makanisme inang yang optimal dalam melawan mikroba tersebut. Berikut
table fungsi dari beberapa isotipe
Tabel 2.1

Isotipe Antibodi Fungsi efektor spesifik isotipe


IgG Netralisasi mikroba dan racun
Opsonisasi antigen untuk fagositosis oleh makrofag
dan netrofil
Antivasi jalur klasik komplemen
Sitotoksisitas seluler tergantung antibodi diperantarai
oleh sel NK
Imunitas neonatal : Pemindahan antibodi ibu melewati
plasenta dan usus
Penghambatan balik aktivasi sel B
IgM Aktivasi jalur klasik komplemen
IgA Imunitas mucosal: sekresi IgA ke dalam lumen
gastrointestinal dan saluran nafas, menetralkan
mikroba dan toksin
IgE Pertahanan terhadap cacing yang diperantarai oleh
esonophil dan sel mast
IgD Antigen reseptor dari limfosit sel B Naïve dimana
fungsinya dimediasi oleh membrane-bound dan buka
pengeluaran antibodi

C. Netralisasi Mikroba dan Toksin Mikroba


Antibodi mengikat dan menghalangi, atau menetralisir aktivitas
infeksi mikroba dan interaksi toksin mikroba dengan sel-sel inang.
Kebanyakan mikroba menggunakan molekul pada dinding sel untuk berikatan
dan mendapatkan jalan masuk ke dalam sel inang. Antibodi dapat menempel
pada permukaan molekul mikroba ini, sehingga dapat mencegah mikroba
menempel dan memasuki sel inang. Vaksin paling efektif yang tersedia saat
ini bekerja dengan merangsang produksi antibodi netralisasi yang dapat
mencegah terjadinya permulaan infeksi. Mikroba yang dapat menmasuki sel-
sel inang, berkembang biak didalam sel yang terinfeksi lalu dapat dilepaskan
keluar dari sel sehingga dapat menginfeksi sel-sel lain yang berdekatan.
Antibodi dapat menetralkan mikroba selama perpindahan mereka dasi sel ke
sel sehingga dapat membatasi penyebaran infeksi. Bila suatu mikroba
infeksius mengkolonisasi inang, efeknya yang membahayakan dapat
disebabkan oleh endotoksin atau eksotoksin, yang seringkali berikatan dengan
reseptor spesifik pada sel inang untuk mengaktivasi efek mereka. Antibodi
mencegah pengikatan toksin pada sel inang dan dengan demikian
menghalangi efek berbahaya dari toksin tersebut.
Netralisasi mikroba dan racun yang dimediasi antibodi hanya
membutuhkan daerah pengikatan antigen pada antibodi. Oleh karena itu,
netralisasi tersebut dapat dimediasi oleh antibodi dari setiap isotipe dalam
sirkulasi dan dalam sekresi mukosa dan secara eksperimental juga dapat
dimediasi oleh fragmen antibodi spesifik Fab atau F(ab ′) 2, yang tidak
memiliki daerah Fc dari rantai berat. Sebagian besar antibodi netralisasi
dalam darah adalah berasal dari isotipe IgG, pada organ mukosa, sebagian
besar berasal dari isotipe IgA. Antibodi netralisasi yang paling efektif adalah
antibodi dengan afinitas tinggi untuk antigennya. Antibodi afinitas tinggi
dihasilkan oleh proses pematangan afinitas. Banyak vaksin profilaksis bekerja
dengan merangsang produksi antibodi penetralitas afinitas tinggi. Mekanisme
yang dikembangkan mikroba untuk menghindari imunitas inang adalah
dengan memutasi gen yang mengkode antigen permukaan yang menjadi
target antibodi netralisasi
Gambar 2.2 Netralisasi mikroba dan toksin oleh antibodi
(A, antibodi pada permukaan epitel, seperti pada saluran cerna dan pernapasan,
menghalangi mikroba yang tertelan atau terhisap. B, antibodi mencegah pengikatan mikroba
ke sel sehingga menghalangi kemampuan mikroba menginfeksi sel iniang. C, antibodi
memblokade pengikatan toksin ke sel, sehingga menghambat efek patologis toksin)

D. Opsonisasi dan Fagositosis


Antibodi melapisi mikroba dan memicu ditelannya mikroba oleh fagosit.
Proses pelapisan partikel yang untuk selanjutnya di fagositosis disebut
opsonisasi, dan molekul yang melapisi mikroba serta memicu fagositosisnya
disebut opsonin. Ketika beberapa molekul antibodi berikatan dengan suatu
mikroba, suatu susunan regio Fc dibentuk berdasarkan permukaan mikroba.
Apabila antibodi tersebut termasuk dalam beberapa isotime tertentu (IgG1
dan IgG3 pada manusia), regio Fc mereka akan berikatan dengan reseptor
berafinitas tinggi pada reseptor regio Fc dari rantai berat ℽ.
Reseptor Fcγ diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, I, II dan III,
berdasarkan afinitas mereka untuk rantai berat subkelas IgG yang berbeda.
Reseptor Fc yang berbeda juga diekspresikan pada tipe sel yang berbeda
(Tabel 2.2). Secara umum, kompleks imun yang mengandung IgG1 dan IgG3
mengikat secara efisien untuk mengaktifkan reseptor Fc dan kompleks yang
mengandung IgG2 tidak mengikat dengan baik. IgG4 memiliki afinitas yang
sangat rendah untuk mengaktifkan reseptor Fc dan fungsi biologis dari isotipe
antibodi ini kurang dipahami. Keterlibatan sebagian besar reseptor Fc
menghasilkan aktivasi seluler, kecuali untuk Fc-RIIB, yang merupakan
reseptor penghambat. Semua reseptor Fcγ mengandung rantai pengikat
ligand, yang disebut rantai α, yang mengenali rantai berat IgG. Perbedaan
dalam kekhususan atau afinitas masing-masing FcR untuk berbagai isotipe
IgG didasarkan pada perbedaan dalam struktur rantai α ini. Semua reseptor Fc
diaktifkan secara optimal oleh antibodi yang terikat pada antigennya dan
bukan oleh antibodi yang beredar dan bebas. Dalam semua FcR kecuali
FcγRII, rantai α dikaitkan dengan satu atau lebih rantai polipeptida tambahan
yang terlibat dalam transduksi sinyal (Gambar 2.3). Fungsi pensinyalan
FcγIO dimediasi oleh ekor sitoplasma dari reseptor berantai tunggal ini.
Tabel 2.2

Resepto Afinitas untuk Ig Distribusi Sel Fungsi


r Fc
FcℽRI Tinggi (Kd<10-9 M); Makrofag, Fagositosis;
(CD64) mengikat IgG1 dan IgG3, neutrofil, aktivasi fagosit
dapat mengikat IgG eosinofil
monomeric
FcℽRIIA Rendah (Kd>10-7 M) Makrofag, Fagositosis;
(CD32) neutrofil, aktivasi sel (tidak
eosinofil, efisien)
trombosit
FcℽRIIB Rendah (Kd>10-7 M) Limfosit B, Penghambatan
(CD32) DC sel mast, balik sel B,
neutrofil, penurunan radang
makrofag
FcℽRIIC Rendah (Kd>10-7 M) Makrofag, Fagositosis;
(CD32) neutrofil, aktivasi sel
sel NK
FcℽRIII Rendah (Kd>10-6 M) Sel NK Sitotoksisitas
A seluler yang
(CD16) diperantarai oleh
antibodi/ Antibody
dependent cellular
cytotoxicity
(ADCC)
FcℽRIIIB Rendah (Kd>10-6 M); Neutrofil Fagositosis (tidak
(CD16) GPI-linked protein efisien)
FcɛRI Tinggi (Kd>10-10 M); Sel mast, Aktivasi
mengikat IgE monomeric basofil, (degranulasi) sel
eosinofil mast dan basofil
FcɛRII Rendah (Kd>10-7 M) Limfosit B, Tidak diketahui
(CD23) eosinofil,
sel langerhans
FcαR Rendah (Kd>10-6 M) Neutrofil, Aktivasi sel
(CD89) eosinofil,
monosit

Gambar 2.3 Subunit komposisi dari Reseptor Fcℽ

Reseptor Fcℽ berperan dalam fagositosis dan aktivasi fagosit. Pengikatan


reseptor Fc pada fagosit menjadi partikel berlapis antibodi multivalen yang
mengarah pada penelan partikel dan aktivasi fagosit (Gambar 2.4). Partikel
yang di-opsonized diinternalisasi ke dalam vesikel yang dikenal sebagai
fagosom, yang menyatu dengan lisosom, dan partikel fagositosis dihancurkan
dalam fagolisosom ini. Aktivasi membutuhkan ikatan silang FcR oleh
beberapa molekul Ig yang berdekatan (mis., Pada mikroba yang dilapisi
antibodi atau di kompleks imun). Pengikatan silang rantai α dengan pengikat
ligan dari FcR menghasilkan peristiwa transduksi sinyal yang serupa dengan
yang terjadi setelah reseptor antigen yang saling silang pada limfosit. Ini
termasuk fosforilasi tirosin yang dimediasi oleh Src kinase dari ITAMs dalam
rantai pensinyalan FcRs; Rekrutmen yang dimediasi domain SH2 dari kinase
keluarga Syk ke ITAM; aktivasi fosfatidylinositol 3-kinase; perekrutan
molekul adaptor, termasuk SLP-76 dan BLNK; dan perekrutan enzim seperti
fosfolipase Cγ dan keluarga kin Tec. Peristiwa ini menyebabkan generasi
inositol trisphosphate dan diacylglycerol dan mobilisasi kalsium
berkelanjutan.
Jalur pensinyalan ini menginduksi sejumlah respons dalam leukosit,
termasuk transkripsi gen yang mengkode sitokin, mediator inflamasi dan
enzim mikrobisida, dan mobilisasi sitoskeleton yang mengarah ke fagositosis,
eksositosis granul, dan migrasi sel. Zat mikrobiosidal utama yang diproduksi
dalam fagosit teraktivasi adalah spesies oksigen reaktif, oksida nitrat, dan
enzim hidrolitik.

Gambar 2.4 Opsonisasi dan fagositosis mikroba yang diperantarai oleh antibodi (Antibodi
dari subkelas IgG tertentu mengikat mikroba dan kemudian dikenali oleh reseptor Fc pada
fagosit. Sinyal dari reseptor Fc merangsang fagositosis mikroba yang telah diopsonisasi dan
mengaktivasi fagosit untuk menghancurkan mikroba tersebut)

FcγRI (CD64) adalah reseptor Fcγ afinitas tinggi pada sel-sel fagosit, dan
merupakan reseptor yang paling penting untuk fagositosis partikel-partikel
yang di-opsonized yang mengekspresikan pada netrofil dan makrofag. Fagosit
memperluas membran plasmanya di sekeliling mikroba yang ditempeli dan
menelan mikroba kedalam suatu vesikel yang disebut fagosom, yang bersatu
dengan lisosom. Pengikatan ujung Fc antibodi pada FcℽRI juga mengaktivasi
fagosit, karena FcℽRI megandung suatu rantai sinyal yang memicu berbagai
jalur biokimiawi dalam fagosit. Netrofil atau makrofag yang teraktivasi
memproduksi banyak reactive oxygen species, nitric oxide, dan enzim-enzim
proteolitik di dalam lisosomnya, yang semuanya bekerja sama untuk
menghancurkan mikroba yang ditelan tersebut.
Fagositosis yang diperantarai antibodi merupakan mekanisme utama
pertahanan melawan bakteri yang memiliki kapsul, seperti pneumokokus.
Kapsul kaya polisakarida dari bakteri ini melindungi organisme tersebut ari
fagositosis di dalam keadaan tidak ada antibodi, namun opsonisasi oleh
antibodi merangsang fagositosis dan perusakan bakteri ini. Limpa berisi
banyak fagosit dan merupakan suatu tempat yang penting untuk pemusnahan
bakteri-bakteri yang telah di fagosit melalui proses opsonisasi sebelumnya.
Salah satu reseptor Fcℽ yaitu FcℽRIIB, tidak memperantarai fungsi
efektor antibodi namun menghentikan produksi antibodi dan menekan
inflamasi. FcℽRIIB berperan dalam penghambatan aumpan balik terhadap
aktivasi sel B selain itu FcℽRIIB juga menghambat aktivasi makrofag dan sel
dendritik sehingga juga memberikan fungsi anti radang. IgG yang
dikumpulkan dari donor sehat diberikan secara intravena untuk mnegobati
penyakit radang. Sediaan ini disebut intravenous immune globulin (IVIG),
dan efeknya yang bermanfaat pada penyakit tersebut salah satunya
diperantarai oleh pengikatan dengan FcℽRIIB pada berbagai sel.
E. Sitotoksisitas Seluler yang Tergantung Antibodi
Sel-sel natural killer (NK) dan leukosit lainnya dapat berikatan dengan
sel-sel yang telah dilapisi antibodi dan menghancurkan sel-sel itu (Gambar
2.5). Sel-sel NK mengekspresikan suatu reseptor Fcℽ, yang disebut FcℽRIII
(CD16), yang merupakan salah satu reseptor-reseptor sel NK yang teraktivasi.
FcℽRIII berikatan dengan susunan antibodi IgG yang menempel pada
permukan suatu sel. Sebagai akibat dari sinyal yang diperantarai FcℽRIII, sel-
sel NK teraktivasi untuk melepaskan granul-granulny, berisi protein yang
membunuh target yang telah diopsonisasi. Proses ini disibut sitotoksisitas
seluler yang tergantung antibodi (Antibody-dependent cellular cytotoxicity/
ADCC). Sel- sel yang terinfeksi oleh virus-virus berkapsul akan
mengekspresikan glikoprotein virus pada permukaannya yang dapat dikenali
oleh antibodi spesifik dehingga akan membantu penghancuran sel terinfeksi
yang diperantarai oleh ADCC. ADCC juga merupakan salah satu mekanisme
yang digunakan dalam pengobatan antibodi untuk mengeliminasi sel tumor
pada kanker.

Gambar 2.5 Sitotoksisitas seluler yang diperantarai oleh ADCC. Antibodi dari subkelas IgG
tertentu (IgG1 dan IgG3) terikat pada sel (misalnya yang terinfeksi), dan regio Fc mereka
dikenali oleh suatu reseptor Fcℽ pada sel NK. Sel NK teraktivasi dan membunuh sel-sel yang
dilapisi oleh antibodi.
F. Antibodi-Mediated Clearance dari Helminths
Antibodi, eosinofil, dan sel mast berfungsi bersama untuk memediasi
pembunuhan dan pengusiran beberapa parasit cacing. Helminths (cacing)
terlalu besar untuk ditelan oleh fagosit, dan integument mereka relatif tahan
terhadap produk mikrobisidal dari neutrofil dan makrofag. Namun, mereka
dapat dibunuh oleh protein kationik beracun, yang dikenal sebagai protein
dasar utama, yang ada dalam butiran eosinofil. Antibodi IgE dan, pada tingkat
lebih rendah, antibodi IgG dan IgA yang melapisi cacing dapat mengikat
reseptor Fc pada eosinofil dan menyebabkan degranulasi sel-sel ini,
melepaskan protein dasar dan kandungan dari granul eosinophil lain yang
membunuh parasite. Reseptor Fcɛ afinitas tinggi dari eosinofil (FcεRI) tidak
memiliki pensinyalan rantai β dan hanya dapat memberi sinyal melalui rantai
ℽ yang terkait. Selain mengaktifkan eosinofil, antibodi IgE yang mengenali
antigen pada permukaan cacing dapat memulai degranulasi sel mast lokal
melalui reseptor IgE afinitas tinggi. Mediator sel mast dapat menyebabkan
bronkokonstriksi dan meningkatkan motilitas lokal, berkontribusi terhadap
pengusiran cacing dari situs-situs seperti saluran udara dan lumen saluran
gastrointestinal. Kemokin dan sitokin yang dilepaskan oleh sel mast yang
diaktifkan dapat menarik eosinofil dan menyebabkan degranulasi mereka.
G. Imunoglobulin E- dan Reaksi yang Diperantarai Sel Mast/Eosinofil
Antibodi immunoglobulin E (IgE) mengaktivasi sel mast dan reaksi yang
diperantarai oleh eosinophil, yang sangat penting pada pertahanan terhadap
parasite cacing dan terlibat dalam penyakit-penyakit alergi. Sebagian besar
cacing terlalu besar untuk difagositosis, dan mereka memiliki kulit tebal yang
membuat mereka resisten terhadap sebagian besar substansi mikrobisidal dari
neutrofil dan makrofag. Respon imun humoran terhadap cacing didominasi
oleh antibodi IgE. IgE dapat berikatan pada cacing dan merangsang
penempelan eosinofil melalui reseptor Fc afinitas tinggi untuk IgE, yang
disebut FcεRI, yang diekspresikan pada eosinofil dan sel mast. Pengikatan
FcεRI bersama dengan sitokin interleukin-5 (IL-5) yang diptoduksi oleh sel
Th2 bereaksi bersama melawan cacing, yang menyebabkan aktivasi eosinofil.
Eosinofil selama aktivasi melepaskan sel granulanya, yaitu protein yang dapat
membunuh cacing (Gambar 2.6). Antibodi IgE juga dapat berikatan dan
mengaktivasi sel mast, yang akhirnya akan mensekresi sitokin, termasuk
kemokin, yang menarik lebih banyak leukosit yang berfungsi untuk
menghancurkan cacing.
Gambar 2.5 Pembunuhan cacing yang diperantarai oleh IgE dan eosinofil. Antibodi IgE
terikat pada cacing dan memanggil serta mengaktivasieosinofil melalui FcεRI, menimbulkan
degranulasi sel tersebut dan mengeluarkan mediator toksik. IL-5 yang disekresi oleh sel Th2
meningkatkan kemampuan eosinofil untuk membunuh parasit.
Reaksi yang diperantarai oleh IgE ini mengambarkan bagaimana
perubahan isotipe immunoglobulin ditunjukan untuk pertahanan inang yang
optimal. Sel B merespon cacing snegan perubahan antibodi menjadi IgE,
yang beguna dalam perlawanan terhadap cacing, namun sel B merespon
terhadap kebanyakan bakteri dan virus dengan perubahan menjadi antibodi
IgG yang merangsang fagositosis melalui FcℽRI. Pola perubahan isotime ini
ditentukan oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T helper yang merespon
berbagai jenis mikroba yang berbeda. Antibodi IgE juga terlibat dalam
penyakit alergi.
H. Sistem Komplemen
Sistem komplemen merupakan suatu kumpulan protein dalam darah dan
membran sel yang berperan penting dalam pertahanan inang terhadap
mikroba dan kerusakan jaringan yang diperantarai antibodi. Istilak
komplemen mengarah pada kemampuan protein ini untuk mendampingi, atau
melengkapi aktivitas antibodi dalam menghancurkan (melisiskan) sel,
termasuk mikroba. Sistem komplemen dapat diaktivasi oleh mikroba dalam
ketiadaan antibodi, sebagai bagian dari respon imun alami terhadap infeksi,
dan oleh antibodi yang menempel pada mikroba, sebagian besar dari imunitas
adaptif.
Aktivasi protein komplemen meliputi pemecahan proteolitik yang
berurutan dari protein tersebut dan mengakibatkan terbentuknya molekul
efektor yang turut berperan dalam mengeliminasi mikroba dalam berbagai
cara. Kaskade aktivasi protein komplemen ini, seperti kaskade aktivasi enzim
lainnya, dapat teramplifikasi besar-besaran, karena molekul komplemen yang
teraktivasi dalam jumlah kecil pada awalnya dapat membangkitkan banyak
molekul efektor. Protein komplemen yang teraktivasi menjadi terikat secara
kovalen pada permukaan sel dimana terjadi aktivasi, memastikan bahwa
aktivasi ini terbatas pada tempat yang tepat. Sel inang normal mempunyai
pengaturan yang ketat untuk menghambat aktivasi komplemen dan
penimbunan protein komplemen yang teraktivasi, pengaturan inimencegah
kerusakan sel yangs ehat akibat komplemen.
I. Jalur Aktivasi Komplemen
Terdapat tiga jalur utama aktivasi komplemen; jalur alternative, jalur
lektin yang dipicu oleh mikroba dalam ketiadaan antibodi, dan jalur klasik
yang dipicu oleh isotipe antibodi tertentu yang menempel pada antigen
(Gambar 2.6). jalur alternative dan lektin berfungsi dalam respon imun alami.
Beberapa protein pada masingmasing jalur berinteraksi dalam suatu urutan
yang tetap. Protein komplemen yang paling banyak ditemukan di dalam
plasma, yaitu C3, memegang peran penting dalam ketiga jalur ini. C3
spontan dihidrolisasi di dalam plasma pada konsentrasi rendah, namun
produk-produknya tidak stabil dan cepat dihancurkan dan hilang. Langkah
awal dari fungsi ketiga jalur ini adalah membentuk banyak molekul C3
teraktivasi yang terikat pada mikroba atau sel dimana komplemen teraktivasi.

Gambar 2.6 Tahap awal aktivasi komplemen (Meskipun urutan dari kejadian-kejadian sama
pada ketiga jalur, ketiga jalur berbeda dalam kebutuhan antibodi dan penggunaan protein.
Beberapa langkah awal aktivasi komplemen dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Aktivasi komplemen pada jalur alternative
Aktivasi komplemen pada jalur alternative dipicu ketika suatu produk
pecahan dari hidrolisis C3 yaitu C3b, ditimbun pada permukaan suatu
mikroba tanpa peran dari antibodi (Gambar 2.7)(Tabel 2.3). Di sini, C3b
membentuk suatu ikatan kovalen yang stabil dengan protein microbial atau
polisakarida dan dengan demikian terlindungi dari degradasi lanjutan
(seperti yang akan dijelaskan kemudian, C3b dicegah untuk berikatan
dengan sel inang yang normal oleh beberapa protein regulator yang
terdapat pada sel inang namun tidak terdapat pada mikroba). C3b yang
terikat pada mikroba mengikat protein lain yang disebut faktor B, yang
dihancurkan oleh suatu protease plasma yang disebut faktor D untuk
membangkitkan fragmen Bb. Fragmen ini tetap menempel pada C3b, dan
kompleks C3bBb berfungsi sebagai enzim, disebut jalur alternative C3
konvertase, yang memecah lebih banyak lagi C3. C3 konvertase
distabilkan oleh properdin, suatu regulator positif sistem komplemen.
Aktivitas enzimatik ini mengakibatkan lebih banyak lagi molekul C3b dan
C3bBb diproduksi dan menjadi terikat pada mikroba tersebut. Beberapa
molekul C3bBb mengikat C3b tambahan dan kompleks C3bBb3b
berfungsi sebagai suatu C5 konvertase, untuk menghancurkan protein
komplemen C5 dan menginisiasi tahap lanjut aktivasi komplemen.

Gambar 2.7 Jalur alternative dari aktivasi komplemen


(Hidrolisis spontan dari plasma C3 mengarah pada pembentukan cairan fase C3
konvertase (tidak diperlihatkan) dan pembentukan C3b. Jika C3b diendapkan pada
permukaan mikroba, ia mengikat Faktor B dan membentuk jalur alternatif konvertase C3.
Konvertase ini memotong C3 untuk menghasilkan lebih banyak C3b, yang berikatan
dengan permukaan mikroba dan berpartisipasi dalam pembentukan C5 konvertase. C5
konvertase memotong C5 untuk menghasilkan C5b, peristiwa awal dalam langkah-
langkah terakhir aktivasi komplemen)
Tabel 2.3 protein dari aktivasi komplemen jalur alternative

Konsentra
Protein Struktur si Serum Fungsi
(µg/mL)
C3b berikatan pada
permukaan mikroba, dimana
185kD (subunit α, 110kD; dia brfungsi sebagai opsonin
C3 1000-1200
subunit β, 75kD) dan sebagai komponen
konvertase C3 dan C5
C3a merangsang inflamasi
Bb adalah suatu protease
Faktor B 93-kD monomer 200 serine dan enzim aktif dari
konvertase C3 dan C5
Protease serin plasma yang
Faktor D 25-kD monomer 1-2 memecah faktor B ketika
berikatan dnegan C3b
Properdin yang menstabilkan
Terdiri atas 4 subunit 56-
Properdin 25 C3 konvetase (C3bBb) pada
kD
permukaan mikroba

2. Aktivasi komplemen jalur klasik


Aktivasi komplemen jalur klasik diawali dengan mengikat komplemen
protein C1 ke domain CH2 dari IgG atau domain CH3 dari molekul IgM
yang memiliki antigen terikat (Gambar 2.8) (Tabel 2.4) Di antara antibodi
IgG, IgG3 dan IgG1 (pada manusia) adalah aktivator komplemen yang
lebih efisien daripada subkelas lainnya. Sebagai hasil dari pengikatan ini,
regio Fc antibodi memiliki akses untuk berikatan dengan protein
komplemen C1 (yang tersusun atas sebuah komplemen ikatan yang disebut
C1q dan dua protease C1r dan C1s). C1 yang melekat menjadi aktif secara
enzimatis, mengakibatkan pengikatan dan pemecahan dua protein lainnya,
yaitu C4 dan C2. Salah satunya fragmen C4 yang terbentuk, C4b,
menempel secara kovalen ke antibodi atau ke permukaan mikroba dimana
antibodi diikat, kemudian mengikat C2, dan selanjutnya dipecah oleh C1
aktif untuk menghasilkan kompleks C4b2a. kompleks ini adalah C3
konvertase pada jalur klasik, yang berfungsi untuk memecah C3, dan C3b
yang dibentuk kembali akan berikatan pada mikroba. Beberapa C3b
berikatan dengan kompleks C4b2a, dan hasil kompleks C4b2a3b berfungsi
sebagai suatu C5 konvertase, yang memecah protein komplemen C5.
Gambar 2.8 Jalur klasik dari aktivasi komplemen
(Kompleks antigen-antibodi yang mengaktifkan jalur klasik dapat larut, terfiksasi pada
permukaan sel (seperti yang ditunjukkan), atau disimpan pada matriks ekstraseluler. Jalur
klasik dimulai oleh pengikatan C1 ke molekul antibodi kompleks antigen, yang mengarah
pada produksi C3 konvertase dan C5 yang melekat pada permukaan tempat antibodi
diendapkan. C5 konvertase memotong C5 untuk memulai langkah-langkah terakhir
aktivasi komplemen)
Table 2.4 Protein dari aktivasi komplemen jalur klasik

Konsentra
Protein Struktur si Serum Fungsi
(µg/mL)
Memulai jalur klasik;; C1r dan
C1 C1s merupakan protease yang
750 kD
(C1qr2s2) mengakibatkan aktivasi C4
dan C2
C1q berikatan pada bagian Fc
460 kD; hexamer dari
antibodi yang telah terikat
C1q tida pasang rantai (22, 75-150
dengan antigen, sel apoptosis
23, 24 kD)
dan pada permukaan kationik
Serine protease, memotong
C1r 85 kD dimer 50 C1s untuk membuatnya
menjadi protease aktif
Serine protease, memotong C4
C1s 85 kD dimer 50
dan C2
C4b berikatan secara kovalen
pada permukaan mikroba atau
210 kD, trimer dari sel di mana antibodi terikat
C4 rantai 97-, 75-, dan 33- 300-600 dan komplemen teraktivasi
kD C4b terikat dengan C2 untuk
dipotong oleh C1s
C4a merangsang inflamasi
C2a adalah suatu protease
serine yang berfungsi sebagai
C2 102-kD monomer 20
suatu enzim aktif dari
konvertase C3 dan C5
C3b berikatan pada
permukaan mikroba, dimana
185kD (subunit α, dia brfungsi sebagai opsonin
C3 1000-1200
110kD; subunit β, 75kD) dan sebagai komponen
konvertase C3 dan C5
C3a merangsang inflamasi

3. Aktivasi komplemen jalur lektin


Aktivasi komplemen jalur lektin diawali tidak melalui ikatan antibodi
melainkan melalui pengikatan plasma mannose-binding lectin (MBL) pada
mikroba (Tabel 2.5). Lektin terlarut ini adalah protein seperti kolagen yang
secara struktural menyerupai C1q. MBL, L-ficolin, dan H-ficolin adalah
protein plasma; M-ficolin terutama disekresikan oleh makrofag yang
diaktifkan dalam jaringan. MBL adalah anggota keluarga collektin dan
memiliki domain seperti kolagen N-terminal dan domain C-terminal
pengenalan karbohidrat (lektin). Ficolin memiliki struktur yang mirip
dengan domain seperti kolagen N-terminal dan domain seperti C-terminal
fibrinogen. Domain seperti kolagen membantu merakit struktur triple-
heliks dasar yang dapat membentuk oligomer tingkat tinggi. MBL
berikatan dengan mannose residu pada polisakarida; domain seperti ficolin
fibrinogen mengikat glycans yang mengandung N-acetylglucosamine.
MBL dan ficolin berasosiasi dengan protease serin terkait MBL (MASP)
termasuk MASP1, MASP2, dan MASP3. Protein MASP secara struktural
homolog dengan C1r dan C1s protease dan melayani fungsi yang sama,
yaitu, pembelahan C4 dan C2 untuk mengaktifkan jalur komplemen.
Oligomer tingkat tinggi dari asosiasi MBL dengan MASP1 dan MASP2,
meskipun kompleks MASP3 / MASP2 juga dapat ditemukan. MASP1
(atau MASP3) dapat membentuk kompleks tetramerik dengan MASP2
mirip dengan yang dibentuk oleh C1r dan C1s, dan MASP2 adalah
protease yang memotong C4 dan C2. Tahap berikutnya pada prinsipnya
sama dengantahap pada jalur klasik.
Tabel 2.5 Protein dari aktivasi komplemen jaur lektin

Konsentra
Protein Struktur si Serum Fungsi
(µg/mL)
Mannose- Helical trimer rantai 32- Agglutinin, opsonin,
binding kD dan dimer ke memperbaiki komplemen
108
lectin hexamers dari triple
(MBL) helix ini
M-ficolin Helical trimer rantai 34- Tidak Agglutinin, opsonin,
(ficolin-1) kD dan tetramer ke terdeteksi memperbaiki komplemen
hexamers dari triple
helix ini
Helical trimer rantai 34- Agglutinin, opsonin,
L-ficolin kD dan tetramer ke memperbaiki komplemen
1-7
(ficolin-2) hexamers dari triple
helix ini
Helical trimer rantai 34- Agglutinin, opsonin,
H-ficolin kD dan tetramer ke memperbaiki komplemen
6-83
(ficolin-3) hexamers dari triple
helix ini
Bentuk kompleks dengan
90-kD homodimer, MASP2 dan collektin atau
MASP1 1-13
homolog dari C1r/C1s ficolin dan mengaktifkan
MASP3
110-kD homodimer, Bentuk kompleks dengan
MASP2 2-13
homolog dari C1r/C1s lektin, khususnya ficolin-3
Berhubungan dengan collektin
76-kD homodimer,
MASP3 0,02-1,0 atau ficolin dan MASP1 dan
homolog dari C1r/C1s
memotong C4

4. Hasil akhir tahapan awal aktivasi komplemen


Konversi C5 yang dihasilkan oleh jalur alternatif, klasik, atau lektin
memulai aktivasi komponen akhir sistem komplemen, yang berujung pada
pembentukan sitokidal membrane attack complex (MAC) (Gambar 2.9)
(Tabel 2.6). Jalur alternative dan jalur lektin adalah mekanisme efektor
imunitas alami, sedangkan jalur klasik adalah suatu mekanisme imunitas
adaptif humoral. Jalur-jalur ini berbeda dalam hal bagaimana mereka
dimulai, namun sekali mereka terangsang, tahap selanjutnya sama.
C5 konvertase memotong C5 menjadi fragmen C5a kecil yang
dilepaskan dan fragmen C5b dua rantai yang tetap terikat pada protein
komplemen yang diendapkan pada permukaan sel. C5a memiliki efek
biologis yang kuat pada beberapa sel. Komponen yang tersisa dari kaskade
komplemen, C6, C7, C8, dan C9, secara protein terkait secara struktural
tanpa aktivitas enzimatik. C5b secara sementara mempertahankan
konformasi yang mampu mengikat protein berikutnya dalam kaskade, C6
dan C7. Komponen C7 dari kompleks C5b, 6,7 yang dihasilkan adalah
hidrofobik, dan menyisipkan ke dalam bilayer lipid dari membran sel, di
mana ia menjadi reseptor afinitas tinggi untuk molekul C8. Protein C8
adalah trimer yang terdiri dari tiga rantai berbeda, salah satunya mengikat
C5b, 6,7 kompleks dan membentuk heterodimer kovalen dengan rantai
kedua; rantai ketiga menyisipkan lapisan ganda lipid dari membran. C5b
yang disisipkan secara stabil ini, 6,7,8 kompleks (C5b-8) memiliki
kemampuan terbatas untuk melisiskan sel. Pembentukan MAC yang aktif
sepenuhnya dilakukan dengan pengikatan C9, komponen terakhir dari
kaskade pelengkap, ke kompleks C5b-8. C9 adalah protein serum yang
berpolimerisasi di situs C5b-8 terikat untuk membentuk pori-pori di
membran plasma. Pori-pori ini berdiameter sekitar 100 Å, dan membentuk
saluran yang memungkinkan pergerakan bebas air dan ion. Masuknya air
menghasilkan pembengkakan osmotik dan pecahnya sel-sel yang
permukaannya diendapkan MAC. Pori-pori yang dibentuk oleh
polimerisasi C9 mirip dengan pori-pori membran yang dibentuk oleh
perforin, protein granul sitolitik yang ditemukan dalam limfosit T
sitotoksik dan sel NK, dan C9 secara struktural homolog dengan perforin.

Gambar 2.9 Tahap akhir dari aktivasi komplemen dan formasi dari MAC
(Sel terkait C5 konvertase memotong C5 dan menghasilkan C5b, yang menjadi terikat
dengan konvertase. C6 dan C7 mengikat secara berurutan, dan C5b, 6,7 menyisipkan
kompleks ke dalam membran plasma, diikuti oleh penyisipan C8. Hingga 15 molekul C9
kemudian dapat berpolimerisasi di sekitar kompleks untuk membentuk MAC, yang
menciptakan pori-pori di membran dan menginduksi lisis sel. C5a yang dirilis dengan
proteolisis C5 merangsang peradangan)
Tabel 2.5 Protein dari tahap akhir aktivasi komplemen

Konsentra
Protein Struktur si Serum Fungsi
(µg/mL)
C5b memulai perakitan
190-kD dimer dari rantai membrane attack complex
C5 80
115- dan 75-kD (MAC)
C5a merangsang inflamasi
Komponen MAC; terikat pada
C6 110-kD monomer 45
C5b dan menerima C7
Komponen MAC; mengikat
C7 100-kD monomer 90 C5b, 6 dan masuk ke dalam
membran lipid
Komponen MAC; mengikat
155-kD trimer dari rantai
C8 60 C5b, 6, 7 dan memulai
64- dan 22-kD
pengikatan dan polimerasi C9
Komponen MAC; mengikat
C5b, 6, 7, 8 dan berpolimerasi
C9 79-kD monomer 60
untuk membentuk pori-pori
membran
J. Fungsi Sistem Komplemen

Sistem komplemen berperan penting dalam eliminasi mikroba selama


respons imun alami dan adaptif. Fungsi efektor utama system komplemen
digambarkan pada Gambar 2-10
a. Opsonisasi. Mikroba yang dilapisi C3b difagosit karena C3b dikenali oleh
reseptor komplemen tipe 1 (CR1 atau CD35) yang diekspresikan pada
fagosit. Dengan demikina, C3b berfungsi sebagai opsonin. Opsonisasi
mungkin merupakan fungsi yang paling penting komponen untuk bertahan
melawan mikroba.
b. Inflamasi. Fragmen kecil peptide C3a dan C5a yang diproduksi melalui
proteolysis C3 dan C5, bersifat kemotaktik untuk netrofil, merangsang
pelepasan mediator inflamasi dari berbagai leukosit, dan mempengaruhi
sel endotel untuk memperbesar pergerakan leukosit dan protein plasma ke
dalam jaringan. Dengan cara ini, fragmen komplemen mencetuskan reaksi
inflamasi yang juga berperan untuk mengeliminasi mikroba.
c. Lisis Sel. MAC dapat mencetuskan lisis osmotic sel, termasuk mikroba.
Lisis yang diinduksi MAC hanya efektif terhadap mikroba yang memiliki
dinding sel yang tipis dan dengan sedikit glikokaliks atau bahkan tidak
ada, seperti bakteri dari spesies Neisseria.
Gambar.2-10 Fungsi komplemen. A. C3b mengopsonisasi mikroba dan dikenali oleh
reseptor komplemen tipe 1 (CR1) fagosit, menghsailkan penelanan dan pembunuhan
instraseluler mikroba yang diopsonisasi. Dengan demikian, C3b merupakan suatu
opsonin. CR1 juga mengenali C4b, yang dapat melakukan fungsi yang sama. Produl-
produk komplemen lainnya, seperti bentuk inaktif C3b (iC3b), juga berikatan dengan
mikroba dan dikenali oleh reseptor lainnya pada fagosit (seperti reseptor komplemen tipe
3, protein anggota keluarga integrin). B, Membrane attack complex (MAC) membentuk
suatu lubang pada membrane sel dan mencetuskan lisis osmotic sel. C, Peptida kecil yang
dilepaskan selama aktivasi komplemen berikatan dengan resptor pada neutrophil dan
leukosit lain dan merangsang reaksi inflamasi. Peptida yang melakukan fungsi ini
terutama adalah C5a (yang dilepaskan oleh proteolysis C5, tidak ditampilkan) dan C3a.

Sebagai tambahan pada fungsi efektor antimikrobialnya, system


komplemen merangsang perkembangan respons sel B dan produksi antibody.
Ketika C3 teraktivasi oleh suatu mikroba melalui jalur alternative, salah satu
dari produk pecahannya, yaitu C3d, dikenali oleh reseptor komplemen tipe 2
(CR2) pada limfosit B. Sinyal yang dikirimkan oleh reseptor ini
meningkatkan respons sel B terhadap mikroba.dan merupakan suatu contoh
dari respons imun alami terhadap suatu mikroba (aktivasi komplemen) yang
merangsang respons imun adaptif terhadap mikroba yang sama (aktivasi sel B
dan produksi antibody). Protein komplemen yang berikatan pada kompleks
antigen-antibodi dikenali oleh sel-sel dendritic folikuler dalam pusat
germinal, memungkinkan antigen disajikan untuk aktivasi sel B yang lebih
jauh dan seleksi sel B dengan afinitas tinggi. Penyajian antigen yang
tergantung komplemen tersebut merupakan cara lain dimana system
komplemen mampu merangsang produksi antibody.
Defisiensi protein komplemen yang diturunkan mengakibatkan
defisiensi imunitas dan beberapa kasus meningkatkan kejadian penyakit
autoimun. Defisiensi C3 mengakibatkan kepekaan terhadap infeksi bakteri
dan biasanya fatal pada awal usia kehidupan. Defisiensi protein awal pada
jalur klasik, yaitu C2 dan C4, kemungkinan tidak menyebabkan akibat klinis,
hanya berakibat pada peningkatan kepekaan terhadap infeksi atau berkaitan
dengan peningkatan kejadian lupus eritematosus sistemik, suatu penyakit
autoimun yang diperantarai kompleks imun. Peningkatan kejadian lupus
timbul karena jalur klasik berfungsi untuk mengeliminasi kompleks imun
dari darah, dan kompleks tersebut akan terakumulasi pada individu yang tidak
memiliki C2 dan C4. Sebagai tambahan, defisiensi komplemen dapat
menyebabkan gangguan persinyalan pada sel B dan kegagalan toleransi sel B.
Defisiensi C9 dan pembentukan MAC mengakibatkan peningkatan kepekaan
terhadap infeksi Neisseria. Beberapa orang mewarisi polimorfisme gen yang
menyandi mannose-binding lectin (MBL), menyebabkan produksi suatu
protein yang defektif secara fungsional; defek seoerti ini berhubungan dengan
peningkatan kepekaan terhadap infeksi. Defisiensi yang diwariskan pada
protein properdin jalur alternative juga menyebabkan peningkatan kepekaan
terhadap infeksi bakteri.
K. Pengaturan Aktivasi Komplemen
Sel Mamalia mengekspresikan protein regulator yang menghambat
aktivasi komplemen, sehingga dapat mencegah kerusakan akibat komplemen
pada sel inang (Gambar 2-11). Banyak protein regulator semacam itu telah
dijelaskan, dan kerusakan pada protein tersebut berhubungan dengan sindrom
klinis yang disebabkan oleh aktivasi komplemen yang tidak terkontrol.
a. Suatu protein regulator yang disebut C1 inhibitor (C1 INH) mneghentikan
aktivasi komplemen sejak awal, pada stadium aktivasi C1. Defisiensi C1
INH merupakan penyebab dari suatu penyakit yang disebut angioedema
herediter, dimana terjadi aktivasi C1 dan produksi fragmen protein
vasoaktif berlebihan yang mmengakibatkan kebocoran cairan (edema)
pada laring dan berbagai jaringan lainnya.
b. Decay-accelerating factor (DAF) adalah suatu protein permukaan sel
terkait glikolipid yang menggangu pengikatan Bb dan C3b dan pengikatan
C4b pada C2a sehingga menghentikan pembentukan konvertase C3 dan
menghentikan aktivasi komplemen melalui jalur alternative dan jalur
klasik. Suatu penyakit yang disebut paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria diakibatkan oleh defisiensi yang didapat sel punca
hematopoietic dari enzim yang memproduksi jangkar glikolipid untuk
beberapa protein membrane, meliputi protein regulator komplemen DAF
dan CD59. Pada pasien yang mengalami kondisi tersebut, aktivasi
komplemen yang tidak teregulasi terjadi pada eritrosit, mengakibatkan lisis
sel eritrosit tersebut.
c. Sebuah enzim plasma yang disebut Faktor 1 memecah C3b menjadi
fragmen inaktif, dengan protein kofaktor membrane (MCP) dan protein
plasma Faktor H berfungsi sebagai kofaktor dalam proses enzimatik ini.
Defisiensi protein regulator Faktor H dan I berakibat peningkatan aktivasi
komplemen dan mengurangi kadar C3 karena dikonsumsi, menyebabkan
peningkatan kepekaan terhadap infeksi. Mutasi factor H yang melemahkan
ikatannya pada sel, berhubungan dengan suatu penyakit genetic yang
langka disebut atypical hemolytic uremic syndrome, yang ditandai dengan
adanya gangguan ginjal, pembuluh darah, dan pembekuan darah. Beberapa
varian genetic factor H tertentu berkaitan dengan penyakit mata yang
disebut degenerasi macula terkait umur.
Keberadaan protein-protein regulator tersebut merupakan suatu
adaptasi mamalia. Mikroba tidak memiliki protein regulator sehingga system
komplemen dapat diaktivasi jauh lebih efektif pada permukaan mikroba
dibandingkan pada sel inang normal. Bahkan di dalam sel mamalia, regulasi
ini dapat dikalahkan oleh aktivasi komplemen besar-besaran. Misalnya, sel
mamalia dapat menjadi target komplemen bila mereka dilapsi oleh banyak
antibody,seperti pada penyakit hipersensitivitas.

Protein plasma C
Protein Konsentrasi Fungsi
Plasma
Penghambat 200 µg/ml Menghambat aktivitas serin protease C1r
C1 (C1 INH) dan C1s
Faktor I 35 µg/ml Memecahkan C3b dan C4b secara
proteolitik
Faktor H 480 µg/ml Menyebabkan penyimpangan jalur
alternative subunit C3 konvertase.
Co-factor untuk pemecahan C3b yang
diperantarai factor I.
Protein terikat 300 µg/ml Menyebabkan penyimpangan jalur klasik
C4 (C4BP) subunit C3 konvertase.
Co-factor untuk pemecahan C4b yang
diperantarai factor I.

Protein Membran
Protein Distribusi Fungsi

Protein co-factor Leukosit, sel epitel, Cc-factor untuk pemecahan


membrane (MCP, sel endotel C3b dan C4b yang diperantai
CD46) factor-I

Decay accelerating Sel darah, sel Menghambat pembentukan


factor (DAF) endotel, sel epitel konvertase C3

CD59 Sel darah, sel Menghambat pengikatan C9


endotel, sel epitel dan mencegah pembentukan
MAC

Reseptor Fagosit Menyebabkan penyimpangan


komplemen tipe 1 mononuclear, subunit konvertase C3
(CR1, CD35) neutrophil, sel B Co-factor untuk pemecahan
dan T, eritrosit, C3b dan C4b yang diperantarai
eosinophil, FDC oleh factor-I
Gambar 2-11 Regulasi aktivasi komplemen. A, Inhibitor C1 (C1 INH) mencegah pembentukan
kompleks C1, yang terdiri atas protein C1q, C1r, C1s, sehingga mampu menghalangi aktivitas
komplemen melalui jalur klasik. B, Protein decay accelerating factor (DAF) pada permukaan sel dan
reseptor komplemen tipe 1 (CR1) mempengaruhi pembentukan C3 konvertase dengan menyingkirkan
Bb (pada jalur alternative) atau C4b (pada jalur klasik, tidak ditampilkan). Protein co-factor membrane
(MCP, atau CD46) dan CR1 bertindak sebagai co-factor untuk pemecahan C3b oleh enzim plasma yang
disebut factor I, sehingga menghancurkan C3b yang mungkin terbentuk. C, Protein regulator utama
system komplemen dan fungsinya. FDC’s, Follicular dendritic cells; MAC, membrane attack complex.

L. Fungsi Antibodi pada Lokasi Anatomis Khusus


Mekanisme efektor imunitas humoral yang telah dijelaskan sampai
sejauh ini dapat aktif di lokasi manapun pada tubuh yang dapat dicapai oleh
antibody. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, antibody diproduksi
dalam organ limfoid perifer dan sumsum tulang dan siap untuk memasuki
darah, dan mereka dapat pergi kemanapun. Antibodi juga melakukan fungsi
protektif yang penting pada dua lokasi anatomic khusus, yaitu organ mukosa
dan fetus. Terdapat mekanisme khusus untuk mengangkut antibody melintasi
epitel dan plasenta.

M. Imunitas Mukosa
Imunoglobulin A (IgA) diproduksi dalam jaringan limfoid mukosa,
diangkut melalui epital, dan berikatan pada mikroba dan menetralkan
mikroba yang berada di dalam lumen mukosa organ tersebut (Gambar 2-12).
Mikroba seringkali terhisap atau tertelan, dan antibody yang disekresi ke
dalam lumen dari traktus respiratorius atau gastrointestinalis mengikat
mikroba dan mencegahnya berkoloni pada inang. Jenis imunitas ini disebut
imunitas mukosa (atau imunitas sekretorik). Kelas antibody utama yang
diproduksi di dalam jaringan mukosa adalah IgA. Pada kenyatanyaanya,
karena permukaan usus yang luas, IgA merupakan dua pertiga dari hamper 3
gram antibody yang diproduksi tiap hari olehidividu dewasa yang sehat.
Kecenderungan sel B di ajringan epitel mukosa untuk memproduksi IgA
disebabkan oleh sitokin yang menginduksi perubahan ke jenis isotipe ini,
termasuk transforming growth factor-β (TGF-β), diproduksi sangat banyak di
dalam jaringan limfoid mukosa tersebut. Disamping itu, sel B yang
memproduksi IgA yang terbentuk di kelenjar limfe regional atau limfe
cenderung un tuk kembali ke jaringan mukosa sebagai respons terhadap
kemokin yang dihasilkan di jaringan tersebut. Beberapa IgA juga dapat
diproduksi oleh suatu subset sel B, yang disebut sel B-1, yang juga cenderung
bermigrasi ke jaringan mukosa; sel sel tersebut mensekresi IgA sebagai
respons terhadap antigen nonprotein, tanpa bantuan sel T.
Sel B pada mukosa usus terletak pada lamina propria, di bawah epitel
pelindung, dan IgA diproduksi pada bagian tersebut. Untuk dapat mengikat
dan menetralkan mikroba pathogen di dalam lumen sebelum melakukan
invasi, IgA harus ditranspor melalui epitel pelindung ke dalam lumen.
Pengangkutan melalui epitel tersebut dilakukan oleh suatu reseptor Fc
khusus, yang disebut reseptor poli-Ig, yang diekspresikan pada permukaan
basal sel epitel. Reseptor ini mengikat IgA, memasukkanya ke dalam vesikel,
dan mengangkutnya ke permukaan lumen. Disini, reseptor dipecah oleh suatu
protease, dan IgA dilepaskan ke dalam lumen dengan masih membawa bagian
dari reseptor poli-Ig yang terikat (komponen sekretorik). Komponen
sekretorik yang terbawa akan melindungi antibody dari degradasi oleh
protease usus. Antibodi kemudian dapat mengenali mikroba di dalam lumen
dan menghalangi pengikatan mikroba ke epitel dan masuknya melaluim
epitel. Imunitas mukosa yang diperantarai IgA adalah mekanisme imunitas
protektif terhadap infekasi virus polio yang dicetuskan oleh imunisasi oral
dengan virus yang dilemahkan. Usus mengandung banyak bakteri komensal
yang penting bagi fungsi dasar seperti penyerapan makanan, sehingga harus
ditoleransi oleh system imun. Antibodi IgA terutama diprodukasi untuk
melawan bakteri yang dapat merusak dan menyebabkan inflamasi, sehingga
menghalangi masuknya bakteri-bakteri tersebut ke dalam sel epitel. Bakteri
komensal yang tidak merusak ditoleransi oleh system imun dalam usus.
Gambar 2-12. Pengangkutan IgA melalui epitel. Di dalam mukosa saluran cerna dan
pernapasan, IgA diproduksi oleh sel-sel plasma di dalam lamina propria dan secara aktif
diangkut melalui sel-sel epitel oleh suatu reseptor Fc yang spesifik IgA yang disebut reseptor
poli-Ig karena dia mengenali IgM juga. Pada permukaan lumen, IgA dengan sejumlah
reseptor yang terikat dilepaskan. Di sini, antibody mengenali mikroba yang tertelan atau
terhisap dan menghalangi masuk mereka melewati epitel

N. Imunitas Neonatal
Antibodi maternal diangkut melalui plasenta ke fetus dan melalui
epitel usus dari neonates, melindungi neonates dari infeksi. Neonatus
mamalia memiliki system imun yang belum berkembang secara lengkap dan
tidak mampu menghasilkan respons imun yang efektif melawan berbagai
mikroba. Sepanjang awal masa kehidupan, neonates dilindungi dari infeksi
oleh antibody yang didapatkan dari ibunya. Hal ini merupakan contoh dari
imunitas pasif alami. Neonates mendapatkan antibody IgG maternal melalui
dua jalan. Selama kehamilan, IgG maternal berikatan dengan reseptor Fc
neonatal (FcRn) yang diekspresikan di plasenta, dan secara aktif diangkut ke
dalam sirkulasi fetus. Setelah kelahiran,neonates menelan antibody maternal
di dalam kolostrum dan air susu ibunya. Antibodi IgA yang ditelan
menyediakan perlindungan kekebalan mukosa pada neonates. Dengan
demikian, neonates mendapatkan profil antibody dari ibunya dan terlindung
dari mikroba infeksius yang dipaparkan atau divaksinasikan oleh ibunya.
O. Penghindaran Imunitas Humoral oleh Mikroba
Mikroba telah mengalami berbagai evolusi dalam mekanisme untuk
lolos dari imunitas humoral (Gambar 2-13). Banyak bakteri dan virus
mengubah molekul antigen permukaannya sehingga mereka tidak lagi
dikenali oleh antibody yang diproduksi sebagai respons terhadap infeksi
sebelumnya. Variaasi antigenic umumnya terlihat pada berbagai virus, seperti
virus influenza, human immunodeficiency virus (HIV), dan rhinovirus. HIV
mengalami mutase yang sangat cepat pada genomnya, sehingga galur HIV
yang berdeba dapat mengandung banyak bentuk varian glikoprotein
permikaan antigenic utama HIV, yang disebut gp120. Sebagai akibatnya
antibody terhdapat satu isolate HIV tidak melindungi terhadap isolate HIV
lainnya. Inilah alas an mengapa vaksin gp120 tidak efektif untuk melindungi
orang dari infeksi HIV. BAkteri seperti Escherichia coli memiliki variasi
antigen yang terkandung di dalam pilinya sehingga lolos dari pertahanan yang
diperantarai oleh antibody. Parasit tripanosoma, yang menyebabkan
penyakit tidur, mengekspresikan glikoprotein permukaan yang baru setiap
kali parasite ini berhadapan dengan antibody terhadap glikoprotein asalnya.
Sebagai akibatnya, infeksi parasite protozoa ini ditandai dengan gelombang
parasitemia, setiap gelombang terdiri atas suatu parasite yang baru secara
antigenic yang tidak dikenali oleh antibody yang diproduksi terhadap parasite
pada gelombang sebelumnya. Mikroba lainnya menghambat aktivasi
komplemen, atau bertahan terhadap opsonisasi dan fagositosis dengan
menyembunyikan antigen permukaan di bawah suatu kapsul asam hyaluronat.

Gambar 2-13. Penghindaran imunitas humoral oleh mikroba. Gambar ini menunjukkan
mekanismea di mana mikroba lolos dari imunitas humoral, disajikan dengan contoh ilustrasi.
HIV, Human immunodeficiency virus.

P. Vaksinasi
Setelah membahas mekanisme pertahanan inang melawan mikroba,
termasuk imunitas seluler dan imunitas humoral, sangat penting untuk
mempelajari bagaimana respons imunitas adaptif ini dapat diinduksi oleh
vaksin profilaksis. Vaksinasi adalah proses merangsang respons imun
adaptif terhadap mikroba melalui paparan terhadap bentuk yang tidak
pathogen atau komponen dari mikroba. Perkembangan vaksin terhadap
infeksi telah menjadi satu keberhasilan besar dibidang imunologi. Satu-
satunya penyakit pada manusia yang dapat dimusnahkan dari muka bumi
adalah cacar, dan hal ini dicapai melalui suatu program vaksinasi di seluruh
dunia. Polio tampaknya menjadi penyakit kedua setelah cacar, dan banyak
penyakit lainnya yang telah dikontrol secara luas dengan vaksinasi. Beberapa
jenis vaksin telah digunakan dan dikembangkan (Tabel 2-6)

Jenis Vaksin Contoh Bentuk perlindungan


Bakteri hidup BCG, Kolera Repsons antibodi
yang
dilemahkan atau
dimatikan
Virus hidup Polio, Rabies Respons antibody; respons
yang imun seluler
dilemahkan
(antigen)
Vaksin subunit Toksoid tetanus, Toksoid Respons antibodi
(antigen) difteri
Vaksin konjugat Infeksi Haemophilus Respons antibody
influenzae tergantung sel T helper
pada antigen polisakarida
Vaksin buatan Virus hepatitis (protein Respons antibody
rekombinan)
Vektor virus Uji klinis antigen HIV pada Respons imun humoral
canary pox vector dan seluler
Vaksin DNA Uji klinis sedang Respons imun humoral
berlangsung untuk beberapa dan seluler
infeksi
Tabel 2-6. Stretegi vaksinasi. Ringkasan dari berbagai jenis vaksin yang digunakan atau
diuji coba, serta sifat respons imun protektif yang dicetuskan oleh vaksin-vaksin ini. BCG,
Bacille Calmette Guerin; HIV, Human Immunodeficiency Virus

 Beberapa vaksin yang paling efektif terdiri mikroba yang dilemahkan,


yang dibuat untuk menghilangkan kemampuan infeksi dan
patogenisitasnya sementara tetap mempertahankan antigenisitasnya.
Imunisasi dengan mikroba yang dilemahkan merangsang produksi
antibody yang menetralkan antigen mikroba yang melindungi individu
yang divaksinasi dari infeksi. Untuk beberapa infeksi, seperti polio, seperti
yang disebutkan sebelumnya, vaksin diberikan secara oral, untuk
merangsang respons IgA mukosa alami, yang terjjadi melalui jalur oral.
 Vaksin yang terdiri dari protein dan polisakarida mikroba, disebut varian
subunit, bekrja dengan cara yang sama. Beberapa antigen polisakarida
mirobial (yang tidak dapat merangsang bantuan sel T) secara kimia
dipasangkan dengan protein, sehingga sel T helper teraktivasi dan antibody
dengan afinitas tinggi diproduksi terhadap polisakarida. Vaksin tersebut
disebut vaksin konjugat, dan ini merupakan contoh yang baik dari
penerapan praktis pengetahuan tentang interaksi sel T helper dan sel B.
Imunisasi dengan toksin microbial inaktif dan protein microbial yang
dibuat di dalam laboratorium merangsang antibody yang masing-masing
mengikat dan menetralkan toksin alami dan mikroba.
Salah satu tantangan vaksinasi adalah mengembangkan vaksin yang
merangsang imunitas seluler terhadap mikroba intraseluler. Antigen mikroba
yang diinjeksi atau diberikan secara oral merupakan antigen ekstra seluler,
dan mereka terutam memicu respons antibody. Banyak pendekatan yang lebih
baru sedang dicoba untuk merangsang imunitas seluler melalui vaksinasi.
Salah satu pendekatan ini adalah dengan menyatukan antigen mikroba ke
dalam vector virus, yang akan menginfeksi sel inang dan memproduksi
antigen di dalam sel. Teknik lainnya adalah memberikan imunisasi individu
dengan DNA yang menyandi suatu antigen microbial dalam suatu plasmid
bakteri. Palsmid ini ditelan oleh sel APC inang, dan antigen diproduksi di
dalam sel. Pendekatan lainnya lagi adalah dengan mengaitkan antigen protein
ke antibody monoclonal yang mengarahkan antigen kedalam sel dendritic
yang efisien menimbulkan penyajian silang sehingga dengan demikian
memicu aktivasi CTL. Banyak dari strategi-strategi ini telah berhasil
diujicobakan pada hewan model, namun sejauh ini hanya sedikit yang
menunjukkan efikasi secra klinis.
BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai