NIM :B1A119082
RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK
I. PENDAHULUAN
Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung
mikroba pathogen disekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit
infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks.
Oleh karena itu respon imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba
patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologic spesifik mikroba menentukan
mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi. Begitu juga respon imun
terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraseluler atau bakteri intraseluler
mempunyai karakteriskik tertentu pula.
Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit,
radiasi matahari, dan polusi. Stress emosional atau fisiologis dari kejadian ini
adalah tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita
dilindungi oleh system pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama
makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Kelebihan
tantangan negattif, bagaimanapun, dapat menekan system pertahanan tubuh,
system kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal.
Respon imun yang alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil,
monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram
negative dapat mangativasi komplemen jalur alternative tanpa adanya antibody.
Kerusakan jaringan yang terjaddi ini adalah akibat efek samping dari mekanisme
pertahanan tubuh untuk mengeliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam
dan sintesis protein.
2. Imun Spesifik
Merupakan respon imun yang didapat (acquired), yang timbul akibat dari
rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah terpapar sebelumnya.
Respons imun spesifik dimulai dengan adanya aktifitas makrofag atau antigen
precenting cell (APC) yang memproses antigen sedemikian rupa sehingga dapat
menimbulkan interaksi dengan sel-sel imun. Dengan rangsangan antigen yang telah
diproses tadi, sel-sel system imun berploriferasi dan berdiferensiasi sehingga menjadi
sel yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen.
Walaupun antigen pada kontak pertama (respons primer) dapat dimusnahkan
dan kemudian sel-sel system imun mengadakan involusi, namun respons imun primer
tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon atau kelompok sel yang disebut
dengan memory cells yang dapat mengenali antigen bersangkutan. Apabila
dikemudian hari antigen yang sama masuk kedalam tubuh, maka klon tersebut akan
berproliferasi dan menimbulkan respons sekunder spesifik yang berlangsung lebih
cepat dan lebih intensif dibandingkan dengan respons imun primer. Mekanisme
efektor dalam respons imun spesifik dapat dibedakan menjadi :
a. Respons imun seluler
Telah banyak diketahui bahwa mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak
secara intra seluler, antara lain didalam makrofag sehingga sulit untuk dijangkau
oleh antibody. Untuk melawan mikroorganisme intraseluler tersebut diperlukan
respons imun seluler, yang diperankan oleh limfosit T. Subpopulasi sel T yang
disebut dengan sel T penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau
antigen bersangkutan melalui major histocompatibility complex (MHC) kelas II
yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit untuk
memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon, yang
dapat membantu makrofag untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut. Sub
populasi limfosit T lain yang disebut dengan sel T-sitotoksik (T-cytotoxic), juga
berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme intraseluler yang disajikan
melalui MHC kelas I secara langsung (cell to cell). Selain menghancurkan
mikroorganisme secara langsung, sel T-sitotoksik, juga menghasilkan gamma
interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme kedalam sel lainnya.
b. Respons Imun Humoral
Respons imun humoral, diawali dengan deferensiasi limfosit B menjadi satu
populasi (klon) sel plasma yang melepaskan antibody spesifik ke dalam darah.
Pada respons imun humoral juga berlaku respons imun primer yang membentuk
klon sel B memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk membentuk satu
jenis antibody spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal slection). Antibodi ini
akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen – antibodi yang
dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut.
Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibody diperlukan bantuan
limfosit T-penolong (T-helper), yang atas sinyal-sinyal tertentu baik melalui
MHC maupun sinyal yang dilepaskan oleh makrofag, merangsang produksi
antibody. Selain oleh sel T- penolong, produksi antibody juga diatur oleh sel T
penekan (T-supresor), sehingga produksi antibody seimbang dan sesuai dengan
yang dibutuhkan.
c. Interaksi Antara Respons Imun Seluler dengan Humoral
Interaksi ini disebut dengan antibody dependent cell mediated cytotoxicity
(ADCC), karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh antibodi. Dalam hal ini
antibodi berfunsi melapisi antigen sasaran, sehingga sel natural killer (NK), yang
mempunyai reseptor terhadap fragmen Fc antibodi, dapat melekat erat pada sel
atau antigen sasaran. Perlekatan sel NK pada kompleks antigen antibody tersebut
mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel sasaran. Respons imun spesifik
(adaptif) dapat dibedakan dari respons imun bawaan, karena adanya cirri-ciri
umum yang dimilikinya yaitu; bersifat spesifik, heterogen dan memiliki daya
ingat atau memory. Adanya sifat spesifik akan membutuhkan berbagai populasi
sel atau zat yang dihasilkan (antibodi) yang berbeda satu sama lain, sehingga
menimbulkan sifat heterogenitas tadi. Kemampuan mengingat, akan
menghasilkan kualitas respons imun yang sama terhadap konfigurasi yang sama
pada pemaparan berikutnya.
Bruton's Agammaglobulinemia
Kelainan yang ditandai kegagalan prekursor limfosit B karena cacat pada gen
kromosom X. Penyakit ini paling sering ditemukan pada pria walaupun secara
sporadik terjadi juga pada wanita. Penyakit mulai terlihat pada usia 6 bulan
setelah imunoglobin maternal mulai habis.
Severe combined immunodeficiency (SCID)
SCID adalah gangguan sistem kekebalan tubuh serius karena limfosit B dan
limfosit T. Mereka yang kekurangan hampir mustahil melawan infeksi. Bayi yang
mengalam SCID umumnya mengalami kandidiasis oral, diaper rash, dan
kegagalan berkembang.
Sindroma Chediak-Higashi
Ditandai dengan ketidakmampuan neutrofil untuk berfungsi sebagai fagosit secara
normal.
2. Imunodefisiensi Sekunder
Penyakit ini berkembang umumnya setelah seseorang mengalami penyakit. Penyebab
yang lain termasuk akibat luka, kurang gizi atau masalah medis lain. Sejumlah obat-
obatan juga menyebabkan gangguan pada fungsi kekebalan tubuh. Immunodefisiensi
sekunder, diantaranya:
Infeksi
HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS (acquired immunodeficiency
syndrome) adalah penyakit umum yang terus menghancurkan sistem kekebalan
tubuh penderitanya. Penyebabnya adalah virus HIV yang mematikan beberapa
jenis limfosit yang disebut sel T-helper. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh tidak
dapat mempertahankan tubuh terhadap organisme biasanya tidak berbahaya. Pada
orang dewasa pengidap AIDS, infeksi HIV dapat mengancam jiwa.
Kanker
Pasien dengan kanker yang menyebar luas umumnya mudah terinfeksi
mikroorganisma. Tumor bone marrow dan leukimia yang muncul di sumsum
tulang belakang dapat mengganggu pertumbuhan limfosit dan leukosit. Tumor
juga menghambat fungsi limfosit seperti pada penyakit Hodgkin.
Obat-obatan
Beberapa obat menekan sistem kekebalan tubuh, seperti obat kemoterapi yang
tidak hanya menyerang sel kanker tetapi juga sel-sel sehat lainnya, termasuk
dalam sum-sum tulang belakang dan sistem kekebalan tubuh. Selain itu,
gangguan autoimun atau mereka yang menjalani transplantasi organ dapat
mengurangi kekebalan tubuh melawan infeksi.
Pengangkatan Lien
Pengangkatan lien sebagai terapi trauma atau kondisi hematologik menyebabkan
peningkatan suspeksibilitas terhadap infeksi terutama Streptococcus pneumoniae.
D. FAKTOR USIA
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan DNA
manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme
lain; serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut imunoglobulin) untuk
memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Tugas sistem imun
adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia.
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur.
Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan respons
imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang
penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti
penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan
oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-
gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi
imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya
sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif melawan
penyakit. Masalah lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan
untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu
bagian dari dalam tubuhnya sendiri.
Salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan usia adalah
proses thymic involution 3. Thymus yang terletak di atas jantung di belakang tulang
dada adalah organ tempat sel T menjadi matang. Sel T sangat penting sebagai limfosit
untuk membunuh bakteri dan membantu tipe sel lain dalam sistem imun. Seiring
perjalanan usia, maka banyak sel T atau limfosit T kehilangan fungsi dan
kemampuannya melawan penyakit. Volume jaringan timus kurang dari 5% daripada
saat lahir. Saat itu tubuh mengandung jumlah sel T yang lebih rendah dibandingkan
sebelumnya (saat usia muda), dan juga tubuh kurang mampu mengontrol penyakit
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jika hal ini terjadi, maka dapat
mengarah pada penyakit autoimun yaitu sistem imun tidak dapat mengidentifikasi dan
melawan kanker atau sel-sel jahat. Inilah alasan mengapa resiko penyakit kanker
meningkat sejalan dengan usia.
Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu bentuk
sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit pathogen lalu
merusaknya. Limfosit dihasilkan oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk
menghasilkan antibodi melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah banyak
pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit dan reaksinya melawan infeksi berkurang.
Manusia memiliki jumlah T sel yang banyak dalam tubuhnya, namun seiring
peningkatan usia maka jumlahnya akan berkurang yang ditunjukkan dengan
rentannya tubuh terhadap serangan penyakit.
Kelompok lansia kurang mampu menghasilkan limfosit untuk sistem imun.
Sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang efektif
daripada sel yang ditemukan pada kelompok dewasa muda. Ketika antibodi
dihasilkan, durasi respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang
dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain
bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap infeksi daripada kelompok dewasa tua. Di
samping itu, kelompok dewasa tua khususnya berusia di atas 70 tahun cenderung
menghasilkan autoantibodi yaitu antibodi yang melawan antigennya sendiri dan
mengarah pada penyakit autoimmune. Autoantibodi adalah faktor penyebab
rheumatoid arthritis dan atherosklerosis. Hilangnya efektivitas sistem imun pada
orang tua biasanya disebabkan oleh perubahan kompartemen sel T yang terjadi
sebagai hasil involusi timus untuk menghasilkan interleukin 10 (IL-10). Perubahan
substansial pada fungsional dan fenotip profil sel T dilaporkan sesuai dengan
peningkatan usia.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Drh. Ida Bagus Kade Suardana, M.Si, 2017, Diktat Imunologi Dasar Sistem Imun,
Denpasar : Universitas Udayana
Fatmah, 2006, Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia Lanjut, Depok :
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia
Nuzulul Hikmah & I Dewa Ayu Ratna Dewanti, 2010, Seputar Reaksi Hipersensitivitas
(Alergi), Jember : Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember