Anda di halaman 1dari 18

PAPER AKHIR SEMESTER TEOLOGI FEMINIS

NAMA : IRENE RAJAGUKGUK


NIM : 50190059

Refleksi Kristologi Feminis dalam Konteks Budaya Batak Toba:


Makna Simbol ‘Gorga Adopadop’ (Buah dada) pada Rumah Adat Batak Toba
Dalam hubungannya dengan Peran ‘Ina Batak’

A. Pendahuluan
Secara umum Kristologi dipahami sebagai penyataan (wahyu) Allah kepada manusia
melalui kedatangan Kristus dalam wujud Yesus. Kata 'Kristologi' berasal dari bahasa
Yunani, Χριστός= kristos = Kristus dan λόγος =logos = logi = kata-kata = ilmu, sehingga
diperoleh definisi sebagai: ‘Ilmu tentang Kristus’. Pembicaraan tentang Kristus ini
berhubungan dengan Yesus pada masa lampau (historis) hingga masa kini. Kristologi
menaruh terhadap masalah hubungan antara apa yang ilahi dan apa yang insani dalam pribadi
Yesus Kristus.1 Rumusan-rumusan tentang Kristologi telah berkembang sejak zaman Gereja
Mula-mula hingga zaman Bapa-bapa Gereja. Namun rumusan-rumusan tersebut
menghasilkan beragam ajaran tentang Kristologi yang didominasi paham patriarki dan
mengutamakan kekuasaan laki-laki. Bahkan karena dominasi paham patriarki dalam ajaran
gereja yang demikian telah menyebabkan perempuan mengalami subordinasi dalam agama
dan budaya. Karena itu, muncul pertanyaan, “apakah Yesus yang laki-laki benar-benar
perduli kepada perempuan dan dapat membebaskan dari ketertindasan?”
Di mata para teolog feminis, makna kehadiran Kristus bagi orang Kristen diyakini
sebagai pemelihara dan penyelamat dunia terkait dengan setiap persoalan hidup. Dalam
perspektif teologi konteks feminis, berbicara tentang Yesus adalah menyangkut pengorbanan,
penindasan, dan ketidakadilan. Kristologi feminis dilatarbelakangi tiga alasan yang mendasar,
yaitu: pertama, secara historis, debat kristologi yang didominasi oleh patriarki sehingga suara
perempuan tidak didengar. Kedua, rumusan kristologi feminis harus berangkat dari
pengalaman perempuan yang terdiskriminasi (pengalaman eksploitatif). Ketiga, Kristus
digambarkan menurut bahasa, pikiran, dan tindakan perempuan, sehingga dengan demikian
perspektif perempuan menjadi dasar dan sudut pandang dalam merumuskan ulang kristologi.
Kristologi pembebasan menjadi ciri utama kristologi feminis.2 Selanjutnya dalam
perkembangannya, thema kristologi feminis kontemporer berfokus kepada pemahaman dan

1
Bernard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Krsiten (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 90.
2
Anne Carr, Feminist Views of Christology dalam Chicago Studies Volume 35, Ed. By. George. J. Dyer (Chicago:
Liturgy Training Publication, 1996), 129.

1
penjelasan bagaimana orang dapat memahami kehidupan Yesus di masa lampau dan mampu
mentransformasi kehidupan di masa kini.3 Pemahaman tentang Yesus tidak lagi terpaku
kepada peristiwa yang terjadi pada zaman teks Alkitab dituliskan karena tentunya sangat
berbeda dengan konteks pada setiap zaman, sehingga pengalaman yang terjadi pada konteks
sekarang ini menjadi sorotan dan perhatian untuk direfleksikan terhadap konsep kristologi
feminis.
Dalam Injil Matius pasal 23 ayat 37, Yesus digambarkan seperti ‘seekor induk ayam’
untuk menunjukkan gambaran Yesus yang berbelas kasih kepada orang-orang yang
membutuhkan ibarat seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya dengan kelembutan. 4
Gambaran seorang ibu secara umum menunjuk pada pasangan dari ayah dalam sebuah
keluarga yang secara umum bertanggung jawab untuk semua urusan domestik dalam rumah
tangga. Dan secara spesifik, gambaran seorang ibu menampilkan seorang perempuan yang
dengan rela membagi tubuhnya untuk hadirnya ‘kehidupan yang baru’ (anak), bukan hanya
untuk satu ‘kehidupan yang baru’ bahkan lebih dari satu. Selain itu, seorang perempuan yang
menjadi ibu juga rela membagi waktu, pikiran, perhatian dan cinta untuk dapat memelihara
dan merawat anak dan seluruh anggota keluarga. Penulis terinspirasi dari perjuangan seorang
ibu ketika melahirkan anak dapat dilihat sebagai interpretasi dari tindakan Yesus ketika rela
disalibkan, yakni sama-sama menyerahkan ‘nyawa’ untuk keselamatan ‘kehidupan-
kehidupan yang baru’. Setiap ibu pastinya sudah mengetahui resiko dari melahirkan namun
karena alasan demi kelangsungan ‘kehidupan yang baru’, maka resiko dan bahaya pun
ditempuh dan dilalui. Dari perspektif teologi feminis, kondisi yang demikian merupakan
konteks yang senantiasa relevan untuk dibicarakan.
Sebagaimana teologi feminis merupakan bentuk dari teologi kontekstual, maka untuk
merefleksikannya dapat dihubungkan dengan konteks budaya. Marie Claire menyebutkan
bahwa karena teologi feminis kontekstual, maka ia berhubungan dengan kepelbagaian situasi
dan warisan sejarah serta pusparagam.5 Kristologi dengan perspektif feminis dapat ditemukan
dan dikaitkan dengan tradisi adat-istiadat, simbol-simbol dalam karya seni budaya, mitos,
ataupun isu-isu yang sedang berkembang dalam konteks sosial-budaya. Tujuannya adalah
untuk melihat adanya keterkaitan dengan Yesus sebagai gambaran Allah yang memiliki hati
dan karakter seorang ibu yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan demi

3
Berteologi untuk Keadilan dan Kesetaraan: Buku Penghargaan Pdt. (Em.) Dr. Margaretha Maria Hendriks-
Ririmasse. Ed.By. Rachel Iwamony & Yohanes Parihala (Yogyakarta: Kanisius, 2020 ), 299.
4
Elisabeth A. Johnson, Kristologi di Mata Kaum Feminis – Gelombang Pembaruan dalam Kristologi.
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), 132.
5
Marie Claire Barth Frommel, 21.

2
keberlangsungan ‘kehidupan yang lain’ selain dirinya sendiri. Menurut Anne M. Clifford,
bagi seorang feminis yang terlibat dalam ihwal berteologi, dampak dan pengaruh sejarah dan
kebudayaan atas diri kaum perempuan merupakan suatu titik tolak yang penting. 6 Namun,
para penginjil abad ke-18 hingga abad ke-20 datang dari kebudayaan Barat yang baru
mengalami Pencerahan dan memandang akal budi (ratio) sebagai tolok ukur kebenaran
ditambah dengan teologi yang sedang berkembang pada zaman itu adalah hanya dengan
mengenal hikmat sebagai salah satu kebajikan Allah di antara yang lain-lain telah
menyebabkan aspek budaya disingkirkan dalam proyek evangelisasi mereka. Para misionaris
tidak mampu menghargai adat dan budaya lokal karena dipandang sebagai unsur yang
dipengaruhi oleh kuasa kegelapan karena biasanya tidak dapat dipisahkan dari unsur ‘magic’
dan bisa saja dipakai sebagai alat kekuatan iblis. Baru sekarang ini, adat dan budaya lokal
(termasuk agama lokal) dipandang sebagai warisan berharga dari para leluhur dan dianalisa
untuk melihat fungsinya dalam masyarakat zaman dahulu.7
Dengan dasar itu, Penulis memilih berangkat dari konteks Budaya Batak Toba yang
memiliki karya seni ukir pada rumah adat Batak Toba dengan menampilkan simbol gorga
(ukiran) ‘adopadop’ (buah dada) dengan jumlah tertentu di setiap sisi depan rumah Batak
Toba dalam hubungannya dengan refleksi kristologi feminis. Ada nilai-nilai dan makna yang
dapat direfleksikan melalui perwujudan pengorbanan setiap ibu dalam suku Batak Toba
(untuk selanjutnya disebutkan sebagai ‘Ina Batak’ dalam keluarganya). Meskipun secara
umum, budaya Batak Toba juga merupakan budaya yang sangat kental dengan budaya
patriaki-nya serta masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan, namun ternyata masih
bisa menghadirkan eksistensi dan peran ibu dalam karya seni budayanya. Kehadiran simbol
‘adopadop’ tersebut telah menjadi bukti adanya pengakuan akan eksistensi kaum perempuan
di kalangan masyarakat Batak Toba, khususnya terhadap kaum Ina Batak.

B. Simbol Gorga ‘Adopadop’ sebagai Lambang Eksistensi dan Perjuangan ‘Ina


Batak’ dalam Budaya dan Keluarga Batak Toba.

6
Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Maumere:Ledalero, 2002), 2.
7
Asnath Niwa Natar, Ed. Ketika Perempuan Berteologi: Berteologi Feminis Kontekstual (Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen, 2012), 7.

3
‘Gorga’8 sangat erat kaitannya dengan suku Batak. Gorga Batak Tobamerupakan salah
satu karya seni dan kebudayaan Batak Tobayang usianya sudah cukup tua. Selain berfungsi
sebagai ornamen hias, gorga juga berfungsi sebagai sarana pendukung daya hidup
(keyakinan) dan sebagai kekuatan masyarakat Batak Toba. Terdapat dua cara dalam membuat
suatu motif gorga pada suatu rumah Batak Toba yaitu dengan cara diukir dan digambar.
Gorga Batak Toba merupakan kesenian ukir ataupun pahat yang biasanya terdapat pada
bagian luar (eksterior) rumah adat Batak Toba. Gorga sebagai dekorasi atau hiasan yang
dibuat pada sisi depan Rumah Adat Batak Toba sekarang ini sudah sebagian direlif dengan
bahan dasar semen sehingga menjadi permanen dan kemudian dicat dengan tiga macam
warna dasar dalam tradisi adat Batak. Ketiga macam warna itu disebut tiga bolit (tiga jalinan
yang disatukan), yang terdiri dari putih, merah, dan hitam. Pada zaman leluhur Suku Batak
Toba, bahan-bahan untuk gorga ini biasanya terdiri dari kayu lunak yaitu yang mudah
dikorek / dipahat. Mereka biasanya memilih kayu ungil atau ada juga orang menyebutnya
kayu ingul. Kayu ungil ini mempunyai sifat tertentu yaitu antara lain tahan terhadap sinar
matahari langsung, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusak atau
lapuk akibat kena sengatan terik matahari dan terpaan air hujan. Kayu ungil ini juga biasa
dipakai untuk pembuatan bahan-bahan kapal atau perahu di Danau Toba.9

Selain sebagai dekorasi, gorga memiliki nilai filosofi yang penting bagi Suku Batak
Toba. Ada berbagai jenis gorga untuk Rumah Adat Batak Toba, salah satunya disebut sebagai
‘Gorga Boras Pati dohot Adopadop’, yaitu ukiran ‘boras pati’ yang merupakan sejenis
mahluk yang menyerupai cicak dan dikombinasikan dengan empat buah buah dada yang
disebut sebagai adopadop. Leluhur masyarakat suku Batak Toba meyakini cicak atau yang
disebut dengan boraspati sebagai simbol kebijaksanaan dan kekayaan bagi keluarga dan
generasinya. Filosofi tersebut muncul berawal dari pengamatan leluhur masyarakat Suku
Batak Toba terhadap pola hidup cicak yang dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Cicak
bisa hidup di lantai, di dinding, di lorong, di atap dan di mana saja. Meskipun dalam
cengkeraman kucing sekali pun, cicak masih bisa meloloskan diri dengan melepas umpan
ekor pengelabu. Hal itu dikaitkan oleh leluhur masyarakat Suku Batak Tobadengan harapan
8
Gorga adalah kata dalam Bahasa Batak Tobayang artinya ukiran, pewarnaan dinding rumah dengan tiga
warna dasar: merah, hitam, putih. https://kamuslengkap.com/kamus/batak-indonesia/arti-
kata/gorga#:~:text=Arti%20kata%20%22gorga%22%20bahasa%20Batak,dalam%20bahasa%20Indonesia
%20%2D%20Batak%2DIndonesia&text=ragam%20ukiran%2C%20pewarnaan%20dinding%20rumah,manggorga
%2C%20mengukir, diakses Sabtu 12 Desember 2020, pukul 20.00 WIB.

9
https://www.sibatakjalanjalan.com/2019/11/semua-hal-tentang-gorga-batak-toba-dan-11-filosof-makna-
arti.html, diakses Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 22.30 WIB.

4
bagi generasi penerusnya yang harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya di
manapun ia berada. Masyarakat Suku Batak Toba memiliki semangat yang tinggi dalam hal
merantau ke daerah lain. Karena itulah setiap keluarga mengharapkan agar di daerah
perantauannya orang Batak Toba mampu beradaptasi dengan lingkungan dan dengan
masyarakat setempat untuk dapat bertahan hidup dan melanjutkan hidupnya. Filosofi itu juga
yang diterapkan dalam pergaulan masyarakat suku Batak, yakni harus dapat bergaul dengan
siapa saja dan menyikapi dengan bijak perbedaan-perbedaan yang ada dalam suatu
lingkungan, sehingga pada akhirnya bisa hidup di mana saja. 

Orang Batak Toba dikenal dengan budaya rantaunya. Pola perantauan mereka disebut
juga sebagai perantauan yang “ekspansionis” dengan motto “mendapatkan anak dan tanah”
(halalui anak halalui tano)10. “Anak dan tanah” bagi mereka adalah simbol “martabat,
kekuasaan dan kekayaan” sebagaimana dengan misi budaya mereka yang saling mendukung
dengan motto hidup orang Batak TobaToba “anakhonki do hamoraon di ahu” yang artinya
anak adalah harta yang paling berharga. Implikasinya mereka akan berusaha semaksimal
mungkin menyekolahkan anaknya walaupun dalam keadaan yang terbatas. Ini menunjukkan
bahwa pendidikan anak mendapat tempat dan nilai yang lebih tinggi dari nilai yang lain.
Secara kultural memang konseptualisasi Suku Batak Toba mengenai anak hanya mengacu
kepada anak laki-laki bukan kepada anak perempuan karena istilah ‘anak’ itu berlaku bagi
anak laki-laki sedangkan untuk anak perempuan disebut ‘boru’. Dengan dianutnya sistem
patrilineal pada Suku Batak Toba maka hak waris hanya akan diberikan kepada anak laki-laki
bukan kepada anak perempuan. Anak perempuan dianggap hanya untuk pelengkap keluarga
saja karena kelak akan menjadi milik keluarga marga lain.
Tujuan hidup atau misi budaya orang Batak Toba yaitu hagabeon (diberkati karena
keturunan), hamoraon (kekayaan), dan hasangapan (kehormatan) dapat dipandang sebagai
pedoman mereka dalam bertindak dan berprilaku dalam kehidupannya. 11 Dalam
kenyataannya, misi budaya atau tujuan hidup Suku Batak Toba tersebut biasanya dicapai
hanya karena adanya andil perempuan sebagai ibu di dalamnya. Hal itu tampak dalam
hubungannya dengan tujuan hidup yang pertama yaitu hagabeon (diberkati karena keturunan)
yang tentunya sangat ditentukan oleh kemampuan seorang ibu untuk melahirkan dan merawat
anak-anaknya. Masyarakat Suku Batak Toba tradisional memiliki prinsip ‘banyak anak, pasti
banyak rezeki’. ‘Anak’ yang dimaksud di sini biasanya menunjuk kepada anak laki-laki
10
Usman Pelly, Teori-teori Sosial Budaya (Jakarta: : Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga
Kependidikan. Dikti, 1994), 295.
11
Basyral Harahap & Hotman Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. (Jakarta: Sanggar William Iskandar,
1987), 135.

5
sebagai penerus ‘marga’ di masa depan, sehingga dengan banyaknya anak penerus marga
maka wilayah kekuasaannya akan semakin luas. Setiap ibu yang melahirkan anak laki-laki
dan dalam jumlah yang banyak akan merasa terhormat dan dibanggakan dibandingkan
dengan ibu yang hanya melahirkan anak perempuan. Konsekuensi pastinya akan diterima
oleh para istri yang mandul ataupun yang belum beruntung dalam melahirkan anak yang
sehat, yaitu suami mereka akan menikah lagi dengan perempuan lain demi untuk memperoleh
anak laki-laki sebagai penerus marga dalam keluarga.
Bagi masyarakat Suku Batak Toba yang mata pencahariannya adalah bertani,
kemunculan cicak di lahan pertanian ladang dan sawah diyakini sebagai pertanda tanaman
akan tumbuh subur. Semakin sering cicak muncul, tanaman semakin subur, sehingga dapat
dipanen dengan hasil yang memuaskan. Ornamen adopadop (buah dada) biasanya terdiri dari
empat di kiri dan empat di kanan selalu diiringi gorga boraspati (cicak) yang selalu
menghadap ke arah ukiran empat buah dada (adopadop). Setiap adopadop mempunyai
pemaknaan masing-masing. Adopadop yang pertama sebagai simbol kesucian, adopadop
yang kedua sebagai simbol kesetiaan, adopadop yang ketiga sebagai simbol kesejahteraan,
dan adopadop yang keempat sebagai simbol kesuburan wanita. 12 Gorga adopadop (buah
dada) merupakan simbol dari Ina Batak yang digambarkan hadir sebagai ibu yang pengasih
dan penyayang.13 Buah dada adalah objek yang paling penting bagi bayi (anak). Bagi
masyarakat Suku Batak Toba tradisional pandangan terhadap buah dada mempunyai arti
khusus dimana buah dada yang besar dan deras airnya pertanda anak-anaknya sehat dan
sudah pasti memiliki keturunan yang banyak (gabe). Jadi. kombinasi ‘Gorga Boras Pati’
dan ‘Gorga Adopadop’, yang terdiri dari simbol cicak dan buah dada adalah melambangkan
‘kebijaksanaan’ dan ‘kemakmuran’ keluarga dalam Suku Batak Tobadengan baiknya
kehidupan ekonomi (hagabeon, hamoraon) yang sangat ditentukan oleh peranan seorang
‘Ina Batak’ dalam keluarga.

12
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-2198788/cicak-simbol-unik-suku-batak-untuk-bertahan-hidup ,
diakses Rabu, 16 Desember 2020, pukul 20.00WIB.
13
www.gobatak.com , diakses Sabtu , 12 Desember 2020, pukul 20.00 WIB.

6
Gambar Gorga
Boras Pati &
Adopadop (Ukiran
Cicak dan Buah
dada)

Seorang Ina Batak yang baik menurut Suku Batak Toba adalah seorang perempuan yang
sanggup melahirkan anak-anak laki-laki (normal dan sehat) jika bisa sampai berjumlah
sepuluh atau lebih. Hanya dengan bantuan dukun beranak dan fasilitas kesehatan seadanya,
biasanya kaum Ina Batak banyak yang pada akhirnya meregang nyawa sebelum, ketika, dan
setelah proses bersalin. Meskipun demikian, kondisi yang demikian telah menjadi nilai dan
tuntutan yang tertanam dalam diri setiap perempuan Batak untuk dapat menjadi ‘ibu yang
sempurna’, yakni ketika bisa melahirkan banyak anak laki-laki dalam keluarganya. Namun
kemudian, sejak kehadiran Kekristenan oleh badan misi zending dan juga seiring dengan
kemajuan zaman pada akhirnya telah membuat kecenderungan tersebut mengalami
pergeseran juga. Hingga sekarang ini, prinsip banyak anak bukan lagi prioritas utama.
Masyarakat suku Batak Tobapada masa sekarang ini sudah terbuka dengan tujuan yang
berbeda dari yang sebelumnya, yaitu jumlah anak tidak menjadi masalah lagi akan tetapi
yang terpenting adalah anak-anak yang berkualitas khususnya dalam hal pendidikan dan
pekerjaan. Dengan demikian, tuntutan untuk seorang ibu melahirkan dengan resiko yang
besar pun sudah semakin berkurang karena tingkat pendidikan yang sudah memadai telah
memberikan kesadaran baru juga bagi kaum perempuan Batak.
Pada masa sekarang ini, tujuan hidup Suku Batak Tobajuga telah mengalami pergeseran
makna seiring dengan perkembangan ekonomi, sosial dan politik yaitu menjadi akses kepada
modal, tenaga kerja, barang-barang non-material seperti informasi, pengetahuan, pendidikan,
dan jaringan dengan kaum elit Batak TobaToba. Meskipun telah banyak perempuan dan Ina
Batak yang telah berpendidikan tinggi dan bekerja sebagai tulang punggung keluarga, namun
tugas-tugas domestik masih saja tetap menjadi tugas dan tanggung jawab mereka.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak serta merta meringankan beban kaum
perempuan, khususnya kaum ibu akan tetapi justru menambah beban ganda yang menjadi

7
tugas dan tanggung jawab setiap perempuan demi keberlangsungan kehidupan dan masa
depan semua anggota keluarga. Sementara itu kaum laki-laki tetap pada ‘singgasana’
kekuasaan yang ‘kosong’ karena dalam segala aspek kehidupan baik itu yang berkaitan
dengan tugas di dalam masyarakat luas maupun domestik semuanya telah diemban dan
dikerjakan oleh kaum ibu. Karena itu, penting sekali untuk menggali nilai-nilai budaya yang
telah ada untuk dapat kemudian melakukan rekonstruksi pemaknaan baru sehingga kaum Ina
Batak dapat melihat kembali nilai-nilai berharga dalam perjuangan dan pengorbanannya.

C. Refleksi Kristologis Feminis terhadap Perjuangan dan Pengorbanan Ina Batak

Berkaitan dengan peran perempuan sebagai ibu, di dalam budaya Batak Toba ada
beberapa sebutan yang disematkan dalam bahasa Batak Toba, antara lain: Ina Parbahulbahul
na bolon (bahulbahul artinya bakul besar yang yang menjadi sosok ideal seorang ibu bagi
orang Batak, yakni seorang ibu harus mampu dan bijak mengelola segala keterbatasan
(ekonomi dan perilaku anak-anak) dalam rumah tangga karena sudah menjadi tanggung
jawabnya menjaga ketentraman di dalamnya), Inang Namora Boru14 (sebutan penghormatan
kepada semua perempuan yang sudah berkeluarga dan sifatnya umum untuk mengarahkan
seluruh kaum ibu dalam suatu acara pesta adat), berikutnya Inang Soripada15 (sebutan kepada
perempuan yang sudah berkeluarga dan dipastikan sebagai perempuan yang berkhidmat
karena mampu menjadi penopang, penolong bagi suaminya dalam kehidupan sosial dan
bermasyarakat, ada yang berpendapat bahwa sebutan Inang Soripada lebih terhormat karena
sudah bentuk pengakuan atas peran serta para istri atas sukses suaminya, bahkan ada sugesti
di balik suami yang sukses ada istri tangguh dan hebat yang menopangnya), dan yang
terakhir adalah Parsonduk Bolon (berasal dari kata sonduk = sendok, dan bolon = besar,
yang artinya adalah ibu sebagai nyonya rumah yang menyajikan / menghidangkan makanan
untuk keluarga sehingga seorang ibu diyakini satu-satunya yang mengerti urusan domestik
dalam rumah tangga dengan perencanaan yang matang).16 Meskipun keseluruhan sebutan
tersebut seolah-olah mengangkat harkat dan martabat perempuan, namu tetap saja seorang
ibu (ina) tidak dapat mengambil keputusan dalam keluarga. Namun sebutan-sebutan tersebut

14
https://sitorusdori.wordpress.com/2018/12/16/inang-namora-boru-vs-inang-soripada/, diakses Senin, 14
Desember 2020, pukul 21.00 WIB.
15
Ibid.
16
https://analisadaily.com/berita/arsip/2018/1/5/479936/kahiyang-ibu-dan-parsonduk-bolon/#:~:text=Secara
%20sederhana%20Parsonduk%2FParsonduk%20Bolon,lebih%20dalam%20dari%20situ%20lagi. , diakses Senin,
14 Desember 2020, pukul 22.00 WIB.

8
malah menjadi candu dan sugesti yang ‘meninabobokkan’ kaum perempuan Batak agar tidak
memberontak terhadap sistem budaya patriarki yang sudah lama berkuasa.

Di daerah asalnya (daerah pedesaan), kaum Ina Batak dikenal sebagai petani dan
peladang yang giat bekerja mengolah sawah maupun ladang milik keluarga pihak suaminya. 17
Adalah pemandangan yang biasa jika melihat mereka bekerja sambil menggendong anak
yang masih balita di punggungnya sekalipun itu di tengah terik matahari. Jika sedang
‘beruntung’ memiliki suami yang rajin, maka pekerjaan di sawah cukup dikerjakan sampai
siang hari saja. Namun, naas bagi yang memiliki suami pemalas dan hanya ‘nongkrong’ di
warung tuak (kedai minum khas masyarakat Batak dengan tuak sebagai minuman khas yang
disajikan), dapat dipastikan sang Ina Batak harus ke sawah setiap hari sejak pagi hingga sore
bahkan malam hari. Pekerjaan sebagai petani merupakan solusi bagi kaum Ina Batak yang di
pedesaan agar dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan seluruh anggota keluarga.
Dalam keadaan apapun kewajiban untuk menyusui anak tetap harus dilakukan yang tentunya
dengan asupan makanan dan gizi seadanya. Kemampuan Ina Batak dalam menanggung
beban yang ditanggungkan kemudian dipolitisasi dengan menyebut mereka sebagai
perempuan tangguh yang merupakan sebagai sosok ideal ibu di seluruh dunia. Bahkan
agama (juga gereja) ikut melegitimasi beban tanggung jawab domestik kepada kaum ibu
melalui teks dalam Amsal pasal 31 ayat 10 sampai dengan 31 yang oleh Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI) memberi judul “Puji-pujian untuk Istri yang Cakap”, yang pada kenyataanya
hanyalah sebagai sugesti yang menghipnotis setiap perempuan sebagai istri dan juga ibu agar
menikmati dan menari-nari dalam penderitaannya seorang diri.

Dengan alasan tertentu, sebagian besar kaum Ina Batak menempuh jalan hidup sebagai
migran informal di daerah perkotaan seperti kota Medan dan kota lainnya. Pekerjaan mereka
sebagai pedagang pakaian-pakaian dan barang-barang bekas membuat mereka dikenal
sebagai parlangsam yaitu sebagai orang yang mengumpulkan. Sementara dalam kehidupan
berdagang di pasar tradisional, mereka dikenal dengan sebutan inang-inang parenggerengge.
Kegiatan ekonomi yang mereka lakukan merupakan kegiatan yang banyak menyita waktu
dan tenaga dengan penghasilan yang memungkinkan mereka untuk menyekolahkan anak-
anaknya dengan baik. Kaum Ina Batak juga sangat antusias dengan tingkat dan kualitas

17
Perempuan pada dasarnya tidak memiliki hak waris tanah dalam budaya Batak. Namun seiring dengan
kemajuan dan perkembangan zaman, ketika anak perempuan dalam keluarga Batak Toba sudah menikah,
maka akan diberikan ‘Ulos na so ra buruk (pauseang)’, yaitu pemberian sebidang tanah oleh orangtuanya.
Itupun jika orangtuanya memiliki kemampuan ekonomi yang mapan, karena itu merupakan salah satu dari
kearifan budaya Batak Toba sebagai bentuk cinta kasih orangtua kepada anak perempuannya.

9
pendidikan anak-anaknya yang bagi mereka memang hanya dengan keberhasilan anak-
anaknya dalam dunia pendidikanlah satu-satunya jalan untuk mencapai “kemuliaan hidup”
keluarganya (terkhusus nama baik marga suaminya). 18 Kaum Ina Batak diwajibkan
mengemban tugas untuk mewujudkan misi budaya tersebut. Terlepas dari semua pekerjaan
yang dilakukan untuk menopang ekonomi, kaum Ina Batak juga berfungsi sebagai mediator
terutama dalam ritual-ritual adat karena yang mempersiapkan segala sesuatunya dalam
berbagai ritual umumnya adalah perempuan. Oleh karena itu, selain sebagai penentu
keberhasilan ekonomi keluarga, kehadiran kaum Ina Batak dalam berbagai ritual sangat
penting, jika tidak maka ritual tersebut tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, misalnya
sebagai parhobas (pelayan) dalam acara-acara pesta adat.

Menurut Marie Claire, sejumlah ahli sejarah feminis beranggapan bahwa pada awal
mulanya masyarakat berbentuk matriarkal sehingga kaum ibu berhak menentukan keputusan
dan para ibu juga dengan anak mereka berhak menentukan kebudayaan yang mereka hidupi. 19
Mengutip buku Simone de Beauvoir yang berjudul Le Deuxieme, Marie Claire menemukan
istilah yang diciptakan oleh Simone yaitu “kelamin kedua”, yang menekankan bahwa
seseorang tidak lahir sebagai perempuan, melainkan dijadikan perempuan oleh tuntutan
masyarakat tempat ia hidup.20 Pada kenyataannya, paham kodrat yang diciptakan oleh kaum
patriark telah menempatkan kodrat laki-laki sebagai sosok yang kuat, pemberani, rasional,
produktif, menghasilkan kekayaan, menciptakan budaya, dan mampu membuat perencanaan.
Terbalik dengan kodrat perempuan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu ‘harus’ lemah
lembut, penakut, perasa, reproduktif, suka memelihara apa yang ada dan meneruskan
keterampilan lama, biasa melayani, dan suka dipimpin. Maka kaum laki-laki bertugas dalam
masyarakat luas, sedangkan kaum perempuan bertugas di rumah dan sekitarnya (urusan
domestik).21 Pemahaman yang demikian dilegitimasi sebagai naluri manusia sesuai dengan
penetapan ilahi, atau dengan kata lain, telah menjadi penrintah Tuhan yang harus diterima
dan dipatuhi.

Marie Claire menuliskan bahwa sejak abad ke-15, tanah tidak lagi dilihat sebagai “ibu
pertiwi” yang harus dihormati, melainkan sebagai sumber kekayaan yang dapat diolah demi

18
Ratih Baiduri, Paradoks Perempuan Batak TobaToba: Suatu Penafsiran Hermeneutik terhadap Karya Sastra
Ende Siboru Tombaga – Artikel dalam MIMBAR, Vol. 31, No. 1 (Juni, 2015). Fakultas Ilmu Sosial, Program Studi
Pendidikan Antropologi, Universitas Negeri Medan. 51 – 60 (Pdf)
19
Marie Claire, 3
20
Ibid.
21
Ibid.

10
kepentingan “manusia”, terutama golongan yang berpengetahuan dan bermodal.22 Kaum
perempuan telah terbiasa menghasilkan bahan makanan secara tradisional dan memelihara
kesehatan keluarganya. Petani tradisional dan perempuan melihat tanah sebagai ibu pertiwi
yang dipercayakan Allah agar dipelihara demi kehidupan semua makhluk.23 Eksistensi
perempuan yang sejak awal sudah dekat dengan alam menjadi dianggap menjadi kurang
rasional karena telah ditaklukkan oleh laki-laki dan tidak terlepas dari yang namanya laki-laki
dalam masyarakat. Marie Claire menyebutkan bahwa ‘hikmat tradisional’ yang telah
diteruskan oleh dalam lingkungan perempuan justru dilenyapkan dan menyebabkan setiap
perempuan yang mempertahankannya memperoleh konsekuensi dalam hidupnya (bahkan
dituduh sebagai tukang sihir).24 Modernitas yang dicirikan dengan kebangkitan dunia Barat
telah menciptakan posisi baru bagi kaum perempuan, yakni menjadi ‘alat’ untuk mencapai
kepentingan kaum laki-laki atau golongan yang lebih berkuasa. Perempuan disamakan
dengan dengan alam (nature) dan laki-laki dengan kebudayaan (culture). Itulah mungkin
yang menjadi jawaban untuk pertanyaan mengapa perempuan dan ‘manusia lemah’ lainnya
(orang miskin, anak-anak, dan penyandang disabilitas) harus mengalami eksploitasi dari dulu
hingga sekarang, mereka disamakan dengan alam yang memang dianggap pantas untuk
dieksploitasi.
Pemikir seperti Mary Daly atau anggota-anggota Women’s Spirituality Movement telah
menyatakan bahwa perempuan harus menolak Kristus sebagai penebus perempuan dan
sebaliknya mencari simbol keilahian dan mesianis perempuan.25 Hal itu bertujuan agar
perempuan tidak terlena dalam euforia dan melupakan perjuangan yang sebenarnya dalam
menuntut keadilan dan bangkit dari ketertindasan. Menurutnya, tidaklah begitu penting untuk
memperdebatkan jenis kelamin Yesus secara historis, karena yang terpenting adalah
bagaimana penggalian akan makna penebusan Kristus yang berpihak kepada perempuan.
Konstruksi sosial oleh budaya patriarki yang telah membentuk gender dan menanamkan
peraturan yang diskriminatif di dalam nilai-nilai budaya dan agama telah menyebabkan

22
Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu – Pengantar Teologi Feminis. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006 ), 6.
23
Dikutip oleh Marie Claire dari Virginia Fabella, M. M., Beyond Bonding, A Third World Woman’s Theological
Journey. (Manila: 1993), 55.
24
Ibid.
25
Dikutip oleh Rosemary Radford Ruether dari buku Naomi Goldenberg, Changing of the Gods: Feminism and
the End of Traditional Religion Beacon Press, Boston 1979, Chapter 1, yang diterjemahkan oleh Ifana Tungga
dari buku To Change the World, Crossroad, New York, 1981, hal. 45-56; dengan judul tulisan Kristologi dan
Feminisme: “Dapatkah Juruselamat Laki-laki menyelamatkan Perempuan?”
https://ifanatungga.wordpress.com/2017/06/19/kristologi-dan-feminisme/, diakses Senin, 14 Desember 2020,
pukul 21.00 WIB

11
perempuan berabad-abad lamanya mengalami marginalisasi. Tradisi yang sedikit berbeda
dikembangkan dalam mistisisme Yesus oleh Julian dari Norwich.26
Yesus dinyatakan sebagai ibu dan bapa. Seperti seorang ibu Yesus memberi
makan kita dengan tubuhnya sendiri. Dia memelihara kita dengan susu,
sebagai bayi yang baru lahir dalam iman. Suasana dari gambaran mengenai
Yesus yang keibuan dalam mistisisme abad pertengahan ditemukan secara
khusus dalam kesalehan eukaristik.

Tradisi ini kemudian diyakini masih dilanjutkan melalui pemberian roti dan anggur dalam
sakramen perjamuan kudus. Tetapi karena pribadi manusia dan ilahi dari Kristus menjadi
mapan dalam pemikiran abad pertengahan sebagai laki-laki, maka kualitas dari keibuan atau
perempuan tersebut terseret dibawa masuk ke dalam laki-laki sehingga di dalam Kristus laki-
laki mendapat sebuah model androgyny, pribadi yang memerintah dan memelihara.27 Tetapi
diragukan bahwa masyarakat pada masa Julian mengizinkannya untuk membalikkan
hubungan ini dan atas nama Kristus memberikan kepada perempuan hak untuk menjalankan
hak prerogatif laki-laki.

Elisabeth Schüssler Fiorenza melihat Yesus (dapat dipahami) sebagai anak dari Allah-
Sophia (Kebijaksanaan) yang merupakan bagian dari deretan panjang nabi-nabi yang
berusaha mengumpulkan anak-anak Israel untuk kembali kepada Allah-Sophia mereka yang
murah hati.28 Yesus merupakan anak Allah-Sophia yang membuktikan dirinya turut
menderita hingga harus menghadapi eksekusi hanya untuk membuka masa depan bagi orang
miskin dan tertindas di Israel serta menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan tanpa
hukuman mati bagi semua anak Israel. Hal itu dapat dikaitkan dengan upaya kaum ibu dalam
membuka jalan bagi masa depan anak-anaknya dengan perjuangan dan pengorbanan yang
sepenuhnya. Tanpa atau dengan pendidikan yang memadai, secara naluriah kaum ibu
diharuskan menyerahkan seluruh anggota tubuhnya untuk bekerja agar dapat memenuhi
kebutuhan keluarganya. Tak terelakkan kadang-kadang kata ‘berkorban’ menjadi candu bagi
kaum ibu khususnya kaum Ina Batak. Karena hanya dengan demikianlah mereka biasanya
dapat bertahan dalam menjalani perannya sebagai ibu, selain peranan yang lainnya sebagai
istri, menantu, dan sebagai anggota masyarakat. Tentunya kenyataan itu sangat berbeda
dengan sebutan-sebutan yang disematkan kepada kaum Ina Batak seperti yang telah
dijelaskan dalam paragraph sebelumnya.

26
Ibid.
27
Ibid.
28
Elisabeth Schüssler Fiorenza, Jesus: Miriam’s Child, Sophia’s Prophet (London: Bloomsbury, 2015), 155.

12
Muncul berbagai kritik dari generasi baru Suku Batak di era millenial ini terhadap
kearifan budaya Batak Toba yang menampilkan gambaran yang sangat berbeda antara
filosofi budaya dengan praktik hidup sehari-hari. Filosofi yang seolah-olah menghormati
perempuan melalui kehadiran Ina Batak dalam bentuk gorga adopadop pada sisi depan
rumah adat Batak Toba hanya menjadi hiasan rumah semata. Sama dengan kehadiran seorang
anak perempuan yang dipandang hanya sebagai pelengkap anggota keluarga saja. Eksistensi
perempuan sebagai Ina Batak yang sarat dengan perjuangan dan pengorbanan demi keluarga
pada akhirnya menjadi kabur karena paham patriarki yang senantiasa melekat dalam budaya
Batak secara umum.

Penggambaran Yesus dalam Injil Matius seperti ‘seekor induk ayam’ menempatkan
peranan Yesus seperti peran seorang ibu yang melindungi dan menyayangi anak-anaknya
dengan kelembutan.

"Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari


dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu!  Berkali-kali Aku rindu
mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-
anaknya di bawah sayapnya,  tetapi kamu tidak mau.” (Matius 23:37)

Barangkali inilah yang dimaksudkan oleh Mary Daly sebagai upaya mencari simbol keilahian
dan mesianis perempuan dalam refleksi kristologi feminis. Tanpa harus mengubah jenis
kelamin Yesus, karakter seorang ibu pun dapat ditemukan dalam diri Yesus. Karakter ‘induk’
(pada hewan) tidak jauh dengan karakter ‘ibu’ (pada manusia), karena keduanya memiliki
naluri alamiah yakni mengumpulkan, melindungi, dan berkorban demi anak-anaknya.
Karakter induk yang disematkan kepada Yesus dapat menjadi acuan bahwa Yesus pun
berpihak kepada kaum Ina Batak yang menderita dan tertindas. Selain karena alasan karakter
yang sudah menjadi naluri alamiah pada diri seorang ibu sehingga mau berkorban, ada alasan
lain yaitu ‘cinta’. Penulis kitab Injil Yohanes dalam pasal 3 ayat 16 juga bersaksi akan hal itu
dan telah menjadi thema besar karya penyelamatan Allah bagi manusia yang diyakini dan
dihidupi oleh semua orang Kristen. Pengabdian karena cinta biasanya mendorong seseorang
untuk melakukan pengorbanan. Yesus sendiri menyadari bahwa resiko dari mencintai
manusia adalah penderitaan dan bahkan hingga pada kematian. Namun bukan hanya thema
pengorbanan yang penting dilihat dari keberpihakan Yesus kepada perempuan, seorang
teolog feminis dari Filipina Virginia Fabella mengungkapkan bahwa Yesus yang laki-laki
bertindak melawan “budaya laki-laki” menjadi sumber pengharapan baru harapan kepada
banyak perempuan di Asia. Pesan martabat perempuan lebih kuat didengar ketika diucapkan

13
oleh laki-laki. Contohnya adalah Yesus tidak mengutuk perempuan yang kedapatan berzinah
atau perempuan Samaria yang bertemu dengannya di dekat sumur. Yesus juga
menyembuhkan mereka yang terjangkit penyakit najis di masyarakat. Yesus juga menjadi
pembela (pelindung) atau advocate dan jenis kelaminnya tidak menjadi persoalan secara
signifikan. Umat Kristiani menjadi komunitas penebusan bukan dengan menerima secara
pasif, melainkan secara kolektif berupaya pada jalan pembebasan dengan mengubah orang
dan sistem sosial.29

Dalam pengorbanannya, kaum Ina Batak yang karena cinta telah memberikan dirinya
untuk berada pada posisi yang menderita dan berkorban demi memperjuangkan ‘kehidupan-
kehidupan lain’ yang telah ‘keluar’ dari dalam tubuhnya. Sejak mengandung, seorang ibu
telah berbagi makanan dengan anak yang berada di dalam rahimnya. Setelah melahirkan,
tidak hanya berbagi lagi tetapi sudah mengasupi makanan dan gizi bagi tubuhnya agar air
susu dari buah dadanya menjadi lancar dan anaknya dapat menyusu dengan puas. Seluruh
bagian tubuh seorang perempuan, baik bagian luar dan dalam tidak lagi menjadi miliknya
secara utuh setelah ia menikah dan kemudian melahirkan. Kata ‘tubuh’ dalam bahasa
Indonesia terbatas hanya pada definisi jasad (artinya hanya bersifat material). Tidak asing
jadinya ketika dewasa ini, istilah ‘digarap’ dikenakan kepada tubuh perempuan ketika terjadi
peristiwa pelecehan seksual atau pemerkosaan. Hal itu dimungkinkan karena pemahaman
masyarakat yang menganggap tubuh hanyalah objek semata. Bersyukur Penulis menemukan
tulisan seorang penulis bernama E. Anna Marsiana (Pendamping YiFos Indonesia) yang
mengupas tentang teologi tubuh dari analisa kata ‘tubuh’. Ia mengutip pemikiran Soon Hwa
Sun (teolog feminis Korea) yang memberikan definisi kata ‘tubuh’ berdasarkan bahasa
Korea, tubuh perempuan disebut ‘maum’. ‘Maum’ menunjuk pada totalitas keberadaan dan
penjelmaan, yang meliputi realitas daging, tulang, rahim, buah dada, hati, roh, pikiran,
kecerdasan, seksualitas, dan jiwa yang terus tumbuh, melemah, dan berubah. Tubuh
perempuan memiliki tanda masa lalunya dan mewujudkan harapan dan keinginannya untuk
masa depan. Tubuh perempuan adalah sebuah peta di mana kehidupannya tertulis dan ibunya
pada gilirannya ditempatkan "di peta", dalam kata-kata geografi feminis. Tubuh adalah
tempat cerita dan sejarah ditorehkan.30 Selanjutnya dijelaskan bahwa ‘maum’ adalah "teks

29
Lisa Isherwood, Introducing Feminist Christologies (London: Sheffield Acedemic Press, 2001), 19 – 20.

30
E. Anne Marsiana, Teologi Tubuh Perspektif Feminis: Merebut Kembali Posisi Tubuh dan Pengalaman
Ketubuhan dalam Kehidupan. https://yifosindonesia.org/2018/12/04/teologi-tubuh-perspektif-feminis-
merebut-kembali-posisi-tubuh-dan-pengalaman-ketubuhan-dalam-kehidupan/#:~:text=Inti%20dari
%20teologis%20tubuh%20perspektif,kita%20dari%20rampasan%20teologi%20klasik. Diakses Rabu / 16

14
yang berdarah, makan, buang air besar, bercinta, dan sebagainya. ‘Maum’ adalah ruang di
mana realitas material kehidupan perempuan dihayati. 31 Dengan analisis yang demikian,
maka dapat dipahami bahwa selain karena alasan cinta, seorang perempuan yang menjadi ibu
memiliki alasan lain untuk membagi tubuhnya demi keluarganya. Alasan lain itu adalah
karena pada tubuh perempuan sudah mewakili tanda masa lalunya untuk kemudian dapat
mewujudkan harapan dan keinginannya untuk masa depannya bersama dengan keluarga yang
dicintainya.

Tubuh Yesus yang lelah selama melaksanakan tugas pelayanan (menyembuhkan,


mengajar, mengusir roh jahat, membela hak orang-orang yang dimarginalkan) hingga tubuh-
Nya yang disiksa dan disalibkan dapat direfleksikan sebagai tubuh yang merekam berbagai
penderitaan dan ketidakadilan yang juga dialami kaum Ina Batak yang kurang memperoleh
penghargaan dalam perjuangan dan pengorbanannya untuk keluarga. Belum ada sumber yang
menjelaskan mengapa jumlah adopadop (buah dada) yang diukir pada sisi depan rumah adat
Batak Toba berjumlah empat pasang. Namun penempatan bagian tubuh perempuan pada
karya seni budaya Batak Toba merupakan salah satu wujud legitimasi para leluhur Suku
Batak Toba akan kebijaksanaan Ina Batak yang diyakini sebagai ‘ratu’ yang dapat mengelola
dan mengendalikan segala sesuatunya di dalam keluarga mereka. Dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya sebagai ‘ratu keluarga’, maka seorang Ina Batak tidak terluput dari
perjuangan yang maksimal hingga pada pengorbanan demi tercapainya keberhasilan dan
kemakmuran bagi seluruh anggota keluarganya. Yesus sendiri yang dinyatakan sebagai Anak
Allah harus menjalani proses penderitaan dan ketidakadilan semasa hidupnya demi
mewujudkan cinta dan keberpihakan-Nya kepada orang-orang yang mengalami penindasan
dan ketidakadilan.

D. Penutup
Masih banyak unsur-unsur yang dibahas yang berkaitan dengan topik tulisan dalam
hubungannya dengan teologi feminis. Akan tetapi karena, topiknya terbatas hanya pada
thema Kristologi Feminis maka Penulis mengakhiri tulisan ini dengan sebuah refleksi
teologis bahwa aspek kebijaksanaan pada dasarnya sangat melekat dengan nilai-nilai feminis,
baik itu dari sejarah kitab suci maupun sejarah budaya-budaya lokal. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi di kemudian hari telah merenggut posisi terhormat
Desember 2020, pukul 23.00 WIB.
31
Ibid.

15
tersebut. Tidak hanya merenggut, tapi nilai-nilai itu telah dijerumuskan menjadi hal yang hina
dan mengundang nafsu dan berakhir pada penghakiman dengan alasan dosa. Hal itu tampak
jelas dari fenomena dan keprihartinan sosial yang marak belakangan ini, dalam hubungannya
dengan buah dada, yaitu munculnya penjahat ‘begal payudara’. Tentunya sangat bertolak
belakang, jika masyarakat tradisional saja dapat menghargai ‘buah dada’ sebagai bagian
tubuh perempuan sebagai sesuatu yang pantas dimuliakan, mengapa pada zaman modern
seperti sekarang ini malah melihatnya sebagai objek yang menjadi sasaran kriminal?
Pembahasan yang lain mungkin meneruskan jawaban atas pertanyaan reflektif tersebut.
Demikianlah tulisan ini dituliskan untuk melengkapi tugas akhir semester genap dan semoga
dapat menjadi inspirasi baru bagi perkembangan teologi feminis ke depan.

DAFTAR PUSTAKA

Baiduri, Ratih. Juni 2015. Paradoks Perempuan Batak TobaToba: Suatu Penafsiran
Hermeneutik terhadap Karya Sastra Ende Siboru Tombaga – Artikel dalam
MIMBAR, Vol. 31, No. 1. Fakultas Ilmu Sosial, Program Studi Pendidikan
Antropologi, Universitas Negeri Medan. 51 – 60 (Pdf)

Carr, Anne. 1996. Feminist Views of Christology dalam Chicago Studies Volume 35, Ed. By.
George. J. Dyer. Chicago: Liturgy Training Publication.

Clifford, Anne M. 2002. Memperkenalkan Teologi Feminis. Maumere:Ledalero.

Fiorenza, Elisabeth Schüssler. 2015. Jesus: Miriam’s Child, Sophia’s Prophet. London:
Bloomsbury.

Frommel, Marie Claire Barth. 2006. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu – Pengantar
Teologi Feminis. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Harahap, Basyral & Hotman Siahaan, 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta:
Sanggar William Iskandar.

16
Iwamony, Rachel & Yohanes Parihala, Ed. 2020. Berteologi untuk Keadilan dan
Kesetaraan: Buku Penghargaan Pdt. (Em.) Dr. Margaretha Maria Hendriks-
Ririmasse. Yogyakarta: Kanisius.

Isherwood, Lisa. 2001. Introducing Feminist Christologies. London: Sheffield Acedemic


Press.

Johnson, Elisabeth A. 2003. Kristologi di Mata Kaum Feminis – Gelombang Pembaruan


dalam Kristologi. Yogyakarta: Kanisius.

Lohse, Bernard. 1989. Pengantar Sejarah Dogma Krsiten. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Natar, Asnath Niwa Ed. 2012. Ketika Perempuan Berteologi: Berteologi Feminis
Kontekstual Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen

Pelly, Usman. 1994. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: : Proyek Pembinaan dan Peningkatan
Mutu Tenaga Kependidikan. Dikti.

Sumber-sumber dari Internet:

https://kamuslengkap.com/kamus/batak-indonesia/arti-kata/gorga#:~:text=Arti%20kata
%20%22gorga%22%20bahasa%20Batak,dalam%20bahasa%20Indonesia%20%2D%20Batak
%2DIndonesia&text=ragam%20ukiran%2C%20pewarnaan%20dinding
%20rumah,manggorga%2C%20mengukir, diakses Sabtu 12 Desember 2020, pukul 20.00
WIB.

www.gobatak.com, diakses Sabtu , 12 Desember 2020, pukul 20.30 WIB.

https://www.sibatakjalanjalan.com/2019/11/semua-hal-tentang-gorga-batak-toba-dan-11-
filosof-makna-arti.html, diakses Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 22.30 WIB.

https://ifanatungga.wordpress.com/2017/06/19/kristologi-dan-feminisme/, diakses Senin, 14


Desember 2020, pukul 21.00 WIB

17
https://sitorusdori.wordpress.com/2018/12/16/inang-namora-boru-vs-inang-soripada/, diakses
Senin, 14 Desember 2020, pukul 21.00 WIB.

https://analisadaily.com/berita/arsip/2018/1/5/479936/kahiyang-ibu-dan-parsonduk-
bolon/#:~:text=Secara%20sederhana%20Parsonduk%2FParsonduk%20Bolon,lebih
%20dalam%20dari%20situ%20lagi. , diakses Senin, 14 Desember 2020, pukul 22.00 WIB.

https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-2198788/cicak-simbol-unik-suku-batak-untuk-
bertahan-hidup , diakses Rabu, 16 Desember 2020, pukul 20.00WIB.

E. Anne Marsiana, Teologi Tubuh Perspektif Feminis: Merebut Kembali Posisi Tubuh dan
Pengalaman Ketubuhan dalam Kehidupan. https://yifosindonesia.org/2018/12/04/teologi-
tubuh-perspektif-feminis-merebut-kembali-posisi-tubuh-dan-pengalaman-ketubuhan-dalam-
kehidupan/#:~:text=Inti%20dari%20teologis%20tubuh%20perspektif,kita%20dari
%20rampasan%20teologi%20klasik. Diakses Rabu / 16 Desember 2020, pukul 23.00 WIB.

18

Anda mungkin juga menyukai