Anda di halaman 1dari 3

WARNA UNTUK SANG AYAH

Roda sepeda unta berputar mengikuti alunan jeruji yang dikayuh kuat – kuat. Angin
menerpa memainkan kain putih yang menyelimuti kepala guna menutup aurat. Titik – titik peluh
mulai menampakkan diri dan terjun membasahi seragam kebanggaan. Dengan sumber energi
nasi dengan lauk ikan asin dan sambal kacang, diri siap mengikuti persaingan antar sebayanya.
Kompetisi yang dia nanti – nantikan dua pekan terakhir. Walaupun bermodal autodidak dan doa
kepada Yang Maha Kuasa, dengan percaya dirinya siap bersaing dengan resiko kekalahan.

Tak jauh dari rumahnya, tibalah Tasya di sekolah dambaan yang mengadakan kompetisi
tersebut. Diikutilah daftar ulang dan upacara pembukaan yang telah disusun sedemikian rupa
oleh kakak – kakak OSIS dan panitia guru lainnya. Begitu rapih dan menyenangkan sampai
terkesan didalam hati. Terlihat semangat para peserta dan tentunya semangat Tasya yang
menggebu – gebu melangkah ke ruangan yang telah dipersilahkan oleh kakak panitia.

Dikeluarkannya sejumlah kuas usang, pallet, cat, dan beberapa alat tulis milik Ayahnya
serta sebotol air mineral untuk mengencerkan cat yang akan menghiasi kertas polos. Sederhana
saja, tak seperti peserta yang lainnya dengan peralatan yang bermerk dan baru. Kertas berukuran
A3 disebarkan untuk mereka hias dengan imajinasi masing – masing. Kakak panitia
mempersilahkan untuk berdoa dan selanjutnya dibacakannya peraturan – peraturan yang harus
mereka patuhi.

Mulailah Tasya menggoreskan cat dengan sketsa dikepalanya. Sesekali ia mengingat


Ayahnya yang sekarang terbujur di kasur rumah dengan penyakit leukimia yang dideritanya.
Sudah tiga bulan ini Ayahnya hanya mengharapkan kesembuhan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tidak ada biaya yang bisa mengantarkannya ke tempat kesehatan. Tidak ada pundi – pundi
harapan dari pemerintah. Sesekali air mata hampir menetes karena dia telah meninggalkannya
sendiri. Untunglah Ia telah menitipkannhya kepada pamannya.

Goresan – goresan halus nan lembut mulai menodai selembar kertas yang semula suci.
Warna yang pelan – pelan menghidupkan sketsa yang telah dibuatnya, sedikit demi sedikit
tampak lukisan apa yang telah dibuatnya. Sesosok pria dengan menggandeng puteri kecilnya di
depan sebuah rumah kecil sederhana. Tanpak jelas raut mukanya bahagia. Ya! Apa yang Tasya
buat adalah gambaran dirinya ketika ia berumur tujuh tahun.

Alarm berbunyi menandakan waktu Tasya kurang limabelas menit. Untung saja Tasya
telah menyelesaikan sebelum bel berbunyi. Tinggal merapikan semua peralatan Ayahnya. Tiba –
tiba air bekas cucian kuas tertumpah. Untungnya air itu hanya menumpahi sebelah lukisannya.
“Untung saja tadi aku telah memindahkannya disini!” desahnya dalam hati. Segera
dibersihkannya meja dan lantai yang telah ternoda oleh cairan gelap miliknya. Bel pun berbunyi.
Lantai bersih dan mejapun beres. Dengan nada pasrah Tasya mengumpulkan karyanya dimeja
panitia. Sempat merasa kurang percaya diri melihat karya peserta lain, Tasya hanya berdoa
kepada Yang Maha Kuasa.

Menunggu dan menunggu. Diselang menunggu pengumuman, Tasya memakan bekal


yang Ia bawa di dalam ruangan lomba. Walaupun Tasya melihat peserta lainnya membeli jajan
yang enak – enak, namun menurutnya membawa bekal sendiri itu lebih baik. Toh Ia tak punya
uang buat jajan yang menurutnya cuma untuk keinginan. Tak lama setelah bekalnya habis,
pengumuman berkumandang jika pengumuman akan digelar lima menit lagi. Jantungnya tiba –
tiba berdegup kencang. “Semoga aku bisa membawa oleh – oleh buat Ayah dirumah.”

Tibalah saatnya pengumuman yang dinanti – nantikan. Dengan kesendiriannya, Tasya


menanti pengumuman dengan diam dan memerkatikan sang pembawa acara. Namun dalam
kalimat juara harapan tiga, harapan dua, harapan satu, juara tiga, juara dua, tak disebutkan
namanya. Tasya hanya tertunduk dan rasanya ingin pulang. “Juara satu adalah.....” Tasya
mengabaikannya. “Tasya Berliana!!” Sontak terkejut dan air mata menetes dengan pelannya.
Langsung saja dia meju dan memegang piala yang dia damba. Rasa haru menyelimuti harinya
dan rasanya ingin pulang memeluk sang Ayah.

Setelah acara selesai, Tasya bergegas pulang. Sebelum menaiki sepedanya, seorang pria
tib – tiba menyapanya dan menghanturkan ucapan selamat. Dijawab saja oleh Tasya dengan kata
terima kasih. Mereka memperkenalkan diri mereka masing – masing dan bercakap – cakap
sedikit. Segera Tasya mengambil sepeda dan berpamitan dengan seorang pria yang baru Ia kenal.
Kayuhan sepeda Tasya melesat kencang menuju rumah tercinta. Begitu sampai rumah,
dilemparnya sepeda unta miliknya dan bergegas membuka pintu rumah. Langsung saja Tasya
memeluk Ayahnya dan mengancungkan oleh – oleh piala kepadanya. Dengan haru Ayah Tasya
memeluk erat sampai tidak ingat penyakit yang dideritanya. Berbincanglah mereka dengan
momen yang membanggakan itu.

Nama : Dhahabiani Yunisa M

No. Absen : 08

Kelas : XI MIPA 2

Anda mungkin juga menyukai