Anda di halaman 1dari 18

Makalah Ilmu Dasar Keperawatan II

“Infeksi Oportunistik”
Dosen Pengampu: Herman, S.Kep., Ns., M.Kep.

DISUSUN OLEH :

Nanda Herlia
(I1031181014)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi
sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah tuhan seru
sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, seta hidayah-Nya yang tiada
terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Ilmu Dasar
Keperawatan 2 dengan judul “Infeksi Oportunistik”.

Dalam penyusunannya, penulis tidak lupa mengucapkan banyak


terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas
makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dan
tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu
Herman, S.Kep., Ns., M.Kep yang telah membimbing penulis dalam pengerjaan
makalah.

Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa
memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang dalam pengerjaanya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat
lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi
semua pembaca.
Pontianak, 23 Februari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................................ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................2
1.3 Tujuan .................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Infeksi Oportunistik ..............................................................................3
2.2 Patogenesis Infeksi Oportunistik ........................................................................3
2.3 Pencegahan Infeksi Oportunistik ........................................................................6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .........................................................................................................14
3.2 Saran ...................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah internasional karena jumlah
penderita ekonomi,politik, kebudayaan, dan demografi yang menjadi
tantangan oleh negara maju maupun negara berkembang. HIV merupakan
suatu penyakit yang bersifat kronis dan progresif yang memiliki masalah
kesehatan kompleks. HIV yaitu sebuah virus yang menyerang sistem
kekbalan tubuh sebagai pertahanan alamiah untuk mencegah virus dan bakteri
sebagai sumber penyakit.
HIV merupakan penyakit yang menular karena infeksi virus dari
kelompok sel-sel darah putih (sel-T helper) dimana sel yang membuat zat anti
dihancurkan dalm tubuh sehingga sel limfosit yang diinfeksikannya akan
merusak sel-sel tersebut, mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh
maka timbulnya penyakit infeksi ataupun penyakit infeksi oportunistik.
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang menyerang tubuh saat kekebalan
tubuh menurun ditimbulkan oleh patogen yang berasal dari luar tubuh seperti
jamur, bakteri, protozoa, atau virus bila tubuh dalam kondisi normal akan
dikendali oleh pertahanan tubuh. Jenis patogen penyebab infeksi oportunistik
bervariasi pada masing-masing wilayah.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional mempunyai
intensitas dan interaksi paling banyak dalam memberikan pelayanan
kesehatan terhadap pasien. Kualitas perawatan yang diberikan ditunjukkan
dengan asuhan keperawatan comprehensive yang diberikan secara holistik.
Menurut WHO, pada tahun 2017 menyebutkan jumlah kasus HIV di
dunia mencapai 36.900.000 penduduk. Epidemiologi kasus HIV di Indonesia
berdasarkan data WHO pada tahun 2017 mencapai 630.000 penduduk. Pada
provinsi Jawa Timur jumlah penduduk HIV mencapai 8.204 orang, angka ini
menjadikan Jawa Timur menjadi provinsi yang memiliki penduduk HIV

1
paling banyak di Indonesia. Data dari Dinas Kesehatan Kota Malang, pasien
dengan HIB di Kota Malang pada tahun 2017 berjumlah 219 orang.
Stadium HIV menurut WHO memiliki 4 satidum yang dibagi
berdasarkan jumlah dari kadar Cluster of Differentiation 4 (CD4). CD4
merupakan salah satu bagian penting dalam sistem kekebalan tubuh dari sel
darah putih yang berfungsi untuk melawan patogen yang masuk ke dalam
tubuh yang dapat menimbulkan berbagai penyakit.
Dari pemaparan di atas, penulisan makalah ini bertujuan untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Infeksi Oportunistik, bagaimana
proses patogenesisnya dan cara mencegah terjadinya infeksi oportunistik
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Infeksi Oportunistik?
b. Bagaimana proses patogenesis Infeksi Oportunistik?
c. Bagaimana cara mencegah terjadinya Infeksi Oportunistik?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian dari Infeksi Oportunistik
b. Untuk mengetahui proses patogenesis Infeksi Oportunistik
c. Untuk mengetahui cara mencegah terjadinya Infeksi Oportunistik

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Infeksi Oportunistik
Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak
bersifat invasif namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun,
seperti pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan
oleh patogen yang berasal dari luar tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau
protozoa), maupun oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh manusia namun
dalam keadaan normal terkendali oleh sistem imun (seperti flora normal
usus). Penurunan sistem imun berperan sebagai “oportuniti” atau kesempatan
bagi patogen tersebut untuk menimbulkan manifestasi penyakit.
Centers for Disease Control (CDC) mendefinisikan IO sebagai infeksi
yang didapatkan lebih sering atau lebih berat akibat keadaan imunosupresi
pada penderita HIV. Infeksi oportunistik yang digolongkan CDC sebagai
penyakit terkait AIDS (AIDS-defining illness) adalah kriptosporidiosis
intestinal (diare kronis >1 bulan); Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP);
strongiloidosis selain pada gastrointestinal (GI); toksoplasmosis dan CMV
selain pada hati, limfa dan kelenjar getah bening (KGB); kandidiasis
esofagus, bronkus atau paru; kriptokokosis sistem saraf pusat (SSP) atau
diseminata; Mycobacterium avium dan M. kansasii selain pada paru dan
KGB; virus herpes simpleks mukokutaneus kronis, paru dan GI; progressive
multifocal leucoencephalopathy (PML); sarkoma Kaposi pada usia <60
tahun; limfoma otak; histoplasmosis diseminata; isosporiasis intestinal;
limfoma nonHodgkin; pneumonitis interstitial limfoid dan bakteri piogenik
multipel pada usia <13 tahun; kokidioidomikosis; ensefalopati HIV;
Mycobacterium tuberculosis; wasting syndrome; bakteremia Salmonella;
pneumonia bakteri rekuren; serta kanker serviks invasif.

2.2 Patogenesis Infeksi Oportunistik


Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul reseptor
membran CD4+, terutama sel limfosit T.5 Infeksi HIV menimbulkan

3
disfungsi imun melalui penurunan sel T CD4+ (imunodefisiensi) dan aktivasi
imun (imunosupresi) yang meliputi respon imun spesifik HIV dan aktivasi
imun terhadap sel sekitar (bystander). Limfosit T CD4+ berperan penting
dalam pengaturan respon imun terhadap patogen dengan menjalankan
berbagai fungsi, antara lain aktivasi sel pada sistem imun bawaan (limfosit B,
sel T sitotoksik dan sel nonimun), serta berperan dalam supresi reaksi imun.
Rendahnya jumlah limfosit T CD4+ akan menurunkan sistem imun melawan
patogen sehingga penderita menjadi rentan terhadap IO.
Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2,
Th17, sel T regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan
fungsi yang berbeda-beda. Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen
intraseluler, autoimunitas spesifik organ, serta menghasilkan sitokin
interferon (IFN)-γ yang meningkatkan aktivitas fagositik makrofag dan sel
mikroglial. Sel Th2 berfungsi pada respon imun terhadap parasit
ekstraseluler, seperti cacing, serta berperan penting dalam menginduksi
berbagai penyakit alergi. Sel Th17 merupakan mediator penting dalam
pertahanan pejamu melawan patogen ekstraseluler seperti bakteri dan jamur,
serta mempertahankan integritas sawar epitel usus. Hilangnya sel ini akan
mengganggu integritas mukosa usus, meningkatkan permeabilitas terhadap
produk mikroba serta berperan dalam aktivasi imun kronis. Sel Treg berperan
penting dalam mempertahankan toleransi imunologis terhadap antigen dan
menurunkan respon imun setelah patogen tereliminasi. Treg dalam keadaan
normal berperan dalam menekan respon imun sel T, namun pada infeksi HIV
terjadi perubahan distribusi diferensiasi sel T CD4+ berupa peningkatan
jumlah Treg serta penurunan diferensiasi sel T lainnya. Sel Thf berinteraksi
dengan sel B spesifik antigen pada jaringan limfoid sekunder dan
meningkatkan afinitas antibodi, maturasi serta diferensiasi sel B menjadi sel
memori dan sel plasma. Infeksi HIV menyebabkan ekspansi Thf dan
meningkatkan antibodi autoreaktif sehingga menghasilkan kerusakan berat
termasuk hancurnya sel CD4.

4
Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi akibat
penghancuran langsung oleh HIV, namun juga melibatkan hubungan yang
lebih kompleks antara sistem imun pejamu dan efek dari replikasi aktif HIV.
Berkurangnya jumlah limfosit T CD4+ setelah infeksi HIV terjadi melalui
beberapa mekanisme, yaitu terganggunya produksi limfosit T de novo oleh
timus, efek bystander dari pembentukan sinsitium, perubahan permeabilitas
membran, disfungsi mitokondria, penghancuran oleh sel T sitotoksik spesifik
HIV atau melalui kadar respon imun yang berlebihan. Mekanisme utama
berkurangnya sel T CD4+ adalah akibat apoptosis, tidak hanya pada sel yang
terinfeksi HIV namun juga pada sel bystander melalui kematian sel yang
diinduksi aktivasi dan pembentukan sinsitia. Sinsitia terbentuk oleh fusi sel
yang terinfeksi HIV dengan target yang tidak terinfeksi dan selanjutnya akan
mengalami apoptosis yang diperantarai p53. Destruksi jaringan sel retikuler
fibroblastik, deposisi kolagen dan berkurangnya interleukin 7 sebagai faktor
pertahanan hidup sel T selanjutnya juga berperan dalam berkurangnya
limfosit T CD4+ .
Virus mentargetkan populasi CD4+ yang telah terdiferensiasi terminal
dan membiarkan prekursor populasi CD4+ yang dapat memproduksi sel T
baru secara kontinu sehingga virus selalu memiliki cadangan target baru
untuk melangsungkan replikasinya. Kerusakan CD4+ terdiferensiasi dengan
segera diikuti oleh peningkatan proliferasi CD4+ baru yang secara parsial
dapat menggantikan CD4+ yang mati, namun proses regenerasi ini tidak
stabil dan makin berkurang seiring waktu hingga akhirnya tidak mampu
mengimbangi hilangnya CD4+ dan timbullah manifestasi imunodefisiensi.
Jumlah limfosit T CD4+ pada orang normal adalah 500-1600 sel/μL
darah. Jumlah ini secara bertahap akan berkurang seiring dengan
perkembangan infeksi HIV dan menyebabkan penderita menjadi rentan
terhadap IO.5 Jumlah limfosit T CD4+ merupakan indikator terbaik dalam
menentukan kerentanan terhadap IO sehingga menjadi panduan dalam
pemberian kemoprofilaksis. Penderita dengan jumlah limfosit T CD4+ yang
telah mencapai 200 sel/μL hampir seluruhnya telah terinfeksi IO dan

5
bermanifestasi sebagai AIDS. Periode rata-rata mulai dari infeksi HIV hingga
mencapai AIDS adalah 8-10 tahun dengan penurunan limfosit T CD4+ sekitar
50-100 sel/μL pertahunnya. Jumlah limfosit T CD4+ yang telah turun di
bawah 50 sel/μL merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan pasien
umumnya akan mengalami kematian.

2.3 Pencegahan Infeksi Oportunistik


2.3.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering (40%) pada
infeksi HIV dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada ODHA.
Infeksi TB dan HIV saling berhubungan, HIV menyebabkan progresivitas
infeksi TB menjadi TB aktif, sebaliknya infeksi TB membantu replikasi dan
penyebaran HIV serta berperan dalam aktivasi infeksi HIV yang
laten.Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit
TB karena mempunyai sistem imun yang baik, dan dikenal sebagai infeksi
TB laten. Infeksi TB laten tersebut tidak infeksius dan asimtomatis, namun
dengan mudah dapat berkembang menjadi TB aktif pada orang dengan
sistem imun yang menurun, seperti pada ODHA.
Pasien TB dengan HIV positif atau ODHA dengan TB disebut
sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah
pasien ko-infeksi TB- HIV di dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan
3 juta pasien terdapat di Asia Tenggara. Epidemi HIV sangatlah
berpengaruh pada meningkatnya kasus TB sehingga pengendalian TB tidak
akan berhasil dengan baik tanpa upaya pengendalian HIV.
Sebagian besar infeksi TB menyerang jaringan paru, namun dapat
juga menyerang organ lain yang disebut TB ekstraparu. Gejala klinis TB
paru adalah batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih yang dapat disertai darah,
sesak nafas, badan lemas, berat badan menurun, malaise, keringat malam
dan demam meriang lebih satu bulan. Gejala klinis TB paru pada ODHA
sering kali tidak spesifik, yang sering ditemukan adalah demam dan
penurunan berat badan yang signifikan (> 10%). Gambaran radiologis dada

6
dapat dijumpai infiltrat fibronoduler pada lobus paru atas dengan atau tanpa
kavitasi.
Infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4+ berapapun, namun
pasien dengan jumlah CD4+ <200cells/μl memiliki risiko yang lebih tinggi
sehingga direkomendasikan pemberian ART dan obat anti TB (OAT).5,8
Penanganan ko- infeksi TB-HIV selalu mendahulukan terapi TB sebelum
inisiasi ART dengan pertimbangan menghindari interaksi OAT dengan
ARV, toksisitas obat, kepatuhan minum obat dan juga mencegah terjadinya
IRIS.. Radiografi dada pada pasien ko-infeksi TB-HIV. Gambar kiri
menunjukkan adanya infiltrat dengan kavitasi pada lobus kanan atas.
Gambar kanan menunjukkan adanya infiltrat bilateral tanpa kavitasi.
Pencegahan paparan terhadap infeksi TB di fasilitas pelayanan
kesehatan dapat dilakukan dengan menempatkan pasien TB atau yang
dicurigai TB secara terpisah dari pasien lain terutama pasien HIV. Pusat
pelayanan kesehatan, pelayanan paru rumah sakit, lembaga
permasyarakatan, penampungan tuna wisma atau populasi imigran tertentu
dapat menjadikan pasien berisiko tinggi terpapar M. tuberculosis. Pasien
dapat dikonseling mengenai risiko aktivitas tersebut dan manfaat
penggunaan masker untuk mencegah penularan.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memberikan terapi
pada infeksi TB laten. Pasien HIV yang pertama kali diidentifikasi, harus
dites akan adanya infeksi M. tuberculosis, salah satunya dengan tes kulit
tuberkulin (tuberculin skin test/TST). Semua pasien HIV, tanpa
mempertimbangkan umur, dengan hasil tes positif untuk infeksi M.
tuberculosis namun tanpa adanya bukti TB aktif dan tanpa riwayat terapi
untuk TB aktif atau laten harus diterapi sebagai infeksi TB laten. Terapi
pilihan untuk TB laten adalah isoniazid 300 mg/hari peroral (PO) selama 9
bulan, dengan efektivitas dan tolerabilitas yang baik serta toksisitas yang
jarang. Rejimen alternatif dapat menggunakan rifampin 600 mg/hari PO
atau rifabutin selama 4 bulan. Kombinasi rifampin ditambah pirazinamid
selama 2 bulan telah terbukti bermanfaat, namun didapatkan

7
hepatotoksisitas berat dan kematian pada beberapa pasien HIV yang
mendapatkan rejimen ini, sehingga rejimen ini tidak dipergunakan.
Pencegahan relaps atau rekurensi dengan terapi pemeliharaan
jangka panjang tidak diperlukan karena TB jarang kambuh setelah
menyelesaikan rejimen terapi secara lengkap, dengan catatan organisme
penyebab sensitif terhadap agen kemoterapi yang digunakan.
2.3.2 Diare Kriptosporidial
Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada
ODHA, yaitu didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan mencapai
90% di negara berkembang. Parasit protozoa Kriptosporidium menjadi
patogen utama dari diare kronis pada kelompok tersebut, dengan penyebab
terbanyak adalah Cryptosporidium parvum (71.4%). Kriptosporidiosis
termasuk dalam penyakit terkait AIDS sesuai panduan CDC yang umumnya
terjadi saat jumlah sel T CD4+ <200cells/μL. Gambaran klinis
kriptosporidiosis adalah diare kronis (>1 bulan) dengan kotoran yang cair,
dehidrasi, nyeri perut dan penurunan berat badan.
Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui
penyebaran fekal- oral dari manusia ke manusia atau hewan ke manusia.
Penyebaran ini terjadi melalui kontak langsung atau melalui air yang
terkontaminasi. Anak- anak di pusat penitipan merupakan salah satu
reservoir, begitu pula dengan kucing dan anjing yang masih kecil.
Didapatkan pula wabah kriptosporidiosis terkait air minum publik dan
kolam renang, yang diperkirakan karena parasit sangat resisten terhadap
klorinasi. Kontak seksual, terutama kontak yang melibatkan hubungan
rektal, juga merupakan cara penyebaran organisme ini.
Pasien HIV dapat mengurangi kemungkinan terkena kriptosporidia
dengan menghindari paparan terhadap sumber penularan tersebut. Pasien
harus waspada bahwa banyak dari sumber air yang dapat terkontaminasi
sehingga direkomendasikan untuk merebus air sebelum diminum.
2.3.3 Kandidiasis Mukokutaneus

8
Spesies Kandida merupakan komensal yang sangat umum, dan
didapatkan pada 75% populasi dari rongga mulut maupun saluran genitalia.
Kandidiasis orofaringeal merupakan IO tersering pada penderita HIV,
mencapai 80-90% kasus pada masa pre-ART. Sebagian besar kasus
disebabkan oleh Candida albicans dan paling sering didapatkan pada jumlah
sel T CD4+ <200 cells/μL. Hasil penelitian di Rumah Sakit dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta mendapatkan bahwa IO yang tersering adalah
kandidiasis orofaringeal (80,8%), demikian juga di RSUP dr. Kariadi
Semarang yang mendapatkan kandidiasis orofaringeal pada 79% kasus.
Kandidiasis orofaringeal bermanifestasi sebagai plak atau patch
berwarna putih seperti krim yang dapat dikerok dengan punggung skalpel
dan menampakkan jaringan mukosa berwarna merah cerah di bawahnya.
Manifestasi ini disebut sebagai pseudomembran dan paling sering
didapatkan pada palatum durum, mukosa gusi atau bukal serta permukaan
dorsal lidah.
Kandida sangat banyak terdapat di lingkungan. Semua manusia
dikolonisasi oleh organisme ini sehingga pencegahan paparan Kandida
bukan merupakan langkah yang akan berhasil untuk mengurangi insiden
penyakit Kandida. Kandida yang resisten flukonazol sering ditemukan pada
tempat pelayanan kesehatan, sehingga perlu penggunaan barrier pencegahan
untuk mengurangi superinfeksi pada pasien.
Kemoprofilaksis primer dengan flukonazol efektif untuk
menurunkan frekuensi kandidiasis namun pemberian jangka panjang
berbiaya mahal, terkait dengan toksisitas dan interaksi obat serta
menyebabkan terbentuknya ragi yang resisten azol.4 Tambahan pula,
Kandida hampir tidak pernah menyebabkan penyakit invasif. Kandidiasis
mukosal dapat diterapi dengan segera pada sebagian besar kasus, sehingga
sebagian besar klinisi tidak merekomendasikan profilaksis primer untuk
kandidiasis.26
Terapi pemeliharaan jangka panjang setelah kandidiasis akut
membaik juga tidak direkomendasikan oleh sebagian besar ahli dengan

9
alasan yang sama. Profilaksis sekunder dengan flukonazol atau itrakonazol
dapat dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami relaps atau
dengan penyakit sangat berat.
2.3.4 Ensefalitis Toksoplasmik
Komplikasi kelainan neurologi pada pasien HIV didapatkan lebih
dari 40%, dengan angka kematian yang sangat tinggi. Penelitian di RS
Saiful Anwar Malang tahun 2013-2014 mendapatkan penyebab kelainan
neurologi tertinggi pada HIV adalah toksoplasma serebri (39,1%), yang
sesuai dengan hasil penelitian di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta (toksoplasmosis pada 31% kasus). Toksoplasmosis serebri adalah
penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa Toxoplasma gondii varian
gondii atau gatii di dalam sistem saraf manusia. Organisme ini merupakan
parasit intraselluler yang menyebabkan infeksi asimptomatik pada 80%
manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya pada penderita HIV/AIDS.
Ensefalitis merupakan manifestasi utama toksoplasmosis dan paling sering
berasal dari reaktivasi infeksi laten. Toksoplasmosis merupakan penyebab
infeksi SSP yang sering pada pasien HIV/AIDS dan biasanya didapatkan
pada jumlah CD4+ <200 sel/μL. Gejala klinisnya meliputi demam, nyeri
kepala dan defisit neurologis fokal.
Toxoplasma gondii ditularkan ke manusia melalui tertelannya
daging yang tidak dimasak dengan matang atau dengan tertelannya ookista
pada kotoran kucing secara tidak sengaja (Gambar 4). Sebagian besar
penyakit pada manusia muncul akibat reaktivasi infeksi laten, walaupun
beberapa kasus terjadi akibat infeksi akut yang didapat saat dewasa. Pasien
HIV dapat mengubah perilaku mereka untuk mengurangi risiko paparan
Toksoplasma dengan memakan daging yang benar-benar matang dan
menghindari kontak dengan kotoran kucing yang berisiko infeksi.
Pasien yang terinfeksi HIV harus dites antibodi IgG terhadap
Toksoplasma untuk mendeteksi adanya infeksi laten. Individu yang
seropositif merupakan kandidat kemoprofilaksis saat jumlah limfosit T
CD4+ turun <100 sel/μL dengan pilihan terapi berupa kotrimoksazol (TMP-

10
SMX) sediaan forte (960 mg) sekali sehari PO. Alternatif terapi dapat
digunakan dapson 50 mg/hari PO + pirimetamin 50 mg/hari PO, atau
atovakuon 1500 mg/hari PO, dengan/tanpa pirimetamin 25 mg/hari PO.
Berdasarkan pandangan praktis, keputusan mengenai profilaksis
Toksoplasma sangat dipengaruhi oleh profilaksis PCP, yang tercetus pada
jumlah sel T CD4+ yang lebih tinggi (<200 sel/μL). Profilaksis terhadap
toksoplasmosis dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah
menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+ yang meningkat
>200 sel/μL paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan
kembali bila jumlah limfosit T CD4+ selanjutnya turun di bawah 100
sel/μL.
Profilaksis sekunder atau terapi pemeliharaan jangka panjang untuk
toksoplasmosis menggunakan TMP-SMX 960 mg/hari PO atau pirimetamin
25-50 mg/hari PO + klindamisin 3-4 x 300-450mg/hari PO + asam folinat
dan harus dilanjutkan seumur hidup selama CD4+ <200 sel/μL. Terapi dapat
dihentikan bila pasien telah menerima paling sedikit 6 minggu terapi
antitoksoplasma, lesi bersifat stabil serta jumlah limfosit T CD4+ meningkat
>200/mm3 selama paling sedikit ≥6 bulan. Profilaksis harus diberikan
kembali bila jumlah limfosit T CD4+ turun di bawah 200 sel/μL.
Pemberian ART menurunkan insiden ensefalitis toksoplasmik dan
harus segera dimulai begitu pasien stabil secara klinis (biasanya sekitar 2
minggu setelah mendapat terapi toksoplasma untuk menurunkan risiko
IRIS).
2.3.5 Pneumonia Pneumocystis
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur
Pneumocystis jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan. Taksonomi
organisme ini telah berubah, yang awalnya dikenal dengan sebutan
Pneumocystis carinii saat ini hanya ditujukan untuk pneumosistis yang
menginfeksi binatang pengerat. Spesies yang menginfeksi manusia diberi
nama Pneumocystis jirovecii, walaupun untuk singkatannya masih
digunakan istilah PCP seperti sebelumnya.

11
Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-kanak
awal dan PCP terjadi akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau akibat
paparan baru melalui udara. Gambaran klinis PCP terkait HIV berupa
demam, batuk tidak berdahak dan dispnea. Radiografi dada merupakan
landasan diagnostik dan menunjukkan opasitas bilateral, simetris, interstitial
atau granuler.
Insiden PCP telah menurun signifikan sejak digunakannya
profilaksis dan ART secara luas. Sebelumnya, PCP didapatkan pada 70-80%
pasien dengan AIDS dengan angka mortalitas 20-40% walaupun telah
mendapat pengobatan. Hampir 90% kasus terjadi pada jumlah sel T CD4+
<200 sel/μL atau <14%.42 Faktor lain yang terkait dengan peningkatan
risiko PCP meliputi episode PCP sebelumnya, kandidiasis oral, pneumonia
bakteri rekuren, penurunan berat badan serta viral load plasma yang tinggi.
Infeksi P. jiroveci terutama menyebar dari manusia ke manusia, walaupun
mungkin terdapat sumber di lingkungan. Pencegahan paparan dapat
diupayakan dengan mengisolasi pasien HIV yang rentan dari individu yang
menderita PCP walaupun keefektifannya belum diketahui.
Kemoterapi telah terbukti mencegah PCP dan memperpanjang
kelangsungan hidup pada pasien HIV. Pasien dengan jumlah sel T CD4+
<200 sel/mm3 atau <14%, serta pasien dengan riwayat PCP dan kandidiasis
orofaringeal harus diberi kemoprofilaksis PCP.
Kotrimoksazol forte (960 mg) PO satu tablet perhari merupakan
agen profilaksis pilihan. Agen ini lebih efektif dibandingkan agen lainnya,
dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki aktivitas profilaksis tambahan
terhadap toksoplasma dan beberapa bakteri termasuk Salmonella spp. dan
Streptococcus pneumoniae. Pasien yang tidak dapat mentoleransi TMP-
SMX dan bila toksisitas tidak mengancam jiwa, seringkali dapat dengan
sukses melalui desensitisasi bertahap dengan rejimen oral.
Dapson 2x50 mg/hari PO atau dapson 50 mg/hari + pirimetamin 50
mg/minggu PO merupakan alternatif TMP-SMX yang memiliki
keberhasilan tinggi. Pentamidin aerosol 300 mg/bulan dan atovakuon 1.500

12
mg/hari PO juga dapat menjadi alternatif, namun pentamidin memerlukan
fasilitas khusus dan menginduksi batuk, sedangkan atovakuon mahal dan
absorpsinya tergantung makanan. Profilaksis terhadap PCP dapat
dihentikan dengan aman bila pasien telah menunjukkan respon terhadap
ART dengan jumlah CD4+yang meningkat >200 sel/μL paling sedikit
selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T
CD4+ selanjutnya turun di bawah kadar tersebut. Profilaksis sekunder harus
dilanjutkan seumur hidup pada pasien HIV yang bertahan hidup setelah
episode PCP, kecuali bila pasien memulai ART dan jumlah limfosit T CD4+
meningkat >200 sel/mm3 selama ≥3 bulan. Profilaksis PCP harus diberikan
kembali bila jumlah limfosit T CD4+ turun di bawah 200 sel/mm3 akibat
kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya
jumlah sel T CD4 pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan
pencegahan dan penatalkasanaan yang tepat. Lima jenis infeksi oportunistik
yang paling sering terjadi di Indonesia adalah tuberkulosis, diare
kriptosporidial, kandidiasis mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta
penumonia Pneumocytis. Intervensi yang paling berpengaruh terhadap infeksi
oportunistik adalah pemberian ART, disamping terapi antimikrobial spesifik
untuk infeksi oportunistik. Angka kejadian infeksi oportunistik menurun
sejak diperkenalkannya ART yang efektif dan diimplementasikannya
profilaksis infeksi oportunistik sehingga meningkatkan harapan dan kualitis
hidup penderita HIV. Pemberian ART di sisi lain juga berpotensi
menimbulkan IRIS sehingga perlu dpertimbangkan dalam menentukan
dimulainya rejimen Art, terutama pada pasien yang juga mendapat terapi
spesitfik untuk infeksi oportunistik yang dialami.
3.2 Saran
Dari penulisan makalah ini penulis berharap bahwa pengetahuan
tentang infeksi oportunistik dapat bertambah terkait dengan pengertian,
patogenesis, serta cara pencegahannya. Semoga penulisan makalah ini dapat
bermanfaat untuk dijadikan bahan pembelajaran untuk kedepannya.

14
Bibliography
Asis, N. P., & dkk. (2020). Pengaruh Stadium HIV Infeksi Oportunistik,
Penggunaan Antiretroviral dan Antibiotik pada Pasien HIV di Rumah
Sakit X Kota Malang. Jurnal Keperawatan HIV, 8-18.
Nasution, S. I. (2020). Karakteristik Infeksi Otak Oportunistik pada Penderita
HIV di RSUP Dr. M. Hoesin Palembang. Palembang: Sriwijaya
University.
Ningsih, F. H., & dkk. (2020). Kesejahteraan Spiritual dengan Kejadian Infeksi
Oportunistik pada ODHA. Jurnal Keperawatan Silampari, 66-76.
Simanjuntak, F. G. (2019). Hubungan Asupan Vitamin A dan Vitamin C dengan
Infeksi Oportunistik pada Orang dengan Human Immunodeficiency Virus
(ODHIV) di Balai Rehabilitasi Sosial Bahagia Medan. Medan: Poltekkes
Medan.
Zahra, A. L. (2020). Prevalensi Infeksi Parasit Usus Cryptosporidium Parvum
pada Tinja Pasien HIV RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode September
2018-April 2019. Surabaya: Universitas Airlangga.

15

Anda mungkin juga menyukai