Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

KONSEP PENYAKIT & ASKEP PADA ANAK : AIDS,DHF(DENGUE HAEMOROGIC

FEVER),SLE (SYISEMATIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)

DOSEN PEMBIMBING :

KELOMPOK 8

DISUSUN OLEH :

1. IKHSAN TABAH PERMANA 205140025

2. LISIPTARI 205140020

3. CHINDY WANDINI 205140013

4. DESNA LIANI 205140026

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MITRA INDONESIA

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah karena
berkat kemurahan-Nya makalah Konsep Penyakit Dan Asekep pada anak : AIDS,DHF,SLE.
dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan.

Kami menyadari, bahwa proses penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik
materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh
karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan
usulan guna penyempurnaan makalah ini di kemudian hari.

Kami sadari pula, bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang................................................................................................................1
Rumusan Masalah...........................................................................................................2
Tujuan Penulisan.............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Definisi AIDS.................................................................................................................3
Definisi DHF...................................................................................................................8
Definisi SLE..................................................................................................................14
Askep AIDS,DHF..........................................................................................................17

BAB III PENUTUP


2.5 Kesimpulan.....................................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan pasien
memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn,
M.H.1996:601)

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue,
sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk
Aedes Aegypti (betina). DHF terutama menyerang anak remaja dan dewasa dan seringkali
menyebabkan kematian bagi penderita (Christantie Effendi, 1995).

Penyakit lupus(SLE) merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana
tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal,
hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan
bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi AIDS ?
2. Bagaimana Definisi DHF ?
3. Bagaimana Definisi SLE?

Tujuan Penulisana

4. Memahami Definisi AIDS

5. Memahami Definisi DHF

6. Memahami Definisi SLE


BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA

(AIDS)

A.Definisi AIDS
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan alamiah melawan
bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel limfosit T (sel-T). (Tambayong,
J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan pasien
memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn,
M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan kekebalan yang dapat
mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus tertentu yang
bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang
dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.

B.Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki limfosit T
helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik lain dan orang itu
mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan
oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia
(Pustekkom, 2005).

C.PATOFISIOLOGI
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering simtomatik,
disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada replikasi viral, selama individu
biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun sitomatik progresif, dengan peningkatan
replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun
tampak pada saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun
simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV, dihubungkan dengan
peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4
yang berlebihan dan infeksi aportunistik.

Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “ priode inkubasi “ atau
interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada infeksi perinatal
dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak
pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi
antibody nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa,
sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen
baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen
sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV
pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi
dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit
yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4
terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan menderita
imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan perkembangan system saraf pusat
menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.
D.Tanda Dan Gejala
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis
dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak
tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian
imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter
spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan
jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal
masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu,
pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi
dapat membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting
untuk merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila
mungkin menggunakan parameter yang ditegakkan dari observasi bayi tak
terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen
Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang,
hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai
nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2
bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang terdiagnosis dengan infeksi
HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini, kebergunaannya sebagai tanda
awal infeksi dicoba oleh studi the European Collaborativ pada bayi yang lahir dari
ibu yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi
memperlihatkan tanda dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan
angka yang lebih rendah diantara bayi yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini,
kondisi yang didiskriminasi paling baik antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi
adalah kandidiasis kronik, parotitis, limfadenopati persistem, hepatosplenomegali.

E.Diagnosis
Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan
awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada
perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan
bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan
konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan.
Menetapnya antibody terhadap HIV yang didapat secara transplasenta pada
bayi merupakan komplikasi pemakaian uji antibody konversional dalam
mendignosis infeksi HIV pada masa bayi. Karena antibodi seperti ini dapat
menetap dalam sirkulasi bayi yang tidak terinfeksi selama 18 bulan, diagnosis
infeksi pada bayi beresiko memerlukan biakan virus dari bayi (biakan HIV), atau
adanya antigen HIV (antigen p24) atau asam nuclear viral-[reaksi rantai
polymerase HIV (PCR)]. Uji virolegi dengan PCR atau biakan HIV darah perifer
dapat diharapkan menegakkan atau menyingkirkan (95% dapat dipercaya)
diagnosis infeksi HIV pada usia 3 sampai 6 bulan. Uji-uji ini jika dilakukan
dengan tepat mempunyai angka positivitas palsu rendah yang dapat diterima dan
dapt diandalkan untuk menegaskan infeksi pada semua usia. Sensitivitas pada
tiap-tiap tes lebih rendah pada priode parinatal, membuat diperlukannya tes serial.
Untuk memonitor secara prospektif bayi yang beresiko, uji firologi diagnostic
dianjurkan sekurang-kurangnya 2 kali dalam 6 bulan pertama. Sebagai orang tua
diberitahukan bahwa anaknya terinfeksi, konfirmasi dan tinjauan semua uji
laboratorium dianjurkan.
Bila bayi atau anak tanpa factor resiko yang dikenali untuk infeksi HIV
tampak dengan gambaran atau tanda yang cocok dengan defisiensi imun,
diagnosis HIV harus dijalankan bersama defisiensi imun lain. Kenyataan bahwa
infeksi HIV akhir-akhir ini merupakan penyebab utama defisiensi imun pada anak
yang lebih mudah membantu saat membersihkan konseling orang tua berkenang
dengan uji serologi.
Pada anak berusia 18 bulan sampai masa remaja, tes serologi yang positif
yang dikonfirmasi untuk antibody terhadap HIV (ELISA dan bekuan Western atau
tes konfirmasi lain) biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV.
Beberapa persen bayi tidak terinfeksi dari ibu yang terinfeksi HIV akan memiliki
antibody yang berasal dari ibu yang dideteksi, sehingga konfirmasi virologi
diharapkan. Kesukaran lain yang jarang dalam diagnosi yang didasarkan pada
serologi saja adalah bayi yang terinfeksi HIV yang tidak menghasilkan antibody
spesifik HIV dan keadaan yang tidak lazim pada bayi terinfeksi yang menjadi
seronegatif setelah pencucian antibody meternal sebelum menghasilkan antibody
itu sendiri.

F. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai
oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,
kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan
gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di
balik sternum (nyeri retrosternal).
2. Neurologik
• ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit
kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik,
apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan
dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong,
hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan
kematian.
• Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise,
kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis
ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
1. Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui
untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10%
dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang
kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang
dapat menjelaskan gejala ini.
 Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
 Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik,demam atritis.
 Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi
infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare
(MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,
gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes
zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri
dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus
yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis
sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai
kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan
dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
6. Sensorik
 Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan
 Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

G.Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV.
Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan
latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau
tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes
lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase
chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes
antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
 ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
 Western blot (positif)
 P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
 Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi
enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
 LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
 CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi
terhadap antigen)
 Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
 Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit).
 Kadar immunoglobulin (meningkat)
H. Penatalaksanaan
1) Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
 Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
 Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang
ada
 Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim
RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA
HIV
 Mengatasi dampak psikososial
 Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit,
dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
 Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

I.Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan
dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi
dan status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda
supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan
tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun
dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau
persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002).
J . Pencegahan
infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan akan memengaruhi
epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang dapat diketahui.
Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV adalah target
esensial untuk usaha mengurangi perilaku resiko, terutama diantara remaja. Untuk
dokter spesialis anak, kemampuan member konsultasi pada pasien dan keluarga
secara efektif mengenai praktik seksual dan penggunaan obat adalah aliran utama
usaha pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan tersedia dari The American
Medical Assosiation dan The American Academy of Pediatrics yang dapat
membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan kompetensi yang lebih
besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan
tepat dengan pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua
harus menekan pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil.
Rekomendasi ini penting karena uji coba pengobatan mutakhir
menunjukkan bahwa protocol pengobatan bayi menggunakan obat yang
sama selama beberapa minggu secara signifikan mengurangi angka
transmisi dari ibu ke bayi.

K.Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan
pada anak dengan HIV antara lain:
1) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret
sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2) Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan
diare
4) Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan
motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
5) Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis
seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
6) Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh,
adanya organisme infeksius dan imobilisasi
7) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
8) Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
9) Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit
(misal: ensefalopati, pengobatan).
10) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup.

L. Intervensi Keperawatan
Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV
antara lain
(Rencana Keperawatan Terlampir)
Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
oleh seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita infeksi HIV
antara lain :
1. Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun kontak
biasa dari orang ke orang tidak menularkan HIV
2. Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau
cairan tubuh lain dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks bila
akan terpajan darah atau cairan tubuh, pakai masker dengan pelindung
mata jika ada kemungkinan terdapat aerosolisasi atau terkena percikan
darah atau cairan tubuh, cuci tangan setelah terpajan darah atau cairan
tubuh dan sesudah lepasa sarung tangan, sampah-sampah yang
terrkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong plastik limbah
khusus.
3. Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak rendah
dengan cara lakukan skrining infeksi, tempatkan anak bersama anak yang
non infeksi dan batasi pengunjung dengan penyakit infeksi.
4. Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau pertumbuhan
(tinggi badan, berat badan, lingkar kepala
5. Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat
kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan
6. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila
terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi, ajarkan pada anak dan keluarga
memberitahu dokter tentang adanya efek samping
7. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan tindak
lanjut : nama dan nomor telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain
yang sesuai, tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak
lanjut

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang belum
terinfeksi HIV antara lain :
1. Ibu jangan melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan tanpa
kondom
2. Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum suntik secara
bersama secara bergantian atau tercemar darah mengandung HIV.
3. Tranfusi darah melalui proses pemeriksaan terhadap HIV terlebih dahulu.
4. Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses melahirkan
spontan/normal sebaiknya tidak menyusui bayi dengan ASInya
5. HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan berpelukan
(kontak sosial), berciuman (melalui air liur), keringat, batuk dan bersin,
berbagi makanan atau menggunakan peralatan makan bersama, gigitan
nyamuk atau serangga lain, berenang bersama, dan memakai toilet
bersama sehingga tidak perlu takut dan khawatir tertular HIV.
(DHF)

A.Definisi Dengue Haemorrhagic Fever(DHF)

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh


virus dengue, sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh
penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). DHF terutama
menyerang anak remaja dan dewasa dan seringkali menyebabkan kematian bagi
penderita (Christantie Effendi, 1995).

B.Gambaran klinis

Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan


masa inkubasi antara 13 – 15 hari. Penderita biasanya mengalami demam akut
(suhu meningkat tiba-tiba) sering disertai menggigil, saat demam pasien
composmentis. (Nelson. 1997)

Gejala klinis lain yang timbul dan sangat menonjol adalah terjadinya
perdarahan pada saat demam dan jarang pula dijumpai saat penderita mulai bebas
dari demam. Perdarahan yang terjadi dapat berupa :

 Perdarahan pada kulit (ptekie, ekimosis, hematom)


 Perdarahan lain seperti epistaksis, hematemesis, hematuri dan melena.
Selain demam dan perdarahan yang merupakan ciri khas DHF, gambaran
klinis lain yang tidak khas dan biasa dijumpai pada penderita DHF adalah :

 Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu


menelan.
 Keluhan pada saluran pencernaan : mual, muntah, tidak nafsu makan
(Anoreksia), diare, konstipasi.
 Keluhan sistem tubuh yang lain : nyeri atau sakit kepala, nyeri pada
otot, tulang dan sendi, (break bone fever), nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati,
pegal-pegal pada seluruh tubuh, kemerahan pada kulit, kemerahan (fushing) pada
muka, pembengkakan sekitar mata, kakrimasi dan fotophobia, otot-otot sekitar
mata sakit bila disentuh dan pergerakan bola mata terasa pegal. (Mansjoer, A.
2000)

C.Klasifikasi

DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi


menjadi (WHO, 1986) :

1. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan uji torniquet (+),
trombositopenia dan hemokonsentrasi.

2. Derajat II
Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau di tempat lain.

3. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah
(hipotensi), gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung dan ujung jari (tanda-tanda dini
renjatan).

4. Derajat IV
Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

D.Patofisiologi
Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma
ke ruang ekstra seluler. Hal pertama yang terjadi setelah masuk ke dalam tubuh
penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit
kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik merah
pada kulit (ptekie), hiperemi tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi
seperti pembesaran getah bening, pembesaran hati (hepatomegali) dan
pembesaran limpha (splenomegali). (Tjokronegoro Arjatmo, Utama Hendra,
1996.

E.Pemeriksaan penunjang

Untuk menegakkan diagnosa DHF, perlu dilakukan berbagai pemeriksaan


Lab, antara lain pemeriksaan darah dan urine serta pemeriksaan serologi. Pada
pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai:

 Ig G dengue positif
 Trombositopenia
 Hemoglobin meningkat > 20%
 Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat)
 Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan : hipoproteinemia,
hiponatremia, hipokloremia.(Mansjoer, A. 2000)

F.Penatalaksanaan

1. Tirah baring
2. Diet makan lunak
3. Minum banyak (2 - 2,5 liter/24 jam) dapat berupa susu, teh manis, sirup dan beri
penderita oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi
penderita DHF.
4. Pemberian cairan intravena (biasanya Ringer Laktat, NaCl faali). Ringer Laktat
merupakan cairan intravena yang paling sering digunakan, mengandung Na + 130
mEg/l, K+ 4 mEg/l, korektor basa 28 mEg/l, Cl- 109 mEg/l, dan Ca++ 3 mEg/l.
5. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernapasan). Jika kondisi
pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
6. Periksa Hb, Ht dan Trombosit setiap hari.
7. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin, dan
dipiron (kolaborasi dengan dokter).
8. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9. Pemberian antibiotika bila terdapat kekhawatiran infeksi sekunder (kolaborasi
dengan dokter).
10. monitor tanda-tanda dini renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda
vital, hasil-hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11. Bila timbul kejang dapat diberikan diazepam (kolaborasi dengan dokter).

G. Data yang dikaji

Data Subyektif :

 Lemah
 Panas/demam
 Sakit kepala
 Anoreksia (tidak nafsu makan) : mual, muntah, haus, sakit sakit saat
menelan.
 Nyeri ulu hati
 Nyeri pada otot dan sendi
 Pegal-pegal pada seluruh tubuh
 Konstipasi (sembelit)
Data Obyektif

 Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan (flushing)


 Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor (kadang-kadang)
 Tampak bintik merah pada kulit (ptekie), uji torniquet positif, epistaksis
(perdarahan hidung), ekimosis, hematoma, hematemesis, melena
 Hiperemia pada tenggorokan
 Nyeri tekan pada epigastrik
 Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limfa
 Pada renjatan (derajat IV) : nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas
dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal

H. Diagnosa keperawatan

1. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan penyakit (viremia).


2. Potensial terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
3. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan mekanisme patologis (proses
penyakit).
5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan
pasien selama sakit berhubungan dengan kurangnya informasi. (Lynda Juall
Carpenito, 1999).
(SLE)

A.DEFINISI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)


1. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall, 1998) .
2. SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang
multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan
penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi
dalam tubuh. (Albar, 2003)
3. Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit
auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah
arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
4. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak
jelas etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat
autoantibodi dan kompleks imun yang ditunjukkan kepada salah satu
atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit ini pada wanita usia
subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan hidup 10 dan 20
tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi,
kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (end-organ), dan penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian. (Kenneth J.
Leveno, dkk, 2009).

B. EPIDEMIOLOGI
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia
(Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-
beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003).
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika –
Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.
Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan
insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi
penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi
yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan
pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai
prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus
per 100.000 populasi.

C. ETIOLOGI
 Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam
kerentanan penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE memiliki
kerabat dekat yang menderita SLE juga.
 Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di
daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun
di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
 SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang memiliki gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan degan protein tubuh.
Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring
benda asing tersebut. (Herfindal et al, 2000)
 Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem
imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral
sehingga mengaktivasi sel B limfosit non spesifik yang akan memicu
terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)
D. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara lain: faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.

E. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus >> Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit
lupus yang menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram
dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan
folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di
bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap
(Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus >> Adalah penyakit lupus yang
menyerang kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi,
darah, paru-paru, ginjal, hati otak dan sistem saraf. SLE merupakan
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem
imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998)
3. Lupus yang diinduksi oleh obat >> Lupus yang disebabkan oleh
induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini
direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian
obat dihentikan (Herfindal et al., 2000).
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE
adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan (Hahn, 2005).
1. Sistem Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis),
pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa
kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.
4. Sistem pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE,
mungkin disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang
dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan
adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril
atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang
mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan
pankreatitis.
5. Sistem pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering
terjadi daripada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp.
dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian
terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur,
tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
6. Sistem vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang
menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
7. Sistem perkemihan >> Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus
SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria.
Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi;
hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan
kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis
penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis
penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis
biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan
fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa
lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan
fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain
yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik,
tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah
satu penyebab kematian SLE kronik.
Sistem saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan
mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan
psikosis.

G. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara
lain :
 Pemeriksaan Fisik
 Meliputi pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal, integument dan
vaskuler.
 Inspeksi : bentuk kepala, leher dan thorax simetris atau tidak, tampak
bengkak & kemerahan pada metacarpophalangaeal dextra & sinistra
atau tidak, tampak adanya deformitas dan tampak adanya lesi akut
pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi pasien atau tidak. Ada ruam pada
wajah dan leher klien atau tidak.
 Palpasi : raba apa ada pembesaran kelenjar dan terdapat massa atau
tidak, pergerakan nafasnya normal atau tidak, ada nyeri tekan atau
tidak di daerah abdomen dan daerah ekstremitas atas maupun
bawahnya, serta raba ada krepitasi atau tidak pada ekstremitas atas
maupun bawah klien. Ada oedema atau tidak dan suhu teraba hangat
atau tidak.
 Perkusi: suara ketuknya sonor atau timpani.
H.Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap
dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam,
keletihans ecara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis,
pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan
anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostik
 Anti ds DNA
 Batas normal : 70 – 200 iu/mL
 Negatif : < 70 iu/mL
 Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi
merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang
dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi
ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya
mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.
 Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang
lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang
inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil
yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik
untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit
dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit
tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap
SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium
yang lain, jika hasil test posotof maka sebaiknya dilakukan test
laboratorium yang lain tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya
dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien
tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti
RNP/antiribonukleo protein.
Pemeriksaan khusus:
 Biopsi ginjal
 Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular
pada dermaepidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%)
maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).
I.PENATALAKSANAAN
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang
didapatkan remisi yang sempurna). Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu
diet tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin. Beberapa prinsip
dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:
 Monitoring teratur
 Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
 Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan
pemberian sun screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar
matahari
 Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan
antibiotik yang adekuat.
 Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan.
obat – obatan yang biasa digunakan pada SLE adalah sebagai
berikut:
1. Nonsteroid anti inflamatori drugs {NSAIDS} >> NSAIDS berguna
karena kemampuanya sebagai analgesic, antipiretik dan inflamasi.
Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan
arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak
diteliti kegunaannya. Ibuferon idometasin cukup efektif untuk
mengobati SLE dengan arthiritisdan pleuritis, dalam kombinasi
dengan steroid dan antimanalria. Keterbatasan obat ini adalah efek
samping yang lebih sedikit, diharapkan dapat mengatasi hal ini,
saying belum ada penelitian mengenai efektifitasnya pada SLE. Efek
samping dari OAINS adalah: reaksi hipersensivitas, gangguan renal,
retensi cairan, meningitis aseptik.
2. Korticosteroid >> Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui
mekanisme antiinflamasi dan amunosuprefh dari berbagai jenis
steroid yang paling sering digunakan adalah pprednison dan
multipred nisinosolon. Pada SLE yang ringan yang tidak dapat
dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison 2,5 mg
samapai 5 mg,. Dosis ini ditingkatkan 20% 1 sampai 2 minggu
tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan yang
mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan
antimalariatidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE
yang membaik de ngan steroid antara lain: vaskulitis, dermatitis berat
miocarditis, lupus pneumonitis, glomerulonefritis, anemia haomolitik,
neufropati perifer dan kasus lupus.Pada SLE aktif dan berat, terdapat
beberapa regment pembenan steroid:
a. Regmen I : daily oral short acting {predmison, prednisolon,
multiprednisolon} dosis: 1-2mg/kgBB/hari dimulai dari dosis
terbagi, lalu diturunkan secara bertahap sesuai dengan
perbaikan klinis dan laboratories. Regimen ini sangat cepat
mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi
hamatologis atau saraf atau vaskulitis, 3-10 minggu untuk
glumerulonefritis
b. Regimen II : methyprednisolon intravena, dosis : 500-
1000mg/hari, selama 3-5 minggu atau 30 mg/kgBB/hari selama
3 hari. Regimen mungkin sangat cepat mengontrol penyakit
lebih cepat dari pada terapi oral setiap hari, tetapi efek yang
hanyan bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk
terapi SLE jangka lama
c. Regimen III : Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit
ezayhioprine cyclophos phamide.
d. Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan
kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
Antimalaria >> Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai
kulit dan sendi telah lama diketahui dan obat ini telah dianggap
sebagai obat pilihan pertama untuk cara mengganggu pemoresan
antigen dimakrofag dan sel pengaji antigen yang lain dengan
peningkatan PH di dalam vakuolalisosomal. Juga menghamabat dan
mengabsorbsi sinar UV, bebera penelitian melaporkan bahwa
antimalaria dapat menurunkan kolestrol total, HDL, LDL. Pada
penderita SLE yang menerima steroidmaupun yang tidak. Terdapat 3
obat antimalaria yang tersedia, hidroksikolokulin. Dosis
200-400mg/hari, klorokuin dan efek sampingnya lebih ringan. Efek
samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran
pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek samping lain adalah
timbulnya ruam, toksisitas retin dan neurologis
Methoreksat >> Methoreksat adalah antagonis folat yang jika
diberikan dalam dosis untuk penyakit rematik efek
imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat alkilating atau zat
hioprin . methorekxate dosis rendah mingguan 7,5-15mg, efektif
sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita,
terutama pada manifestasi klinis dan muskluskletal.
8. Efek samping yang paling seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus
oral, toksisitas gastrointestinal dan hepaktotoksitas. Untuk
pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes
fungsi ginjal dan hepar pada penderita dengan efek samping
gastrointestinal, pemberian asam folat 5mg tiap minggu akan
mengurangi efek tersebut.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Jadi AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan pasien
memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn,
M.H.1996:601)
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue,
sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk
Aedes Aegypti (betina). DHF terutama menyerang anak remaja dan dewasa dan seringkali
menyebabkan kematian bagi penderita (Christantie Effendi, 1995).

Penyakit lupus(SLE) merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana
tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal,
hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan
bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

ii
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/38504189/LP_KEPERAWATAN_ANAK_II_docx

iii

Anda mungkin juga menyukai