Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

An. A dengan HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)

Disusun untuk memenuhi tugas Departemen Keperawatan Anak yang dibimbing


oleh : Ns. Lilla Maria, M.Kep

Disusun Oleh:

Iis Putri Rambu Padu Leba


2114314901053

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

PROFESI NERS

DEPARTEMEN KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN An. A


dengan HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)

Laporan ini telah disetujui oleh


Pembimbing Profesi Ners

Hari/Tanggal: Kamis, 20 Oktober 2022

Pembim Pembimbi
bing ng Lahan
Institusi

(Yepy
(Ns. Hesti
Lilla Riani, S.
Maria, Kep, Ners)
M.Kep)
NIPTT.
1026070319
NIDN. 9307201789
0709028 79
102
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas “Laporan
Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Hiv” tanpa
halangan apapun. Adapun tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Profesi
Ners Departemen Keperawatan Anak.
Dalam penyusunan tugas ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
sehingga kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah
diberikan. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ns. Andi Surya Kurniawan, S.Kep., M.Kep. selaku Kaprodi Profesi Ners

2. Ns. Lilla Maria., M.Kep. selaku dosen penanggung jawab Profesi Ners
Departemen Keperawatan Anak dan dosen pembimbing kelompok 2 yang
telah berkenan meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan
bimbingan dalam menyusun makalah.

3. Pembimbing lahan (CI) di RSUD Karsa Husada Batu yang memberikan


banyak arahan dan bimbingan selama praktik di lahan.

4. Orang tua kami yang selalu mendoakan dan mendukung.

5. Teman-teman di STIKes Maharani Malang yang telah senantiasa


mendukung dalam penyusunan makalah.
Dalam penyusunan laporan ini, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa laporan
ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini, dan dalam
pembuatan laporan lainnya. Akhir kata, semoga laporan ini dapat berguna bagi
kita semua.

Malang, 20 Oktober 2022

Penyusun
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1  Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,
2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system
kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan
hancurnya sel limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan
kekebalan yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri,
jamur, parasit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai
infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.

1.2  Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan
memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan
sel-sel imunologik lain dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara
bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus
yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia
(Pustekkom, 2005).

1.3  Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan
CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup
limfosit penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun,
juga meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini
tidak pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri;
induksi apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen;
penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan
kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan
kelenjar getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi
HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan
kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir virus
laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke organ, terutama
otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat
viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan
astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari
otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun
sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi
virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut,
sering simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun
pada replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir
gangguan imun sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama
fase asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun tampak
pada saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan
gangguan imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait
HIV, dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan
perubahan pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi
aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir,
meskipun “ priode inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV,
secara umum lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV
dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes,
terutama berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi
antibody nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV
dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidakmampuan
untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara
klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada
infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik.
Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak
berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV
sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS
periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal.
Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang
berbeda dengan dewasa, dan kerentanan perkembangan system saraf pusat
menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.

1.5  Tanda Dan Gejala


Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara
klinis dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis
tidak tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian
imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter
spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan
jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal
masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu,
pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi
dapat membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting
untuk merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila
mungkin menggunakan parameter yang ditegakkan dari observasi bayi tak
terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi
jarang diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For
Diseasen Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan
berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata
(didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak
bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang
terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini,
kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi the European
Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Mereka menemukan
bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan tanda dan gejala yang
tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah diantara bayi
yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling baik
antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis,
limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang
tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada bayi yang
terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi.
PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI
HIV PADA ANAK
Kelas P-O: infeksi intermediate
Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda
infeksi HIV
Kelas P-1: infeksi asimtomatik
Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin
memiliki fungsi imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)
Kelas P-2: infeksi sitomatik
P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal
berkembang,   limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau
diare rekuren atau persistem yang tidak spesifik.
P-2B: penyakit neurologi yang progresif
P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid
P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri
rekuren, kandidiasis oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster
multidermatomal.
P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau
limforma otak
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati,
gangguan hematologi)
Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat
penelitian menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan
berkembang menjadi gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan
menampakkan gejala aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6
bulan, atau menderita infeksi bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4
mungkin normal saat terjadinya PCP.
Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa
derajat kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan
perkembangan, adenopati persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan
keadaan kecacatan, dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama.
Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan berkembang menjadi
AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan “AIDS” merupakan kebergunaan yang
sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi deskriptif infeksi HIV, tetapi
penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya perkembangan
penyakit dan sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan
penyakit. Masing-masing dibahas secara singkat dibawah:
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit
indicator AIDS paling sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi
yang terinfeksi. Usia rata untuk munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan,
meskipun puncaknya sampai usia 3 sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang
berkembang sangat cepat. Tidak seperti reaksi PCP pada orang dewasa, infeksi ini
biasanya merupakan infeksi primer pada anak yang terinfeksi HIV, bergejala
subkutan atau mendadak dengan demam, batuk, takipnea, dan ronki. PCP sulit
dibedakan dengan infeksi paru lain atau usia ini, dan karena trimetoprim-
sulfametoksasol dan kortikosteroid intravena diberikan pada awal perjalanan
penyakit menyebabkan perbaikan yang signifikan, lavese bronkoalveolar
diagnostic harus dipikirkan secara serius pada bayi beresiko dengan gambaran
klinis konsisten. PCP memberikan prognosis yang tidak baik pada awal penelitian
dengan kelangsungan hidup media 1 bulan setelah diagnosis. Saat ini dikenali
bahwa penyakit yang lebih ringan dapat terjadi dan konsisten dengan
kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin PCP dengan trimetoprim-
sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan indikasi untuk bayi dengan
kehilangan limfosit CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi
muda dengan perkembangan gejala terkait HIV yang cepat.
Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial kronik
telah ditentukan pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil,
tetapi terjadi pada sekitar 20% anak yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan
dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kondisi ini ditandai dengan perjalanan kronik
eksa-serbasi intermiten (sering selama infeks respirasi yang terjadi di antara
infeksi atau selama infeksi. Infiltra dada kronik yang terlihat pada sinar-X sering
menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy paru terbuka yang dapat dipercaya
untuk diagnosis definitive. Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama beberapa
tahun, dan beberapa perbaikan pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang
timbul pada infeksi HIV dapat disertai prognosis yang lebih baik, dan sering
terlihat pada kelompok gejala dengan hipergamaglobulinemia yang nyata dan
parotitis.
Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi
bakteri rekuren adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses
internal, atau infeksi tulang dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-anak
dengan AIDS pediatric. Infeksi bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus
rekuren atau kronik, otitis media, dan pioderma masih sering terjadi.
Streptococcus pneumonia merupakan isolate darah yang paling sering pada anak
yang terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif, dan bahkan bakteremia
pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode demam pada anak yang
terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang menganggu
imunitas lain. Gangguan kemampuan untuk menjaga respons antibody yang
efektif dan kurangnya pajanan membuat anak yang terinfeksi HIV rentang
terhadap penyakit bakteri yang lebih setius. Profilaksis dengan immunoglobulin
intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan infeksi bakteri yang serius.
Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV
dapat munculkan tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya,
infeksi ini dalam bentuk ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada
tahun pertaman dengan keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan,
terjadi ensefalopati progresif, dengan kehilangan kejadian yang penting
sebelumnya dan deficit motorik dan kognitif yang berat. Pencitraan saraf dapat
memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba, atau klasifikasi ganglion
basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas pencitraan sering tidak
berkorelasi dengan gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu ditemukan
menyebabkan perbaikan yang dramatic pada beberapa anak dengan deficit
perkembangan saraf; kostikosteroid juga menguntungkan pada laporan terisolasi.
Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV
lanjut terjadi pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu
multifaktorial. Deficit system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam
mengunyah; abnormalitas neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat infeksi
HIV primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan katabolisme yang diinduksi
infeksi sering berperang pada masalah yang menjengkelkan ini.
Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik
memenuhi AIDS, meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric
adalah esofagistis kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks,
Mycobakterium avium. Diantara virus-virus, infeksi CMV diseminata dan lama
pada saluran cerna, dan infeksi virus varisela zoster apitikal, rekuren dan ekstensif
sering terjadi. Walaupun daftar panjang pathogen yang menyebabkan penyakit
berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus respirasi yang lazim,
mencakup virus sinsitial respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang
berkomplikasi.
Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric
sering mengambil bentuk organ yang membesar sedang sampai berat,
transaminitis berfluktuasi. Yang jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang
terjadi pada bayi yang terinfeksi pada tahun pertama, dengan prognosis buruk.
Kelainan hati dapat disebabkan oleh infeksi yang bersama dengan CMV, HCV,
atau HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen infeksius lain. Penyakit
ginjal yang sering terjadi, paling sering bermanifestasi protenuria. Perubahan
mesangial dan glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi
yang paling sering terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat
diperhatikan pada separuh anak semua usia penyakit HIV, meskipun insiden
kardiomiopati simtomatik hanya 12 sampai 20%; efusi pericardial dan gangguan
fungsi ventrikel merupakan kelainan ekokardiografi yang paling sering
ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada pasien ini, terkenanya
vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada yang kanan. Tekanan HIV
langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi bersama dengan virus miotropik
semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena autoimun mencakup
anemia hemolitik positif-coombs dan trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan
kanker sekunder lain jarang pada anak yang terinfeksi HIV.

1.6  Diagnosis
Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan
awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada
perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan
bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan
konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan.
Menetapnya antibody terhadap HIV yang didapat secara transplasenta
pada bayi merupakan komplikasi pemakaian uji antibody konversional dalam
mendignosis infeksi HIV pada masa bayi. Karena antibodi seperti ini dapat
menetap dalam sirkulasi bayi yang tidak terinfeksi selama 18 bulan, diagnosis
infeksi pada bayi beresiko memerlukan biakan virus dari bayi (biakan HIV), atau
adanya antigen HIV (antigen p24) atau asam nuclear viral-[reaksi rantai
polymerase HIV (PCR)]. Uji virolegi dengan PCR atau biakan HIV darah perifer
dapat diharapkan menegakkan atau menyingkirkan (95% dapat dipercaya)
diagnosis infeksi HIV pada usia 3 sampai 6 bulan. Uji-uji ini jika dilakukan
dengan tepat mempunyai angka positivitas palsu rendah yang dapat diterima dan
dapt diandalkan untuk menegaskan infeksi pada semua usia. Sensitivitas pada
tiap-tiap tes lebih rendah pada priode parinatal, membuat diperlukannya tes serial.
Untuk memonitor secara prospektif bayi yang beresiko, uji firologi diagnostic
dianjurkan sekurang-kurangnya 2 kali dalam 6 bulan pertama. Sebagai orang tua
diberitahukan bahwa anaknya terinfeksi, konfirmasi dan tinjauan semua uji
laboratorium dianjurkan.
Bila bayi atau anak tanpa factor resiko yang dikenali untuk infeksi HIV
tampak dengan gambaran atau tanda yang cocok dengan defisiensi imun,
diagnosis HIV harus dijalankan bersama defisiensi imun lain. Kenyataan bahwa
infeksi HIV akhir-akhir ini merupakan penyebab utama defisiensi imun pada anak
yang lebih mudah membantu saat membersihkan konseling orang tua berkenang
dengan uji serologi.
Pada anak berusia 18 bulan sampai masa remaja, tes serologi yang positif
yang dikonfirmasi untuk antibody terhadap HIV (ELISA dan bekuan Western atau
tes konfirmasi lain) biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV.
Beberapa persen bayi tidak terinfeksi dari ibu yang terinfeksi HIV akan memiliki
antibody yang berasal dari ibu yang dideteksi, sehingga konfirmasi virologi
diharapkan. Kesukaran lain yang jarang dalam diagnosi yang didasarkan pada
serologi saja adalah bayi yang terinfeksi HIV yang tidak menghasilkan antibody
spesifik HIV dan keadaan yang tidak lazim pada bayi terinfeksi yang menjadi
seronegatif setelah pencucian antibody meternal sebelum menghasilkan antibody
itu sendiri.

1.7  Komplikasi
1.      Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai
oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,
kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan
gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di
balik sternum (nyeri retrosternal).
2.      Neurologik
•   ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit
kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik,
apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan
dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong,
hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan
kematian.
•   Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise,
kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis
ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
3.      Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang
diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB
> 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan
yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain
yang dapat menjelaskan gejala ini.
  Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
  Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
  Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-
gatal dan diare.
4.      Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi
infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare
(MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
5.      Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,
gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes
zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri
dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus
yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis
sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai
kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan
dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
6.      Sensorik
  Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan
  Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

1.8  Pemeriksaan Penunjang


Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji
HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian
Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi
HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western
blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24
(polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka
dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu
HIV.
1.      Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
  ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
  Western blot (positif)
  P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
  Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim
reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2.      Tes untuk deteksi gangguan system imun.
  LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
  CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi
terhadap antigen)
  Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
  Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit).
  Kadar immunoglobulin (meningkat)

1.9  Penatalaksanaan
1)      Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
  Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah
kemungkinan terjadi infeksi
  Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada
  Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT
dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
  Mengatasi dampak psikososial
  Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan
prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
  Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

1.10          Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan dengan
menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi dan status klinik
dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda supresi sedang dan 3) tanda
supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan tanda dan gejala ringan tetapi tanpa
bukti adanya supresi imun dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada
jumlah CD$ atau persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden,
2002).
Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan
terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan
pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan Zalcitacin (DDC)
adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah, Videks dan
DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem saraf pusat. Trimetoprin
sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin digunakan untuk pengobatan
dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan sekali berguna untuk mencegah
infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi
disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin
poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV)
(Betz dan Sowden, 2002).

1.11          Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan
akan memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang
dapat diketahui. Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV
adalah target esensial untuk usaha mengurangi perilaku resiko, terutama diantara
remaja. Untuk dokter spesialis anak, kemampuan member konsultasi pada pasien
dan keluarga secara efektif mengenai praktik seksual dan penggunaan obat adalah
aliran utama usaha pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan tersedia dari
The American Medical Assosiation dan The American Academy of Pediatrics
yang dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan kompetensi
yang lebih besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat
dengan pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua harus
menekan pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi ini
penting karena uji coba pengobatan mutakhir menunjukkan bahwa protocol
pengobatan bayi menggunakan obat yang sama selama beberapa minggu secara
signifikan mengurangi angka transmisi dari ibu ke bayi.
Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1
mengurangi penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan
zidovudin (100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu
kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu pada neonatus
(180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada 26% resipien
palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu perbedaan yang sangat
bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan pedoman untuk
penggunaan zidovudin pada wanita hamil HIV-1 positif untuk mencegah
penularan HIV-1 perinatal. Wanita yang HIV-1 positif, hamil dengan masa
kehamilan 14-34 minggu, mempunyai anak limfosid CD4 +  200/mm atau lebih
besar, dan sekarang tidak berada pada terapi atteretrovirus dianjurkan
menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam
diikuti dengan infus terus menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan
selama proses kelahiran. Pada semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin
untuk mencegah penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg
setiap 6 jam selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir).
Jika ibu HIV-1 positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus dimulai
pada bayi baru lahir sesegera mungkin sesudah lahir, tidak ada bukti yang
mendukung kemajuan obat dalam mencegah infeksi HIV-1 bayi baru lahir
sesudah 24 jam. Ibu dan anak diobati dengan zidovudin harus diamati dengan
ketak untuk kejadian-kejadian yang merugikan dan didaftar pada PPP untuk
menilai kemungkinan kejadian yang merugikan jangka lama. Saat ini, hanya
anemia ringan reversible yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan
pendekatan ini secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang
tepat, dan wanita hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1.
Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup
penghindaran pertukaran cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian integral
program yang mengurangi penyakit yang ditularkan secara seksual. Seks tanpa
perlindungan dengan mitra yang lebih tua atau dengan banyak mitra adalah biasa
pada remaja yang tgerinfeksi HIV-1
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK
DENGAN HUMAN IMMUNIDEFICIENCY VIRUS (HIV)

2.1            Pengkajian
1.       Data Subjektif, mencakup:
a.       Pengetahuan klien tentang AIDS
b.      Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c.       Dispneu (serangan)
d.      Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
2.      Data Objektif, meliputi:
a.       Kulit, lesi, integritas terganggu
b.      Bunyi nafas
c.       Kondisi mulut dan genetalia
d.      BAB (frekuensi dan karakternya)
e.      Gejala cemas
3.      Pemeriksaan Fisik
a.       Pengukuran TTV
b.      Pengkajian Kardiovaskuler
c.       Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal
jantung kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
d.      Pengkajian Respiratori
e.       Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia,
nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f.       Pengkajian Neurologik
g.       Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri otot,
kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan kesadaran,
delirium, meningitis, keterlambatan perkembangan.
h.      Pengkajian Gastrointestinal
i.        Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan,
bercak putih kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis
esophagus, candidisiasis mulut, selaput lender kering, pembesaran hati,
mual, muntah, colitis akibat diare kronis, pembesaran limfa.
j.        Pengkajain Renal
k.      Pengkajaian Muskuloskeletal
l.        Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
m.    Pengkajian Hematologik
n.      Pengkajian Endokrin

4.      Kaji status nutrisi


a.       Kaji adanya infeksi oportunistik
b.      Kaji adanya pengetahuan tentang penularan

2.2              Dapatkan riwayat imunisasi


  Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids
pada anak-anak: exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan
terhadap produk darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang
menunjukan prilaku resiko tinggi.
  Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh,
limfadenopati, hepatosplenomegali
  Infeksi bakteri berulang
  Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys
inter interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru).
  Diare kronis
  Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai
sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan  neurologis abnormal
  Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.

2.3              Diagnosa Keperawatan


Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat
dirumuskan pada anak dengan HIV antara lain:
1)      Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret
sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2)      Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3)      Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan
diare
4)      Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan
motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
5)      Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis
seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
6)      Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh,
adanya organisme infeksius dan imobilisasi
7)      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
8)      Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
9)      Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit
(misal: ensefalopati, pengobatan).
10)  Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup.

2.4              Intervensi Keperawatan


Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan oleh seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita
infeksi HIV antara lain :
1.      Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun kontak
biasa dari orang ke orang tidak menularkan HIV
2.      Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau
cairan tubuh lain dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks bila
akan terpajan darah atau cairan tubuh, pakai masker dengan pelindung
mata jika ada kemungkinan terdapat aerosolisasi atau terkena percikan
darah atau cairan tubuh, cuci tangan setelah terpajan darah atau cairan
tubuh dan sesudah lepasa sarung tangan, sampah-sampah yang
terrkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong plastik limbah
khusus.
3.      Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak rendah
dengan cara lakukan skrining infeksi, tempatkan anak bersama anak yang
non infeksi dan batasi pengunjung dengan penyakit infeksi.
4.      Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau pertumbuhan
(tinggi badan, berat badan, lingkar kepala
5.      Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat
kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan
6.      Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila
terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi, ajarkan pada anak dan keluarga
memberitahu dokter tentang adanya efek samping
7.      Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan tindak
lanjut : nama dan nomor telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain
yang sesuai, tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak
lanjut

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang
belum terinfeksi HIV antara lain :
1.      Ibu jangan melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan tanpa
kondom
2.      Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum suntik secara
bersama secara bergantian atau tercemar darah mengandung HIV.
3.      Tranfusi darah melalui proses pemeriksaan terhadap HIV terlebih dahulu.
4.      Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses melahirkan
spontan/normal sebaiknya tidak menyusui bayi dengan ASInya
5.      HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan berpelukan
(kontak sosial), berciuman (melalui air liur), keringat, batuk dan bersin,
berbagi makanan atau menggunakan peralatan makan bersama, gigitan
nyamuk atau serangga lain, berenang bersama, dan memakai toilet
bersama sehingga tidak perlu takut dan khawatir tertular HIV
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.A DENGAN HIV

3.1  PENGKAJIAN
Terlampir
3.2 ANALISA DATA
Tanggal pengkajian : Senin, 17 Oktober 2022
No Data Masalah Etiologi
1 DS: Defisiensi Volume Penularan secara vertical
dari ibu dengan HIV
 Ibu klien mengatakan Cairan ↓
anaknya tidak mau Pasien terinfeksi HIv
makan, mual + dan ↓
Imunitas tubuh
muntah + cuma minum menurun
air putih sedikit-sedikit ↓
 Ibu klien mengatakan Tubuh rentan terhadap infeksi
anaknya diare dalam 2 ↓
hari terakhir, sehari Infeksi pada sistem
bisa 4 – 5 x dengan pencernaan

konsistensi cair Diare kronis
DO:

 KU : lemah Output cairan meningkat
 Klien tampak pucat ↓
 Turgor kulit < 2 detik Turgor kulit ↓
Mukosa kering
 Kongjungtiva anemis ↓
 Membrane mukosa Defisiensi volume cairan
dan bibir kering
 TTV :
-. Nadi : 68 x/menit
-. Suhu : 38,5 0C, 
-. RR : 20x /m,

2 DS: Hipertermi Penularan secara vertical


dari ibu dengan HIV
 Ibu klien mengatakan ↓
anaknya demam sejak Pasien terinfeksi HIV
± 1 minggu yang lalu, ↓
Imunitas tubuh
terakhir kali demam menurun
sampe suhu 39 0C ↓
 Ibu klien mengatakan Tubuh rentan terhadap infeksi
demam anaknya naik ↓
turun Infeksi pada sistem
pernafasan

DO: Peradangan saluran
 Kulit klien nampak pernafasan dan
teraba panas dengan jaringan paru

suhu 38,5 0C, 
Suhu meningkat
 Nadi : 68x/m,

 RR : 20x /m, Hipertermi

3 DS: Ketidakseimbangan Penularan secara vertical


dari ibu dengan HIV
 Ibu klien mengatakan nutrisi : kurang dari ↓
anaknya tidak mau kebutuhan tubuh Pasien terinfeksi HIv
makan, mual + dan ↓
Imunitas tubuh
muntah + cuma minum menurun
air putih sedikit-sedikit ↓
 Ibu klien mengatakan Tubuh rentan terhadap infeksi
anaknya diare dalam 2 ↓
hari terakhir, sehari Infeksi pada sistem
bisa 4 – 5 x dengan pencernaan

konsistensi cair Infeksi jamur
DO: ↓
Peradangan pada mulut
 KU : lemah

 Tampak klien Sulit makan
menghabiskan

minum ± 100 ml Penurunan intake nutrisi
 Tampak porsi makan ↓
klien masih utuh, Ketidakseimbangan nutrisi:
 Klien mengalami kurang dari kebutuhan tubuh
penurunan berat
badan dari 21,5 kg
menjadi 19,5 kg
 TTV :
-. Nadi : 68 x/menit
-. Suhu : 38,5 0C, 
-. RR : 20x /m,

3.3  Diagnosa Keperawatan

1 Defisiensi volume cairan b.d asupan cairan kurang, peningkatan suhu tubuh, dan
diare
2 Hipertermi b.d proses penyakit
3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kekambuhan
penyakit, diare, kehilangan nafsu makan
3.4 Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
1 Defisiensi volume cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x7 jam, Manajemen Cairan (4120)
b.d asupan cairan kurang, diharapkan masalah hipertermia dapat teratasi dengan Definisi : Meningkatkan keseimbangan cairan dan
peningkatan suhu tubuh, kriteria hasil: pencegahan komplikasi yang dihasilkan dari tingkat
dan diare cairan tidak normal atau tidak diinginkan
Keseimbangan cairan (0601) Aktivitas-aktivitas
Definisi: Keseimbangan cairan didalam ruang intraseluler 1 Monitor status hidrasi (membrane mukosa,
dan ekstraselular tubuh turgor kulit)
Skala target outcome : dipertahankan pada 3, 2 Monitor nadi
ditingkatkan ke 4 3 Monitor suhu tubuh
1 : sangat tergangguu 4 Ajarkan ibu untuk memantau cairan dan
5 : tidak terganggu memberikan asupan nutrisi yang cukup
Indikator : 5 Kolaborasi terapi
(060116) Turgor kulit 1 2 3 4 5
(060117) Kelembaban 1 2 3 4 5
membrane mukosa

2 Hipertermi b.d proses Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x7 jam, Perawatan Demam (3740)
penyakit diharapkan masalah hipertermia dapat teratasi dengan Definisi : Manajemen gejala dan kondisi terkait yang
kriteria hasil: berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh
dimediasi oleh pirogen endogen
Termoregulasi (0800) Aktivitas-aktivitas
Definisi: Keseimbangan antara produk panas, 1 Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
mendapatkan panas dan kehilangan panas. 2 Monitor suhu kulit
Skala target outcome : dipertahankan pada 3 3 Monitor asupan cairan dan output cairan
ditingkatkan ke 5 4 Anjurkan kepada orangtua untuk
1 = Sangat terganggu memberikan selimut yang ringan pada anak
5 = Tidak terganggu ketika anak demam
Indikator :
5 Ajarkan ibu manajemen perawatan demam,
(080010) Berkeringat saat panas 1 2 3 4 5 seperti memantau demam anak, serta
(080012) Denyut nadi radial 1 2 3 4 5 kompres hangat
(080001) Peningkatan suhu kulit 1 2 3 4 5 6 Dorong konsumsi cairan
(080019) Hipertermia 1 2 3 4 5
7 Kolaborasi terapi
Keterangan :
Skala suhu:
1: > 39˚C
2: 38,5 oC – 38,9oC
3: 38 oC – 38,4 oC
4: 37,5 oC – 37,9oC
5: <37,5 oC
Skala nadi:
1: > 180x/menit
2: 150x/menit-179x/menit
3: 130x/menit – 149x/menit
4: 120x/menit – 129x/menit
5: <120x/menit
3 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x7 jam, Manajemen Nutrisi (1100)
nutrisi kurang dari diharapkan masalah hipertermia dapat teratasi dengan
Definisi : Menyediakan dan meningkatkan intake
kebutuhan tubuh kriteria hasil: nutrisi yang seimbang
berhubungan dengan Aktivitas-aktivitas
kekambuhan penyakit, Status Nutrisi : Asupan Makanan dan Cairan (1008) 1 Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat
diare, kehilangan nafsu Definisi : Jumlah makanan dan caiiran yang masuk mengkonsumsi makan ( misalnya bersih,
makan kedalam tubuh lebih dari suatu perode 24 jam berventilasi, santai, dan bebas dari bau
menyengat
Skala target outcome : dipertahankan pada 2
ditingkatkan ke 4
2 Lakukan atau bantu pasien terkait dengan
perawatan mulut sebelum makan
1 = tidak adekuat
5 = sepenuhnya adekuat 3 Anjurkan pasien untuk duduk pada posisi
tegak, jika memungkinkan
100801 Asupan makanan secara 1 2 3 4 5 4 Pastikan makanan disajkan dengan cara yang
oral menarik dan pada suhu yang paling cocok
100803 Asupan cairan secara oral 1 2 3 4 5 untuk konsumsi secara optimal
100804 Asupan cairan intravena 1 2 3 4 5 5 Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
favorit pasien sementara pasien berada
dirumah sakit
3.1 Implementasi dan Evaluasi
Tanggal 17 Oktober 2022
No Tanggal Jam Dx Keperawatan Implementasi Evaluasi Paraf
1 17-10-22 09.00 Defisiensi Volume 1. Memonitor status hidrasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan
Cairan b/d asupan (membran mukosa, turgor kulit) selama 1x7 jam: (17/10/2022, 13.00)
cairan kurang, 2. Memonitor nadi S:
peningkatan suhu 3. Memonitor suhu tubuh 1. Ibu klien mengatakan anaknya
tubuh dan diare 4. Mengajarkan ibu untuk masih belum mau makan
memantau cairan dan 2. Minum sudah cukup banyak
memberikan asupan nutrisi yang O:
cukup 1. KU: lemah
5. Mengkolaborasi terapi 2. Suhu: 37,6oC
3. Konjungtiva: anemis
4. Turgor kulit: <2 detik
5. Membran mukosa kering
A: Masalah defisiensi volume cairan
teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan:
1. Pantau status hidrasi
2. Pantau suhu dan ttv
3. Kolaborasi terapi
4. Ajarkan ibu memonitor output
cairan dan memberikan asupan
nutrisi yang cukup
2 17-10-22 09.00 Hipertemia b/d Proses 1. Memantau suhu tubuh dan TTV Setelah dilakukan asuhan keperawatan
Penyakit 2. Memonitor suhu kulit selama 1x7 jam: (17/10/2022, 13.00)
3. Memonitor asupan cairan dan S:
output cairan 1. Ibu klien mengatakan anaknya masih
4. Mendorong konsumsi cairan panas, namun sudah tidak sepanas
5. Mengkolaborasi terapi sebelumnya
O:
6. Mengajarkan ibu manajemen
1. KU: lemah
perawatan demam (memantau
2. Nadi: 138x/ menit
demam anak, hilang timbul,
3. Suhu: 37,6oC
kompres hangat) 4. Kulit teraba hangat
Suhu Awal Target Akhir
2 5 4
Nadi Awal Target Akhir
2 5 3

A: Masalah hipertermi teratasi sebagian


P: Intervensi dilanjutkan:
1. Pantau suhu dan ttv
2. Monitor suhu kulit
3. Monitor intake/output cairan
4. Kolaborasi terapi
3 17-10-22 09.00 Ketidakseimbang 1 Menciptakan lingkungan yang Setelah dilakukan asuhan keperawatan
an nutrisi : optimal pada saat mengkonsumsi selama 1x7 jam: (17/10/2022, 13.00)
kurang dari makan misalnya bersih, S:
kebutuhan tubuh berventilasi, santai, dan bebas dari 1. Ibu klien mengatakan anaknya
bau menyengat masih belum mau makan
2 Membantu pasien terkait dengan 2. Minum sedikit - sedikit
perawatan mulut sebelum makan O:
3 Menganjurkan pasien untuk 1. KU: cukup
duduk pada posisi tegak, jika 2. Suhu: 37,6oC
memungkinkan 3. Konjungtiva: anemis
4 Memastikan makanan disajkan 4. Turgor kulit: <2 detik
dengan cara yang menarik dan 5. Membran mukosa kering
pada suhu yang paling cocok A: Masalah ketidakseimbangan nutrisi :
untuk konsumsi secara optimal kurang dari kebutuhan tubuh teratasi
sebagian
5 Menganjurkan keluarga untuk
P: Intervensi dilanjutkan:
membawa makanan favorit pasien
1. Membantu pasien terkait perawatan
sementara pasien berada dirumah
mulut sebelum makan
sakit
2. Menganjurkan pasien makan posisi
tegak
3. Memastikan makanan disajikan
menarik dan suhu yang cocok
4. Menganjurkan keluarga membawa
makanan favorit pasien sementara
pasien berada dirumah sakit

Tanggal 18 Oktober 2022


No Tanggal Jam Dx Keperawatan Implementasi Evaluasi Paraf
1 18-10-22 09.00 Defisiensi Volume 1. Memonitor status hidrasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan
Cairan b/d asupan (membran mukosa, turgor kulit) selama 1x4 jam: (18/10/2022, 13.00)
cairan kurang, 2. Memonitor nadi S:
peningkatan suhu 3. Memonitor suhu tubuh 1. Ibu klien mengatakan anaknya
tubuh dan diare 4. Memonitor asupan cairan dan sudah mau makan dan sudah
output cairan BAB dengan konsistensi cair
5. Mengajarkan ibu untuk sedikit padat
memantau cairan dan 2. Minum sudah cukup banyak
memberikan asupan nutrisi yang O:
cukup 1. KU: cukup
6. Mengkolaborasi terapi 2. Suhu: 36,5oC
3. Konjungtiva: tidak anemis
4. Turgor kulit: <2 detik
5. Membran mukosa lembab
A: Masalah defisiensi volume cairan
teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan:
1. Pantau status hidrasi
2. Pantau suhu dan ttv
3. Kolaborasi terapi
4. Ajarkan ibu memonitor output
cairan dan memberikan asupan
nutrisi yang cukup
2 18-10-22 09.00 Hipertemi b/d 1. Memantau suhu tubuh dan TTV Setelah dilakukan asuhan keperawatan
Proses Penyakit 2. Memonitor suhu kulit selama 1x2 jam: (18/10/2022, 11.00)
3. Mendorong konsumsi cairan S:
4. Mengkolaborasi terapi 1. Ibu klien mengataka anaknya sudah
5. Mengajarkan ibu manajemen tidak demam lagi
perawatan demam (memantau O: KU: cukup
demam anak, hilang timbul, 1. Nadi: 89x/ menit
kompres hangat) 2. Suhu: 36,9oC
3. Kulit teraba hangat
Suhu Awal Target Akhir
2 5 5
Nadi Awal Target Akhir
2 5 5
A: Masalah hipertermi teratasi
P: Intervensi dihentikan
3 18-10-22 09.00 Ketidakseimbangan 1 Menciptakan lingkungan yang Setelah dilakukan asuhan keperawatan
nutrisi : kurang dari optimal pada saat mengkonsumsi selama 1x4 jam: (18/10/2022, 13.00)
kebutuhan tubuh makan misalnya bersih, S:
berventilasi, santai, dan bebas dari 1. Ibu klien mengatakan anaknya
bau menyengat sudah mau makan
2 Membantu pasien terkait dengan 2. Minum sudah cukup banyak
perawatan mulut sebelum makan 3. Porsi makan dari RS dihabiskan
3 Menganjurkan pasien untuk duduk O:
pada posisi tegak, jika 1. KU: cukup
memungkinkan 2. Suhu: 36,5oC
4 Memastikan makanan disajkan 3. Konjungtiva : tidak anemis
dengan cara yang menarik dan 4. Turgor kulit: <2 detik
pada suhu yang paling cocok 5. Membran mukosa lembab
untuk konsumsi secara optimal A: Masalah ketidakseimbangan nutrisi
: kurang dari kebutuhan tubuh teratasi
5 Menganjurkan keluarga untuk
sebagian
membawa makanan favorit pasien
P: Intervensi dilanjutkan:
sementara pasien berada dirumah
1. Membantu pasien terkait
sakit
perawatan mulut sebelum makan
dan dalam posisi dtegak
2. Memastikan makanan disajikan
menarik dan suhu yang cocok
3. Menganjurkan keluarga membawa
makanan favorit pasien
BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,
2000:162)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis
dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak
tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian
imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter
spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan
jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal
masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen
Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang,
hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai
nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2
bulan), parotitis, dan diare.
.
4.2  Saran
Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan
dalam tugas dapat dicapai
DAFTAR PUSTAKA

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.

Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical
Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa
: I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St.


Louis.

Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan
kedua, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai