Anda di halaman 1dari 45

TUGAS : HIV/AIDS

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN HIV/AIDS

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 10

MUHAMAD AJAT KHAMRIN (NH0117082)

LAILA FITRI RUPO (NH0117063)

MARIA DANATA KAROLINA (NH0117074)

NIRWANA NURLETTE (NH0117093)

NOFIYANTI MAHMUD (NH0117095)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN A

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

NANI HASANUDDIN MAKASSAR

2019

1
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan


Yang Maha Pemurah karena berkat kemurahan-Nya makalah ASUHAN
KEPERAWATAN PASIEN HIV AIDS ini dapat kami selesaikan sesuai
yang diharapkan.

Kami menyadari, bahwa proses penulisan makalah ini masih


jauh dari kata sempurna baik materi maupun cara penulisannya. Namun
demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh
karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka
menerima masukan, saran dan usulan guna penyempurnaan makalah ini
di kemudian hari.

Kami sadari pula, bahwa dalam pembuatan makalah


ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan
ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan
makalah ini.

Makassar,25 Maret 2019

penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii

BAB I KONSEP HIV/AIDS .......................................................................................... 1

A. PENGERTIAN ...................................................................................................... 1
B. ETIOLOGI ............................................................................................................ 2
C. MANIFESTASI KLINIS ...................................................................................... 3
D. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI HIV ................................................... 4
E. KLASIFIKASI ..................................................................................................... 6
F. DASAR VIROLOGI DAN INFEKSI HIV ........................................................... 7
G. CARA PENULARAN INFEKSI HIV .................................................................. 9
H. CARA PEMBERANTASAN ............................................................................. 11
I. PENGOBATAN ................................................................................................. 16
J. KOMPLIKASI .................................................................................................... 17

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................


A. PSIKONEUROIMUNOLOGI ............................................................................ 19
B. KONSEP STRESS DAN STRESSOR ............................................................... 25
C. PENGKAJIAN .................................................................................................... 32
D. INTERVENSI ..................................................................................................... 38

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................

A. KESIMPULAN ................................................................................................... 40
B. SARAN ............................................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

KONSEP HIV/AIDS

A. Pengertian HIV/AIDS
 HIV / AIDS adalah salah satu penyakit yang harus di waspadai
karena Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) sangat
berakibat pada penderitanya. (Masriadi, 2014)
 Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan
sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia
setelah sistem kekebalan dirusak oleh virus HIV (Humman
Immunodeficiency Virus). (Masriadi, 2014)
 Penyakit tersebut di sebabkan oleh Humman Immunodeficiency
Virus (HIV), dan telah menjadi masalah internasional karena dalam
waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan
semakin melanda banyak negara. Sampai saat ini belum ditemukan
vaksin atau obat yang relatif efektif untuk AIDS sehingga
menimbulkan keresahan didunia. (Masriadi, 2014)
 Penyakit HIV / AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan
masyarakat dunia, karena disamping belum ditemukan obat dan
vaksin pencegahan juga memiliki “window periode” dan fase
asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan
penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan pola perkembangannya
seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena). Jumlah kasus
HIV / AIDS dari tahun ketahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan.
(Masriadi, 2014).
 Dalam bahasa Indonesia dapat di alih katakan sebagai syndrome
cacat kekebalan tubuh dapatan. Acquired: di dapat, bukan penyakit
keturunan, immune:sistem kekebalan tubuh, deficiency:
kekurangan, syndrome: kumpulan gejala-gejala penyakit. (Scorviani
& Nugroho, 2011)

4
 AIDS adalah suatu penyakit yang ditandai dengan melemahnya
sistem kekebalan tubuh. Nama acquired immunodeficiency
syndrome berarti bahwa sistem imun mengalami kelumpuhan atau
tak memadai. (Hutapea, 2011)
 Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan
ODHA (orang dengan HIV/AIDS ) amat rentan dan mudah
terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang
biasannya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan
pasien sakit parah bahkan meninggal. (Scorviani & Nugroho, 2011)
 AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukan kelemaham
atau kerusakan daya tahan tubuh yang di akibatkan oleh factor luar
(bukan di bawah sejak lahir). (Scorviani & Nugroho, 2011)
 AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai
dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala
yang nyata sehingga keadaan imunosepresi dan berkaitan dengan
berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan
kelainan malignitas yang jarang terjadi. (Scorviani & Nugroho,
2011)

B. Etiologi
 Penyakit Menular Seksual (PMS) diduga dapat meningkatkan
kejadian HIV dan AIDS. Dengan adanya PMS dapat menyebabkan
gangguan ketahanan epitel normal. Luka pada alat kelamin atau
karena adanya penumpukkan sel yang terinfeksi, (Limfosit atau
Makrofag) pada semen dan sekresi vagina. (Susilowati, 2011)
 AIDS di sebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama
yaitu: HTL,II,LAV,RAV.yang nama ilmiahnnya disebut. Human
immunodeficiency virus (HIV) yang berupa agen viral yang dikenal
dengan retrovirus yang di tularkan oleh darah dan punya ofinitas
yang kuat tehadap limfosit T. (Scorviani & Nugroho, 2011)

5
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV bervariasi secara luas diantara bayi,
anak-anak, dan remaja. Pada banyak bayi, pemeriksaan fisik saat lahir
adalah normal. Gejala awal mungkin hampir tidak terlihat, seperti
limfadenopati dan hepatosplenomegali, atau spesifik seperti
keterlambatan pertumbuhan diare kronis atau berulang, pneumonia
interstisial, atau sariawan. Temuan sistemik dan paru yang umum
ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa, sedangkan malnutrisi berat
mendominasi di Afrika. Gejala ditemukan lebih sering pada anak-anak
daripada orang dewasa dengan infeksi bakteri berulang,
pembengkakan parotis kronis, pneumonia interstitial limfostik, dan
onset dini untuk penurunan neurologis. (Ruslie, 2012)
Manifestasi Klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri
(syndrome retroviral akut dimensia HIV), infeksi opurtunitis atau kanker
yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap
berdasar klinis dan jumlah CD4.(Azza, 2009)

Adapun gejala klinis HIV (Davey, Patrick, 2006), yaitu:


1. Masa inkubasi 6 bulan-5 tahun.
2. Window periode selama 6-8 minggu, adalah waktu saat tubuh
sudah terinfeksi HIV tetapi belum terideteksi oleh pemeriksaan
laboratorium.
3. Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun.
Jika tidak diobati, maka penyakit ini akan bermanifestasi sebagai
AIDS.
4. Gejala klinis muncul sebagai penyakit yang tidak khas seperti:
a. Diare kronis.
b. Kandidiasis mulut yang luas.
c. Pneumocystis carinii.
d. Pneumonia interstisialis limfositik.
e. Ensefalopati kronik. (Masriadi, 2014)

6
Masa inkubasi adalah waktu dari terjadinya infeksi sampai
munculnya gejala yang pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini
sulit diketahui, dari hasil penelitian pada sebagian besar kasus
dikatakan masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun, dan bervariasi sangat
lebar, yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun. Walaupun
belum ada gejala, tapi yang bersangkutan telah dapat menjadi sumber
penularan. (Katiandagho, 2015)

D. Patogenesis dan Patofisiologis HIV


1. Patogenesis
Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel
CD4, yang memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga
memungkinkan pengikatan dengan koreseptor kemokin (biasanya
CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi penyatuan pori yang
dimediasi oleh gp41. (Masriadi, 2014)
Setelah berada didalam sel CD4, selain di DNA ditranskripsi
sari genon RNA oleh enzim reverse transcriptase (RT) yang
dibawah oleh virus. Hal tersebut merupak proses yang sangat
berpotensi mengalami kesalahan, selanjutnya DNA ini ditranspor ke
dalam nukleus dan terintegrasi secara acak didalam genom sel
pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus.
Pada aktivitas sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA
tersebut dan selanjutnya ditranslasi menyebabkan produksi protein
virus. Poliprotein Prekursor dipecah oleh protease virus menjadi
enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein
struktural. Hasil pecahan tersebut kemudian digunakan untuk
menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan
sel dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus infeksius baru
(virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum terinfeksi dan
mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup hampir semua

7
infeksi adalah grup M dan subtipe (grup B domina di Eropa) untuk
HIV-1. (Masriadi, 2014)

2. Patofisiologis
Peran penting sel T dalam “menyalahkan” semua kekuatan
limfosit dan makrofag, sel T penolong dapat di anggap sebagai
“tombol utama” sistem imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi
sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan sel yang
biasanya mengatur sebagian besar respons imun. Virus juga
menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun,
dan kadang juga masuk ke sel otak, sehingga timbul demensia
(gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada
sebagian pasien AIDS. (Masriadi, 2014)
Partikel virus dalam tubuh ODHA akan bergabung dengan
DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV,
seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian orang yang
terinfeksi HIV berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun
pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang terinfeksi HIV menunjukan
gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejalah yang terjadi adalah
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala tersebut umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun. (Masriadi, 2014)
Waktu pertama kali terinfeksi HIV maka pasien tidak
menunjukkan gejala klinis, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang
tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV,
terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih
bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar
109 setiap hari. (Masriadi, 2014)

8
E. Klasifikasi
Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang
merupakan indicator AIDS (kategori c) dan orang termasuk didalam
kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS. (Scorviani & Nugroho,
2011)
1. Kategori klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan
human immunodeficiency virus (HIV) yang sudah dapat di pastikan
tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C.
 Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang simptomatik
 Limpanodenopati generalisata yang persisitem (PGI: persistent
generalized limpanodenophaty)
 Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang akut.
(Scorviani & Nugroho, 2011)
2. Kategori klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup:
 Angiomatosis baksilaris
 Kandidiasis orofaring /vulvavagina (peristen
frekuensi/responnya jelek terhadap terapi)
 Dysplasia serviks (sedang /berat karsinoma serviks in situ)
 Gejala konstitusional seperti panas (38,5 C) atau diare lebih dari
1 bulan
 Leukopplakial yang berambut
 Herpes zoster yang meliputi 2 kejadian yang berbeda /terjadi
pada lebih dari satu dermaton saraf
 Indiopatik trombostopenik purpura
 Penyakit inflamasi pelvis,khusus dengan abses tubo varii.
(Scorviani & Nugroho, 2011)
3. Kategori klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja
mencakup:

9
 Kandidiasis bronkus ,trakea /paru-paru, esophagus
 Kanker serviks inpasif 3.koksidiomikosis ekstra
pulmoner/diseminata
 Kriptokokosis ekstrapulmoner
 Kriptosporidosis internal kronis
 Cytomegalovirus(bukan hati,lien ,atau kelenjar limfe).
 Refinitis cytomegalovirus (gangguan penglihatan)
 Enselopathy berhubungan dengan human immunodeficiency
virus (HIV)
 Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis/
esofagus).
 Histoplamisis diseminata/ekstrapulamoner
 Isoproasis intenstinalyang kronis
 Sarkoma Kaposi
 Limpoma burkit,imunoblastik,dan limfona primer otak
 Kompleks mycobacterium avium (m.kansasi yang di
seminata/ekstrapumoner)
 M.tubercolusis pada tiap lokasi ( pulmoner/ekstrapulmoner)
 Mycobacterium, spesies lain, diseminata/ ekstra pulmoner
 Pneumonia pneumocystik cranii
 Pneumonia rekuren
 Leukoenselophaty multifocal progressive
 Septikemia salmonella yang rekuren
 Toksoplamosis otak
 Syndrome pelisutan akibat human immunodeficiency virus
(HIV). (Scorviani & Nugroho, 2011)

F. Dasar Virologi dan Infeksi HIV


1. Struktur Genomik HIV
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat di
artikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang di sebabkan

10
oleh penurunannya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk familli retroviridae,
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Djoerban, 2006). HIV
adalah retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukan
banyak gambaran fisikomia yang merupakan ciri khas famili.
Genom RNA lentivirus lebih kompleks dari pada genom RNA
Retrovirus yang bertransformasi. Virus mengandung tiga gen yang
dibutuhkan untuk replikasi retrovirus-gag, pol, dan env.
Viron HIV-1 berbentuk icosahedral dan memiliki ujung tajam
eksternal sebanyak 72. Lebih kompleks dibandingkan HTLV-1 dan
HTLV-2. Produk gen dapat di bagi menjadi tiga kelompok.
(Masriadi, 2014)

Tabel 1.4. Antigen Mayor HIV, Tipe-1

Gen Produk Gen


Group-specific antigen/core (GAG) P (Protein) 18, p24, p55
Polymerase (POL) P31, P51, P666
Envelope (ENV) Gp (glycoprotein) 41, gp120, gp160

2. Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target


HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan
replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di
dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung
HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada
permukaan membran sel target (kebanyakan linfosit T-CD4+). Sel
target uatama adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor
CD4 (astroit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s
dendritik). (Masriadi, 2014)

11
G. Cara Penularan Infeksi HIV
1. Transmisi melalui kontak seksual
Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi
HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam
cairan semen, cairan vagina, cairan serviks. Transmisi infeksi HIV
melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya
terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek,
anus sering terjadi lesi. (Masriadi, 2014)
2. Transmisi melalui darah atau produk darah
Transmisi dapat melalui hubungan seksual (terutama
homoseksual) dan dari suntikan darah yang terinfeksi atau produk
darah. Diperkirakan bahwa 90-100% orang yang mendapat
transfusi darah yang tercemar HIV akan mengalami infeksi. Suatu
penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko infeksi HIV-1
melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV berkisar
antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000. Pemeriksaan antibodi
HIV pada donor darah sangat mengurangi transmisi melalui
transfusi darah dan produk darah (contoh, konsentrasi faktor VIII
yang digunakan untuk perawatan hemofilia). (Masriadi, 2014)
3. Transmisi secara vertikal
Transmisi secara pertikel dapat tejadi dari ibu yang terinfeksi
HIV kepada janinnya sewaktu hamil, persalinan, dan setelah
melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI). Angka penularan
selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalianan 10-20%,
dan saat pemberian ASI 10-20%. Ibu yang positif HIV-1 tidak boleh
menyusui bayinya karena ia dapat menambah penularan perinatal.
Selama beberapa tahun terakhir, ditemukan bahwa penularan HIV
perinatal dapat dikaitkan lebih akurat dengan pengukuran jumlah
RNA-virus di dalam plasma. Penularan vertikal lebih sering terjadi
pada kelahiran preterm, terutama yang berkaitan dengan
kebutuhan pecah dini. (Masriadi, 2014)

12
4. Potensi transmisi melalui cairan tubuh lain
Walaupun HIV pernah ditemukan dalam air liur pada
sebagian kecil orang yang terinfeksi, tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa air liu dapat menularkan infeksi HIV baik
melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu
bekerja bagi petugas kesehatan. Selain itu, air liur dibuktikan
mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV, demikian juga belum
ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata, keringat dan
urin dapat merupakan media transmisi HIV. (Masriadi, 2014)
5. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium
Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa risiko
penularan HIV setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya
yang tercemar oleh darah seseorang yang terinfeksi HIV adalah
sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV ke membran mukosa
atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitar 0,09%. (Masriadi,
2014)

HIV/AIDS tidak menular melalui:

1. Peralatan makan seperti piring,sendok,garpu,gelas,sumpit,dan


lain-lain.
2. Bersin atau batuk didepan penderita HIV
3. Berpelukan serta berciuman dengan orang yang terinfeksi HIV
(kalau sedang menderita sariawan atau luka lain
dimulut.disarankan tidak berciuman dengan mulut).
4. Berjabat tangan/bersalaman,bersentuhan dengan orang yang
terinfeksi HIV.
5. Hidup serumah dengan orang yang terinfeksi HIV (asal tidak
melakukan hubungan seks).
6. Gigitan nyamuk.
7. Menggunakan kamar mandi dan tailet bersama.
8. Berenang bersama. (Katiandagho, 2015)

13
H. Cara Pemberantasan
1. Cara Pencegahan
Program pencegahan HIV / AIDS hanya dapat efektif bila
dilakukan dengan komitmen masyarakat dan komitmen politik yang
tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku risiko tinggi
terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi:
a. Pemberian penyuluhan kesehatan disekolah dan dimasyarakat
harus menekankan bahwa pempunyai pasangan seks yang
berganti-ganti serta penggunaan obat suntik bergantian dapat
meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Pelajar juga harus di
bekali pengetahuan bagaimana untuk menghindari atau
mengurangi kebiasaan untuk mendangkan risiko terkena infeksi
HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan
sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan mental serta
kebutuhan mereka, begitu juga bagi mereka yang tidak sekolah.
Kebutuhan kelompok minoritas, orang-orang dengan bahasa
yang berbeda dan bagi penderita tuna netra serta tuna rungu
juga harus dipikirkan. (Masriadi, 2014)
b. Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak
melakukan hubungan seks atau hanya berhubungan seks
dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi.
Kondom lateks harus digunakan dengan benar setiap kali
seseorang melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau
oral. Kondom lateks dengan pelumas berbahan dasar air dapat
menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks. (Masriadi,
2014)
c. Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat
terlarang akang mengurangi penularan HIV. Begitu pula
program “Harm reduction” yang menganjurkan para pengguna
jarum suntik untuk menggunakan metode dekontaminasi dan

14
menghentikan penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif.
(Masriadi, 2014)
d. Menyediakan fasilitas Konseling HIV di mana identitas penderita
dirahasiakan atau dilakukan secara anonimus serta
menyediakan tempat-tempat untuk melakukan pemeriksaan
darah. Fasilitas tersebut saat ini telah tersedia di seluruh negara
bagian di AS. Konseling, tes HIV secara sukarela dan rujukan
medis dianjurkan dilakukan secara rutin pada klinis keluarga
berencana dan klinis bersalin, klinis bagi kaum homo dan
terhadap komunitas di mana seroprevalens HIV tinggi. Orang
yang aktivitas seksualnya tinggi disarankan untuk mencari
pengobatan yang tepat bila menderita Penyakit Menular
Seksual (PMS). (Masriadi, 2014)
e. Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan
untuk melakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar
perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi
untuk memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi
zidovudine (ZDV) untuk mencegah penularan HIV melalui uterus
dan perinatal. (Masriadi, 2014)
f. Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA,
untuk mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah.
Semua darah donor harus diuji antibodi HIV-nya. Hanya darah
dengan hasil tes negatif yang digunakan. Orang yang
mempunyai kebiasaan risiko tinggi terkena HIV sebaiknya tidak
mendonorkan plasma, darah, organ-organ untuk transplantasi,
sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi
buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu atau bank
tulang) yang mengumpulkan plasma, darah atau organ harus
menginformasikantentang peraturan dan kebijakan ini kepada
donor potensial dan tes HIV harus dilakukan terhadap semua
donor. Apabila mungkin, donasi sperma, susu atau tulang harus

15
di bekukan dan disimpan selama 3-6 bulan. Donor yang tetap
negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi
pada waktu menjadi donor. (Masriadi, 2014)
g. Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus melihat kondisi
pasien dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi.
Transfusi otologus sangat dianjurkan. (Masriadi, 2014)
h. Hanya produk faktor pembekuan darah yang diseleksi dan yang
telah diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV
yang bisa digunakan. (Masriadi, 2014)
i. Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan,
pemakaian dan pembungan jarum suntik atau semua jenis alat-
alat yang berujung tajam lainnya agar tidak tertusuk. Petugas
kesehatan harus menggunakan sarung tangan lateks, pelindung
mata dan alat pelindung lainnya untuk menghindarikontak
dengan darah atau cairan yang mengandung darah. Setiap
tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan
harus dicuci dengan air dan sabun sesegerah mungkin. Kehati-
harian tersebut harus di lakukan pada semua pasien dan semua
prosedur laboratorium (tindakan kewaspadaan universal).
(Masriadi, 2014)
j. WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi anak-anak
dengan infeksi HIV tanpa gejala dengan vaksin-vaksin EPI
(Expanded Programme on Immunization); anak-anak yang
menunjukka gejala sebaiknya tidak mendapat vansin BCG.
BCG dan vaksin oral polio di AS tidak direkomendasikan untuk
diberikan kepada anak-anak yang terinfeksi HIV tidak peduli
terhadap ada tidaknya gejala, sedangkan vaksin MMR
(measles-mumps-rubella) dapat diberikan kepada anak dengan
infeksi HIV. (Masriadi, 2014)

2. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya

16
a. Laporan kepada instansi kesehatan setempat.
b. Isolasi; mengisolasi orang dengan HIV positif secara terpisah
tidak perlu, tidak efektif dan tidak dibenarkan. “Universak
Precaution” (kawasan universal) diterapkan untuk semua
penderita yang dirawat. Tindakan kewaspadaan tambahan
tertentu perlu dilakukan pada infeksi spesifik yang terjadi pada
penderita AIDS.
c. Disenfeksi serentak; dilakukan terhadap atat-atatyang
terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh dengan
menggunakan larutan pemutih (chlorine) atau germisida
tuberkulosidal.
d. Karantina; tidak dipererlukan. penderita HIV / AIDS dan
pasangan seks mereka sebaiknya tidak mendonasikan darah,
plasma, organ untuk transplantasi, jaringan, sel, semen untuk
inseminasi buatan atau susu untuk bank susu manusia.
e. Imunisasi dari orang-orang yang kontak; tidak ada.
f. Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi; pasangan seks
dari para penderita HIV / AIDS atau pasangan penggunaan
jarum suntik besama, bila mungkinkan, di laporkan sendiri oleh
penderita. Rujukan oleh petugas dibenarkan bila pasien.
sesudah melakukan konseling, tetap menolak untuk
memberitahukan pasangan seks mereka, dan untuk itu petugas
harus betul-betul yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang
membahayakan indeks kasus bila pasangannya diberitahu.
Tindakan yang sangat hati-hati harus di lakukan untuk
melindungi kerahasiaan penderita.
g. Pengobatan spesifik: disarankan untuk melakukan diagnosis
dini dan melakukan rujukan untuk evaluasi medis. Rujukan
sumber informasi muthakir tentang obat yang tepat, jadwal dan
dosisinya. Pedoman pengobatan HIV / AIDS yang selalu di
perbaharui setiap saat tersedia pada “CDC National Clearing

17
house” dan dapat diakses melalui Clearing house World Wide
Website.
1) Sebelum ditemukan pengobatan antiretrovirus yang relatif
efektif, dan tersedia secara rutin di AS sekitar tahun 90-an,
pengobatan yang ada pada waktu itu hanya dirujukan
kepada penyakit “opportunistic” yang diakibatkan oleh infeksi
HIV. Penggunaan TMP-SMX oral untuk tujuan profilatik,
dengan pentamidin aerosol kuran efektif. Obat tersebut
direkomdasikan untuk mencegah penumonia P.carinii.
Semua orang yang terinfeksi HIV terhadap mereka harus di
lakukan tes tuberkulin dan dievaluasi apakah mereka
penderita TBC aktif. Jika diketahui menderita TB aktif, pasien
harus di beri terapi anti tuberkulosa, jika bukan TB aktif,
pasien dengan tes tuberkulin positif atau yang anergik tetapi
baru saja terpajan ddengan TB harus di berikan terapi
dengan isoniazid untuk 12 bulan.
2) Keputusan untuk memulai atau mengubah terapi
antiretrovirus harus di pandu dengan memonitor hasil
pemeriksaan paremeter laboratorium baik Plasma HIV RNA
(viral load) maupun jumlah sel CD4+T dan dengan melihat
kondisi klinis dari pasien. Hasil dari dua parameter tersebut
memberikan informasi penting tentang status virologi dan
imunologi dar pasien dan risiko dari perkembangan penyakit
menjadi AIDS. Sekali keputusan untuk memberi terapi
antiretrovirus diambil, pengobatan harus dilakukan dengan
agresif dengan tujuan menekan virus semaksimal mungkin.
Pada umumnya, harus diawali dengan penggunaaan
inhibitor protease dan dua inhibitor “non nucleoside recerse
transcriptase”. Regimen lain mungkin digunakan tetapi
dianggap kurang optimal. Pertimbangan spesifik diberikan
kepada orang dewasa dengan wanita hamil, dan bagi pasien

18
tersebut sebaiknya digunakan regimen pengobatan spesifik.
(Masriadi, 2014)

I. Pengobatan
1. Pengobatan pada penderita HIV / AIDS meliputi:
a. Pengobatan suportif
b. Penanggulangan penyakit oportunistik
c. Pemberian obat antivirus
d. Penanggulangan dampak psikososial.

2. Obat antivirus HIV / AIDS adalah:


a. Didanosin (ddl) Dosis:
- 2 x 100 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg).
- 2 x 125 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg).
b. Zidovudin (ZDV)
Dosis: 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam sebanyak 100
mg, pada saat penderita tidak tidur.
c. Lamivudin (3TC).
d. Stavudin (d4T).

3. Obat ARV (antiretrovirus) masih merupakan terapi pilihan karena:


a. Obat tersebut bisa memperlambat progresivitas penyakit dan
dapat memperpanjang daya tahan tubuh.
b. Obat tersebut aman, mudah, dan tidak mahal. Angka transmisi
dapat diturunkan dapat mendekati nol melalui identifikasi dini
ibu hamil dengan HIV positif dan pengelolaan klinis yang
agresif.
c. Hasil penelitian dalam hal upaya pencegahan dengan imunisasi
belum memuaskan. Penelitian tersebut dilakukan di Uganda
dengan menggunakan vaksin HIV yang disebut ‘ALVAC-HIV’
dan vektor canarypox recombinant untuk mewakili selubung dan

19
gen inti HIV-1 sebagai upaya untuk merangsang sel pertahanan
tubuh.
d. Beberapa ahli mengusulkan penelitian tentang bagaimana agar
CD4 tiruan diserang oleh virus, sehingga CD4 alami tetap
normal. Bagian yang diserang virus HIV adalah sel darah putih
terutama sel limfosit pada bagian CD4. Cd4 adalah bagian
limfosit yang menunjukan sebagian besar fungsi pertahanan
tubuh manusia. Jumlah Cd4 yang rendah menunjukan
pertahanan tubuh yanh lemah yang mudah terkenan infeksi
virus, bakteri dan jamur. (Masriadi, 2014)

K. Komplikasi
 Oral
Lesi karena kandidia, herpes simplek, sarcoma, Kaposi, HPV oral,
gingifitis, peridonitis, human immunodeficiency virus (HIV),
leukoplakiaoral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan,
keletihan dan cacat (Scorviani & Nugroho, 2011)
 Neurologik
 Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung human
immnudeficency virus (HIV) pada sel saraf ,berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motoric, kelemahan,
disfasia, dan isolasi social. (Scorviani & Nugroho, 2011)
 Ensolepaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoklemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ensefalitis dengan efek:
sakit kepala, malaise, demam, paralise, total/parsial. (Scorviani
& Nugroho, 2011)
 Infark serebral kornea sifilis maningovaskuler, hipotensi
sistemik, dan maranik endocarditis. (Scorviani & Nugroho, 2011)
 Neuropati karena imflamasi demieliminasi oleh serangan human
immunodeficiency virus (HIV). (Scorviani & Nugroho, 2011)
 Gastrointestinal

20
 Diare karenabakteri dan virus , pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma, Kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan, anoreksia, deman, malabsorbsi, dan dehidrasi.
(Scorviani & Nugroho, 2011)
 Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi,
obat illegal, alkholik,. Dengan anoreksia, mual muntah ,nyeri
abdomen, ikterik, demam atritis. (Scorviani & Nugroho, 2011)
 Penyakit anorektal kerena abses dan fistula, ulkus, dan
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
(Scorviani & Nugroho, 2011)
 Respirasi
Infeksi karena pneumocystic carinii, cytome galovirus, vius
influenza, pneumococcus, dan strongyloides, dengan efek nafas
pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan gagal nafas. (Scorviani &
Nugroho, 2011)
 Dermatologik
Lesi kulit stafililokokus: virus herpes simpleks dan zoster dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus
dengan efek nyeri gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder, dan
sepsis. (Scorviani & Nugroho, 2011)
 Sensorik
 Pandangan : sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek
kebutaan
 Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media,kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri. (Scorviani & Nugroho, 2011)

21
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV / AIDS

A. PSIKONEUROIMUNOLOGI
1. Pengantar psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi merupakan konsep terintegrasi
mengenai fungsi regulasi imun untuk mempertahankan
homeostatis. Untuk mempertahankan homeostatis, sistem imunn
berintegrasi dengan proses psikofisiologik otak, dan karena itu
mempengaruhi dan dipengaruhi otak. Melalui pendekatan ini telah
mulai dipahami mekanisme interaksi antara perilaku, sistem saraf,
sistem endokrin dan sistem imun. (Nurdin, 2017)
Menurut putra (1999), psikoneuroimunologi pada awal
perkembangannya dianggap sebagai kajian, dari beragam ranah
studi. Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga bidang
kajian, yaitu (1) psikologi, (2) neorologi, dan (3) imonologi.
(Nursalam & Kurniawati, 2008)
Secara historis, konsep psikoneuroimunologi dikemukakan
oleh R. Ader dan C. Holder sekitar tahun 1975.
Psikoneuroimunologi muncul setelah adanya Konsep pemikiran
imunopatobiologis dan imunopatologis. Fakta imunopatobiologis
menunjukan bahwa kerentanan infeksi dan metastasis pada
individu yang mengalami stres disebabkan oleh penurunan
ketahanan imunologis, sedangkan kelainan mukosal yang
memunculkan pemikiran respons imun yang melukai merupakan
fakta imunopatologis. Karena kedua pendekatan model berpikir
tersebut dianggap kurang holistik dalam mengungkap
pathogenesis, maka muncullah ilmu baru yang sekaran dikenal
dengan psikoneuroimunologi. Di Indonesia telah terdapat dua

22
penilitian yang di ketahui telah merekam pelaksanaan konsep ilmu
baru ini, yakni setyawan (1999) yang meneliti hubungan antara
latihan fisik dan modulasi respons imunitas, dan soleh (2000) yang
meneliti hubungan antara shalat tahajud dan respons imunitas.
(Nursalam & Kurniawati, 2008)
Psikoneroimunologi berkembang menjadi suatu ilmu
pengetahuan (sains) dengan paradigma yang jelas, yaitu model
berpikir yang terfokus pada pencermatan modulasi sistem imun
stress. Sejalan dengan pesatnya perkembangan penelitian ilmu
dasar, mulai dari sel, molekul, sampai gen stress, maka hasil-hasil
penelitian tersebut telah memicu pemunculan pemikiran baru
terhadap pengembangan psikoneuroimunologi pada berbagai
tingkat kajian bidang ilmu. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
Sebagai perkembangan terakhir, model berpikir
psikoneuroimunologi telah digunakan dalam penelitian di bidang
kedokteran dan diterima sebagai pendekatan yang relative lebih
holistik dan rinci dalam mengungkap mekanisme, baik fisioblologis
maupun patobiologis kesehatan tubuh. (Nursalam & Kurniawati,
2008)
Perkembangan psikoneuroimunologi di Indonesia di awali
oleh penelitian putra dan rekan-rekan (1992). Pengaruh latihan dan
respons imun dilanjutkan pada tahun 1993, meneliti tentang
pengaruh latihan fisik dan kejiwaan terhadap ketahanan tubuh.
Penelitian tersebut berdasarkan pada konsep psikoneuroimunologi.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan fisik yang
dilakukan secara teratur dengan dosis yang intermiten dan
dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan akan meningkatkan
respons imunitas, yaitu peningkatan IgM, IgG, IgA, monosit, subset
T4 (helper), estrogen, kortisol, testosteron, dan ACTH. (Nursalam &
Kurniawati, 2008)

23
Mekanisme penangkatan ketahanan tubuh secara
psikoneuroimunologi dapat dilihat dengan menghubungkan
perubahan yang terjadi pada hormone dan neuropeptida yang
melibatkan faktor kondisi kejiwaan (stress) dalam mekanisme
perubahan ketahanan tubuh. Kondisi kejiwaan tersebut
digambarkan sebagai status emosi yang mencerminkan dasar
konsep kelainan mental. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
2. Psikoneuroimunologi sebagai hibrid Disiplin
Pola pikir ader (1964) menjiwai batasan PNI
(Psikoneuroimunologi) Putra (2004b). Pemahaman terhadap Pola
pikir ader (1964) tersebut sangat diperlukan untuk memahami
definisi PNI Ader (2001) dengan benar, untuk kemudian
membandingkannya dengan batasan PNI, mengingat Ader adalah
seorang psikolog, bukan dokter selain itu Ader adalah salah
seorang pengikut aliran Watson’S Behaviorism. (Nursalam &
Kurniawati, 2008)
Penelitian yang mendasari kelahiran PNI berbasis pada
pengondisian klasik plavlovian (merupakan Watson’s
behaviorisme). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa
pengondisian suatu stimulus akan membentuk perilaku. (Nursalam
& Kurniawati, 2008)
Awalnya, Ader (1964) melakukan penelitian yang bertujuan
untuk meniliti proses pembelajaran binatang yang menimbulkan
perilaku tertentu, yaitu keengganan minum larutan sekarin.
Binatang uji coba yang telah diberi larutan sakarin (conditioned
stimulus - CS) kemudian disuntik dengan larutan
cyclophosphamide (CY), selanjutnya disebut Unconditioned
stimulus (UCS). Binatang uji coba ini mengalami rasa mual karena
adanya larutan CY. Namun telah diberi sakarin berulang kali tanpa
disertai CY, secara bertahap binatang CS mau minum sakarin
kembali. Dari hal ini didapat kesimpulan bahwa telah terjadi proses

24
pembelajaran bahwa minum sakarin tidak menimbulkan rasa mual.
Mengapa proses pembelajaran terjadi pada sakarin tetapi tidak
pada CY? Pertanyaan ini dapat dijawab bila mencermati tujuan
penelitian Ader pada tahun 1964. Penelitian Ader tersebut
dirancang untuk mengetahui efek stimulus yang dikondisikan, yaitu
keengganan binatang terhadap sakarin, oleh karena itu yang
dikondisikan adalah sakarin (CS). Pada binatang CS terjadi proses
pembelajaran, dari semula mau minum, kemudian enggan, minum
dan akhirnya mau minum sakarin kembali. Penelitian Ader ini
bermaksud membuktikan kebenaran Watson’s behaviorism, bahwa
stimululus yang dikondisikan dapat membina perilaku tertentu yang
didasari oleh proses pembelajaran yang menghasilkan kognisi
tertentu berupa stimulus yang dikondisikan tersebut. (Nursalam &
Kurniawati, 2008)
Binatang CS yang digunakan dalam penelitian Ader ternyata
banyak yang mati. Hal ini menarik perhatian Ader yang kemudian
menemui Cohen, seorang imunolog. Tahun 1965, bersama-sama
dengan Cohen, Ader melakukan penelitian yang mirip dengan
penelitian sebelumnya. Tiga hari setelah pengondisian sakarin (cs),
semua binatang uji coba dalam kelompok CS dan kelompok yang
hanya diberi suntikan CY (UCS) diberi suntikan SRBC (imunogen).
Hal yang menarik perhatian adalah ternyata kelompok CS, yaitu
binatang yang dikondisikan dengan sakarin, yang mengalami
penurunan kadar antibodi terbesar terhadap SRBC. Penelitian
Ader-Cohen telah membuktikan bahwa proses pembelajaran pada
binatang dapat menurungkan respon imun. (Nursalam &
Kurniawati, 2008)
Ader-friedman (1946), juga telah meneliti bahwa
pengalaman awalan dapat mempengaruhi kerentanan terhadap
tumor yang ditransplantasikan pada hewan. Penelitian Ader-
Friedman tersebut mulai membuka jendela antara psikobiologi dan

25
respons imun. Ader yang termasuk penganut aliran behaviorism
tidak pernah menyebut adanya stres psikis tetapi dia menyebutnya
sebagai proses pembelajaran yang terjadi pada binatang dicoba
kondisi dan stimulus tertentu. Hal ini sangat dimengerti, mengigat
Ader penganut aliran behaviorism (bukan dokter yang mengikuti
teori psikoanalis). Dalam penelitian Ader-Cohen, stresor yang
digunakan adalah sakarin, yang merupakan stresor kimia. Seperti
telah disampaikan terdahulu, penelitian dengan stresor lain telah
banyak digunakan peneliti lainnya. Semua ini dapat di jumpai
dalam buku Psikoneuroimunologi, edisi ke-3, yang merupakan buku
standar PNI terbaru yang ditulis oleh Ader (psikolog penganut aliran
behaviorism), Felten (neurolog), dan Choen (imonolog). (Nursalam
& Kurniawati, 2008)
Dalam Siegel (1994), di mana Ader merupakan salah satu
kontributornya, disebutkan bahwa terdapat tiga jenis stresor yang
menimbulkan proses pembelajaran dan memodulasi imunitas yaitu
stimulus, stress, dan psikososial. Bedaasarkan uraian tersebut,
maka putra (2004b) mencoba menganalisis dan ahkirnay samapi
pada pemahaman bahwa istilah stresor psikologis (psychological
stressor) tidak dijumpai, baik dalam Ader (2000) maupun dalam
Siegel (1994). Namun demikian, istilah tersebut dimunculkan
sebagai salah satu bentuk stresor yang dapat digunakan dalam
penelitian PNI. Agar istilah tersebut tidak semakin merumitkan
istilah yang telah ada, maka istilah stresor psikologis dibatasi pada
stresor yang menimbulkan proses pembelajaran yang
menghasilkan kognisi yang dapat memudulasi imunitas. Dengan
pemahaman terhadap berbagai uraina tersebut, maka Putra
(2004b) menyimpulkan adanya perbedaan nuansa antara batasan
PNI Matter-Welstar (1999) (nuanas psyche), yang oleh keduanya
istilah psyche tersebut diakui sulit diinformulasikan, sedangkan PNI
Ader bernuansa behaviorism. Menurut Choen (2001), komunikasi

26
antara CNS – sistim imun lebih bersifat bidikresonal. (Nursalam &
Kurniawati, 2008)
Selanjutnya, agar kita lebih mengenal pola pikir Ader dengan
benar, kita mencoba mencermati dua kalimat penting dalam
abstrak di makalahnya yang berjudul: On the Development on
Psychoneuroimmunology. Analis Putra (2004b) sampai pada
kesimpulan bahwa Ader ingin menunjukan regulasi system imun
atau imunoregulasi yang semula diyakini merupakan proses yang
otonom, terbukti dipengaruhi oleh kinerja system saraf , setidak-
tidaknya dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang terjadi di
CNS. Dengan demikian, imunoregulasi terbukti tidak otonom.
Sampai dengan tahun 2000, Ader telah mengajak kita untuk
memahami PNI sebagai campuran disiplin (discipline-heybrid) yang
mempunyai paradigma sendiri, yaitu keterlibatan system saraf
dalam imunoregulasi atau imunoregulasi tidak otonom. Model
interaksi tersebut sesuai dengan model interaksi terakhir.
(Nursalam & Kurniawati, 2008)
Keterlibatan system saraf dalam imunoregulasi dalah pada
kinerja system saraf yang menghasilkan proses pembelajaran
menghasilkan kognisi tertentu yang mampu memodulasi respons
imun. Paradigma PNI ini berbeda dengan pradigma imonologi
sebelum tahun 1991, yang menyatakan imunoregulasi bersifat
otonom. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
Pemahaman PNI sebagai bauran disiplin memunculkan
pemahaman baru bahwa interaksi antara perilaku-neuroendokrin-
system imun merupakan bentuk interaksi komplementer yang
menyatu dalam satu paradigma. Dikemudian hari semua
perkembangan ini akan semakin memacu perkembangan PNI ke
arah penelitian imunologi yang tidak otonomi dan bahkan semakin
terungkap bahwa semua system dalam tubuh bekerja secara tidak

27
otonom, seperti yang diungkapkan dalam psikoneuroimunologi.
(Nursalam & Kurniawati, 2008)
Berdasarkan pada pemahaman konsep di atas, maka
psikoneuromunologi merupakan neulogisme(istilah baru) yang
mengambarkan discipline hybrid, yang meempunyai paradigma
tersendiri,yaitu imonoregulasi bersifat tidak otonom. (Nursalam &
Kurniawati, 2008)

B. KONSEP STRESS DAN STRESSOR


Stress merupakan interaksi dan transaksi antara individu dengan
lingkungan. Pendekatan ini telah dibatasi sebagai “model psikologi”,
varian dari model psikologi ini di dominasi terori stress kontemporer
dan terdapat dua tipe yang dapat di indentifikasi: interaksional dan
transaksional. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
Modal psikologi ini mengambarkan stress sebagai proses yang
meliputi steresor dan ketegangan (strain) dengan menambahkan
dimensi hubungan antara individu dan lingkungan. Interaksi antara
manusia dengan lingkungan yang saling memengaruhi itu disebut
sebagai hubungan transaksional yang di dalamnya terdapat proses
penyesuaian. Stress bukan hanya suatu stimulus atau respon, tetapi
juga agen aktif yang dapat memengaruhi stresor melalui strstegi
perilaku, kognitif, dan emosional. Individu akan memberikan reaksi
stress yang berbeda pada stresor yang sama. (Nursalam & Kurniawati,
2008)
Fokus pembentukan model psikologi pada struktur merupakan hal
yang penting dari individu dengan lingkungan, dimana terakhir ini telah
banyak dikatakan dan didukung dengan interaksi proses psikologi.
Model transaksional secara primer diperhatikan dengan penghargaan
kognitif dan koping. Dalam pengertiannya, mereka menggambarkan
sebuah pengembangan dari interaksi. (Nursalam & Kurniawati, 2008)

28
Pendekatan medikopsikologi stress adalah pradigma dasar dari
psikoneuroimunologi. Jenis stresor ini menyebabkan ganguan
nonspesifik dalam system biologis (sebagai contoh system imun dalam
psikoneuroimunologi) dalam respons untuk sebuah rentang yang luas
dari averse atau noxious stimuli. Hans Selye dalam Putra (1999)
mengatakan bahwa respons melawan stresor mungkin
dimanifestasikan sebagai stres biologis. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
Putra (2004) menjelaskan bahwa stress merupakan respons
terhadap stresor (sumber stress) dan istilah ini berkembang sesuai
dengan perkembangan psikologi. Eric Lindremann Gerald Caplan
dalam Weitin (2004) memberi batasan berupa pernyataan bahwa
“stress adalah keadaan psikologis yang melibatkan kognisi dan emosi.”
Batasan stress dari Eric Lindreman-Gerald Caplan dalam Weitin (2004)
tersebut bernuansa psikologis era kesadaran menurut Wundt. Pada
era tersebut konsep psikologis masih bernuansa kesadaran dan alam
bawah sadar era S. Freud, sehingga konsep stress Eric Lindermann-
Gerald Caplan merupakan konsep stress pisikis. Hal ini berbeda
dengan konsep stress menurun Hans Selye (1938), seorang fisiologi
mendefinisikan stress sebagai respons nonspesifik dari tubuh manusia
terhadap tuntunan, sehingga konsep stressnya dikategorikan kedalam
konsep stress biologis. Dengan demikian, konsep stress dikatagorikan
menjadi dua yaitu konsep pisik dan konsep biologis. (Nursalam &
Kurniawati, 2008)
Pada perkembangan selanjutnya, muncul konsep stress dari
Dhabhar-McEwen (2001) yang menyebutkan bahwa stresor akan
direspons oleh otak berupa persepsi stress (stress–perception),
kemudian direspons oleh sistem lain termasul system imun, sehingga
muncul respons stress (stress-response) berupa modulasi imunitas.
Putra (2004) mencoba menyesuaikan konsep stress dari Dhabhar-
McEwen (2001) dengan kedua konsep stress terdahulu. Pertama,
persepsi stress merupakan istilah lain untuk menyebut peristiwa-

29
peristiwa mental intrernal (internal mental efents), yaitu proses
pembelajaran atau presepsi. Hal ini sesuai pendapat Ader (2001) yang
mengatakan bahawa persepsi merupakan kemampuan memahami
atau mengonsepkan stresor yang diterima, menghasilkan suatu kognisi
(pemahaman terhadap stressor) yang dapat memodulasi imunitas,
disebut respons stress dari system imun. Kedua, persepsi stress
merupakan peristiwa mental internal yang dapat dimaknai sebagai
stress psikis, sesuai dengan konsep stress dari Lindermann-Caplan.
Dalam analisisnya, Dhabhar-McEwen mengajukan konsep stress yang
dinamakan sebagai persepsi stress presepsi stress. Tersebut
mengakomodasi peristiwa mental internal menurut Skinner (1953),
proses pembelajaran (learning process) menurut Ader, atau proses
kognisi (cognition process) menurut Weiten (2004). (Nursalam &
Kurniawati, 2008)
Stress merupakan suatu respons biologis. Hal ini sesuai dengan
pemikiran Selye (1983) bahwa stress berfokus pada resksi seseorang
terhadap stresor dan mengambarkan stress sebagai sutau respons.
Respons yang dialami tersebut mengandung dua komponen, yaitu
komponen psikologis (meliputi perilaku pola pikiran, emosi, dan
perasaan stress) dan komponen fisiologis (berupa rangsangan-
rangsangan fisik yang mengingkat). Selye (1983) mengemukakan
respons tubuh terhadap stress tersebut sebagai sindrom stress (stress
syndrome) atau sindrom adaptasi umum (general adaptation
syndrome- GAS) yang merupakan respons umum dari tubuh. GAS
menurut Selye terjadi saat organisme mengalami stress yang panjang
atau lama sehingga organ tubuh yang lain juga ikut terpengaruh oleh
kondisi stress tersebut. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
Defenisi untuk pendekatan medikopisiologi dan stress belajar
dimulai dengan konsep Selye (1983) yang menjelaskan bahwa stress
merupakan kondisi yang dimanifestasikan dengan gejala khusus, serta
terdiri atas perubahan nonspesifik dari system biologis.

30
Selye (1983) menjelaskan respons stress dapat secara signifikan
terkait dengan patologi fisik. Hal ini terjadi ketika individu sering
berinteraksi dengan stresor dalam jangka waktu yang lama dan tingkat
stress tinggi. Situasi paradoksal meningkat kemampuan manusia untuk
merespon secara aktif dalam lingkungan patologis. Mesikipun
demikian, dalam jangka waktu lama keadaan ini dapat menimbulkan
berbagai penyakit. Selye (1983) ketika respons stress lambat lalu
berkembang secara adaptif dalam waktu yang pendek hal ini
meningkatkan kemampuan manusia untuk merespos secara aktif
dalam lingkungan patologis meskipun demikian dalam langka waktu
lama keadaan ini dapat menimbulkan berbagi penyakit selye (1983),
mengatakan bahwa stresor menyebabkan munculnya sindrom
adaptasi umum (GAS) melalui beberapa tahap berikut:
1. Tahap Peringatan(Alarm Stage)
Tahap ini merupakan tahap reaksi awal tubuh dalam
menghadapi berbagai stresor reaksi ini mirip dengan fight or flight
response (menghadapi atau lari dari stress-ed) tubuh tidak dapat
bertahan pada tahapan ini dalam jangka waktu lama.
2. Tahap Adaptasi atau Eustres(Adaptation Stage)
Tahap ini merupakan tahap dimana tubuh mulai beradaptasi
dengan adanya stress dan berusaha mengatasi serta membatasi
stresor. Ketidakmampuan beradaptasi mengakibatkan tubuh
menjadi lebih rentan terhadap penyakit (disebut penyakit adaptasi).
3. Tahap Kelelahan atau Distress (Exhaustion Stage)
Tahap ini merupakan tahap dimana adaptasi tidak bisa
dipertahankan karena stress yang berulang atau berkepanjangan
sehingga berdampak pada seluruh tubuh. (Nursalam & Kurniawati,
2008)

Berdasarkan pendapat beberapa ahli, maka putra (2004a)


merumuskan istila stresor piskologis sebagai berikut:

31
1. Pada penelitian Ader tahun 1964, terbukti telah terjadi proses
pembelajaran pada binatang uji coba yang menghasilkan kognisi
bahwa sakarin (saccharin) menimbulkan rasa mual atau sesuatu
yang tidak nyaman hal ini ditunjukan oleh binatang uji coba yang
enggan minum sakarin. Perilaku ini sesuai dengan konsep skinner
(1953) (behaviorism), yang mengemukakan bahwa individu tidak
akan mengulangi aktivitas yang merugikan .
2. Konsep stresor menurut Dhabhar dan McEwen (2001), yang
menyebutkan bahwa sitimulus (stresor) akan menimbulkan
persepsi stress dan selanjutnya terjadi respons stress. Konsep ini
menyatakan bahwa sitimulus akan menimbulkan proses
pembelajaran diotak sehingan menghasilkan kognisi yang mampu
memodulasi imunitas.
3. Pencermatan stresor yang digunakan pada penelitian
psikoneuroimunologi, antara lain stresor psikisosial, seperti
perpisahan dalam pernikahan dan perbedaan rumah, serta stimulus
fisik, seperti renjatan listrik, rotasi kerja, dan suara bising
(Sigel,1994). Stresor lain dapat berupa stress karena bencana
alam, pekerjaan, pelajaran, beradaptasi dalam lingkungan baru,
ujian, pembedahan/operasi, dan lain-lain. (Nursalam & Kurniawati,
2008)

Berdasarkan ketiga uraina diatas, Putra (2004a) mengajukan


batasan stresor psikologis sebagai semua stimulus yang menghasilkan
persepsi stress atau kognisi yang dapat menimbulkan respon stress
berupa modulasi imunitas pada individu. Modulasi imunitas adalah
perubahan imunitas, baik imunitas alami maupun adaptif, yang
meningkat atau menurun. Konsep stresor psikologis tersebut juga
sesuai dengan batasan psikologi menurut Weiten 2004. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa semua stimulus menimbulkan
kognisi modulasi imunitas yang dapat digunakan untuk penelitian

32
berbasis paradigma psikonouroimunologi. Dalam pemberlakuannya,
paradigma psikonouroimunologi adalah presepsi stress atau kognisi
sebagai hasil proses pembelajaran, bukan jenis stimulus. Jadi, semua
jenis stimulus menimbulkan proses pembelajaran yang menghasilkan
kognisi yang mampu memodulasi imunitas dan dapat digunakan pada
penelitian paradigma psikoneuroimunologi. (Nursalam & Kurniawati,
2008)
Menurut pemahaman putra (2004a) semua stimulus yang mampu
membangun proses pembelajaran dapat menghasilkan persepsi stress
atau kognisi yang dapat memodulasi imunitas dapat digunakan dalam
penilitian psikoneuroimunologi. Keluwesan konsep stresor ini
mencakup banyak jenis stresor yang melibatkan proses pembelajaran
sehingga menimbulakan persepsi stress yang menghasilkan kognisi.
Stresor jenis ini mencakup latihan fisik renjatan listrik, gempa bumi,
hipoksi, (penurunan pasokan oksigen), iklim yang terlalu ekstrem (
panas atau dingin), trauma, upaya yang berkepanjangan dalam
melakukan suatu hal, respons terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan
dan masih banyak lagi. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
Stresor merupakan sumber stres yang tidak selalu menimbulkan
distress (stres berat), namun dapat membantu memunculkan
keseimbangan baru (eustres). Konsep stresor yang digunakan dalam
buku ini adalah dan pendapat Dhabhar dan McEwen (2001), yang
mengemukakan bahwa stimulus stresor akan menimbulkan persepsi
stres (kognisi) dan selanjutnya akan menyebabkan respon stres
(biologis). Konsep ini menyatakan bahwa stimulus akan menimbulkan
proses pembellajara diotak yang menhasilakan koknisi beruap respon
spiritual, social, dan penerimaan diri yang mempu memodulasi respon
imunitas (CD4, IFN-ʏ, dan Anti-HIV). (Nursalam & Kurniawati, 2008)
Penyakit merupakan stressor atau penyebab stress bagi
seseorang. Penyakit merupakan stimulus yang membuat seseorang
mengalami stress. HIV/AIDS merupakan kategori penyakit yang

33
menyebabkan stress tingkat tinggi bagi penderitanya. Stress tersebut
disebabkan karena perubahan fisik yang cukup signifikan dan dampak
psikososial penyakit (stigma dan diskriminasi) yang harus mereka
terima dari masyarakat. Para Perempuan dengan HIV/AIDS
mempunyai cara berbeda dalam menghadapi stress (stress koping)
yang dihadapi karena penyakitnya. Sebagian besar mampu
mengembangkan strategi koping yang positif sehingga dapat terus
bertahan dnegan penyakit dan segala konsekuensi hidup yang dijalani.
Sementara mereka yang mengembangkan strategi koping yang
negative cenderung tenggelam dalam beban yang semakin lama
memperparah penyakitnya dan akhirnya tenggelam tidak mampu
bertahan hidup lebih lama. (Dakwah, Walisongo and Pendahuluan,
2013)

Contoh Kasus:
Seorang wanita 21 tahun dirawat dengan keluhan batuk lama, demam,
penurunan berat badan yang drastic, diare kronis, nyeri telan, luka
pada mulut dan labia mayora. Radiologi toraks didapatkan infiltrat pada
kedua paru. Penderita sebelumnnya telah dirawat sebagai penderita
HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB) paru (kasus drop out). Hasil
laboratorium didapatkan CD4 absolut:6:CD4%:3%, hasil sputum
didapatkan bakteri tahan asam (BTA), ulkus pada oral dan pada labia
mayora. Penderita dirawat diruang isolasi, diberikan: O2 3-4
Liter/permenit, Infus RL/D5/Aminofusin, dipasang nasogastrik tube,
paracetamol 3x500mg, tranfusi packet red cell (PRC), kontrimoksazole
1x960 mg, Nystatin oral drops 4x2 cc, fluconazole oral 1x100 mg,
fusidic cream pada labia mayora, Rifamfisin 450mg, INH 300mg,
Ethambutol 1000mg. Dalam 4 hari pertama keadaan umum membaik,
diare berkurang, hari berikutnnya keadaan umum menurun diberikan
tambahan antibiotik ciprofloxcin 200mg/12jam. Penderita dirawat

34
selama 12 hari dengan diagnosa kerja HIV/AIDS dan TB paru serta
infeksi opportunitis.Penderita meninggal dunia setelah di rawat 12 hari

C. Pengkajian
1. Identitas Klien

Nama : Ny. S
Umur : 21 th
No Reg : 012 68651
Ruang : Seruni
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Jalan Biraan 322 Dayeuhkolot, Bandung
Suku Bangsa : Sunda / Indonesia
Pendidikan : SMU
MRS : 26 Februari 2016
Tanggal Pengkajian : 26 Februari 2016
DX Medis : B20.

2. Keluhan Utama
Saat MRS :Klien di bawa ke rumah sakit dengan keluhan
diare dan demam tinggi.
Saat pengkajian : Klien mengatakan badan terasa lemah, dan
tidak mampu melakukan aktifitas.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak tanggal 25 Februari 2016 klien mengalami diare hebat
sekitar 12-13x/hari, tidak nafsu makan (anoreksia), dan kesulitan
menelan (disfagia). Klien juga mengalami demam sejak 23 Februari
2016 dan dibawa ke rumah sakit pada pukul 09.00 WIB. Pada saat

35
pengkajian klien berkata-kata dengan suara yang lirih seperti
kelelahan dan mengeluhkan badan terasa lemah.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Dalam 3 bulan terakhir Ny. S sering mengalami diare tak
terkontrol tanpa merasakan sakit perut, penyebabnya tidak
diketahui, dengan faktor yang memperberat adalah bergerak
sehingga usaha yang dilakukan adalah diam. Klien juga demam
tinggi sehingga dibawa ke puskesmas untuk mendapatkan
perawatan. Dari riwayat 3 bulan terakhir Ny. S pernah 3-4 kali
mengalami demam dan 1 kali mengalami diare disertai darah.
Klien juga mengatakan pada masa mudanya pernah
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

5. Riwayat Kesehatan Keluarga


Dari riwayat penyakit keluarga, tidak didapatkan anggota
keluarga yang mengalami kelainan, penyakit kronis, ataupun
penyakit yang sama dengan Ny. S.

6. Riwayat Psikososial
a. Persepsi Klien Terhadap Masalah
Ny. S mengatakan bahwa penyakitnya ini merupakan masalah
yang mengkhawatirkan, sambil mengungkapkan itu wajahnya
terlihat lemah, dan badannya terlihat lemas. Saat ditanya
tentang penyakit, pengobatan, komplikasi Ny. S hanya
menggelengkan kepala. Klien hanya mengatakan pernah
mengkonsumsi obat terlarang sehingga dikucilkan oleh
saudara-saudaranya. Pasien merasa diasingkan oleh keluarga
dan teman-temannya, pasien tidak punya uang lagi, pasien
merasa frustasi karena tidak punya teman dan merasa

36
terisolasi. Pasien pernah mencoba melakukan percobaan bunuh
diri dengan berusaha melompat dari lantai 2.

7. Pola Kesehatan Sehari-hari Selama Di Rumah dan RS


a. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Di Rumah : Makan 3x/hari, habis satu porsi dengan Komposisi
nasi sayur dan telur terkadang tempe. Minum
air putih 1000 cc/hari ditambah kopi tiap pagi.
Di Rumah Sakit : saat pengkajian klien menunjukkan gejala
anoreksia dan kesulitan menelan, makan 2x/hari
tidak habis, minum air putis 300cc/jam.
b. Pola Eliminasi
1) Kebiasaan Devekasi Sehari-hari
Di Rumah : klien devekasi 12-13x/hari dengan konsistensi
cair, warna kuning kecoklatan. Pernah satu kali
devekasi disertai darah
Rumah Sakit : saat pengkajian klien belum devikasi
karena pasien baru datang.
2) Kebiasaan Miksi
Di Rumah : Tn. T miksi 3-4x / hari (kira-kira 1500 cc) warna
kuning, bau khas, tidak ada kesulitan BAK,
tidak terdapat darah pada urin. Selama sakit
BAK 3-4x/ hari.
Di Rumah Sakit : klien BAK tanpa alat bantu ataupun
kateter.
c. Pola Tidur dan Istirahat
Dirumah Klien : istirahat (tidur) kira-kira 6 jam/hari mulai jam
22.00 WIB sampai 05.00.
Di Rumah Sakit : klien tidur siang selama 40 menit
d. Pola Aktivitas

37
Di rumah : klien beraktifitas secara mandiri tanpa bantuan orang
lain dan tidak memiliki kebiasaan olah raga
Di rumah sakit : klien merasa mudah lelah, tidak kuat untuk
mengangkat beban berat maupun sedang.
Klien mendapat terapi istirahat, beberapa
aktifitasnya dibantu.
e. Pola Reproduksi dan Seksual
Klien Ny. S dengan usia 25 th belum memiliki anak. Klien sering
melakukan aktivitas seks bebas.

8. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Lemah, terpasang infus RL,
Keadaan sakit : Klien sering mengeluh lemas
Tekanan darah : 90 / 80 mmHg
Nadi : 55 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Bising Usus : 20 x/menit Suhu : 37,8˚C
Tinggi badan : 167 cm Berat badan : 52 kg
b. Review of System (ROS)
1) Kepala : Posisi tegak, bentuk kepala simetris, warna rambut
hitam, distribusi rambut merata, tidak terlihat
bayangan pembuluh darah, tidak terdapat luka, tumor,
edema, terlihat ada ketombe, dan bau.
 Mata ; tidak terdapat vesikel, tidak ada masa, nyeri tekan,
dan penurunan penglihatan, konjungtiva anemis.
 Hidung ; ada sekret, tidak ada lesi
 Mulut ; terdapat lesi, gigi ada yang tanggal, membran
mukosa kering, lidah ada bercak-bercak keputihan, dan
halitosis.
 Telinga ; tidak ada nyeri tekan

38
2) Leher : trakea simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
dan vena jugularis, tidak ada nyeri tekan.
3) Thoraks : bentuk simetris, tidak terdapat masa,tidak ada otot
bantu napas
 Paru ; bentuk dada simetris, tidak terdapat retraksi
interkosta, ekspansi kanan dan kiri sama, perkusi paru
didapat suara sonor di seluruh lapang paru, batas paru
hepar dan jantung redup,
 Jantung ; ictus cordis terlihat di mid-clavicula line sinistra
ICS 5,
4) Ketiak dan Payudara ; Tidak didapatkan pembesaran
kelenjar limfe dan tidak ada benjolan, puting dan areola baik
5) Abdomen : bentuk simetris, ada nyeri tekan, tidak
ada benjolan, tidak ada tanda pembesaran hepar, tidak
didapati asites, dan hasil perkusi didapat suara timpani,
6) Genetalia : Ny S, Klien seorang perempuan
 klien di sirkumsisi, gland penis terdapat bercak,
pada batang penis ada tanda jamur, tidak ada tanda
herpes, ada lesi.
 tidak ada lesi, tidak ada tanda jamur, tidak ada tanda
herpes
 tidak terdapat kelainan, tidak ada lesi
7) Anus dan Rektum : tidak ada abses, ada hemoroid, rektum
didapati sedikit berlendir.
8) Ekstremitas : kekuatan otot menurun, tidak terdapat edema,
tidak ada fraktur, tidak tampak tanda atropi
9) Integumen : warna sawo matang, tekstur kering, terdapat
kemerahan pada area, turgor buruk, terdapat tanda sianosis,
akral dingin, capillary refill time >3 detik, tidak ada tanda
inflamasi pada kuku, ada lesi pada kulit bagian area scapula
10) Status Neurologis

39
a) Tingkat kesadaran : Kompos Mentis
b) Tanda – tanda perangsangan otak
 Pusing
 Suhu tubuh 37,8˚C
c) Uji saraf kranial
NI : Klien tidak dapat membau dengan baik
N II : Klien dapat melihat dengan jelas
N III : Klien dapat menggerakkan bola mata
N IV : Klien dapat melihat gerakan tangan perawat
baik ke samping kiri ke kanan.
NV : Klien dapat menggerakan rahang
N VI : Klien dapat menggerakan mata kesamping
N VII : Klien dapat merasakan pahit, manis, asam,
dan manis
N VIII : Klien dapat mendengarkan degan baik
N IX : Klien dapat berbicara
NX : Klien dapat mengangkat bahu
N XI : Klien dapat berbicara dengan baik
N XII : Klien dapat menggerakan lidah dan dapat
berbicara dengan baik
d) Fungsi Motorik Tidak ada gerakan yang tdak disadari
klien, klien mampu bergerak tanpa perintah.
e) Fungsi Sensorik Klien tidak merasakan usapan kapas
pada area maksilaris, dapat merasakan benda tajam,
tidak dapat merasakan hangat, panas, dan dingin.
f) Refleks Pantologis Reflek babinsky negatif, reflek cadlok
negatif, reflek Gordon negatif.

9. Pemeriksaan Penunjang
a) Hasil Test Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) : dari hasil test
ELISA yang dilakukan, menunjukkan hasil bahwa Tn. T Positif

40
dibuktikan dengan antibodi dalam serum mengikat antigen virus
murni di dalam enzyme-linked antihuman globulin.
b) Hasil Test Western Blot : Positif
c) P24 Antigen Test : Positif
d) Kultur HIV : Positif, dengan kadar antigen P24 Meningkat

D. Intervensi

Diagnosa Noc Nic


1. Risiko Infeksi Pencegahan infeksi  Monitor tanda dan
gejala lokal dan
sistemik
 Berikan perawatan kulit
pada edema.
 Cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
 Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
 Ajarkan etika batuk
 Ajarkan cara
memeriksa kondisi luka
atau luka operasi.
2. Pola Nafas Pemantauan Respirasi  Monitor frekuensi,
Tidak Efektif irama, kedalaman dan
upaya napas
 Monitor pola napas
(seperti bradipnea,

41
takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-
Stokes, Biot, ataksik)
 Aukultasi bunyi napas
 Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien.
3. Resiko Manajemen Cairan  Monitor berat badan
harian
Keseimbanga
 Monitor berat badan
n Cairan sebelum dan sesudah
dialysis
 Catat intake-output dan
hitung balans cairan 24
jam
 Berikan asupan cairan,
sesuai kebutuhan

42
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
HIV / AIDS adalah salah satu penyakit yang harus di waspadai
karena Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) sangat berakibat
pada penderitanya. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh
manusia setelah sistem kekebalan dirusak oleh virus HIV
(HummanImmunodeficiency Virus). (Masriadi, 2014) AIDS adalah
sekumpulan gejala yang menunjukan kelemaham atau kerusakan daya
tahan tubuh yang di akibatkan oleh factor luar (bukan di bawah sejak
lahir).
Menurut putra (1999), psikoneuroimunologi pada awal
perkembangannya dianggap sebagai kajian, dari beragam ranah studi.
Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga bidang kajian, yaitu
(1) psikologi, (2) neorologi, dan (3) imonolog.
Stress merupakan suatu respons biologis. Hal ini sesuai dengan
pemikiran Selye (1983) bahwa stress berfokus pada resksi seseorang
terhadap stresor dan mengambarkan stress sebagai sutau respons.
Respons yang dialami tersebut mengandung dua komponen, yaitu
komponen psikologis (meliputi perilaku pola pikiran, emosi, dan
perasaan stress) dan komponen fisiologis (berupa rangsangan-
rangsanganfisik yang mengingkat).
Stresor merupakan sumber stres yang tidak selalu menimbulkan
distress (stres berat), namun dapat membantu memunculkan
keseimbangan baru (eustres). Konsep stresor yang digunakan dalam
buku ini adalah dan pendapat Dhabhar dan McEwen (2001), yang
mengemukakan bahwa stimulus stresor akan menimbulkan persepsi
stres (kognisi) dan selanjutnya akan menyebabkan respon stres
(biologis).

43
B. Saran
Buat para remaja di era melanial yang semakin canggih ini harus
lebih berhati-hati dalam pergaulan dan jangan mudah terpengaruh
dengan jaman sekarang, karena kita harus berhati-hati terhadap
lingkungan ini. Jangan pernah mencoba nikmatnya dunia terutama
pergaulan bebas.

44
DAFTAR PUSTAKA

45

Anda mungkin juga menyukai