Anda di halaman 1dari 21

KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT DI INDONESIA

Oleh:
Johana E. Prawitasari
Pensiunan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)

Abstrak
Makalah ditulis berdasarkan pemikiran yang telah banyak tertuang di
artikel jurnal, buku, dan disajikan di berbagai forum. Perlu dipikirakan
adanya pembaruan dalam paradigma tentang kesehatan mental
masyarakat. Indikator dapat menggunakan kesehatan psiko-sosial.
Pengiraan juga mengalami perubahan cara pandang dari unit analisis
perorangan menjadi komunitas. Demikian pula intervensi dapat
menggunakan pengalihan teori, konsep, metode, teknik dalam
psikologi klinis pada unit di luar individu, keluarga, dan kelompok.
Dalam makalah disajikan beragam contoh pengalihan kekayaan
psikologi klinis tersebut pada masyarakat. Untuk mendalami cara
pandang baru ini dapat dibaca berbagai pustaka acuan yang ada dalam
makalah. Penulis mengajak peserta temu ilmiah untuk memikirkan
pembaruan dalam cara pandang pendidikan psikologi, sehingga
pemikiran tentang kesehatan mental masyarakat dapat disajikan
dalam komunitas ilmiah global.

Tulisan ini akan menyajikan pemikiran tentang kesehatan mental masyarakat.


Selama ini psikologi biasa berorientasi pada orang per orang. Istilah kesehatan mental
masyarakat akan mengacu pada publik. Dengan sendirinya muncul berbagai hal yang
perlu dipertimbangkan. Antara lain proses pengiraan atau assessment dan tindakan,
perlakuan, atau intervensi perlu disesuaikan dengan publik atau masyarakat luas.
Proses pengiraan orang per orang biasa menggunakan pengukuran psikologis
dengan validitas dan reliabilitas sesuai dengan kaidah psikometri. Sedangkan proses
pengiraan untuk masyarakat dapat disesuaikan dengan validitas dan reliabilitas dengan
kaidah ekometri. Psikometri menggunakan data kuantitatif yang sesungguhnya berasal
dari data kualitatif dan menggunakan skala interval di satu pihak. Di lain pihak, bila kita
menghadapi masyarakat sebagai unit analisis, data kualitatif dan perilaku biasa
digunakan. Biasanya individu disarangkan di unit yang diteliti atau yang diberi layanan.
Misalnya, individu disarangkan dalam Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),
dusun, desa, kecamatan, kota dan seterusnya bergantung pada unit analisis atau

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


layanan yang terlibat dalam penelitian. Begitu kita memberikan layanan pada
masyarakat, mau tidak mau kita melakukannya bersama masyarakat yang kita layani.
Apabila tidak demikian, belum tentu program yang dikembangkan berterima pada
masyarakat.
Kesehatan masyarakat atau public health berorientasi pada epidemiologi; artinya
ilmu pengetahuan tentang penyakit-penyakit yang merebak di masyarakat. Akan
diperoleh data prevalensi atau jumlah total kasus yang ada atau insidensi atau jumlah
kasus baru yang ditemukan. Indikator kesehatan masyarakat selama ini berupa angka
kelahiran, angka kematian terutama ibu dan anak, dan usia harapan hidup. Lalu
bagaimana dengan indikator kesehatan mental masyarakat? Saya mengajukan usulan
kesehatan psikososial masyarakat dengan rasio perbandingan antara jumlah penduduk
dengan kegiatan masyarakat. Indikator ini bukan sesuatu yang diskrit tapi kontinum
dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Begitu kita memelajari batinan
manusia, kita perlu belajar tentang kait mengait antara satu hal dengan hal lainnya yang
tidak dapat begitu saja dipilah dan dipisahkan. Seperti halnya pikiran, perasaan,
dorongan, perilaku semua menyatu ada di satu manusia. Kita membuat konsep untuk
menerangkan perilaku manusia. Berbagai konsep tersebut dapat diabstraksikan
menjadi teori. Untuk meneliti berbagai konsep tersebut kita perlu metode dan dalam
metode ada berbagai teknik.
Lalu kesehatan mental masyarakat Indonesia akan seperti apa? Saya akan
mengajukan pemikiran tentang itu. Sebelumnya saya akan mengajukan pemikiran
tentang psikologi nusantara yang dapat menunjukkan kekhasan Indonesia di mata
dunia. Lebih lengkap tentang psikologi nusantara dan indikator kesehatan mental
masyarakat ada di buku saya: Psikologi Klinis: Pengantar Terapan Mikro dan Makro
(Prawitasari, 2011). Selain itu sebagian tulisan dalam makalah ini telah saya sajikan
pada acara temu ilmiah Ikatan Psikologi Klinis (IPK) di Surabaya pada tanggal 1 dan 2
November 2012.

PSIKOLOGI NUSANTARA?

Mungkin terdengar latah psikologi dengan nama itu karena sudah ada Bina
Nusantara, Satria Nusantara, ataupun Taruna Nusantara. Maka saya tulis nama itu
dengan tanda tanya. Saya tidak terlalu yakin bahwa psikologi nusantara akan berterima.
Tapi apalah arti sebuah nama kata William Shakespeare. Marilah kita bersama-sama
menamai psikologi yang berkembang di persada pertiwi ini kalau memang ada.
Bukankah jargon yang dibuat, konsep yang dibangun, teori yang disusun, dan model
yang dikembangkan perlu disetujui oleh masyarakat ilmiah kita? Jadi sebetulnya kita

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


tidak perlu ragu-ragu menyebutkan bahwa penelitian kita memang bersifat inovatif.
Memang kita kalah dalam perkembangan ilmu pengetahuan berikut terapannya di
negara maju, lebih lagi ilmu perilaku. Kita seolah-olah hampir selalu menjadi konsumen
tidak hanya dalam ilmu pengetahuan tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan
inovatif jarang didanai karena konsep yang terdengar asing (catatan: ada usaha
mengajukan penelitian interdisiplin untuk mengembangkan psikologi nusantara;
misalnya usulan tentang kepemimpinan gamelan dengan sejawat dari ilmu kesehatan
masyarakat berikut mahasiswa pasca sarjana psikologi dan kesehatan masyarakat, tapi
ditolak.) Apalagi untuk usulan dengan metode kualitatif untuk menggali informasi awal,
pendana belum terbuka untuk itu. Mereka masih mengutamakan pendekatan kuantitatif
dengan kepastian yang dapat diramalkan. Padahal sesungguhnya penelitian perilaku
berasal dari data kualitatif yang dikuantifikasikan.
Apabila kita lebih percaya diri, banyak kajian berdasarkan kearifan lokal dapat
diangkat menjadi konsep perilaku orang kita sendiri. Kemudian konsep tersebut dapat
dibingkai dengan kaidah ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat
berterima di antara masyarakat ilmiah, tidak hanya di dalam negeri tetapi di dunia
global pula. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi, kita sebetulnya dapat
memenggal di tengah, sehingga kita tidak perlu melalui tahap perkembangan psikologi
di Amerika atau negara maju lainnya. Kita dapat mengembangkan apa yang kita punyai
di sini untuk disumbangkan pada dunia global.
Untuk mendukung pengembangan psikologi nusantara ada dukungan dari ilmu
filsafat dengan gagasan tentang dekonstruksi. Tokohnya adalah Jacques Derrida, orang
Yahudi Perancis. A. Sudiadjo memberikan pengantar tentang ajaran Derrida ini di
majalah Basis terbitan November-Desember 2005. Derrida lahir tahun 1930 dan baru
saja meninggal di tahun 2004. Dalam riwayat hidup yang dikutip Sudiardjo tersebut
terlihat bahwa Derrida dua kali mengalami kegagalan. Di tahun 1947 dia gagal ujian
sarjana muda dan tahun 1955 dia gagal ujian lisan di bidang psikologi. Menurut
Sudiardjo Derrida mulai terkenal ketika dia diundang di Universitas Johns Hopkins di
Amerika Serikat di tahun 1966. Dia mulai terkenal dengan gagasannya tentang
dekonstruksi. A. Sumarwan di dalam tulisannya menyebutkan bahwa “…dekonstruksi
mewakili sebuah hasrat dan cita-cita untuk membongkar bangunan yang sudah mapan,
mempreteli sebuah konstruksi…” (hal. 16). Jadi ada baiknya kalau kita juga melakukan
dekonstruksi terhadap kemapanan teori-teori utama psikologi yang ditulis oleh ahli-ahli
dari Eropa dan Amerika. Mengapa kita tidak berani untuk mengembangkan dan
mengkonstruksikan psikologi nusantara? Terutama kita perlu berani untuk
mengemukakan konstruksi psikologis berdasarkan pengalaman dan pemikiran orang
Indonesia? Kita juga perlu berani memilahkan antara konstruksi sosial dan melakukan
dekonstruksi terhadap kemapanan itu.

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


Saya baru tahu kalau Interactional Group Discussion (IGD) yang kami kembangkan
untuk perubahan perilaku petugas kesehatan mengurangi injeksi yang tidak rasional di
tahun 1992 (Prawitasari Hadiyono, Suryawati, Danu, Sunartono, dan Santoso, 1996)
diulang dengan sukses di Kamboja, Pakistan, dan Tanzania (Hutin, 2004). Kami datang
di International Conference on Improving Use of Medicine (ICIUM) ke-2 di Chiang Mai,
Thailand 30 Maret-2 April 2004. Memang IGD bukan psikologi nusantara tapi prinsip
ilmu perilaku yang diterapkan untuk perubahan perilaku petugas kesehatan dalam
penggunaan obat rasional di puskesmas telah diakui secara global. Terutama kerjasama
berbagai ilmu dalam satu wadah membuahkan hasil yang signifikan untuk
pengembangan psikologi terapan yang berguna untuk bidang lain dan negara lain.
Pengalaman dalam IGD dan proses penelitian bersama lain (Prawitasari Hadiyono,
2001), saya sajikan di hadapan mahasiswa internasional di bidang kesehatan di
Universitas Oslo, Norwegia pada minggu ketiga September 2004. Apakah itu juga bagian
dari psikologi nusantara? Pembaca akan menjawab.
Usaha untuk mengembangkan psikologi nusantara sudah ada. Antara lain Happy
Sola Gracia (2004) meneliti “Isin” sebagai kontrol moral dan bentuk penyesuaian diri
pada masyarakat Jawa. Endang Ekowarni, Diana Rahmi Andriani, dan Andri
Kushendarto (2004) meneliti pemahaman budi luhur pada para abdi dalem keraton
Yogyakarta. Kedua penelitian ini dibiayai oleh proyek SP4 pengembangan jurusan
Program Studi Psikologi UGM. Proyek ini menggunakan kearifan lokal untuk
menerangkan perilaku orang di Jawa. Gracia menggunakan pendekatan kualitatif,
sedangkan Ekowarni, Andriani, dan Kushendarto menggunakan pendekatan kuantitatif.
Usaha ini diharapkan menyumbang pada psikologi nusantara.
Sebelumnya Nanik Prihartanti di Anima April 2003 telah menyumbang pada
psikologi nusantara. Dalam disertasi doktornya, Prihartanti meneliti tentang kajian
psikologis konsep rasa yang diciptakan oleh Suryomentaram. Dalam disertasinya ia
ingin menunjukkan bahwa ada konsep pribumi yang dapat dikembangkan sebagai
model kesehatan mental positif. Sejak di program S2 Prihartanti telah mulai melakukan
penelitian tentang konsep rasa Suryomentaram. Ia menggunakannya untuk pemecahan
masalah yang tujuannya mengurangi gangguan penyesuaian diri. Dengan Karyani,
Prihartanti (1998) meneliti kompetensi sosial dengan menggunakan konsep rasa.
Prihartanti (1999) telah menulis tentang penggunaan olah rasa untuk mengembangkan
kualitas kepribadian. Meskipun nama saya ada di situ berikut dua pembimbing lainnya,
apa yang tertulis itu betul-betul karya Prihartanti dalam disertasinya. Nama saya di situ
hanyalah nebeng. (Catatan: kalimat dalam alinea ini sebagian besar saya kutip dari
tulisan saya untuk kongres HIMPSI di awal tahun 2004).

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


Apa yang telah ditulis Prihartanti di Anima saya sajikan di hadapan mahasiswa
University College of Boras, Swedia ketika saya menjadi profesor tamu di pertengahan
September dan awal Oktober 2004. Jadi ketika Prihartanti menyebutkan bahwa
psikologi yang dikembangkan itu untuk Indonesia saja, saya bantah karena orang di luar
Indonesia juga perlu belajar tentang itu. Salah satu mahasiswa pada waktu itu
berkomentar mengapa harus meneliti beberapa orang secara kualitatif dulu, mengapa
tidak langsung saja menulis berdasarkan teori yang ada. Ketika itu saya jawab bahwa
Prihartanti ingin menggali dulu secara emik (catatan: dalam psikologi lintas budaya ada
pendekatan etik dan emik, pendekatan etik berdasarkan teori yang ada dan emik
berdasarkan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh subjek yang diteliti)
perilaku orang Indonesia dengan konsep Indonesia atau Jawa tepatnya. Seperti
psikologi kita, mahasiswa di sana juga sangat bertumpu pada analisis statistik. Mereka
jarang menggunakan pendekatan kualitatif kecuali mereka yang berasal dari program
pedagogi. Selain Prihartanti, jauh sebelumnya Darmanto Jatman telah menulis tentang
konsep Suryamentaram untuk tesis S2-nya. Ilmuwan dan budayawan ini dengan setia
menggunakan konsep rasa Suryamentaram untuk analisis perilaku orang Indonesia
(Jatman, 2003).

KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT

Di aras mana pun, apakah itu mikro atau makro, saat psikologi klinis diterapkan,
tetap saja pengiraan atau asesmen mau tidak mau harus dilakukan. Hasilnya digunakan
untuk menentukan tindakan paling tepat bagi kasus yang sedang ditangani. Untuk kasus
perorangan, banyak sekali metode dan teknik tersedia. Antara lain telah berkembang
pesat asesmen dengan norma untuk berbagai populasi, misalnya Millon Clinical
Multiaxial Inventory-III (MCMI-III) telah menyediakan norma gender dan tambahan
skala validitas. Milik kami, Skala Kepribadian UGM masih macet, belum dikembangkan
lagi. Belum ada yang bersedia meneliti lagi. Selain battery test psikologi baku yang biasa
digunakan dalam praktek perorangan, seperti tes Rorschach, Thematic Apperception
Test (TAT), Skala Wechsler, Minnessota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), Draw
A Person (DAP), atau Draw A Tree (DAT), wawancara dan pengamatan tetap digunakan
untuk memperoleh data tentang proses psikologis orang yang ditangani.
Di aras makro, psikologi klinis perlu menggunakan pendekatan kualitatif.
Penggunaan Focus Group Discussion (FGD) merupakan salah satu cara mengumpulkan
data awal sebelum tindakan dilakukan. Pengamatan dan wawancara orang-orang
penting di suatu komunitas juga menjadi metode andalan bila kita menerapkan

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


psikologi klinis makro. Berbagai dokumen yang ada juga menjadi sumber data sebelum
tindakan dilakukan. Data rekaman elektronik seperti kamera, audio dan video juga
sangat penting untuk dikumpulkan (lihat Zaumseil & Prawitasari-Hadiyono, 2012).
Demikian pula perlu dijajaki pengumpulan data dari pemerintah daerah termasuk
eksekutif dan legislatifnya apabila kita akan meneliti kebijakan. Analisis jejaring sosial
juga perlu dilakukan. Proses asesmen di aras makro tidak terlalu berbeda jauh dari
penelitian kualitatif. Willig (2009) menulis tentang pengantar penelitian kualitatif
dalam psikologi. Isinya antara lain dari resep ke petualangan, rancangan penelitian
kualitatif, teori lapangan, metode fenomenologi, studi kasus, psikologi diskursif, analisis
diskursif Foucauldian, kerja dengan ingatan, kualitas dalam penelitian kualitatif.
Terlihat di sini bahwa psikologi telah terbuka untuk menggunakan pendekatan
kualitatif yang biasanya digunakan oleh disiplin lain.
Sebetulnya pendekatan perilakuan juga menyediakan metode yang tiap kali dikaji
ulang di jurnal perilakuan internasional. Uniknya pengiraan atau asesmen dengan
menggunakan pendekatan ini akan mampu mengantarai penelitian ilmu sosial yang
murni menggunakan pendekatan kualitatif dan ilmu kedokteran atau kesehatan yang
murni menggunakan pendekatan kuantitatif (lihat Prawitasari 2012). Begitu kita
menggunakan pendekatan perilakuan, skala rasio dapat digunakan terutama untuk
frekuensi dan durasi perilaku yang diteliti. Pengamatan berkali-kali dapat dilakukan
pada satu kasus saja. Terapan psikologi klinis dengan menggunakan pendekatan
perilakuan sangat khas terapan mikro yang dianggap lebih ilmiah daripada pendekatan
lainnya. Penelitian sekaligus terapan dilakukan bila kita menggunakan pendekatan
perilakuan, sehingga hasilnya dianggap lebih ilmiah. Dari pengamatan visual akan
terlihat apakah perilaku yang diteliti betul-betul berubah. Apakah perilaku akan
bertambah atau berkurang frekuensi dan durasinya bergantung pada tujuan perubahan
perilaku yang dirancang sejak awal. Rancangan kasus tunggal ingin membuat lebih
ilmiah studi kasus klinis.
Berdasarkan hasil pengiraan, psikolog klinis dapat merancang tindakan yang
tepat. Pengaruh tindakan juga perlu dikira lagi. Terutama bila kita akan menerapkan
psikologi klinis secara makro, maka penelitian tindakan akan sangat tepat dilakukan.
Bersama peserta penelitian, kita akan menentukan persoalan yang dihadapi, melakukan
pengiraan kebutuhan, mengumpulkan data awal, melakukan tindakan bersama peserta
penelitian, dan mengevaluasi hasil tindakan sehingga akan ditemukan secara bersama
persoalan baru lagi. Daur akan diulangi.
Saya membaca milis psikologi Indonesia di awal tahun 2010. Ada situs “jangan
bunuh diri” di internet dan disebutkan bahwa sudah ada 800 pengunjung, 20 di
antaranya melanjutkan konsultasi melalui surat elektronik (surel). Gerakan seperti ini

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


meskipun menggunakan teknologi informasi tetap mencakup perorangan di komunitas
pengguna internet. Mereka yang bukan pengguna tidak akan terjangkau. Gerakannya
dapat dimasukkan ke dalam psikologi komunitas. Pelayanannya masih di aras mikro.
Gerakan seperti ini juga dapat dimasukkan ke dalam kesehatan mental publik.
Meskipun pelayanannya tetap pada perorangan tapi di ranah publik yaitu internet.
Konsultasi juga bukan secara tradisional bertatap muka tetapi melalui surel. Pengelola
situs telah diwawancarai oleh BBC London dan majalah Time. Dalam hal
penyebarluasan situs tersebut dan usaha untuk menjangkau publik memang berada di
aras global, meskipun pengguna adalah perorangan. Pelayanannya secara mikro.
Caranya secara makro. Bukan isi situs tapi cara menyebarluaskan informasi, sebagai
salah satu intervensi psikologi, dapat disebut terapan makro. Jadi dapat disebut usaha
ini sebagai terapan mikro-makro.
Di APA Monitor bulan November 2009 presidential’s columns yang ditulis oleh
James H. Bray, presiden APA tahun 2009, menulis tentang masa depan ilmu
pengetahuan psikologi. Dia menyatakan bahwa akhir-akhir ini psikologi berkembang
menjadi gabungan dengan ilmu lain menjadi ilmu pengetahuan saraf, ilmu pengetahuan
perkembangan, ekonomi perilakuan, dst. Ini dalam hal psikologi sebagai ilmu
pengetahuan. Bagaimana dengan terapannya? Di kolomnya bulan Desember 2009, dia
menulis tentang terapan psikologi dari mikro ke makro. Pelayanan pada perorangan
tetap berjalan seperti biasanya dan APA didesak anggotanya agar psikolog mulai terjun
ke ranah publik seperti keterlibatan dalam pembuatan kebijakan tentang aborsi,
hukuman mati, perkawinan sejenis, interogasi dsb. APA sangat mendukung gerakan ini.
Psikolog yang berjuang di ranah publik Indonesia dimotori oleh senior kita Prof.
Saparinah Sadli. Sampai di usia lanjutnya, Ibu Sap tetap aktif berjuang terutama untuk
hak perempuan. Gerakan seperti ini dapat dimasukkan ke dalam kesehatan mental
publik, yang pusatnya baru saja diresmikan di Fakultas Psikologi UGM. Jelas psikologi
klinis dapat diterapkan secara mikro-makro.
Di APA Monitor Januari 2010, presiden APA Carol D. Goodheart, menulis tentang
dampak internet yang menimbulkan perdebatan. Ia melanjutkan apa yang telah ditulis
oleh presiden APA pendahulunya tentang peran aktif psikolog dalam pembuatan
kebijakan. APA memutuskan untuk menyampaikan beberapa laporan tentang bukti
ilmiah aborsi dan perkawinan sejenis. Banyak perdebatan muncul sehubungan dengan
laporan tentang aborsi dan kesehatan mental. Disebutkan bahwa aborsi bagi
perempuan dewasa tidak menyebabkan gangguan mental. Ada lagi tentang orientasi
seksual, yang disebutkan bahwa tidak ada satu pun intervensi psikologi mampu
mengubah orientasi tersebut. Kemudian tidak cukup bukti bahwa perkawinan sejenis
ataupun keluarga sejenis menimbulkan gangguan mental, sehingga mereka

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


diperbolehkan kawin dan mengangkat anak. Semua ini menimbulkan berbagai pro dan
kontra. Perubahan tentang hal-hal itu menimbulkan perjuangan, kata presiden APA
tahun 2010 ini. Sebagai perempuan, dia menenangkan kemarahan ini. Ia mengingatkan
bahwa perbedaan penting diperhatikan, tapi tujuan bersama jauh lebih penting untuk
diperhatikan.
Banyak psikolog berada di badan legislatif, kata Ketua Himpunan Psikologi
Indonesia (HIMPSI), Dra. Retno Suhapti, SU, MA (komunikasi pribadi, tanggal 28 Januari
2010). Dengan adanya mereka di sana, keterlibatan psikologi dalam pengambilan
kebijakan dan undang-undang akan banyak gunanya. Baru saja saya baca di Kompas
tentang Undang-Undang (UU) Kesehatan Jiwa (Keswa) yang telah menjadi keputusan
DPR RI. Laporan dinyatakan oleh salah satu anggota DPR RI, ibu Yusuf, legislatif muda
yang sangat gigih memerjuangkan UU Keswa tersebut (sayangnya saya lupa tanggal
penerbitan Kompas dan saya tidak punya akses untuk cek terbitan tersebut).
APA Monitor bulan Januari 2010 melaporkan bahwa anggota kongres Amerika
yang merupakan psikolog anak, Tim Murphy wakil Partai Republik Pennsylvania,
memilih untuk kebijakan Amerika melanjutkan perang di Irak dan Afganistan. Dia
mengakui adanya dampak perang tentu saja. Tidak hanya mandeg menyetujui perang
tapi dia aktif di komisi sebagai psikolog militer di Naval Reserve. Dia jadi relawan di
sana tanpa dibayar. Sebagai psikolog militer dia bekerja dengan suatu tim terdiri dari
profesional kesehatan pada the National Naval Medical Center di Bethesda, Merryland.
Dia terlibat dalam tim kesehatan tersebut terutama untuk rencana tindakan dan
menelusuri kemajuan pasien. Apa yang terjadi pada psikolog di Amerika ini
menunjukkan keterlibatannya secara mikro dan makro. Secara mikro ia menjadi
psikolog militer yang menangani pasien secara individual. Secara makro ia terlibat
dalam pengambilan kebijakan.

INDIKATOR KESEHATAN SOSIAL-PSIKOLOGIS

Untuk kesehatan mental masyarakat perlu indikator khusus yang bersifat sosial-
psikologis. Yang pertama, konsep sehat secara sosial-psikologis yaitu bila seseorang
atau masyarakat mampu belajar. Berdasarkan konsep ini, indikator kesehatan
masyarakat secara sosial-psikologis yaitu bila masyarakat mampu belajar, baik secara
formal di sekolah atau di luar sekolah. Banyaknya tempat untuk belajar dapat dijadikan
indikator kesempatan untuk belajar masyarakat. Berapa banyak manusia Indonesia
yang telah mengenyam pendidikan formal dapat dijadikan indikator kualitas
kesempatan belajar masyarakat. Rasio orang yang terdidik dan terlatih dibandingkan
dengan jumlah penduduk di daerahnya dapat digunakan untuk indikator kesehatan

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


sosial-psikologis masyarakat. Adanya akses informasi bagi masyarakat dapat juga
digunakan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Rasio ketersediaan
perpustakaan masyarakat dengan jumlah penduduk dapat juga digunakan sebagai
indikator kesempatan belajar terus-menerus bagi masyarakat di daerah itu. Dari
indikator ini saja terlihat betapa rendahnya kesempatan orang Indonesia untuk belajar
terus menerus. Bagaimana kita bisa menjadi masyarakat madani bila kesempatan
belajar sangat terbatas?
Demikian pula masyarakat disebut sehat bila mereka mampu bekerja. Mereka
yang mampu bekerja apakah itu sebagai pegawai atau pengambil keputusan di sektor
formal menunjukkan derajat kesehatan sosial-psikologisnya. Rasio antara mereka yang
bekerja formal dengan jumlah penduduk di daerahnya dapat digunakan sebagai
indikator kesehatan masyarakat. Demikian pula mereka yang mampu menggerakkan
pasar di sektor informal seperti berjualan dapat disebut sehat sosial-psikologis. Rasio
jumlah mereka yang berjualan dengan jumlah penduduk di daerahnya dapat digunakan
sebagai indikator kesehatan masyarakat. Secara umum indikator sehat juga dapat
dilihat dari berapa luas lapangan pekerjaan yang tersedia. Berapa banyak tenaga kerja
yang telah terserap di sektor formal maupun informal, dapat dijadikan indikator
kesehatan sosial-psikologis masyarakat. Apakah negara memberikan kesempatan kerja
seluas-luasnya dapat dijadikan indikator derajat kesehatan negara.
Tentang kesehatan masyarakat dari segi tersedianya pekerjaan baru saja disadari
oleh pengambil kebijakan di Kanada. Mereka menyadari bahwa ada keterkaitan erat
antara kondisi kehidupan masyarakat dengan kesehatan. Kemiskinan akibat tidak
adanya pekerjaan dan penghasilan akan menimbulkan status kesehatan yang rendah.
Mereka ini ketika sakit tidak mempunyai cara untuk meningkatkan keadaannya.
Berbagai kerjasama antar sektor, seperti perumahan, transportasi, pendidikan, dan
pekerjaan, diperlukan untuk meningkatkan kesehatan. Untuk itu di Manitoba, Kanada
telah dibentuk kerjasama antara Kementerian Kesehatan dengan Pelayanan Keluarga
(lihat Manitoba Centre for Health Policy and Evaluation, February, 2001). Kerjasama
inilah yang sering menjadi kendala di negara kita. Tiap sektor mempunyai agendanya
sendiri tanpa memerhatikan kebutuhan masyarakat.
Selain ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan kesehatan. Laporan Manitoba
Centre for Health Policy and Evaluation (May, 2001) menyebutkan bahwa sistem
pelayanan kesehatan di Winnipeg menyambut baik kebutuhan warganya. Mereka yang
hidup di daerah tinggi kebutuhan/kesehatan buruk, lebih banyak masuk rumah sakit
dan mengunjungi dokter keluarga. Sebaliknya daerah dengan kesehatan yang lebih baik,
kurang menggunakan pelayanan tersebut. Akan tetapi kunjungan pada spesialis tidak
sama polanya. Banyak mereka yang paling sehat menggunakan jasa prosedur yang lebih

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


canggih seperti sken MRI (Magnetic Resonance Imaging), angioplasti koroner, operasi by
pass koroner, penggantian panggul dan lutut. Dari sini terlihat bahwa makin kaya
masyarakat, mereka akan mampu menggunakan uangnya untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka. Di negara maju dengan pajak yang sangat tinggi, kekayaan
ini biasanya berasal dari hasil kerja mereka. Tanpa tersedianya pekerjaan yang layak,
masyarakat akan tetap miskin. Suatu ironi bagi bangsa kita bahwa tanah air kita kaya
raya akan sumber alam, tetapi rakyatnya tetap miskin.
Selain indikator tersedianya pekerjaan, setiap makhluk hidup membutuhkan
kegiatan bermain. Demikian pula keadaannya dengan manusia. Indikator sehat sosial-
psikologis masyarakat dapat dilihat dari berapa waktu digunakan masyarakat untuk
bermain. Berapa banyak tempat untuk bermain seperti taman-taman yang asri dan
bersih tersedia bagi masyarakat dapat dijadikan indikator kesehatan sosial-psikologis.
Berapa kali mereka bermain dalam satu minggu dapat merupakan indikator kebutuhan
kesehatan bermain terpenuhi. Rasio antara jumlah tempat bermain dengan jumlah
penduduk dapat dijadikan indikator derajat kesehatan masyarakat.
Indikator kesehatan ini sangat tidak terpenuhi di tempat-tempat yang saat ini
tidak aman. Terutama di Aceh atau beberapa saat yang lalu di Ambon bahwa sebagian
masyarakat terutama laki-laki seperti bermain perang-perangan tetapi menggunakan
senjata betulan dan kalau kena tembak luka atau mati sungguhan. Atau kalau beberapa
saat yang lalu kita melihat pasukan jihad yang terdiri dari anak-anak muda laki-laki di
televisi yang membawa pedang panjang terkesan bahwa mereka siap untuk bertempur
dalam permainan perang. Indikator sehat sosial-psikologis yaitu manusia mampu
bermain dengan aturan-aturan tertentu dan tanpa membahayakan dirinya dan orang
lain. Kalaupun ada luka ringan ataupun kecacatan yang berat itupun disebabkan oleh
kecelakaan selama bermain. Tiap tindakan manusia biasanya ada dampak baik yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan sebagai konsekuensinya.
Kesehatan masyarakat dari segi sosial-psikologis dapat dilihat dari kemampuan
masyarakat untuk bercinta. Dalam hal ini bercinta bukan berarti sempit seperti
kegiatan seksual saja, tetapi yang penting di sini yaitu bagaimana manusia
menggunakan cinta-kasihnya untuk menumbuhkan perdamaian di antara sesama
manusia. Yang terlihat saat ini banyak manusia bertengkar, berbunuhan, berkelahi,
berperang. Ini dapat dijadikan indikator kesehatan yang rendah secara sosial-
psikologis. Pancaran cinta-kasih di antara sesama terlihat sangat kurang. Terlihat
adanya saling curiga antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Padahal kalau
mau sehat secara sosial-psikologis manusia perlu belajar untuk bercinta. Indikator
sehat ini dapat dilihat dari seberapa banyak pasangan hidup dalam masyarakat,
seberapa besar masyarakat mempunyai sahabat sejati, seberapa besar mereka yang

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


melaporkan punya teman dekat dan dukungan sosial yang memadai. Sekali lagi di sini
indikator sehat sosial-psikologis selain indikator kuantitatif yaitu jumlah, juga dapat
bersifat kualitatif berdasarkan laporan diri individu yang juga dapat dikuantifikasikan.
Indikator sehat kegiatan bercinta dapat pula dilihat dari seberapa damai suatu
masyarakat. Seperti Yogyakarta yang bersemboyan Bersih Sehat Indah dan Nyaman
(Berhati Nyaman) dapat dijadikan indikator kesehatan sosial-psikologis masyarakat.
Berapa tempat yang bersih, bebas polusi, indah, dan nyaman dapat dihitung dan
dibandingkan dengan jumlah penduduk di daerah itu. Apabila rasionya tidak sebanding
dan masih banyak tempat yang belum seperti itu maka Yogyakarta masih jauh dari
situasi sehat secara sosial-psikologis. Semboyan itu hanya kosong belaka. Masyarakat
belum menyadari bahwa semua itu tanggung jawab kita semua.

UPAYA KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT

Dari uraian indikator kesehatan sosial-psikologis, maka upaya kesehatan


masyarakat menjadi berbeda dari upaya kesehatan fisik saja. Upaya kesehatan menjadi
menyeluruh yakni dari kesempatan belajar, bekerja, bermain, dan bercinta. Kalau
diterjemahkan ke dalam program-program maka dibutuhkan kerjasama lintas sektoral.
Selama ini kelemahan kita yaitu koordinasi. Masing-masing bekerja sendiri-sendiri.
Sekarang ini yang mengurusi itu adalah Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.
Dibawah koordinasi kementerian itu diharapkan kesehatan sosial-psikologis
masyarakat juga akan terangkat.
Puskesmas yang sudah tidak bergiat pada pukul 12 sebetulnya dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya. Adanya gedung yang tersedia dan petugas
yang telah dibayar pemerintah sebetulnya dapat berbuat banyak untuk masyarakat.
Meskipun telah dicanangkan 18 program, yang kalau dikerjakan sungguh-sungguh pasti
akan menyita banyak waktu tenaga kesehatan, ironisnya puskesmas tutup di tengah
hari. Derajat kesehatan masyarakat juga masih rendah. Sering terjadi petugas
disibukkan dengan pencatatan dokumentasi yang dipertanyakan validitasnya. Tidak
mengherankan bahwa angka kematian anak dan angka kematian ibu masih tetap tinggi
di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
Terkesan bahwa petugas kesehatan di puskesmas bersaing dengan diri mereka
sendiri. Dalam arti mereka mempunyai praktek swasta dan mereka memberikan
pelayanan yang lebih prima ketika mereka praktek di luar puskesmas. Alangkah
baiknya kalau puskesmas dibenahi dan bekerjasama dengan masyarakat sekitarnya
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Seperti yang telah dilakukan di
Inggris, masyarakat bekerjasama dengan puskesmas untuk mengembangkan inovasi

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


dalam pelayanan masyarakat dan kesehatan primer yang telah dilaporkan oleh Patrick
Pietroni dan Christopher Pietroni (1996). Pengalaman eksperimen Marylebone
dituangkan di buku itu. Pendekatan kesehatan yang diterapkan bersifat menyeluruh
yaitu fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Semua pihak terlibat dalam pelayanan kesehatan
tersebut. Termasuk di dalam tim tidak hanya dokter dan paramedik, tetapi juga ahli
jejamuan, ahli akupuntur, ahli pijat, psikolog, pemuka agama, dan tentu saja anggota
masyarakat lainnya. Mereka membuat yayasan yang tugasnya mencari dana bagi
puskesmas mereka. Apakah kita tidak mampu untuk meniru seperti itu? Apabila ada
seseorang yang mampu melakukan koordinasi semacam itu, saya yakin masyarakat kita
bersedia untuk bergabung dan mengelola puskesmas bersama untuk kesehatan
masyarakat yang menyeluruh (lihat pula Perkins, Simnet, & Wright, 1999).
Salah satu kelemahan kelembagaan publik yang didukung dana pemerintah yaitu
adanya sikap tidak memiliki oleh mereka yang bekerja di situ. Mereka merupakan
pegawai negeri yang tentu saja gajinya kecil. Tetapi kalau di luar mereka punya rumah
yang relatif representatif, punya usaha samping seperti apotik, atau kalau bidan
mempunyai klinik bersalin. Jadi kegiatan pelayanan swasta jauh lebih menguntungkan
daripada melayanai pasien di puskesmas. Keadaan ini menimbulkan keprihatinan.
Apabila masyarakat di sekitar puskesmas diajak kerjasama untuk pelayanan kesehatan
menyeluruh tidak hanya untuk penyakit fisik saja, saya yakin kalau ini dapat terwujud.
Tinggal sekarang kemauan baik seorang tokoh masyarakat yang bersedia untuk
menjadi koordinator kegiatan seperti itu ada atau tidak. Siapa dia? Ini perlu promosi ide
dasarnya dulu dan menjual kepada donor internasional sebagai modal dasar untuk
pelestarian usaha pelibatan masyarakat untuk kesehatan yang menyeluruh tersebut.
Setelah kegiatan di puskesmas sudah usai di sore hari, kegiatan belajar, bekerja,
bermain, dan bercinta dapat dilakukan. Keempat indikator kesehatan sosial-psikologis
dapat dipromosikan oleh masyarakat bersama anggota puskesmas dan untuk
masyarakat di sekitarnya. Telah ada sebetulnya usaha-usaha ke arah sana seperti
kegiatan bina balita. Juga sudah ada posyandu kesehatan ibu dan anak dan lansia, tetapi
tetap saja kegiatan itu untuk kesehatan fisik saja. Kegiatan konseling hampir tidak
dilakukan. Kegiatan terpadu untuk belajar, bekerja, bermain, dan bercinta perlu
diuraikan menjadi kegiatan yang jelas dan dikelola bersama pula. Kegiatan belajar dapat
dilakukan secara bermain sambil bekerja dan belajar bercinta. Misalnya dalam kegiatan
bina balita, ibu mengajari anak-anak untuk bermain bersama dengan alat-alat tertentu
bagi perkembangan psikomotor anak. Kegiatan ini memberi kesempatan hubungan
cinta antara ibu dan anaknya. Demikian pula bila remaja bergabung untuk memerangi
narkoba dengan mengembangkan kegiatan yang lebih bermanfaat; misalnya belajar
berorganisasi dalam promosi kesehatan lingkungan. Kegiatan seperti inipun dapat
untuk berlatih belajar, bekerja, bermain, dan bercinta. Idealnya memang seperti itu.

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


Yang penting sekarang siapa mau memprakarsai kegiatan itu? Saya berharap
puskesmas dapat dimanfaatkan menjadi pusat kegiatan kesehatan fisik, sosial,
psikologis, dan spiritual.
Sering terjadi orang malas untuk berpikir dan kurang usaha untuk belajar
kembali. Padahal belajar selalu terbuka setiap hari dari pengalaman berhubungan
dengan orang lain. Tetapi sering terjadi orang menggunakan mekanisme pertahanan
terlalu tebal sehingga ia telah menutup dirinya untuk memelajari dan memerbaiki
perilakunya sehari-hari. Kemampuan dan kemauan belajar menandakan kesehatan
mental prima. Demikian pula bila ia mampu untuk memancarkan kasihnya sehingga
orang yang ada di sekitarnya akan merasa damai, ia dapat disebut sehat mental. Untuk
itu ia perlu mempunyai keterampilan sosial yang tinggi. Semua ini dapat dipelajari dan
dilatihkan di puskesmas. Kerjasama antara akademisi dan masyarakat dengan mediator
puskesmas perlu dikembangkan.
Kebiasaan hidup sehat perlu dipelajari sejak usia dini. Ajaran agama saja tidak
cukup untuk kebiasaan-kebiasaan sehat. Yang penting sebetulnya bagaimana ajaran itu
diterapkan ketika kita berhubungan dengan orang lain. Kasih sayang, kedamaian, perlu
ditumbuhkan sejak dini. Padahal sering terjadi karena ajaran agama, orang lalu saling
curiga karena keberbedaan cara menjalankan agama masing-masing. Kalau indikator
kesehatan sosial-psikologis yaitu belajar, bekerja, bermain, dan bercinta digalakkan,
kita akan menjadi masyarakat madani yang tidak terombang-ambing oleh provokasi-
provokasi negatif yang akan mencerai-beraikan masyarakat. Kita akan menjadi
masyarakat yang damai. Orang-orang dari negara lain akan berdatangan dan mau
bekerjasama dengan kita, sehingga devisa kita cukup. Krisis multidimensi akan
berakhir. Kita akan menjadi masyarakat yang kaya sesuai dengan sumber alam yang
kita miliki.

PSIKOLOGI KOMUNITAS

Untuk menggabungkan kesehatan mental masyarakat dengan indikator kesehatan


sosial-psikologis perlu gerakan yang disebut psikologi komunitas. Berbagai program
tersedia untuk masyarakat supaya mereka dapat hidup lebih nyaman dan sejahtera.
Berikut berbagai program dapat dicontoh dari negara maju. Semua tersedia di jurnal
internasional. Alangkah baiknya bila kita mulai menulis apa yang telah kita lakukan
untuk masyarakat, sehingga kita tidak hanya jadi konsumen perkembangan psikologi
dari luar negeri. Kita dapat menjadi pemain di dunia global. Keunikan budaya nusantara
dengan berbagai latar etnik yang kaya tersebut dapat kita jadikan model pengembangan
program kesehatan mental masyarakat.

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


Berbagai artikel tersedia di American Journal of Community Psychology, yang
kebanyakan artikelnya berasal dari Society for Community Research and Action. Jurnal
tersebut diterbitkan secara online. Ada juga Journal of Community Psychology. Terlihat
bermacam-macam penelitian dan terapan telah dilakukan di negera maju seperti
Amerika Serikat. Tiap komunitas ilmiah mempunyai penerbitan sendiri dan biasanya
ada penerbit komersial yang mengelola jurnalnya. Alangkah indahnya bila di negara kita
ini sudah ada kerjasama seperti itu. Kita tidak bergulat sendiri dengan pemikiran
sendiri dan diterbitkan sendiri.
Indonesia terdiri dari beragam agama, bahasa, budaya, ras, suku yang merupakan
sumber kekayaan kita. Hanya saja kekayaan itu dapat musnah karena ada usaha untuk
menyeragamkannya. Psikologi komunitas dapat berkembang di Indonesia bila kita
mengakui keragaman tersebut dan menggunakannya sebagai modal sosial kita.
Demikian pula pengetahuan tradisional ataupun kebijakan lokal dapat dijadikan modal
untuk berkembang.
Berbeda dengan psikologi klinis yang berorientasi pada individu, psikologi
komunitas menggunakan unit analisis dan unit pelayanan komunitas. Memang pada
awalnya mereka yang terbiasa menerapkan psikologi klinis secara individual sering
menggunakan unit individual meskipun dalam penelitian komunitas. Hal itu tidak dapat
begitu saja dihindari. Seperti Seidman (2012) sebagai lulusan dari program psikologi
klinis, ia terbiasa menggunakan unit analisis dan pelayanan individual, sehingga
awalnya dalam projek komunitas, meskipun meneliti komunitas sekolah, tetap saja
yang diperhatikan tiap siswa. Kemudia ia melanjutkan dengan melakukan analisis
hubungan siswa dengan siswa lain, guru, orang tua, dan lingkungan sekolah. Lama
kelamaan orientasi psikologi komunitas menjadi lebih jelas yaitu dari individu pada
jejaring sosial misalnya. Dalam pengukuran yang biasa kita lakukan adalah dengan
psikometri menjadi ekometri dalam psikologi komunitas. Analisis berdasarkan rating
perilakuan, pengamatan interaksi di kelas atau kelompok, suasana emosi di kelas atau
tempat lain, ataupun pengukuran lain yang sesuai dengan tujuan program
pengembangan komunitas. Meskipun menggunakan laporan diri tapi yang dinilai bukan
dirinya sendiri tapi diri di dalam situasi tertentu seperti yang digunakan ketika meneliti
kesejahteraan dusun ( lihat Prawitasari dkk., 2009 dan Prawitasari, 2011). Saya
menyebutnya sebagai laporan orang lain yaitu laporan mengenai situasi dan suasana
dusun (lihat Prawitasari, 2011).
Setelah Seidman (2012) lebih berorientasi pada psikologi komunitas ia
mengembangkan intervensi menggunakan desain eksperimen controlled trial di
universitas, sekolah dasar, sekolah lanjutan, program usai sekolah, dan pelayanan
kesehatan mental kaum muda. Terlihat dalam tulisannya bahwa intervensi komunitas

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


tidak dapat dilepaskan dari penelitian. Pertama-tama dia mengembangkan projek
dialog lintas kelompok terutama yang berkaitan dengan kelompok ras yang berbeda.
Projek meliputi sembilan universitas di seantero negeri. Yang menjadi persoalan adalah
kompleksitas data komunitas. Data disarangkan dalam beberapa interaksi, misalnya
siswa di kelas, di sekolah. Memang untuk mengukur kekuatan intervensi jadi lebih
rumit, tapi dengan desain randomized cluster trial dapat diukur dampak intervensi
pada individu yang disarangkan dalam kelas, sekolah, Rukun Tetangga (RT), Rukun
Warga (RW), kecamatan, dusun, desa.
Contoh lain intervensi psikologi komunitas dapat berupa sosiodrama yang dapat
disederhanakan menjadi metode panggung gembira (lihat Prawitasari dkk, 2009 dan
Pawitasari, 2011). Setelah gempa yang memorakporandakan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) terutama Bantul, kami mendampingi masyarakat untuk mengelola
konflik sosial yang terjadi karena adanya rasa ketidakadilan dalam distribusi dana
bantuan. Unit analisis dalam penelitian kami adalah Rukun Tetangga (RT). Tiap RT
menyajikan cerita sebelum, saat, setelah gempa dengan masing-masing membuat
skenarionya sendiri yang didramakan di atas panggung. Teknik yang digunakan dalam
penyajian panggung gembira adalah monolog, dialog, nyanyi, tari, dan musik terutama
gamelan. Masing-masing orang berperan menjadi orang lain. “Dusun Bercermin”
menjadi terkenal di antara mereka dan setelah lama berlalu, peristiwa tersebut tetap
diingat. Demikian pula pesan perdamaian menjadi fokus pembicaraan di antara para
tokoh di dusun saat ada acara-acara bersama (pengamatan pribadi saat berkunjung ke
dusun beberapa kali di tahun 2010 dan 2011 dalam penelitian lanjutan).
Cook & Kilmer (2012) menyajikan sistem perawatan dan pelayanan kesehatan
mental terutama untuk keluarga dan anak-anak di komunitas. Sistem perawatan ini
berpusat pada anak, berfokus pada keluarga, berbasis komunitas, dan peka budaya
setempat. Program seperti ini tentu saja memberdayakan komunitas, berorientasi pada
kerjasama, dan menuju pada perubahan sosial yang bersifat makro yaitu ke arah
perubahan kebijakan. Salah satu penulis di buku yang saya sunting (lihat Prawitasari,
2012), Adelina Simatupang mendampingi tersusunnya peraturan daerah persiapan
bencana dengan menggunakan siklus Gestalt. Inilah salah satu contoh terapan psikologi
klinis makro yang sangat sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.
Untuk lingkungan, perlu kerjasama antar warga dalam menjaga kelestariannya.
Psikologi komunitas menyediakan model ekologis. Moskell & Allred (2012) menyajikan
model tersebut. Mereka mengembangkan model itu untuk keikutsertaan masyarakat
menjaga lingkungan terutama pepohonan di kota atau pengembangan hutan kota.
Berkaitan dengan model ekologis tersebut saya akan berbagi pengalaman. Minggu yang
lalu saya ke Samarinda, dan tuan rumah saya dari Penerbit Erlangga, yang juga seorang

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


psikolog, dan dari program studi psikologi Universitas Mulawarman mengeluhkan ada
kegundulan hutan dan pembangunan yang kurang memerhatikan lingkungan. Alangkah
baiknya, bila para ilmuwan psikologi di sana bekerjasama dengan pemda dan dinas
lingkungan hidup untuk mengembangkan program masyarakat menjaga kelestarian
hutan. Begitu pula wakil masyarakat dapat terlibat dalam kebijakan menjaga hutan.
Akan tetapi hal ini biasanya akan dijawab “sulit” karena kita merasa “tak berdaya”
menghadapi kapitalisme yang sangat memengaruhi pembangunan daerah.
Begitu kita melayani komunitas, yang perlu kita kembangkan adalah berbagai
program dan tentu saja tidak hanya terapannya saja, tetapi program-program tersebut
perlu diteliti kesangkilan dan kemangkusannya. Tugas ilmuwan psikologi klinis adalah
mengembangkan program dan menghasilkan bukti empirik bahwa program-
programnya tersebut memang dapat diterapkan oleh praktisi. Kerjasama antara
praktisi, yang menerapkan program serupa di komunitas, dengan ilmuwan psikologi
komunitas dibutuhkan yaitu praktisi memberi balikan dan ilmuwannya meneliti
kembali. Itu baru disebut kita mampu bersaing dengan ilmuwan lain secara global.
Contoh berbagai program komunitas dapat dilihat dari hasil penelitian ilmuwan
dari beberapa negara. Di Negeri Belanda Fukkink & Hermans (2009) meneliti konseling
anak-anak melalui program Helpline yaitu melalui “ngobrol” secara maya atau “telepon.”
Penggunaan program ini meningkatkan rasa sejahtera di antara pengguna anak-anak.
Dari Negeri Belanda juga Bohlmeijer, Kramer, Smit, Onrust, & van Marwijk (2009)
menggunakan inovasi “cerita hidupmu” dengan kombinasi integrasi “ngunandika”
tentang peristiwa yang dialaminya sendiri atau dengan orang lain dan terapi naratif.
Peserta dalam program ini adalah anggota masyarakat berumur 55 tahun ke atas yang
mengalami depresi. Tampaknya Negeri Belanda jauh lebih maju dalam psikologi
komunitas. Selain dua kelompok peneliti tersebut, Kortrijk, Mulder, Roosenschoon, &
Wiersma (2009) mengembangkan penanganan komunitas asertif yang telah terbukti
efektif di Amerika Serikat, meskipun belum ada bukti di negara Eropa. Penelitian ini
khusus untuk penderita gangguan mental yang motivasi berobatnya rendah.
Di Amerika Serikat di kota Long Beach, California, Ayón & Lee (2009) membangun
komunitas kuat dengan menyediakan program kepemimpinan di area perkotaan. Warga
masyarakat dilatih kepemimpinan meliputi pengorganisasian komunitas supaya
keterampilan kepemimpinan mereka meningkat. Di Australia, Havighurst, Wilson,
Harley, & Prior (2009) dari Universitas Melbourne mengembangkan program “emotion-
focused parenting” yang merupakan percobaan di komunitas.
Dengan hibah guru besar, kami mengembangkan beberapa program komunitas.
Pendekatan kelompok penuh empati dapat dikembangkan di puskesmas dan komunitas
untuk meningkatkan kesejahteraan mental warga masyarakat yang menderita

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


gangguan fisik seperti diabetes dan hipertensi (lihat Prawitasari dkk, 2011). Petugas
puskesmas yang menggunakan komunikasi nonverbal, seperti tersenyum dan
menganggug dinilai lebih empatik (lihat Prawitasari dkk, 2010). Terapi kelompok
berorientasi pada data dapat dimodifikasi untuk kepentingan komunitas, misalnya
untuk gangguan psikofisik seperti asma, tukak lambung, gangguan kulit, meskipun
pendekatan ini perlu diteliti lagi secara epidemiologis (lihat Prawitasari dkk, 2012).

Dari contoh-contoh tersebut ilmuwan psikologi dari berbagai negara telah


mengembangkan program intervensi komunitas dan berhasil secara signifikan.
Sebetulnya kitapun sudah melakukan hal yang sama, hanya saja apa yang kita kerjakan
itu tidak diterbitkan di jurnal internasional. Orang lain sulit untuk mengamati apa yang
telah kita kerjakan dengan sungguh-sungguh di komunitas kita sendiri. Alangkah
bergunanya bila kita mulai menulis dan menerbitkan apa yang telah kita kerjakan untuk
masyarakat kita.

PENUTUP

Telah saya tulis berbagai pemikiran yang ada di buku saya ditambah hasil
penelitian terbaru tentang psikologi komunitas. Beberapa hasil penelitian tentang
psikologi komunitas juga telah saya sajikan. Harapan saya bahwa kita akan lebih banyak
memberikan pelayanan kepada komunitas sesuai dengan konteks budaya Indonesia.
Masyarakat kita membutuhkan pengalihpindahan teori, konsep, metode, dan teknik
yang kita punyai untuk kesejahteraan mereka. Bukan hanya kita melayani individu per
individu, tetapi kita bekerjasama dengan masyarakat untuk mengembangkan program
kesehatan mental bagi mereka. Keterlibatan aktif warga akan menghasilkan program
yang bermanfaat bagi komunitas.
Program-program yang telah dikembangkan di negara lain dapat kita jadikan
contoh. Tentu saja kita perlu melakukan modifikasi sesuai dengan konteks budaya kita.
Kita disebut masyarakat kolektif, dengan sendirinya pendekatan dalam psikologi
komunitas akan lebih cocok.
Setelah melakukan provokasi dengan judul dan penggunaan kearifan lokal, saya
akan memberikan berbagai pertanyaan yang perlu kita pikirkan dan jawab bersama.
Pertama, apakah kita memang akan mengembangkan psikologi nusantara berdasarkan
kearifan lokal? Kalau memang demikian sudah siapkah kita dengan berbagai penelitian
dan penulisan teoretis yang mendukung itu? Dari hasil penelitian dan kajian teoretis
kita dapat menjabarkan ke kurikulum. Atau sebaiknya kita mendidik mahasiswa untuk
lulus sebagai peneliti, sehingga kurikulum juga disesuaikan dengan tujuan itu. Kita
dapat menggabungkan dasar-dasar teori psikologi, metodologi, statistik, psikometrik,

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


dan ekometrik untuk mendasari kemampuan lulusan sebagai peneliti. Materi psikologi
nusantara menjadi kajian utama dan sebagai model untuk pengembangan psikologi ke
depan. Tidak kalah pentingnya yaitu sebaiknya program studi S1 psikologi bersifat
terminal. Jadi, lulusan jenjang pendidikan S1 dapat langsung bekerja tanpa harus
melanjutkan ke pasca sarjana. Dengan bekal sebagai peneliti, mereka akan dapat
bekerja di mana saja. Hasil penelitian mereka di berbagai bidang akan dapat diumpan
balikkan lagi ke fakultas, sehingga pengembangan ilmu dapat terus berlanjut dari
lapangan ke pengujian di laboratorium.
Pertanyaan kedua yaitu apakah kita ingin mendidik mahasiswa kita untuk menjadi
perancang perubahan perilaku? Kurikulum akan lebih difokuskan pada dasar-dasar
teori psikologi, metodologi penelitian, statistik, dasar-dasar pengukuran perilaku
berikut model perubahan perilaku apakah pada tataran individu, kelompok, keluarga,
organisasi, dan masyarakat. Dengan demikian kita juga menyiapkan lulusan kita siap
bekerja di mana saja. Mereka juga akan siap bekerjasama dengan disiplin lain.
Ketiga, pertanyaan saya yaitu apakah kita siap untuk meninggalkan pola lama
yaitu psikologi identik dengan psikotes? Asesmen psikologi tidak hanya psikotes dan
psikotes tidak hanya yang kita kenal itu saja. Banyak sekali psikotes yang telah
dikembangkan terutama di Amerika. Jadi kalau hanya mengajari mahasiswa tes yang
itu-itu saja, kita pasti telah ketinggalan jaman. Bukankah lebih baik apabila kita
memberikan dasar-dasar pengembangan kelompok psikotes, sehingga mahasiswa tahu
konsep pembuatannya dengan landasan teori yang kuat pula.
Catatan akhir adalah kita perlu mengubah tujuan pendidikan psikologi terutama
pada jenjang S1, karena selama ini tampaknya kita memberi bekal yang terlalu luas
tetapi kurang jelas arahnya. Meskipun saat ini kita telah pula sibuk dengan kurikulum
berbasis kompetensi. Menurut pengamatan saya, pengajaran dengan satuan kredit yang
besar dengan pengajar yang banyak hanya cocok untuk perguruan tinggi yang sudah
mapan. Untuk perguruan tinggi yang masih kecil, perlu penyesuaian proses belajar
mengajar dan perlu mengembangkan ciri khas masing-masing lembaga. Untuk itu kita
perlu melakukan banyak penelitian berdasarkan kearifan lokal supaya hasilnya dapat
menjadi bahan pengajaran dengan arah yang sudah lebih jelas, sekaligus dapat menjadi
sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia global. Apakah itu akan
dinamai psikologi nusantara atau lainnya, saya serahkan kepada pembaca.
Akhir kata, selamat bertemu ilmiah dan semoga apa yang saya tulis ini dapat
menggugah para peserta melakukan tindakan bagi masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kita. Kita dapat mengembangkan kesehatan mental masyarakat dengan
melibatkan mereka. Sekaligus kita juga perlu berperan dalam pengambilan kebijakan
dengan menyajikan hasil penelitian tentang berbagai program kesehatan mental

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


masyarakat kepada pemangku kepentingan seperti dinas kesehatan dan kementerian
kesehatan.

Jakarta, 04 November 2012

DAFTAR PUSTAKA
Ayón, C., & Lee, C.D. 2009. Building strong communities: An evaluation of a
neighborhood leadership program in a diverse urban area.Journal of Community
Psychology, 37(8), 975-986.
Bohlmeijer, E., Kramer, J., Smit, F., Onrust, S., Marwijk, H.V. 2009. The effects of
integrative reminiscence on depressive symptomatology and mastery of older
adults. Community Mental Health Journal (Original Paper:DOI 10.1007/s10597-009-
9246-z), published online September, 24.
Cook, J.R., & Kilmer, R.P. 2012. Systems of care: New partnerships for community
psychology. American Journal Community Psychology, 49, 393-403.
Fukkink, R., & Hermanns, J. 2009. Counseling children at a helpline: Chatting or
calling?.Journal of Community Psychology, 37(8), 939-948.
Ekowarni, E., Andriani, D. R., & Kushendarto, A. 2004. Pemahaman sifat budi luhur pada
abdi dalem Keraton Yogyakarta. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi
UGM.
Gracia, H. S. 2004. “Isin” sebagai kontrol moral dan bentuk penyesuaian diri pada
masyarakat Jawa. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Proyek SP4 Pengembangan
Jurusan Program Studi Psikologi UGM.
Havighurst, S.S., Wilson, K.R., Harley, A.E., & Prior M.R. 2009. Tunning in to kids: An
emotion-focused parenting program-initial findings from a community trial. Journal
of Community Psychology, 37(8), 1008-1023.
Hutin, Y. 2004. Impact of the work of the Safe Injection Global Network (SIGN).
Disajikan dalam Second International Conference on Improving Use of Medicines,
March 30-April 2, Early Bird Breakfast Session 1, Chiang Mai, Thailand.
Jatman, D. 2003. Glenyengan Jawa Darmanto: Bilung kesasar. Semarang: LIMPAD.
Kortrijk, H.E., Mulder C.L., Roosenchoon, B.J., & Wiersma, D. 2009. Treatment outcome in
patients receiving assertive community treatment.Community Mental Health
Journal (Original Paper: DOI 10.1007/s10597-009-9257-9), published online
October, 22.
Moskell, C., & Allred S.B. (2012). Integrating human and natural systems in community
psychology: An ecological model of stewardship behavior.American Journal

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


Community Psychology (Original Paper: DOI 10.1007/s10464-012-9532-8), diunduh
pada tanggal 22 Oktober 2012.
Prawitasari Hadiyono, J.E. 2001. The development of transdisciplinary approach in drug
use studies: Indonesian experience. Dalam N. Higginbotham, R. Briceno-Leon, & N.
Johnson (Eds.). Applying health social science: Best cases from the developing world .

London: Zed.
Prawitasari, J.E. 2011. Psikologi klinis: Pengantar terapan mikro dan makro. Jakarta:
Erlangga.
Prawitasari, J.E., Napitupulu, C.A., Paramita, D.A.K., Purwaningtyas, K., & Maharani, S.
2011. Multilevel social support and simple teaching tips for the community.
Unpublished Report. GMU: Professor Grant. Yogyakarta: Fakultas Psikologi.

Prawitasari, J. E., Olivia, H., Handayani, H. D ., Winarti, S., & Intriaty. 2010. Empathic
caring consultation ( ECC ): Will it be able to improve the quality of care at the
health centers ?. Anima, Indonesian Psychological Journal, 26(1), 46-55.

Prawitasari, J.E., Widyastuti, T., & Asitasari, W. 2011. Data Focus Approach in
psychotherapy. Unpublished Report. GMU: Professor Grant. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi.

Prawitasari, J.E. 2012. Behavior Approach as Social Representations in Health: From


Research to Action. Dalam Risa Permanadeli, Denise Jodelet, & Toshio Sugiman.
Alternative Production of Knowledge and Social Representations (Proceeding of 9th
International Conference on Social Representations). Jakarta: University of
Indonesia.
Prawitasari-hadiyono, J. E., Paramastri, I., Suhapti, R., Novianti, P., Widiastuti, T. R., &
Rengganis, N. (2009). Social Artistry , Local Wisdom , and Post Earthquake Conflict.
www.springerlink.com.
Prawitasari, J.E., Suryawati, S., Danu, S, Santoso, B. (1996). Interactional Group
Discussion: Results of a controlled trial using a behavioral intervention to reduce
the use of injections in public health facilities. Social Science & Medicine: an
international journal, 42, 8, 1177-1184.
Prihartanti, N., & Karyani, U. 1998. Pemahaman rasa untuk meningkatkan kompetensi
sosial. Kognisi, 2, 1, 58-71.
Prihartanti, N. 1999. Pengembangan kualitas kepribadian melalui olah rasa. Anima, 59,
1266-1278.
Prihartanti, N., Suryabrata, S., Prawitasari, J. E., & Wibisana, K. 2003. Kualitas
kepribadian ditinjau dari konsep rasa Suryomentaram dalam perspektif psikologi.
Anima, 18, 3, 229-247.
Willig, C. 2009. Introducing qualitative research in psychology (2nded.). New York, N.Y.:
McGraw Hill, Open University Press .

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga


Seidman, E. (2012). An emerging action science of social settings. American Journal
Community Psychology, 50, 1-16.
Simatupang, A. R. 2012. Peraturan Daerah Tentang Bencana dalam J.E. Prawitasari (ed)
Psikologi Terapan: Melintas Batas Disiplin Ilmu. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Zaumseil, M., & Prawitasari-Hadiyono, J. 2012.Researching Coping Mechanisms in
Response to Natural Disasters: The Earthquake in Java, Indonesia (2006). Dalam
Ute Luig (ed.). Negotiating Disasters: Politics, Representation, Meanings. Frankfurt:
Peter Lang.

Sumber Acuan Lain:


Anima April 2004
APA Monitor September 2004.
APA Monitor April 2006.
APA Monitor bulan November 2009
APA Monitor bulan Desember 2009
APA Monitor Januari 2010
Manitoba Centre for Health Policy and Evaluation (May, 2001)
Manitoba Centre for Health Policy and Evaluation, February, 2001)
Majalah Basis November-Desember 2005.

| 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Temu Ilmiah Universitas Airlangga

Anda mungkin juga menyukai