Anda di halaman 1dari 115

PANDUAN NASIONAL

TROMBOEMBOLI VENA

PERHIMPUNAN TROMBOSIS DAN HEMOSTASIS


INDONESIA
(PTHI)
2018
TIM PENYUSUN

Ketua

Prof. Dr. dr. Karmel L. Tambunan, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. dr. Catharina Suharti, PhD, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Diponegoro/
RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Anggota
dr. Trinugroho Heri Fadjari, SpPD-KHOM
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Padjajaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

dr. Budi Setiawan, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Diponegoro /
RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Dr. dr. Budi Darmawan Machsoos, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Brawijaya /
RSUD Dr. Syaiful Anwar, Malang

dr. Dairion Gatot, M.Ked, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Sumatera Utara/
RSUP H. Adam Malik, Medan

dr. Eko Adhi Pangarsa, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Diponegoro /
RSUP Dr. Kariadi, Semarang

dr. Johan Kurnianda, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Gajah Mada /
RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

dr. Kartika Widayati, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Gajah Mada /
RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

ii
dr. Mediarty Syahrir, SpPD-KHOM
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Sriwijaya /
RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang

dr. Mika Lumban Tobing, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Diponegoro /
RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Prof. dr. Norman Djamaludin, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Sriwijaya /
RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang

Prof. dr. Nuzirwan Acang, DTM&H, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Andalas /
RSUP Dr. M. Djamil, Padang

Dr. dr. Sahyudin, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Hasanuddin /
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar

Dr. dr. Santosa, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Diponegoro /
RSUP Dr. Kariadi, Semarang

dr. Supriyanto Muktiatmojo, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Sebelas Maret /
RSUD Dr. Moewardi, Surakarta

dr. Suradi Maryono, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Sebelas Maret /
RSUD Dr. Moewardi, Surakarta

dr. Suyono, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Diponegoro /
RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Dr. dr. Tubagus Djumhana Atmakusuma, SpPD-KHOM


Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Indonesia / RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

iii
EDITOR

Prof. Dr. dr. Karmel L. Tambunan, SpPD-KHOM (Jakarta)

Prof. dr. Catharina Suharti, PhD, SpPD-KHOM (Semarang)

Dr. dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD-KHOM (Jakarta)

dr. Trinugroho Heri Fadjari, SpPD-KHOM (Bandung)

dr. Budi Setiawan, SpPD-KHOM (Semarang)

DIBANTU OLEH

dr. Cynthia Kurniawan (Jakarta)

iv
KATA SAMBUTAN

Trombosis adalah salah satu penyebab utama kematian. Menurut laporan World Bank 2010,

satu dari empat kematian di dunia disebabkan oleh trombosis. Di Indonesia, trombosis juga

merupakan penyebab utama kematian. Berdasarkan data Departemen Kesehatan (DEPKES)

tahun 1997, dari 10 penyebab kematian terbanyak di Indonesia, 15,53% disebabkan oleh

trombosis, belum termasuk tromboemboli vena (TEV). Angka ini ini meningkat menjadi

19,1% dari 10 penyebab kematian di Indonesia berdasarkan buletin informasi DEPKES tahun

2007.

Trombosis merupakan suatu kondisi umum yang mendasari penyakit jantung iskemik, stroke

iskemik, dan tromboemboli vena (TEV). Tromboemboli vena meliputi trombosis vena dalam

dan emboli paru. Pada tahun 1996, 10% kematian di rumah sakit disebabkan oleh emboli paru

dan 1% dari pasien yang masuk rumah sakit meninggal karena emboli paru.

Data epidemiologi TEV yang berasal dari Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin,

menunjukkan insiden TEV berkisar 0.75 – 2,69 per 1000 individu dalam populasi. Insiden ini

meningkat menjadi 2 – 7 per 1000 pada umur di atas 70 tahun, meskipun insiden tersebut lebih

rendah pada etnis China dan Korea. Penatalaksanaan TEV sangat penting mengingat

morbiditas, mortalitas, komplikasi jangka panjang dan biaya yang tinggi. Penatalaksanaan

termasuk pencegahan primer, pengobatan akut, dan pengobatan sekunder. Perlu diketahui,

diingat, dan dicamkan bahwa trombosis sebagai penyebab kematian dan merupakan penyakit

yang dapat dicegah.

v
Pada tahun 1998 di FKUI dibentuk kelompok seminat trombosis yang terdiri dari berbagai

disiplin ilmu seperti Hematologi, Kardiologi, Neurologi, Kebidanan, Mata, Bedah, dan

Laboratorium Klinis. Kelompok trombosis ini kemudian berkembang menjadi Perhimpunan

Trombosis Hemostasis Indonesia (PTHI) pada tahun 2001. Para dokter anggota PTHI

memutuskan bahwa diperlukan suatu panduan nasional penanganan TEV, oleh karena itu

disusunlah buku Panduan Nasional Tromboemboli Vena ini sebagai langkah awal, yang

disusun oleh kelompok Hematologi-Onkologi Medik dari berbagai daerah di Indonesia. Buku

panduan ini tentunya tidak terlepas dari kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik

dan saran. Kami berencana untuk merevisi buku panduan ini setiap tiga tahun dan melengkapi

panduan ini dengan melibatkan berbagai unsur keilmuan dalam organisasi PTHI ini, untuk

mengikuti perkembangan Ilmu Kedokteran yang selalu berkembang dan berubah.

Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam

penyusunan buku panduan ini, khususnya tim editor Catharina Suharti, Trinugroho Heri

Fadjari, Lugyanti Sukrisman, dan Budi Setiawan.

Karmel L. Tambunan

Ketua Perhimpunan Trombosis dan Hemostasis Indonesia (PTHI)

vi
DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN ........................................................................................................................ ii

EDITOR ...................................................................................................................................... iv

KATA SAMBUTAN ................................................................................................................... v

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. vii

DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... x

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................................. xi

PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1

BAB I. TROMBOSIS VENA DALAM ....................................................................................... 3

BAB II. EMBOLI PARU ........................................................................................................... 18

BAB III. PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA PADA PASIEN MEDIK ..................... 28

BAB IV. PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA PADA PASIEN BEDAH .................... 37

BAB V. TATA LAKSANA BRIDGING OBAT ANTIKOAGULAN PERIOPERATIF ......... 44

BAB VI. PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA PADA KANKER ................. 53

BAB VII. PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA PADA KEHAMILAN ........ 66

BAB VIII. OBAT ANTIKOAGULAN ...................................................................................... 83

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Faktor Risiko Klasik Tromboemboli Vena ................................................................. 6

Tabel 1. 2 Skor Kecurigaan Klinis Wells ..................................................................................... 8

Tabel 1. 3 Dosis Inisiasi Warfarin dalam Terapi TEV dan Penyesuaian Dosis menurut
Normogram International Normalized Ratio ............................................................................. 10

Tabel 1. 4 Perbandingan Farmakokinetik, Farmakodinamik dan Dosis dari Antikoagulan Oral


.................................................................................................................................................... 13

Tabel 2. 2 Skor PERC (Pulmonary Embolism Rule-out Criteria) untuk Penderita dengan
probabilitas emboli paru rendah………………………………………………………………..20

Tabel 2. 4 Klasifikasi Pasien Emboli Paru Akut berdasarkan Risiko Mortalitas ....................... 24

Tabel 3. 2 Model Penilaian Risiko IMPROVE .......................................................................... 30

Tabel 3. 3 Rekomendasi Profilaksis TEV berdasarkan Skor Risiko Modifikasi PADUA ......... 30

Tabel 3. 4 Skor Risiko Perdarahan IMPROVE .......................................................................... 31

Tabel 3. 5 Profilaksis TEV pada Pasien Penyakit Medis yang Dirawat di Rumah Sakit .......... 34

Tabel 4. 1 Risiko Tromboemboli Vena pada Pasien Bedah Tanpa Profilaksis .......................... 38

Tabel 4. 2 Prevalensi Tromboemboli Vena pada Bedah Ortopedi Mayor Tanpa Profilaksis .... 38

Tabel 4. 3 Model Penilaian Risiko TEV Caprini ....................................................................... 40

Tabel 4. 5 Rekomendasi Tromboprofilaksis pada Pasien Bedah Ortopedi ................................ 41

Tabel 5. 1 Stratifikasi Risiko dan Rekomendasi Bridging Perioperatif .................................... 46

Tabel 5. 2 Stratifikasi Skor Risiko CHA2DS2-VASc untuk Subjek dengan Fibrilasi Atrium
Nonvalvular ................................................................................................................................ 47

Tabel 5. 3 Karakteristik Klinis Skor Risiko Perdarahan HAS-BLED ....................................... 48

Tabel 5. 5 Antikoagulasi dan Protokol Bridging Perioperatif .................................................... 50

Tabel 5. 6 Durasi Penghentian Preoperatif Obat Antikoagulan Oral Direk (DOAC) ................ 51

Tabel 5. 7 Pemberian kembali obat golongan DOAC pasca operasi ......................................... 51

viii
Tabel 6. 1 Faktor Risiko dan Biomarker untuk Trombosis terkait Kanker ................................ 56

Tabel 7. 1 Faktor Predisposisi Trombosis terkait Kehamilan .................................................... 68

Tabel 7. 2 Kecepatan Infus Disesuaikan dengan Activated Partial Thromboplastine Time


(aPTT) ........................................................................................................................................ 71

Tabel 7. 3 Pengkajian Risiko TEV pada Kehamilan .................................................................. 75

Tabel 7. 4 Ringkasan Pedoman Tromboprofilaksis pada Wanita dengan Riwayat TEV dan/Atau
Trombofilia Sebelumnya ............................................................................................................ 76

Tabel 7. 5 Dosis Tromboprofilaksis yang Dianjurkan untuk LWMH Anatenatal dan Postnatal
.................................................................................................................................................... 80

Tabel 8. 2. Perbandingan farmakologi heparin dan derivatnya ................................................. 88

Tabel 8. 3 Penyesuaian dosis warfarin berdasarkan INR ........................................................... 90

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Faktor Risiko TEV dalam Trias Virchow ............................................................... 4

Gambar 1. 2 Struktur Topografi Vena Ekstremitas Inferior ........................................................ 5

Gambar 1. 4 Diagram Flowchart untuk Mengonfirmasi atau Menyingkirkan Diagnosis TVD


setelah Menentukan Klasifikasi Risiko Low Probability menurut Skor Wells ............................ 9

Gambar 2. 1 Alur Diagnostik dan Penatalaksanaan EP Tanpa Syok ......................................... 22

Gambar 2. 3 Penatalaksanaan EP Akut .................................................................................... 25

Gambar 5. 1 Strategi Bridging Heparin pada Perioperatif untuk Pasien dalam Terapi VKA .... 49

Gambar 7. 1 Algoritme Diagnostik pada Kecurigaan Kasus TVD pada Kehamilan ................. 69

Gambar 7. 2 Algoritme Diagnostik pada Kecurigaan Kasus Emboli Paru pada Kehamilan ..... 70

Gambar 7. 3 Pengkajian Risiko Maternal untuk Tromboprofilaksis dan Penanganan Antenatal


.................................................................................................................................................... 77

Gambar 8. 1 Reversal DOAC urgent ......................................................................................... 99

x
DAFTAR SINGKATAN

4T Thrombocytopenia, Thrombosis, Thrombosis or other sequelae, Other


causes of thrombocytopenia
ACCP American College of Chest Physicians
AF Atrial fibrillation
AMPLIFY Apixaban for the Initial Management of Pulmonary Embolism and Deep
Vein Thrombosis as First-Line Therapy trial
aPTT Activated Partial Thromboplastine Time
ASCO American Society of Clinical Oncology
AT III Antithrombin III
AVK Antagonis vitamin K
BNP Brain Natriuretic Peptide
CABG Coronary artery bypass graft
CCU Cardiac care unit
CHAD2DS2-VASc Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥ 75 years, Diabetes, prior
Stroke/TIA/Thromboembolism, Vascular disease, Age 65 – 74 years, Sex
category (female)
CI Confidence interval
CrCl Creatinine clearance
CTEPH Chronic thromboembolic pulmonary hypertension
CTPA Computed tomography pulmonary angiography
CUS Compression ultrasound
CYP3A4 Cytochrome P450 3A4
DOAC Direct oral anticoagulant
DNA Deoxyribonucleic acid
ECT Ecarin clotting time
EP Emboli paru
ESC European Society of Cardiology
ESMO European Society for Medical Oncology
ESRD End stage renal disease
EPCR Endothelial protein C receptor
FEIBA Factor VII inhibitor bypassing activity

xi
FFP Fresh frozen plasma
GBD The Global Burden of Disease and Risk Factors study
GCS Graduated Compression Stockings
GM-CSF Granocyte macrophage colony stimulating factor
HASHTI see text for details
HIV Human Immunodeficiency Syndrome
HIT Heparin induced thrombocytopenia
HITT Heparin induced thrombocytopenia and thrombosis
HAS-BLED Hypertension, Abnormal renal and liver function, Stroke, Bleeding,
Labile INR, Elderly, Drugs or alcohol
HFS Hip fracture surgery
IBD Inflammatory bowel disease
ICU Intensive care unit
IMT Indeks massa tubuh
IMPROVE The International Medical Prevention Registry on Thromboembolism
risk model
ICH Intracerebral hemorrhage
IL-1β Interleukin-1β
INR International Normalized Ratio
IPC Intermitten Pneumatic Compression
IVF In vitro fertilization
LMWH Low molecular weight heparin
PERC Pulmonary Embolism Rule-out Criteria
PESI Pulmonary Embolism Severity Index
PT Prothrombin time
MAO Monoamine oxidase
MI Myocardial infarction
NCCN National Comprehensive Cancer Network
OR Odds ratio
PAD Peripheral arterial disease
PC Protein C
PCC Prothrombin complex concentrate
PS Protein S
ra FVII Recombinant activated Factor VII
rt-PA Recombinant tissue Plasminogen Activator

xii
SaO2 Saturasi oksigen arterial
SIGN Scottish Intercollegiate Guidelines Network
sPESI Simplified Pulmonary Embolism Severity Index
TEV Tromboemboli vena
TKA Total knee arthroplasty
THA Total hip arthroplasty
TIA Transient ischemic attack
TNF-α Tumor necrosis factor-α
TVD Trombosis vena dalam
UFH Unfractionated heparin
UK United Kingdom
VEGF Vascular endothelial growth factor
V/Q scan Ventilation/perfusion scan

xiii
PENDAHULUAN

Tujuan Penyusunan Buku

Buku Panduan Klinis ini disusun dengan tujuan untuk membantu para klinisi dalam
penatalaksanaan kasus tromboemboli vena dalam praktik sehari-hari. Rekomendasi yang
disusun dalam buku ini tidak bersifat mengikat, para klinisi dapat memilih untuk mengikuti
buku panduan ini, atau menata laksana berdasarkan panduan yang disusun institusi lokal.

Metode Penyusunan Buku

Metode penyusunan buku ini didasarkan atas studi pustaka dari berbagai studi klinis, serta
panduan internasional yang ada pada saat buku ini disusun. Penulis akan melakukan revisi
setiap saat, sesuai dengan perkembangan ilmu yang ada.

Pernyataan Konflik Kepentingan

Penyusunan buku ini bersifat ilmiah murni dan tidak ada konflik kepentingan dengan pihak
manapun.

Sumber Dana

Buku ini disusun dari sumber dana yang berasal dari Perhimpunan Trombosis dan Hemostasis
Indonesia (PTHI) atau The Indonesia Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH) dan
educational grant dari Bayer Pharmaceutical. Pemberi dana tidak ada pengaruh dalam
penyusunan buku ini.

Tabel 1 Kekuatan Rekomendasi Berdasarkan Tingkat Bukti Klinik1

Kategori/Tingkat Definisi
Kekuatan rekomendasi
A Tingkat bukti baik untuk mendukung rekomendasi
B Tingkat bukti sedang untuk mendukung rekomendasi
C Tingkat bukti kurang untuk mendukung rekomendasi
Kualitas bukti
1 Bukti klinis berasal dari ≥1 uji klinis acak yang berkualitas baik
2 Bukti klinis berasal dari ≥1 uji klinis dengan rancangan yang baik, bukan acak,
kohort, atau studi analitik kasus kontrol (lebih dipilih > 1 senter); seri-waktu
multipel; atau dari hasil eksperimen tanpa kontrol yang dramatik
3 Bukti berasal dari opini otoritas yang mempunyai kompetensi tinggi,
berdasarkan pengalaman klinik, studi deskriptif, atau laporan komite ahli

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 1


Daftar Pustaka
1. Liu C, Bayer A, Cosgrove SE, Daum RS, Fridkin SK, Gorwitz RJ, et al. Clinical practice guidelines by the
infectious diseases society of america for the treatment of methicillin-resistant Staphylococcus aureus
infections in adults and children. HYPERLINK "https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21208910" \o
"Clinical infectious diseases : an official publication of the Infectious Diseases Society of America." Clin
Infect Dis. 2011;52:e18-55.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 2


BAB I

TROMBOSIS VENA DALAM

Mika Lumban Tobing, Catharina Suharti, Supriyanto Muktiatmojo, Dairion Gatot

A. PENDAHULUAN

Trombosis vena dalam (TVD) adalah suatu kondisi medis terbentuknya trombus pada
sistem vena di ekstremitas (biasanya vena di tungkai bawah). Bekuan darah dapat
menyumbat vena parsial atau total, dan inilah yang mengakibatkan timbulnya
keluhan. Trombosis vena dalam (TVD) pada ekstremitas atas lebih jarang terjadi.1

Trombosis vena dalam (TVD) dapat dibagi dalam tiga kategori:2


1. Spontan (idiopatik, tanpa provokasi)
2. Terprovokasi oleh kejadian tertentu, misalnya trauma, pembedahan, atau penyakit
akut
3. Trombosis vena dalam (TVD) rekurens.

Apabila sebagian bekuan darah ini terlepas dan beredar dalam sirkulasi, maka dapat
terjadi kondisi yang serius dan bersifat fatal yang disebut emboli paru (EP).
Tromboemboli vena (TEV) adalah kesatuan antara TVD dan EP.3 Komplikasi jangka
panjang TVD antara lain sindrom post-trombotik.4

B. EPIDEMIOLOGI

TEV merupakan beban penyakit yang besar pada populasi. Hal tersebut berkaitan
dengan biaya terapi dan disabilitas yang dapat diakibatkannya. Studi yang dilakukan
oleh Wang, dkk.5 pada tahun 2010 melaporkan bahwa kombinasi penyakit jantung
iskemik dan stroke mengakibatkan 1 dari 4 kematian di dunia. Namun, studi tersebut
tidak melaporkan data TEV sebagai penyebab kematian dan disabilitas. Penelitian dari
Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, dan Argentina menghasilkan data yang
konsisten dengan angka kejadian TEV per tahun berkisar antara 1,75 dan 2,69 per
1.000 individu. Angka kejadian meningkat antara 2–7 per 1.000 individu usia >70
tahun.6

Tromboemboli vena (TEV) merupakan masalah kesehatan terkait morbiditas dan


mortalitas yang tinggi. Pada tahun 2007, dilaporkan bahwa lebih dari 500.000
kematian di Uni Eropa berhubungan dengan 1,1 juta kejadian TEV yang sepertiganya
bermanifestasi sebagai EP. Di Amerika Serikat, TVD dan EP terjadi pada 350.000–
600.000 penduduk per tahun dan menjadi penyebab pada 100.000-300.000 kematian
setiap tahunnya.7,8

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 3


C. PATOGENESIS

Trias virchow yang terdiri atas stasis, kerusakan pembuluh darah, dan kondisi
hiperkoaguabilitas merupakan faktor risiko terjadinya TEV. Faktor-faktor ini
dijelaskan pada Gambar 1.1.3,9 Bentuk TEV paling sering adalah TVD, umumnya
terjadi pada vena-vena profunda yang terletak di dalam otot-otot tungkai bawah dan
pelvis. Trombosis vena dalam (TVD) terdiri dari proksimal dan distal seperti terlihat
pada Gambar 1.2.

Gambar 1. 1 Faktor Risiko TEV dalam Trias Virchow9


Keterangan: IBD= inflammatory bowel disease

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 4


Gambar 1. 2 Struktur Topografi Vena Ekstremitas Inferior4

Trombosis vena diawali dari katup atau sinus vena. Protein antitrombotik seperti
trombomodulin dan endothelial protein C receptor (EPCR) yang sensitif terhadap
hipoksia dan inflamasi diekspresikan pada area katup.10 Stasis pada sinus valvular
dihubungkan dengan kondisi hipoksia dan peningkatan hematokrit yang
mengakibatkan hiperkoaguabilitas pada lingkungan mikro. Kondisi ini disertai
dengan inflamasi akan mengakibatkan penurunan protein antitrombotik yang memicu
pembentukan trombus.4,10

Pada penelitian yang saat ini sedang berjalan, hipoksia juga diduga dapat
meningkatkan protein pro-koagulan seperti tissue factor dan P-selectin (suatu
molekul adesi) dari sel endotel. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan
mikropartikel yang berasal dari leukosit atau monosit.11

Varian genetik seperti kadar yang tinggi dari faktor VIII, faktor von willebrand,
faktor VII, dan protrombin dihubungkan dengan pembentukan trombus.12 Sementara
itu, kanker dapat menghambat aliran darah, mengakibatkan peningkatan faktor
jaringan yang mengawali koagulasi, dan melepas prokoagulan mikropartikel lipid.3,13
Bertambahnya usia juga dinilai memengaruhi terjadinya kerusakan katup yang
cenderung mengakibatkan stasis.14

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 5


D. FAKTOR RISIKO

Tromboemboli vena (TEV) dianggap sebagai interaksi antara faktor risiko yang
berhubungan dengan pasien (biasanya permanen) dan kondisi pasien (faktor risiko
yang bersifat sementara). Tromboemboli vena (TEV) terprovokasi bila terdapat faktor
risiko sementara (reversibel) seperti pembedahan, trauma, imobilisasi, kehamilan,
penggunaan kontrasepsi oral, atau terapi sulih hormon dalam waktu 6 minggu sampai
3 bulan sebelum diagnosis (Tabel 1.1).15 Faktor risiko persisten atau sementara akan
memengaruhi lama pemberian antikoagulan setelah episode pertama TEV.15,16

Tabel 1. 1 Faktor Risiko Klasik Tromboemboli Vena15


Kategori faktor risiko Keterangan
Faktor risiko kuat Fraktur tungkai bawah
(odds ratio >10) Dirawat karena kelemahan jantung, fibrilasi atrium, atau flutter (dalam
waktu <3 bulan)
Operasi penggantian panggul atau lutut
Trauma mayor
Infark jantung (dalam waktu <3 bulan)
Riwayat TEV sebelumnya
Cedera medula spinalis
Faktor risiko moderat Artroskopi sendi lutut
(odds ratio 2–9) Penyakit autoimun
Transfusi darah
Penggunaan kateter vena sentral
Kemoterapi
Gagal jantung kongestif/gagal nafas
Terapi eritropoetin
Terapi sulih hormone
Fertilisasi in vitro
Infeksi (terutama pneumonia, infeksi saluran kencing, dan HIV)
Inflammatory bowel disease
Kanker (risiko tertinggi pada kanker metastasis)
Kontrasepsi oral
Paralisis karena stroke
Periode postpartum
Trombosis vena superfisialis
Trombofilia
Faktor risiko lemah Tirah baring >3 hari
(odds ratio <2) Diabetes melitus
Hipertensi
Imobilisasi karena duduk (contoh: berpergian dengan mobil atau pesawat >6
jam)
Usia
Laparoskopi (mis. kolesistektomi)
Obesitas
Kehamilan
Varises

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 6


E. DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Keluhan TVD paling sering yaitu nyeri tungkai dan nyeri pada penekanan, kulit
kemerahan, dan edema (pembengkakan).3,4 Keluhan dan tanda klinis TVD sendiri
tidak dapat diandalkan untuk penegakan diagnosis. Apaila dikombinasikan antara
faktor risiko, keluhan, dan tanda klinis yang dimasukkan dalam skor Wells, maka
baru dapat digunakan untuk membantu langkah penegakan diagnosis TVD (Tabel
1.2).3,9,17,18
Meskipun skor Wells yang tinggi mengindikasikan kecurigaan klinik TVD, tetapi
perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan objektif seperti ultrasonografi kompresi
atau venografi/MRI untuk mengonfirmasi diagnosis.17 Selain itu, pemeriksaan D-
dimer dapat digunakan untuk menyingkirkan TVD.3,4,19

2. Laboratorium

D-dimer meningkat pada trombosis akibat proses aktivasi simultan antara koagulasi
dan fibrinolisis.19 D-dimer memiliki nilai prediktif negatif yang sangat baik, artinya
kadar D-dimer yang normal (negatif) menunjukkan kondisi bukan TVD atau EP. Di
lain pihak, fibrin juga dibentuk dalam berbagai kondisi klinis seperti kanker,
inflamasi, perdarahan, trauma, pembedahan, dan nekrosis jaringan. Dengan
demikian, nilai prediktif positif dari kenaikan kadar D-dimer tidak dapat digunakan
untuk mengonfirmasi TVD atau EP.4,16

3. Pencitraan

Ultrasonografi kompresi (compression ultrasound/CUS) vena merupakan suatu


teknik yang digunakan secara luas untuk evaluasi kecurigaan TVD karena dianggap
aman dan non-invasif. Penekanan dan pencitraan dilakukan mulai dari vena
femoralis hingga vena betis proksimal.3,4,16 Ultrasonografi kompresi mempunyai
beberapa keterbatasan, tetapi dianggap dapat diterima untuk konfirmasi kecurigaan
klinik TVD apabila dikombinasikan dengan skor Wells ≥2 (DVT likely).4,18,19
Diagram flowchart untuk mengonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis TVD dapat
dilihat pada Gambar 1.3 dan 1.4.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 7


Tabel 1. 2 Skor Kecurigaan Klinis Wells17
Kriteria Skor
Kanker aktif (sedang menjalani terapi < 6 bulan atau terapi paliatif) +1
Paralisis, parese, atau penggunaan plester/gips, imobilisasi pada ekstremitas inferior +1
Tirah baring > 3 hari, pembedahan mayor dalam waktu 12 minggu +1
Pembengkakan sepanjang tungkai +1
Nyeri tekan sepanjang sistem vena dalam +1
Pembengkakan > 3 cm dibandingkan tungkai yang tidak ada gejala (diukur 10 cm di bawah +1
tuberositas tibia)
Edema pitting (terutama pada tungkai yang terlibat) +1
Terdapat vena kolateral superfisial (non-varises) +1
Terdapat kemungkinan diagnosis alternatif –2
Keterangan: skor ≥2= kemungkinan TVD; skor ≤1= kemungkinan bukan TVD

Gambar 1. 3 Diagram flowchart untuk Mengonfirmasi atau Menyingkirkan Diagnosis TVD


setelah Menentukan Klasifikasi Risiko High Probability menurut Skor Wells4
Keterangan: CUS = compression doppler ultrasound.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 8


Gambar 1. 4 Diagram Flowchart untuk Mengonfirmasi atau Menyingkirkan Diagnosis TVD
setelah Menentukan Klasifikasi Risiko Low Probability menurut Skor Wells4
Keterangan: CUS = compression doppler ultrasound

4. Diagnosis Banding3,16

Beberapa diagnosis banding TVD yaitu:


1. Selulitis
2. Robeknya otot betis/tendon achilles
3. Hematom otot betis
4. Ruptur kista poplitea (kista Baker)
5. Tumor/massa pelvis atau paha yang menekan aliran vena di tungkai.

F. PENATALAKSANAAN

Diagnosis dan terapi yang cepat untuk TVD sangat penting untuk menurunkan risiko
terjadinya EP yang bersifat fatal dan komplikasi jangka panjang lain.
1. Tujuan Terapi Trombosis Vena Dalam3

Tujuan terapi TVD yaitu: 1) mencegah makin meluasnya trombus; 2) memperbaiki


keluhan; 3) mencegah kekambuhan; dan 4) mencegah terjadinya emboli paru.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 9


2. Terapi Trombosis Vena Dalam
Penderita dengan kecurigaan TVD tinggi (skor Wells ≥2) dapat diberi terapi
antikoagulan sebelum diagnosis terkonfirmasi, kecuali pada pasien dengan risiko
perdarahan tinggi.3,4,18 Pemeriksaan pencitraan untuk konfirmasi diagnosis harus
segera dilakukan.3,4

a. Terapi Antikoagulan Konvensional


Pasien dengan TVD dan/atau EP hemodinamik stabil tetapi tidak dalam risiko
tinggi perdarahan diterapi dengan antikoagulan.20 Sebelum memulai terapi
antikoagulan, perlu diperiksa kadar hemoglobin, trombosit, prothrombin time (PT),
activated partial thromboplastine time (aPTT), fungsi ginjal, dan fungsi liver.
Terapi konvensional terdiri atas kombinasi terapi parenteral unfractionated heparin
(UFH) atau low molecular weight heparin (LMWH) atau fondaparinux –
dikombinasi dengan obat oral antagonis vitamin K (AVK). Obat oral AVK
(warfarin) diberikan untuk jangka panjang (long-term) atau lanjutan (extended
therapy) sebagai pencegahan kekambuhan TEV. Obat oral AVK mempunyai onset
yang lambat, oleh karena itu perlu diberikan bersama obat parenteral yang bekerja
cepat selama minimal 5 hari hingga international normalized ratio (INR) mencapai
≥2,0 selama minimal 24 jam (1B).20 Monitoring koagulasi yang sering, serta
penyesuaian dosis perlu dilakukan selama terapi dengan warfarin sehingga dapat
dipertahankan INR dalam rentang terapi yang pendek (INR 2-3).21 Dosis pemberian
warfarin ditampilkan pada Tabel 1.3.

Tabel 1. 3 Dosis Inisiasi Warfarin dalam Terapi TEV dan Penyesuaian Dosis
menurut Normogram International Normalized Ratio21
Hari INR Dosis
Hari ke-1 5 mg
Hari ke-3 <1,5 5 – 10 mg
1,5–1,9 2,5–5 mg
2–3 0–2,5 mg
>3 0 mg
Hari ke-4 <1,5 10 mg
1,5–1,9 5–7,5 mg
2–3 0–5 mg
>3 0 mg
Hari ke-5 <1,5 10 mg
1,5–1,9 7,5–10 mg
2–3 0–5 mg
>3 0 mg
Hari ke-6 <1,5 7,5–12,5 mg
1,5 – 1,9 5–10 mg
2–3 0–7,5 mg
>3 0 mg
INR= International Normalized Ratio

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 10


Rekomendasi warfarin menurut American College of Chest Physicians (ACCP),
yaitu:20
a) Dosis awal warfarin sebanyak 10 mg/hari selama 2 hari, diikuti penyesuaian
dosis berdasarkan pengukuran INR (2C)
b) Terapi warfarin dianjurkan dimulai pada hari ke-1 atau ke-2 dari LMWH atau
dosis rendah UFH (2C)
c) Pada pasien yang mendapat terapi AVK dengan INR yang telah stabil,
dianjurkan pemeriksaan INR dilakukan setiap 12 minggu (2B)
d) Rentang INR terapeutik optimal antara 2,0-3,0 (target INR 2,5) dibandingkan
dengan yang lebih rendah (<2,0) atau lebih tinggi (3,0-5,0) (1B).

b. Antikoagulan Parenteral
Unfractionated Heparin (UFH)
a) Dosis awal 80 U/kg bolus intravena, dilanjutkan 18 U/kg/jam dengan infus
kontinyu dengan pemantauan aPTT
b) Pada pasien rawat jalan yang diterapi dengan UFH, dosis disesuaikan dengan
berat badan (dosis awal 333 U/kg, kemudian 250 U/kg, subkutan sebanyak 2
kali sehari)
c) Pemantauan aPTT dengan target 1,5–2,5 batas atas nilai normal dan/atau kadar
anti faktor Xa (0,3–0,7 IU/mL)
d) Perlu dimonitor untuk terjadinya heparin-induced thrombocytopenia (HIT).
Efek samping HIT lebih sering terjadi pada UFH dibanding LMWH. Penderita
dengan riwayat HIT dapat diberikan antikoagulan alternatif berupa
fondaparinux (bukti klinis masih terbatas), argatroban, lepirudin, dan aparoid
(belum ada di Indonesia)22
e) Penggunaan UFH terbatas pada: i) penderita dengan gangguan fungsi ginjal
berat (creatinine clearance (CrCl) <30 mL/menit) yang pemberian LMWH
harus dihindari; ii) penderita dengan risiko perdarahan tinggi, kemungkinan
diperlukan reversal efek antikoagulan yang cepat; dan iii) penderita yang
mendapat terapi trombolitik.23

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)

a) Enoxaparin 1 mg/kg/12 jam atau 1,5 mg/kg/24 jam subkutan


b) Nadroparin 0,1 mL/10 kg/12 jam subkutan
c) Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat (klirens kreatinin <30
mL/menit) yang mendapat terapi LMWH, dianjurkan menggunakan dosis yang
lebih rendah (2C)20
d) Pemberian LMWH sekali sehari lebih dipilih dibandingkan 2 kali sehari (2C).20

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 11


Penghambat Faktor Xa (Fondaparinux)

a) Dosis disesuiakan dengan berat badan, yaitu: <50 kg = 5 mg; 50-100 kg = 7,5
mg; >100 kg = 10mg/sc/sekali sehari (2C).
b) Low molecular weight heparin (LMWH) atau fondaparinux lebih dipilih
dibanding UFH secara intravena atau subkutan (2C).20

c. Terapi Antikoagulan Direct Oral Anticoagulant (DOAC)

Terapi antikoagulan oral DOAC merupakan alternatif AVK dan memberi pilihan
pendekatan dengan obat oral tunggal sejak awal terapi. Rivaroxaban, apixaban,
dabigatran, dan edoxaban telah disetujui di Amerika, Eropa, dan berbagai negara
lain untuk terapi TVD dan EP dengan hemodinamik stabil, serta pencegahan
kekambuhan TEV untuk penderita dewasa. Perbandingan farmakokinetik,
farmakodinamik, dan dosis DOAC dibandingkan dengan warfarin ditampilkan pada
Tabel 1.4.

Obat golongan DOAC telah diuji dibandingkan dengan terapi konvensional dalam
suatu studi yang besar untuk terapi TEV. Beberapa studi tersebut di antaranya studi
oleh EINSTEIN DVT24 dan EINSTEIN PE25 untuk rivaroxaban, studi RE-
COVER26 dan RE-COVER II27 untuk dabigatran, studi AMPLIFY28 untuk
apixaban, dan studi Hokusai-VTE29 untuk edoxaban.

Direct oral anticoagulant (DOAC) sama efektifnya dalam hal mencegah


kekambuhan TEV dan kematian yang berhubungan dengan TEV (sebagai primary
efficacy endpoints). Terapi antikoagulan DOAC juga dinilai mempunyai keamanan
yang setara dalam hal kejadian perdarahan mayor/atau mayor plus non-mayor yang
relevan dengan klinik.

Terdapat dua pendekatan dalam terapi dengan DOAC, yaitu single-drug approach
dan dual-drug approach. Pada single-drug approach, apixaban dan rivaroxaban
dapat diberikan sejak awal terapi, serta tidak memerlukan overlap dengan
antikoagulan parenteral dan AVK. Dual-drug approach sebagai alternatif AVK,
dabigatran, dan edoxaban dapat diberikan setelah pemberian antikoagulan
parenteral fase akut selama minimal 5 hari. Berbeda dengan AVK, dual-drug
approach ini tidak ada periode overlap dan tidak memerlukan monitoring.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 12


Tabel 1. 4 Perbandingan Farmakokinetik, Farmakodinamik dan Dosis dari Antikoagulan Oral23

Karakteristik Warfarin Apixaban Dabigatran Rivaroxaban


Target Enzim Vitamin K Fxa Trombin (FIIa) Fxa
Prodrug Bukan Bukan Ya Bukan
Bioavailabilitas 100% 50% 6% 60-80%
Dosis untuk Awal 10 mg 2x10 mg Antikoagulan 2x15 mg/hari/
TEV akut INR 2.0-3.0 (7 hari) parenteral 5 hari 3 minggu
2x5 mg (6 2x110 mg/hari 1x20 mg/hari
bulan) (≥3 bulan)
Waktu ke efek 4-5 hari 3-4 jam 1-3 jam 2-4 jam
maksimum
Waktu paruh 40 jam 12 jam 8-15 jam 5-13 jam

Klirens ginjal Tidak 27% 80% 33%


Perlu Ya Tidak Tidak Tidak
monitoing
Interaksi Multipel CYP3A4 P-glycoprotein CYP3A4
P-glycoprotein P-glycoprotein

Dosis DOAC

a) Apixaban: terapi TEV 2x10 mg/hari selama 7 hari, dilanjutkan 2x5 mg selama 6
bulan. Untuk pencegahan kekambuhan, diberikan 2x2,5 mg minimal selama 6
bulan setelah dosis terapi.
b) Dabigatran:
i. Penderita dengan minimal salah satu dari faktor risiko (usia ≥75 tahun atau
CrCl 30-50 ml/min atau risiko perdarahan tinggi (skor HAS-BLED),30
antikoagulan parenteral minimal 5 hari, selanjutnya dabigatran 2x110
mg/hari
ii. Penderita usia <75 tahun dan CrCl >50 mL/min dan tidak ada risiko
perdarahan: parenteral antikoagulan untuk minimal 5 hari, selanjutnya
dabigatran 2x150 mg.
c) Rivaroxaban: terapi TEV 2x15 mg selama 3 minggu, dilanjutkan 1x20 mg
(sesuai kebutuhan pasien)

Kontraindikasi DOAC: Apixaban, Dabigatran, Rivaroxaban

a) Hipersensitivitas
b) Gangguan fungsi ginjal: i) apixaban CrCl <25 mL/menit; ii) dabigatran CrCl
<30 mL/menit; dan iii) rivaroxaban CrCl <15 mL/menit

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 13


c) Perdarahan aktif secara klinik signifikan
d) Penyakit perdarahan, baik diturunkan maupun didapat
e) Penyakit hati kronik yang disertai koagulopati
f) Lesi organ risiko perdarahan (perdarahan intrakranial) dalam waktu 6 bulan
sebelumnya
g) Indwelling spinal atau kateter epidural selama 6 jam setelah pengambilan
h) Katup jantung mekanik
i) Ibu hamil atau menyusui.

Rekomendasi American College of Chest Physicians (ACCP)20

a) Pasien dengan TVD atau EP tanpa kanker, sebaiknya diberikan DOAC


dibandingkan AVK untuk terapi 3 bulan pertama. Apabila pasien tidak diobati
dengan DOAC, maka dapat diberikan AVK
b) Pasien TVD atau EP dengan kanker, lebih dipilih penggunaan LMWH
dibandingkan AVK atau DOAC sebagai terapi 3 bulan pertama
c) Pasien yang mendapat terapi antikoagulan lanjutan diluar 3 bulan dapat
melanjutkan pilihan terapi awal.

3. Risiko dan Manfaat Terapi Antikoagulan

Antikoagulan terbukti efektif untuk mengobati TVD dan EP. Namun sebaliknya,
terapi antikoagulan dapat meningkatkan risiko perdarahan dan pada beberapa kasus
terdapat efek samping lain. Terapi jangka panjang dapat meningkatkan risiko
perdarahan, yang mana terapi jangka panjang ini sering diberikan pada penderita
dengan risiko tinggi kekambuhan TEV atau kelompok pasien spesifik tertentu.

Pertimbangan manfaat dan risiko efek samping mendasari keputusan berapa lama
pemberian terapi antikoagulan. Panduan European Society of Cardiology (ESC)15
maupun ACCP20 merekomendasikan bahwa rasio antara manfaat dan risiko untuk
meneruskan terapi antikoagulan perlu dilakukan penilaian secara teratur pada
interval waktu tertentu.

4. Lama Pemberian Terapi Antikoagulan

Lama pemberian terapi antikoagulan ditampilkan pada Tabel 1.5.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 14


Tabel 1. 5 Lama Pemberian Antikoagulan20
Kategori TEV (TVD + EP) Jangka waktu terapi antikoagulan
TEV pertama terprovokasi faktor risiko 3 bulan (1B)
sementara
Minimum 3 bulan kemudian dilakukan penilaian
TEV pertama tidak terprovokasi ulang:
Extended (>3 bulan), indefinite, review secara
Risiko perdarahan rendah-menengah periodik (2B)
Risiko perdarahan tinggi 3 bulan (1B)
TVD distal terisolasi dan terprovokasi 3 bulan
TEV pada penggunaan kateter vena sentral 3 bulan
TEV ke dua terprovokasi 3 bulan
TEV ke dua tidak terprovokasi Sama seperti TEV pertama tidak terprovokasi
TEV pada kanker Minimum 3 bulan (risiko perdarahan tinggi),
dilanjutkan bila kanker masih aktif atau terapi kanker
masih dilanjutkan.

G. PENDEKATAN TERAPI LAIN3,20


1. Catheter-guided thrombectomy/thrombolytic untuk pasien TVD yang mengancam
viabilitas ekstremitas bawah, atau EP paru yang disertai dengan syok kardiogenik
atau hipotensi
2. Elastic compression stockings dianjurkan sebagai tambahan terapi farmakologik
pada penderita TVD risiko tinggi, khususnya untuk pencegahan sindrom post-
trombotik
3. Aspirin tidak tepat untuk terapi akut TVD maupun EP, namun bukti mendukung
penggunaannya untuk extended secondary prevention TEV setelah terapi
antikoagulan periode awal selesai.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rico JIA, Pitarch JVL, Rocha E. Overview of venous thromboembolism. Drugs. 2010;70(Suppl. 2):3–
10.
2. Turpie AGG, Chin BSP, Lip GYH. Venous thromboembolism: pathophysiology, clinical features and
prevention. Br Med J. 2002;325:887–90.
3. Suharti C. Tromboembolisme: trombosis vena dalam dan emboli paru. Dalam: Suharti C, editor.
Trombosis. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro; 2009. Halaman 1-26
4. Bayer Pharma AG. Introduction to Deep Vein Thrombosis [Internet]. Berlin: Thrombosis Adviser;
16th Jul 2018 [Accessed 19th Sept 2018]. Available from: https://www.thrombosisadviser.com/deep-
vein-thrombosis-diagnosis/#signs-and-symptoms
5. Wang H, Dwyer-Lindgren L, Lofgren KT, Rajaratnam JK, Marcus JR, Levin-Rector A, et al. Age-
specific and sex-specific mortality in 1987 countries, 1970–2010: a systematic analysis for the Global
Burden of Disease Study 2010. Lancet. 2012;380:2071–94.
6. Raskob GE, Angchaisuksiri P, Blanco AN, Buller H2, Gallus A2, Hunt BJ, et al. Thrombosis: a major
contributor to global disease burden. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2014;34:2363–71.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 15


7. US Department of Health and Human Services. The surgeon generals’s call to action to prevent deep
vein thrombosis and pulmonary embolism. Washington DC: US Department of Health and Human
Services; 2008. p.9-18.
8. Heit JA, Cohen AT, Anderson FA, on behalf of the VTE Impact Assessment Group. Estimated annual
number of incident and recurrent, non-fatal and fatal venous thromboembolism (VTE) events in the
US. Blood. 2005;106:910.
9. Dunn JS, Kendall JM. Deep vein thrombosis [Internet]. London: The Royal College of Emergency
Medicine; 20 Oct 2017 [accessed 15 Sept 2018]. Available from:
https://www.rcemlearning.co.uk/references/deep-vein-thrombosis/
10. Brooks EG, Wadsworth M, Taatjes D, Taatjes DJ, Evans MF, Ittleman FP, et al. Valves of the deep
venous system: the overlooked risk factor. Blood. 2009;114:1276–9.
11. Polgar J, Matuskova J, Wagner DD. The P-selectin, tissue factor, coagulation triad. J Thromb
Haemost. 2005;3:1590–6.
12. Rosendaal FR, Reitsma PH. Genetics of venous thrombosis. J Thromb Haemost. 2009;7(Suppl
1):301–4.
13. Falanga A, Russo L, Milesi V, Vignoli A. Mechanisms and risk factors of thrombosis in cancer. Crit
Rev Oncol Hematol. 2017;118:79–83.
14. Langenvelde K, Sramek A, Rosendaal FR. The effect of aging on venous valves. Arterioscler Thromb
Vasc Biol. 2010;30:2075–80.
15. Frederick AA Jr, Spencer FA. Risk factors for venous thromboembolism. Circulation. 2003;107(23
Suppl 1):9–16.
16. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galie N, et al. 2014 ESC
Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur Heart J.
2014;35:3033-69.
17. Wells PS, Anderson DR, Bormais J, Guy F, Mitchell M, Gray L, et al. Value of assessment of pretest
probability of deep-vein thrombosis in clinical management. Lancet. 1997;350:1795–8.
18. National Clinical Guideline Centre (UK). Venous thromboembolic diseases: the management of
venous thromboembolic diseases and the role of thrombophilia testing [Internet]. London: Royal
College of Physicians (UK); 2012 Jun [Accessed 19 th Sept 2018]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23638495
19. Wells PS, Anderson DR, Rodger M, Forgie M, Kearon C, Dreyer J, et al. Evaluation of D-dimer in the
diagnosis od suspected deep-vein thrombosis. N Engl J Med. 2003;349:1227-35.
20. Kearon C, Akl EA, Comerota AJ, Prandoni P, Bounameaux H, Goldhaber SZ, et al. Antithrombotic
therapy for VTE disease: Antithrombotic therapy and prevention of thrombosis. Chest. 2012;142:1698-
1704.
21. Witt DM, Clark NP, Kaatz S, Schnurr T, Ansell JE. Guidance for the practical management of
warfarin therapy in the treatment of venous thromboembolism. J Thromb Thrombolysis. 2016;41:187–
205.
22. Linkins LA, Dans AL, Moores LK, Bona R, Davidson BL, Schulman S, et al. Treatment and
prevention of heparin-induced thrombocytopenia: antithrombotic therapy and prevention of
thrombosis, 9th ed: American College of Chest Physicians evidence-based clinical practice guidelines.
Chest. 2012;141:e495S-530S.
23. Nutescu EA, Burnett A, Fanikos J, Spinler S, Wittkowsky A. Pharmacology of anticoagulants used in
the treatment of venous thromboembolism. J Thromb Thrombolysis. 2016;41:15–31.
24. The EINSTEIN investigators. Oral rivaroxaban for symptomatic venous thromboembolism. N Engl J
Med. 2010;363:2499-510.
25. The EINSTEIN investigators. Oral rivaroxaban for the treatment of symptomatic pulmonary
embolism. N Engl J Med. 2012;366:1287-97.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 16


26. Schulman S, Kearon C, Kakkar AK, Mismetti P, Schellong S, Erickson H, et al. Dabigatran versus
warfarin in the treatment of acute venous thromboembolism. N Engl J Med. 2009;361:2342-52.
27. Schulman S, Kakkar AK, Goldhaber SZ, Schellong S, Erickson H, Mismetti P, et al. Treatment of
acute venous thromboembolism with dabigatran or warfarin and pooled analysis. Circulation.
2014;129:764-72.
28. Agnelli G, Buller HR, Cohen A, Curto M, Gallus AS, Johnson M,et al. Oral apixaban for the treatment
of acute venous thromboembolism. N Engl J Med. 2013;369:799-808.
29. The Hokusai-VTE investigators. Edoxaban versus warfarin for the treatment of symptomatic venous
thromboembolism. N Engl J Med. 2013;369:1406-15.
30. Pisters R, Lane DA, Nieuwlaat R, de Vos CB, Crijns HJ, Lip GY. A novel user-friendly score (HAS-
BLED) to assess 1-year risk of major bleeding in patients with atrial fibrillation: the Euro Heart
Survey. Chest. 2010;138:1093–100.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 17


BAB II

EMBOLI PARU

Catharina Suharti, Nuzirwan Acang, Suradi Maryono, Santosa

A. PENDAHULUAN

Emboli paru (EP) terjadi apabila sebagian trombus yang terlepas dari trombosis vena
dalam (TVD) terperangkap di sirkulasi pulmonal sehingga menyumbat aliran darah ke
paru. Sekitar sepertiga penderita tromboemboli vena (TEV) terdiri atas EP dan
selebihnya adalah TVD.1,2 Diagnosis EP meningkat secara signifikan sejak digunakan
computed tomography pulmonary angiography (CTPA).3 Kebanyakan EP berasal dari
TVD tungkai bawah proksimal, meskipun hanya 25-50% pasien EP terbukti secara
klinik menderita TVD pada saat pertama kali terdiagnosis, dan sekitar 50% penderita
EP merupakan EP tidak terprovokasi.4

B. EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi EP sulit dipastikan karena kebanyakan kasus EP merupakan komplikasi


TVD sehingga data yang ada berasal dari studi TEV secara keseluruhan. Selain itu, EP
seringkali tanpa gejala. Pada beberapa kasus, diagnosis EP ditemukan secara tidak
sengaja. Terkadang gambaran klinik pertama berupa kematian yang mendadak.2,4

Emboli paru merupakan penyebab penting morbiditas, mortalitas, dan perawatan pada
rumah sakit di Eropa. Suatu estimasi yang didasarkan model epidemiologi
menunjukkan bahwa lebih dari 317.000 kematian berhubungan dengan TEV di 6
negara Uni Eropa dengan jumlah penduduk total 454,4 juta pada tahun 2004. Dari
jumlah kasus tersebut, 34% di antaranya merupakan kasus EP dengan kematian
mendadak, 59% merupakan kasus meninggal akibat EP yang tidak terdiagnosis
sewaktu hidup, dan hanya 7% penderita dengan kematian awal yang terdiagnosis EP
dengan benar sebelum meninggal.5

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 18


C. DIAGNOSIS

Terdapat dua gambaran klinis EP yang berbeda, yaitu EP tanpa syok dan EP dengan
syok.

1. Emboli Paru Tanpa Syok

a. Manifestasi Klinis

Penderita dengan keluhan sesak napas, nyeri dada pleuritik, dan takipnea perlu
dipikirkan kemungkinan EP. Gambaran klinik lainnya dapat berupa batuk, batuk
darah, demam, sinkop, wheezing, takikardi, sianosis, dan pleural friction rub.1,4

b. Skor Probabilitas Emboli Paru

Pasien yang secara klinis menunjukkan tanda dan gejala EP perlu dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, terutama penilaian faktor risiko
TEV untuk menentukan skor probabilitas EP. Pada penderita tanpa hipotensi,
pengkajian probabilitas dapat dilakukan secara klinis dengan cara yang telah
tervalidasi seperti skor Wells emboli paru yang ditampilkan pada Tabel 2.1.6 Pada
penderita dengan nilai probabilitas rendah tidak perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut apabila terdapat semua kriteria untuk menyingkirkan diagnosis EP
(pulmonary embolism rule-out criteria/PERC) (Tabel 2.2).7

Tabel 2. 1 Skor Well untuk Prediksi Emboli Paru (Two Levels)6

Gambaran klinik Skor


Gejala dan tanda klinik TVD (minimum pembengkakan tungkai dan nyeri 3
perabaan vena dalam)
Diagnosis alternatif tidak sesuai EP 3
Denyut jantung >100/menit 1,5
Imobilisasi >3 hari atau pembedahan dalam waktu 4 minggu 1,5
Riwayat TVD atau EP sebelumnya 1,5
Hemoptisis 1
Kanker dalam pengobatan (6 bulan atau paliatif) 1
Keterangan: skor>4 = kemungkinan EP (PE likely); skor≤4 = kemungkinan bukan EP (PE unlikely)

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 19


Tabel 2. 2 Skor PERC (Pulmonary Embolism Rule-out Criteria) untuk Penderita dengan
Probabilitas Emboli Paru Rendah7

Karakteristik klinik Memenuhi Tidak memenuhi kriteria


kriteria
Usia <50 tahun 0 1
Denyut jantung awal <100x/menit 0 1
SaO2 awal >94% di udara ruangan 0 1
Tidak ada pembengkakan tungkai 0 1
unilateral
Tidak ada hemoptysis 0 1
Tidak mengalami pembedahan/trauma 0 1
≤4 minggu
Tidak ada riwayat TEV 0 1
Tidak ada penggunaan estrogen 0 1

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 20


a. Kasus dengan Kemungkinan Bukan EP

Kasus kemungkinan bukan EP (skor ≤4), serta hasil D-dimer negatif dengan
menggunakan tes yang sensitif dapat menyingkirkan diagnosis EP. Namun,
apabila tes menunjukkan hasil positif, maka diperlukan pemeriksaan lanjutan
untuk mengonfirmasi atau menyingkirkan EP.6 Kadar D-dimer yang disesuaikan
dengan umur dapat meningkatkan spesifisitas pemeriksaan D-dimer.8 Pada
penderita berusia di atas 50 tahun, hasil D-dimer dianggap negatif bila kurang dari
usia pasien dikalikan 10 (misalnya usia penderita 70 tahun, hasil negatif bila
kurang dari 700 ug/L). Bagi penderita berusia di bawah 50 tahun, hasil negatif
bila di bawah cut-off 500 ug/L.4

b. Kasus dengan Kemungkinan EP


Pada kasus dengan kemungkinan EP (skor>4), maka harus segera dilakukan
pemeriksaan pencitraan untuk konfirmasi diagnosis. Pada kasus ini, pemeriksaan
D-dimer tidak memiliki peran.2,4 Computed tomography pulmonary angiography
(CTPA) dianggap cukup sensitif dan spesifik untuk menyingkirkan diagnosis
apabila hasil negatif, serta untuk konfirmasi diagnosis apabila hasilnya positif.
Keterbatasan CTPA adalah paparan radiasi yang cukup besar sehingga dapat
meningkatkan risiko kanker payudara, nefropati akibat kontras, dan sebagainya.3
Ventilation perfusion (V/Q) lung scanning cukup sensitif dan spesifik bagi pasien
dengan foto toraks normal (tidak mempunyai penyakit paru signifikan).4
Pemeriksaan ini diindikasikan untuk penderita dengan insufisiensi ginjal, hamil,
alergi kontras, dan penderita usia muda dengan foto toraks normal (Gambar 2.1).4,8

2. Emboli Paru dengan Syok


Sekitar 10% penderita EP merupakan simtomatik dan bersifat fatal dalam jam-jam
pertama dari onset keluhan. Prediktor independen untuk kematian awal antara
lain:4
a) Hipotensi (tekanan darah sistolik ≤90 mmHg atau turun 40 mmHg)

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 21


b) Gagal jantung kanan (secara klinis)
c) Dilatasi ventrikel kanan (secara CTPA atau ekokardiografi)
d) Troponin yang positif
e) Peningkatan Brain Natriuretic Peptide (BNP).
Diagnosis dini dan terapi awal PE sangat penting karena dapat menurunkan
mortalitas maupun morbiditas.

Gambar 2. 1 Alur Diagnostik dan Penatalaksanaan EP Tanpa Syok4

a. Kasus dengan Hipotensi atau Syok (Tekanan Darah Sistolik <90 mmHg)
Pada penderita dengan hipotensi yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan CTPA,
atau apabila pemeriksaan CTPA tidak dapat segera dilakukan, maka pemeriksaan
ekokardiografi harus segera dilakukan. Hal ini bertujuan untuk membuktikan
adanya overload ventrikel kanan dan adanya embolus pada ventrikel kanan atau
arteria pulmonalis cabang utama.4,9

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 22


Tanda klasik emboli paru akut pada pemeriksaan ekokardiografi adalah dilatasi
ventrikel kanan yang ditandai dengan diameter ventrikel kanan lebih besar dari
diameter ventrikel kiri (rasio >1) dan ventrikel kiri yang berukuran lebih kecil,
kurang terisi, tetapi berfungsi normal. Abnormalitas pada pergerakan dinding
regional juga dapat ditemukan berupa adanya diskinetik pada dinding tengah
ventrikel kanan, tetapi pergerakan dinding apeks dan dasar ventrikel yang normal,
tanda ini dikenal sebagai McConnell sign. Apabila hal ini ditemukan dan tidak
ada kemungkinan diagnosis alternatif, terapi harus segera dimulai.

Disfungsi ventrikel kanan saja tidak dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis
EP sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan (CTPA, V/Q lung scanning,
US kompresi tungkai bawah). Apabila hipotensi tidak disertai gambaran disfungsi
ventrikel kanan secara ekokardiografi, maka gangguan hemodinamik ini bukan
disebabkan oleh EP yang masif (Gambar 2.2).9

Gambar 2. 2 Alur Diagnostik dan Penatalaksanaan EP dengan Syok4

3. Stratifikasi Tingkat Beratnya Emboli Paru


Penderita yang telah terkonfirmasi EP perlu dilakukan stratifikasi berdasarkan
risiko kematian awal dengan menggunakan pulmonary embolism severity index

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 23


(PESI) yang ditampilkan pada Tabel 2.3 dan dilakukan klasifikasi berdasarkan
risiko mortalitas (lihat tabel 2.4).4

Tabel 2. 3 Pulmonary Embolism Severity Index (PESI) Versi Orisinal dan Disederhanakan4

Parameter Versi orisinal Versi disederhanakan


Usia Usia dalam tahun 1 (>80 tahun)
Jenis kelamin laki-laki +10 –
Kanker +30 1
Gagal jantung kronik +10 1
Penyakit paru kronik +10 1
Nadi >110 kali/menit +20 1
Tekanan darah sistolik <100 +30 1
mmHg
Laju pernafasan >30 kali/menit +20 –
Temperatur <36°C +20 –
Perubahan status mental +60 –
Saturasi oksi-Hb arteri <90% +20 1
Kategori kelas
Kelas I ≤65: risiko kematian dalam 30 skor 0: risiko kematian dalam 30
hari sangat rendah (0 – 1,6%) hari 1% (IK 95% 0,01–2,1%)
Kelas II skor 66–85, risiko kematian ≥1: risiko kematian dalam 30
rendah (1,7 –3,5%) hari 10,9% (IK 95% 8,5–13,2%)
Kelas III skor 106–125, risiko kematian -
tinggi (4–11,4%)
Kelas IV skor >125, risiko kematian sangat -
tinggi (10–24.,%)

Tabel 2. 4 Klasifikasi Pasien Emboli Paru Akut berdasarkan Risiko Mortalitas4

Risiko kematian Parameter risiko dan skor


awal
Syok kardiogenik PESI III – IV atau Tanda disfungsi Peningkatan
/ hipotensi sPESI > 1 jantung kanan biomarker jantung
pada pemeriksaan
pencitraan
Tinggi + (+) + (+)
Menengah-tinggi – + + +
Menengah-rendah – + Salah satu positif atau keduanya
negative
Rendah – – Penilaian opsional, bila dilakukan
penilaian keduanya negative

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 24


D. PENATALAKSANAAN
1. Terapi EP Tanpa Syok
Terapi EP tanpa syok sama seperti terapi TVD. Penderita dengan probabilitas EP
tinggi (skor Wells >4), bila tidak ada risiko perdarahan tinggi, dapat diberikan
terapi antikoagulan selama menunggu konfirmasi diagnosis dengan CTPA.9,10

2. Terapi EP dengan Syok

a. Terapi Fase Akut

Algoritma penatalaksanaan EP akut ditampilkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2. 3 Penatalaksanaan EP Akut4


Keterangan: CT = computed tomographic pulmonay angiography; EP = emboli paru; PESI = pulmonary
embolism severity index; sPES = simplified pulmonary embolism severity index.

b. Terapi Suportif

Terapi suportif ditujukan untuk mengatasi gangguan hemodinamik dan respirasi.


Pada penderita EP risiko tinggi, kegagalan ventrikel kanan akut merupakan
penyebab kematian utama akibat penurunan output sistemik, sehingga terapi

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 25


suportif sangat penting. Pemberian loading cairan yang tidak terlalu agresif (500
mL) dan obat vasopresor seperti norepinefrin, dobutamin, dan/atau dopamine
dapat dipertimbangkan.
c. Obat Antikoagulan
Obat antikoagulan yang digunakan pada penderita EP sama dengan penderita
TVD.9 Pilihan terapi awal mencakup UFH atau LMWH dengan warfarin pada
hari pertama, atau LMWH diikuti DOAC (dabigatran dan edoxaban), atau
monoterapi DOAC (apixaban dan rivaroxaban). Terapi antikoagulan diberikan
setidaknya dalam 3 bulan.4

d. Terapi Trombolitik
Obat trombolitik yang dianjurkan adalah recombinant tissue plasminogen
activator (rt-PA) 100 mg intravena dalam 2 jam atau 0,6 mg/kg bolus.11 Terapi
trombolisis tidak direkomendasikan pada penderita yang pada saat awal memiliki
risiko kematian menengah (lihat Tabel 2.4). Sebab, hal ini akan meningkatkan
risiko stroke perdarahan, disamping tidak terbukti bermanfaat untuk ketahanan
hidup.4,9 Adapun indikasi terapi trombolitik, yaitu:4,11
a) Penderita dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg) atau turun 40
mmHg dari data dasar)
b) Refrakter terhadap pemberian cairan dalam jumlah kecil
c) Secara klinis didapatkan tanda kegagalan jantung kanan
d) Tidak ada kontraindikasi terhadap terapi trombolitik.

Setelah trombolisis, terapi terpilih adalah UFH, diikuti dengan warfarin atau obat
golongan DOAC.4

3. Terapi Lain
Beberapa pilihan terapi lainnya yaitu:
a) Catheter-directed thrombolysis untuk EP masif. Terapi ini dipertimbangkan
bila ada tenaga yang kompeten untuk teknik ini (belum ada panduan tentang
ini).12

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 26


b) Chronic thromboembolic pulmonary hypertension (CTEPH). Terjadi sekitar
3% setelah episode EP dalam tahun pertama. Apabila dicurigai kemungkinan
adanya CTEPH, perlu dilakukan pemeriksaan ekokardiogram untuk melihat
adanya disfungsi ventrikel kanan dan perfusion lung scan perlu dilakukan
untuk melihat flow arteria pulmonalis. Apabila CTEPH telah terkonfirmasi,
bisa dipertimbangkan tindakan thrombo-endarterectomy.13

DAFTAR PUSTAKA
1. Tapson VF. Acute pulmonary embolism. N. Engl J Med. 2008;358:1037-52.
2. Suharti C. Tromboembolisme: trombosis vena dalam dan emboli paru. Dalam: Suharti C, editor.
Trombosis. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro; 2009. Halaman 1-26
3. Huisman MV, Klok FA. How I diagnose acute pulmonary embolism. Blood. 2013;121:4443-8.
4. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galie N, et al. 2014 ESC
Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur Heart J.
2014;35:3033-69.
5. Cohen AT, Agnelli G, Anderson FA, Arcelus JI, Bergqvist D, Brecht JG, et al. Venous
thromboembolism (VTE) in Europe. The number of VTE events and associated morbidity and
mortality. Thromb Haemost. 2007;98:756-64.
6. National Institute for Health and Care Excellence. Venous thromboembolic diseases: the
management of venous thromboembolic diseases and the role of thrombophilia testing [Internet].
London: Royal College of Physicians (UK); 2012 Jun [accessed 22nd Sept 2018]. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0055222/
7. Kline JA, Mitchell AM, Kabrhel C, Richman PB, Coutney DM. Clinical criteria to prevent
unnecesary diagnostic testing in emergency department patients with suspected pulmonary
embolism. J Thromb Haemost. 2004;2:1247-55.
8. Thrombosis Canada. Pulmonary embolism (PE): diagnosis and treatment [Internet]. Whitby:
Thrombosis Canada; 2017 [accessed 22nd Sept 2018]. Available from:
http://thrombosiscanada.ca/wp-content/uploads/2015/05/Pulmonary-Embolism-Diagnosis-and-
Management-FINAL_v2.pdf
9. Michigan Anticoagulation Quality Improvement Initiative (MAQI). Anticoagulation toolkit. Ann
Arbour: MAQI; 2015 [accessed 22nd Sept 2018]. Available from: http://anticoagulationtoolkit.org/
10. Kearon C, Akl EA, Ornelas J, Blaivas A, Jimenez J, Bouanemoux H, et al. Antithrombotic therapy
for VTE disease. Chest guideline and expert panel report. Chest. 2016;149:315-52.
11. Wang TF, Squizzato A, Dentali F, Ageno W. The role of thrombolytic therapy in pulmonary
embolism. Blood. 2015;125:2191-9.
12. Engelberger RP, Kucher N. Catheter-based reperfusion treatment of pulmonary emobolism.
Circulation. 2011;124:2139-44.
13. Robbins IM, Pugh ME, Hemnes AR. Update on chronic thromboembolic pulmonary hypertension.
Trends Cardiovasc Med. 2017;27:29-37.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 27


BAB III

PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA PADA PASIEN MEDIK

Johan Kurnianda, Budi Darmawan, Norman Djamaludin,


Budi Setiawan, Catharina Suharti

A. PENDAHULUAN

Tromboemboli vena (TEV) yang didapat di rumah sakit merupakan penyebab


kematian yang sering terjadi. Risiko TEV pada pasien rawat inap di rumah sakit
kurang mendapat perhatian. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50-67% kasus
TEV pada pasien-pasien dengan penyakit medis akut sebetulnya dapat dicegah dengan
profilaksis yang tepat.1

Streiff dan Lau2 melakukan penelitian meta-analisis pada 9 randomized controlled


trials (RCT) yang menggunakan profilaksis UFH, LMWH, atau fondaparinux pada
8.617 pasien yang dirawat di rumah sakit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
adanya penurunan risiko TVD sebesar 51%, EP sebesar 49%, dan EP yang fatal
sebesar 54%, meskipun ada kecenderungan untuk mengalami perdarahan yang lebih
besar pada kelompok yang mendapat profilaksis.2

Mengubah paradigma serta perilaku klinisi terhadap penggunaan profilaksis TEV ini
tidaklah mudah. Peningkatan edukasi dan kesadaran klinisi, baik dokter spesialis
maupun dokter layanan primer terhadap risiko trombosis serta perlunya
mengembangkan suatu alat atau algoritma profilaksis yang tepat, aman, dan efektif
adalah langkah yang harus segera diambil. Dengan demikian, kejadian TEV,
khususnya kasus-kasus EP fatal dapat dicegah pada sebagian besar pasien.3,4

B. EPIDEMIOLOGI

Kejadian TEV merupakan komplikasi yang umum terjadi saat dan setelah perawatan
di rumah sakit. Insiden TEV simtomatik pada pasien yang dirawat di rumah sakit
dengan penyakit medis sebesar 50-70%, sedangkan EP sebesar 70-88% pada pasien

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 28


dengan penyakit medis akut. Pada populasi umum, kejadian TVD berkisar antara 5-
14%.1

Meskipun sebelumnya TEV sering dianggap sebagai komplikasi tindakan bedah,


namun ternyata 80% kejadian TEV terjadi pada pasien rawat inap yang tidak
mengalami operasi. Sekitar 10% kematian di rumah sakit akibat EP berasal dari kasus-
kasus non-bedah.5 Oleh karena itu, identifikasi pasien dengan risiko TEV penting
untuk tindakan profilaksis dengan tujuan untuk menurunkan angka kejadian TEV.

C. PENILAIAN RISIKO
Untuk menentukan risiko kejadian TEV dikembangkan suatu model penilaian risiko
yang merupakan suatu sistem skor risiko dan skor stratifikasi risiko kejadian
komplikasi TEV. Dengan mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya TEV, klinisi
diharapkan dapat lebih bijak dan tepat dalam mengambil keputusan pasien yang akan
diberikan profilaksis.6

Terdapat dua model risiko TEV pada pasien medis, yaitu:6,7,8


a) Modified PADUA VTE risk model (Tabel 3.1)
b) The International Medical Prevention Registry on Thromboembolism (IMPROVE
VTE) risk model.

Pemberian profilaksis TEV berdasarkan skor risiko ditampilkan pada Tabel 3.3.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 29


Tabel 3. 1 Model Penilaian Risiko TEV Modifikasi PADUA7
Faktor risiko Nilai
Penyakit kritis 4
Inflammatory bowel disease 4
Kanker aktif (metastasis/menjalani kemoterapi/radioterapi yang sudah berjalan 3
selama 6 bulan)
Riwayat tromboemboli vena 3
Imobilisasi ≥3 hari 3
Kondisi trombofilia: defisiensi AT, PC atau PS, FV Leiden, mutasi protrombin 3
G20210A, sindrom antifosfolipid
Trauma atau tindakan operasi <1 bulan 2
Usia ≥70 tahun 1
Gagal napas atau gagal jantung 1
Stroke iskemik atau infark miokard akut 1
Infeksi akut atau kelainan reumatologi 1
Obesitas (IMT ≥30 kg/m2) 1
Dalam terapi hormonal 1
Keterangan: IMT = indeks massa tubuh; AT = antitrombin; PC = protein C; PS = protein S; FV
Leide = faktor V Leiden
.
Tabel 3. 2 Model Penilaian Risiko IMPROVE8
Faktor risiko Nilai
Riwayat TEV 3
Trombofilia 2
Paralisis tungkai bawah 2
Kanker aktif 2
Imobilisasi >7 hari 1
Rawat di ICU/CCU 1
Umur > 60 tahun 1
Keterengan: ICU = intensive care unit; CCU = cardiac care unit; nilai 0-1 = risiko TEV
rendah; nilai 2-3= risiko TEV menengah; nilai >4 = risiko TEV tinggi.

Tabel 3. 3 Rekomendasi Profilaksis TEV berdasarkan Skor Risiko Modifikasi PADUA7


Nilai Risiko Rekomendasi
<4 Risiko TEV rendah Tidak perlu diberikan profilaksis TEV
≥4 Risiko TEV tinggi dan Profilaksis farmakologi
risiko perdarahan rendah
Risiko TEV tinggi dan Profilaksis mekanik
risiko perdarahan tinggi

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 30


Berdasarkan risiko IMPROVE, tromboprofilaksis diberikan pada skor TEV tinggi (≥4),
sedangkan pada risiko TEV menengah diberikan berdasarkan pertimbangan klinis dokter yang
merawat.8

D. RISIKO PERDARAHAN

Salah satu penyebab rendahnya pemberian profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi
TEV adalah adanya kekhawatiran terjadinya komplikasi perdarahan. Faktor risiko
terjadinya perdarahan itu sendiri adalah usia tua, wanita, diabetes melitus, hipertensi,
kanker, penyakit liver, gagal ginjal kronik, ulkus peptikum, anemia, riwayat stroke
atau perdarahan intraserebral, penyakit perdarahan, serta mengkonsumsi obat-obat
tertentu.9

Dalam pemberian profilaksis TEV, perlu dipertimbangkan manfaat dan risiko


perdarahan akibat pemberian antikoagulan. Alat yang digunakan untuk menilai risiko
perdarahan dikenal dengan IMPROVE bleeding risk score. Alat ini digunakan untuk
memprediksi perdarahan mayor pada pasien rawat inap (Tabel 3.4).9

9
Tabel 3. 4 Skor Risiko Perdarahan IMPROVE
Faktor risiko perdarahan Nilai
Ulkus gastro-duodenal aktif 4,5
Hitung trombosit <50.000/mm3 4
Perdarahan 3 minggu sebelum masuk rumah sakit 4
Umur >85 tahun atau <40 tahun 3,5
ICU/CCU 2,5
Gagal ginjal berat dengan GFR <30 mL/menit 2,5
Gagal hati (INR>1,5) 2,5
Kanker 2
Penyakit rematik 2
Kateter vena sentral 2
Umur 40-84 tahun 1,5
Gagal ginjal moderate, GFR 30-59 mL/menit 1
Jenis kelamin laki-laki 1
Keterangan: GFR = glomerular filtration rate; ICU/ICCU = intensive care unit/intensive cardiac
care unit; INR = international normalized rati; total nilai >7= risiko perdarahan tinggi; total nilai
<7 = risiko perdarahan rendah.

E. KEBIJAKAN TROMBOFILAKSIS DI RUMAH SAKIT10

1. Setiap rumah sakit direkomendasikan untuk dapat mengembangkan strategi formal


dan aktif dalam pencegahan TEV (1A)

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 31


2. Semua pasien rawat inap harus dievaluasi untuk risiko TEV dan risiko perdarahan
dalam 24 jam setelah masuk dan secara berkala selama dirawat di rumah sakit (1B)
3. Penilaian risiko TEV pada pasien medis menggunakan the modified PADUA risk
assessment model (1B) atau IMPROVE.

F. PILIHAN PROFILAKSIS

Jenis pilihan profilaksis adalah sebagai berikut.11,12

1. Profilaksis Farmakologik: LMWH, UFH, Fondaparinux

Beberapa bukti klinis menunjukkan adanya manfaat pemberian profilaksis dengan


LMWH (enoxaparin dan dalteparin) atau UFH untuk pencegahan TEV pada pasien
dengan faktor risiko. Pemberian profilaksis dengan LMWH sama efektifnya
dengan UFH dengan profil keamanan yang lebih baik secara signifikan.
Unfractionated heparin (UFH) diberikan sebanyak 2-3 kali sehari, tetapi pada
risiko tinggi dapat diberikan tiga kali sehari. Tidak ada data yang menunjukkan
bahwa pemberian UFH dua kali sehari sama efektifnya dengan LMWH sekali
sehari ataupun UFH tiga kali sehari.11

Pada pasien medis risiko tinggi TEV yang tidak menghendaki pemberian
antikoagulan parenteral, dapat diberikan obat golongan DOAC (2C). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terapi profilaksis apixaban dan rivaroxaban
dibandingkan dengan LMWH memiliki efektivitas yang sama, dengan risiko
pendarahan yang sedikit lebih tinggi pada pemberian DOAC. Dosis
tromboprofilaksis apixaban 2,5 mg po/12 jam dan rivaroxaban 10 mg/24 jam. Pada
pasien dengan CrCl <30 mL/menit, tidak direkomendasikan pemberian DOAC.11

2. Profilaksis Mekanik (non-farmakologi)

Penggunaan profilaksis mekanik ditujukan pada pasien-pasien yang mempunyai


kontraindikasi untuk pemberian antikoagulan, seperti pada pasien dengan
perdarahan aktif dan trombositopenia berat.11

Terapi kompresi adalah terapi fisik yang digunakan dalam kondisi insufisiensi
vena dan limfatik pada ekstremitas bawah. Beberapa bentuk terapi kompresi di

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 32


antaranya verban elastis, graduated compression stockings (GCS) dan intermittent
pneumatic compression (IPC). Graduated compression stockings (GCS) bekerja
menggunakan tingkat kompresi secara bertingkat dengan tekanan tertinggi pada
pergelangan kaki dan menurun secara bertahap ke bagian proksimal. Sementara itu
IPC bekerja dengan menggunakan manset yang melingkupi kaki dengan tujuan
meningkatkan aliran darah melalui vena sehingga dapat mencegah terbentuknya
bekuan darah.

3. Profilaksis Kombinasi

Profilaksis kombinasi menggunakan farmakologi dan mekanik dianggap lebih


efektif dibandingkan satu modalitas dalam mencegah TEV pada pasien dengan
risiko tinggi. Rekomendasi pemberian profilaksis TEV pada pasien medis yang
dirawat di rumah sakit ditampilkan pada Tabel 3.5.

G. DURASI PEMBERIAN PROFILAKSIS

Tromboprofilaksis pada umumnya dilanjutkan sampai 6-14 hari atau selama periode
perawatan di rumah sakit. Data menunjukkan bahwa risiko TEV tetap ada sampai
pasien keluar dari rumah sakit.13 Rekomendasi mengenai pemberian profilaksis dapat
dilihat pada Tabel 3.5. Sementara itu, rekomendasi obat profilaksis yang dapat
digunakan ditampilkan pada Tabel 3.6.13,14

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 33


Tabel 3. 5 Profilaksis TEV pada Pasien Penyakit Medis yang Dirawat di Rumah Sakit11
Karakteristik Rekomendasi
Pasien penyakit medis akut
Gagal jantung kongestif atau penyakit respirasi berat 1. LMWH (1A), atau
2. LD UFH (1A), atau
Terbatas di tempat tidur, ada ≥1 faktor risiko:
3. Fondaparinux (1A)
Kanker aktif
Riwayat TEV
Sepsis
Penyakit neurologi akut
Inflammatory bowel disease
Faktor risiko TEV (+) dan ada kontraindikasi Tromboprofilaksis mekanik dengan GCS atau
antikoagulan IPC (1A)*
Risiko trombosis rendah Tanpa tromboprofilaksis (1B)

Perdarahan (+) atau risiko perdarahan tinggi Tanpa tromboprofilaksis farmakologik (1B)
Risiko trombosis tinggi dengan perdarahan atau risiko 1. Tromboprofilaksis mekanik dengan GCS (1A)
perdarahan tinggi 2. IPC (2C)
3. Tromboprofilaksis farmakologik (ketika
risiko perdarahan turun dan ketika risiko TEV
masih ada (2B)
Pasien penyakit kritis
Pasien yang dirawat di CCU Menilai risiko TEV dan sebagian besar rutin
menggunakan tromboprofilaksis (1A)
Risiko moderat TEV (contohnya penyakit medis atau post- LMWH atau UFH dosis rendah (1A)
operasi bedah umum)
Risiko tinggi perdarahan Trombofilaksis mekanik (GCS ± IPC ) sampai
risiko perdarahan turun (1A)
Ketika risiko tinggi perdarahan turun Tromboprofilaksis farmakologi
Imobilisasi kronik
Pasien imobilisasi kronik yang tinggal di rumah atau Tidak rutin menggunakan tromboprofilaksis (2C)
rumah perawatan
Stroke iskemik akut
Pasien stroke akut dengan mobilitas yang terbatas Heparin subkutan dosis rendah atau LMWH (1A)
Kontraindikasi antikoagulan (+) IPC atau stocking elastis (1B)
*
Keterangan: Untuk pasien yang menggunakan metode tromboprofilaksis mekanik, harus diedukasi untuk
memastikan penggunaan yang tepat, dan kepatuhan yang optimal terhadap metode ini (1A). LD UFH = low
dose unfractionated heparin; LMWH = low molecular weight heparin; CCU = cardiac care unit; GCS =
graduated compression shocking; IPC = intermittent pneumatic compression.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 34


Tabel 3.6 Obat Profilaksis Tromboemboli Vena pada Pasien yang Dirawat di Rumah Sakit13

Karakteristik Dosis profilaksis


Obat-obatan
UFH 5.000 unit sc 2-3 kali/hari; pasien penyakit kritis 2 kali/hari
LMWH Enoxaparin 40 mg sc/24 jam
Nadroparin 2.850 unit sc/24 jam
Fondaparinux 2,5 mg sc/24 jam; CrCl 20-50 mL/menit: 1,5 mg sc/24 jam
CrCL<30 mL/min Heparin 5.000 IU sc setiap 8 atau 12 jam
Enoxaparin 30 mg sc/24 jam
Obesitas, IMT >40 kg/m2 Enoxaparin 40 mg sc/12 jam

Berat badan rendah <50 kg Heparin 5.000 IU sc setiap 8 atau 12 jam


Enoxaparin 30 mg sc/24 jam
Keterangan: CrC = creatinine clearance; LMWH = low molecular weight heparin; IMT = indeks massa
tubuh; UFH = unfractionated heparin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chan CM, Shorr AF. Prevention of VTE in medical patients: current evidence and recommendations.
Chest Physician. 2009;suppl:7-12.
2. Streiff MB, Lau BD. Thromboprophylaxis in nonsurgical patients. Hematology Am Soc Hematol
Educ Program. 2012;2012:631-7.
3. Moores CLK. Prevention of VTE in hospitalized medical patients: just do it! Chest Physician.
2009;suppl:5-6.
4. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galiè N, et al. 2014 ESC
guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur Heart
J. 2014;35:3033-69
5. Michota F. Venous thromboembolism: epidemiology, characteristics, and consequences. Clin
Cornerstone. 2007;7:8-12.
6. Barbar S, Noventa F, Rossetto V, Ferrari A, Brandolin B, Perlati M, et al. A risk assessment model
for the identification of hospitalized medical patients at risk for venous thromboembolism: the Padua
Prediction Score. J Thromb Haemost. 2010;8:2450-7.
7. Lai J, Rose A. VTE prophylaxis adult-Inpatients/ambulatory–Clinical Practice guidelines. Madison:
University of Wisconsin Hospitals and Clinics; 2014. p.3-19.
8. Mahan CE, Liu Y, Turpie AG, et al. External validation of a risk assessment model for venous
thromboembolism in the hospitalised acutely-ill medical patient (VTE-VALOURR). Thromb
Haemost. 2014;112:692–9.
9. Decousus H, Tapson VF, Bergmann JF, Chong BH, Froehlich JB, Kakkar AK, et al. Factors at
admission associated with bleeding risk in medical patients findings from the IMPROVE
investigators. Chest. 2011;139:69–79.
10. Kearon C, Akl EA, Comerota AJ, Prandoni P, Bounameaux H, Goldhaber SZ, et al. Antithrombotic
therapy for VTE disease: antithrombotic therapy and prevention of thrombosis, 9th ed: American
College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest.. 2012;141:e419S-
496S.
11. Kahn SR, Lim W, Dunn AS, Cushman M, Dentali F, Akl EA, et al. Prevention of VTE in
nonsurgical patients. Antithrombotic therapy and prevention of thrombosis, 9th ed: American College
of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest. 2012;141:e195S–226S

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 35


12. Samama MM, Cohen AT, Darmon JY, Desjardins L, Eldor A, Janbon C, et al. A comparison of
enoxaparin with placebo for the prevention of venous thromboembolism in acutely ill medical
patients. New Engl J Med. 1999;341:793-800.
13. Di Nisio M, Porreca E. Prevention of venous thromboembolism in hospitalized acutely ill medical
patients: focus on the clinical utility of (low-dose) fondaparinux. Drug Des Dev Ther. 2017;7:973-80.
14. Samama MM, Kleber FX. An update on prevention of venous thromboembolism in hospitalized
acutely ill medical patients. Thromb J. 2006;4:8.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 36


BAB IV

PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA PADA PASIEN BEDAH

Lugyanti Sukrisman, Suyono, Kartika Widayati, Catharina Suharti

A. PENDAHULUAN

Tromboemboli vena (TEV) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada


penderita yang menjalani tindakan bedah di rumah sakit. Emboli paru merupakan
penyebab kematian paling sering pada penderita yang menjalani pembedahan di
rumah sakit, yang sebetulnya bisa dicegah.

Risiko TEV pada pasien bedah ditentukan dari faktor predisposisi individu dan jenis
operasi. Pemberian profilaksis secara tepat dapat menurunkan kejadian TEV
simtomatik yang membutuhkan biaya lebih banyak untuk prosedur diagnosis dan
penggunaan antikoagulan jangka panjang.1

B. EPIDEMIOLOGI

Pemberian profilaksis akan menurunkan angka kejadian TVD dan EP berdasarkan


studi yang dilakukan sejak tahun 1970-an pada pasien bedah non-ortopedi maupun
bedah ortopedi. Insiden TVD pada pasien yang menjalani tindakan bedah umum
tanpa profilaksis dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Pada penderita bedah ortopedi mayor, utamanya adalah total hip arthroplasty
(THA), total knee arthroplasty (TKA), dan hip fracture surgery (HFS). Angka
kejadian TVD pada THA, TKA, dan HFS secara berturut-turut yaitu 42–57%, 41-
85%, dan 46-60%. Sementara itu, angka kejadian EP fatal pada THA, TKA, dan
HFS secara berturut-turut yaitu 0,1–2%, 0,1–1,7%, dan 2,5–7,5% (Tabel 4.2).

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 37


Tabel 4. 1 Risiko Tromboemboli Vena pada Pasien Bedah Tanpa Profilaksis1

Insiden TEV (%)


Tingkat
Faktor Penentu TVD TVD EP Fatal EP
Risiko
distal proksimal
Rendah Bedah minor, usia <40 tahun, tanpa faktor 2 0,4 0,2 <0,01
risiko tambahan
Sedang Bedah minor dengan tambahan faktor risiko 10-20 2-4 1-2 0,1-0,4
Bedah minor, usia 40-60 tahun, tanpa faktor
risiko tambahan
Tinggi Bedah pada pasien >60 tahun atau dengan 20-40 4-8 2-4 0,4-1,0
faktor risiko (riwayat TEV, kanker)
Sangat Bedah pada pasien dengan faktor risiko 40-80 10-20 4-10 0,2-5,0
tinggi multipel (usia >40 tahun, kanker, riwayat
TEV)
THA, TKR, HFS
Keterangan: TVD = trombosis vena dalam; EP = emboli paru; THA = total hip arthroplasty; TKR =
total knee arthroplasty; HFS = hip fracture surgery
Tabel 4. 2 Prevalensi Tromboemboli Vena pada Bedah Ortopedi Mayor Tanpa Profilaksis1

Prosedur TVD EP
Total (%) Proksimal (%) Total (%) Fatal (%)
THA 42-57 18-36 0,9-28 0,1-2,0
TKS 41-85 5-22 1,5-10 0,1-1,7
HFS 46-60 23-30 3-11 2,5-7,5

Keterangan: THA = total hip arthroplasty; TKR = total knee arthroplasty; HFS = hip fracture surgery

C. STRATIFIKASI FAKTOR RISIKO TROMBOEMBOLI VENA PASIEN


BEDAH

Stratifikasi risiko TEV pada pasien bedah merupakan masalah yang penting dan
menantang. Stratifikasi ditentukan berdasarkan pertimbangan faktor risiko spesifik
dari pasien dan prosedur operasi. Estimasi TEV menurut model skor Caprini (Tabel
4.3) dilakukan dengan menjumlahkan poin dari berbagai faktor risiko TEV.
Berdasarkan jumlah poin tersebut, didapatkan klasifikasi menjadi: risiko sangat
rendah (0-1 poin), risiko rendah (2 poin), risiko menengah (3-4 poin), dan risiko
tinggi (≥5 poin). Model skor Caprini telah divalidasi dalam studi retrospektif yang
amat besar dengan sampel terdiri dari pasien bedah umum, bedah vaskular, bedah

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 38


urologi, dan bedah plastik.2 Sampel tersebut cukup representatif sehingga
diperkirakan risiko bias rendah.

D. PROFILAKSIS

Target populasi untuk profilaksis dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:


1 Populasi pasien bedah non-ortopedi: bedah umum dan bedah abdomen-pelvis,
gastrointestinal, ginekologi, dan urologi
2 Populasi bedah ortopedi: THA, TKA, dan HFS.3

Rekomendasi pemberian tromboprofilaksis berdasarkan kelompok risiko pada bedah


non-ortopedi dapat dilihat pada Tabel 4.4, sedangkan pada pasien bedah ortopedi
ditampilkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4. 3 Rekomendasi Tromboprofilaksis pada Berbagai Kelompok Risiko (non-ortopedi)4

Poin Risiko Rekomendasi


0 Risiko TEV sangat rendah Mobilisasi dini
1-2 Risiko TEV rendah Profilaksis mekanik
3-4 Risiko TEV menengah, risiko perdarahan rendah Profilaksis farmakologis
≥5 Risiko TEV tinggi, risiko perdarahan rendah Profilaksis mekanik dan
farmakologis
>2 Risiko perdarahan tinggi Profilaksis mekanik

E. KOMPLIKASI PERDARAHAN

1. Faktor Risiko Perdarahan Mayor (Umum) pada Pasien Bedah2


Beberapa faktor risiko perdarahan mayor pada pasien bedah adalah sebagai
berikut:
a) Perdarahan aktif
b) Riwayat perdarahan mayor sebelumnya
c) Diketahui ada penyakit perdarahan yang tidak diobati
d) Gangguan fungsi jantung dan hepar yang berat
e) Trombositopenia

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 39


Tabel 4. 4 Model Penilaian Risiko TEV Caprini2
1 poin 2 poin 3 poin 5 poin
Cedera saraf spinalis akut
Usia 41-60 Usia 61-74 Usia ≥ 75 (<1bulan)
Artroplasti ekstremitas bawah
Infark miokard akut (<1 bulan) Akses vena sentral Trombofilia elektif
Heparin-induced Fraktur panggul, pelvis, atau
Eksaserbasi gagal jantung Imobilisasi ≥ 72 jam thrombocytopenia tungkai bawah (<1 bulan)

Riwayat IBD Leg plaster cast atau brace Riwayat TEV Stroke (<1 bulan)
Riwayat keluarga TEV (kerabat
tingkat pertama =first degree
Prosedur anestesi lokal Keganasan relative)

Kaki membengkak atau varises vena Bedah-artroskopik

Sepsis (<1 bulan) Pembedahan >45 menit


Diagnosis paru berat seperti pneumonia (<1
bulan)
Khusus wanita

Kontrasepsi oral atau terapi sulih hormone


Hamil atau nifas (<1 bulan)
Riwayat kematian janin tidak terjelaskan, abotus
spontan ≥3, melahirkan prematur dengan
toksemia atau pertumbuhan janin yang
terhambat
Keterangan: IBD = inflammatory bowel disease; TEV = tromboemboli vena

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 40


f) Stroke akut
g) Hipertensi tidak terkontrol
h) Pungsi lumbal, anestesi epidural atau spinal 4 jam sebelum atau 12 jam
sesudah tindakan
i) Penggunaan bersama antikoagulan, antitrombosit, dan obat trombolitik.

Tabel 4. 5 Rekomendasi Tromboprofilaksis pada Pasien Bedah Ortopedi

Total hip CrCl ≥30 mL/menit CrCl <30 mL/menit


arthroplasty
5
Enoxaparin 40 mg sc setiap 24 jam (1B) 30 mg sc setiap 24 jam (dihindari pada
ESRD) (2B)
Rivaroxaban6 10 mg po satu kali sehari (2A) Hindari penggunaan (2C)
Apixaban7 2,5 mg po dua kali sehari Tidak ada rekomendasi penyesuaian dosis
Hindari penggunaan pada CrCl <15
mL/menit atau ESRD (2C)
Fondaparinux8,9 2.5 mg sc setiap 24 jam (2A) Hindari penggunaan (2C)
10
Warfarin Target INR 1,8–2,2 (2C) Target INR 1,8–2,2 (2C)

Total knee
replacement
Aspirin11 325 mg po dua kali sehari (2C) 325 mg po dua kali sehari (2C)

Enoxaparin12 30 mg sc setiap 12 jam (1B) 30 mg sc setiap 24 jam (hindari penggunaan


pada ESRD) (2B)
Rivaroxaban13 10 mg po sekali sehari (2A) Hindari penggunaan (2C)
7
Apixaban 2,5 mg po dua kali sehari (2A) Tidak ada rekomendasi penyesuaian dosis
Hindari penggunaan pada CrCl <15
mL/menit (2C)
Fondaparinux9 2,5 mg sc setiap 24 jam (2A) Hindari pengggunaan (2C)
10
Warfarin Target INR 1,8–2,2 (2C) Target INR 1,8–2,2 (2C)

Keterangan: *Pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang signifikan atau CrCl < 30 mL/menit
dieksklusikan dari penelitian. ESRD = end-stage renal disease; INR= international normalized ratio.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 41


2. Faktor Risiko Perdarahan yang Berhubungan dengan Tindakan Bedah
Tertentu2

Beberapa faktor risiko perdarahan yang berhubungan dengan tindakan bedah


tertentu adalah sebagai berikut:
a) Bedah abdomen: jenis kelamin laki-laki, kadar Hb preoperatif <13 g/dL,
keganasan, pembedahan kompleks (2 prosedur), diseksi yang sulit, >1
anastomosis
b) Pankreatiko-duodenektomi: sepsis, kebocoran pankreas, perdarahan sentinel
c) Reseksi hepar: jumlah segmen, bersamaan reseksi organ ekstrahepatik,
kanker hati primer, kadar Hb dan trombosit preoperatif yang rendah
d) Operasi jantung: penggunaan aspirin, penggunaan klopidogrel 3 hari sebelum
operasi, BMI >25kg/m2, pembedahan nonelektif, pemasangan graft 5, usia
tua, gangguan fungsi ginjal, operasi selain CABG (coronary artery bypass
graft), waktu bypass lama
e) Bedah torak: pneumonektomi, reseksi luas
f) Tindakan dengan komplikasi perdarahan berat: kraniotomi, bedah spinal,
trauma spinal, dan prosedur rekonstruksi yang melibatkan free flap.

F. TATA LAKSANA TEV SIMTOMATIK SETELAH TINDAKAN BEDAH

Tata laksana TEV simtomatik setelah tindakan bedah sesuai dengan tata laksana
TEV pada umumnya. Pemberian dosis antikoagulan disesuaikan berdasarkan
pertimbangan klinis dokter yang merawat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Agnelli G. Prevention of venous thromboembolism in surgical patients. Circulation.
2004;suppl IV: 4-12.
2. Gould MK, Garcia DA, Wren SM, Karanicolas PJ, Arcelus JI, Heit JA, et al. Prevention of
VTE in nonorthopedic surgical patients. Chest. 2012;141:e227S.
3. Falck-Ytter Y, Francis CW, Johanson NA, Curley C, Dahl OE, Schulman S, et al. Prevention
of VTE in orthopedic surgery patients. Chest. 2012;141: e278S-325S.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 42


4. Lai J, Rose A. VTE prophylaxis adult-Inpatients/ambulatory–Clinical Practice guidelines.
Madison: University of Wisconsin Hospitals and Clinics; 2014. p.3-19.
5. Senaran H, Acaroglu E, Ozdemir HM, Atilla B. Enoxaparin and heparin comparison of deep
vein thrombosis prophylaxis in total hip replacement patients. Arch Orthop Trauma Surg.
2006;126:1–5.
6. Kakkar AK, Brenner B, Dahl OE, Eriksson BI, Mouret P, Muntz J, et al. Extended duration
rivaroxaban versus short-term enoxaparin for the prevention of venous thromboembolism
after total hip arthroplasty: a double-blind, randomised controlled trial. Lancet. 2008;372:31–
9.
7. Raskob GE, Gallus AS, Pineo GF, Chen D, Ramirez LM, Wright RT, et al. Apixaban versus
enoxaparin for thromboprophylaxis after hip or knee replacement: pooled analysis of major
venous thromboembolism and bleeding in 8464 patients from the ADVANCE-2 and
ADVANCE-3 trials. J Bone Joint Surg Br. 2012; 94: 257-64.
8. Turpie AGG, Bauer KA, Eriksson BI, Lassen MR. Postoperative fondaparinux versus
postoperative enoxaparin for prevention of venous thromboembolism after elective hip-
replacement surgery: a randomised double-blind trial. Lancet. 2002;359:1721–6.
9. Bauer KA, Eriksson BI, Lassen MR, Turpie AG. Fondaparinux compared with enoxaparin for
the prevention of venous thromboembolism after elective major knee surgery. N Engl J Med.
2001;345:1305–10.
10. Hull R, Raskob G, Pineo G, Rosenbloom D, Evans W, Mallory T, et al. A comparison of
subcutaneous low-molecular-weight heparin with warfarin sodium for prophylaxis against
deep-vein thrombosis after hip or knee implantation. N Engl J Med. 1993;329:1370–6.
11. Prevention of pulmonary embolism and deep vein thrombosis with low dose aspirin:
Pulmonary Embolism Prevention (PEP) trial. Lancet. 2000;355:1295–302.
12. Pulido PA, Copp SN, Walker RH, Reden LM, Hardwick ME, Colwell CW Jr. The efficacy of
a single daily dose of enoxaparin for deep vein thrombosis prophylaxis following total knee
arthroplasty. Orthopedics. 2005;27:1185–7.
13. Lassen MR, Ageno W, Borris LC, Lieberman JR, Rosencher N, Bandel TJ, et al. Rivaroxaban
versus enoxaparin for thromboprophylaxis after total knee arthroplasty. N Engl J Med.
2008;358:2776– 86.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 43


BAB V

TATA LAKSANA BRIDGING OBAT ANTIKOAGULAN


PERIOPERATIF

Catharina Suharti

A. PENDAHULUAN

Tata laksana antikoagulasi pada penderita yang akan menjalani prosedur operasi
merupakan masalah bagi klinisi, karena penghentian antikoagulasi sementara
akan meningkatkan risiko tromboemboli. Pada waktu yang sama, pembedahan
atau prosedur invasif dapat mengakibatkan risiko perdarahan yang diperparah
dengan penggunaan obat antikoagulan sebagai pencegahan tromboemboli.1

Risiko dan manfaat tindakan dalam menjembatani (bridging) obat antikoagulan


perlu dikaji.2 Perlu pemahaman beberapa obat antikoagulan tertentu, seperti AVK
(warfarin), yang memerlukan waktu beberapa hari untuk menurunkan efek
antikoagulan. Obat golongan antikoagulan oral non-AVK seperti inhibitor
trombin direk (dabigatran) dan inhibitor faktor Xa (apixaban, edoxaban, dan
rivaroxaban) mempunyai waktu paruh yang lebih pendek sehingga lebih mudah
untuk dihentikan atau diulang kembali secara cepat. Namun, inhibitor faktor Xa
direk ini mempunyai permasalahan dengan antidotum yang memerlukan perhatian
bila terjadi perdarahan atau apabila penderita memerlukan tindakan emergensi.2-4

B. DEFINISI5
1. Perioperatif: periode waktu sebelum, selama, dan setelah prosedur invasif.
2. Bridging: proses dimana obat antikoagulan oral dihentikan dan diganti dengan
obat antikoagulan parenteral subkutan atau intravena sebelum dan/atau
sesudah prosedur invasif.
3. Penundaan sementara: proses dimana obat antikoagulan warfarin dihentikan
untuk satu dosis atau lebih sehingga mengakibatkan hilangnya efek
antikoagulan secara total atau sebagian sebelum prosedur invasif.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 44


4. Fibrilasi atrium (AF) nonvalvular: AF tanpa adanya kelainan katup mitral,
katup jantung mekanik atau bioprostetik, atau reparasi katup mitral.

C. STRATIFIKASI FAKTOR RISIKO TROMBOEMBOLI PERIOPERATIF

American College of Chest Physician (ACCP) menganjurkan melakukan


stratifikasi risiko TEV untuk periode perioperatif. Terdapat tiga kelompok pasien
yang sering mendapatkan AVK, yaitu pasien dengan indikasi TEV, pengguna
katup jantung mekanik, dan AF non-valvuler. Selanjutnya, kelompok tersebut
dibagi dalam tiga kategori risiko TEV periprosedural, yakni risiko rendah,
menengah, dan tinggi (Tabel 5.1).3

--- Perlu narasi ----

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 45


Tabel 5. 1 Stratifikasi Risiko dan Rekomendasi Bridging Perioperatif3

Indikasi terapi antikoagulan


Stratifikasi risiko1
Tromboemboli vena6 Fibrilasi atrium5 Katup jantung mekanik7
Risiko tinggi - TEV baru (dalam 3 bulan) - CHA2-DS2-VASc ≥7 - Prostesa katup mitral jenis apapun
Rekomendasi: - Riwayat TEV atau kekambuhan atau - Prostesa katup trikuspid
terapi bridging (2C) TEV dengan trombofilia berat - riwayat stroke/TIA, embolisasi sistemik - Prostesa katup aorta jenis lama (caged-
(defisiensi PC, PS, AT, antibodi dalam 3 bulan ball atau tilting disc)
antifosfolipid, FV Leiden homozigot - Prostesa katup aorta bi-leaflet ditambah
atau kelainan multipel) salah satu faktor risiko stroke atau
tromboemboli
Risiko menengah - TEV 3-12 bulan yang lalu - CHA2DS2-VASc 5-6
Rekomendasi: - TEV kambuh atau
Penentuan bridging - Riwayat TEV atau kekambuhan - Pernah stroke/TIA atau embolisasi >3
atau non-bridging TEV dalam hubungan kondisi bulan
didasarkan penilaian trombofilia yang tidak berat (FV
individual dari pasien Leiden heterozigot, mutasi F.II *Tidak bridging bila tidak ada riwayat
dan faktor yang heterozigot) stroke/TIA atau embolisasi sistemik
berhubungan dengan - Kanker aktif (dalam 6 bulan
prosedur pengobatan atau paliatif) *Tidak bridging bila terdapat risiko
(tidak ada grade) perdarahan akibat perdarahan
mayor/ICH <3 bulan sebelumnya;
abnormalitas trombosit termasuk
penggunaan aspirin; INR diatas kisaran
terapeutik; riwayat perdarahan pada
terapi bridging” sebelumnya
Risiko rendah - TEV baru sekali terjadi l >12 bulan - CHA2DS2-VASc 1-4 - Prostesa katup aorta bi-leaflet tanpa AF
Rekomendasi: tidak yang lalu dan tidak ada faktor risiko dan dan tidak ada faktor risiko stroke atau
perlu terapi bridging yang lain - belum pernah stroke/TIA atau tromboembolisme
(2C) embolisasi sistemik
Keterangan: AF = atrial fibrilasi; PC = Protein C; PS = protein S; ATIII = antitrombin III; ICH = intracerebral hemorrhage; TEV = tromboemboli vena;
TIA = transient ischemic attack; FV Leiden = Faktor V Leiden.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 46


Tabel 5. 2 Stratifikasi Skor Risiko CHA2DS2-VASc untuk Subjek dengan Fibrilasi Atrium Nonvalvular4

CHA2DS2-VASc Skor Total skor Stroke (% per tahun)


Penyakit jantung kongestif 1 0 0
Hipertensi 1 1 1,3
Usia ≥75 tahun 1 2 2,2
Diabetes melitus 1 3 3,2
Stroke/TIA/TE 2 4 4,0
Penyakit pembuluh darah (riwayat MI, PAD, 1 5 6,7
atau plak aorta)
Usia 65-74 tahun 1 6 9,8
Jenis kelamin (wanita) 1 7 9,6
8 6,7
Skor maksimum 9 9 15,2
Keterangan: MI = myocardial infarction; PAD = peripheral arterial disease; TE = thromboemboli; TIA =
transient ischemic attack.

D. STRATIFIKASI PASIEN UNTUK RISIKO PERDARAHAN3,8

1. Risiko Perdarahan Tinggi


a) Bedah saraf: intrakranial, spinal
b) Bedah jantung: coronary artery bypass graft (CABG), penggantian katup
jantung
c) Bedah vaskular mayor: reparasi aneurisma aorta abdominalis, aortofemoral
bypass
d) Bedah urologi mayor: prostatektomi, reseksi tumor kandung kencing
e) Bedah ortopedi mayor tungkai bawah: operasi penggantian sendi panggul/lutut
f) Operasi reseksi paru
g) Operasi anastomosis usus
h) Pemasangan pacemaker permanen, pemasangan defibrilator internal
i) Prosedur invasif tertentu: biopsi ginjal, biopsi prostat, biopsi cone cervical,
perikardiosentesis, polipektomi kolon.

2. Risiko Perdarahan Menengah


a) Bedah abdomen lain
b) Bedah toraks lain
c) Bedah ortopedi lain
d) Bedah vaskular lain.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 47


3. Risiko Perdarahan Rendah
a) Kolesistektomi laparaskopik
b) Reparasi hernia inguinal laparaskopik
c) Prosedur gigi
d) Prosedur dermatologik
e) Prosedur optalmologik
f) Angiografi koroner
g) Kolonoskopi atau gastroskopi
h) Prosedur invasif tertentu: aspirasi atau biopsi sumsum tulang, biopsi kelenjar
getah bening, torakosentesis, parasentesis, artrosentesis.

4. Risiko Perdarahan Sangat Rendah


a) Ekstraksi 1 atau 2 gigi, atau pembersihan gigi
b) Biopsi kulit atau tindakan mengangkat tumor kulit
c) Operasi katarak.

Pada penderita dengan AF yang menggunakan warfarin, estimasi perdarahan mayor


dapat diprediksi dengan menggunakan skor HAS-BLED (Tabel 5.3).9

Tabel 5. 3 Karakteristik Klinis Skor Risiko Perdarahan HAS-BLED9


Karakteristik klinis Poin
H Hipertensi 1
A Abnormalitas fungsi ginjal dan hepar (masing-masing 1 poin) 1 atau 2
S Stroke 1
B Perdarahan 1
L INR labil 1
E Usia lanjut >65 tahun 1
D Obat atau alkohol (masing-masing 1 poin) 1 atau 2

Tabel 5.4 Kategori Risiko Perdarahan Mayor berdasarkan Skor HAS-BLED9

Poin Risiko perdarahan Perdarahan intrakranial Kategori risiko


mayor per tahun (%) per 100 pasien per tahun perdarahan mayor
0 1,13 - Rendah
1 1,02 - Rendah
2 1,88 0,6 Menengah
3 3,74 0,7 Tinggi
4 8,7 1 Tinggi
5 12,5 1,2 Tinggi

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 48


E. TATA LAKSANA ANTIKOAGULASI BRIDGING PERIOPERATIF

Strategi bridging heparin pada perioperatif untuk pasien dalam terapi VKA berdasarkan
risiko tromboemboli dan perdarahan operatif ditampilkan pada Gambar 5.1. Protokol
bridging terapi antikoagulan ditampilkan pada Tabel 5.5. Durasi penghentian DOAC
preoperatif ditampilkan pada Tabel 5.6 dan waktu pemberian kembali DOAC pasca
operasi ditampilkan pada Tabel 5.7.

Gambar 5. 1 Strategi Bridging Heparin pada Perioperatif untuk Pasien dalam Terapi VKA3

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 49


Tabel 5. 5 Antikoagulasi dan Protokol Bridging Perioperatif3

Hari Intervensi
Intervensi praprosedur
-7 sampai -10 - Lakukan penilaian untuk antikoagulasi bridging perioperatif
- Tentukan risiko perdarahan jenis prosedur rendah atau tinggi
- Periksa laboratorium sebagai data dasar Hb, trombosit, kreatinin, INR
-7 - Stop antiplatelet (aspirin atau yang lain)
-5 atau -6 - Stop warfarin
-3 - Mulai pemberian LMWH dosis terapi atau menengah (jika INR<2,0)
-1 - Dosis terakhir LMWH praprosedur diberikan tidak kurang dari 24 jam
sebelum pembedahan, separuh dari dosis total harian.
- Periksa INR sebelum prosedur
- INR <1,5: lakukan tindakan pembedahan
- INR >1,5 dan <1,8: reversal dengan vitamin K oral dosis rendah (1-2,5
mg)
Intervensi hari operasi
0 atau +1 - Mulai kembali warfarin dosis pemeliharaan pada sore hari atau pagi
setelah operasi
Intervensi pasca operasi
+1 - Risiko perdarahan rendah: dimulai kembali LMWH sama seperti dosis
sebelumnya; warfarin diberikan kembali
- Risiko perdarahan tinggi: tidak ada pemberian LMWH; warfarin
diberikan kembali
+2 atau +3 - Risiko perdarahan rendah: pemberian LMWH diteruskan
- Risiko perdarahan tinggi: dimulai kembali LMWH dengan dosis sama
seperti sebelumnya
+4 - Risiko perdarahan rendah: periksa INR (stop LMWH apabila INR >1,9)
+7 sampai +10 - Risiko perdarahan rendah: periksa INR
- Risiko perdarahan tinggi: periksa INR
Keterangan: LMWH = low molecular weight heparin; INR= international normalized ratio.
LMWH: Enoxaparin 1,5 mg/kg sekali sehari atau 1,0 mg/kg 2 kali sehari subkutan; dosis menengah:
LMWH: nadroparin 2.850-5.700 U 2 kali sehari subkutan.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 50


Tabel 5. 6 Durasi Penghentian Preoperatif Obat Antikoagulan Oral Direk (DOAC)3
Bedah risiko perdarahan Bedah risiko perdarahan
rendah: 2-3 waktu paruh tinggi: 4-5 waktu paruh
Jenis obat (dosis) Fungsi ginjal obat (antara dosis obat (antara dosis
terakhir dan terakhir dan
pembedahan)(a) pembedahan)(b)
Apixaban 2 x 5
mg/hari
t1/2 = 7-8 jam Normal/gangguan ringan Dosis terakhir 2 hari Dosis terakhir 3 hari
(CrCl >50 mL/menit) sebelum operasi (hapus 2 sebelum operasi (hapus 4
dosis) dosis)
t1/2 = 17-18 jam Gangguan sedang (CrCl Dosis terakhir 3 hari Dosis terakhir 4 hari
30-50 mL/menit) sebelum operasi (hapus 4 sebelum operasi (hapus 6
dosis) dosis)
Dabigatran 2 x 150
mg/hari
t1/2 = 14-17 jam Normal /gangguan Dosis terakhir: 2 hari Dosis terakhir: 3 hari
ringan (CrCl >50 sebelum operasi (hapus 2 sebelum operasi (hapus 4
mL/menit) dosis) dosis)
t1/2 = 16-18 jam Gangguan sedang (CrCl Dosis terakhir: 3 hari Dosis terakhir: 4-5 hari
30-50 mL/menit) sebelum operasi (hapus 4 sebelum operasi (hapus
dosis) 6-8 dosis)
Rivaroxaban 1 x 20
mg/hari
t1/2 = 8-9 jam Normal/gangguan Dosis terakhir: 2 hari Dosis terakhir: 3 hari
ringan (CrCl >50 sebelum operasi (hapus 1 sebelum operasi (hapus 2
mL/menit) dosis)(C) dosis)
t1/2 = 9 jam Gangguan sedang (CrCl Dosis terakhir: 2 hari Dosis terakhir: 3 hari
30-50 mL/menit) sebelum operasi (hapus 1 sebelum operasi (hapus 2
dosis) dosis)
t1/2 = 9-10jam Gangguan berat (CrCl Dosis terakhir 3 hari Dosis terakhir: 4 hari
15-29,9 mL/menit)(d) sebelum operasi (hapus 2 sebelum operasi (hapus 3
dosis) dosis)
Keterangan: (a) tujuan untuk residu antikoagulan ringan-sedang pada saat operasi (<12-25%);T1/2
berdasarkan klirens ginjal; (b) tujuan untuk tidak ada efek antikoagulan atau hanya minimal pada saat
operasi (<3-6%); (c) Setidaknya satu hari, tergantung kondisi klinis pasien dan dokter penanggung jawab pasien
(diskresi dokter penanggung jawab); (d) pasien menerima rivaroxaban 1 x 15 mg per hari.

Tabel 5. 7 Pemberian kembali obat golongan DOAC pasca operasi

Obat Operasi risiko perdarahan rendah Operasi risiko perdarahan tinggi


Apixaban Diulang pada hari setelah operasi (24 jam Diulang 2-3 hari setelah operasi (48-72 jam
postoperatif); 5 mg 2 kali sehari postoperatif); 5 mg 2 kali sehari(b)
Dabigatran Diulang pada hari setelah operasi (24 jam Diulang 2-3 hari setelah operasi (48-72 jam
postoperatif); 150 mg 2 kali sehari postoperatif); 150 mg 2 kali sehari(a)
Rivaroxaban Diulang pada hari setelah operasi (24 jam Diulang 2-3 hari setelah operasi; 48-72 jam
setelah operasi); 20 mg sekali sehari postoperatif; 20 mg sekali sehari(b)
Keterangan: (a) penderita dengan risiko TEV tinggi, dipertimbangkan pemberian dengan dosis dabigatran yang lebih
rendah (mis. 110-150 mg sekali sehari) pada sore hari setelah operasi dan pada hari berikutnya setelah operasi (hari
pasca operasi pertama); (b) dipertimbangkan dosis yang lebih rendah (rivaroxaban 10 mg sekali sehari atau apixaban
2,5 mg 2 kali sehari) bagi pasien dengan risiko TEV tinggi.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 51


DAFTAR PUSTAKA
1. Rechenmacher SJ, Fang JC. Bridging anticoagulation: primum non nocere. J Am Coll Cardiol.
2015;66:1392–403.
2. Torn M, Rosendall FR. Oral anticoagulation in surgical procedure: risks dan recommendation. Br
J Hamatol. 2003;123:676-82.
3. Spyropoulos AC, Douketis JD. How I treat anticoagulated patients undergoing an elective
procedure or surgery. Blood. 2012;120:2954-62.
4. Lip GY, Nieuwlaat R, Pisters R, Lane DA, Crijns HJ. Refining clinical risk stratification for
predicting stroke and thromboembolism in atrial fibrillation using a novel risk factor-based
approach: the euro heart survey on atrial fibrillation. Chest. 2010; 137: 263–72.
5. A report of the American College of Cardiology clinical expert consensus document task force.
2017 ACC expert consensus decision pathway for periprocedural management of anticoagulation
in patients with nonvalvular atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol. 2017;69:871-98.
6. Douketis JD, Spyropoulos AC, Spencer FA, Mayr M3, Jaffer AK4, Eckman MH, et al.
Perioperative management of antithrombotic therapy: antithrombotic therapy and prevention of
thrombosis, 9th ed: American College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice
Guidelines. Chest. 2012;141:e326S-50s.
7. Nishimura RA, Otto CM, Bonow RO, Carabello BA, Erwin JP 3rd, Guyton RA, et al. 2014
AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With Valvular Heart Disease: executive
summary: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines. Circulation. 2014;129:2440-92.
8. Thrombosis Canada. Peri-operative management of patients who are receiving warfarin [Internet].
Whitby: Thrombosis Canada; 2013 [accessed 24th Sept 2018]. Available from:
http://www.thrombosiscanada.ca/guides/pdfs/Warfarin_perioperative_management.pdf
9. Pisters R, Lane DA, Nieuwlaat R, de Vos CB, Crijns HJGM, Lip GYH. A novel user-friendly
score (HAS-BLED) to assess 1-year risk of major bleeding in patients with atrial fibrillation.
Chest. 2010;138:1093-110.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 52


BAB VI

PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA PADA KANKER

Trinugroho Heri Fadjari, Sahyudin, Catharina Suharti

A. PENDAHULUAN

Kanker merupakan salah satu faktor risiko TEV, sedangkan TEV sendiri merupakan
penyebab kematian nomor dua penderita kanker, baik rawat inap maupun rawat jalan.
Kanker juga merupakan risiko tinggi untuk kekambuhan TEV. Risiko TEV penderita
kanker meningkat terutama bagi mereka yang sedang menjalani operasi, kemoterapi,
mempunyai mutasi genetik, atau sebelumnya pernah menderita TVD.1

Armand Trousseau adalah orang pertama yang melaporkan hubungan antara kanker
lambung dan trombosis vena. Laporan ini yang mengawali perhatian tentang interaksi
antara hemostasis dan kanker.2

Tromboemboli vena (TEV) dapat merupakan tanda dari kanker yang tersembunyi.
Setidaknya sebanyak 25% pasien dengan TEV diketahui menderita kanker pada saat
masuk rumah sakit dan pada 26% kasus TEV terkait kanker tersebut, diagnosis
kanker tidak diketahui sebelumnya (sindrom Trosseau).1 Analisis dari empat studi
kohort menunjukkan bahwa rasio odds (OR) terjadinya kanker pada penderita dengan
TEV idiopatik dibanding TEV sekunder sebesar 4,8.3

B. EPIDEMIOLOGI DAN DAMPAK KLINIS TROMBOSIS TERKAIT


KANKER

Tromboemboli vena (TEV) dapat ditemukan pada 20% penderita kanker, bahkan
50% penderita kanker akan mengalami TEV pada pemeriksaan postmortem.
Penderita kanker mempunyai kecenderungan mengalami TEV sebesar 4-7 kali lipat
dibanding penderita bukan kanker.4 Studi retrospektif menunjukkan bahwa TEV

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 53


terjadi pada 12,6% penderita kanker rawat jalan yang mendapat kemoterapi,
dibanding 1,4% dari kelompok kontrol tanpa kanker. 5

Tromboemboli vena (TEV) terkait kanker mengakibatkan kenaikan morbiditas dan


mortalitas. Kematian langsung akibat komplikasi emboli paru terjadi tiga kali lebih
sering dibanding penderita bukan kanker.6 Kekambuhan TEV dan komplikasi
perdarahan juga merupakan masalah penting. Analisis prospektif menunjukkan
bahwa insiden kumulatif kekambuhan TEV selama 12 bulan lebih tinggi secara
signifikan pada penderita kanker dibanding penderita bukan kanker (20,7% vs.
6,8%).7

Penderita kanker disertai TEV secara signifikan membutuhkan biaya pelayanan


kesehatan lebih tinggi dibandingkan penderita kanker tanpa TEV. Biaya pelayanan
tersebut di antaranya meliputi perawatan di rumah sakit (tiga kali lebih besar), serta
peningkatan klaim dari obat dan tindakan medik.8

C. PATOFISIOLOGI TROMBOSIS TERKAIT KANKER

Kondisi hiperkoagulabel pada kanker melibatkan beberapa mekanisme kompleks. Sel


kanker menginduksi pelepasan dan peningkatan faktor jaringan, yang tidak
diekspresikan pada sel endotel pembuluh darah normal. Faktor jaringan yang dilepas
oleh sel kanker adalah dalam bentuk mikropartikel. Sel kanker melepaskan
mikropartikel dan prokoagulan kanker yang secara langsung mengaktifkan sistem
koagulasi dengan mengaktifkan faktor X.

Sel kanker dapat melepaskan sitokin proinflamasi dan kemokin, yakni interleukin-1β
(IL-1β), tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan vascular endothelial growth factor
(VEGF). Ketika kontak dengan sel endotel, molekul ini mengekspresikan faktor
jaringan dan menstimulasi produksi plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), yaitu
inhibitor sistem fibrinolisis yang menurunkan regulasi trombomodulin dan
meningkatkan regulasi molekul adesi.9

Telah terbukti bahwa inflamasi diinduksi oleh sel kanker yang menyebabkan
peningkatan protein fase akut (fibrinogen, faktor VIII, faktor von Willebrand (vWF)

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 54


yang merupakan risiko dan trombosis. Angiogenesis juga merupakan proses penting
dalam patofisiologi kanker. Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
angiopoietin merupakan faktor proangiogenik yang poten yang terlibat dalam
patogenesis kanker.

Sel tumor juga mempunyai kemampuan untuk melekat pada sel endotel pembuluh
darah, menyebabkan aktivasi koagulasi lokal dan pembentukan trombus. Interaksi sel
tumor dan sel endotel dari host, trombosit, dan leukosit juga dapat memicu trombosis
dengan cara mengaktifkan faktor pembeku lokal, mengakibatkan agregasi trombosit
serta pengaktifan leukosit yang kemudian melepas sitokin (Gambar 6.1).10,11

Gambar 6. 1. Faktor-faktor yang Terlibat dalam Trombosis terkait Kanker5

D. FAKTOR RISIKO TROMBOSIS TERKAIT KANKER

Faktor risiko trombosis terkait kanker telah banyak diidentifikasi, meliputi faktor
yang terkait dengan pasien, kanker, dan terapi (Tabel 6.1). Faktor terkait pasien antara
lain usia, jenis kelamin, ras, dan komorbid. Komorbid tersebut meliputi infeksi (OR
1,28), penyakit paru (OR 1,57), penyakit ginjal (OR 1,41), dan obesitas (OR 1,52).12

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 55


Tabel 6. 1 Faktor Risiko dan Biomarker untuk Trombosis terkait Kanker4

Kategori Keterangan
Faktor terkait pasien Usia lanjut
Jenis kelamin wanita
Ras (Asia lebih rendah, kulit hitam lebih tinggi)
Komorbid (penyakit ginjal, obesitas, infeksi)
Riwayat TEV sebelumnya
Kemampuan beraktivitas yang rendah (status performans)
Faktor terkait kanker Lokasi kanker primer: pankreas, lambung, otak, ginjal, dan ovarium
Stadium lanjut dari kanker
Periode awal setelah diagnosis kanker
Histologi
Faktor terkait terapi kanker Bedah mayor
Perawatan di rumah sakit
Kemoterapi (terutama cisplatin)
Terapi hormon
Agen anti-angiogenik: bevacizumab, sunitinib, sorafenib
Imunomodulator (thalidomide, lenalidomide)
Agen stimulasi eritropoiesis
Transfusi (trombosit dan eritrosit)
Penggunaan kateter vena sentral
Biomarker terkait kanker Hitung trombosit ≥350.000/mm3
Hitung leukosit >11.000/mm3
Hemoglobin <10 g/dL
Peningkatan kadar faktor jaringan
Peningkatan kadar D-dimer
Peningkatan soluble P-selectin
Peningkatan C-reactive protein

Penderita kanker dengan riwayat TEV sebelumnya mempunyai peningkatan risiko


untuk terjadi TEV 6-7 kali lipat dibanding penderita kanker yang tidak mempunyai
riwayat TEV sebelumnya.13 Faktor terkait dengan kanker (lokasi kanker, stadium,
histologi) juga merupakan faktor risiko trombosis. Dari analisis pasien dengan
berbagai jenis kanker didapatkan bahwa tumor yang berasal dari pankreas, gaster,
otak, ginjal, uterus, paru dan ovarium mempunyai angka kejadian tertinggi untuk
TEV.5,12 Stadium lanjut kanker juga merupakan faktor risiko TEV. Suatu studi yang
berbasis populasi menunjukkan angka kejadian yang tinggi pada pasien dengan
kanker yang telah bermetastasis jauh (OR = 19,8; IK 95% = 2,6-149).14

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 56


Berbagai jenis tindakan pembedahan dan radioterapi kanker juga meningkatkan risiko
trombosis. Pembedahan merupakan faktor provokasi TEV penting, baik untuk
penderita kanker maupun bukan kanker. Radiasi juga meningkatkan risiko TEV pada
penderita kanker. Berbagai terapi sistemik juga meningkatkan risiko TEV, termasuk
kemoterapi yang meningkatkan risiko TEV sebesar 2-6 kali lipat.15

Cisplatin, suatu agen yang menyebabkan ikat silang DNA, mempunyai angka
kejadian TEV yang tinggi. Obat imunomodulator (thalidomide dan lenalidomide),
obat golongan antiangiogenik (bevacizumab) dapat meningkatkan risiko trombosis
arteri maupun TEV. Inhibitor tirosin kinase (sunitinib dan sorafenib) dapat
meningkatkan risiko trombosis arteri.

Terapi suportif yang digunakan pada penderita kanker dapat meningkatkan risiko
TEV. Agen yang menstimulasi eritropoiesis (erythropoietin stimulating agent), faktor
penumbuh hematopoietik (GM-CSF/granulocyte macrophage colony stimulating
factor) juga meningkatkan risiko trombosis pada penderita kanker. Transfusi eritrosit
maupun trombosit meningkatkan trombosis arteri atau vena. Sementara itu,
penggunaan kateter vena sentral (indwelling) berkaitan dengan kejadian trombosis
simtomatik maupun asimtomatik (terdeteksi dengan venografi).

Beberapa biomarker telah diidentifikasi sebagai prediksi TEV yang potensial. Suatu
studi menyebutkan bahwa beberapa biomarker tersebut meliputi kenaikan hitung
leukosit dan trombosit, serta kadar hemoglobin yang rendah.16

D-dimer juga merupakan suatu faktor prediktif TEV terkait kanker usus besar. Selain
itu, kenaikan kadar D-dimer juga meningkatkan risiko TEV berdasarkan pada hasil
the Vienna cancer and thrombosis study (CATS).17,18 Walaupun studi tentang nilai
prediktif faktor jaringan pada trombosis terkait kanker hasilnya masih bertentangan,
faktor jaringan terbukti meningkatkan risiko trombosis pada penderita kanker
pankreas. Biomarker lain yang telah diteliti di antaranya soluble P-selectin,
protrombin fragmen 1+2, faktor VIII, dan thrombin generation potential.19-21

1. Skor Risiko Khorana

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 57


Skor risiko Khorana (Tabel 6.2) dapat digunakan untuk stratifikasi risiko TEV
pada penderita kanker (risiko rendah, menengah, dan tinggi). Skor ini disusun
berdasarkan studi kohort dari 2.701 pasien, kemudian divalidasi pada studi
prospektif kohort independen pada 1.365 pasien. Angka TEV pada penyusunan
dan validasi kohort 0,8% dan 0,3% untuk kategori risiko rendah, 1,8% dan 2%
untuk risiko menengah, serta 7,1% dan 6,7% untuk risiko tinggi, berturut-turut.14
Model ini telah divalidasi dalam beberapa studi lain, termasuk studi prospektif
Vienna CATS, yang diperluas dengan memasukkan D-dimer dan P-selectin
solubel.22

E. TATA LAKSANA TROMBOEMBOLI VENA DAN/ATAU EMBOLI PARU


PADA PENDERITA KANKER

Penderita TEV pada kanker memiliki kemungkinan kekambuhan selama periode


terapi antikoagulan tiga kali lebih tinggi dibanding penderita bukan kanker. Beberapa
panduan terapi trombosis terkait kanker direkomendasikan oleh beberapa organisasi
antara lain: American Society of Clinical Oncology (ASCO),23 European Society for
Medical Oncology (ESMO),24 dan National Comprehensve Cancer Network
(NCCN).25 Beberapa panduan yang direkomendasikan akan dibahas sebagai berikut.

Tabel 6. 2 Model Prediktif TEV terkait Kemoterapi pada Penderita Kanker Rawat Jalan (Skor Risiko
Khorana)16

Variabel Skor
Jenis kanker
Lambung atau pankreas 2
Paru, limfoma, ginekologik, kandung kencing, testis 1
2
Indeks masa tubuh ≥35 kg/m 1
Hitung leukosit >11.000/mm3 1
3
Hitung trombosit >350.000/mm 1
Hemoglobin <10 g/dL atau menggunakan faktor penumbuh eritrosit 1
Keterangan: total skor 0 = risiko rendah; total skor 1-2 = risiko menengah; total skor ≥3 = risiko
tinggi

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 58


1. Profilaksis
a. Profilaksis pada Pasien Medis24
i. Pada penderita kanker rawat inap, tirah baring karena komplikasi medik
akut, direkomendasikan pemberian tromboprofilaksis dengan UFH, LMWH,
atau inhibitor faktor Xa (fondaparinux, apixaban, rivaroxaban). (1A)
ii. Pada penderita kanker rawat jalan yang mendapat kemoterapi paliatif untuk
kanker lokal lanjut atau metastatik tidak direkomendasikan pemberian
tromboprofilaksis secara rutin, kecuali bila dipertimbangkan, termasuk
pasien risiko tinggi (kanker paru, pankreas).
iii. Pasien mieloma yang mendapat thalidomide + deksametason atau
thalidomide + kemoterapi, dipertimbangkan untuk pemberian LMWH,
aspirin, atau warfarin (INR sekitar 1,5).
iv. Pada penderita kanker yang mendapat adjuvan kemoterapi atau terapi
hormonal, maka pemberian tromboprofilaksis tidak direkomendasikan.
v. Pada penderita kanker yang menggunakan kateter vena sentral, pemberian
profilaksis secara rutin tidak dianjurkan.

b. Profilaksis pada Pasien Bedah24


i. Penderita kanker yang menjalani bedah mayor, direkomendasikan
pemberian profilaksis dengan LMWH (enoxaparin 40 mg sekali sehari) atau
UFH (UFH 5.000 U tiga kali sehari). Profilaksis mekanik (kaos kompresi,
kompresi pneumatik intermiten) dapat diberikan sebagai tambahan (1A).
ii. Penderita kanker yang menjalani laparatomi, laparoskopi, torakotomi, atau
torakoskopi yang berlangsung selama lebih dari 30 menit perlu mendapat
profilaksis dengan LMWH atau UFH minimal selama 10 hari. Profilaksis
dimulai pada saat sebelum operasi atau segera setelah operasi.
iii. Pasien kanker yang menjalani bedah mayor abdomen/pelvis elektif perlu
mendapat profilaksis dengan LMWH hingga 1 bulan setelah operasi (selama
di rumah sakit dan setelah keluar dari rumah sakit) (1A).

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 59


2. Terapi Pasien Kanker yang Terbukti TEV dan Pencegahan Sekunder 23
a) LMWH merupakan pilihan yang lebih utama dibandingkan UFH untuk terapi
awal selama 5-10 hari sebagai antikoagulasi pasien kanker dengan TEV yang
baru terdiagnosa, yang tidak mempunyai gangguan fungsi ginjal berat (klirens
kreatinin <30 mL/menit).
b) Untuk antikoagulasi jangka panjang, LMWH yang diberikan selama 6 bulan
lebih dipilih karena efektivitas yang lebih baik dibanding AVK. Apabila
LMWH tidak tersedia, AVK dapat digunakan sebagai alternatif jangka
panjang dengan target INR 2-3.
c) Antikoagulasi dengan LMWH atau AVK di luar terapi awal 6 bulan pertama
hanya dipertimbangkan untuk kasus yang terseleksi dengan kanker aktif,
seperti kanker metastasis atau yang sedang menjalani kemoterapi.
d) Pemasangan filter vena cava diindikasikan pada penderita yang kontra
indikasi pemberian antikoagulan, atau dipertimbangkan sebagai tambahan
pada antikoagulasi pasien dengan trombosis yang progresif (kekambuhan
TEV atau meluasnya trombus meskipun telah diberi terapi LMWH yang
optimal).
e) Penderita dengan kanker otak, antikoagulasi untuk TEV yang terkonfirmasi
sama dengan penderita kanker lain. Namun, dalam hal ini perlu pemantauan
ketat untuk mengurangi risiko perdarahan.
f) Penggunaan obat golongan DOAC baik sebagai pencegahan maupun terapi
TEV pada penderita kanker saat ini belum direkomendasikan.

3. Dosis Profilaksis/Terapi Antikoagulan pada Penderita Kanker23

a. Dosis profilaksis pasien medik rawat inap


i. UFH 5.000 U setiap 8 jam
ii. Enoxaparin 40 mg sekali sehari
iii. Fondaparinux 2,5 mg sekali sehari.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 60


b. Dosis Profilaksis Pasien Bedah
i. UFH 5.000 U 2-4 jam preoperatif dan selanjutnya setiap 8 jam, atau 5.000
U 10-12 jam preoperatif, dan selanjutnya 5.000 U sekali sehari
ii. Enoxaparin 20 mg 2-4 jam preoperatif dan selanjutnya 40 mg sekali
sehari, atau 40 mg 10-12 jam preoperatif dan selanjutnya 40 mg sekali
sehari
iii. Fondaparinux 2,5 mg setiap hari, dimulai 6-8 jam postoperatif.

c. Dosis terapi TEV yang terkonfirmasi

Dosis Terapi Awal


i. UFH 80 U/kg bolus, selanjutnya 18 U/kg per jam; disesuaikan hasil
pemeriksaan aPTT
ii. Enoxaparin 1 mg/kg setiap 12 jam atau 1,5 mg/kg sekali sehari
iii. Fondaparinux berat badan <50 kg, 5 mg sekali sehari; berat badan 50-100
kg, 7,5 mg sekali sehari; berat badan>100 kg, 10 mg sekali sehari.

Dosis Terapi Jangka Panjang


i. Enoxaparin 1,5 mg/kg sekali sehari atau 1 mg/kg setiap 12 jam
ii. Warfarin dosis disesuaikan untuk mempertahankan INR 2-3.

F. KONTRAINDIKASI DAN PERTIMBANGAN LAIN UNTUK MENUNDA


TERAPI ANTIKOAGULAN PADA PENDERITA DENGAN KANKER DAN
TEV23
Kriteria ini khusus untuk antikoagulasi dosis terapeutik dan tidak diaplikasikan untuk
antikoagulasi dosis profilaktik.
1. Kontraindikasi Absolut
Kontraindikasi absolut adalah suatu kondisi yang mana antikoagulasi tidak boleh
diberikan karena risiko bahaya perdarahan lebih besar dibanding manfaat
antikoagulasi.
a) Perdarahan aktif, mayor, serius, dan potensial mengancam kehidupan, yang
tidak dapat dikoreksi dengan intervensi medis maupun bedah. Di antara
contoh kondisi tersebut yaitu pada perdarahan aktif pada lokasi kritis

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 61


(intrakranial, perikardial, retroperitoneal, intraokular, intra-artikular,
intraspinal)
b) Hipertensi maligna tidak terkontrol, berat
c) Koagulopati dekompensasi, berat (gangguan fungsi liver berat)
d) Penyakit perdarahan yang diturunkan atau gangguan fungsi trombosit berat
e) Trombositopenia berat, persisten (<20.000/µL)
f) Prosedur invasif atau pembedahan, antara lain pada punksi lumbal, anestesia
spinal, dan pemasangan kateter epidural.

2. Kontraindikasi Relatif
Kontraindikasi relatif adalah kondisi yang mana antikoagulasi mungkin diberikan
bila risiko kekambuhan atau progresivitas trombosis diperkirakan lebih besar
dibanding risiko perdarahan.
a) Lesi intrakranial atau spinal dengan risiko perdarahan tinggi
b) Ulkus lambung aktif atau gastrointestinal dengan risiko perdarahan tinggi
c) Perdarahan aktif namun tidak mengancam jiwa (misalnya hematuria tersamar)
d) Perdarahan intrakranial atau sistem saraf pusat dalam periode 4 minggu yang
lalu
e) Bedah mayor atau perdarahan serius dalam 2 minggu yang lalu
f) Trombositopenia persisten (<50.000/µL).

3. Pasien dengan Kondisi Antikoagulasi Tidak Jelas Manfaatnya


a) Pasien dengan perawatan akhir hayat atau perawatan hospice
b) Harapan hidup yang sangat terbatas tanpa terapi paliatif (perbaikan keluhan)
c) Trombosis asimtomatik bersamaan dengan risiko tinggi perdarahan serius.

4. Nilai dan Karakteristik Pasien


a) Keinginan pasien/menolak
b) Tidak taat pada jadwal dosis, tindak lanjut, dan pemantauan.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 62


G. BEBERAPA KONDISI KLINIK YANG PERLU DIPERHATIKAN
1. Penilaian ulang perlu dilakukan setiap 3-6 bulan. Meskipun terapi LMWH telah
melebihi 6 bulan, risiko kekambuhan trombosis sekitar 0,7% per bulan. Dengan
demikian, risiko akan lebih besar apabila antikoagulan tidak diberikan. Di sisi
lain, risiko perdarahan juga meningkat selama penggunaan antikoagulan. Hal ini
perlu dipertimbangkan bersama faktor lain bila akan membuat keputusan
melanjutkan penggunaan antikoagulan, seperti keinginan pasien, kualitas hidup,
dan harapan hidup.26
2. Monitoring yang perlu dilakukan selama pengobatan meliputi pemeriksaan fisik,
pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, dan fungsi ginjal setiap 3-6 bulan.
3. Lebam dan hematom pada tempat injeksi. Kondisi ini dapat diminimalkan dengan
melakukan penekanan yang keras pada tempat injeksi selama 2-5 menit setelah
injeksi. Selain itu, meletakkan es pada tempat injeksi sebelum dan sesudah injeksi
dapat mengurangi lebam dan rasa tidak nyaman.26
4. Trombosis berulang meskipun pasien dalam terapi LMWH. Bila tidak ada
kontraindikasi dan hal lain telah dikonfirmasi, dosis dapat dinaikkan sebesar 25%,
dan hal ini terbukti efektif.26
5. Trombosis vena di lokasi yang tidak biasa (trombosis vena lienalis atau vena porta
asimtomatik) tidak memerlukan terapi, terutama bila terlokalisir dan bersifat
kronik. Apabila trombosis simtomatik, maka perlu diterapi. Trombosis vena
serebral, renal, dan mesenterika perlu terapi antikoagulan yang sama seperti pada
trombosis simtomatik.26

DAFTAR PUSTAKA
1. Khorana AA. Cancer and thrombosis: implication of published guidelines for clinical practice.
Ann Oncol. 2009;20:1619-30.
2. Elyamany G, Alzahrany AM, Bukhary E. Cancer-associated thrombosis: an overview. Clin Med
Insights Oncol. 2014;8:129-37.
3. Lee AY, Levine MN. Venous thromboembolism and cancer: risks and outcomes. Circulation.
2003;107:I17-21.
4. Connolly GC, Francis CW. Cancer-associated thrombosis. Hematology Am Soc Hematol Educ
Program. 2013;2013:684-91.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 63


5. Khorana AA, Dalal M, Lin J, Connoly GC. Incidence and predictors of venous thromboembolism
among ambulatory high-risk cancer patients undergoing chemotherapy in the United States.
Cancer. 2013;119:648-55.
6. Gussoni G, Frasson S, La Regina M, Di Micco P, Monreal M; RIETE Investigators. Three-month
mortality rate and clinical predictors in patients with venous thromboembolism and cancer.
Findings from the RIETE registry. Thromb Res. 2013;131:24-30.
7. Prandoni P, Lensing AW, Piccioli A, Bernardi E, Simioni P, Girolami B, et al. Recurrent venous
thromboembolism and bleeding complications during anticoagulant treatment in patients with
cancer and venous thrombosis. Blood. 2002;100:3484-8.
8. Khorana AA, Dalal MR, Lin J, Connolly GC. Health care costs associated with venous
thromboembolism in selected high-risk ambulatory patients with solid tumors undergoing
chemotherapy in the United States. Clinicoecon Outcomes Res. 2013;5:101-8.
9. Falanga A, Marchetti M, Vignoli A. Coagulation and cancer: biological and clinical aspects. J
Thromb Haemost. 2013;11:223-33.
10. Kakkar AK, DeRuvo N, Chinswangwatanakul V, Tebbutt S, Williamson RC. Extrinsic pathway
activation in cancer with high factor VIIa, and tissue factor. Lancet. 1995;346:1004-5.
11. Karimi M, Cohan N. Cancer associate thrombosis. The open Cardiovasc Med J. 2010;4:78-82.
12. Khorana AA, Francis CW, Culakova E, Fisher RI, Kuderer NM, Lyman GH. Thromboembolism
in hospitalized neutropenic cancer patients. J Clin Oncol. 2006;24:484-90.
13. Agnelli G, Bolis G, Capussotti L, Scarpa RM, Tonelli F, Bonizzoni E, et al. A clinical outcome
based prospective study on venous thromboembolism after cancer surgery: the RISTOS project.
Am Surg. 2006;243:89-95.
14. Blom JW, Joggen CJ, Osantos S, Rosendaal FR. Malignancies, prothrombotic mutations, and the
risk of venous thrombosis. JAMA. 2005;293:715-22.
15. Blom JW, Vanderschoot JP, Oostindier MJ, Osanto S, van der Meer FJ, Rosendaal FR. Incidence
of venous thrombosis in a large cohort of 66.329 cancer patients: result of a recordlinkage study. J
Thromb Haemost. 2006;4:529-35.
16. Khorana AA, Kuderer NM, Culakova E, Lyman GH, Francis CW. Development and validation of
a predictive model for chemotherapy-associated thrombosis. Blood. 2008;111:4902-7.
17. Stender MT, Frokjaer JB, Larsen TB, Lundbye-Christensen S, Thorlacius-Ussing O. Preoperative
plasma D-dimer is a predictor of postoperative deep venous thrombosis in colorectal cancer
patients: a clinical, prospective cohort study with one year follow up. Dis Colon Rect.
2009;52:446-51.
18. Ay C, Vormittag R, Dunkler D, Simanek R, Chiriac AL, Drach J, et al. D-Dimer and prothrombin
fragment 1+2 predict venous thromboembolism in patients with cancer: result from the Vienna
Cancer and Thrombosis study. J Clin Oncol. 2009;27:4124-9.
19. Ay C, Simanek R, Vormittag R, Dunkler D, Alguel G, Koder S, et al. High plasma levels of
soluble P-selectin are predictive of venous thromboembolism in cancer patients: results from the
Vienna Cancer and Thrombosis Study (CATS). Blood. 2008;112:2703-8.
20. Reitter EM, Kaider A, Ay C, Quehenberger P, Marosi C, Zielinski C, et al. Longitudinal analysis
of hemostasis biomarkers in cancer patients during antitumor treatment. J Thromb Haemost.
2016;14:294-305.
21. Konigsbrugge O, Pabinger I, Ay C. Risk factors for venous thromboembolism in cancer: novel
findings from the Vienna Cancer and Thrombosis Study (CATS). Thromb Res. 2014;133:S39-43.
22. Ay C, Dunkler D, Marosi C, Chiriac AL, Vormittag R, Simanek R, et al. Prediction of venous
thromboembolism in cancer patients. Blood. 2010;116:5377-82.
23. Lyman GH, Khorana AA, Kuderer NM, Lee AY, Arcelus JI, Balaban EP, et al. Venous
thromboembolism prophylaxis and treatment in patients with cancer: American Society of Clinical
Oncology clinical practice guideline update. J Clin Oncol. 2013;31:2189-204.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 64


24. Mandala M, Falanga A, Roila F. Management of Venous Thromboembolism (VTE) in Cancer
Patients: ESMO Clinical Practice Guidelines. Annals of Oncology. 2011;22(suppl_6):vi85-vi92
25. Streiff MB, Bockenstedt P. Cancer-associated venous thromboembolic disease, version 1.2015 J
Natl Compr Canc Netw. 2015;13:1079-95.
26. Thrombosis Canada. Cancer and thrombosis [Internet]. Whitby: Thrombosis Canada; 2017
[accessed 25th Sept 2018]. Available from: http://thrombosiscanada.ca/wp-
content/uploads/2017/01/17.-Cancer-and-Thrombosis-2017Jan13-FINAL-1.pdf

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 65


BAB VII

PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA PADA


KEHAMILAN

Karmel L. Tambunan, Eko Adhi Pangarsa, Tubagus Djumhana Atmakusuma, Catharina


Suharti

A. PENDAHULUAN

Emboli paru (EP) merupakan penyebab kematian ibu yang penting, baik di Eropa,
Amerika, maupun Australia. Faktor risiko berbeda antara periode antepartum dan
postpartum. Risiko TEV tertinggi yaitu pada periode postpartum (hingga 6 minggu
setelah melahirkan).1

Penilaian faktor risiko perlu dilakukan dan diulang pada setiap wanita hamil. Hal ini
telah direkomendasikan dalam beberapa panduan klinis. Identifikasi faktor risiko
yang baik dan pemberian tromboprofilaksis yang tepat dapat menurunkan angka
kematian ibu akibat EP.2,3

Low molecular weight heparin (LMWH) lebih dipilih dibandingkan UFH pada terapi
TEV dengan kehamilan. Sementara itu, warfarin, merupakan kontraindikasi untuk
terapi TEV pada wanita hamil. Namun, obat ini dapat diberikan pada ibu yang
menyusui setelah melahirkan.4-6

B. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian TEV pada wanita hamil lima kali lebih tinggi dibanding wanita tidak
hamil dengan usia yang sama. Risiko TEV dilaporkan meningkat sekitar 20 kali
selama periode postpartum.7,8 Angka kejadian TEV yaitu 1,72 setiap 1.000 persalinan
dan mengakibatkan 1,1 kematian setiap 100.000 persalinan.9

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 66


Angka kejadian TEV pada kehamilan yaitu 1 dari 1.200 kehamilan, namun juga
berhubungan dengan usia. Usia wanita hamil itu sendiri merupakan faktor risiko
TEV. Semakin tua usia kehamilan, maka risiko TEV akan meningkat. Angka kejadian
TEV pada wanita hamil <35 tahun adalah 1 dari 1.600 kehamilan, sedangkan pada
usia >35 tahun meningkat menjadi 1 di antara 800 kehamilan.10

C. PATOGENESIS

Peningkatan kejadian TEV pada kehamilan dan masa puerpera terjadi karena stasis
vena dan cedera endotel (Tabel 7.1). Statis vena terjadi karena pada kehamilan terjadi
perubahan dalam kapasitans vena dan kompresi pembuluh darah besar oleh rahim.
Sementara itu, cedera endotel terjadi karena perubahan pada permukaan utero
plasenta dan cedera vaskular selama persalinan.11,12

Hal lain yang menjadi faktor terjadinya peningkatan kejadian TEV pada kehamilan
yaitu adanya peningkatan faktor koagulasi selama kehamilan. Selama kehamilan,
konsentrasi faktor koagulasi VII, VIII, IX, X, XII, dan faktor von Willebrand
meningkat secara signifikan, disertai dengan peningkatan konsentrasi fibrinogen
plasma yang relevan. Fibrinogen plasma sering meningkat menjadi >600 mg/dL pada
akhir kehamilan. Faktor VII dapat meningkat sebanyak sepuluh kali lipat dalam
kehamilan. Faktor von Willebrand dan faktor VIII meningkat pada akhir kehamilan,
serta aktivitas koagulasi kira-kira dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan
tidak hamil. Peningkatan dalam jumlah yang sedikit terjadi pada konsentrasi faktor IX
dan penurunan faktor XI selama kehamilan. Setelah kenaikan awal, faktor XIII turun
bertahap, hingga mencapai 50% dari orang normal yang tidak hamil. Faktor II dan V
tidak berubah secara signifikan pada kehamilan.11,12

Aktivator plasminogen jaringan (t-PA) berkurang selama kehamilan dan persalinan,


dan kembali normal setelah persalinan plasenta. Agregasi trombosit meningkat pada
kehamilan (Tabel 7.1). Kadar protein C (PC) tetap atau sedikit meningkat selama
kehamilan, sementara kadar protein S (PS) menurun. Kadar antitrombin tetap normal
selama kehamilan.11,12

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 67


Tabel 7. 1 Faktor Predisposisi Trombosis terkait Kehamilan5

Hiperkoaguabilitas Stasis Kerusakan endotel


Peningkatan faktor koagulasi: Meningkatnya distensibilitas Kerusakan vaskular saat
FII, FV, FVIII, FIX, FX, FXII, vena, penurunan tonus vena persalinan (sectio caesaria)
dan fibrinogen atau partus per vaginam
Meningkatnya agregasi Penurunan aliran vena
trombosit ekstremitas bawah sebanyak
50% pada trimester ketiga
Penurunan protein S, tissue Uterus yang membesar karena
plasminogen activator, FXI, hamil dapat menjadi halangan
dan FXIII terhadap aliran vena
Peningkatan resistensi terhadap
protein C aktif
Antitrombin normal maupun
menurun

D. DIAGNOSIS TEV PADA KEHAMILAN

1. Diagnosis TVD pada Kehamilan

Algoritma diagnosis TVD pada kehamilan ditampilkan pada Gambar 7.1. Setiap
wanita hamil dengan keluhan dan tanda yang dicurigai ke arah TEV perlu
dilakukan pemeriksaan objektif dan terapi dengan LMWH atau UFH sampai
diagnosis ditegakkan, kecuali ada kontraindikasi untuk terapi. Konfirmasi
dilakukan dengan compression ultrasound (CUS). Apabila hasil CUS negatif dan
kecurigaan klinik rendah, maka terapi antikoagulan dapat dihentikan. Apabila
CUS negatif, sedangkan kecurigaan TEV tetap tinggi, maka terapi antikoagulan
dihentikan dan pemeriksaan CUS diulang pada hari ke-3 dan ke-7.6

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 68


Gambar 7. 1 Algoritme Diagnostik pada Kecurigaan Kasus TVD pada Kehamilan3

Keterangan: CUS = compression doppler ultrasound; LMWH = low molecular weight heparin; MRI =
magnetic resonance imaging; TVD = trombosis vena dalam.

2. Diagnosis EP pada Kehamilan

Algoritma diagnosis EP pada wanita hamil ditampilkan pada Gambar 7.2. Setiap
wanita hamil dengan keluhan dan tanda EP akut harus segera dilakukan
pemeriksaan EKG dan foto toraks. Pada wanita dengan kecurigaan EP, yang juga
mempunyai keluhan dan tanda TVD, maka pemeriksaan CUS perlu dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan US telah dapat mengonfirmasi TVD, maka tidak perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan terapi TEV dilanjutkan 6

Pada wanita yang dicurigai EP tanpa adanya tanda TVD, maka dilakukan
pemeriksaan ventilation/perfusion (V/Q) lung scan atau computerised tomography
pulmonary angiogram (CTPA). Apabila hasil foto toraks abnormal disertai
kecurigaan EP, maka lebih dipilih pemeriksaan CTPA dibanding V/Q scan.
Pemeriksaan alternatif atau ulang perlu dilakukan apabila kecurigaan EP tetap
ada, namun pemeriksaan V/Q scan atau CTPA menunjukkan hasil normal. Terapi
antikoagulan tetap dilanjutkan hingga diagnosis EP secara pasti disingkirkan.
Namun demikian, perlu diketahui bahwa pemeriksaan V/Q scan dilaporkan dapat

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 69


meningkatkan risiko kanker untuk bayi dan risiko rendah terjadi kanker payudara
untuk ibu. Meskipun demikian, risiko absolut keduanya sangat kecil.6

Gambar 7. 2 Algoritme Diagnostik pada Kecurigaan Kasus Emboli Paru pada Kehamilan3

Keterangan: CTPA = computed tomography pulmonary angiography; CUS = compression doppler


ultrasound; LMWH = low molecular weight heparin; V/Q scan = ventilation/perfusion scan.

Pemeriksaan D-dimer tidak perlu dilakukan pada investigasi TEV pada kehamilan.
Selain itu, belum ada bukti klinis yang mendukung tentang penilaian pre test
probabilitas (Wells) pada tata laksana TEV pada kehamilan.6

E. TERAPI ANTIKOAGULAN PADA KEHAMILAN

Apabila secara klinis dicurigai TVD atau EP, terapi awal dengan LMWH dapat
dimulai sampai dengan diagnosis ditegakkan atau disingkirkan dengan pemeriksaan
objektif, kecuali ada kontra indikasi terapi antikoagulan. Sebelum terapi antikoagulan
dimulai, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium meliputi: hitung darah lengkap,

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 70


pemeriksaan koagulasi, fungsi ginjal, fungsi hepar, dan elektrolit. Pemeriksaan
aktivitas anti-Xa secara rutin pada pasien yang menggunakan LMWH untuk terapi
TEV tidak direkomendasikan, kecuali pada wanita dengan berat badan ekstrem (<50
kg dan >90 kg) atau dengan komplikasi (gangguan fungsi ginjal, TEV berulang).6

Pada penderita dengan EP masif yang disertai komplikasi kardiovaskular, sebagai


terapi awal lebih dipilih UFH.6 Pada penderita yang mendapat terapi UFH perlu
dilakukan pemantauan hitung trombosit mulai hari ke-4 sampai hari ke-14, atau
hingga heparin dihentikan.5,6

1. Pemberian UFH

Dosis awal 80 unit/kg diikuti infus kontinyu 18 unit/kg/jam. Apabila pasien


mendapat terapi trombolisis, dosis awal dihapus dan infus diawali dengan dosis
18 unit/kg/jam. Activated partial thromboplastine time (aPTT) diperiksa 4-6 jam
setelah dosis awal, 6 jam setiap perubahan dosis, dan minimal setiap hari setelah
rentang terapi tercapai dan stabil (1,5-2,5 kontrol).6 Pemberian infus UFH
berdasarkan aPTT ditampilkan pada Tabel 7.2.

Tabel 7. 2 Kecepatan Infus Disesuaikan dengan Activated Partial Thromboplastine Time (aPTT)5

Rasio aPTT Perubahan dosis Tambahan APTT berikutnya


Unit/kg/jam (jam)
<1,2 +4 Re-bolus 80 unit/kg 6
1,2-1,5 +2 Re-bolus 40 unit/kg 6
1,5-2,5 Tidak berubah - 24
2,5-3,0 -2 - 6
>3,0 -3 Stop infus 1 jam 6

2. Terapi Tambahan

Pada awal terapi TVD, perlu dilakukan elevasi tungkai dan penggunaan stoking
(graduated elastic compression stocking, GECS) untuk mengurangi edema.
Dianjurkan untuk segera mobilisasi sedini mungkin dengan menggunakan
GECS.5,6

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 71


3. Terapi Pemeliharaan

Low molecular weight heparin (LMWH) diberikan selama sisa umur kehamilan,
minimal hingga 6 minggu postpartum dan setidaknya tercapai jangka terapi 3
bulan secara total. Penderita yang mengalami heparin-induced trombocytopenia
(HIT) atau alergi heparin dapat diberikan terapi antikoagulan alternatif (misalnya
fondaparinux).6

Anti vitamin K (AVK) seperti warfarin mempunyai efek samping terhadap janin
sehingga tidak dapat digunakan untuk terapi TEV antenatal. Anti vitamin K
(AVK) dapat melewati plasenta dan dapat mengakibatkan keguguran,
prematuritas, berat badan janin rendah, problem perkembangan saraf, serta
perdarahan fetal atau neonatal. Selain itu, AVK juga dapat mengakibatkan
embriopati pada paparan trimester pertama.

4. Terapi Antikoagulan pada Persalinan

Apabila penderita menggunakan LMWH sebagai terapi pemeliharaan, pada waktu


persalinan telah tiba, pasien tidak lagi menyuntik LMWH. Pada saat memasuki
kehamilan di usia akhir trimester ketiga dapat dipertimbangkan untuk memilih
UFH. Apabila persalinan telah direncanakan seperti sectio caesaria atau
persalinan dengan induksi, maka terapi LMWH harus dihentikan 24 jam sebelum
rencana persalinan.

Anestesi regional atau teknik analgesik tidak boleh dilakukan hingga 24 jam
setelah dosis terapi LMWH terakhir. Low molecular weight heparin (LMWH)
tidak boleh diberikan 4 jam setelah anestesi spinal atau setelah pelepasan kateter
epidural, dan kateter epidural ini tidak boleh dilepas dalam 12 jam setelah
injeksi.6

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 72


5. Terapi Antikoagulan Postpartum

Terapi antikoagulan diberikan selama periode kehamilan sampai paling tidak 6


minggu postpartum. Untuk terapi postpartum bisa diberikan LMWH atau terapi
oral, setelah didiskusikan bahwa perlu pemeriksaan laboratorium secara berkala.
Terapi warfarin postpartum perlu dihindari sampai paling tidak hari ke-5 atau
lebih lama bagi wanita yang mempunyai risiko perdarahan postpartum tinggi.5,6

F. PROFILAKSIS TEV PADA KEHAMILAN DAN PUERPERA


1. Latar Belakang dan Epidemiologi

Emboli paru (EP) merupakan penyebab kematian langsung pada ibu. Di Inggris,
tindakan penurunan kematian antenatal akibat TEV yang dilakukan secara luas
dilaporkan dapat menurunan secara signifikan angka kematian matenal akibat EP,
yaitu dari 1,56 per 100.000 (tahun 2003–2005) menjadi 0,7 per 100.000 (tahun
2006–2008).13,14

2. Penilaian Faktor Risiko Kehamilan dan Puerpera

Semua wanita perlu dilakukan penilaian risiko TEV pada awal kehamilan atau
pra-kehamilan (Tabel 7.3). Penilaian faktor risiko ini perlu diulang apabila wanita
ini masuk rumah sakit disebabkan oleh kondisi apapun, atau timbul masalah pada
waktu yang bersamaan. Begitu juga penilaian risiko perlu diulang kembali pada
saat inpartu dan segera setelah postpartum.15

3. Tromboprofilaksis

a. Tromboprofilaksis Selama Kehamilan

Waktu untuk Memulai Tromboprofilaksis

i. Pada wanita dengan riwayat TEV, tromboprofilaksis antenatal dimulai


sedini mungkin dari kehamilan.15
ii. Pada wanita tanpa riwayat TEV dan tanpa faktor risiko pada trimester
pertama atau perawatan di rumah sakit, tetapi dengan empat faktor risiko

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 73


lain, perlu dipertimbangkan untuk pemberian profilaksis antenatal selama
kehamilannya.15
iii. Pada wanita tanpa riwayat TEV dan tanpa faktor risiko pada trimester
pertama atau perawatan di rumah sakit, tetapi dengan tiga faktor risiko lain,
dapat dimulai pemberian pada 28 minggu kehamilan.15

Kapan Tromboprofilaksis Dihentikan selama Persalinan?


i. Pada wanita yang mendapat LMWH pada periode antenatal, apabila telah
terjadi perdarahan per vagina atau persalinan telah diawali, maka LMWH
sebaiknya tidak disuntikkan. Dilakukan penilaian ulang saat masuk rumah
sakit dan dosis selanjutnya ditentukan oleh staf medik rumah sakit.
ii. Prosedur regional perlu dihindari hingga minimal 12 jam dari dosis
profilaksis LMWH sebelumnya.
iii. LMWH tidak diberikan untuk waktu 4 jam setelah penggunaan anestesi
spinal atau setelah melepas kateter epidural, dan kateter tidak boleh dilepas
dalam waktu 12 jam dari injeksi LMWH yang terakhir. Apabila wanita
datang dalam terapi LMWH maka prosedur regional harus dihindari
minimal 24 jam setelah dosis terakhir LMWH.
iv. Pada wanita yang mendapat LMWH antenatal dan direncanakan untuk
sectio caesaria elektif, maka dosis tromboprofilaksis LMWH diberikan pada
hari sebelum persalinan. Pada hari persalinan, dosis pagi hari dihapus.
v. Dosis tromboprofilaksis LMWH diberikan kembali segera setelah persalinan
apabila tidak ada perdarahan postpartum, serta sudah tidak menggunakan
analgesi regional.
vi. Jika ada risiko perdarahan seperti perdarahan antepartum mayor,
koagulopati, hematoma yang progresif, dugaan ada perdarahan intra-
abdominal dan perdarahan postpartum, maka dapat diberikan stoking anti-
emboli, atau intermittent pneumatic compression (IPC). Unfractionated
heparin (UFH) dapat dipertimbangkan untuk diberikan.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 74


Tabel 7. 3 Pengkajian Risiko TEV pada Kehamilan15
Faktor risiko Skor
Faktor risiko yang telah ada sebelumnya (pre-existing)
Riwayat TEV sebelumnya (kecuali kejadian TEV tunggal terkait operasi mayor) 4
Riwayat TEV sebelumnya yang diprovokasi oleh operasi mayor 3
Memiliki trombofilia risiko tinggi 3
Komorbiditas medis, misalnya: kanker, gagal jantung, SLE aktif, poliartropati inflamasi atau
IBD, sindrom nefrotik, DM tipe 1 dengan nefropati, sickle cell disease, dan saat ini sedang
menggunakan obat intravena 3
Riwayat keluarga TEV tanpa provokasi atau terkait estrogen pada kerabat tingkat pertama 1
Diketahui risiko rendah trombofilia (tanpa TEV)a 1
Usia >35 tahun 1
b
Obesitas 1 atau 2
Paritas ≥3 1
Perokok 1
Varises vena besar 1
Faktor risiko obstetrik
Preeklamsia pada kehamilan saat ini 1
ART/IVF (hanya antenatal) 1
Kehamilan ganda 1
Sectio caesaria sewaktu persalinan 2
Sectio caesaria elektif 1
Mid-cavity atau rotational operative delivery 1
Persalinan lama (>24 jam) 1
Perdarahan postpartum (>1 liter atau memerlukan transfusi) 1
Persalinan preterm <37 minggu pada kehamilan ini 1
Stillbirth pada kehamilan ini 1
Faktor risiko tidak menetap (transient)
Setiap operasi pada kehamilan atau masa nifas kecuali reparasi pada perineum, misalnya
apendiktomi, sterilisasi postpartum 3
Hiperemesis 3
Sindrom hiperstimulasi ovarium (hanya pada trimester pertama) 4
Infeksi sistemik 1
Imobilisasi 1
Dehidrasi 1
Keterangan: ART = assisted reproductive technology; IVF = in vitro fertilization; SLE= systemic lupus
erythematosus. Total skor antenatal ≥4 = tromboprofilaksis diberikan mulai trimester pertama; total skor
antenatal 3 = tromboprofilaksis mulai minggu ke 28; total skor post-natal ≥2 = pertimbangkan
tromboprofilaksis setidaknya selama 10 hari. aJika diketahui adanya risiko rendah trombofilia pada
wanita dengan riwayat keluarga TEV pada kerabat tingkat pertama, profilaksis postpartum harus
dilanjutkan sampai 6 minggu. bIMT ≥30 = 1; IMT ≥40 = 2.
Rawat inap di rumah sakit antenatal, pertimbangkan tromboprofilaksis; perawatan lama (≥3 hari) atau re-
admisi ke rumah sakit pada masa nifas, dipertimbangkan tromboprofilaksis; pasien dengan risiko
perdarahan, pertimbangan risiko perdarahan dan trombosis harus dikonsultasikan kepada hematologis
yang ahli dalam bidang trombosis dan perdarahan pada kehamilan.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 75


vii. Apabila sewaktu dalam terapi LMWH terjadi masalah perdarahan, segera
LMWH dihentikan dan dikonsultasikan kepada ahli hematologi.
Tromboprofilaksis diberikan kembali segera setelah risiko perdarahan
menurun.

Ringkasan pemberian tromboprofilaksis pada wanita dengan riwayat TEV dan/atau


trombofilia ditampilkan pada Tabel 7.4.

Tabel 7. 4 Ringkasan Pedoman Tromboprofilaksis pada Wanita dengan Riwayat TEV dan/Atau
Trombofilia Sebelumnya15

Kategori risiko Tata laksana


Risiko sangat tinggi
Riwayat TEV sebelumnya pada penggunaan Diberikan LMWH dosis tinggi setidaknya
terapi antikoagulan sampai 6 minggu postnatal atau sampai
dapat diganti ke terapi antikoagulan oral
Defisiensi antitrombin Wanita ini membutuhkan penanganan
Sindrom antifosfolipid dengan riwayat TEV spesialistik oleh ahli hemostasis dan
sebelumnya kehamilan
Risiko tinggi
Riwayat TEV (kecuali TEV tunggal terkait Profilaksis LMWH selama antenatal sampai
operasi mayor) 6 minggu postnatal
Risiko sedang
Trombofilia risiko tingi seperti FV Leiden Rujuk ke ahli setempat
homozigot/defisiensi protein C dan protein S Pertimbangkan LMWH antenatal
heterozigot Direkomendasikan profilaksis LMWH
postnatal selama 6 minggu
Riwayat TEV tunggal sebelumnya terkait operasi Dipertimbangkan LMWH antenatal (tidak
mayor tanpa trombofilia, riwayat keluarga, atau rutin)
faktor risiko lainnya Direkomendasikan LMWH selama 28
minggu kehamilan dan profilaksis 6 minggu
postnatal
Risiko rendah
Trombofilia risiko rendah asimtomatik (mutasi Dipertimbangan faktor risiko dan skor yang
gen protrombin atau FV Leiden) sesuai
Direkomendasikan LMWH profilaksis 10
hari jika terdapat faktor risiko postpartum
(atau 6 minggu jika terdapat riwayat
keluarga)

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 76


b. Tromboprofilaksis selama Persalinan

Penilaian risiko maternal untuk pemberian tromboprofilaksis ditampilkan pada


Gambar 7.3.

RISIKO SEDANG
Pertimbangkan profilaksis antenatal
dengan LMWH

Gambar 7. 3 Pengkajian Risiko Maternal untuk Tromboprofilaksis dan Penanganan Antenatal15

c. Tromboprofilaksis setelah Persalinan


i. Dilakukan penilaian faktor risiko paska melahirkan (Gambar 7.4). Obesitas
dan usia >40 tahun merupakan faktor risiko TEV penting periode
postpartum. Beberapa faktor risiko tambahan yang berhubungan dengan

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 77


tromboprofilaksis pospartum adalah: persalinan lama, imobilitas, infeksi,
perdarahan, dan tranfusi darah.15 Infeksi puerpera mempunyai OR untuk EP
4,1 dan OR untuk TVD 6,1. Transfusi darah mempunyai OR untuk EP 4,5
dan OR untuk TVD 3,6.16 Lahir mati (stillbirth) dan lahir belum cukup
bulan (preterm) juga merupakan faktor risiko TEV yang cukup kuat.17
ii. Wanita dengan riwayat TEV perlu diberi tromboprofilaksis postpartum
dengan LMWH atau warfarin minimal selama 6 minggu tanpa tergantung
cara persalinan.15
iii. Wanita dengan trombofilia tanpa riwayat TEV perlu dilakukan stratifikasi
berdasarkan tingkat trombofilia, ada atau tidak ada riwayat keluarga, atau
faktor lain. Wanita yang mempunyai riwayat keluarga TEV perlu
dipertimbangkan tromboprofilaksis 6 minggu postpartum.15
iv. Semua wanita yang menjalani sectio caesaria perlu diberi tromboprofilaksis
dengan LMWH selama 10 hari.15
v. Lama pemberian tromboprofilaksis postpartum pada risiko tinggi selama 6
minggu dan 10 hari untuk faktor risiko menengah.
vi. Pada wanita dengan tambahan faktor risiko persisten (berlangsung lebih dari
10 hari postpartum), seperti perawatan yang lama dan infeksi luka operasi,
maka tromboprofilaksis bisa dilanjutkan hingga 6 minggu atau hingga faktor
risiko tambahan sudah tidak ada lagi.
vii. Wanita dengan riwayat TEV perlu tromboprofilaksis selama 6 minggu tanpa
memandang jenis persalinan. Wanita dengan trombofilia tanpa riwayat TEV
perlu dikelompokkan menurut beratnya trombofilia serta ada atau tidaknya
riwayat keluarga atau faktor risiko lain. Pada wanita dengan riwayat TEV
dalam keluarga dan diidentifikasi ada trombofilia, maka dipertimbangkan
pemberian profilaksis postpartum selama 6 minggu.15

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 78


RISIKO SEDANG
Profilaksis dengan LMWH post-natal
setidaknya selama 10 hari
Jika faktor risiko menetap > 3,
tromboprofilaksis LMWH dapat
diperpanjang

Gambar 7. 4 Pengkajian Risiko Maternal untuk Tromboprofilaksis dan Penanganan Postnatal 15

4. Obat untuk Tromboprofilaksis

a) LMWH merupakan pilihan untuk tromboprofilaksis, baik antenatal maupun


postnatal. Dosis pemberian LMWH ditampilkan pada Tabel 7.5.
b) Pada wanita dengan risiko TEV sangat tinggi, UFH lebih dipilih dibanding
LMWH pada periode postpartum dimana terdapat peningkatan risiko

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 79


perdarahan atau teknik anestesi regional diperlukan. Jika UFH dipergunakan
setelah sectio caesaria (atau operasi apapun), hitung trombosit harus
dievaluasi setiap 2-3 hari sejak hari ke 4-14 atau sampai heparin dihentikan.
c) Fondaparinux hanya digunakan bagi wanita yang tidak toleran terhadap
heparin. Oleh karena studi kepustakaan mengenai fondaparinux pada
kehamilan terbatas dan fondaparinux dapat masuk ke dalam sirkulasi janin,
maka penggunaan fondaparinux pada kehamilan harus disertai konsultasi
dengan ahli hematologi dan kebidanan yang berpengalaman dalam hemostasis
dan kehamilan.
d) Aspirin dosis rendah tidak direkomendasikan sebagai tromboprofilaksis pada
pasien obstetri.
e) Warfarin dapat melewati plasenta dan meningkatkan risiko abnormalitas
kongenital, yakni embriopati warfarin (hypoplasia nasal bridge, congenital
heart defect, ventriculomegaly, agenesis corpus callosum, stippled epiphyses)
pada sekitar 5% fetus yang terpapar antara 6–12 minggu kehamilan. Kejadian
ini dipengaruhi dosis, yaitu kejadian lebih tinggi pada wanita yang
menggunakan dosis lebih dari 5 mg/hari. Komplikasi lain yaitu berupa
meningkatnya kejadian abortus, lahir mati, problem neurologi pada bayi, serta
perdarahan fetal maupun maternal.
f) Penggunaan warfarin sangat terbatas pada kondisi tertentu saja, misalnya pada
wanita dengan katup jantung mekanis.
g) Wanita yang mendapat terapi warfarin jangka panjang dapat dikonversikan
dari LMWH ke warfarin selama postpartum jika risiko perdarahan sudah

Tabel 7. 5 Dosis Tromboprofilaksis yang Dianjurkan untuk LWMH Anatenatal dan Postnatal15

Berat badan Dosis enoxaparin


<50 kg 20 mg/hari
50–90 kg 40 mg/hari
91–130 kg 60 mg/hari
131–170 kg 80 mg/hari
>170 kg 0,6 mg/kg/hari
Dosis tinggi profilaksis untuk wanita dengan berat badan 50–90 kg 40 mg/12 jam

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 80


berkurang, biasanya 5-7 hari setelah persalinan. Warfarin aman untuk ibu
yang menyusui.
h) Inhibitor trombin dan Xa atau antikoagulan oral non-vitamin K antagonis
(DOAC) tidak diperbolehkan pada wanita hamil atau menyusui.
i) Stoking kompresi apabila ukuran tepat dapat memberi kompresi secara
bertingkat dengan tekanan pada betis 14–15 mmHg. Penggunaan stoking ini
direkomendasikan pada wanita hamil dan puerpera yang dirawat di rumah
sakit dan mempunyai kontraindikasi terhadap LMWH.

5. Kontraindikasi Penggunaan LMWH

Kontraindikasi penggunaan LMWH adalah sebagai berikut:15

a) Terdapat penyakit perdarahan (hemofilia, penyakit von Wilebrand, atau


koagulopati didapat lainnya)
b) Perdarahan aktif pada saat antenatal atau postnatal
c) Ada risiko terjadi perdarahan mayor (misalnya plasenta previa)
d) Trombositopenia (trombosit <75 x 109/L)
e) Stroke akut dalam tempo 4 minggu sebelumnya (stroke perdarahan ataupun
iskemik)
f) Penyakit ginjal berat (laju filtrasi ginjal/LFG <30 mL/menit/1,73 m2)
g) Penyakit hati berat (prothombin time/PT di atas rentang normal atau terdapat
varises esofagus) atau penyakit hati child pugh B dan C
h) Hipertensi tidak terkendali, yaitu tekanan darah sistolik >200 mmHg atau
diastolik >120 mmHg)

DAFTAR PUSTAKA

1. Morris JM, Algert CS, Roberts CL. Incidence and risk factors for pulmonary embolism in the
postpartum period. J Thromb Haemost. 2010;8:998-1003.
2. Biron Andreani C. Venous thromboembolic risk in postpartum. Phlebolymphology. 2013;20:165-
2004.
3. Arya R. How I Manage venous thromboembolism in pregnancy. Br J Haematol. 2011;153:698-
708.
4. Greer IA. Pregnancy complicate by venous thrombosis. N Engl J Med. 2015;373:540-7.
5. Kent N, Leduc L, Crane J, Farine D, Hodges S, Kent N, et al. Prevention and treatment of venous
thromboembolism in obstetrics. SOGC clinical practice guidelines. J SOGC. 2000;95:1-7.
6. Royal College of Obstetricians & Gynaecologist. Thromboembolic disease in prenancy and
puerperium. Acute management. Green-top guideline No. 37b. London: Royal College of
Obstetricians & Gynaecologist; 2015. p.1-32.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 81


7. Heit JA, Kobbervig CE, James AH, et al. Trends in the incidence of venous thromboembolism
during pregnancy or postpartum: a 30 year population-based study. Ann Intern M. 2005;143:697-
706.
8. Toglia MR, Weg JG. Venous thromboembolism during pregnancy. N Engl J Med. 1996;335:108-
14.
9. James AH, Jamison MG, Brancazio LR, Myers ER. Venous thromboembolism during pregnancy
and the postpartum period: incidence, risk factors, and mortality. Am J Obstet Gynecol.
2006;194:1311–5.
10. Simpson EL, Lawrenson RA, Nightingale AL, Farmer RD. Venous thromboembolism in
pregnancy and the puerperium: incidence and additional risk factors from London perinatal data
base. Br J Obstet Gynaecol. 2001;108:56-60.
11. Hellgren M. Hemostasis during normal pregnancy and puerpuerium. Semin Thromb Hemost.
2003;29:125-30.
12. Millar CM, Laffan M. Hemostatic changes in normal pregnancy. Dalam: Cohen H, O’Brien P,
editors. Disorders of thrombosis and hemostasis in pregmancy: a guide to management. Edisi ke-
2. Springer-Verlag; London; 2015.
13. Lewis EG. The seventh report on confidential enquiries into maternal death in the United
Kingdom. London: CEMACH; 2007.
14. Cantwell R, Clutton-Brock T, Cooper G, Dawson A, Drife J, Garrod D, et al. Saving mother’s
lives: reviewing maternal deaths to make motherhood safer. BJOG. 2011;118:1-203.
15. Royal College of Obstetricians & Gynaecologist. Reducing the risk of venous thromboembolism
during pregnancy and the puerpuerium. Green-top guideline No.37a. London: Royal College of
Obstretricians & Gynaecologist; 2015. p.1-40.
16. Liu S, Rouleau J, Joseph KS, Sauve R, Liston RM, Young D, et al. Maternal health study group of
the Canadian perinatal surveillance system. Epidemiology of pregnanvy-associated venous
thromboembolism: a population-based study in Canada. J Obstet Gynaecol Can. 2009;31:611–20.
17. Sultan AA, Tata IJ, West J, Fiaschi L, Fleming KM, Nelson-Piercy C, et al. Risk factors for the
venous thromboembolism around pregnancy: a population-based cohort study from the United
Kingdom. Blood. 2013;121:3953– 61.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 82


BAB VIII

OBAT ANTIKOAGULAN

Budi Setiawan, Mediarti Syahrir, Karmel L. Tambunan

A. PENDAHULUAN

Antikoagulan merupakan obat utama untuk mencegah dan terapi trombosis.


Unfractionated heparin (UFH), low molecular weight heparin (LMWH),
fondaparinux, dan warfarin telah digunakan secara luas untuk terapi trombosis.
Antikoagulan oral baru telah muncul dan diharapkan dapat menggantikan obat yang
telah ada sebelumnya dengan kemudahan penggunaan dan profil farmakodinamik
yang lebih baik. Perdarahan adalah efek samping yang utama dari penggunaan
antikoagulan. Dengan demikian, penting bagi dokter untuk memiliki pemahaman
yang baik tentang farmakologi, dosis, dan toksisitas antikoagulan.1

B. KLASIFIKASI

Obat antikoagulan dibagi menjadi dua, yaitu antikoagulan parenteral dan oral.

1. Antikoagulan parenteral
a) UFH
b) LMWH (enoxaparin, nadroparin)
c) Fondaparinux.

2. Antikoagulan oral
a) Antagonis vitamin K (menghambat sintesis faktor II, VII, IX, dan X)
b) Inhibitor trombin (dabigatran)
c) Inhibitor faktor Xa (apixaban, edoxaban, rivaroxaban).

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 83


C. OBAT-OBAT ANTIKOAGULAN

1. Heparin

a. Indikasi

Pengobatan pada TVD dan EP, profilaksis TVD pada pasien dengan penyakit
medik, pada bedah umum, dan profilaksis TVD pada pembedahan (dengan
riwayat TVD sebelumnya).1, 2

b. Farmakokinetik

Heparin tidak diabsorpsi di gastrointestinal sehingga diberikan secara


subkutan atau intravena. Heparin dimetabolisme di hati dengan rerata waktu
paruh 1 jam. Metabolit inaktif dieksresi melalui urin.1

c. Farmakodinamik

Menghambat pembentukan faktor XIIa, IXa, Xa, Xia, dan IIa (trombin)
dengan meningkatkan aktivitas antitrombin.1

d. Dosis

i. Terapi: 80 Unit/kgBB intravena bolus kemudian 18 Unit/kgBB/jam


intravena infus kontinyu
ii. Profilaksis: 5000 Unit subkutan setiap 12 jam (atau setiap 8 jam untuk
pasien obesitas)
iii. Tidak ada penyesuaian dosis berdasarkan derajat gangguan ginjal.1

e. Monitoring

Monitoring dengan aPTT dan tidak ada penyesuaian dosis pada pasien gagal
ginjal. Diperiksa setiap 12 jam untuk menentukan dosis dengan target aPTT
1,5–2,5 kali kontrol atau sesuai dengan kondisi pasien.3

f. Perhatian Khusus terhadap Pasien dengan Kondisi Tertentu1

Beberapa kondisi yang harus menjadi perhatian khusus yaitu:


i. Reaksi tipe alergi atau hipersensitif
ii. Gangguan perdarahan kongenital atau didapat
iii. Kateter epidural
iv. Ulkus gastrointestinal dan sedang drainage usus kecil atau lambung
v. Penyakit hati dengan gangguan hemostasis
vi. Defisiensi AT III herediter
vii. Menstruasi

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 84


viii. Risiko delayed onset heparin-induced trombocytopenia (HIT) dan
heparin-induced trombocytopenia and thrombosis (HITT).1

2. Low Molecular Heparin (LMWH)

a. Indikasi

Terapi tromboemboli vena, profilaksis tromboemboli vena. 1, 4

b. Farmakokinetik

Bioavailabilitas LMWH meningkat setelah injeksi subkutan, dosis tergantung


pada bersihan ginjal, serta waktu paruh yang lebih lama (4,5-7 jam) apabila
dibandingkan dengan UFH. Aktivitas puncak anti-Xa adalah 3-5 jam setelah
injeksi.5

c. Farmakodinamik

Menghambat aktivitas faktor IIa dan Xa.4

d. Dosis

Enoxaparin1

Terapi tromboemboli vena

i. 1 mg/kgBB subkutan (sc) setiap 12 jam per hari atau


ii. 1,5 mg/kgBB sc setiap 24 jam
iii. Untuk gagal ginjal (CrCl <30 mL/menit): 1 mg/kgBB sc setiap 24 jam
iv. Tidak direkomendasikan untuk CrCl <15 mL/menit.

Profilaksis TEV pada Pasien dengan Penyakit Medis atau Pasien Bedah

i. 40 mg sc setiap 24 jam
ii. Untuk gagal ginjal (CrCl <30 mL/menit): 1 mg/kgBB sc setiap 24 jam.

Profilaksis Tromboemboli Vena pada Pasien Trauma

i. 30 mg sc setiap 12 jam, atau


ii. 40 mg sc setiap 24 jam.1

Nadroparin6, 7

i. Terapi TEV = 86 IU/kgBB setiap 12 jam atau 171 IU/kgBB setiap 24 jam
ii. Profilaksis TEV = 2850 U sc setiap hari.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 85


e. Monitoring

i. Tidak perlu monitoring kadar anti Xa secara rutin pada pemberian


LMWH, kecuali pada kasus tertentu seperti pasien dengan insufisiensi
ginjal, pada pasien dengan riwayat perdarahan, atau studi koagulasi yang
tidak normal, kehamilan, obesitas atau pasien dengan berat badan yang
rendah, dan anak-anak
ii. Pemeriksaan trombosit serial
iii. Serum kreatinin
iv. Gejala dan tanda perdarahan.1

f. Heparin-Induced Thrombocytopenia1

i. Dinilai dengan sistem skor 4T (Tabel 8.1)8


ii. HIT dicurigai bila sesudah 5-12 hari terjadi penurunan trombosit lebih dari
50%
iii. Monitor kejadian HIT dengan pemeriksaan darah perifer lengkap pada
awal terapi dan selanjutnya setiap 3 hari.
iv. Pemeriksaan antibodi HIT tidak diperlukan jika tidak ditemukan
trombositopenia, trombosis, heparin-induced skin lesions, atau gejala lain
yang dicurigai diagnosis HIT
v. Penanganan: hentikan pemberian heparin, dapat diganti dengan
antikoagulan lain non heparin, contohnya fondaparinux dan DOAC.

g. Perhatian Khusus terhadap Pasien dengan Kondisi Tertentu1

Beberapa kondisi yang harus menjadi perhatian khusus yaitu:


i. Kateter epidural
ii. Baru saja tindakan bedah spinal atau operasi mata intraokular
iii. Riwayat perdarahan mayor (gastrointestinal, intrakranial, dll.)
iv. Gangguan perdarahan kongenital atau didapat
v. Endokarditis bakterial
vi. Riwayat HIT
vii. Penyakit hati
viii. Gangguan ginjal (CrCl <30 mL/min), pertimbangkan UFH
ix. Pemakaian bersamaan dengan obat antitrombotik
x. Retinopati diabetika
xi. Hipertensi tidak terkontrol.1

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 86


Tabel 8. 1 Sistem Skor 4T untuk Memprediksi Adanya HIT 8

Kategori 4T 2 poin 1 poin 0 poin


Trombositopenia Hitung trombosit turun Hitung trombosit turun Hitung trombosit
>50% dan trombosit 30-50% atau trombosit turun <30% atau
terendah ≥20 terendah 10-19 trombosit terendah
<10
Waktu turunnya hitung Onset pada hari 5-10 atau Konsisten dengan Penurunan
trombosit trombosit turun dalam ≤1 penurunan pada hari 5-10, trombosit ≤4 hari
hari (paparan heparin tapi tidak jelas (misalnya, tanpa paparan
sebelumnya dalam 30) data hitung trombositnya heparin
hilang); onset setelah hari
10; atau penurunan ≤1
hari (paparan heparin 30-
100 hari sebelumnya)
Kejadian trombosis Trombosis baru Trombosis yang progresif Tidak ada
atau sekuel lainnya (terkonfirmasi); nekrosis atau berulang; lesi kulit
kulit; reaksi sistemik akut non-necrotizing
pasca injeksi bolus UFH (eritematosus); sangkaan
trombosis (tidak terbukti)
Penyebab lain Tidak ada Ada kemungkinan Jelas ada penyebab
trombositopenia lain
Keterangan: skor 4T merupakan penjumlahan dari nilai masing-masing kategori. Skor 1–3
menunjukkan kemungkinan rendah, skor 4–5 menunjukkan kemungkinan intermediet, sedangkan skor
6–8 kemungkinan tinggi tehadap HIT.

3. Fondaparinux

a. Indikasi

Pengobatan pada TVD dan emboli paru, profilaksis TVD pada bedah umum,
dan pasien dengan kondisi medis akut.1

b. Farmakokinetik

Waktu paruh 17-21 jam dan diekskresikan melalui urin.5

a. Farmakodinamik

Menghambat faktor Xa dan pembentukan trombin.1, 4

d. Dosis 1, 5

i. Dosis terapi untuk TVD: 5 mg sc/hari untuk BB <50 kg; 7,5 mg sc/hari untuk
BB <50-100 kg; dan 10 mg sc/hari untuk BB >100 kg
ii. Dosis profilaksis TVD: 2,5 mg sc/hari
iii. Dosis untuk gagal ginjal: CrCl 50–80 mL/min atau penurunan klirens total
25% = pertimbangkan penurunan dosis; CrCl 30–50 mL/min atau penurunan
klirens total 40% = pertimbangkan penurunan dosis; CrCl <30 mL/min—
kontraindikasi pemberian.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 87


e. Monitoring

i. Hitung darah lengkap


ii.Kreatinin serum
iii.
Gejala dan tanda pendarahan
iv.Kadar Anti-Xa pada pasien dengan gangguan ginjal signifikan, pasien
yang mengalami pendarahan atau memiliki parameter koagulasi abnormal,
wanita hamil, obesitas, dan anak-anak
v. Fungsi hati 1

f. Kontraindikasi1

i. Kateter epidural
ii. Baru saja menjalani operasi spinal atau mata
iii. Riwayat pendarahan mayor (saluran gastrointestinal, intrakranial)
iv. Gangguan pendarahan kongenital atau didapat

Perbandingan farmakologi heparin dan derivatnya ditampilkan pada Tabel 8.2


berikut.
Tabel 8. 2. Perbandingan farmakologi heparin dan derivatnya1

Farmakologi Heparin LMWH Fondaparinux


Sumber Biologis Biologis Sintetis
Berat molekul (Da) 15.000 5.000 1.500
Target Xa = Iia Xa > Iia Xa
Bioavaibilitas (%) 30 90 100
Waktu paruh (jam) 1 4 17
Ekskresi ginjal Tidak Ya Ya
Reversal protamin Lengkap Parsial –
Insidensi HIT (%) < 5% < 1% –
Keterangan: HIT= heparin-induced trombocytopenia

4. Anti Vitamin K (Warfarin)

a. Indikasi

Terapi TEV, pencegahan TEV primer dan sekunder, pencegahan emboli


sistemik pada pasien dengan katub jantung prostetik atau atrial fibrilasi.1, 4

b. Farmakokinetik

Absorbsi antagonis vitamin K dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor


lingkungan (diet, interaksi obat, penyakit kritis, dan lain sebagainya).1 Ekskresi
warfarin melalui sistem bilier sehingga aman diberikan pada penderita gagal
ginjal. Waktu paruh warfarin adalah 32 jam.1,9

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 88


c. Farmakodinamik

Menghambat sintesis faktor pembekuan yang tergantung vitamin K (faktor II,


VII, IX, X). Warfarin juga menurunkan kadar protein C dan protein S.1,9

d. Dosis

i. Terapi TEV: dosis awal 2,5-10 mg po setiap 24 jam, dititrasi sampai dengan
kadar international normalized ratio (INR) 2-3 dengan target 2,5.1
ii. Pertimbangkan dosis lebih rendah pada pasien lansia, pasien dengan
gangguan nutrisi, gagal hati, gagal jantung kongestif, atau dengan risiko
tinggi perdarahan.4
iii. Tidak ada penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal.4

e. Monitoring

i. Pemeriksaan INR pada hari ke-3 selanjutnya setiap 3-4 hari


ii. Dosis warfarin disesuaikan dengan tabel monitoring warfarin (lihat Tabel
8.3).
iii. Tanda dan gejala perdarahan
iv. Pemeriksaan darah lengkap
v. Pemeriksaan prothrombin time (PT)/INR.1

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 89


Tabel 8. 3 Penyesuaian dosis warfarin berdasarkan INR4

INR Penyesuaian Dosis


<2,0 Dinaikkan dosis 10-20% setiap minggu
2-3 Tidak ada penyesuaian dosis
3,1-4,0 Dosis diturunkan 10%-20%
4,1-6,0 Hentikan terapi 1 dosis kemudian terapi dimulai lagi dengan dosis yang lebih
rendah (10%-20%)
6,1-10 Hentikan terapi 2 dosis dan cek ulang INR dalam 24 jam
>10 Hentikan warfarin dan berikan vitamin K 2,5 mg, ulangi INR dalam 48 jam
Keterangan: INR = international normalized ratio

f. Perhatian Khusus terhadap Pasien dengan Kondisi Tertentu1


Tabel 8.4 Kondisi Pasien yang Perlu Mendapatkan Perhatian Khusus

No Kondisi
1 Pasien yang lemah dan malnutrisi (dosis awal lebih rendah, <5 mg)
2 Pasien dengan gagal jantung kongestif
3 Penyakit hati
4 Pasien baru saja pembedahan mayor, atau mendapat obat yang meningkatkan
sensitifitas terhadap warfarin
5 Penyakit serebrovaskular
6 Penyakit jantung coroner
7 Variasi genetik CYP2C9 and VKORC1
8 Hipertensi sedang-berat
9 Keganasan
10 Gangguan hati
11 Trauma baru
12 Collagen vascular disease
13 Kondisi yang meningkatkan risiko perdarahan
14 Diabetes yang berat
15 Makanan yang banyak mengandung vitamin K (sayuran hijau, teh hijau, hati, dan lain-
lain)
16 Orang tua atau pasien yang lemah (diberikan dosis yang lebih rendah)
17 Hipertiroidisme/hipotiroidisme
18 Kateter epidural
19 Penyakit infeksi atau gangguan flora intestinal, seperti sprue atau terapi antibiotika
20 Status nutrisi yang rendah
21 Defisiensi protein C
22 Heparin-induced thrombocytopenia

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 90


g. Interaksi Obat

Warfarin berinteraksi dengan obat-obat yang dapat meningkatkan atau


mengurangi efek dari obat tersebut (Tabel 8.5).10

Tabel 8. 5 Interaksi Warfarin dengan Obat Lain10

Meningkatkan efek antikoagulan Menurunkan efek antikoagulan

Alopurinol Barbiturat
Amiodaron Bosentan
Asetaminofen Karbamazepin
Aspirin Klordiazepoksid
Azitromisin Gingseng
Citalopram Griseofulvin
Diltiazem Mercaptopurine
Entacapone Nafcillin
Eritromisin Fenobarbital
Fenofibrat Ribavarin
Flukonazol Sekobarbital
Fluvastatin Suplemen multivitamin
Gemsitabin Fenitoin
Gemfibrozil
Klaritromisin
Klopidogrel
Kotrimoksazol
Levofloksasin
Lovastatin
Metronidazol
Mikonazol
Omeprazol
Propafenone
Propanolol
Selective serotonine reuptake inhibitor (SSRI)
Simetidin
Simvastatin
Siprofloksasin
Siprofloksasin
Tamoksifen
Tetrasiklin
Tramadol

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 91


5. Direct Oral Anticoagulant (DOAC)

a. Rivaroxaban

Indikasi

i. Mencegah TEV pasca-operasi (misalnya pada THA, TKA, HRS)


ii. Pengobatan TVD dan EP.1

Farmakokinetik

Rivaroxaban diabsorpsi secara optimal melalui traktus gastrointestinal.


Bioavaibilitasnya sangat tinggi (80%), kadar puncak dalam plasma dapat
dicapai dalam waktu 2 jam. Waktu paruh antara 6-8 jam pada orang dewasa
dan mencapai 12 jam pada orang tua. Rivaroxaban dimetabolisme di liver
melalui mekanisme yang tidak tergantung enzim sitokrom P450, tapi
tergantung P3A4. Ekskresi dari komponen aktif rivaroxaban melalui ginjal
sebanyak 33%, sementara 66 sisanya melalui fekal-bilier dengan berinteraksi
pada P-glikoprotein.9

Farmakodinamik

Rivaroxaban bekerja dengan aksi inhibisi kompetitif secara langsung dan


spesifik terhadap faktor Xa.1, 3, 9

Dosis

i. Terapi: 15 mg 2 kali sehari per oral selama 3 minggu, dilanjutkan 20 mg


per oral atau 15 mg/hari apabila CrCl 30-49 mL/menit (tidak boleh
diberikan jika CrCl < 30 mL/menit)5
ii. Profilaksis: bedah ortopedi = 10 mg/hari per oral selama 14 hari untuk
operasi lutut dan 35 hari untuk operasi panggul.1

Monitoring

Tidak memerlukan monitoring.1, 9

Kontraindikasi1

i. Anestesi atau pungsi spinal/epidural


ii.CrCl <15 mL/min pada AF nonvalvular
iii.
CrCl <30 mL/min pada terapi atau pencegahan TVD dan EP
iv.Inducer atau inhibitor P-gp (obat-obat inhibitor pompa proton, kalsium
antagonis)
v. Inducer atau inhibitor CYP3A4 (penghambat MAO).

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 92


b. Dabigatran

Indikasi

Terapi TVD, EP, profilaksis stroke, dan emboli sistemik.1, 9

Farmakokinetik

Dabigatran etexilate mesylate adalah prodrug. Setelah pemberian per oral,


plasma non spesifik dan esterase hati menghidrolisis senyawa ini menjadi
antikoagulan dabigatran yang aktif. Dabigatran dieliminasi melalui filtrasi
ginjal, 80% dari dosis yang diekskresikan tidak berubah dalam urin. Waktu
paruh eliminasi dabigatran menjadi sangat panjang pada pasien dengan
disfungsi ginjal berat.1, 4

Farmakodinamik

Dabigatran adalah inhibitor trombin direk yang bersifat reversibel, secara


kompetitif mengikat tempat aktif trombin. Selanjutnya, dabigatran secara tidak
langsung mengaktifkan efek antitrombosit dengan mengurangi dampak
trombin pada peningkatan aktivasi dan agregasi trombosit.

Dosis
i. Terapi TVD dan EP: 150 mg po 2 kali sehari setelah pemberian
antikoagulan parenteral 5-10 hari, tidak boleh diberikan pada pasien dengan
CrCl <30 mL/menit dan gangguan fungsi hati dengan kadar transaminase >2
kali ULN.5
ii. Profilaksis stroke dan emboli sistemik: pada non valvular AF = 150 mg po 2
kali sehari (CrCl>30 mL/menit), 75 mg po 2 kali sehari (CrCl 15-30
ml/menit); pada usia >75 tahun dengan risiko perdarahan = 110 mg po 2
kali sehari; operasi panggul dan lutut = 220 mg po 1 kali perhari atau 150
mg 1 kali perhari jika usia >75 tahun. 1,4

Monitoring

Pada kondisi normal tidak memerlukan monitor1

Kontraindikasi1

i. Katup jantung bioprostetik


ii. Inducer dan inhibitor P-gp

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 93


c. Apixaban

Indikasi

Apixaban diindikasikan untuk mengurangi risiko stroke dan emboli sistemik


pada pasien dengan nonvalvular AF.1, 9

Farmakokinetik

Apixaban diabsorpsi melalui traktus gastrointestinal, bioavaibilatasnya 50%.


Kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 2 jam. Waktu paruh setelah
pemberian berulang sekitar 9-14 jam. Obat ini dimetabolisme melalui liver
dan tergantung pada enzim sitokrom P3A4. Ekskresi terutama melalui sistem
bilier (75%), sedangkan ekskresi ginjal sekitar 25%.9

Farmakodinamik

Apixaban merupakan inhibitor Fxa yang selektif dan reversibel. Apixaban


bekerja dengan berikatan pada situs aktif FXa, baik FXa tidak terikat maupun
yang telah berikatan dengan trombin.9

Dosis

Dosis apixaban untuk TVD diberikan 10 mg per oral per 12 jam/hari selama 7
hari dilanjutkan 5 mg per 12 jam dimulai hari ke 8 sampai 6 bulan pemberian.
Untuk mencegah kekambuhan dilanjutkan 2,5 mg per 12 jam selama 6 bulan
setelah dosis terapi.1 Apixaban diberikan 2,5 mg per oral 2 kali sehari pada
usia ≥ 80 tahun, berat badan ≤60 kg, dan serum kreatinin ≥1,5 mg/dL.1, 5

Monitoring

Tidak memerlukan monitoring1

Perbandingan farmakokinetik dan farmakodinamik warfarin dan DOAC


ditampilkan pada Tabel 8.6.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 94


1
Tabel 8. 6 Ringkasan Farmakokinetik dan Farmakodinamik Warfarin dan DOAC di Indonesia

Gambaran Warfarin Dabigatran Rivaroxaban Apixaban


Mekanisme aksi Gamma carboxylatin Menghambat secara selektif, Menghambat secara selektif, kompetitif Menghambat secara selektif,
menghambat faktor koagulan kompetitif dan langsung faktor II dan langsung Faktor Xa kompetitif dan langsung
yang tergantung vitamin K aktif (trombin) Faktor Xa
(II, VII, IX, X)
Prodrug Tidak Ya Tidak Tidak
Berat molekul (Da) 308 628 prodrug (etexilate) 436 548
471 zat aktif
Dosis Menyesuaikan INR Tetap Tetap Tetap
Cara pemberian Satu kali per hari Satu kali perhari (untuk profilaksis Sekali sehari Dua kali sehari
ortopedi); 2 kali/1 kali sehari (untuk
terapi VTE dan non avalvular AF)
Bioavailability (%) 98% 6,5% 80% 90%
Interaksi dengan makanan Ya Tidak Tidak Tidak
Waktu paruh (jam) 32 7-9 jam sesudah dosis pertama 9 jam pada pasien muda 12 jam
12-14 jam setelah dosis multipel 12 jam pada pasien >75 tahun
Ekskresi Sistem bilier-fekal 100% Ginjal 80% Ginjal 66%, 33% tidak berubah bentuk; Ginjal 25%
Sistem bilier-fekal 35% Sistem bilier-fekal 75%
Monitoring koagulasi Ya Tidak Tidak Tidak
Efek pada koagulan Pemanjangan INR Pemanjangan ECT, TT, aPTT Pemanjangan PT, aktivitas anti Xa Pemanjangan PT, Aktivitas
Anti Xa
Interaksi obat Multipel P-gp inhibitor Kombinasi P-gp dan CYP3A4 Tidak
Untuk kehamilan Kontraindikasi mutlak pada Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
trisemester awal dan akhir
kehamilan
Antidot spesifik Ya Tidak Tidak Tidak
PCC
FFP
Vitamin K
Kemungkinan terapi PCC PCC PCC PCC
reversal yang dapat FFP FEIBA
diberikan Vitamin K RaFVII
Dialisis
Keterangan : P-glycoprotein (P-gp) inhibitor = verapamil, claritromisin, kuinidin; cytochrome (CYP) P450 3A4 inhibitor = ketoconazol, antibiotika golongan makrolid, dan
protease inhibitor; PCC = prothrombin complex concentrate; FFP = fresh frozen plasma; FEIBA = factor VIII inhibitor by-passing activity; ra FVII = recombinant activated
factor VII; INR = international normalized ratio; ECT = ecarin clotting time; TT = thrombin time; aPTT = activated partial thromboplastin; PT = prothrombin time.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 95


D. PENATALAKSANAAN PENDARAHAN AKIBAT ANTIKOAGULAN
1. Prinsip Umum Penatalaksanaan Perdarahan terkait Penggunaan Antikoagulan2
Prinsip umum penatalaksanaan perdarahan terkait penggunaan antikoagulan
disingkat dengan HASHTI. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Tabel 8.7 Prinsip umum penatalaksanaan perdarahan terkait penggunaan antikoagulan dengan
HASHTI2

Komponen Keterangan
H = Hold further doses of anticoagulant (Tunda antikoagulan)
A = Consider Antidote (Berikan antidotum)
S = Supportive treatment (Terapi suportif)
Resusitasi dengan cairan intravena
Support hemodinamik dengan pemantauan ketat
dan obat-obat inotropik
H = Local or surgical Hemostatic measures (Upaya hemostasis lokal atau surgical)

Obat antifibrinolitik dapat dipertimbangkan


(asam aminocaproic, asam traneksamat)
T = Transfusion (Transfusi)
Transfusi sel darah merah untuk anemia yang
berat atau bergejala
Transfusi trombosit jika terdapat
trombositopenia (<50 x 109/L) atau pasien
menggunakan obat antiplatelet kerja panjang
I= Investigate for bleeding source (Investigasi sumber perdarahan)

2. Reversal Antikoagulan
Definisi-definisi yang dipergunakan pada situasi reversal antikoagulan meliputi
non-urgent, urgent (tanpa perdarahan), dan urgent (dengan perdarahan). Non-
urgent artinya reversal dilakukan secara elektif (>5 hari sebelum prosedur
operasi). Urgent (tanpa perdarahan) artinya reversal diperlukan dalam hitungan
jam. Urgent (dengan perdarahan) artinya reversal dengan segera.

Obat-obat yang dipergunakan untuk menghentikan pendarahan ditampilkan pada


Tabel 8.8.2

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 96


Tabel 8. 8 Obat-obat yang dipergunakan untuk menghentikan pendarahan2

Obat Dosis Keterangan


Vitamin K 1-10 mg IV/PO - Reaksi pemberian infus jarang; berikan dalam 20-30 menit
- Perlu waktu 6 jam (IV) sampai 24 jam (PO) untuk reversal
warfarin
- Dosis besar dapat menyebabkan resistensi warfarin pada
waktu pemberian ulang
- Pemberian subkutan atau intramuskuler tidak dianjurkan
Protamin sulfat 12,5-50 mg IV - Full reversal UFH
- Reversal 60-80% LMWH
- Tidak mempunyai efek reversal pada fondaparinux
Transfusi 1 unit aferesis - Dipergunakan untuk pasien yang mendapat antiplatelet
trombosit 5-8 unit whole blood - Meningkatkan hitung trombosit 30 x 109/L
- Sasaran hitung trombosit 50-100 x 109/L (tergantung
indikasi)
FFP 10-30 mL/kg (1 unit ~ 250 - Menggantikan semua faktor koagulasi, tapi tidak sepenuhnya
mL) memperbaiki
- Waktu paruh singkat, mungkin diperlukan pengurangan
dosis setelah 6 jam
- Hemostasis memerlukan kadar faktor koagulasi ~ 80%
- FIX hanya dapat mencapai 20%
- Volume besar, membutuhkan waktu 6 jam sebelum
dicairkan (thawed) dan diinfuskan
PCC 25-50 unit/kg IV - Koreksi INR yang cepat dan komplit pada pasien yang
diterapi dengan warfarin
- Volume infus yang kecil selama 10-30 menit
- Risiko trombosis 1,4%; kontraindikasi pada pada pasien
dengan riwayat HIT
- Waktu paruh singkat, perlu pengulangan dosis setelah 6
jam pemberian
- Pertimbangan pemberian FFP secara bersamaan jika
menggunakan PCC 3 faktor
rFVIIa 15-90 mikrogram/kg - Infus cepat dengan volume yang kecil
- Koreksi INR secara cepat dan komplit pada pasien dengan
penggunaan warfarin, tapi tidak mengatasi perdarahan
karena rVIIa hanya mengembalikan kadar FVIIa
- Risiko trombosis 5-10%
- Waktu paruh pendek, perlu pengulangan dosis setelah 2 jam
Asam 4-5 gram IV/PO dalam 1 jam, - Dapat meningkatkan risiko thrombosis
aminocaproic selanjutya 1 gram/jam x 8 - Dosis dapat berakumulasi pada pasien dengan gangguan
jam (dosis maksimum 30 ginjal; kurangi dosis loading dan laju infus
gram/24 jam) - Pada pasien dengan hematuria yang berasal dari traktur
urinarius atas, obat ini harus diberikan dengan perhatian atau
justru dihindari
Asam 1300 mg PO per 8 jam - Indikasi untuk menoragia
traneksamat - Penggunaan untuk indikasi lainnya saat ini dikategorikan
sebagai off-label
Keterangan: UFH = unfractionated heparin; LMWH = low molecular weight heparin; HIT = heparin-
induced trombocytopenia; FFP = fresh frozen plasma; INR = international normalized ratio.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 97


3. Reversal untuk Warfarin

Penanganan reversal untuk warfarin ditampilkan pada Tabel 8.9.2

Tabel 8. 9 Reversal Warfarin2

Non-urgent Urgent (tidak perdarahan) Urgent (perdarahan)


Hentikan obat 5 hari Jika operasi dapat HASHTI
sebelum operasi ditunda 6-24 jam, berikan Vitamin K 5-10 mg
Periksa INR 1-2 hari 5-10 mg vitamin K IV; diulang dalam 12
sebelumnya: PO/IV. Jika tidak jam jika diperlukan
Jika INR >1,5, berikan memungkinkan: PCC atau FFP
vitamin K 1-2 mg PO FFP atau PCC sebelum operasi. diulang setiap 6 jam
Diulang kembali 6-12 jam jika sebagaimana
INR > 1.5; dan diperlukan
Vitamin K 5-10 mg PO/IV jika
masih diperlukan reversal lebih
lanjut
Keterangan: INR = international normalized ratio; HASHTI = telah dijelaskan pada Tabel 8.7; PCC =
prothrombin complex concentrate; FFP = fresh frozen plasma.

4. Reversal untuk LMWH

Penanganan reversal untuk LMWH ditampilkan pada Tabel 8.10.2 Protamin sulfat
merupakan antidotum untuk UFH dan LMWH. Dosis pemberian protamin sebagai
reversal ditampilkan pada tabel 8.11.2

Tabel 8. 10 Reversal untuk LMWH2

Non-urgent Urgent (tidak perdarahan) Urgent (perdarahan)


Tunda pada hari Jika memungkinkan, tunda HASHTI
operasi 12-24 jam Protamin sulfat
Regimen sekali Pertimbangkan protamin Pertimbangkan
sehari: sulfat jika penundaan tidak rFVIIa
Separuh dosis sebelum memungkinkan, terutama
operasi pada prosedur operasi
Regimen dua kali dengan risiko perdarahan
sehari: yang tinggi
Tunda dosis sebelum operasi
Keterangan: pembahasan mengenai HASHTI telah disajikan pada Tabel 8.7.

Tabel 8. 11. Dosis protamin untuk reversal heparin dan LMWH2

Waktu paruh Dosis protamin sulfat untuk reversal


Heparin 1-2 jam 1 mg per 90-100 unit heparin, diberikan 2-3 jam sebelumnya
Contoh: 25-35 mg jika sebelumnya diberikan infus heparin
1.000-1.250 unit/jam
Enoxaparin 4.5 jam 1 mg per 1 mg enoxaparin dalam periode 8 jam pemberian
sebelumnya
Keterangan: Dosis maksimum adalah 50 mg. Waktu paruh lebih panjang dengan pemberian
subkutan untuk semua heparin dan membutuhkkan pemantauan aPTT (heparin) atau kadar anti-
Fxa (low molecular weight heparin/LMWH) setiap 3 jam dengan pengulangan protamin (0,5 mg
per jumlah/kandungan LMWH atau heparin) jika perdarahan masih berlanjut.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 98


5. Reversal DOAC

Non-urgent: tunda dosis, pertimbangkan waktu yang lebih lama untuk operasi
mayor, pada pemasangan kateter atau port spinal atau epidural (Tabel 8.12).2

Food and Drug Administration (FDA) pada bulan Maret 2018 menyetujui
idarucizumab (praxbind Boehringer-Ingelheim) sebagai antidotum (reversal)
antikoagulan dabigratan etexilate.11 Menyusul pada bulan Mei 2018, andexanet
alfa (Andexxa Portola Pharmaceutical) sebagai antidotum untuk FXa inhibitor
(rivaroxaban, apixaban).12

Penanganan reversal DOAC yang bersifat urgent ditampilkan pada Gambar 8.1.2

Tabel 8. 12 Reversal untuk DOAC: non urgent2

Dabigatran Rivaroxaban Apixaban


CrCl >50 mL/mnt: tunda 1-2 Tunda setidaknya 24 jam Tunda 24-48 jam
hari Waktu paruh: 5-9 jam (fungsi Waktu paruh: 8-15 jam
CrCl <50 mL/mnt: tunda 3-5 ginjal yang normal). Presensi obat dapat dinilai
hari atau lebih lama Presensi obat dapat dinilai dengan pemeriksaan anti-FXa
Waktu paruh: 12-14 jam dengan pemeriksaan anti-Fxa
Presensi obat dapat dinilai
dengan thrombin time

Gambar 8. 1 Reversal DOAC urgent2

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 99


E. MENGUBAH ANTIKOAGULAN KE ANTIKOAGULAN LAIN

Untuk perubahan terapi antikoagulan dapat mengikuti pedoman yang ditampilkan


pada Tabel 8.13.2

Tabel 8. 13 Mengubah antikoagulan ke antikoagulan yang lain2

Antikoagulan Antikoagulan akan Prosedur


sekarang diubah menjadi
Warfarin Dabigatran atau Hentikan warfarin dan mulailah dabigatran atau
(INR 2-3) Apixaban apixaban saat INR <2,0
Warfarin Rivaroxaban Hentikan warfarin dan mulailah rivaroxaban saat
(INR 2-3) INR <3,0
LMWH atau Dabigatran Mulai dabigatran 0-2 jam sebelum pemberian dosis
heparin LMWH/heparin terakhir, atau pada saat yang sama
dengan penghentian heparin infus.
LMWH atau Rivaroxaban atau Hentikan LMWH atau heparin dan insiasikan
heparin Apixaban rivaroxaban atau apixaban 0-2 jam sebelum dosis
LMWH/heparin terjadwal berikutnya.
Dabigatran LMWH atau heparin CrCl ≥30 mL/ menit: mulai 12 jam setelah dosis
terakhir dabigatran
CrCl <30 mL/ menit: mulai 24 jam setelah dosis
terakhir dabigatran
Rivaroxaban Warfarin Lanjutkan rivaroxaban bersama dengan warfarin
(INR 2-3) sampai INR ≥2,0, lalu hentikan rivaroxaban
Rivaroxaban LMWH atau heparin Memulai LMWH/heparin 24 jam setelah
atau apixaban penghentian rivaroxaban atau apixaban.
Keterangan: LMWH = low molecular weight heparin; INR = international normalized ratio.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alquwaizani M, Buckley L, Adams C, Fanikos J.. Anticoagulants: a review of the
pharmacology, dosing, and complications. Curr Emerg and Hosp Med Rep. 2013;1:83-97.
2. Cushman M, Lim W, Zakai N. Clinical practice guide on antithrombotic drug dosing and
management of antithrombotic drug-associated bleeding complications in adults. Am Soc
Hematol. 2014;2:1-4.
3. Rahman ARA, Sathar J, Chee CC, Shintamoney E, Hassan HHC, Harunarashid H, et al.
Clinical practice guidelines prevention and treatment of venous thromboembolism. Putrajaya:
Ministry of Health Malaysia; 2013. p.7-124.
4. Blostein M, Kerzner R. Practice guidelines for anticoagulation management. Quebec: Jewish
General Hospital; 2012.
5. Streiff MB, Agnelli G, Connors JM, Crowther M, Eichinger S, Lopes R, et al. Guidance for
the treatment of deep vein thrombosis and pulmonary embolism. J Thromb Thrombolysis.
2016;41:32-67.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 100


6. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galiè N, et al. 2014
ESC guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur Heart J.
2014;35:3033-73.
7. Chan WS, Rey E, Kent NE, Corbett T, David M, Douglas MJ, et al. Venous
thromboembolism and antithrombotic therapy in pregnancy. J Obs Gynaecol Can.
2014;36:527-53.
8. Cuker A, Gimotty PA, Crowther MA, Warkentin TE. Predictive value of the 4Ts scoring
system for heparin-induced thrombocytopenia: a systematic review and meta-analysis. Blood.
2012;120:4160-7.
9. Masotti L, Campanini M. Pharmacology of new oral anticoagulants: mechanism of action,
pharmacokinetics, pharmacodynamics. Ital J Med. 2013;7:1-7.
10. Michigan Anticoagulation Quality Improvement Initiative. Anticoagulation toolkit. Ann
Arbor: Michigan Anticoagulation Quality Improvement Initiative; 2017. 22
11. Wendling P. Dabigatran antidote praxbind picks up full FDA approval 2018 [Internet]. New
York: Medscape; 2018 [7 September 2018]. Available from:
https://www.medscape.com/viewarticle/895373.
12. Wendling P. FDA approves first factor Xa inhibitor antidote, andexxa 2018 [Internet]. New
York: Medscape; 2018 [7 September 2018. Available from:
https://www.medscape.com/viewarticle/896182.

Panduan Nasional Tromboemboli Vena 101

Anda mungkin juga menyukai