Panduan Nasional Tromboemboli Vena
Panduan Nasional Tromboemboli Vena
TROMBOEMBOLI VENA
Ketua
Anggota
dr. Trinugroho Heri Fadjari, SpPD-KHOM
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Padjajaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
ii
dr. Mediarty Syahrir, SpPD-KHOM
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Sriwijaya /
RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang
iii
EDITOR
DIBANTU OLEH
iv
KATA SAMBUTAN
Trombosis adalah salah satu penyebab utama kematian. Menurut laporan World Bank 2010,
satu dari empat kematian di dunia disebabkan oleh trombosis. Di Indonesia, trombosis juga
tahun 1997, dari 10 penyebab kematian terbanyak di Indonesia, 15,53% disebabkan oleh
trombosis, belum termasuk tromboemboli vena (TEV). Angka ini ini meningkat menjadi
19,1% dari 10 penyebab kematian di Indonesia berdasarkan buletin informasi DEPKES tahun
2007.
Trombosis merupakan suatu kondisi umum yang mendasari penyakit jantung iskemik, stroke
iskemik, dan tromboemboli vena (TEV). Tromboemboli vena meliputi trombosis vena dalam
dan emboli paru. Pada tahun 1996, 10% kematian di rumah sakit disebabkan oleh emboli paru
dan 1% dari pasien yang masuk rumah sakit meninggal karena emboli paru.
Data epidemiologi TEV yang berasal dari Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin,
menunjukkan insiden TEV berkisar 0.75 – 2,69 per 1000 individu dalam populasi. Insiden ini
meningkat menjadi 2 – 7 per 1000 pada umur di atas 70 tahun, meskipun insiden tersebut lebih
rendah pada etnis China dan Korea. Penatalaksanaan TEV sangat penting mengingat
morbiditas, mortalitas, komplikasi jangka panjang dan biaya yang tinggi. Penatalaksanaan
termasuk pencegahan primer, pengobatan akut, dan pengobatan sekunder. Perlu diketahui,
diingat, dan dicamkan bahwa trombosis sebagai penyebab kematian dan merupakan penyakit
v
Pada tahun 1998 di FKUI dibentuk kelompok seminat trombosis yang terdiri dari berbagai
disiplin ilmu seperti Hematologi, Kardiologi, Neurologi, Kebidanan, Mata, Bedah, dan
Trombosis Hemostasis Indonesia (PTHI) pada tahun 2001. Para dokter anggota PTHI
memutuskan bahwa diperlukan suatu panduan nasional penanganan TEV, oleh karena itu
disusunlah buku Panduan Nasional Tromboemboli Vena ini sebagai langkah awal, yang
disusun oleh kelompok Hematologi-Onkologi Medik dari berbagai daerah di Indonesia. Buku
panduan ini tentunya tidak terlepas dari kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran. Kami berencana untuk merevisi buku panduan ini setiap tiga tahun dan melengkapi
panduan ini dengan melibatkan berbagai unsur keilmuan dalam organisasi PTHI ini, untuk
Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan buku panduan ini, khususnya tim editor Catharina Suharti, Trinugroho Heri
Karmel L. Tambunan
vi
DAFTAR ISI
EDITOR ...................................................................................................................................... iv
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 3 Dosis Inisiasi Warfarin dalam Terapi TEV dan Penyesuaian Dosis menurut
Normogram International Normalized Ratio ............................................................................. 10
Tabel 2. 2 Skor PERC (Pulmonary Embolism Rule-out Criteria) untuk Penderita dengan
probabilitas emboli paru rendah………………………………………………………………..20
Tabel 2. 4 Klasifikasi Pasien Emboli Paru Akut berdasarkan Risiko Mortalitas ....................... 24
Tabel 3. 3 Rekomendasi Profilaksis TEV berdasarkan Skor Risiko Modifikasi PADUA ......... 30
Tabel 3. 5 Profilaksis TEV pada Pasien Penyakit Medis yang Dirawat di Rumah Sakit .......... 34
Tabel 4. 1 Risiko Tromboemboli Vena pada Pasien Bedah Tanpa Profilaksis .......................... 38
Tabel 4. 2 Prevalensi Tromboemboli Vena pada Bedah Ortopedi Mayor Tanpa Profilaksis .... 38
Tabel 5. 2 Stratifikasi Skor Risiko CHA2DS2-VASc untuk Subjek dengan Fibrilasi Atrium
Nonvalvular ................................................................................................................................ 47
Tabel 5. 6 Durasi Penghentian Preoperatif Obat Antikoagulan Oral Direk (DOAC) ................ 51
viii
Tabel 6. 1 Faktor Risiko dan Biomarker untuk Trombosis terkait Kanker ................................ 56
Tabel 7. 4 Ringkasan Pedoman Tromboprofilaksis pada Wanita dengan Riwayat TEV dan/Atau
Trombofilia Sebelumnya ............................................................................................................ 76
Tabel 7. 5 Dosis Tromboprofilaksis yang Dianjurkan untuk LWMH Anatenatal dan Postnatal
.................................................................................................................................................... 80
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5. 1 Strategi Bridging Heparin pada Perioperatif untuk Pasien dalam Terapi VKA .... 49
Gambar 7. 1 Algoritme Diagnostik pada Kecurigaan Kasus TVD pada Kehamilan ................. 69
Gambar 7. 2 Algoritme Diagnostik pada Kecurigaan Kasus Emboli Paru pada Kehamilan ..... 70
x
DAFTAR SINGKATAN
xi
FFP Fresh frozen plasma
GBD The Global Burden of Disease and Risk Factors study
GCS Graduated Compression Stockings
GM-CSF Granocyte macrophage colony stimulating factor
HASHTI see text for details
HIV Human Immunodeficiency Syndrome
HIT Heparin induced thrombocytopenia
HITT Heparin induced thrombocytopenia and thrombosis
HAS-BLED Hypertension, Abnormal renal and liver function, Stroke, Bleeding,
Labile INR, Elderly, Drugs or alcohol
HFS Hip fracture surgery
IBD Inflammatory bowel disease
ICU Intensive care unit
IMT Indeks massa tubuh
IMPROVE The International Medical Prevention Registry on Thromboembolism
risk model
ICH Intracerebral hemorrhage
IL-1β Interleukin-1β
INR International Normalized Ratio
IPC Intermitten Pneumatic Compression
IVF In vitro fertilization
LMWH Low molecular weight heparin
PERC Pulmonary Embolism Rule-out Criteria
PESI Pulmonary Embolism Severity Index
PT Prothrombin time
MAO Monoamine oxidase
MI Myocardial infarction
NCCN National Comprehensive Cancer Network
OR Odds ratio
PAD Peripheral arterial disease
PC Protein C
PCC Prothrombin complex concentrate
PS Protein S
ra FVII Recombinant activated Factor VII
rt-PA Recombinant tissue Plasminogen Activator
xii
SaO2 Saturasi oksigen arterial
SIGN Scottish Intercollegiate Guidelines Network
sPESI Simplified Pulmonary Embolism Severity Index
TEV Tromboemboli vena
TKA Total knee arthroplasty
THA Total hip arthroplasty
TIA Transient ischemic attack
TNF-α Tumor necrosis factor-α
TVD Trombosis vena dalam
UFH Unfractionated heparin
UK United Kingdom
VEGF Vascular endothelial growth factor
V/Q scan Ventilation/perfusion scan
xiii
PENDAHULUAN
Buku Panduan Klinis ini disusun dengan tujuan untuk membantu para klinisi dalam
penatalaksanaan kasus tromboemboli vena dalam praktik sehari-hari. Rekomendasi yang
disusun dalam buku ini tidak bersifat mengikat, para klinisi dapat memilih untuk mengikuti
buku panduan ini, atau menata laksana berdasarkan panduan yang disusun institusi lokal.
Metode penyusunan buku ini didasarkan atas studi pustaka dari berbagai studi klinis, serta
panduan internasional yang ada pada saat buku ini disusun. Penulis akan melakukan revisi
setiap saat, sesuai dengan perkembangan ilmu yang ada.
Penyusunan buku ini bersifat ilmiah murni dan tidak ada konflik kepentingan dengan pihak
manapun.
Sumber Dana
Buku ini disusun dari sumber dana yang berasal dari Perhimpunan Trombosis dan Hemostasis
Indonesia (PTHI) atau The Indonesia Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH) dan
educational grant dari Bayer Pharmaceutical. Pemberi dana tidak ada pengaruh dalam
penyusunan buku ini.
Kategori/Tingkat Definisi
Kekuatan rekomendasi
A Tingkat bukti baik untuk mendukung rekomendasi
B Tingkat bukti sedang untuk mendukung rekomendasi
C Tingkat bukti kurang untuk mendukung rekomendasi
Kualitas bukti
1 Bukti klinis berasal dari ≥1 uji klinis acak yang berkualitas baik
2 Bukti klinis berasal dari ≥1 uji klinis dengan rancangan yang baik, bukan acak,
kohort, atau studi analitik kasus kontrol (lebih dipilih > 1 senter); seri-waktu
multipel; atau dari hasil eksperimen tanpa kontrol yang dramatik
3 Bukti berasal dari opini otoritas yang mempunyai kompetensi tinggi,
berdasarkan pengalaman klinik, studi deskriptif, atau laporan komite ahli
A. PENDAHULUAN
Trombosis vena dalam (TVD) adalah suatu kondisi medis terbentuknya trombus pada
sistem vena di ekstremitas (biasanya vena di tungkai bawah). Bekuan darah dapat
menyumbat vena parsial atau total, dan inilah yang mengakibatkan timbulnya
keluhan. Trombosis vena dalam (TVD) pada ekstremitas atas lebih jarang terjadi.1
Apabila sebagian bekuan darah ini terlepas dan beredar dalam sirkulasi, maka dapat
terjadi kondisi yang serius dan bersifat fatal yang disebut emboli paru (EP).
Tromboemboli vena (TEV) adalah kesatuan antara TVD dan EP.3 Komplikasi jangka
panjang TVD antara lain sindrom post-trombotik.4
B. EPIDEMIOLOGI
TEV merupakan beban penyakit yang besar pada populasi. Hal tersebut berkaitan
dengan biaya terapi dan disabilitas yang dapat diakibatkannya. Studi yang dilakukan
oleh Wang, dkk.5 pada tahun 2010 melaporkan bahwa kombinasi penyakit jantung
iskemik dan stroke mengakibatkan 1 dari 4 kematian di dunia. Namun, studi tersebut
tidak melaporkan data TEV sebagai penyebab kematian dan disabilitas. Penelitian dari
Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, dan Argentina menghasilkan data yang
konsisten dengan angka kejadian TEV per tahun berkisar antara 1,75 dan 2,69 per
1.000 individu. Angka kejadian meningkat antara 2–7 per 1.000 individu usia >70
tahun.6
Trias virchow yang terdiri atas stasis, kerusakan pembuluh darah, dan kondisi
hiperkoaguabilitas merupakan faktor risiko terjadinya TEV. Faktor-faktor ini
dijelaskan pada Gambar 1.1.3,9 Bentuk TEV paling sering adalah TVD, umumnya
terjadi pada vena-vena profunda yang terletak di dalam otot-otot tungkai bawah dan
pelvis. Trombosis vena dalam (TVD) terdiri dari proksimal dan distal seperti terlihat
pada Gambar 1.2.
Trombosis vena diawali dari katup atau sinus vena. Protein antitrombotik seperti
trombomodulin dan endothelial protein C receptor (EPCR) yang sensitif terhadap
hipoksia dan inflamasi diekspresikan pada area katup.10 Stasis pada sinus valvular
dihubungkan dengan kondisi hipoksia dan peningkatan hematokrit yang
mengakibatkan hiperkoaguabilitas pada lingkungan mikro. Kondisi ini disertai
dengan inflamasi akan mengakibatkan penurunan protein antitrombotik yang memicu
pembentukan trombus.4,10
Pada penelitian yang saat ini sedang berjalan, hipoksia juga diduga dapat
meningkatkan protein pro-koagulan seperti tissue factor dan P-selectin (suatu
molekul adesi) dari sel endotel. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan
mikropartikel yang berasal dari leukosit atau monosit.11
Varian genetik seperti kadar yang tinggi dari faktor VIII, faktor von willebrand,
faktor VII, dan protrombin dihubungkan dengan pembentukan trombus.12 Sementara
itu, kanker dapat menghambat aliran darah, mengakibatkan peningkatan faktor
jaringan yang mengawali koagulasi, dan melepas prokoagulan mikropartikel lipid.3,13
Bertambahnya usia juga dinilai memengaruhi terjadinya kerusakan katup yang
cenderung mengakibatkan stasis.14
Tromboemboli vena (TEV) dianggap sebagai interaksi antara faktor risiko yang
berhubungan dengan pasien (biasanya permanen) dan kondisi pasien (faktor risiko
yang bersifat sementara). Tromboemboli vena (TEV) terprovokasi bila terdapat faktor
risiko sementara (reversibel) seperti pembedahan, trauma, imobilisasi, kehamilan,
penggunaan kontrasepsi oral, atau terapi sulih hormon dalam waktu 6 minggu sampai
3 bulan sebelum diagnosis (Tabel 1.1).15 Faktor risiko persisten atau sementara akan
memengaruhi lama pemberian antikoagulan setelah episode pertama TEV.15,16
2. Laboratorium
D-dimer meningkat pada trombosis akibat proses aktivasi simultan antara koagulasi
dan fibrinolisis.19 D-dimer memiliki nilai prediktif negatif yang sangat baik, artinya
kadar D-dimer yang normal (negatif) menunjukkan kondisi bukan TVD atau EP. Di
lain pihak, fibrin juga dibentuk dalam berbagai kondisi klinis seperti kanker,
inflamasi, perdarahan, trauma, pembedahan, dan nekrosis jaringan. Dengan
demikian, nilai prediktif positif dari kenaikan kadar D-dimer tidak dapat digunakan
untuk mengonfirmasi TVD atau EP.4,16
3. Pencitraan
4. Diagnosis Banding3,16
F. PENATALAKSANAAN
Diagnosis dan terapi yang cepat untuk TVD sangat penting untuk menurunkan risiko
terjadinya EP yang bersifat fatal dan komplikasi jangka panjang lain.
1. Tujuan Terapi Trombosis Vena Dalam3
Tabel 1. 3 Dosis Inisiasi Warfarin dalam Terapi TEV dan Penyesuaian Dosis
menurut Normogram International Normalized Ratio21
Hari INR Dosis
Hari ke-1 5 mg
Hari ke-3 <1,5 5 – 10 mg
1,5–1,9 2,5–5 mg
2–3 0–2,5 mg
>3 0 mg
Hari ke-4 <1,5 10 mg
1,5–1,9 5–7,5 mg
2–3 0–5 mg
>3 0 mg
Hari ke-5 <1,5 10 mg
1,5–1,9 7,5–10 mg
2–3 0–5 mg
>3 0 mg
Hari ke-6 <1,5 7,5–12,5 mg
1,5 – 1,9 5–10 mg
2–3 0–7,5 mg
>3 0 mg
INR= International Normalized Ratio
b. Antikoagulan Parenteral
Unfractionated Heparin (UFH)
a) Dosis awal 80 U/kg bolus intravena, dilanjutkan 18 U/kg/jam dengan infus
kontinyu dengan pemantauan aPTT
b) Pada pasien rawat jalan yang diterapi dengan UFH, dosis disesuaikan dengan
berat badan (dosis awal 333 U/kg, kemudian 250 U/kg, subkutan sebanyak 2
kali sehari)
c) Pemantauan aPTT dengan target 1,5–2,5 batas atas nilai normal dan/atau kadar
anti faktor Xa (0,3–0,7 IU/mL)
d) Perlu dimonitor untuk terjadinya heparin-induced thrombocytopenia (HIT).
Efek samping HIT lebih sering terjadi pada UFH dibanding LMWH. Penderita
dengan riwayat HIT dapat diberikan antikoagulan alternatif berupa
fondaparinux (bukti klinis masih terbatas), argatroban, lepirudin, dan aparoid
(belum ada di Indonesia)22
e) Penggunaan UFH terbatas pada: i) penderita dengan gangguan fungsi ginjal
berat (creatinine clearance (CrCl) <30 mL/menit) yang pemberian LMWH
harus dihindari; ii) penderita dengan risiko perdarahan tinggi, kemungkinan
diperlukan reversal efek antikoagulan yang cepat; dan iii) penderita yang
mendapat terapi trombolitik.23
a) Dosis disesuiakan dengan berat badan, yaitu: <50 kg = 5 mg; 50-100 kg = 7,5
mg; >100 kg = 10mg/sc/sekali sehari (2C).
b) Low molecular weight heparin (LMWH) atau fondaparinux lebih dipilih
dibanding UFH secara intravena atau subkutan (2C).20
Terapi antikoagulan oral DOAC merupakan alternatif AVK dan memberi pilihan
pendekatan dengan obat oral tunggal sejak awal terapi. Rivaroxaban, apixaban,
dabigatran, dan edoxaban telah disetujui di Amerika, Eropa, dan berbagai negara
lain untuk terapi TVD dan EP dengan hemodinamik stabil, serta pencegahan
kekambuhan TEV untuk penderita dewasa. Perbandingan farmakokinetik,
farmakodinamik, dan dosis DOAC dibandingkan dengan warfarin ditampilkan pada
Tabel 1.4.
Obat golongan DOAC telah diuji dibandingkan dengan terapi konvensional dalam
suatu studi yang besar untuk terapi TEV. Beberapa studi tersebut di antaranya studi
oleh EINSTEIN DVT24 dan EINSTEIN PE25 untuk rivaroxaban, studi RE-
COVER26 dan RE-COVER II27 untuk dabigatran, studi AMPLIFY28 untuk
apixaban, dan studi Hokusai-VTE29 untuk edoxaban.
Terdapat dua pendekatan dalam terapi dengan DOAC, yaitu single-drug approach
dan dual-drug approach. Pada single-drug approach, apixaban dan rivaroxaban
dapat diberikan sejak awal terapi, serta tidak memerlukan overlap dengan
antikoagulan parenteral dan AVK. Dual-drug approach sebagai alternatif AVK,
dabigatran, dan edoxaban dapat diberikan setelah pemberian antikoagulan
parenteral fase akut selama minimal 5 hari. Berbeda dengan AVK, dual-drug
approach ini tidak ada periode overlap dan tidak memerlukan monitoring.
Dosis DOAC
a) Apixaban: terapi TEV 2x10 mg/hari selama 7 hari, dilanjutkan 2x5 mg selama 6
bulan. Untuk pencegahan kekambuhan, diberikan 2x2,5 mg minimal selama 6
bulan setelah dosis terapi.
b) Dabigatran:
i. Penderita dengan minimal salah satu dari faktor risiko (usia ≥75 tahun atau
CrCl 30-50 ml/min atau risiko perdarahan tinggi (skor HAS-BLED),30
antikoagulan parenteral minimal 5 hari, selanjutnya dabigatran 2x110
mg/hari
ii. Penderita usia <75 tahun dan CrCl >50 mL/min dan tidak ada risiko
perdarahan: parenteral antikoagulan untuk minimal 5 hari, selanjutnya
dabigatran 2x150 mg.
c) Rivaroxaban: terapi TEV 2x15 mg selama 3 minggu, dilanjutkan 1x20 mg
(sesuai kebutuhan pasien)
a) Hipersensitivitas
b) Gangguan fungsi ginjal: i) apixaban CrCl <25 mL/menit; ii) dabigatran CrCl
<30 mL/menit; dan iii) rivaroxaban CrCl <15 mL/menit
Antikoagulan terbukti efektif untuk mengobati TVD dan EP. Namun sebaliknya,
terapi antikoagulan dapat meningkatkan risiko perdarahan dan pada beberapa kasus
terdapat efek samping lain. Terapi jangka panjang dapat meningkatkan risiko
perdarahan, yang mana terapi jangka panjang ini sering diberikan pada penderita
dengan risiko tinggi kekambuhan TEV atau kelompok pasien spesifik tertentu.
Pertimbangan manfaat dan risiko efek samping mendasari keputusan berapa lama
pemberian terapi antikoagulan. Panduan European Society of Cardiology (ESC)15
maupun ACCP20 merekomendasikan bahwa rasio antara manfaat dan risiko untuk
meneruskan terapi antikoagulan perlu dilakukan penilaian secara teratur pada
interval waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rico JIA, Pitarch JVL, Rocha E. Overview of venous thromboembolism. Drugs. 2010;70(Suppl. 2):3–
10.
2. Turpie AGG, Chin BSP, Lip GYH. Venous thromboembolism: pathophysiology, clinical features and
prevention. Br Med J. 2002;325:887–90.
3. Suharti C. Tromboembolisme: trombosis vena dalam dan emboli paru. Dalam: Suharti C, editor.
Trombosis. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro; 2009. Halaman 1-26
4. Bayer Pharma AG. Introduction to Deep Vein Thrombosis [Internet]. Berlin: Thrombosis Adviser;
16th Jul 2018 [Accessed 19th Sept 2018]. Available from: https://www.thrombosisadviser.com/deep-
vein-thrombosis-diagnosis/#signs-and-symptoms
5. Wang H, Dwyer-Lindgren L, Lofgren KT, Rajaratnam JK, Marcus JR, Levin-Rector A, et al. Age-
specific and sex-specific mortality in 1987 countries, 1970–2010: a systematic analysis for the Global
Burden of Disease Study 2010. Lancet. 2012;380:2071–94.
6. Raskob GE, Angchaisuksiri P, Blanco AN, Buller H2, Gallus A2, Hunt BJ, et al. Thrombosis: a major
contributor to global disease burden. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2014;34:2363–71.
EMBOLI PARU
A. PENDAHULUAN
Emboli paru (EP) terjadi apabila sebagian trombus yang terlepas dari trombosis vena
dalam (TVD) terperangkap di sirkulasi pulmonal sehingga menyumbat aliran darah ke
paru. Sekitar sepertiga penderita tromboemboli vena (TEV) terdiri atas EP dan
selebihnya adalah TVD.1,2 Diagnosis EP meningkat secara signifikan sejak digunakan
computed tomography pulmonary angiography (CTPA).3 Kebanyakan EP berasal dari
TVD tungkai bawah proksimal, meskipun hanya 25-50% pasien EP terbukti secara
klinik menderita TVD pada saat pertama kali terdiagnosis, dan sekitar 50% penderita
EP merupakan EP tidak terprovokasi.4
B. EPIDEMIOLOGI
Emboli paru merupakan penyebab penting morbiditas, mortalitas, dan perawatan pada
rumah sakit di Eropa. Suatu estimasi yang didasarkan model epidemiologi
menunjukkan bahwa lebih dari 317.000 kematian berhubungan dengan TEV di 6
negara Uni Eropa dengan jumlah penduduk total 454,4 juta pada tahun 2004. Dari
jumlah kasus tersebut, 34% di antaranya merupakan kasus EP dengan kematian
mendadak, 59% merupakan kasus meninggal akibat EP yang tidak terdiagnosis
sewaktu hidup, dan hanya 7% penderita dengan kematian awal yang terdiagnosis EP
dengan benar sebelum meninggal.5
Terdapat dua gambaran klinis EP yang berbeda, yaitu EP tanpa syok dan EP dengan
syok.
a. Manifestasi Klinis
Penderita dengan keluhan sesak napas, nyeri dada pleuritik, dan takipnea perlu
dipikirkan kemungkinan EP. Gambaran klinik lainnya dapat berupa batuk, batuk
darah, demam, sinkop, wheezing, takikardi, sianosis, dan pleural friction rub.1,4
Pasien yang secara klinis menunjukkan tanda dan gejala EP perlu dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, terutama penilaian faktor risiko
TEV untuk menentukan skor probabilitas EP. Pada penderita tanpa hipotensi,
pengkajian probabilitas dapat dilakukan secara klinis dengan cara yang telah
tervalidasi seperti skor Wells emboli paru yang ditampilkan pada Tabel 2.1.6 Pada
penderita dengan nilai probabilitas rendah tidak perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut apabila terdapat semua kriteria untuk menyingkirkan diagnosis EP
(pulmonary embolism rule-out criteria/PERC) (Tabel 2.2).7
Kasus kemungkinan bukan EP (skor ≤4), serta hasil D-dimer negatif dengan
menggunakan tes yang sensitif dapat menyingkirkan diagnosis EP. Namun,
apabila tes menunjukkan hasil positif, maka diperlukan pemeriksaan lanjutan
untuk mengonfirmasi atau menyingkirkan EP.6 Kadar D-dimer yang disesuaikan
dengan umur dapat meningkatkan spesifisitas pemeriksaan D-dimer.8 Pada
penderita berusia di atas 50 tahun, hasil D-dimer dianggap negatif bila kurang dari
usia pasien dikalikan 10 (misalnya usia penderita 70 tahun, hasil negatif bila
kurang dari 700 ug/L). Bagi penderita berusia di bawah 50 tahun, hasil negatif
bila di bawah cut-off 500 ug/L.4
a. Kasus dengan Hipotensi atau Syok (Tekanan Darah Sistolik <90 mmHg)
Pada penderita dengan hipotensi yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan CTPA,
atau apabila pemeriksaan CTPA tidak dapat segera dilakukan, maka pemeriksaan
ekokardiografi harus segera dilakukan. Hal ini bertujuan untuk membuktikan
adanya overload ventrikel kanan dan adanya embolus pada ventrikel kanan atau
arteria pulmonalis cabang utama.4,9
Disfungsi ventrikel kanan saja tidak dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis
EP sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan (CTPA, V/Q lung scanning,
US kompresi tungkai bawah). Apabila hipotensi tidak disertai gambaran disfungsi
ventrikel kanan secara ekokardiografi, maka gangguan hemodinamik ini bukan
disebabkan oleh EP yang masif (Gambar 2.2).9
Tabel 2. 3 Pulmonary Embolism Severity Index (PESI) Versi Orisinal dan Disederhanakan4
b. Terapi Suportif
d. Terapi Trombolitik
Obat trombolitik yang dianjurkan adalah recombinant tissue plasminogen
activator (rt-PA) 100 mg intravena dalam 2 jam atau 0,6 mg/kg bolus.11 Terapi
trombolisis tidak direkomendasikan pada penderita yang pada saat awal memiliki
risiko kematian menengah (lihat Tabel 2.4). Sebab, hal ini akan meningkatkan
risiko stroke perdarahan, disamping tidak terbukti bermanfaat untuk ketahanan
hidup.4,9 Adapun indikasi terapi trombolitik, yaitu:4,11
a) Penderita dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg) atau turun 40
mmHg dari data dasar)
b) Refrakter terhadap pemberian cairan dalam jumlah kecil
c) Secara klinis didapatkan tanda kegagalan jantung kanan
d) Tidak ada kontraindikasi terhadap terapi trombolitik.
Setelah trombolisis, terapi terpilih adalah UFH, diikuti dengan warfarin atau obat
golongan DOAC.4
3. Terapi Lain
Beberapa pilihan terapi lainnya yaitu:
a) Catheter-directed thrombolysis untuk EP masif. Terapi ini dipertimbangkan
bila ada tenaga yang kompeten untuk teknik ini (belum ada panduan tentang
ini).12
DAFTAR PUSTAKA
1. Tapson VF. Acute pulmonary embolism. N. Engl J Med. 2008;358:1037-52.
2. Suharti C. Tromboembolisme: trombosis vena dalam dan emboli paru. Dalam: Suharti C, editor.
Trombosis. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro; 2009. Halaman 1-26
3. Huisman MV, Klok FA. How I diagnose acute pulmonary embolism. Blood. 2013;121:4443-8.
4. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galie N, et al. 2014 ESC
Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur Heart J.
2014;35:3033-69.
5. Cohen AT, Agnelli G, Anderson FA, Arcelus JI, Bergqvist D, Brecht JG, et al. Venous
thromboembolism (VTE) in Europe. The number of VTE events and associated morbidity and
mortality. Thromb Haemost. 2007;98:756-64.
6. National Institute for Health and Care Excellence. Venous thromboembolic diseases: the
management of venous thromboembolic diseases and the role of thrombophilia testing [Internet].
London: Royal College of Physicians (UK); 2012 Jun [accessed 22nd Sept 2018]. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0055222/
7. Kline JA, Mitchell AM, Kabrhel C, Richman PB, Coutney DM. Clinical criteria to prevent
unnecesary diagnostic testing in emergency department patients with suspected pulmonary
embolism. J Thromb Haemost. 2004;2:1247-55.
8. Thrombosis Canada. Pulmonary embolism (PE): diagnosis and treatment [Internet]. Whitby:
Thrombosis Canada; 2017 [accessed 22nd Sept 2018]. Available from:
http://thrombosiscanada.ca/wp-content/uploads/2015/05/Pulmonary-Embolism-Diagnosis-and-
Management-FINAL_v2.pdf
9. Michigan Anticoagulation Quality Improvement Initiative (MAQI). Anticoagulation toolkit. Ann
Arbour: MAQI; 2015 [accessed 22nd Sept 2018]. Available from: http://anticoagulationtoolkit.org/
10. Kearon C, Akl EA, Ornelas J, Blaivas A, Jimenez J, Bouanemoux H, et al. Antithrombotic therapy
for VTE disease. Chest guideline and expert panel report. Chest. 2016;149:315-52.
11. Wang TF, Squizzato A, Dentali F, Ageno W. The role of thrombolytic therapy in pulmonary
embolism. Blood. 2015;125:2191-9.
12. Engelberger RP, Kucher N. Catheter-based reperfusion treatment of pulmonary emobolism.
Circulation. 2011;124:2139-44.
13. Robbins IM, Pugh ME, Hemnes AR. Update on chronic thromboembolic pulmonary hypertension.
Trends Cardiovasc Med. 2017;27:29-37.
A. PENDAHULUAN
Mengubah paradigma serta perilaku klinisi terhadap penggunaan profilaksis TEV ini
tidaklah mudah. Peningkatan edukasi dan kesadaran klinisi, baik dokter spesialis
maupun dokter layanan primer terhadap risiko trombosis serta perlunya
mengembangkan suatu alat atau algoritma profilaksis yang tepat, aman, dan efektif
adalah langkah yang harus segera diambil. Dengan demikian, kejadian TEV,
khususnya kasus-kasus EP fatal dapat dicegah pada sebagian besar pasien.3,4
B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian TEV merupakan komplikasi yang umum terjadi saat dan setelah perawatan
di rumah sakit. Insiden TEV simtomatik pada pasien yang dirawat di rumah sakit
dengan penyakit medis sebesar 50-70%, sedangkan EP sebesar 70-88% pada pasien
C. PENILAIAN RISIKO
Untuk menentukan risiko kejadian TEV dikembangkan suatu model penilaian risiko
yang merupakan suatu sistem skor risiko dan skor stratifikasi risiko kejadian
komplikasi TEV. Dengan mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya TEV, klinisi
diharapkan dapat lebih bijak dan tepat dalam mengambil keputusan pasien yang akan
diberikan profilaksis.6
Pemberian profilaksis TEV berdasarkan skor risiko ditampilkan pada Tabel 3.3.
D. RISIKO PERDARAHAN
Salah satu penyebab rendahnya pemberian profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi
TEV adalah adanya kekhawatiran terjadinya komplikasi perdarahan. Faktor risiko
terjadinya perdarahan itu sendiri adalah usia tua, wanita, diabetes melitus, hipertensi,
kanker, penyakit liver, gagal ginjal kronik, ulkus peptikum, anemia, riwayat stroke
atau perdarahan intraserebral, penyakit perdarahan, serta mengkonsumsi obat-obat
tertentu.9
9
Tabel 3. 4 Skor Risiko Perdarahan IMPROVE
Faktor risiko perdarahan Nilai
Ulkus gastro-duodenal aktif 4,5
Hitung trombosit <50.000/mm3 4
Perdarahan 3 minggu sebelum masuk rumah sakit 4
Umur >85 tahun atau <40 tahun 3,5
ICU/CCU 2,5
Gagal ginjal berat dengan GFR <30 mL/menit 2,5
Gagal hati (INR>1,5) 2,5
Kanker 2
Penyakit rematik 2
Kateter vena sentral 2
Umur 40-84 tahun 1,5
Gagal ginjal moderate, GFR 30-59 mL/menit 1
Jenis kelamin laki-laki 1
Keterangan: GFR = glomerular filtration rate; ICU/ICCU = intensive care unit/intensive cardiac
care unit; INR = international normalized rati; total nilai >7= risiko perdarahan tinggi; total nilai
<7 = risiko perdarahan rendah.
F. PILIHAN PROFILAKSIS
Pada pasien medis risiko tinggi TEV yang tidak menghendaki pemberian
antikoagulan parenteral, dapat diberikan obat golongan DOAC (2C). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terapi profilaksis apixaban dan rivaroxaban
dibandingkan dengan LMWH memiliki efektivitas yang sama, dengan risiko
pendarahan yang sedikit lebih tinggi pada pemberian DOAC. Dosis
tromboprofilaksis apixaban 2,5 mg po/12 jam dan rivaroxaban 10 mg/24 jam. Pada
pasien dengan CrCl <30 mL/menit, tidak direkomendasikan pemberian DOAC.11
Terapi kompresi adalah terapi fisik yang digunakan dalam kondisi insufisiensi
vena dan limfatik pada ekstremitas bawah. Beberapa bentuk terapi kompresi di
3. Profilaksis Kombinasi
Tromboprofilaksis pada umumnya dilanjutkan sampai 6-14 hari atau selama periode
perawatan di rumah sakit. Data menunjukkan bahwa risiko TEV tetap ada sampai
pasien keluar dari rumah sakit.13 Rekomendasi mengenai pemberian profilaksis dapat
dilihat pada Tabel 3.5. Sementara itu, rekomendasi obat profilaksis yang dapat
digunakan ditampilkan pada Tabel 3.6.13,14
Perdarahan (+) atau risiko perdarahan tinggi Tanpa tromboprofilaksis farmakologik (1B)
Risiko trombosis tinggi dengan perdarahan atau risiko 1. Tromboprofilaksis mekanik dengan GCS (1A)
perdarahan tinggi 2. IPC (2C)
3. Tromboprofilaksis farmakologik (ketika
risiko perdarahan turun dan ketika risiko TEV
masih ada (2B)
Pasien penyakit kritis
Pasien yang dirawat di CCU Menilai risiko TEV dan sebagian besar rutin
menggunakan tromboprofilaksis (1A)
Risiko moderat TEV (contohnya penyakit medis atau post- LMWH atau UFH dosis rendah (1A)
operasi bedah umum)
Risiko tinggi perdarahan Trombofilaksis mekanik (GCS ± IPC ) sampai
risiko perdarahan turun (1A)
Ketika risiko tinggi perdarahan turun Tromboprofilaksis farmakologi
Imobilisasi kronik
Pasien imobilisasi kronik yang tinggal di rumah atau Tidak rutin menggunakan tromboprofilaksis (2C)
rumah perawatan
Stroke iskemik akut
Pasien stroke akut dengan mobilitas yang terbatas Heparin subkutan dosis rendah atau LMWH (1A)
Kontraindikasi antikoagulan (+) IPC atau stocking elastis (1B)
*
Keterangan: Untuk pasien yang menggunakan metode tromboprofilaksis mekanik, harus diedukasi untuk
memastikan penggunaan yang tepat, dan kepatuhan yang optimal terhadap metode ini (1A). LD UFH = low
dose unfractionated heparin; LMWH = low molecular weight heparin; CCU = cardiac care unit; GCS =
graduated compression shocking; IPC = intermittent pneumatic compression.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chan CM, Shorr AF. Prevention of VTE in medical patients: current evidence and recommendations.
Chest Physician. 2009;suppl:7-12.
2. Streiff MB, Lau BD. Thromboprophylaxis in nonsurgical patients. Hematology Am Soc Hematol
Educ Program. 2012;2012:631-7.
3. Moores CLK. Prevention of VTE in hospitalized medical patients: just do it! Chest Physician.
2009;suppl:5-6.
4. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galiè N, et al. 2014 ESC
guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur Heart
J. 2014;35:3033-69
5. Michota F. Venous thromboembolism: epidemiology, characteristics, and consequences. Clin
Cornerstone. 2007;7:8-12.
6. Barbar S, Noventa F, Rossetto V, Ferrari A, Brandolin B, Perlati M, et al. A risk assessment model
for the identification of hospitalized medical patients at risk for venous thromboembolism: the Padua
Prediction Score. J Thromb Haemost. 2010;8:2450-7.
7. Lai J, Rose A. VTE prophylaxis adult-Inpatients/ambulatory–Clinical Practice guidelines. Madison:
University of Wisconsin Hospitals and Clinics; 2014. p.3-19.
8. Mahan CE, Liu Y, Turpie AG, et al. External validation of a risk assessment model for venous
thromboembolism in the hospitalised acutely-ill medical patient (VTE-VALOURR). Thromb
Haemost. 2014;112:692–9.
9. Decousus H, Tapson VF, Bergmann JF, Chong BH, Froehlich JB, Kakkar AK, et al. Factors at
admission associated with bleeding risk in medical patients findings from the IMPROVE
investigators. Chest. 2011;139:69–79.
10. Kearon C, Akl EA, Comerota AJ, Prandoni P, Bounameaux H, Goldhaber SZ, et al. Antithrombotic
therapy for VTE disease: antithrombotic therapy and prevention of thrombosis, 9th ed: American
College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest.. 2012;141:e419S-
496S.
11. Kahn SR, Lim W, Dunn AS, Cushman M, Dentali F, Akl EA, et al. Prevention of VTE in
nonsurgical patients. Antithrombotic therapy and prevention of thrombosis, 9th ed: American College
of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest. 2012;141:e195S–226S
A. PENDAHULUAN
Risiko TEV pada pasien bedah ditentukan dari faktor predisposisi individu dan jenis
operasi. Pemberian profilaksis secara tepat dapat menurunkan kejadian TEV
simtomatik yang membutuhkan biaya lebih banyak untuk prosedur diagnosis dan
penggunaan antikoagulan jangka panjang.1
B. EPIDEMIOLOGI
Pada penderita bedah ortopedi mayor, utamanya adalah total hip arthroplasty
(THA), total knee arthroplasty (TKA), dan hip fracture surgery (HFS). Angka
kejadian TVD pada THA, TKA, dan HFS secara berturut-turut yaitu 42–57%, 41-
85%, dan 46-60%. Sementara itu, angka kejadian EP fatal pada THA, TKA, dan
HFS secara berturut-turut yaitu 0,1–2%, 0,1–1,7%, dan 2,5–7,5% (Tabel 4.2).
Prosedur TVD EP
Total (%) Proksimal (%) Total (%) Fatal (%)
THA 42-57 18-36 0,9-28 0,1-2,0
TKS 41-85 5-22 1,5-10 0,1-1,7
HFS 46-60 23-30 3-11 2,5-7,5
Keterangan: THA = total hip arthroplasty; TKR = total knee arthroplasty; HFS = hip fracture surgery
Stratifikasi risiko TEV pada pasien bedah merupakan masalah yang penting dan
menantang. Stratifikasi ditentukan berdasarkan pertimbangan faktor risiko spesifik
dari pasien dan prosedur operasi. Estimasi TEV menurut model skor Caprini (Tabel
4.3) dilakukan dengan menjumlahkan poin dari berbagai faktor risiko TEV.
Berdasarkan jumlah poin tersebut, didapatkan klasifikasi menjadi: risiko sangat
rendah (0-1 poin), risiko rendah (2 poin), risiko menengah (3-4 poin), dan risiko
tinggi (≥5 poin). Model skor Caprini telah divalidasi dalam studi retrospektif yang
amat besar dengan sampel terdiri dari pasien bedah umum, bedah vaskular, bedah
D. PROFILAKSIS
E. KOMPLIKASI PERDARAHAN
Riwayat IBD Leg plaster cast atau brace Riwayat TEV Stroke (<1 bulan)
Riwayat keluarga TEV (kerabat
tingkat pertama =first degree
Prosedur anestesi lokal Keganasan relative)
Total knee
replacement
Aspirin11 325 mg po dua kali sehari (2C) 325 mg po dua kali sehari (2C)
Keterangan: *Pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang signifikan atau CrCl < 30 mL/menit
dieksklusikan dari penelitian. ESRD = end-stage renal disease; INR= international normalized ratio.
Tata laksana TEV simtomatik setelah tindakan bedah sesuai dengan tata laksana
TEV pada umumnya. Pemberian dosis antikoagulan disesuaikan berdasarkan
pertimbangan klinis dokter yang merawat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Agnelli G. Prevention of venous thromboembolism in surgical patients. Circulation.
2004;suppl IV: 4-12.
2. Gould MK, Garcia DA, Wren SM, Karanicolas PJ, Arcelus JI, Heit JA, et al. Prevention of
VTE in nonorthopedic surgical patients. Chest. 2012;141:e227S.
3. Falck-Ytter Y, Francis CW, Johanson NA, Curley C, Dahl OE, Schulman S, et al. Prevention
of VTE in orthopedic surgery patients. Chest. 2012;141: e278S-325S.
Catharina Suharti
A. PENDAHULUAN
Tata laksana antikoagulasi pada penderita yang akan menjalani prosedur operasi
merupakan masalah bagi klinisi, karena penghentian antikoagulasi sementara
akan meningkatkan risiko tromboemboli. Pada waktu yang sama, pembedahan
atau prosedur invasif dapat mengakibatkan risiko perdarahan yang diperparah
dengan penggunaan obat antikoagulan sebagai pencegahan tromboemboli.1
B. DEFINISI5
1. Perioperatif: periode waktu sebelum, selama, dan setelah prosedur invasif.
2. Bridging: proses dimana obat antikoagulan oral dihentikan dan diganti dengan
obat antikoagulan parenteral subkutan atau intravena sebelum dan/atau
sesudah prosedur invasif.
3. Penundaan sementara: proses dimana obat antikoagulan warfarin dihentikan
untuk satu dosis atau lebih sehingga mengakibatkan hilangnya efek
antikoagulan secara total atau sebagian sebelum prosedur invasif.
Strategi bridging heparin pada perioperatif untuk pasien dalam terapi VKA berdasarkan
risiko tromboemboli dan perdarahan operatif ditampilkan pada Gambar 5.1. Protokol
bridging terapi antikoagulan ditampilkan pada Tabel 5.5. Durasi penghentian DOAC
preoperatif ditampilkan pada Tabel 5.6 dan waktu pemberian kembali DOAC pasca
operasi ditampilkan pada Tabel 5.7.
Gambar 5. 1 Strategi Bridging Heparin pada Perioperatif untuk Pasien dalam Terapi VKA3
Hari Intervensi
Intervensi praprosedur
-7 sampai -10 - Lakukan penilaian untuk antikoagulasi bridging perioperatif
- Tentukan risiko perdarahan jenis prosedur rendah atau tinggi
- Periksa laboratorium sebagai data dasar Hb, trombosit, kreatinin, INR
-7 - Stop antiplatelet (aspirin atau yang lain)
-5 atau -6 - Stop warfarin
-3 - Mulai pemberian LMWH dosis terapi atau menengah (jika INR<2,0)
-1 - Dosis terakhir LMWH praprosedur diberikan tidak kurang dari 24 jam
sebelum pembedahan, separuh dari dosis total harian.
- Periksa INR sebelum prosedur
- INR <1,5: lakukan tindakan pembedahan
- INR >1,5 dan <1,8: reversal dengan vitamin K oral dosis rendah (1-2,5
mg)
Intervensi hari operasi
0 atau +1 - Mulai kembali warfarin dosis pemeliharaan pada sore hari atau pagi
setelah operasi
Intervensi pasca operasi
+1 - Risiko perdarahan rendah: dimulai kembali LMWH sama seperti dosis
sebelumnya; warfarin diberikan kembali
- Risiko perdarahan tinggi: tidak ada pemberian LMWH; warfarin
diberikan kembali
+2 atau +3 - Risiko perdarahan rendah: pemberian LMWH diteruskan
- Risiko perdarahan tinggi: dimulai kembali LMWH dengan dosis sama
seperti sebelumnya
+4 - Risiko perdarahan rendah: periksa INR (stop LMWH apabila INR >1,9)
+7 sampai +10 - Risiko perdarahan rendah: periksa INR
- Risiko perdarahan tinggi: periksa INR
Keterangan: LMWH = low molecular weight heparin; INR= international normalized ratio.
LMWH: Enoxaparin 1,5 mg/kg sekali sehari atau 1,0 mg/kg 2 kali sehari subkutan; dosis menengah:
LMWH: nadroparin 2.850-5.700 U 2 kali sehari subkutan.
A. PENDAHULUAN
Kanker merupakan salah satu faktor risiko TEV, sedangkan TEV sendiri merupakan
penyebab kematian nomor dua penderita kanker, baik rawat inap maupun rawat jalan.
Kanker juga merupakan risiko tinggi untuk kekambuhan TEV. Risiko TEV penderita
kanker meningkat terutama bagi mereka yang sedang menjalani operasi, kemoterapi,
mempunyai mutasi genetik, atau sebelumnya pernah menderita TVD.1
Armand Trousseau adalah orang pertama yang melaporkan hubungan antara kanker
lambung dan trombosis vena. Laporan ini yang mengawali perhatian tentang interaksi
antara hemostasis dan kanker.2
Tromboemboli vena (TEV) dapat merupakan tanda dari kanker yang tersembunyi.
Setidaknya sebanyak 25% pasien dengan TEV diketahui menderita kanker pada saat
masuk rumah sakit dan pada 26% kasus TEV terkait kanker tersebut, diagnosis
kanker tidak diketahui sebelumnya (sindrom Trosseau).1 Analisis dari empat studi
kohort menunjukkan bahwa rasio odds (OR) terjadinya kanker pada penderita dengan
TEV idiopatik dibanding TEV sekunder sebesar 4,8.3
Tromboemboli vena (TEV) dapat ditemukan pada 20% penderita kanker, bahkan
50% penderita kanker akan mengalami TEV pada pemeriksaan postmortem.
Penderita kanker mempunyai kecenderungan mengalami TEV sebesar 4-7 kali lipat
dibanding penderita bukan kanker.4 Studi retrospektif menunjukkan bahwa TEV
Sel kanker dapat melepaskan sitokin proinflamasi dan kemokin, yakni interleukin-1β
(IL-1β), tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan vascular endothelial growth factor
(VEGF). Ketika kontak dengan sel endotel, molekul ini mengekspresikan faktor
jaringan dan menstimulasi produksi plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), yaitu
inhibitor sistem fibrinolisis yang menurunkan regulasi trombomodulin dan
meningkatkan regulasi molekul adesi.9
Telah terbukti bahwa inflamasi diinduksi oleh sel kanker yang menyebabkan
peningkatan protein fase akut (fibrinogen, faktor VIII, faktor von Willebrand (vWF)
Sel tumor juga mempunyai kemampuan untuk melekat pada sel endotel pembuluh
darah, menyebabkan aktivasi koagulasi lokal dan pembentukan trombus. Interaksi sel
tumor dan sel endotel dari host, trombosit, dan leukosit juga dapat memicu trombosis
dengan cara mengaktifkan faktor pembeku lokal, mengakibatkan agregasi trombosit
serta pengaktifan leukosit yang kemudian melepas sitokin (Gambar 6.1).10,11
Faktor risiko trombosis terkait kanker telah banyak diidentifikasi, meliputi faktor
yang terkait dengan pasien, kanker, dan terapi (Tabel 6.1). Faktor terkait pasien antara
lain usia, jenis kelamin, ras, dan komorbid. Komorbid tersebut meliputi infeksi (OR
1,28), penyakit paru (OR 1,57), penyakit ginjal (OR 1,41), dan obesitas (OR 1,52).12
Kategori Keterangan
Faktor terkait pasien Usia lanjut
Jenis kelamin wanita
Ras (Asia lebih rendah, kulit hitam lebih tinggi)
Komorbid (penyakit ginjal, obesitas, infeksi)
Riwayat TEV sebelumnya
Kemampuan beraktivitas yang rendah (status performans)
Faktor terkait kanker Lokasi kanker primer: pankreas, lambung, otak, ginjal, dan ovarium
Stadium lanjut dari kanker
Periode awal setelah diagnosis kanker
Histologi
Faktor terkait terapi kanker Bedah mayor
Perawatan di rumah sakit
Kemoterapi (terutama cisplatin)
Terapi hormon
Agen anti-angiogenik: bevacizumab, sunitinib, sorafenib
Imunomodulator (thalidomide, lenalidomide)
Agen stimulasi eritropoiesis
Transfusi (trombosit dan eritrosit)
Penggunaan kateter vena sentral
Biomarker terkait kanker Hitung trombosit ≥350.000/mm3
Hitung leukosit >11.000/mm3
Hemoglobin <10 g/dL
Peningkatan kadar faktor jaringan
Peningkatan kadar D-dimer
Peningkatan soluble P-selectin
Peningkatan C-reactive protein
Cisplatin, suatu agen yang menyebabkan ikat silang DNA, mempunyai angka
kejadian TEV yang tinggi. Obat imunomodulator (thalidomide dan lenalidomide),
obat golongan antiangiogenik (bevacizumab) dapat meningkatkan risiko trombosis
arteri maupun TEV. Inhibitor tirosin kinase (sunitinib dan sorafenib) dapat
meningkatkan risiko trombosis arteri.
Terapi suportif yang digunakan pada penderita kanker dapat meningkatkan risiko
TEV. Agen yang menstimulasi eritropoiesis (erythropoietin stimulating agent), faktor
penumbuh hematopoietik (GM-CSF/granulocyte macrophage colony stimulating
factor) juga meningkatkan risiko trombosis pada penderita kanker. Transfusi eritrosit
maupun trombosit meningkatkan trombosis arteri atau vena. Sementara itu,
penggunaan kateter vena sentral (indwelling) berkaitan dengan kejadian trombosis
simtomatik maupun asimtomatik (terdeteksi dengan venografi).
Beberapa biomarker telah diidentifikasi sebagai prediksi TEV yang potensial. Suatu
studi menyebutkan bahwa beberapa biomarker tersebut meliputi kenaikan hitung
leukosit dan trombosit, serta kadar hemoglobin yang rendah.16
D-dimer juga merupakan suatu faktor prediktif TEV terkait kanker usus besar. Selain
itu, kenaikan kadar D-dimer juga meningkatkan risiko TEV berdasarkan pada hasil
the Vienna cancer and thrombosis study (CATS).17,18 Walaupun studi tentang nilai
prediktif faktor jaringan pada trombosis terkait kanker hasilnya masih bertentangan,
faktor jaringan terbukti meningkatkan risiko trombosis pada penderita kanker
pankreas. Biomarker lain yang telah diteliti di antaranya soluble P-selectin,
protrombin fragmen 1+2, faktor VIII, dan thrombin generation potential.19-21
Tabel 6. 2 Model Prediktif TEV terkait Kemoterapi pada Penderita Kanker Rawat Jalan (Skor Risiko
Khorana)16
Variabel Skor
Jenis kanker
Lambung atau pankreas 2
Paru, limfoma, ginekologik, kandung kencing, testis 1
2
Indeks masa tubuh ≥35 kg/m 1
Hitung leukosit >11.000/mm3 1
3
Hitung trombosit >350.000/mm 1
Hemoglobin <10 g/dL atau menggunakan faktor penumbuh eritrosit 1
Keterangan: total skor 0 = risiko rendah; total skor 1-2 = risiko menengah; total skor ≥3 = risiko
tinggi
2. Kontraindikasi Relatif
Kontraindikasi relatif adalah kondisi yang mana antikoagulasi mungkin diberikan
bila risiko kekambuhan atau progresivitas trombosis diperkirakan lebih besar
dibanding risiko perdarahan.
a) Lesi intrakranial atau spinal dengan risiko perdarahan tinggi
b) Ulkus lambung aktif atau gastrointestinal dengan risiko perdarahan tinggi
c) Perdarahan aktif namun tidak mengancam jiwa (misalnya hematuria tersamar)
d) Perdarahan intrakranial atau sistem saraf pusat dalam periode 4 minggu yang
lalu
e) Bedah mayor atau perdarahan serius dalam 2 minggu yang lalu
f) Trombositopenia persisten (<50.000/µL).
DAFTAR PUSTAKA
1. Khorana AA. Cancer and thrombosis: implication of published guidelines for clinical practice.
Ann Oncol. 2009;20:1619-30.
2. Elyamany G, Alzahrany AM, Bukhary E. Cancer-associated thrombosis: an overview. Clin Med
Insights Oncol. 2014;8:129-37.
3. Lee AY, Levine MN. Venous thromboembolism and cancer: risks and outcomes. Circulation.
2003;107:I17-21.
4. Connolly GC, Francis CW. Cancer-associated thrombosis. Hematology Am Soc Hematol Educ
Program. 2013;2013:684-91.
A. PENDAHULUAN
Emboli paru (EP) merupakan penyebab kematian ibu yang penting, baik di Eropa,
Amerika, maupun Australia. Faktor risiko berbeda antara periode antepartum dan
postpartum. Risiko TEV tertinggi yaitu pada periode postpartum (hingga 6 minggu
setelah melahirkan).1
Penilaian faktor risiko perlu dilakukan dan diulang pada setiap wanita hamil. Hal ini
telah direkomendasikan dalam beberapa panduan klinis. Identifikasi faktor risiko
yang baik dan pemberian tromboprofilaksis yang tepat dapat menurunkan angka
kematian ibu akibat EP.2,3
Low molecular weight heparin (LMWH) lebih dipilih dibandingkan UFH pada terapi
TEV dengan kehamilan. Sementara itu, warfarin, merupakan kontraindikasi untuk
terapi TEV pada wanita hamil. Namun, obat ini dapat diberikan pada ibu yang
menyusui setelah melahirkan.4-6
B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian TEV pada wanita hamil lima kali lebih tinggi dibanding wanita tidak
hamil dengan usia yang sama. Risiko TEV dilaporkan meningkat sekitar 20 kali
selama periode postpartum.7,8 Angka kejadian TEV yaitu 1,72 setiap 1.000 persalinan
dan mengakibatkan 1,1 kematian setiap 100.000 persalinan.9
C. PATOGENESIS
Peningkatan kejadian TEV pada kehamilan dan masa puerpera terjadi karena stasis
vena dan cedera endotel (Tabel 7.1). Statis vena terjadi karena pada kehamilan terjadi
perubahan dalam kapasitans vena dan kompresi pembuluh darah besar oleh rahim.
Sementara itu, cedera endotel terjadi karena perubahan pada permukaan utero
plasenta dan cedera vaskular selama persalinan.11,12
Hal lain yang menjadi faktor terjadinya peningkatan kejadian TEV pada kehamilan
yaitu adanya peningkatan faktor koagulasi selama kehamilan. Selama kehamilan,
konsentrasi faktor koagulasi VII, VIII, IX, X, XII, dan faktor von Willebrand
meningkat secara signifikan, disertai dengan peningkatan konsentrasi fibrinogen
plasma yang relevan. Fibrinogen plasma sering meningkat menjadi >600 mg/dL pada
akhir kehamilan. Faktor VII dapat meningkat sebanyak sepuluh kali lipat dalam
kehamilan. Faktor von Willebrand dan faktor VIII meningkat pada akhir kehamilan,
serta aktivitas koagulasi kira-kira dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan
tidak hamil. Peningkatan dalam jumlah yang sedikit terjadi pada konsentrasi faktor IX
dan penurunan faktor XI selama kehamilan. Setelah kenaikan awal, faktor XIII turun
bertahap, hingga mencapai 50% dari orang normal yang tidak hamil. Faktor II dan V
tidak berubah secara signifikan pada kehamilan.11,12
Algoritma diagnosis TVD pada kehamilan ditampilkan pada Gambar 7.1. Setiap
wanita hamil dengan keluhan dan tanda yang dicurigai ke arah TEV perlu
dilakukan pemeriksaan objektif dan terapi dengan LMWH atau UFH sampai
diagnosis ditegakkan, kecuali ada kontraindikasi untuk terapi. Konfirmasi
dilakukan dengan compression ultrasound (CUS). Apabila hasil CUS negatif dan
kecurigaan klinik rendah, maka terapi antikoagulan dapat dihentikan. Apabila
CUS negatif, sedangkan kecurigaan TEV tetap tinggi, maka terapi antikoagulan
dihentikan dan pemeriksaan CUS diulang pada hari ke-3 dan ke-7.6
Keterangan: CUS = compression doppler ultrasound; LMWH = low molecular weight heparin; MRI =
magnetic resonance imaging; TVD = trombosis vena dalam.
Algoritma diagnosis EP pada wanita hamil ditampilkan pada Gambar 7.2. Setiap
wanita hamil dengan keluhan dan tanda EP akut harus segera dilakukan
pemeriksaan EKG dan foto toraks. Pada wanita dengan kecurigaan EP, yang juga
mempunyai keluhan dan tanda TVD, maka pemeriksaan CUS perlu dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan US telah dapat mengonfirmasi TVD, maka tidak perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan terapi TEV dilanjutkan 6
Pada wanita yang dicurigai EP tanpa adanya tanda TVD, maka dilakukan
pemeriksaan ventilation/perfusion (V/Q) lung scan atau computerised tomography
pulmonary angiogram (CTPA). Apabila hasil foto toraks abnormal disertai
kecurigaan EP, maka lebih dipilih pemeriksaan CTPA dibanding V/Q scan.
Pemeriksaan alternatif atau ulang perlu dilakukan apabila kecurigaan EP tetap
ada, namun pemeriksaan V/Q scan atau CTPA menunjukkan hasil normal. Terapi
antikoagulan tetap dilanjutkan hingga diagnosis EP secara pasti disingkirkan.
Namun demikian, perlu diketahui bahwa pemeriksaan V/Q scan dilaporkan dapat
Gambar 7. 2 Algoritme Diagnostik pada Kecurigaan Kasus Emboli Paru pada Kehamilan3
Pemeriksaan D-dimer tidak perlu dilakukan pada investigasi TEV pada kehamilan.
Selain itu, belum ada bukti klinis yang mendukung tentang penilaian pre test
probabilitas (Wells) pada tata laksana TEV pada kehamilan.6
Apabila secara klinis dicurigai TVD atau EP, terapi awal dengan LMWH dapat
dimulai sampai dengan diagnosis ditegakkan atau disingkirkan dengan pemeriksaan
objektif, kecuali ada kontra indikasi terapi antikoagulan. Sebelum terapi antikoagulan
dimulai, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium meliputi: hitung darah lengkap,
1. Pemberian UFH
Tabel 7. 2 Kecepatan Infus Disesuaikan dengan Activated Partial Thromboplastine Time (aPTT)5
2. Terapi Tambahan
Pada awal terapi TVD, perlu dilakukan elevasi tungkai dan penggunaan stoking
(graduated elastic compression stocking, GECS) untuk mengurangi edema.
Dianjurkan untuk segera mobilisasi sedini mungkin dengan menggunakan
GECS.5,6
Low molecular weight heparin (LMWH) diberikan selama sisa umur kehamilan,
minimal hingga 6 minggu postpartum dan setidaknya tercapai jangka terapi 3
bulan secara total. Penderita yang mengalami heparin-induced trombocytopenia
(HIT) atau alergi heparin dapat diberikan terapi antikoagulan alternatif (misalnya
fondaparinux).6
Anti vitamin K (AVK) seperti warfarin mempunyai efek samping terhadap janin
sehingga tidak dapat digunakan untuk terapi TEV antenatal. Anti vitamin K
(AVK) dapat melewati plasenta dan dapat mengakibatkan keguguran,
prematuritas, berat badan janin rendah, problem perkembangan saraf, serta
perdarahan fetal atau neonatal. Selain itu, AVK juga dapat mengakibatkan
embriopati pada paparan trimester pertama.
Anestesi regional atau teknik analgesik tidak boleh dilakukan hingga 24 jam
setelah dosis terapi LMWH terakhir. Low molecular weight heparin (LMWH)
tidak boleh diberikan 4 jam setelah anestesi spinal atau setelah pelepasan kateter
epidural, dan kateter epidural ini tidak boleh dilepas dalam 12 jam setelah
injeksi.6
Emboli paru (EP) merupakan penyebab kematian langsung pada ibu. Di Inggris,
tindakan penurunan kematian antenatal akibat TEV yang dilakukan secara luas
dilaporkan dapat menurunan secara signifikan angka kematian matenal akibat EP,
yaitu dari 1,56 per 100.000 (tahun 2003–2005) menjadi 0,7 per 100.000 (tahun
2006–2008).13,14
Semua wanita perlu dilakukan penilaian risiko TEV pada awal kehamilan atau
pra-kehamilan (Tabel 7.3). Penilaian faktor risiko ini perlu diulang apabila wanita
ini masuk rumah sakit disebabkan oleh kondisi apapun, atau timbul masalah pada
waktu yang bersamaan. Begitu juga penilaian risiko perlu diulang kembali pada
saat inpartu dan segera setelah postpartum.15
3. Tromboprofilaksis
Tabel 7. 4 Ringkasan Pedoman Tromboprofilaksis pada Wanita dengan Riwayat TEV dan/Atau
Trombofilia Sebelumnya15
RISIKO SEDANG
Pertimbangkan profilaksis antenatal
dengan LMWH
Tabel 7. 5 Dosis Tromboprofilaksis yang Dianjurkan untuk LWMH Anatenatal dan Postnatal15
DAFTAR PUSTAKA
1. Morris JM, Algert CS, Roberts CL. Incidence and risk factors for pulmonary embolism in the
postpartum period. J Thromb Haemost. 2010;8:998-1003.
2. Biron Andreani C. Venous thromboembolic risk in postpartum. Phlebolymphology. 2013;20:165-
2004.
3. Arya R. How I Manage venous thromboembolism in pregnancy. Br J Haematol. 2011;153:698-
708.
4. Greer IA. Pregnancy complicate by venous thrombosis. N Engl J Med. 2015;373:540-7.
5. Kent N, Leduc L, Crane J, Farine D, Hodges S, Kent N, et al. Prevention and treatment of venous
thromboembolism in obstetrics. SOGC clinical practice guidelines. J SOGC. 2000;95:1-7.
6. Royal College of Obstetricians & Gynaecologist. Thromboembolic disease in prenancy and
puerperium. Acute management. Green-top guideline No. 37b. London: Royal College of
Obstetricians & Gynaecologist; 2015. p.1-32.
OBAT ANTIKOAGULAN
A. PENDAHULUAN
B. KLASIFIKASI
Obat antikoagulan dibagi menjadi dua, yaitu antikoagulan parenteral dan oral.
1. Antikoagulan parenteral
a) UFH
b) LMWH (enoxaparin, nadroparin)
c) Fondaparinux.
2. Antikoagulan oral
a) Antagonis vitamin K (menghambat sintesis faktor II, VII, IX, dan X)
b) Inhibitor trombin (dabigatran)
c) Inhibitor faktor Xa (apixaban, edoxaban, rivaroxaban).
1. Heparin
a. Indikasi
Pengobatan pada TVD dan EP, profilaksis TVD pada pasien dengan penyakit
medik, pada bedah umum, dan profilaksis TVD pada pembedahan (dengan
riwayat TVD sebelumnya).1, 2
b. Farmakokinetik
c. Farmakodinamik
Menghambat pembentukan faktor XIIa, IXa, Xa, Xia, dan IIa (trombin)
dengan meningkatkan aktivitas antitrombin.1
d. Dosis
e. Monitoring
Monitoring dengan aPTT dan tidak ada penyesuaian dosis pada pasien gagal
ginjal. Diperiksa setiap 12 jam untuk menentukan dosis dengan target aPTT
1,5–2,5 kali kontrol atau sesuai dengan kondisi pasien.3
a. Indikasi
b. Farmakokinetik
c. Farmakodinamik
d. Dosis
Enoxaparin1
Profilaksis TEV pada Pasien dengan Penyakit Medis atau Pasien Bedah
i. 40 mg sc setiap 24 jam
ii. Untuk gagal ginjal (CrCl <30 mL/menit): 1 mg/kgBB sc setiap 24 jam.
Nadroparin6, 7
i. Terapi TEV = 86 IU/kgBB setiap 12 jam atau 171 IU/kgBB setiap 24 jam
ii. Profilaksis TEV = 2850 U sc setiap hari.
f. Heparin-Induced Thrombocytopenia1
3. Fondaparinux
a. Indikasi
Pengobatan pada TVD dan emboli paru, profilaksis TVD pada bedah umum,
dan pasien dengan kondisi medis akut.1
b. Farmakokinetik
a. Farmakodinamik
d. Dosis 1, 5
i. Dosis terapi untuk TVD: 5 mg sc/hari untuk BB <50 kg; 7,5 mg sc/hari untuk
BB <50-100 kg; dan 10 mg sc/hari untuk BB >100 kg
ii. Dosis profilaksis TVD: 2,5 mg sc/hari
iii. Dosis untuk gagal ginjal: CrCl 50–80 mL/min atau penurunan klirens total
25% = pertimbangkan penurunan dosis; CrCl 30–50 mL/min atau penurunan
klirens total 40% = pertimbangkan penurunan dosis; CrCl <30 mL/min—
kontraindikasi pemberian.
f. Kontraindikasi1
i. Kateter epidural
ii. Baru saja menjalani operasi spinal atau mata
iii. Riwayat pendarahan mayor (saluran gastrointestinal, intrakranial)
iv. Gangguan pendarahan kongenital atau didapat
a. Indikasi
b. Farmakokinetik
d. Dosis
i. Terapi TEV: dosis awal 2,5-10 mg po setiap 24 jam, dititrasi sampai dengan
kadar international normalized ratio (INR) 2-3 dengan target 2,5.1
ii. Pertimbangkan dosis lebih rendah pada pasien lansia, pasien dengan
gangguan nutrisi, gagal hati, gagal jantung kongestif, atau dengan risiko
tinggi perdarahan.4
iii. Tidak ada penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal.4
e. Monitoring
No Kondisi
1 Pasien yang lemah dan malnutrisi (dosis awal lebih rendah, <5 mg)
2 Pasien dengan gagal jantung kongestif
3 Penyakit hati
4 Pasien baru saja pembedahan mayor, atau mendapat obat yang meningkatkan
sensitifitas terhadap warfarin
5 Penyakit serebrovaskular
6 Penyakit jantung coroner
7 Variasi genetik CYP2C9 and VKORC1
8 Hipertensi sedang-berat
9 Keganasan
10 Gangguan hati
11 Trauma baru
12 Collagen vascular disease
13 Kondisi yang meningkatkan risiko perdarahan
14 Diabetes yang berat
15 Makanan yang banyak mengandung vitamin K (sayuran hijau, teh hijau, hati, dan lain-
lain)
16 Orang tua atau pasien yang lemah (diberikan dosis yang lebih rendah)
17 Hipertiroidisme/hipotiroidisme
18 Kateter epidural
19 Penyakit infeksi atau gangguan flora intestinal, seperti sprue atau terapi antibiotika
20 Status nutrisi yang rendah
21 Defisiensi protein C
22 Heparin-induced thrombocytopenia
Alopurinol Barbiturat
Amiodaron Bosentan
Asetaminofen Karbamazepin
Aspirin Klordiazepoksid
Azitromisin Gingseng
Citalopram Griseofulvin
Diltiazem Mercaptopurine
Entacapone Nafcillin
Eritromisin Fenobarbital
Fenofibrat Ribavarin
Flukonazol Sekobarbital
Fluvastatin Suplemen multivitamin
Gemsitabin Fenitoin
Gemfibrozil
Klaritromisin
Klopidogrel
Kotrimoksazol
Levofloksasin
Lovastatin
Metronidazol
Mikonazol
Omeprazol
Propafenone
Propanolol
Selective serotonine reuptake inhibitor (SSRI)
Simetidin
Simvastatin
Siprofloksasin
Siprofloksasin
Tamoksifen
Tetrasiklin
Tramadol
a. Rivaroxaban
Indikasi
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Dosis
Monitoring
Kontraindikasi1
Indikasi
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Dosis
i. Terapi TVD dan EP: 150 mg po 2 kali sehari setelah pemberian
antikoagulan parenteral 5-10 hari, tidak boleh diberikan pada pasien dengan
CrCl <30 mL/menit dan gangguan fungsi hati dengan kadar transaminase >2
kali ULN.5
ii. Profilaksis stroke dan emboli sistemik: pada non valvular AF = 150 mg po 2
kali sehari (CrCl>30 mL/menit), 75 mg po 2 kali sehari (CrCl 15-30
ml/menit); pada usia >75 tahun dengan risiko perdarahan = 110 mg po 2
kali sehari; operasi panggul dan lutut = 220 mg po 1 kali perhari atau 150
mg 1 kali perhari jika usia >75 tahun. 1,4
Monitoring
Kontraindikasi1
Indikasi
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Dosis
Dosis apixaban untuk TVD diberikan 10 mg per oral per 12 jam/hari selama 7
hari dilanjutkan 5 mg per 12 jam dimulai hari ke 8 sampai 6 bulan pemberian.
Untuk mencegah kekambuhan dilanjutkan 2,5 mg per 12 jam selama 6 bulan
setelah dosis terapi.1 Apixaban diberikan 2,5 mg per oral 2 kali sehari pada
usia ≥ 80 tahun, berat badan ≤60 kg, dan serum kreatinin ≥1,5 mg/dL.1, 5
Monitoring
Komponen Keterangan
H = Hold further doses of anticoagulant (Tunda antikoagulan)
A = Consider Antidote (Berikan antidotum)
S = Supportive treatment (Terapi suportif)
Resusitasi dengan cairan intravena
Support hemodinamik dengan pemantauan ketat
dan obat-obat inotropik
H = Local or surgical Hemostatic measures (Upaya hemostasis lokal atau surgical)
2. Reversal Antikoagulan
Definisi-definisi yang dipergunakan pada situasi reversal antikoagulan meliputi
non-urgent, urgent (tanpa perdarahan), dan urgent (dengan perdarahan). Non-
urgent artinya reversal dilakukan secara elektif (>5 hari sebelum prosedur
operasi). Urgent (tanpa perdarahan) artinya reversal diperlukan dalam hitungan
jam. Urgent (dengan perdarahan) artinya reversal dengan segera.
Penanganan reversal untuk LMWH ditampilkan pada Tabel 8.10.2 Protamin sulfat
merupakan antidotum untuk UFH dan LMWH. Dosis pemberian protamin sebagai
reversal ditampilkan pada tabel 8.11.2
Non-urgent: tunda dosis, pertimbangkan waktu yang lebih lama untuk operasi
mayor, pada pemasangan kateter atau port spinal atau epidural (Tabel 8.12).2
Food and Drug Administration (FDA) pada bulan Maret 2018 menyetujui
idarucizumab (praxbind Boehringer-Ingelheim) sebagai antidotum (reversal)
antikoagulan dabigratan etexilate.11 Menyusul pada bulan Mei 2018, andexanet
alfa (Andexxa Portola Pharmaceutical) sebagai antidotum untuk FXa inhibitor
(rivaroxaban, apixaban).12
Penanganan reversal DOAC yang bersifat urgent ditampilkan pada Gambar 8.1.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Alquwaizani M, Buckley L, Adams C, Fanikos J.. Anticoagulants: a review of the
pharmacology, dosing, and complications. Curr Emerg and Hosp Med Rep. 2013;1:83-97.
2. Cushman M, Lim W, Zakai N. Clinical practice guide on antithrombotic drug dosing and
management of antithrombotic drug-associated bleeding complications in adults. Am Soc
Hematol. 2014;2:1-4.
3. Rahman ARA, Sathar J, Chee CC, Shintamoney E, Hassan HHC, Harunarashid H, et al.
Clinical practice guidelines prevention and treatment of venous thromboembolism. Putrajaya:
Ministry of Health Malaysia; 2013. p.7-124.
4. Blostein M, Kerzner R. Practice guidelines for anticoagulation management. Quebec: Jewish
General Hospital; 2012.
5. Streiff MB, Agnelli G, Connors JM, Crowther M, Eichinger S, Lopes R, et al. Guidance for
the treatment of deep vein thrombosis and pulmonary embolism. J Thromb Thrombolysis.
2016;41:32-67.