TESIS
OLEH
MARIATY PANE
097020014/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
TESIS
Oleh
MARIATY PANE
097020014/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Prof. Dr.Ir. Bustami Syam, MSME)
Ketua Komisi Penguji : A/Prof. Abdul Majid Ismail, B.Sc, B.Arch, Ph.D
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan,
(MARIATY PANE)
Allah SWT atas karunia dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, khususnya dalam
proses penulisan thesis ini. Penulis menyadari bahwa baik dalam pengungkapan,
penyajian dan pemilihan kata-kata maupun pembahasan materi thesis ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan
saran, kritik dan segala bentuk pengarahan dari semua pihak untuk perbaikan thesis
ini.
terhingga kepada Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc; selaku Ketua Program Studi
Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara. A/Prof. Abdul Majid Ismail,
B.Sc, Ph.D; sebagai Dosen Pembimbing Utama dan Ir.N. Vinky Rahman, MT;selaku
Dosen Pembimbing Kedua, yang telah banyak meluangkan waktu dan pemikirannya
Kepada Ir. Basaria Talarosha, MT; Ir. Novrial, M.Eng; dan Achmad Delianur
Nasution, ST, MT, IAI selaku Dosen Pembahas dan Penguji. Para pengelola
Universitas Sumatera Utara serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, terimakasih penulis haturkan atas bantuan dalam proses penyelesaian thesis
Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang
berkepentingan.
Mariaty Pane
Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
No Judul Halaman
2.2 Model Terjadinya Bencana Menurut Pusat Mitigasi Bencana ITB ..................... 20
2.6 Grafik Ruang Daur Hari Masyarakat Permukiman Padat di Kota ...................... 32
4.2 Peta Lokasi Wilayah Kota Tanjung Balai di Provinsi Sumatera Utara ............... 91
4.6 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota III ........... 102
4.7 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV ........... 102
4.15 Kondisi Sumur Dalam di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV ............................ 135
5.2 Zonasi Pembagian Wilayah Sistem Swadaya Penanggulangan Kebakaran ...... 155
No Judul Halaman
3.1 Cara Pemberian Nilai Tolok Ukur Pada Variabel Sumber Bahaya,
Kerentanan dan Ketahanan Terhadap Bahaya Kebakaran................................ 83
4.2 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Selatan Tahun 2009 .......... 96
4.4 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Datuk Bandar Timur Tahun 2009 ............ 97
4.5 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Sei Tualang Raso Tahun 2009 ................. 97
5.1 Jumlah Unit Fasilitas Setiap Blok di Kelurahan Tanjung Balai Kota
III dan Tanjung Balai Kota IV Kota Tanjung Balai......................................... 156
PENDAHULUAN
menyebabkan aktivitas di kawasan ini menjadi semakin tinggi. Hal ini akan
rentan terhadap bencana kebakaran sebagai tempat tinggal mereka. Akibatnya akan
semakin banyak masyarakat kota yang terkonsentrasi menetap pada kawasan yang
rentan terhadap resiko bencana kebakaran, jika terjadi kebakaran di kawasan tersebut
makan probabilitas jatuhnya korban juga akan semakin besar. Berdasarkan hal
tersebut, diperlukan suatu usaha yang dapat digunakan sebagai cara untuk
permukiman padat yang memiliki tingkat kerentanan (vulnerability) yang relatif lebih
alam, maupun non-alam yaitu bersumber dari ulah manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
disasters) maupun bencana non-alam yang diakibatkan oleh kelalaian manusia (man-
made disasters). Sumber bencana oleh alam yang menyebabkan terjadinya kebakaran
adalah petir, gempa bumi, letusan gunung api, kekeringan dan lain sebagainya.
terjadinya kebakaran diantaranya adalah kebocoran gas LPG yang mudah terbakar,
Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kawasan perkotaan yang memiliki
Kebakaran Kota Tanjung Balai, selama tahun 2009 terjadi 21 kali kejadian kebakaran
sementara dari awal tahun hingga bulan Februari 2010 telah terjadi 6 bencana
kebakaran. Hal ini menunjukkan Kota Tanjung Balai memiliki rata-rata kejadian
kebakaran sebanyak 1,9 kali per bulan. Selain menimbulkan kerugian materi,
kebakaran di Kota Tanjung Balai juga menimbulkan korban nyawa dan luka-luka.
20% disebabkan oleh ledakan kompor, lampu, dan lain-lain. Sekitar 78% kejadian
kebakaran terjadi pada bangunan permukiman penduduk, hal ini dikarenakan pada
umumnya bahan bangunan rumah yang digunakan sangat rentan terhadap kebakaran.
Dengan demikian maka Kota Tanjung Balai termasuk pula ke dalam kawasan
Tanjung Balai yang memiliki peluang terjadinya kebakaran. Hal ini dikarenakan
kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan yang memiliki jumlah kepadatan
penduduk yang terbesar di Kota Tanjung Balai, yaitu sebesar 21.001 penduduk tiap
km2 (BPS Kota Tanjung Balai Tahun 2008). Dengan jumlah kepadatan penduduk
tersebut, maka kecamatan ini memiliki tingkat aktivitas penduduk yang tinggi pula.
Selain itu, besarnya peluang terjadinya kebakaran di kecamatan ini didukung oleh
data Unit Pemadam Kebakaran Kota Tanjung Balai tahun 2010, yang menyatakan
bahwa Kecamatan Tanjung Balai Utara merupakan salah satu wilayah di Kota
Sistem proteksi kebakaran di Kota Tanjung Balai yang telah ada saat ini berupa
tingkat resiko kebakaran dan analisis kondisi fisik lingkungan permukiman belum
kota untuk melihat tingkat resiko kebakaran yang meliputi sumber, kerentanan dan
Fokus kepada Kecamatan Tanjung Balai Utara sebagai wilayah terpadat sebagai
studi kasus penelitian. Hasil kajian penelitian diharapkan mampu sebagai dasar yang
permukiman padat.
dapat terjadi dimana saja dan kapan saja,. Banyak yang memandang bencana
kebakaran, bukan sebagai resiko yang dapat diminimasi, melainkan sebagai musibah.
Juga masih kuat anggapan bahwa biaya untuk proteksi terhadap bahaya kebakaran
bukan biaya yang tergolong sebagai biaya investasi yang dapat dikembalikan dalam
waktu relatif cepat. Namun pada dasarnya kebakaran merupakan kejadian yang
kawasan ini disebabkan oleh bahaya kebakaran yang dimiliki kawasan permukiman
padat, yang tidak didukung adanya ketahanan lingkungan dan masyarakat seperti
tersebut didukung oleh adanya kerentanan lingkungan dan masyarakat seperti jarak
antar rumah yang terlalu rapat, bahan bangunan rumah yang mudah terbakar, tidak
kebakaran yang dapat menimbulkan kerugian material, moril, dan fisik, maka
kerentanan yang dimiliki oleh kawasan permukiman padat harus dikurangi bahkan
Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Kota Tanjung Balai 2010
kajian tentang identifikasi tingkat resiko kebakaran dan analisis kondisi fisik
padat di kota?
Kecamatan Tanjung Balai Utara. Sedangkan sasaran yang digunakan untuk mencapai
permukiman padat
permukiman padat
Ruang lingkup studi terdiri dari dua cakupan ruang yaitu ruang lingkup wilayah
Kota Tanjung Balai adalah salah satu wilayah kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Sumatera, yang secara geografis terletak pada 20 58’ 00” LU dan 990 48’ 00”
BT. Kota ini berada disebelah Tenggara yang berjarak lebih kurang 250 Km dari
Kota Medan. Kota ini berada di pinggir pantai yaitu Pantai Timur Sumatera yang
Tahun 2005 tanggal 4 Agustus 2005 tentang Pembentukan Kecamatan Datuk Bandar
Timur dan Nomor 3 Tahun 2006 tanggal 26 Pebruari 2006 tentang Pembentukan
Kelurahan Pantai Johor di Kecamatan Datuk Bandar, maka wilayah Kota Tanjung
Balai menjadi 6 kecamatan dan 31 kelurahan. Adapun kecamatan dan kelurahan yang
a. Kelurahan Sijambi
b. Kelurahan Pahang
c. Kelurahan Gading
d. Kelurahan Sirantau
c. Kelurahan Karya
d. Kelurahan Perwira
e. Kelurahan Sejahtera
e. Kelurahan Perjuangan
Kota Tanjungbalai memiliki luas wilayah 60,529 Km2 (6.052,9 Ha), yang
Wilayah yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kecamatan Tanjung Balai
Utara, Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari lima kelurahan
yaitu Kelurahan Tanjung Balai Kota III, Kelurahan Mata Halasan, Kelurahan Kuala
Silo Bestari, Kelurahan Tanjung Balai Kota IV dan Kelurahan Sejahtera. Wilayah ini
dipilih berdasarkan:
1. Dari enam kecamatan yang ada, wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara
3. Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kota yang ada di Provinsi
luas wilayah terkecil dari nilai luas wilayah kecamatan lainnya namun
disaster), namun juga dapat disebabkan oleh alam (natural hazard). Studi ini hanya
lingkungan binaan yang terbentuk oleh keberadaan manusia yang sangat berpotensi
sebagai penyebab bencana kebakaran yang terlingkup dalam sumber bahaya yang
kerentanan keberadaan material dan properti sebagai tempat tinggal dan tingkat
tersebut.
dan ketahanan bencana kebakaran akan merunut pada studi literatur seperti teori,
penduduk berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, fisik, sarana dan prasarana serta
untuk melihat sejauh mana tingkat resiko bencana kebakaran di permukiman padat.
Sistematika Pembahasan yang akan disajikan pada studi ini sebagai berikut:
Bab ini akan dimulai dengan segala permasalahan yang melatarbelakangi studi yang
dilengkapi dengan rumusan masalah, tujuan dan sasaran studi, ruang lingkup studi
yang terdiri dari ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup substansi, metodologi
penelitian yaitu metode pendekatan studi, metode pengumpulan data dan metode
Bab ini diawali dengan membahas kawasan permukiman melalui teori tipologi
akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel dan tolok ukur bahaya kebakaran di
permukiman padat.
Bab ini menjelaskan jenis penelitian yang digunakan serta menjelaskan konsep dan
akan melahirkan penilaian relatif tingkat resiko bencana kebakaran di wilayah studi.
Bab ini menjelaskan wilayah studi yang telah dilakukan dan diteruskan berupa
Bab ini menjelaskan temuan dari studi yang telah dilakukan dan diteruskan berupa
padat di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara. Selain itu akan dijelaskan
Bab ini menjelaskan hasil rangkuman atau kesimpulan hasil penelitian serta saran
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang teori-teori dan faktor-faktor yang harus diperhatikan
akan dikaji merujuk kepada ranah sosial yang di kemukakan oleh Giddens (1984).
Istilah ‘sistem’ menurut Giddens (1984) dalam ranah sosial adalah hubungan
praktek-praktek sosial reguler. Sistem merupakan sesuatu yang terus berubah atau
permasalahan atau ketentuan aktivitas tertentu. Sistem lahir atas adanya struktur.
Sedangkan ‘struktur’ dalam ranah sosial adalah aturan dan sumber daya atau tata-
bahwa sistem penanggulangan kebakaran adalah suatu ketetapan atas hubungan yang
kebakaran yang dalam hal ini di kawasan permukiman padat di Kecamatan Tanjung
Balai Utara Provinsi Sumatera Utara. Sistem yang terbentuk pasti tidak sama pada
setiap ranah, sebab setiap ranah memiliki kondisi yang berbeda-beda; dan sistem lahir
Dalam hal ini, studi tidak sanggup untuk merumuskan semua faktor-faktor yang
ada hingga mampu melahir suatu ‘sistem’ yang dimaksud dalam penanggulangan
bencana kebakaran oleh karena waktu studi yang terbatas. Studi hanya mengkaji
meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan tersebut. Pada gambar 2.1 siklus
atau daur penanganan bencana sebagai pemahaman aktivitas yang terjadi terus-
yang ditemui.
dari ancaman melalui pengendalian dan pengubahsesuaian fisik dan lingkungan. Lalu
kebutuhan yang akan timbul bila terjadi kedaruratan bencana dan pengenalan
yang dilakukan seketika sebelum dan atau setelah terjadinya kejadian bencana.
mendapatkan kembali sesuatu yang hilang dan membangun kembali kehidupan serta
sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat
Siklus pengaturan bencana merupakan acuan atau sasaran yang akan dicapai
bila terjadi bencana. Sebagai pendekatan, akan tampil konsepsi manajemen bencana
Model ini terfokus pada kejadian bencana dan tanggap darurat. Model ini
juga mengasumsikan bahwa bencana tidak dapat dihindari, selain itu model
bencana. Bedanya adalah pada pandangan bahwa bencan dapat diakhiri atau
3. Contract-Expand Model
5. Crunch Model
dampak negatif dari suatu bahaya. Model ini juga memandang bencana
bahaya.
ketahanan. Pada gambar 2.2 menerangkan model terjadinya bencana menurut pusat
mitigasi Bencana ITB, resiko terjadinya bencana dapat dilihat dari bahaya yang
pemahaman rumusan ini, dapat dijustifikasi bahwa resiko bencana dapat dikurangi
Sehingga resiko bencana kebakaran setiap kawasan dapat di ukur melalui sumber
menanggapi bencana, model Crunch lebih relevan digunakan sebagai alat untuk
atau sebagai masukan untuk sistem yang telah terbentuk, karena proses pemikirannya
melibatkan aktor kunci (key-actor), ahli teknis dan pemerintah sebagai pe-bijak.
Makna istilah ‘sistem’ oleh Giddens sejalan dengan konsep Crunch yang memikirkan
dukung oleh ‘kerentanan’ yang dapat diantisipasi ataupun ditekan dengan tindakan
dipastikan bahwa kawasan tersebut akan jauh dari bahaya bencana karena menghapus
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan
psikologis.
yang dikutip dalam Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan Bakornas 2002
bencana yaitu:
2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
terjadinya bencana. Sedangkan faktor penyebab terjadinya bencana tidak terlepas dari
kerentanan kawasan setempat. Oleh karena itu, kerentanan menjadi faktor penentu
Menurut Sanderson (1997), yang terdapat pada gambar 2.3 beberapa faktor
resiko bencana merupakan hasil dari kerentanan bertemu dengan bahaya yang ada.
Bahaya dapat dilihat berdasarkan tipe, frekuensi dan kualitas bahaya yang akan
infrastruktur, dan organisasi yang dimiliki suatu kawasan. Dalam konteks ini tidak
terdapat suatu pertimbangan terhadap potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan
resiko
yang ada pada gambar 2.4 menjelaskan bahwa resiko bencana merupakan fungsi dari
ancaman (A) dengan keadaan (K) yang rentan, yang dapat dirubah dengan adanya
kemampuan (m). Pemahaman resiko ini dapat dijadikan rumus dalam mengantisipasi
bahaya yang akan muncul dengan nilai resiko yang dihasilkan adalah 0 (nol).
pada wilayah studi akan dibahas terlebih dahulu tentang konsepsi tipologi perumahan
dan pemukiman perkotaan sebagai objek atau sasaran penyelesaian dalam lingkup
desa (rural) menuju kota (urban). Pergumulan modal di kota lebih besar dibanding
gambar 2.4.
memberikan peluang dan harapan bagi masyarakat tersebut untuk berkarya. Oleh
karena lokasi karya berjauhan dengan tempat tinggalnya di desa, kemudian mereka
tinggal di kota secara komunal dengan kualitas fisik tempat tinggal yang rentan
Hal ini sejalan dengan pengamatan Dwyer dalam Potter dan Lloyd-Evans
pusat kota untuk mencari pekerjaan baik sektor formal maupun informal.
tempat tinggal dan lingkungan mereka serta faktor ekonomi dan sosial budaya
mereka.
Pusat
Kota
Kesempatan kerja di kota
Pingiran
Kota
(Penyerbuan
dan Pergantian)
Lokasi Ideal
Perpindahan
Beberapa Beberapa
Squatter Pertumbuhan Squatter
Squatter
Kondisi air Kondisi lahan
buruk sempit
Kota-kota
kecil dan
sekitarnya
tertentu yang berdasar atas pemikiran tertentu melalui analisis tertentu. Konvensi
merupakan sesuatu yang sudah ditetapkan, kemudian dilaksanakan menjadi suatu hal
yang wajar. Rumah, merupakan suatu ruang dimana manusia menjalani daur harinya
Material standar berarti material dengan daya tahan tertentu terhadap faktor-faktor
yang dapat merusak material tersebut melalui uji coba ketahanan tertentu. Kemudian
Setelah itu keberadaan permukiman yang berdiri diatas lahan resmi yang dapat
Pemakaian material tempat tinggal kerap kali tidak menggunakan material standar,
kegunaan ruang yang akan dipakai, sehingga ‘rumah’ tidak dapat melakukan daur
Permukiman berdiri di atas lahan yang bukan miliknya atau berstatus ilegal,
yang sewaktu-waktu keberadaan mereka akan hilang karena diambil alih oleh yang
memahami konsep fisik tempat tinggal mereka, kita beranjak pada pembahasan
atas prioritas dan kebutuhannya (Turner dalam Potter dan Lloyd-Evans, 1998), yaitu:
mengambil posisi tembak yang akan di tuju. Dalam hal ini kelompok masyarakat
yang berdekatan dengan lokasi karyanya; posisi tembak adalah pusat kota
(mengandung segala ceruk ekonomi) yang dituju untuk mencari pendapatan. Selain
itu kelompok ini cenderung berprioritas hidup untuk makan, maka rumah hanya
menjadi sarana untuk istirahat belaka. Atas karakteristik ini dapat kita pastikan bahwa
kelompok ini pasti bertinggal di fisik tempat tinggal yang sangat rentan terhadap
yang sudah melakukan konsolidasi) yaitu makna rumah sebagai tempat konsolidasi
keuangan, maka prioritas kedekatan terhadap lokasi karya menjadi semakin kurang
(fasilitas) berhuni. Atas karakteristik ini, kondisi fisik tempat tinggalnya mulai lebih
yang sudah dianggap penting untuk melaksanakan daur hari di kota; sehingga tingkat
memandang rumah sebagai pembeda status) yaitu rumah sebagai status diri, terjelma
dalam bentuk kualitas fisik dan sarana penunjang yang berkualitas pula. Atas
karakteristik ini dapat dipastikan bahwa keberadaan fisik tempat tinggal mereka
material standar yang memiliki kekuatan tertentu untuk mengahadapi bahaya seperti
bencana kebakaran.
Manusia bergerak dalam ruang, dan akan selalu dalam ruang. Dalam menjalani
hidupnya, manusia melakukan beberapa kegiatan dan kegiatan itu terulang kembali
tempat terjadinya proses bertinggal atas kegiatan tertentu yang terus berlangsung
melalui ruang, dan tempat tinggal sebagai jelmaannya. Relph (1976) mengungkapkan
bahwa tempat bukan sekedar sesuatu itu berada, tapi lebih dari itu, lokasi dan segala
sesuatu yang ada pada lokasi tersebut, dan tampil sebagai suatu gejala yang berarti
serta menyatu.
Di dalam rumah banyak terdapat properti atau barang-barang milik yang digunakan
menunjukkan grafik ruang daur hidup manusia menurut Erikson (1997), disini kita
Laju usia
terhadap aktivitas Usia bermain: 3-5
yang meruang
Aktivitas di
tempat tinggal
Gambar 2.5 Grafik Ruang Daur Hidup Manusia Menurut Erikson (1997)
Pada masa bayi hingga anak (0-5 tahun), waktu daur hidup manusia lebih
perawatan tubuh dan pikiran secara intensif dari orang tuanya di tempat tinggal. Pada
masa anak hingga remaja (5 hingga 18 tahun), waktu daur hidup remaja sudah mulai
daur hidupnya masih banyak dijalani di tempat tinggal. Pada masa dewasa (19 hingga
65 tahun), waktu daur hidup lebih banyak dihabiskan di kota dari pada di tempat
tinggal karena pada masa ini mencari penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya melalui kinerja, karya dan pikiran. Pada masa tua (65 hingga mati),waktu
Pada gambar 2.6 grafik ruang daur hari masyarakat permukimana padat di kota
manusia yang banyak menghabiskan daur hidupnya lebih banyak di rumah dibanding
dan pengayoman orang tua beserta saudara dalam proses menjalani kehidupan.
Siang
Aktivitas di
luar tempat
Malam
Aktivitas di
tempat tinggal
Di Tempat Tinggal Di Lokasi Karya
Gambar 2.6 Grafik Ruang Daur Hari Masyarakat Permukiman Padat di Kota
Gilbert dan Gugler dalam Potter dan Lloyd-Evans (1998) merumuskan tiga kategori
pekerja di lingkungan perkotaan, pertama yaitu employment atau pekerja tetap dengan
seharusnya. Biasanya definisi ini terdapat pada pekerja buruh, karena mereka mencari
beraktivitas yang dikelompokkan pada waktu sepanjang hari atau lebih dari
Ketiga, dapat disebut sebagai ‘pekerja terselubung’ yaitu bekerja hanya pada
saat diperlukan karena opurtunis (pemberi kerjaan) tidak mampu menampung tenaga
kerentanan bahaya kebakaran hampir tidak ditemui karena rumah bukan merupakan
ceruk ekonomi yang ada untuk meningkatkan pendapatan. Besar kemungkinan bahwa
meningkatkan penghasilan. Hal ini dapat memicu bahaya atau berpotensi terjadinya
Masyarakat dalam konotasi umum yaitu asosiasi sosial atau interaksi dan dapat
juga diartikan sebagai unit mempunyai batas yang menandai dari masyarakat yang
lain. Dalam properti sosial, masyarakat memiliki prilaku tertentu untuk bertindak
hidup berdampingan dengan lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat dapat dipandang
secara dinamis karena dapat menjadi subjek sekaligus objek. Namun keberadaan
permukiman perkotaan.
ada tiga klasifikasi masyarakat yaitu masyarakat suku (tribal society), masyarakat
terbagi atas kelas (class divided society) dan masyarakat kelas (class society).
Dalam masyarakat kesukuan atau budaya lisan, prinsip struktural yang dominan
kekeluargaan yang tersemat dalam ruang dan waktu. Media integrasi tergantung pada
bencana. Namun dengan pola pikir masyarakat ini juga akan berpotensi kerentanan
Salah satu contoh relevan terhadap pola pikir masyarakat ini adalah dengan adanya
pencurian arus listrik yang dipakai secara bersama-sama atau juga menggunakan alat
masak yang tidak dianjurkan dengan kayu bakar karena merasa tidak mampu
kondisi bahwa pemerintah tidak dapat masuk ke dalam adat istiadat setempat.namun
walaupun begitu, klasifikasi masyarakt ini sudah mengenal tata hukum yang berlaku,
prosedur aktivitas ekonomi dan cara-cara kordinasi simbolis yang didasarkan pada
teks tertulis.
Pola pikir masyarakat sudah lebih maju dari masyarakat kesukuan sebab telah
masyarakat ini masih memiliki potensi kerentanan yang tinggi terhadap bahaya
kebakaran karena segala peraturan yang berlaku kerap dilanggar demi peningkatan
secara teknis. Maka sesuatu yang tercipta harus berdasarkan uji dan analisis yang
mendalam dengan penataan yang terencana dalam jangka waktu guna yang tertentu.
khususnya akibat ulah manusia dapat dihapuskan karena terdapat pemahaman bahwa
kekeliruan dirisendiri tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
dengan terjemahan:
1. Resiko bencana akan semakin besar bila faktor bahaya didukung oleh faktor
2. Resiko bencana dapat di tekan atau dihapuskan bila faktor bahaya yang di
ketahanan.
Bahaya adalah kejadian yang jarang atau ekstrim dari lingkungan karena ulah
properti atau aktivitas pada tingkat yang menyebabkan bencana. Secara umum,
bahaya juga dapat diartikan sebagai suatu kejadia yang dapat mengarah pada
1. Natural Hazard yaitu bahaya yang disebabkan oleh kejadian alam seperti
teknologi.
Dari ketiga penyebab bahaya yang tampil di atas, studi ini akan terfokus pada
bahaya yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam ranah fisik tempat tinggal dan lingkungannya, ekonomi dan sosial kebudayaan
kemasyarakatannya.
mencegah bahaya dan memulihkan diri dari dampak bahaya. Baik kerentanan
1. Ekonomi seperti penghasilan yang tidak mapan serta tidak ada fasilitas
mendapat kesempatan karena masalah gender, lanjut usia atau masih terlalu
muda.
kepadatan penduduk, struktur umur balita dan lansia, segresasi sosial dan disparitas
atau politis dan kondisi fisik bangunan seperti kepadatan bangunan, konstruksi
1. Persentase bangunan yang terbuat dari kayu yang menjelaskan bahan bakar
3. Persentase penduduk berusia 0-4 dan 65+, penduduk sakit, cacat dan hamil.
Project tahun 2004 menyebutkan bahwa kerentanan dapat dilihat berdasarkan pada:
utama terhadap intensitas api; kualitas bangunan dapat dilihat dari tipologi
kerentanan adalah:
untuk melihat akses yang ada dibanding dengan ketentuan dalam peraturan.
faktor kerentanan yang berbalik pada nilai ketahanan apabila dapat melayani
penanggulangan bencana.
yang tidak baik akan malah mendukung rambatan api ke bangunan yang ada
disekitarnya.
3. Struktur Bangunan
4. Jarak antar bangunan, faktor ini juga menentukan faktor daya rambat
nilai bahaya terhadap bencana dan sebaliknya, semakin rapat jarak antar
kerusakan terhadap fisik bila ada faktor bahaya tertentu, melihat dari
panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM dan jalan kereta api.
pihak swasta serata peran partisipatif yang lebih luas yang berguna bagi
4. Kearifan lokal
bencana.
kebutuhan, hidran, tandon air bersih serta alat-alat berat yang mempercepat
sukarelawan.
yaitu personel pemadam kebakaran; penyediaan kebutuhan air gawat darurat; dan
Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project tahun 2004 yaitu
oleh keberadaan sumber air yang jelas dan ruang gerak yang baik bagi mobil
pencegah kebakaran, ketersediaan splingkler, hidran, detektor, special fire lift, dan
kebakaran pada petugas yang didukung dengan ruang terbuka yang luas sebagai
ruang gerak mobil kebakaran dalam menangani kebakaran dengan cepat dan tuntas.
1. Lokasi pos pemadam kebakaran yang tidak melebih dari radius 7,5 km dan
yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5 km dari
masing-masing pos terdiri dari dua regu jaga. Lalu pos kebakaran dipimpin
jeram, sumur dalam dan saluran irigasi, tangki air, tangki gravitasi, kolam
3. Ketersediaan bahan pemadam bukan air seperti foam atau bahan kimia
lainnya.
darurat kebakaran.
mitigasi yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui
ancaman bencana. Menurut Carter (1992) ada lima prinsip dasar mitigasi yaitu:
1. Initiation yaitu mitigasi yang dapat dikenal dalam tiga konteks berbeda yaitu
yang bisa saja memlaui komitmen politik dalam inisiasi awal serta
pemeliharaan mitigasi.
Menurut Godschalk (1999), mitigasi terbagi dalam dua kategori yaitu mitigasi
bahaya. Atas hal ini, mitigasi struktural berpotensi untuk memberi perlindungan
jangka pendek terhadap ancaman dalam jangka waktu yang panjang. Mitigasi non-
struktural yaitu melakukan mitigasi melalui penghindaran terhadap area bahaya yaitu
dengan cara mengarahkan pembangunan yang baru yang berjauhan dari lokasi yang
berpotensi bahaya. Pengarahan dapat dilakukan dengan regulasi dan rencana tata
Istilah kebakaran (Agung, 2004) memiliki arti proses penyalaan api yang dapat
terjadi dimana saja dan kapan saja serta didukung ketersediaan material sebagai
bahan bakar. Kata ‘kebakaran’ mengandung makna adanya bahaya yang diakibatkan
lingkungan, terhentinya proses produksi barang serta jasa, serta ancaman terhadap
menimbulkan akibat-akibat sosial, ekonomi dan psikologi yang luas serta kebakaran
kebakaran.
Panas dan Material yang mudah terbakar (bahan bakar). Keseimbangan unsur-unsur
1. Oksigen atau gas O2 yang terdapat diudara bebas adalah unsur penting dalam
pembakaran suatu benda. Kadar oksigen yang kurang dari 12 % tidak akan
menimbulkan pembakaran.
sumber panas tersebut dapat berupa sinar matahari, listrik, pusat energi
3. Pada gambar 2.8 dijelaskan tentang segitiga api (tetrahedron api) . Bahan
yang mudah terbakar (bahan bakar), bahan tersebut memiliki titik nyala
berubah menjadi uap dan akan menyala bila tersentuh api. Bahan makin
mudah terbakar bila memiliki titik nyala yang makin rendah. Dari ketiga
reaksi kimia.
Bahan Oksigen
Bakar Rantai
reaksi
Kimia
Panas
tahapan terjadi peningkatan suhu, yaitu perkembangan dari suatu rendah kemudian
sampai saat bahan yang terbakar tersebut habis dan api menjadi mati atau padam.
period) dan tahap pembakaran (steady combustion). Tahap tersebut dapat dilihat pada
Kemudian tahap kebakaran menurut ilmu fisika bangunan terdiri atas tiga tahap
yaitu:
1. Tahap Pembaraan, yaitu tahap dimana permukaan bahan mulai membara dan
suhu udara memanas sampai suhu mengizinkan lompatan api (flash over)
dan permukaan bahan menyala di seluruh ruang yang terkena api. Oleh
karena itu, ciri khas pembaraan tergantung dari luas ruang yang terkena api
secara berarti. Tahap pembaraan ini akan sangat singkat jika cairan menyala
melingkupi ruang yang sedang terkena api, maka makin lama pula jangka
3. Tahap Pendinginan, tahap dimana jumlah energi bahan bakar tidak cukup
agak lama karena jika suhu dalam ruang mulai menurun, maka bagian
tersimpan di dalamnya.
Namun menurut Mantra (2005) proses perkembangan api melalui empat tahap,
yaitu:
1. Tahap Penyalaan atau Peletusan, tahap ini ditandai oleh munculnya api
dalam ruangan yang disebabkan energi panas yang mengenai material dalam
ruangan.
2. Tahap Pertumbuhan, pada tahap ini api mulai berkembang sebagai fungsi
dari bahan bakar. Tahap ini merupakan tahap yang paling tepat untuk
melakukan evakuasi dan tahap dimana sensor pencegah kebakaran atau alat
tahap pembakaran penuh dengan suhu 300 hingga 600 derajat celcius.
adalah energi yang paling besar; seluruh material dalam ruang terbakar
5. Tahap Surut, yaitu tahap yang ditandai dengan material terbakar yang mulai
habis dan temperatur mulai menurun. Pada suatu peristiwa kebakaran, terjadi
perjalanan yang arahnya dipengaruhi oleh lidah api dan materi yang
menjalar kearah horizontal. Karena sifat itu, maka kebakaran pada gedung-
gedung bertingkat tinggi, api menjalar ketingkat yang lebih tinggi dari asal
api tersebut.
Saat yang paling mudah dalam memadamkan api adalah pada tahap
pertumbuhan. Bila sudah mencapai tahap pembakaran, api akan sulit dipadamkan
atau dikendalikan.
Menurut Dinas Pemadam Kebakaran (2006), terdapat pada tabel 2.1 mengenai
Tabel 2.1 Laju Pertumbuhan Kebakaran Menurut Dinas Pemadam Kebakaran (2006)
Waktu Pertumbuhan/Growth
Klasifikasi Pertumbuhan
Time (detik)
Tumbuh Lambat (Slow Growth) > 300
Tumbuh Sedang (Moderete Growth) 150 – 300
Tumbuh Cepat (Fast Growth) 80 – 150
Tumbuh Sangat Cepat (Very Fast Growth) < 80
Sumber: Observasi, Mei 2011
Adapun sumber datangnya api menurut Davidson (1997) berasal dari collateral
hazard yaitu api muncul akibat adanya bahaya alam misalnya gempa bumi, rusaknya
pipa gas, jatuhnya pemanas air, pembakaran akibat tumpahnya cairan kimia dan
adanya hubungan pendek arus listrik. Sedangkan menurut Urban Research Institute
pada Lao Urban Disaster Mitigation Project 2004, sumber api berasal dari keberadaan
liquid gas (rumah makan atau pedagang skala kecil) dan sistem pemasangan
Menurut Mantra (2005), sumber api berasal dari hubungan singkat arus listrik,
kompor minya tanah, perlengkapan penerangan non listrik seperti lampu tempel dan
lilin serta faktor munculnya api di lingkungan permukiman dari bara puntung rokok.
Menurut National Fire Protection Agency No. 1231, sumber api dipengaruhi oleh
keberadaan industri yang menggunakan bahan padat bukan logam dan logam,
keberadaan pom bensin, pemasok bahan bakar minyak dan LPG, kebocoran peralatan
listrik dan korsleting listrik. Termasuk dalam sumber api menurut Fire Risk
Assessment adalah listrik, pemanas listrik, gas atau minyak, penggunaan minyak
Dari berbagai sumber api berdasarkan literatur yang ada, dapat disimpulkan
bahwa sumber api di dominasi berasal dari aktivitas manusia, selama aktivitas
kehidupan tersebut terus berjalan maka selama itu juga bahaya kebakaran selalu
meredam meluasnya api melalui pemenuhan perangkat tertentu dan pola simulasi
mempercepat atau meredam wilayah terbakar yang lebih luas. Ada empat jenis
mudah terbakar seperti kertas, kayu dan pakaian yang tergolong sebagai
2. Kebakaran bahan cairan yang mudah terbakar seperti minyak bumi, gas,
menggunakan alat pemadam pelengkap yang memakai zat kimia yaitu foam,
alat-alat listrik generator dan motor listrik disebut jenis kebakaran kelas C.
kimia kering.
Pemadam Kebakaran Jakarta Tahun 2006, berdasarkan kelas resiko, material dan
Kelas A Kayu, kertas, kain Dry Chemichal Multiporse dan ABC Soda
Acid
Kelas B Bensin, Minyak tanah, Dry Chemichal Foam (serbuk bubuk), BCF
varnish (Bromoclorodiflour Methane), CO2, dan Gas
Hallon
Kelas C Bahan – bahan seperti Dry Chemichal, CO2, Gas Hallon dan BCF
asetelin, methane, propane (Bromoclorodiflour Methane).
dan gas alam
Kelas D Uranium, magnesium dan Metal x, metal guard, dry sand dan Bubuk
titanium Pryme
Sumber: Observasi, Mei 2011
Dari keempat jenis kebakaran tersebut yang jarang ditemui adalah kelas D,
biasanya untuk kelas A, B dan C alat pemadamnya dapat digunakan dalam satu
tabunng atau alat yang dijual secara umum, kecuali bila diperlukan jenis khusus.
diklasifikasikan dalam angka untuk menentukan kualitas resiko yang harus dihadapi
mempertimbangkan resiko bahaya yang paling rawan dimana jumlah dari isi
berkembangnya api sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang
tinggi. Status ini melingkupi bangunan sekitar dengan radius 15 meter atau
kurang.
berkembangnya api sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang
tinggi. Status ini melingkupi bangunan sekitar dengan radius 15 meter atau
kurang.
pada tingkat ini dapat diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai
bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi serta memiliki tumpukan bahan
mudah terbakarnya tidak melebihi 2,5 meter. Kebakaran pada tingkat ini
rendah.
Dari tingkat status resiko bahaya kebakaran dapat disimpulkan bahwa semakin
kecil angka klasifikasi maka status bahaya semakin tinggi dan sebaliknya bahwa
semakin besar angka klasifikasi maka status bahaya semakin rendah. Dengan
memahami klasifikasi resiko bahaya kebakaran terhadap bahan yang terbakar serta
kita untuk menentukan sistem penanggulangan yang sesuai untuk permukiman padat
Yang menentukan meluasnya kebakaran adalah dari segi cara api yang meluas
dan menyala. Perhitungan secara kuantitatif tentang cara meluasnya kebakaran sukar
lebih rendah dan menyerahkan panasnya. Panas dan gas akan bergerak
dengan cepat ke atas (langit-langit atau bagian dinding sebelah atas yang
pipa-pipa, ruang tangga lubang lift, dsb. Bila jalan arah vertikal terkekang,
api akan menjalar kearah horizontal melalui ruang bebas, ruang langit-langit,
bahan-bahan yang kurang kuat serta mencari lubang lainnya untuk ditembus.
media ruang. Panas akan disalurkan melalui pipa-pipa besi, saluran atau
benda yang bertemperatur lebih rendah bila benda dipisahkan dalam ruang
terkena panas akan menimbulkan api. Oleh karena sifat udara mengembang
ke atas, maka langit-langit dan dinding bagian atas akan terkena panas
terlebih dahulu dan paling kritis. Bahan bangunan yang digunakan sebaiknya
425 celcius atau gas-gas yang sudah kehausan zat asam mendapat tambahan
zat asam, maka akan menjadi nyala api yang mendadak dan membesarnya
bukan saja secara setempat tetapi meliputi beberapa tempat. Sama halnya
Walau uraian pola meluasnya kebakaran tampil dalam paparan yang sangat
teknis namun dapat membantu kita untuk memahami gejala kebakaran yang terjadi
Sistem penanggulangan kebakaran ada dua sistem yaitu perlindungan pasif dan
dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi
penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran. Sedangkan sistem
dengan menggunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual
pemadaman.
bangunan berdasarkan ketahannya terhadap resiko kebakaran yang dimuat pada tabel
2.3.
akan kekurangan fisik tempat tinggalnya. Kondisi ini menghadapkan kita pada
sumberdaya manusia atau pihak terkait sebagai tindakan awal dalam meredam
kejadian kebakaran.
Sebelumnya telah kita ketahui bahwa sistem perlindungan aktif yaitu sistem
yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual oleh penghuni atau petugas
pemadam kebakaran dalam melakukan operasi pemadaman. Namun pada saat ini
begitu banyak peralatan perlindungan aktif dalam meredam kebakaran dan semuanya
belum tentu sesuai di kawasan permukiman padat. Berikut akan tampil beberapa
peralatan perlindungan aktif yang sesuai dengan permukiman padat. Air merupakan
bahan utama, mendasar dan pertama dalam meredam kebakaran. Oleh karena itu kita
juga akan menyinggung beberapa hal tentang pendistribusian air agar dapat
peralatan.
Alat pemadam api portable (APAP) terdiri dari alat pemadam api ringan
(APAR) dan alat pemadam api beroda (APAB). Biasanya kedua alat ini
digunakan untuk tanggap awal pemadaman api. Kedua alat ini dapat
tiap rumah tangga. Adapun spesifikasi kebaradaan alat ini akan di urai
sebagai berikut:
pemadam kebakaran ringan ini tidak hanya berisi air, namun ada juga
berat sekitar 100 hingga 150 kg. Biasanya alat ini digunakan untuk
b. Hydrant
pemasangan alarm bel dibagian atas hydrant box. Pada Hydrant Box
juga terdapat gulungan selang atau lebih dikenal dengan istilah hose
2. Hydrant Pillar, alat ini memiliki fungsi untuk menyuplai air dari
di titik-titik pusat kota yang dianggap penting. Hal ini dapat kita
3. Siamese Connection
sprinkler dan hydrant box yang ada di dalam gedung. Alat ini
sendiri.
Dari cara kerja alat ini, dapat dipahami bahwa siamese connection
karena cara kerja yang lebih cepat dan efisien. Tetapi memerlukan
2.5 Kesimpulan
terbatas terhadap penyediaan dan penempatan alat-alat pemadam kebaran saja, namun
dikaitkan dengan kerentanan yang ada baik secara fisik tempat tinggal maupun
antara bahaya dan kerentanan hanya bisa disikapi dengan ketahanan. Semakin rendah
nilai kerentanan maka bahaya akan semakin sulit terjadi yang berarti memiliki nilai
ketahanan yang tinggi, dan sebaliknya bila semakin tinggi nilai kerentanan maka
bahaya akan semakin mudah terjadi yang berarti memiliki nilai ketahanan yang
rendah.
Untuk mendekatkan kita kepada kesimpulan dalam menilai (tolok ukur) tingkat
Utara, diperlukan identifikasi terhadap studi literatur yang sudah tampil menjadi suatu
permukiman (KP); kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya (KRAPK); daur
hari bertinggal (DHB); aktivitas ekonomi (AE) dalam koridor bahaya (hazard) dan
kerentanan (vulnerability) yang dinilai melalui ketahanan (capacity) yang berasal dari
Hasil identifikasi merunut pada rumus Crunch untuk menghasilkan tolok ukur
penanggulangan bencana kebakaran dengan model yang terlihat pada gambar 2.10.
Gambar dan uraian identifikasi berdasarkan literatur yang terkait dengan fisik
dalam lingkup ekonomi, sosial dan budaya mereka yang dipahami bahwa sumber
bahaya dan kerentanan diungkap melalui KP, KRAPKA, DHB dan AE. Sedangkan
ketahanan hanya dijawab melalui pemahaman BSK. Atas susunan pemikiran ini,
BSK merupakan pemahaman teori yang dapat menjadi tolok ukur untuk melahirkan
Pada tabel 2.4, 2.5, dan 2.6 merupakan hasil identifikasi awal atas pergulatan
studi literatur yang dikelompokkan pada pemahaman teori yang ada (KP, KRAPKA,
C
HAZARD A
P
DISASTER A BSK
C
I
VULNERABILITY T
Y
KP KRAPK DHB AE
SPK
(sistem penaggulangan kebakaran)
DHB
(Daur Hari
Bertinggal)
Penghasilan yang tidak Pendapatan rendah Nilai pendapatan dibawah rata-rata membuat masyarakat
AE
mapan; Kurangnya berpenghasilan rendah tidak mampu untuk meningkatkan
(Aktivitas
mendapat kesempatan kualitas hidupnya, hidup hanya untuk makan dan tidak
Ekonomi)
kerja. ada alokasi dana untuk membenahi sesuatu yang dapat
mengancam bahaya kebakaran di tempat tinggalnya.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian pada studi ini dilakukan dengan tiga cara yaitu: metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
beberapa variabel yang berpengaruh pada studi ini adalah variabel kualitatif untuk
1. Model Crunch
hingga tiba dan di gunakan di Nusa Tenggara Timur sekitar awal tahun
2002.
karena model ini dapat melihat sesuatu bencana terjadi apabila kerentanan
yang dimiliki suatu lingkungan bertemu dengan suatu bahaya. Model Crunch
namun Metode Crunch pada studi ini akan diolah dan disesuaikan untuk
permukiman padat. Oleh karena itu, intervensi model Crunch pada studi ini
akan dapat diketahui faktor pendukung kerentanan terjadi. Setelah itu dapat
Resiko bencana dapat di perkecil jika tingkat kerentanan diperkecil pula dan
penentu resiko ancaman bahaya kerentanan dan kapasitas kawasan studi dan
sebaliknya resiko akan semakin kecil bila ketahanan sangat besar bila
perumahan yang dipahami dalam bentuk standar dengan kriteria yang tidak
sangat mapan).
publik, privat dan hybrid (perpaduan dua hal yang menonjol: fisik dan legalitas
terpecah menjadi perumahan hybrid, slum dan squatter. Kita melihat diantara
Perumahan hibrid yaitu fisik perumahan dibawah standar yang berdiri diatas
lahan legal atau memiliki kepemilikan hak atas tanah yang sah menurut hukum yang
berlaku; atau sebaliknya, fisik perumahan standar berdiri di atas lahan ilegal atau
tidak memiliki kepemilikan hak atas atanah yang tidak sah menurut hukum yang
berlaku.
Burgess dalam Murison dan Lea (1979) ada tiga kategori moda produksi yaitu;
masyarakat tertentu, diproduksi oleh pihak tertentu dan dipakai untuk kelompok
kelompok kecil dengan mengupah pekerja untuk memproduksi rumah pada ahli
tertentu seperti arsitek atau perencana. Karakteristik ini adalah campuran penjelmaan
modal dan pemanfaatan pekerja. Biasanya produksi ini tercipta atas permintaan pasar
oleh masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas, diproduksi oleh
pihak tertentu dan dipakai oleh kalangan tertentu. Terakhir, kategori artisnal yaitu
suatu situasi dimana produsen dan konsumen adalah orang yang sama atau
kebakaran di permukiman padat Kota Tanjung Balai Utara menuju rumusan sistem
kelembagaan
ruang penelitian aksi
Rumusan Sistem
Populasi yang dipilih adalah pihak pihak terkait atas dasar validitas data yang
tanjung balai kota III dan tanjung balai kota IV di kecamatan Tanjung Balai Utara
teknik purposive sampling, sampel atas data yang valid dari pihak-pihak Kepala
Balai Utara, lima Kepala Kelurahan dalam lingkup wilayah Kecamatan Tanjung Balai
Utara, Kepala PDAM Tirtanadi, Kepala PLN setempat atau yang mewakilinya,
kemudian Kepala Sektor Tanjung Balai Utara dan Rumah Sakit (Rumkit) Daerah.
Lokasi studi adalah kecamatan Tanjung Balai Utara, kota Tanjung Balai
Provinsi Sumatera Utara. Pada lokasi ini memiliki wilayah kecamatan terpadat
dibanding lima kecamatan lainnya dimana dari data kejadian kebakaran kecamatan
tahun 2009 memiliki tingkat kebakaran yang tinggi, ini menunjukkan bahwa
Waktu studi dilaksanakan antara bulan Pebruari 2011 sampai dengan Mei 2011.
Bahan dan alat studi yang digunakan untuk mengumpul data adalah sebagai
berikut:
1. Survei Pustaka
kebakaran.
Tanjung Balai tentang sebaran hydrant, data lokasi dan jumlah pemadam
3. Wawancara
Tanjung Balai Utara dan Kepala Lurah di lima Kelurahan yang ada.
lingkungan studi.
seberapa jauh kesiapan, jarak, dan waktu tempuh Dinas Pencegahan dan
kriteria tertentu oleh peneliti yang sesuai dengan tujuan penelitian, dan dalam kasus
ini sampel tertuju pada pihak terkait atas dasar validitas data yang berguna dalam
Pihak-pihak yang akan di wawancara untuk meraih data, sampel tertuju pada
Tanjung Balai Utara, lima Kepala Kelurahan yang berada dalam lingkup wilayah
Kecamatan Tanjung Balai Utara, Kepala Dinas PDAM Tirtanadi dan Kepala Dinas
PLN setempat atau yang mewakilinya; Kemudian Kepala Polisi Sektor Tanjung Balai
perkotaan di kecamatan Tanjung Balai Utara dijelaskan dalam gambar 3.4 yaitu
datangnya api serta untuk mengidentifikasi variabel apa saja yang terlingkup
3. Menentukan tolak ukur dan standar tertentu yang berkaitan dengan sumber
bersifat formal.
ditentukan.
R=H+V–C
interval untuk melihat tingkat resiko dengan nilai tingkat kerentanan yang
terhadap bahaya kebakaran yang masih belum sesuai standar. Oleh karena
sebagai atribut sesuatu yang yang mempunyai variasi antara sesuatu tersebut dengan
sesuatu yang lain. Sedangkan menurut Kerlinger (1971), variabel adalah konstruk
atau sifat yang akan dipelajari. Maka berdasarkan makna istilah variabel tersebut
ditetapkan sebagai variasi tertentu yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan
1. Nominal
Untuk data nominal, angka yang diberikan berupa symbol dari kelompok-
kelompok yang terpisah sebagai taraf dari variabel yang diselidiki. Jadi data
pada angka nominal bukan merupakan nilai, sehingga tidak dapat diterapkan
dalam operasi hitung. Sehingga variabel skala pengukuran ini tidak dapat
wilayah studi.
2. Ordinal
Untuk ordinal, angka yang diberikan terhadap taraf variabel yang diselidiki
skala pengukuran dari variabel ini hanya terbatas pada urut-urutan variabel
yang didapat tanpa adanya penilaian yang jelas untuk yang dapat membantu
Untuk interval dan rasio, angka yang digunakan adalah nilai yang dapat
karena itu, variabel skala pengukuran ini akan digunakan dalam penelitian
ini dengan pemberian nilai tertentu yang mengarah kepada perumusan nilai
Sedangkan dari segi hubungan antar variabel dikenal dengan dua jenis variabel
dan arah dalam penelitian. Usaha untuk mencari hubungan antara variabel
sesungguhnya mempunyai tujuan akhir untuk melihat kaitan pengaruh antar variabel.
Dalam penelitian ini, variabel pengaruh dan terpengaruh akan saling terkait.
kebakaran yang telah lalu, sedangkan varibel terpengaruh merupakan penjelmaan dari
budaya (cara hidup) kawasan permukiman padat di kota Tanjung Balai Utara.
Berdasarkan pembahasan terhadap tata cara variabel dan penilaian, maka setiap
variabel yang ada akan diberi nilai yang dapat diterapkan dalam operasi hitung untuk
menghasilkan arah penelitian yang dituju, tabel 3.1 menerangkan mengenai cara
pemberian nilai tolok ukur pada variabel sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan
terhadap bahaya kebakaran. Pada gambar 3.4 terlihat kerangka pemikiran penelitian.
Tabel 3.1 Cara Pemberian Nilai Tolok Ukur Pada Variabel Sumber Bahaya,
Kerentanan dan Ketahanan Terhadap Bahaya Kebakaran
Penilaian
Tolok Ukur Pada Variable
Sesuai Strandar Tidak Sesuai Standar
Sumber Bahaya
Kebakaran (H) 1 0
Identifikasi Permasalahan
Status:
Berpotensi Bencana Kebakaran
Mempertanyakan:
Bahaya, Kerentanan dan Ketahanan terhadap Bahaya Kebakaran
Bab ini menguraikan tentang terbentuknya Kota Tanjung Balai menjadi suatu
kemudian mengarah pada suatu wilayah yang paling rentan terhadap bencana
raja pertama Kerajaan Asahan tersebut terjadi tepatnya pada tanggal 27 Desember
1620, dan tanggal 27 Desember kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Tanjung
Balai dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjung Balai Nomor: 4/DPRD/TB/1986
Mengenai asal usul nama kota Tanjung Balai menurut cerita rakyat yang ada di
Kota Tanjung Balai bermula dari sebuah kampung yang ada di sekitar ujung tanjung
di muara Sungai Silau dan Aliran Sungai Asahan. Lama kelamaan balai yang
dibangun semakin ramai disinggahi karena tempatnya yang strategis sebagai bandar
itu kemudian dinamakan Kampung Tanjung dan orang lazim menyebutnya Balai di
Tanjung.
semakin ramai dan berkembang menjadi sebuah negeri. Penabalan Sultan Abdul Jalil
Dalam catatan sejarah, Kerajaan Asahan pernah diperintah oleh delapan orang
raja sejak raja pertama Sultan Abdul Jalil pada tahun 1620 sampai dengan Sultan
Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah tahun 1933, yang kemudian mangkat pada tanggal
Gementee berdasarkan Besluit G. G. tanggal 27 Juni 1917 dengan Stbl. 1917 No.
termasuk daerah Asahan seperti H.A.P.M., SIPEF. London Sumatera (Lonsum) dan
lain-lain, maka Kota Tanjung Balai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke
Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api
Medan - Tanjungbalai, maka hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan
atau diekspor melalui kota pelabuhan Kota Tanjung Balai. Untuk memperlancar
Kota Tanjungbalai antara lain: kantor K.P.M., Borsumeij dan lain-lain, maka pada
Assisten Resident van Asahan berkedudukan di Tanjung Balai dan karena jabatannya
bertindak sebagai Walikota dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeenteraad).
Balai juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan. Pada waktu
Gementee Tanjung Balai didirikan atas Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 No. 284,
luas wilayah Gementee Tanjung Balai adalah 106 Ha. Atas persetujuan Bupati
Asahan melalui maklumat tanggal 11 Januari 1958 No. 260 daerah-daerah yang
dikeluarkan (menurut Stbl. 1917 No. 641) dikembalikan pada batas semula, sehingga
Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjung Balai diganti dengan Kota Kecil
Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah dari Bupati Asahan berdasarkan Surat
Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956 No. U.P. 15/2/3. Selanjutnya
dengan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi
Dari sejarah Kota Tanjung Balai dapat diambil kesimpulan bahwa wilayah ini
terbentuk di awali dengan keberadaan muara yang ramai dilalui sebagai jalur dari
sebagai gerbang distribusi hasil alam karena disana terjadi pergumulan kapital yang
menjadi magnet bagi wilayah sekitar untuk ikut serta beraktivitas disana. Setelah itu
Dari kesimpulan yang telah ditampilkan bahwa terdapat potensi ruang sebagai
tempat batu loncatan menuju laut yang mengandung hasil laut yang dapat dikonsumsi
dengan memilih bertinggal di sekitar pinggiran muara yang masih terlingkup dalam
wilayah pusat kota agar dekat dengan wilayah pencaharian pendapatannya dengan
fisik tempat tinggal dibawah standar. Hal ini sejalan dengan konsep yang
yang berupaya mencari ceruk penghasilan pada suatu wilayah demi kelangsungan
hidupnya. Bagi mereka potensi tempat penghasilan lebih penting dibanding dengan
kualitas bertinggal mereka yang secara tidak sadar perlahan-lahan membuat kualitas
hidup mereka semakin menurun dialami sebagian besar oleh masyarakat tersebut.
mengacu pada sejarah terbentuknya kota adalah sebagai upaya untuk melihat
terlihat pada gambar 4.1 dan untuk gambaran pembagian wilayah adminstratif setiap
Sebagai pendekatan agar lebih jelas dalam memahami wilayah Kota Tanjung
Balai beserta keberadaan wilayah ruang lingkup penelitian akan ditampilkan pada
gambar 4.3. Pada gambar 4.4 merupakan peta situasi wilayah penelitian dimana
terlihat kondisi permukiman yang padat serta infrastruktur yang kurang memadai.
Berdasarkan peta kepadatan ruang wilayah kecamatan Tanjung Balai Utara pada
gambar 4.5 terlihat bahwa Kecamatan Tanjung Balai Utara terbagi atas enam wilayah
kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan ruang yang tidak jauh berbeda antar
wilayah kecamatan. Sebagai pendekatan, Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan
penelitian karena kedua wilayah kelurahan tersebut terletak sebagian besar fasilitas
kota seperti Kantor Kecamatan Tanjung Balai Utara, Pos Unit Dinas Pemadam
Kebakaran Kota, Kantor Perusahaan Daerah Air Minum dan Rumkit Daerah. Oleh
karena itu, kedua kelurahan tersebeut terdapat kelengkapan unsur analisis bahaya
kebakaran yang terurai atas bencana, kerentanan dan ketahanan pada penelitian ini
Gambar 4.3 Peta Wilayah Penelitian di Kecamatan Tanjung Balai Utara di Kota Tanjung Balai
Kota Tanjung Balai memiliki luas 60,2 km² memiliki enam wilayah
kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang dapat kita lihat pada tabel 4.1.
Dari tabel tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Kecamatan Tanjung Balai Utara
Kota Tanjung Balai. Wilayah Kecamatan Tanjung Balai selatan memiliki wilayah
tutupan permukaan lahan yang sangat luas karena tingkat kepadatan penduduknya
hampir memenuhi seluruh luas wilayah walau jumlah penduduknya paling rendah
Tabel 4.1 Luas Daerah, Banyaknya Rumah Tangga, Penduduk, dan Kepadatan
Penduduk per Km² menurut Kecamatan Tahun 2009
Kejadian kebakaran yang tercatat dan ditangani langsung oleh unit kebakaran
pemerintah Kota Tanjung Balai ternyata bukan hanya yang terjadi di wilayah
setempat saja, tetapi juga melayani wilayah terdekat seperti Kabupaten Asahan.
Peristiwa kejadian kebakaran di Kota Tanjung Balai yang ditangani sepanjang tahun
2009 berdasarkan lokasinya diperlihatkan pada tabel 4.2, 4.3, 4.4, 4.5, 4.6, dan 4.7
Tabel 4.2 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Selatan Tahun 2009
Mobil
Objek
Hari/ Pemadam
No Lokasi Waktu Yang Jumlah Keterangan
Tanggal Yang
Terbakar
Dikerahkan
Rabu, 22.15
1 Jl. Sudirman Betor 1 Unit 1 Unit
20-05-2009 WIB
Jumat, 16.55
2 Jl. Bougenvil Lalang 1 Unit 1 Unit
19-06-2009 WIB
Tidak semua
objek
terbakar,
Selasa, 13.00 0.5 artinya
3 Jl. Pahlawan Lalang 3 Unit
07-07-2009 WIB Unit setengah
dari luasan
objek bisa
diselamatkan
Jl. Gojali No.
19
Sabtu, 08.15
4 Kel. Rumah 1 Unit 1 Unit
08-08-2009 WIB
Tanjungbalai
Kota II
Jl. Tengku
Jumat, 17.15 Rumah
5 Umar Lk. II 1 Unit 4 Unit
04-04-2009 WIB dan Kios
Kel. Karya
Jl.
Cokroaminoto
Senin, 22.40
6 Kel. Ruko 1 Unit 1 Unit
30-11-2009 WIB
Tanjungbalai
Kota II
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
dan Linmas)
Tabel 4.4 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Datuk Bandar Timur Tahun 2009
Objek Mobil
Yang Pemadam
No Lokasi Hari/Tanggal Waktu Jlh
Terbak Yang
ar Dikerahkan
Jl. Mahoni Lk. I Selat Senin, 20.10
1 Rumah 3 Unit 4 Unit
Lancang 04-05-2009 WIB
Jl. Sudirman Gg. Rabu, 09.30
2 Rumah 1 Unit 1 Unit
Tapsel 27-0502009 WIB
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
dan Linmas)
Tabel 4.5 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Sei Tualang Raso Tahun 2009
Mobil
Objek
Pemadam
No. Lokasi Hari/Tanggal Waktu Yang Jlh
Yang
Terbakar
Dikerahkan
Senin, 02.15
1 Kapias Rumah 1 Unit 3 Unit
08-01-2009 WIB
Jl. Sei Deli Beting
Minggu, 07.00
2 Seroja Lk. I Kel. Rumah 1 Unit 4 Unit
09-08-2009 WIB
Keramat Kubah
Jl. D.I. Panjaitan Sabtu, 04.45
3 Rumah 1 Unit 1 Unit
Kel. Muara Sentosa 14-11-2009 WIB
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
dan Linmas)
kejadian menurut lokasi yang tercatat dan ditangani langsung oleh unit kebakaran
pemerintah Kota Tanjung Balai sepanjang Tahun 2009 terlihat pada tabel 4.8.
melahirkan pertanyaan atas validitas Kelurahan Tanjung Balai Utara yang menjadi
dibanding Kecamatan Tanjung Balai Utara. Dalam menjawab pertanyaan ini sebagai
pendekatan kita melihat kembali data kejadian kebakaran bahwa Kecamatan Tanjung
Balai Utara memiliki unit terbakar yang lebih tinggi dibanding dengan kejadian
kebakaran wilayah Kecamatan Tanjung Balai Selatan. Hal ini menunjukkan kepada
Utara lebih rentan terkena bencana kebakaran dibanding wilayah Kecamatan Tanjung
Balai Selatan.
dan aktivitas ekonomi (AE). Agar taat azas dalam menganalisis atas tujuan
penyelesaian permasalahan yang akan dicapai, maka data di lapangan akan merujuk
ketahanan wilayah penelitian yang akan dilakukan pada sub bab berikut.
4.3 Identifikasi Serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Potensi Sumber
Bahaya Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan
Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV)
Pada sub bab ini akan dilakukan analisis dengan cara identifikasi serta penilaian
tolok ukur dan variabel sumber bahaya (H) kebakaran atas pengaruh yang
dengan acuan referensi tentang ketetapan pernyataan yang berkaitan dengan bahaya
kebakaran.
4.3.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya
kebakaran menurut kondisi pemukiman (KP)
terkait hubungan singkat arus listrik dan korsleting listrik. Kondisi pemukiman
regulasi atau status keabsahan ber-mukim dan kondisi fisik bertinggal. Wilayah lokasi
Dalam hal ini, keberadaan fasilitas kondisi permukiman atau tindak untuk
bermukim dapat mempengaruhi jalur formal yang ada, seperti penyediaan arus listrik
standar PLN. Menurut keterangan yang diperoleh dari warga setempat bahwa
penyediaan arus listrik tersebut berubah secara teknis untuk melayani kebutuhan
permukiman yang jumlahnya terus bertambah sehingga teknis penyediaan arus listrik
tersebut terjadi secara praktis. Atas hal inilah yang menyebabkan perubahan
Perlu juga kita ketahui bahwa penyaluran daya energi listrik standar PLN
adalah sebagai berikut, yaitu kondisi instalasi yang buruk, banyaknya sambungan
listrik dalam satu tiang yang lebih dari tujuh titik pelayanan, dan kondisi kabel listrik
yang terbuka. Ketiga hal inilah yang dapat menjadi ukuran apakah kondisi instalasi
pemasangan arus listrik yang ada di kedua kelurahan bahwa penyediaannya bersifat
resmi atau legal. Tentang pengaruh atau efek yang terjadi akibat pemasangan instalasi
yang buruk sebagai penyebab bahaya kebakaran merupakan penanganan lanjutan dari
pihak PLN yang belum terealisasi hingga kini walau pihak PLN juga menyadari
bahwa instalasi penyediaan arus listrik di wilayah studi berkualitas kurang baik
Gambar 4.6 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota III
Sumber: Observasi, Mei 2011
Gambar 4.7 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV
Sumber: Observasi, Mei 2011
kebakaran menurut kondisi pemukiman terkait dengan penyaluran daya arus listrik
dari PLN ke lingkungan permukiman berkualitas sangat buruk. Atas kondisi ini, maka
bertinggal sedekat mungkin dengan lokasi karyanya sehingga keberadaan fisik tempat
tinggal bagi mereka menjadi tidak penting. Fisik tempat tinggal bukan untuk
membina keluarga untuk kualitas hidup yang lebih baik, tetapi hanya sebatas untuk
Tanjung Balai Kota IV Kecamatan Tanjung Balai Utara, masih terdapat fisik
permukiman yang miskin material atau berdiri dengan material dibawah standar dan
Keluarahan Tanjung Balai Kota III diatas tiang-tiang kayu setempat dengan lantai dan
dinding papan serta tepas (anyaman irisan bambu) beratapkan seng dengan kerangka
bambu atau kayu. Dan rumah-rumah yang tersusun di pinggiran rel kereta di
Kelurahan Tanjung Balai Kota IV dengan kondisi fisik tempat tinggal yang tidak jauh
berbeda dengan fisik tempat tinggal di Kelurahan Tanjung Balai Kota III.
Atas kondisi ini, kebereradaan fisik tempat tinggal yang kurang penting bagi
mereka disebabkan oleh pendapatan atau penghasilan yang sangan rendah, hanya
untuk bertahan hidup. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa selama pendapatan
mereka masih rendah, maka selama itu pula terdapat kecenderungan bahwa mereka
terhadap lingkungannya.
Selain itu keberadaan fisik rumah-rumah mereka berada pada lingkungan yang
tidak tertata, seperti tidak memiliki jalan lokal yang tidak terencana, miskin saluran
air bersih dan pembuangan air kotor. Hal ini akan memperburuk kualitas hidup
penghasilan untuk kualitas hidup yang lebih baik lagi. Berikut pada gambar 4.8
terlihat buruknya fisik tempat tinggal mereka yang dapat memperlihatkan citra
kebakaran yang sangat memungkinkan yang terkait menurut kelompok rumah atas
prioritas dan kebutuhannya. Atas kesimpulan ini, potensi bahaya pada konteks ini
bernilai 0.
Identifikasi kolektif yang berdasarkan atas daur hari bertinggal dapat dilihat
permukiman yang dapat melahirkan bahaya kebakaran adalah penerangan non listrik,
pembuangan puntung rokok yang masih menyala dan pemakaian alat-alat rumah
manusia. Untuk menilai seberapa besar potensi bahaya yang ada di suatu lingkungan
maka tolok ukur yang digunakan adalah keberadaan pengguna dan intensitas
peralatan non-listrik.
seperti lilin dan lampu tempel hanya digunakan jika terjadi pemadaman arus listrik
sementara. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa potensi sumber api di kedua
kelurahan memiliki potensi yang rendah terjadinya bahaya kebakaran, maka pada
setempat merupakan sesuatu yang wajar. Namun kegiatan ini ternyata merupakan
salah satu variable yang masuk dalam analisis terhadap potensi terjadinya kebakaran
setempat, bahwa kegiatan merokok atau perokok aktif dilakukan oleh sebagian besar
jumlah penduduk remaja dan dewasa setempat. Oleh karena jumlah perokok aktif
tinggi di wilayah studi, maka dapat dipastikan bahwa potensi terjadinya kebakaran
juga tinggi. Begitu juga halnya dengan kelalaian sikap dalam adab merokok yang
apakah bara api rokok tersebut dalam keadaan mati atau tidak menyala. Atas hal ini,
dapat diambil kesimpulan bahwa potensi kebakaran menurut daur hari bertinggal
yang terkait dengan pembuangan punting rokok yang masih menyala diberi nilai 0.
Penggunaan peralatan listrik yang rusak dalam menjalani daur hari bertinggal
juga berpotensi munculnya api. Peralatan listrik yang dimaksud adalah peralatan
elktronik seperti setrika, televisi, radio, kipas angin dan peralatan listrik rumah tangga
lainnya. Pemakaian peralatan yang tidak layak pakai dapat menyebabkan arus pendek
besar digunakan oleh masyarakat yang ada di kedua kelurahan yaitu Tanjung Balai
tangga yang dipakai oleh masyarakat setempat adalah peralatan listrik yang
konvesional yang berarti bahwa peralatan yang tidak memiliki teknologi terkini
namun dapat digunakan. Maksud dari pemakaian peralatan berteknologi terkini salah
satunya seperti peralatan yang hemat energi dan memiliki pengaman dalam menyerap
arus listrik baik pemakai maupun terhadap keberadaan peralatan itu sendiri. Dalam
pemakaian peralatan listrik tersebut terdapat sikap pada masyarakat bahwa apabila
peralatan tersebut masih dapat digunakan walau memiliki tingkat kemanan yang
keluarahan yang menjadi objek wilayah studi berstatus pemenuhan kebutuhan dasar,
bukan amenitas. Amenitas yaitu suatu asset atau fasilitas yang dapat memenuhi
kebutuhan si pemakai dengan teknologi yang mutakhir atau terkini. Peralatan listrik
yang dipakai bukan sebagai pemuas kebutuhan bagi mereka, melainkan sebagai asset
Maka dari itu dapat diambil kesimpulan bahwa peralatan listrik yang
disebabkan oleh status pemakaian perlatan tersebut, yaitu peralatan listrik sebagai
menimbulkan arus pendek yang dapat menimbulkan api dan diteruskan dengan
4.3.4 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya
kebakaran menurut aktivitas ekonomi (AE)
Menurut teori aktivitas ekonomi yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya
kategori perkerja tersebut adalah underemployment, yaitu waktu kerja yang tidak
tetap, sedikitnya waktu bekerja disbanding waktu kerja standar atau pada umumnya
dan perkerja terselubung yaitu waktu kerja yang dimanfaatkan yang ditentukan oleh
si pemberi kerja.
Pada tabel 4.9 menjelaskan bahwa angkatan kerja memiliki pendidikan yang
rendah yaitu dominasi pekerja tamatan SD, SMTP dan SMTA. Atas data ini dapat
rendah sebab tidak mampu bersekolah lebih tinggi dan selalu memanfaatkan ceruk
atau peluang pendapatan yang ada dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tidak dapat
memilih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan pencari kerja. Kemudian muncul
tersebut.
Pada tabel 4.10 dapat menjelaskan pada kita bahwa populasi pekerja
masyarakat setempat didominasi perkerja pertanian yang memiliki waktu kerja yang
tidak tetap. Kemudian populasi pekerja yang diminati adalah sebagai pegawai atau
buruh di lapangan usaha perdagangan. Lingkup perdagangan yang terdapat pada tabel
Istilah perdagangan atau berniaga atas inisiatif pribadi pada umumnya bersifat
informal, atau tidak memiliki standar dan izin dari pihak berwenang. Oleh karena itu,
lapangan usaha yang ada berpengaruh dengan potensi yang menimbulkan bencana
kebakaran. Demi meneruskan penyusunan pemikiran yang ada, pada tabel 4.11
Pada tabel diatas populasi pekerja yang mendominasi adalah pekerjaan sebagai
buruh atau pekerja dan usaha tanpa bantuan orang lain. Menurut wawancara yang
ada, buruh atau karyawan yang ada di wilayah penelitian sebagian besar bekerja di
material dan tempat-tempat usaha yang memerlukan karyawan dari pemilik usaha.
Sedangkan tipe masyarakat berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain di dominasi
dengan melaut atau sebagai nelayan dan membuka usaha rumahan dengan keahlian
usaha penampung barang bekas yang usaha pandai besi yang selalu memunculkan
banyak melahirkan pekerja sendiri tanpa api yang dapat memicu bencana kebakaran
bantuan orang lain. namun tempat ini yang tidak lengkapi dengan pengamanan
mimicu bencana kebakaran yang lengkap antisipasi kebakaran.
disebabkan oleh benda-benda yang mudah
terbakar.
Hal ini disebabkan oleh lapangan usaha yang ada sebagian besar tidak memiliki izin
dan pengamanan antisipasi terjadinya kebakaran yang terkait dengan tolok ukur yang
ada. Oleh karena itu, variabel ini mendapat nilai 0 di wilayah penelitian.
4.3.5 Rekapitulasi Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Potensi Sumber Bahaya
Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara
penentu sumber datangnya api (H) di Kecamatan Tanjung Balai Utara untuk penilaian
sumber datangnya api di kawasan pemukiman padat Kecamatan Tanjung Balai Utara.
(tabel 4.12).
Balai Utara berjumlah 1. Hal ini menjelaskan bahwa sumber bahaya kebakaran di
Kecamatan Tanjung Balai Utara sangat tinggi karena nilai 9 adalah nilai tertinggi
jauh dari sumber bahaya kebakaran); sedangkan nilai 0 adalah nilai terendah variabel
namun berstatus sumber bahaya tertinggi (lingkungan padat pemukiman yang dekat
4.4 Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Kerentanan Bahaya
Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan Tanjung Balai
Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV)
Pada sub bab ini akan dilakukan analisis dengan cara identifikasi serta penilaian
tolok ukur dan variabel kerentanan (V) bahaya kebakaran atas pengaruh yang
4.4.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya
kebakaran menurut kondisi Pemukiman (KP)
Berdasarkan referensi melalui kolektif yang berasal dari lembaga baik secara
instansi dan perorangan yang terungkap sebagai identifikasi awal pada bab
dominasi oleh kualitas konstruksi dan fisik bangunan yang tidak standar atau
konvensional. Fakta ini dapat kita lihat lingkungan perumahan yang berada di
sepanjang pinggiran muara di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan
Keluarahan Tanjung Balai Kota IV seperti yang terlihat pada gambar berikut.
wilayah studi terlalu tinggi. Oleh karena itu, kerentanan yang memudahkan
fisik tempat tinggal yang terbuat dari struktur dan dinding beton serta penutup atap
yang tidak mudah terbakar seperti rangka baja dan tutupan genteng. Namun
perbaikan kualitas material standar fisik tempat tinggal masyarakat tersebut sulit
pemukiman bernilai 0.
prioritas dan kebutuhannya biasanya dialami oleh kelompok masyarkat yang berstatus
bridgeheader. Kelompok ini pasti selalu memanfaatkan peluang pendapatan yang ada
karena tidak memiliki keahlian. Kurangnya tingkat keahlian yang ada disebabkan
karena mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kapital atau modal yang
dimiliki oleh mereka adalah tenaga sebagai imbal jasa dalam meraih penghasilan.
mendapatkan penghasilan yang sangat mudah dapat dijalani sebagai buruh nelayan.
Menurut informasi yang ada di lapangan, mereka secara umum untuk mendapatkan
langsung akan terpraktikkan secara praktis disaat proses aktivita nelayan berlangsung.
Sebagai imbalannya, mereka akan mendapatkan hasil tangkapan di laut dan persentasi
hasil penjualan penangkapan ikan di pelelangan ikan dengan nilai yang sedikit.
Namun penghasilan di peroleh tergantung dari hasil pendapatan yang raih saat proses
nelayan dalam meraih pendapatan terdapat kesulitan karena para nelayan yang ada
bertindak untuk memetakkan perairan laut yang ada sebagai ke-absahan dalam
bernelayan atau terdapat batasan ruang dalam menangkap ikan. Walau permasalahn
ini sudah ditangani oleh pihak yang berwenang, namun kepala camat juga tidak
membeli kapal kecil yang memiliki kekuatan terbatas di arena laut. Sehingga dapat
Kota III mengalami permasalahan tersebut. Terdapat pemikiran bahwa pemilik kapal
Waktu bekerja mereka tidak menentu tergantung dari hasil penangkapan yang
diraih. Kemudian proses daur hari mereka juga berada di atas kapal. Sehingga
terbentuklah citra terhadap tempat tinggal mereka yang hanya sebagai tempat
istrirahat belaka atau sebagai tempat berteduh istri dan anak-anaknya. Bagaimana
merupakan citra masyarakat berpenghasilan rendah dari sisi tempat tinggal di wilayah
kondisi fisik bertinggal masyarakat berpenghasilan rendah sangat rentan menimbulkan dan
menjadi penghantar terjadinya kebakaran ke rumah-rumah sekitarnya yang menyebabkan
proses kebakaran menjadi meluas
Gambar 4.11 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat Tinggal di
Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III
Sumber: Observasi, Mei 2011
di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV. Waktu kerja mereka nyaris tetap
karena pada umumnya mereka bekerja sebagai buruh di area perdagangan. Wilayah
kota Kelurahan Tanjung Balai Kota IV terdapat pasar atau pusat perdagangan
tradisional dan konvensional, seperti pasar daerah yang melayani kebutuhan sehari-
hari dan toko-toko perlengkapan lainnya. Wilayah ini juga berdekatan dengan pusat
sehingga masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta terbatasnya
IV berdempetan mendiami tempat tinggal di pinggiran rel kereta api atau tepatnya
mengisi ruang kosong sebagaian bidang lahan stasiun Kereta Api Kota Tanjung
Balai. Menurut Kepala Camat Kecamatan Tanjung Balai Utara, keberadaan tempat
tinggal mereka diragukan keabsahannya kerena menduduki lahan yang dimiliki oleh
PT. KAI. Oleh karena itu terjadi penciptaan ruang permukiman yang tidak tertata atau
terencana secara sepihak yang hendak bertinggal di wilayah tersebut dengan fisik
tempat tinggal yang tidak standar. Berikut citra bertinggal mereka yang dapat
kondisi fisik bertinggal masyarakat salah satu aktivitas ekonomi sekitar tempat
berpenghasilan rendah di wilayah tinggal mereka sebagai ceruk pendapatan bagi
Kelurahan Tanjung Balai Kota IV yang masyarakat berpenghasilan rendah yang
rentan terjadinya proses kebakaran melahirkan citra buruk terhadap kualitas fisik
tempat tinggalnya
Gambar 4.12 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat Tinggal di
Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV
Sumber: Observasi, Mei 2011
kepadatan populasi penduduk yang sangat tinggi dibanding dengan luas wilayah yang
ada. Penjelasan secara empiris tersebut karena tutupan lahan lebih luas dibanding
ruang terbuka. Potensi yang dimiliki wilayah menjadi magnet bagi masyarakat untuk
berdempetan hingga melahirkan jalan-jalan kecil (gang atau jalan tikus) sebagai
sarana pencapaian antar rumah dan dari rumah menuju lokasi karya. Selain itu juga
terdapat ruang kosong yang dikelilingi deretan rumah-rumah tak terencana yang
sosialisasi antar tetangga yang pada umumnya dilakukan oleh ibu-ibu dapat dilakukan
Ungkapan kondisi tersebut menjelaskan pada kita bahwa akan mempersulit bagi
pada rumah yang lain akan terjadi dalam waktu yang singkat. Menurut keterangan
bangunan tinggi di sekitar wilayah terjadinya kebakaran. Cara lain yang dapat
dilakukan petugas yaitu dengan menambah kapasitas panjang pipa penyemprotan air
berkurang.
Maka variabel kerentanan dalam lingkup kelompok rumah atas prioritas dan
kebutuhannya yang terkait dengan lokasi permukiman terlalu padat diberikan nilai 0,
rendah terhadap kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya dalam lingkup
Adapun tolok ukur dalam menyelesaikan permasalahan pada konteks ini sangat
kompleks, yaitu tidak hanya perbaikan terhadap kualitas fisik tempat tinggal mereka
saja, namun juga tersedia luasnya lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan
Pada kegiatan dalam identifikasi yang terkait dengan daur hari bertinggal
sore hari pada umumnya di lokasi karya, maka masyarakat yang bertinggal di tempat
tinggal di dominasi oleh kaum ibu dan anak-anak. Daur hari ibu rumah tangga dan
pekerjaan rumah tangga. Atas kondisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa
terjadinya kebakaran. Hal ini menjadi pembahasan karena kondisi kebakaran yang
terjadi di malam hingga pagi hari dan pagi hingga sore hari memiliki penanganan
semakin besar. Begitu juga sebaliknya, bila kebakaran terjadi di pagi hingga sore hari
maka pemadaman kebakaran akan berjalan lambat karena populasi masyarakat yang
berada di lingkungan permukiman akan sedikit serta sedikitnya volume air yang
Kecamatan Tanjung Balai Utara di Jalan D.I. Panjaitan G. Amal pada tanggal 7
Desember 2009 telah membakar tujuh unit rumah (unit terbanyak dari peristiwa
lainnya) yang terjadi di pagi hari, tepatnya pada waktu 09.19 WIB. Dengan tingginya
tingkat kepadatan penduduk akan memudahkan perluasan api, dan hal ini hanya dapat
perluasan api atas volume air sejalan dengan populasi masyarakat yang sedang
bertinggal di permukiman.
masyarakat bertinggal di waktu pagi hingga sore hari lebih sedikit dibanding dengan
populasi masyarakat di waktu malam hingga pagi hari yang melahirkan tingkat
Menurut identifikasi awal yang berasal dari referensi yang ada pada bab
hidupnya, melainkan hidup hanya untuk makan dan tidak ada alokasi dana untuk
tinggalnya.
Dengan adanya fakta yang telah dikemukakan sebelumnya tentang citra yang
dengan pemikiran yang tidak jauh berbeda bahwa pendapatan ekonomi atau
pinggiran muara di Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan deretan rumah-rumah yang
berada di sepanjang pinggiran rel kereta api di Keluarahan Tanjung Balai Kota IV
merupakan terjemahan citra kerentanan yang ada yang berasal dari hasil aktivitas
ekonomi mereka. Oleh karena itu, variabel kerentanan terjadinya kebakaran menurut
kerentanan kebakaran (V) di Kecamatan Tanjung Balai Utara, maka pada tabel 4.13
Tanjung Balai Utara berjumlah 0. Hal ini menjelaskan bahwa kerentanan bahaya
kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara sangat tinggi; karena nilai 6 adalah
padat pemukiman jauh dari kerentanan bahaya kebakaran); sedangkan nilai 0 adalah
(lingkungan padat pemukiman yang sangat rentan sekali terhadap bahaya kebakaran).
Pada studi literatur yang telah dirumuskan pada bab 2, semua pemikiran tertuju
kepada pebijak atau pemerintah untuk menyediakan dan menyiapkan yang berisi
serta proses evakuasi di saat terjadinya bencana kebakaran. Selain itu jajaran
Adapun fasilitas yang sangat terkait memberi pengaruh dalam nilai ketahanan
saat mengahadapi dari awal terjadinya kebakaran hingga proses evakuasi seperti
wilayah, rumah sakit dan para medis dan non medis daerah sebagai proses perawatan
dan pengobatan korban bencana kebakaran, peringatan dini, sarana komunikasi yang
meluas, sarana perhubungan dan infrastruktur, serta tersedianya tandon air sebagai
cadangan air permanen yang dapat digunakan sewaktu terjadinya proses kebakaran.
Berikut ini kita akan merumuskan variabel-variabel yang terkait dengan nilai
masyarakat dan nilai budaya msyarakat setempat. Sebab dengan kebijakan yang di
masyarakat setempat akan melahirkan tindakan yang cepat dalam menangani masalah
kebakaran.
4.5.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel ketahanan terhadap
terjadinya kebakaran menurut badan sosial kemasyarakatan (BSK)
Menurut observasi lapangan yang dihasilkan, saat ini Kota Tanjung Balai
memiliki tujuh unit mobil pompa yang dilengkapi dengan selang dan nozel. Walau
umur mobil pompa tersebut rata-rata sudah mencapai ±10-20 tahun, namun kondisi
armada mobil tersebut siap operasi dan sudah banyak jasanya dalam meredam dan
kebakaran dan 16 personil siap siaga bekerja saat terjadi kebakaran. Sebagai upaya
untuk mempertahankan kapasitas personil agar mampu siap siaga setiap waktu untuk
personil yang tetap siaga diupayakan berjumlah 12 personil dengan satuan tugas yang
standar. Semua personil telah mengikuti dan memiliki standar tata cara pemadaman
kebakaran yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dalam jangka waktu setahun
sekali, sehingga dapat dipastikan bahwa personil armada kebakaran di wilayah studi
kebakaran.
Pada sisi lain, armada kebakaran di wilayah setempat tidak memiliki fasilitas
pemadaman jenis kebakaran bahan cairan yang mudah terbakar seperti minyak, jenis
kebakaran listrik dan jenis kebakaran logam; melainkan hanya dapat memadamkan
jenis kebakaran biasa atau kebakaran yang disebabkan oleh bahan-bahan umum yang
mudah terbakar seperti kayu, pakaian dan kertas. Seperti yang telah dibahas pada bab
sebelumnya bahwa ketiga jenis pemadaman ini memerlukan alat pemadaman CO2
dan bubuk kimia kering; dan armada kebakaran wilayah setempat tidak memeiliki
fasilitas ini.
hampir tidak terdapat rumah produksi yang terkait dengan bahan-bahan kimia,
melainkan kapasitas ruang yang ada hanya dipenuhi oleh lingkungan pemukiman
konteks ini dapat dirumuskan bahwa armada kebakaran yang ada di wilayah setempat
dengan fasilitas dan keahlian yang cukup. Oleh karena itu variabel ini mendapat nilai
1.
pos armada kebakaran yang siap Salah satu kondisi armada kebakaran yang
operasional kapanpun dan dimanapun sudah berumur ±29 tahun (tahun pembuatan
siap ke lokasi kejadian kebakaran untuk 1982) yang kondisinya masih baik dan siap
memadamkan kebakaran operasional
Rumah sakit daerah Kota Tanjung Balai merupakan rumah sakit klasifikasi
C yaitu rumah sakit yang memiliki daya tampung dibawah 500 orang dengan fasilitas
sakit setempat merupakan salah satu faktor fasilitas yang dapat member harapan
Adapun fasilitas tenaga medis dan non-medis yang terdapat di rumah sakit
daerah wilayah penelitian yaitu dokter umum 23 orang, dokter spesialis 14 orang,
perawat (medis) 135 orang termasuk bidan dan tenaga non-medis 35 orang.
Sedangkan jumlah kesiapan tenaga medis seperti jumlah dokter jaga 14 orang, jumlah
dokter praktek 14 orang, jumlah dokter terbang 5 orang yang berpendidikan spesialis.
Daya tampung ruang unit gawat darurat (UGD) 6 orang dan daya tamping rawat inap
sebanyak 115 orang. Fasilitas rumah sakit yang mampu menangani masalah
farmasi, instalasi jenazah, instalasi gizi, kamar bedah, kamar bersalin, pojok TBC,
askes centre, mobile x-ray, USG 4D dan racun api portable yang tersebar di beberapa
titik ruang rumahsakit daerah sebagai alat tindakan pertama bila terjadinya kebakaran.
pakai dan bahan anestesi. Dan unit ambulan yang dimiliki sebagai percepatan
penanganan masalah kesehatan, rumah sakit daerah memiliki 5 unit ambulan; 3 unit
Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV sekitar ±2,5 km. Jarak
antara rumah sakit daerah dan lingkungan pemukiman sebagai wilayah studi mudah
untuk dijangkau dan mudah dicapai oleh korban bencana kebakaran. Menurut
keterangan yang didapat, pihak rumah sakit sangat berapresiasi untuk menangani
keberadaan rumah sakit daerah tersebut akan memberikan nilai ketahanan yang baik
kebakaran.
daerah cukup baik untuk beroperasi dalam menangani korban bencana kebakaran
baik ditinjau dari segi fasilitas peralatan dan fasilitas tenaga medis dan non-medis.
Oleh karena itu, variabel ini mendapat nilai 1 karena mampu memberikan ketahanan
Sarana komunikasi adalah salah satu tolok ukur sebagai alat mempercepat
kebakaran dapat dilaporkan dengan cepat kepada Dinas Kebakaran Daerah setempat.
Menurut observasi yang telah dilakukan di wilayah setempat, tidak terdapat sarana
lingkungan pemukiman padat penduduk di Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan
alat telekomunikasi hanya ada di beberapa titik perkantoran pemerintah yang letaknya
kebakaran seperti handphone atau telepon selular pada umumnya dimiliki oleh
komunikasi dibawah 35%, namun informasi kejadian kebakaran tetap cepat sampai
Oleh karena itu, variabel ini bernilai -1 sebab fasilitas alat komunikasi umum tidak
terdapat di wilayah pemukiman padat dan hanya mengandalkan alat komunikasi yang
Sarana perhubungan darat seperti angkutan kota (mini bus) lokal terdapat di
pusat aktivitas ekonomi Kota Tanjung Balai yang berjarak ±0,5-2 km dari lingkungan
pemukiman Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan ±0,1-0,5 km dari lingkungan
pemukiman Kelurahan Tanjung Balai Kota IV. Sarana perhubungan darat yang lain
seperti ojek dan becak motor. Dengan adanya sarana perhubungan khususnya
pertama kepada korban bencana kebakaran yang akan di rujuk ke rumah sakit
terdekat.
Sedangkan sarana infrastruktur seperti kondisi jalan yang baik dan mudah
dilalui pada umumnya berkondisi baik. Dengan adanya sarana jalan yang baik akan
perhubungan darat dan sarana jalan berkondisi baik dan mampu menjawab
permasalahan yang dihadapi saat terjadinya proses kebakaran. Oleh karena itu,
dari dua sumber yaitu sumber alam dan sumber buatan. Sumber alam seperti kolam
air, danau, sungai, jeram, sumur dalam, dan irigasi. Sedangakan sumber air buatan
seperti tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur, reservoir dan mobil
tangki air (Kepmen PU No.11 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen
Sumber air bersih yang diperoleh oleh Kecamatan Tanjung Balai Utara
berasal dari PDAM. Kualitas sumber air yang ada kurang baik dan memiliki debit air
air buatan yang dimiliki oleh masyarakat Kecamatan Tanjung Balai Utara tidak dapat
Kelurahan Tanjung Balai Kota III karena lokasi pemukiman mereka terletak di
sepanjang pinggiran muara, sehingga air muara tersebut dapat dipergunakan untuk
memadamkan api bila terjadi kebakaran. Selain itu, sumber air alam seperti sumur
dalam terdapat di beberapa titik Kelurahan Tanjung Balai Kota IV, namun kondisinya
tidak dapat dipastikan apakah mencukupi untuk memenuhi pasokan air saat
menghadapi volume kebakaran yang ada. Oleh karena itu, terdapat kesulitan bagi
masyarakat Kelurahan Tanjung Balai Kota IV untuk mendapatkan kapasitas air yang
siap digunakan untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di wilayah ini, karena
persediaan air yang ada hanya sumber air buatan yang hanya dapat dipakai untuk
III mendapat nilai 1 sebab tolok ukur persediaan air untuk pemadaman kebakaran
dapat dilakukan dengan sumber air alam yang terdapat di muara dan variabel untuk
nilai -1 sebab tidak terdapat persediaan yang memadai, dan hanya mengandalkan
persediaan sumber air buatan (PDAM) yang kapasitasnya sebatas untuk kebutuhan
sebagai hasil penjumlahan dari ke-dua kelurahan (Tanjung Balai Kota III dan
Tanjung Balai Kota IV) nilai variabel ketahanan kebakaran dalam lingkup sumber air
Sumber air yang berasal dari hidran merupakan salah satu peralatan yang
sangat penting untuk digunakan saat terjadinya kebakaran di suatu wilayah. Sebagai
tolok ukur atas pembuktian ketahanan kebakaran, sumber air hidran akan dianalisis
melalui dua faktor yaitu berdasarkan keberadannya dan kondisinya di wilayah studi.
Menurut informasi dari Dinas Kebakaran Daerah setempat, hidran tersedia di seluruh
wilayah Kota Tanjung Balai sebanyak 6 unit yang tersebar disetiap kecamatan.
wilayah Kelurahan Tanjung Balai Utara IV yang berlokasi di pusat aktivitas ekonomi
kota atau berdekatan dengan stasiun kereta api Kota Tanjung Balai. Atas kondisi ini,
satu unit hidran yang berada di Kecamatan Tanjung Balai Utara tidak mampu
membutuhkan waktu penyerapan air yang sangat lama. Oleh karena itu, dalam sisi
nilai -1 karena memiliki jumlah unit titik yang tidak dapat melayani kejadian
Berikut tentang kondisi hidran ada, menurut keterangan dengan sumber yang
sama bahwa kondisi hidran baik secara kualitas material namun tidak dapat
digunakan karena tidak memiliki cadangan air. Kapasitas air yang ada apa hidran
merupakan pasokan air yang disediakan oleh PDAM. Kondisi ini disebabkan karena
penyediaan air bersih lebih diutamakan dibanding penyediaan air hidran karena
persediaan air bersih yang terbatas. Atas kondisi hidran yang ada, variabel ini
mendapat nilai -1 sebab tidak memiliki kapasitas air yang siap digunakan saat
penjumlahan faktor tolok ukur keberadaan dan kondisi hidran yang berada di wilayah
kesimpulan bahwa ketahanan kebakaran sangat rendah bila ditinjau dari sumber air
Pada setiap rumah yang ada di pemukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara
tidak disediakan sistem peringatan dini berupa alarm kebakaran. Alat peringatan dini
Biasanya alat peringatan dini elektronik terdapat pada bangunan bertingkat salah
satunya seperti alarm lonceng otomatis. Alarm ini akan berbunyi ketika dengan
menekan tombol fungsinya oleh petugas atau pemakai gedung. Sedangkan alarm
kecamatan dan tempat ibadah. Peringatan dini juga dapat mereka lakukan dengan
menggunakan pengeras suara yang ada di rumah ibadah sebagai informasi cepat
peringatan dini di Kecamatan Tanjung Balai Utara mendapat nilai 1 sebab peringatan
dini konvensional telah melahirkan pola komunikasi yang baik untuk bertindak cepat
dilihat melalui budaya masyarakat. Budaya masyarakat yang baik dapat menjadi
suatu ketahanan terhadap bahaya kebakaran. Tolok ukur yang digunakan dalam
antar penduduk.
Balai Utara berkondisi sangat baik. Kesimpulan ini dihasilkan dari kegiatan pengajian
masing rumah penduduk. Kemudian juga terdapat kegiatan jumat atau minggu bersih
yang di kordinasikan oleh kepala lingkungan kepada seluruh warganya. Selain itu di
wilayah studi terdapat kumpulan masyarakat STM (serikat tolong menolong) yang
beroperasi saat terjadinya musibah seperti meninggal dan musibah lainnya langsung
yang ada dimulainya tindakan pemadaman dilakukan oleh warga setempat. Seluruh
semampunya seperti yang telah di kemukakan pada sub bab sebelumnya. Oleh karena
itu, variabel ini mendapat nilai 1 karena kondisi keberadaan budaya masyarakat
4.5.2 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel ketahanan bahaya kebakaran di
kecamatan Tanjung Balai Utara
ketahanan kebakaran (C) di Kecamatan Tanjung Balai Utara, maka dibuat tabel 4.14
Tanjung Balai Utara berjumlah 0. Hal ini menjelaskan bahwa ketahanan bahaya
9. Nilai ketahanan bahaya kebakaran (C) ini akan dikombinasikan dengan nilai
sumber bahaya kebakaran (H) dan nilai kerentanan bahaya kebakaran (V). kemudian
dan tolok ukur sember datangnya api, kerentanan dan ketahanan terhadap api di
kebakaran (R) dengan menggunakan model Crunch. Pada model Crunch (R=H+V-C),
tingkat resiko bencana suatu kawasan dapat diketahui berdasarkan jumlah nilai
potensi sumber bahaya yang ada (H), nilai kerentanan kawasan yang jika bertemu
dengan bahaya dapat menimbulkan bencana (V), serta bagaimana tingkat ketahanan
yang telah dilakukan pada sub bab sebelumnya maka pada tabel 4.15 merupakan hasil
Balai Utara.
Tabel 4.15 Hasil Penilaian Relatif Penentu Tingkat Resiko Bencana Kebakaran di
Kecamatan Tanjung Balai Utara
VARIABEL TOLOK UKUR NILAI
Kondisi instalasi yang buruk 0
Banyaknya sambungan listrik dalam satu tiang
KP (independen) 0
pelayanan
Kondisi kabel listrik yang jauh dari keamanan 0
KRAPKA (dependen) Fisik tempat tinggal bermaterial tidak standar 0
Minimalisasi memakai penerangan non-listrik 1
Pembuangan puntung rokok sembarangan yang masih
0
DHB (independen) menyala
Pemakaian peralatan listrik bersifat kebutuhan dasar
0
yang minim fasilitas keamanan barang
Rendahnya nilai pendapatan masyarakat setempat 0
AE (dependen) Membuka lapangan usaha yang memicu terjadinya
0
kebakaran
Jumlah Nilai Variabel Sumber Bahaya Kebakaran (H) 1
Kemudian tabel 4.16 akan menunjukkan hasil penilaian tingkat resiko bencana
kebakaran berdasarkan jumlah nilai sumber datangnya api, kerentanan, dan ketahanan
Nilai sumber bencana kebakaran (H+V) yang terendah (nyaris tidak memiliki
per variabel); nilai sumber bencana kebakaran (H+V) yang tertinggi (sangat rentan
dengan sumber bencana kebakaran) menurut variabel bernilai 0 (tidak sesuai standar);
dan nilai ketahanan bencana kebakaran (C) tertinggi (mampu meredam bencana
kebakaran) menurut variabel bernilai 12; serta nilai ketahanan bencana kebakaran (C)
terendah (tidak mampu meredam bencana kebakaran) menurut variabel bernilai -12.
Untuk merumuskan tingkat resiko yang terjadi, akan digunakan rumus Sturges yaitu
k=1+3,322 log n (k=jumlah tingkat penerimaan; n=jumlah tolok ukur) sebagai alat
dalam melahirkan nilai relatif resiko bencana kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai
k = 1 + 3,322 log n
k = 1 + 3,322 log 27
k = 6 (jumlah interval)
Karena terdapat 27 tolok ukur, dengan nilai tertinggi 27 dan nilai terendah -
12, maka berdasarkan rumus Sturges, pada studi ini terdapat enam kelas dengan nilai
interval 9 (sembilan) yang dapat diketahui melalui pengurangan nilai tertinggi dengan
nilai terendah yang diperoleh dari hasil bagi jumlah kelas interval. Ke-enam kelas
-11 s/d -20 = sangat rendah (sangat berpotensi terjadinya bahaya kebakaran)
-21 s/d -28 = paling rendah (paling berpotensi terjadinya bahaya kebakaran)
Tanjung Balai Utara mendapat nilai -8, maka wilayah tersebut berstatus cukup rendah
4.7 Kesimpulan
dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Hal ini mempengaruhi
tingkat resiko terhadap bahaya kebakaran, sebagaimana yang ditunjukan dari data
didasari oleh rasio perbandingan luas wilayah dengan kepadatan penduduk yang ada.
Dari rasio ini Kecamatan Tanjung Balai Utara memiliki luas wilayah yang terkecil
adalah tingkat resiko kebakaran, H adalah potensi sumber datangnya api, V adalah
jumlah nilai potensi sumber bahaya yang ada (H), nilai kerentanan kawasan yang jika
bertemu dengan bahaya dapat menimbulkan bencana (V), serta bagaimana tingkat
resiko bencana dengan nilai -8. Karena terdapat 27 tolok ukur, dengan nilai tertinggi
27 dan nilai terendah -12, maka berdasarkan rumus Sturges, pada studi ini terdapat
enam kelas dengan nilai interval 9 (sembilan) yang dapat diketahui melalui
pengurangan nilai tertinggi dengan nilai terendah yang diperoleh dari hasil bagi
jumlah kelas interval. Nilai -8 berada pada interval -1 hingga -10 yang bermakna
Hasil yang diperoleh dari Model Crunch serta interval penilaian potensi
bencana kebakaran dari rumus Sturges bahwa wilayah pemukiman padat Kecamatan
Tanjung Balai Utara memiliki potensi dengan tingkat cukup rendah yang
kebakaran. Sebagai pendekatan dalam dasar sistem yang layak digunakan saat ini
pada lingkungan pemukiman mereka diawali dengan merumuskan tingkat bahaya dan
kerentanan bahaya kebakaran yang berasal dari urut-urutan tolok ukur melalui
yang menjadi pemicu agar menjauh dari lingkungan padat pemukiman menjadi
ketahanan bahaya kebakaran terbagi pada dua faktor yaitu faktor manusia sebagai
pemakai dan ruang sebagai wadah bertinggal mereka di lingkungan padat pemukiman
Melalui rumusan identifikasi tolok ukur yang lahir dari variabel potensi bahaya
listrik yang bermutu rendah karena bersifat pemenuhan kebutuhan dasar, rendahnya
sedikitnya populasi penduduk disaat jam kerja normal yaitu pada pagi hingga sore
hari dan tidak memiliki nilai keuangan cadangan melainkan pendapatan hanya dapat
Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV.
menjadi sumber bahaya dan kerentanan bencana kebakaran akan terus melekat pada
melibatkan pusat pendidikan dan pelatihan untuk melengkapi keahlian mereka agar
yang seluas-luasnya agar mereka memiliki pendapatan yang tetap agar bias memiliki
mereka dengan harapan sedikit demi sedikit dapat merubah kehidupan mereka secara
perlahan. Semua itu akan sulit dilakukan dalam jangka waktu terkini karena alokasi
berpenghasilan rendah. Oleh karena itu diperlukan pemikiran pada suatu sistem
Dalam rumusan identifikasi tolok ukur yang lahir dari variabel potensi bahaya
dan kerentanan terjadinya kebakaran disebabkan oleh ruang sebagai wadah bertinggal
mereka berupa instalasi pelayanan listrik kota yang tidak standar, fisik tempat tinggal
kebakaran dan deretan pemukiman yang terlalu padat mempercepat perluasan titik
kebakaran.
Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV.
sebagai faktor ruang sebagai wadah bertinggal yang menjadi sumber bahaya dan
kerentanan bencana kebakaran akan terus melekat pada diri mereka sebelum
lingkungan bertinggal mereka tidak lain juga adalah pemerintah sebagai pemberi
ruang lingkungan diantara dapat dilakukan dengan relokasi yaitu memindahkan ruang
lingkungan mereka ke tempat yang lebih layak. Hal ini akan sulit ditempuh sebab
memerlukan biaya yang sangat tinggi, selain itu di wilayah setempat merupakan
wilayah padat pemukiman sehingga tidak memiliki ruang yang dapat menggantikan
mereka berjauhan dengan lokasi asal yang belum tentu sesuai dengan karakteristik
mereka.
Kemudian kebijakan yang lebih mudah yaitu dengan cara up-grading atau
bertinggal yang layak dan memilliki nilai ketahanan yang baik terhadap bahaya dan
kerentanan kebakaran. Hal ini juga sulit dilakukan sebab sistem up-grading yaitu
pemerintah dan masyarakat setempat membagi tugas bersama-sama dalam hal kerja
dan biaya untuk meningkatkan kualitas fisik ruang lingkungan permukiman. Sistem
tersebut juga sulit tercapai sebab masyarakat setempat tidak memiliki waktu dan
biaya dalam meningkatkan kualitas tempat tinggalnya karena waktu yang ada
dimanfaatkan untuk mencari ceruk yang ada di lokasi karya dan tidak memiliki
keuangan cadangan (pendapatan yang ada hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-
hari, tidak ada alokasi biaya untuk meningkatkan kualitas fisik tempat tinggal
mereka)
Setelah menganalisis kedua faktor tersebut yang berasal dari identifikasi tolok
ukur variabel sumber bahaya dan kerentanan kebakaran, pemikiran akan mengarah
sudut pandang kebijakan, pembahasan bergerak dengan melihat potensi yang dimiliki
oleh masyarakat pada suatu nilai yang dapat melahirkan ketahanan terhadap
lingkungan padat pemukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara juga terbagi menjadi
dua faktor yaitu faktor manusia sebagai aktor yang bertinggal di pemukiman tersebut
dan faktor keberadaan lingkungan sebagai ruang yang harus dipertahankan dari
Adapun potensi yang bernilai baik atau standar yang terdapat di dalam
identifikasi tolok ukur pada variabel yang telah dirumuskan yaitu nilai sosial
dengan kolektivitas masyarakat usia muda yang dirasa mampu sebagai relawan
dengan pelatihan dari pihak militer dan kepolisian untuk menguatkan mental mereka
dalam memadamkan api oleh Dinas Damkar Daerah sesuai dengan waktu luang
mereka.
setempat agar selalu siap siaga apabila terjadi bahaya kebakaran di lingkungan
mereka. Atas hal ini, bentuk penanggulangan bencana kebakaran dapat disebut
pertama untuk memperkecil penyebaran api bila terjadi bencana kebakaran. Sistem
ini akan lebih mudah dicapai bila dibandingkan dengan melihat kebijakan pemerintah
secara umum.
gambar 5.1 yang merupakan urut-urutan sturkturasi yang menjadi awal terbentuknya
Manajerial
kinerja Kelurahan Militer
Sistem
SwsSwadaya
Mental &
Pengetahu
an
Penanggulangan
Bencana Kebakaran
Maka dari itu relawan akan terlatih dalam menghadapi bencana kebakaran karena
mental dan pengetahuan yang dimilikinya menjadi dasar dalam mengambil keputusan
untuk memadamkan api serta proses mitigasi bencana di saat terjadi kebakaran di
menyebar pada setiap tempat tinggal mereka tentang pentingnya kualitas lingkungan
untuk memperbaiki kualitas bertinggal baik secara tingkah laku terhadap lingkungan
berikut.
pemukiman mereka terdapat suatu pemikiran untuk tetap selalu siaga. Tindakan untuk
selalu siaga dapat dilakukan dengan penyediaan peringatan dini yang ditujukan
kepada setiap tempat tinggal mereka. Penyediaan peringatan dini konvensional tidak
memerlukan biaya yang berarti sehingga mudah dan tidak mengganggu keuangan
mereka.
terdapat di sekitar pemukiman mereka seperti potongan besi atau potongan bambu.
Peralatan peringatan dini dapat dikatakan berfungsi bila benda tersebut menimbulkan
bunyi yang berarti di saat diberi pukulan tertentu. Akan memudahkan komunikasi
bila populasi yang menggunakan peringatan dini konvensional tersebut dalam jumlah
Penyediaan pompa air beserta pipa standar yang dapat disediakan secara
terbatas yang di manajerial oleh kelurahan setempat. Peralatan ini akan siap sedia
penyebaran api di lingkungan pemukiman mereka pasti menyebar dengan cepat sebab
kualitas fisik tempat tinggal mereka bermutu rendah. Peralatan ini akan sangat
membantu sebagai percepatan menahan penyebaran api yang ada sembari menunggu
damkar yang kesulitan masuk ke lokasi kebakaran karena minimnya akses lokal.
titik rawan lingkungan permukiman mereka yang rentan terjadinya kebakaran untuk
disediakan sumur buatan sebagai cadangan air yang dapat digunakan untuk
memadamkan kebakaran.
pompa air untuk memadamkan kebakaran. Dengan adanya pendekatan ini, secara
tidak langsung lingkungan padat pemukiman di Kecamatan Tanjung Balai Utara telah
secara keseluruhan menurut batas kelurahan. Batas antar blok hadir berdasarkan akses
jalan yang dapat mendukung kinerja relawan dan masyarakat dalam meredam
kebakaran yang terjadi. Namun secara kinerja, perangkat yang terdapat pada setiap
blok dapat digunakan untuk blok lain dan dapat mempercepat meredam kebakaran
yang terjadi. Dan blok-blok hadir hanya tindakan untuk mempermudah penyediaan
perangkat dan sistem kinerja yang akan dilakukakan. Pada tabel 5.1 akan tampil
jumlah unit fasilitas untuk setiap blok yang mendukung proses penerapan sistem
Kelurahan Tanjung Balai Kota IV di Kecamatan Tanjung Balai Utara Kota Tanjung
Balai.
Tabel 5.1 Jumlah Unit Fasilitas Setiap Blok di Kelurahan Tanjung Balai Kota III
dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV Kota Tanjung Balai
Jumlah Titik
1 2 3 2 1 2 1 3 2 2
Cadangan Air (Titik)
Komunikasi Dini
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Konvensional (Unit)
satu unit di setiap kelurahan. Namun untuk kejadian kebakaran yang berdekatan
dengan batasan kelurahan, perangkat pompa portabel yang ada dapat digunakan tanpa
disediakan minimal 1 unit setiap blok yang ada sebab jangkauan bunyi dapat
pada pembahasan tersebut hanya berdasarkan penafsiran logis tanpa ukuran kualitas
perangkat yang ada. Maka dari itu untuk menemukan rumusan yang jelas tentang
keberadaan yang lebih dalam dan akurat akan memerlukan pembahasan lebih jauh
yang dapat dilakukan pada penelitian lainnya yang dapat menjadi lanjutan dari studi
ini.
5.4 Kesimpulan
Pemikiran yang telah diterjemahakan pada bab ini merupakan hasil dari
identifikasi tolok ukur atas variabel yang lahir dari kondisi pemukiman, kondisi
rumah atas prioritas dan kebutuhannya, daur hari bertinggal, aktivitas ekonomi dan
bencana kebakaran yang dirumuskan melalui Model Crunch untuk memastikan status
karena terhambat oleh karakteristik bertinggal yang dimiliki oleh mereka. Dalam
PENUTUP
bencana kebakaran yang dapat terjadi di Kecamatan Tanjung Balai Utara, maka dapat
berasal dari:
1. Sistem pemasangan kawat listrik, yaitu kondisi instalasi listrik yang buruk
dan banyaknya sambungan listrik dalam satu tiang yang lebih dari tujuh
sambungan.
2. Keberadaan minyak tanah dan LPG, yaitu keberadaan pedagang dan pemakai
minyak tanah, serta kondisi kompor yang tidak baik dan cara penyimpanan
bensin eceran di dalam lingkungan dan SPBU terdekat yang tidak memiliki
zona aman.
yang tinggi.
7. Puntung rokok.
1. Dari segi ekonomi yaitu keberadaan penduduk yang bekerja di tempat yang
2. Dari segi sosial kependudukan yaitu keberadaan penduduk usia rentan dan
3. Dari segi fisik yaitu keberadaan bangunan berbahan bangunan dan konstruksi
tidak tahan api, kepadatan bangunan yang tinggi, tidak adanya jarak antar
bangunan, jarak antar jalan besar yang terlalu jauh, serta sempitnya jalan
lingkungan.
4. Dari segi ketersediaan prasarana yaitu luas dan lokasi ruang terbuka yang
kurang memadai;
5. Dari segi sarana yaitu jumlah dan kondisi kendaraan pemadam kebakaran
yang kurang baik, tidak adanya hydrant, kurangnya sumber air, dan
Nilai resiko bencana kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara adalah -8,
kebakaran.
6.2 Kesimpulan
Tanjung Balai Utara termasuk dalam kelas berpotensi terjadi bahaya kebakaran.
Selain itu terdapat beberapa tolok ukur variabel sumber bahaya, kerentanan, dan
ketahanan terhadap bahaya kebakaran yang tidak sesuai dengan standar. Oleh karena
faktor penentu tingkat resiko yaitu sumber bahaya, kerentanan, dan ketahanan.
1. Perbaikan kabel listrik yang masih terdapat kabel tidak tertutup bahan
isolasi.
standar
diplester.
benar khususnya.
kawasan permukiman padat sehingga dapat terbentuk akses jalan yang lebih
baik. Hal ini perlu dilakukan karena kondisi lebar jalan saat ini tidak
tekanan dan debit air di wilayah selatan Kota Tanjung Balai, khususnya di
standar.
4. Pengendalian keberadaan ruang terbuka yang ada saat ini supaya tidak
dibangun serta penambahan jumlah dan luas ruang terbuka sebagai tempat
evakuasi jika terjadi bencana. Serta pembuatan ruang terbuka yang lokasinya
Balai sesuai dengan standar yang ada serta menambah jumlah tenaga medis
sehingga untuk mengatasi kebakaran pada saat terjadi kebakaran tidak hanya
yang ada. Hal ini perlu dilakukan karena hingga saat ini, pelatihan simulasi
melibatkan masyarakat.
pemerintah (camat, lurat dan RT) pada wilayah studi dengan asumsi bahwa
penduduk dan wilayah studi ini, maka rekomendasi studi yang diusulkan
sampel responden.
2. Studi ini tidak mempertimbangkan nilai kerugian yang akan ditimbulkan jika
3. Ditemui tidak terdapat beberapa tolok ukur yang tidak memiliki standar
Badan Pusat Statistik Kota Tanjung Balai dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kota Tanjung Balai (2010), Tanjung Balai Dalam Angka 2010
BAKORNAS PB. 1990. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.43 Tahun 1990
Tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana.Jakarta.
Blaikie, P.M. Cannon, T., Davis, I., & Wisner, B.(1994) At Risk: Natural Hazards,
People's Vulnerability and Disasters. London: Routledge.
Godschalk, D. R. (et al.) (1999), Natural Hazard Mitigation. Washington D.C, Island
Press.
Perda Kota Bandung No. 15 Tahun 2001 Penjelasan pasal 37 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Bahaya Kebakaran.
Potter, R.B., Lloyd-Evans, S (1998), The City in Developing World, Longman Press.,
United Kingdom.
Relph, E. (1976)., Place and Placelessness., Pion Limited, 207 Brondesbury Park,
London.
Sanderson, D (1997), Reducing Risk as a Tool For Urban Improvement: The Caqueta
Ravine, Lima, Peru.
Perda Kota Bandung No. 15 Tahun 2001 Penjelasan pasal 37 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Bahaya Kebakaran.
http://tilz.tearfund.org/webdocs/Tilz/Roots/English/Disaster/Disaster%20risk%20red
uction%20-%20Section%202.pdf; diakses pada tanggal 22 Maret 2011.
http://www.proventionconsortium.org/themes/default/pdfs/tools_for_mainstreaming_
DRR_Bahasa.pdf; diakses pada tanggal 14 April 2011
http://tilz.tearfund.org/webdocs/Tilz/Other%20languages/Indonesian%20Bahasa/Roo
ts%209%20-
%20Reducing%20Risk%20of%20Disaster%20in%20our%20Community/ROO
TS%209-%20Bahasa%20chapter%201-3.doc; diakses pada tanggal 15 April
2011
http://www.ecbproject.org/publications/ECB3/Leaving_Disasters_Behind_Chapter_2
_Key_Concepts.pdf; diakses pada tanggal 15 April 2011
http://www.ntt-academia.org/CBDRM/Draft-Module-CBDRM-FKPB-January-
2004.pdf; diakses pada tanggal 17 Juli 2011.
http://www.zef.de/module/register/media/1c56_a-history-of-cbdrm-in-Indonesia.pdf;
diakses pada tanggal 17 Juli 2011.