Anda di halaman 1dari 189

SISTEM PENANGGULANGAN KEBAKARAN PADA

PERMUKIMAN PADAT PERKOTAAN


Studi Kasus Kecamatan Tanjung Balai Utara,
Kota Tanjung Balai Provinsi Sumatera Utara

TESIS

OLEH

MARIATY PANE
097020014/AR

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara


ISTEM PENANGGULANGAN KEBAKARAN PADA
PERMUKIMAN PADAT PERKOTAAN
Studi Kasus Kecamatan Tanjung Balai Utara,
Kota Tanjung Balai Provinsi Sumatera Utara

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik


Dalam Program Studi Teknik Arsitektur
Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARIATY PANE
097020014/AR

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : SISTEM PENANGGULANGAN KEBAKARAN PADA
PERMUKIMAN PADAT PERKOTAAN
STUDI KASUS KEC.TANJUNG BALAI UTARA, KOTA
TANJUNG BALAI PROPINSI SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : MARIATY PANE
Nomor Pokok : 097020014
Program Studi : Teknik Arsitektur

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(A/Prof. Abdul Majid Ismail,B.Sc,B.Arch, PhD) (Ir. N. Vinky Rahman, MT)


Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Prof. Dr.Ir. Bustami Syam, MSME)

Universitas Sumatera Utara


Tanggal Lulus: 21 Juli 2011
Telah diuji pada
Tanggal : 21 Juli 2011

Panitia Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : A/Prof. Abdul Majid Ismail, B.Sc, B.Arch, Ph.D

Anggota Komisi Penguji : 1. Ir. N.Vinky Rahman, MT

2. Ir. Basaria Talarosha, MT

3. Ir. Novrial, M.Eng

4. Achmad DelianurNasution, ST, MT, IAI

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

SISTEM PENANGGULANGAN KEBAKARAN PADA PERMUKIMAN


PADAT PERKOTAAN
STUDI KASUS KECAMATAN TANJUNG BALAI UTARA,
KOTA TANJUNG BALAI PROPINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan,

(MARIATY PANE)

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan merupakan fenomena yang selalu


terjadi pada negara-negara berkembang. Perbaikan penghasilan dan kualitas hidup
menjadi alasan utama masyarakat untuk bermigrasi ke kota. Tidak terkendalinya arus
urbanisasi ini berakibat pada berubahnya lahan perkotaan menjadi lingkungan
permukiman yang tidak tertata dan kualitas fisik yang tidak layak. Kondisi ini sangat
rentan memicu terjadinya kebakaran yang secara materi akan sangat merugikan
masyarakat kota. Tesis ini bertujuan untuk melengkapi sistem penanggulangan
kebakaran di permukiman padat perkotaan dengan memilih Kota Tanjung Balai
sebagai studi kasus.
Pendekatan dilakukan dengan melakukan penelitian pada wilayah studi yang
penetapannya dilakukan melalui purposive sampling. Kemudian dilakukan
identifikasi terhadap wilayah studi yang mengacu pada rumusan Model Crunch yang
mengungkapkan bahwa tingkat resiko bencana kebakaran (R) merupakan
penjumlahan atas sumber bahaya (H) dan kerentanan (V) dikombinasikan dengan
teori tipologi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang
meliputi keberadaan permukiman (KP); kelompok rumah atas prioritas dan
kebutuhannya (KRAPK); daur hari bertinggal (DHB); aktivitas ekonomi (AE), yang
akan dikurangi dengan nilai ketahanan (C) yang dikombinasikan dengan budaya
sosial kemasyarakatan (BSK). Tatanan identifikasi dalam mengungkap keberadaan
lingkungan permukiman merujuk kepada pemikiran-pemikiran para ahli dan instansi,
standarisasi serta peraturan pemerintah untuk mengetahui keberadaan suatu
lingkungan permukiman terhadap tingkat resiko kebakaran yang ada.
Variabel-variabel tolok ukur tertentu seperti: sumber bahaya, kerentanan dan
ketahanan terhadap lingkungan permukiman menjadi dasar untuk dilakukan
penilaian dengan model Crunch yang didukung dengan rumus Sturges untuk
penilaian interval yang ada. Temuan penelitian pada wilayah studi terungkap bahwa
wilayah studi memiliki status tingkat resiko bencana kebakaran yang cukup tinggi
dengan nilai (-8).
Hasil studi dapat disimpulkan bahwa penanggulangan kebakaran tidak cukup
hanya dengan menyediakan fasilitas penanggulangan kebakaran seperti armada
kebakaran serta personil, titik-titik hidran, rumah sakit yang layak, karena ditemui
berbagai kesulitan dalam proses pemadaman kebakaran di wilayah studi yang berupa
permukiman tidak tertata dan kualitas fisik bangunan yang rendah. Sistem swadaya
penanggulangan bencana kebakaran di lingkungan padat perkotaan ditawarkan
sebagai rumusan pemikiran yang diharapkan ideal bagi lingkungan permukiman
seperti wilayah studi.

Kata Kunci: resiko bahaya kebakaran, sumber bahaya, kerentanan, ketahanan.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

The increase in population in urban areas is phenomenon in developing


countries. In search of job opportunities and quality of life becomes the main reason
for people to migrate to the city. This uncontrolled urbanization turned urban land
into slump neighborhoods that are not organized and poor physical qualities. This
condition is very susceptible to trigger fires that materially would be very detrimental
to the urban community. The thesis aims to examine the possibility of fire-fighting
systems in dense urban settlements of Tanjung Balai.
The research was carried out by taking Tanjong Balai as a study area. To
proceed with a study, a purposive sampling was implemented together with the
formulation of Crunch Model. Crunch Model revealed that the level of risk of fire (R)
is the sum of hazard (H) and vulnerability (V) combined with a theoretical typology
of low-income housing in urban communities, including settlements (KP), group of
houses on the priorities and needs (KRAPKA), cycle day to stay (DHB) and economic
activity (AE); which will be reduced by the value of capacity (C) in combination with
the social culture (BSK). Along with this model and combination of other technique
as well as standardization and government regulations were also referred to
determine the existence of a neighborhood against the existing level of fire risk.
Specific benchmarks variables such as: hazard, vulnerability and capacity to
settlements became the basis for an assessment with the Crunch model supported by
Sturges’ formula for the assessment of the existing intervals. The study's findings in
the study area revealed that it has the status of disaster risk rate of fire is quite high
with a value of (-8).
The results of study can be concluded that fire prevention is not enough just to
provide fire prevention facilities such as fire fleet and personnel, hydrants, even
hospitals, because the difficulties always encountered in the process of fire fighting in
the settlements and unorganized physical buildings qualities. A self-help disaster
response system is needed in a dense urban environment as Tanjung Balai.

Keywords: risk of fire hazards, sources of hazards, vulnerability, capacity.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat

Allah SWT atas karunia dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, khususnya dalam

proses penulisan thesis ini. Penulis menyadari bahwa baik dalam pengungkapan,

penyajian dan pemilihan kata-kata maupun pembahasan materi thesis ini masih jauh

dari sempurna. Oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan

saran, kritik dan segala bentuk pengarahan dari semua pihak untuk perbaikan thesis

ini.

Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terimakasih yang tak

terhingga kepada Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc; selaku Ketua Program Studi

Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara. A/Prof. Abdul Majid Ismail,

B.Sc, Ph.D; sebagai Dosen Pembimbing Utama dan Ir.N. Vinky Rahman, MT;selaku

Dosen Pembimbing Kedua, yang telah banyak meluangkan waktu dan pemikirannya

dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan thesis ini.

Kepada Ir. Basaria Talarosha, MT; Ir. Novrial, M.Eng; dan Achmad Delianur

Nasution, ST, MT, IAI selaku Dosen Pembahas dan Penguji. Para pengelola

Administrasi Program Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara beserta

teman-teman Program Magister Teknik Arsitektur Manajemen Pembangunan Kota

Universitas Sumatera Utara serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu, terimakasih penulis haturkan atas bantuan dalam proses penyelesaian thesis

Universitas Sumatera Utara


ini. Hanya doa yang dapat penulis panjatkan semoga Allah SWT berkenan membalas

semua kebaikan Bapak, Ibu, Saudara dan teman-teman sekalian.

Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang

berkepentingan.

Medan, 21 Juli 2011

Mariaty Pane

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Mariaty Pane


Tempat/Tanggal Lahir : Medan/21 Pebuari 1969
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Alamat : Komplek Vetpurn Blok B No. 28 Laut Dendang .
Telepon/HP : 08126452856
Email : mariaty_pane69@yahoo.co.id
Warganegara : Indonesia
Anak Ke - : Sembilan
Nama Ayah : (Alm) Soaduon Pane
Nama Ibu : Sittah Siregar
Nama Suami : Erfin Muftiananto, ST
Nama Anak – Anak : 1. Atikah Rizkiyah
2. Ikhsan Moekhtar
Pendidikan/Tempat/Tahun
SD : SD Negeri 060874 Medan/Medan/1981
SMP : SMP Negeri 11 Medan/Medan/1984
SMU : SMA Negeri 8 Medan/Medan/1987
D-3 : Politeknik USU Medan/Medan/1990
S-1 : Program Studi Teknik Ekstension Fakultas Teknik
Universitas Sumatera Utara/Medan/1998
S 2 (Field of Study) : Magister Teknik Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ........................................................................................................... i

ABSTRACT .......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii

RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. v

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 4

1.3 Tujuan dan Sasaran .......................................................................... 6

1.4 Manfaat Studi ................................................................................... 7

1.5 Ruang Lingkup Studi ....................................................................... 8

1.5.1 Pemilihan wilayah studi ......................................................... 8


1.5.2 Substansi ................................................................................ 11

1.6 Sistematika Pembahasan .................................................................. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 15

2.1 Sistem dan Penanggulangan Kebakaran Dalam ‘Makna’ dan


Kajian ............................................................................................... 15

2.1.1 Makna sistem ......................................................................... 15

Universitas Sumatera Utara


2.1.2 Pengaturan dan penanggulangan bencana secara umum ....... 16
2.1.3 Bencana dan resiko ................................................................ 21

2.2 Tipologi Perumahan Pemukiman Perkotaan .................................... 24

2.2.1 Keberadaan permukiman ....................................................... 25


2.2.2 Kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya................ 27
2.2.3 Daur hari bertinggal ............................................................... 29
2.2.4 Aktivitas ekonomi .................................................................. 32
2.2.5 Budaya dan sosial kemasyarakatan (strukturasi) ................... 33

2.3 Identifikasi Faktor Teknis Penanggulangan Bencana Kebakaran ... 36

2.3.1 Bahaya (Hazard) .................................................................... 36


2.3.2 Kerentanan (Vulnerability) .................................................... 37
2.3.3 Ketahanan (Capacity) ............................................................ 40

2.4 Kebakaran ........................................................................................ 45

2.4.1 Proses kebakaran.................................................................... 46


2.4.2 Sumber api ............................................................................. 50
2.4.3 Klasifikasi kebakaran ............................................................. 51
2.4.4 Pola meluas kebakaran........................................................... 54
2.4.5 Penanggulangan kebakaran.................................................... 56

2.5 Kesimpulan ..................................................................................... 62

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 69

3.1 Metode Pendekatan Studi .............................................................. 69

3.1.1 Populasi dan sampel studi .................................................... 69


3.1.2 Lokasi dan waktu studi ........................................................ 76
3.1.3 Bahan dan Alat Studi ........................................................... 76

3.2 Metode Pengumpulan Data ............................................................ 76

3.3 Metode Pengambilan Sampel ......................................................... 78

3.4 Metode Analisis .............................................................................. 79

3.4.1 Tata cara variabel dan penilaian ........................................... 80

Universitas Sumatera Utara


BAB IV ANALISIS KAWASAN PENELITIAN ............................................ 85

4.1 Gambaran Umum Kota Tanjung Balai .......................................... 85

4.1.1 Sejarah kota Tanjung Balai .................................................. 85


4.1.2 Gambaran umum wilayah penelitian ................................... 88

4.2 Gambaran Kejadian Kebakaran di Wilayah Kota Tanjung Balai ... 96

4.3 Identifikasi Serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Potensi


Sumber Bahaya Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara
(Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai
Kota IV) .......................................................................................... 100

4.3.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi


sumber bahaya kebakaran menurut kondisi pemukiman
(KP) ..................................................................................... 100
4.3.2 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi
sumber bahaya kebakaran menurut Kelompok Rumah
atas Prioritas dan Kebutuhan (KRAPK) .............................. 103
4.3.3 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi
sumber bahaya kebakaran menurut Daur Hari Bertinggal
(DHB) .................................................................................. 105
4.3.4 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi
sumber bahaya kebakaran menurut Aktivitas Ekonomi
(AE) ..................................................................................... 108
4.3.5 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel potensi
sumber bahaya kebakaran di kecamatan Tanjung Balai
Utara ..................................................................................... 113

4.4 Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Kerentanan


Bahaya Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan
Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV) ..... 114

4.4.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel


kerentanan terjadinya kebakaran menurut Kondisi
Pemukiman (KP) .................................................................. 114
4.4.2 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel
kerentanan terjadinya kebakaran menurut Kelompok
Rumah Atas Prioritas dan Kebutuhannya (KRAPK) .......... 116

Universitas Sumatera Utara


4.4.3 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel
kerentanan terjadinya kebakaran menurut Daur Hari
Bertinggal (DHB) ................................................................. 123
4.4.4 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel
kerentanan terjadinya kebakaran menurut Aktivitas
Ekonomi (AE) ...................................................................... 125
4.4.5 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan
bahaya kebakaran di kecamatan Tanjung Balai Utara ......... 126
4.5 Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Ketahanan
Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan
Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV) ..... 127

4.5.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel


ketahanan terhadap terjadinya kebakaran menurut Badan
Sosial Kemasyarakatan (BSK) ............................................. 128
4.5.2 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel ketahanan
bahaya kebakaran di kecamatan Tanjung Balai Utara ......... 139

4.6 Tingkat Resiko Bencana Kebakaran Kawasan Padat Pemukiman


Kecamatan Tanjung Balai Utara ...................................................... 141

4.7 Kesimpulan ..................................................................................... 144

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 146

5.1 Sumber Bahaya dan Kerentanan Kebakaran.................................. 146

5.1.1 Faktor manusia .................................................................... 146


5.1.2 Faktor ruang sebagai wadah bertinggal .............................. 148

5.2 Rumusan Sistem Penanggulangan Kebakaran ............................... 150

5.2.1 Aktor bertinggal ................................................................... 150


5.2.2 Keberadaan lingkungan pemukiman ................................... 153

5.3 Zonasi Sistem Swadaya Penanggulangan Kebakaran di


Kecamatan Tanjung Balai Utara .................................................... 155

5.4 Kesimpulan ..................................................................................... 157

BAB VI PENUTUP ........................................................................................... 159

Universitas Sumatera Utara


6.1 Temuan Studi ................................................................................. 159

6.2 Kesimpulan .................................................................................... 161

6.3 Rekomendasi Studi Lanjut ............................................................. 164

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 166

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Siklus Pengaturan Bencana ................................................................................. 17

2.2 Model Terjadinya Bencana Menurut Pusat Mitigasi Bencana ITB ..................... 20

2.3 Faktor Resiko Menurut Sanderson ...................................................................... 23

2.4 Proses Perpindahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Menurut Dwyer ........ 25

2.5 Grafik Ruang Daur Hidup Manusia Menurut Erikson ........................................ 32

2.6 Grafik Ruang Daur Hari Masyarakat Permukiman Padat di Kota ...................... 32

2.7 Klasifikasi Tipe Masyarakat Menurut Giddens ................................................... 34

2.8 Tetrahedron Api ................................................................................................... 46

2.9 Kurva Suhu Api ................................................................................................... 47

2.10 Identifikasi Penanggulangan Kebakaran Diadaptasi Melalui Rumus Crunch..... 65

3.1 Perkembangan Kerentanan dan Keamanan Dalam Model Crunch ..................... 70

3.2 Tipologi Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah .................................. 73

3.3 Lingkup Studi Dalam Penyelesaian Permasalahan Bencana Kebakaran


Permukiman Padat di Kota .................................................................................. 75

3.4 Kerangka Pemikiran ............................................................................................ 84

4.1 Peta Administratif Kota Tanjung Balai ............................................................... 90

4.2 Peta Lokasi Wilayah Kota Tanjung Balai di Provinsi Sumatera Utara ............... 91

4.3 Peta Wilayah Penelitian di Kecamatan Tanjung Balai Utara di Kota


Tanjung Balai ...................................................................................................... 92

Universitas Sumatera Utara


4.4 Peta Situasi Wilayah Penelitian di Kecamatan Tanjung Balai Utara .................. 93

4.5 Peta Kepadatan Ruang Wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara...................... 94

4.6 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota III ........... 102

4.7 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV ........... 102

4.8 Kondisi Rumah Atas Prioritas dan Kebutuhannya ............................................ 104

4.9 Lapangan Usaha yang Memicu Terjadinya Kebakaran ..................................... 112

4.10 Rentannya Kualitas Fisik Pemukiman Terhadap Kebakaran ............................ 115

4.11 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat


Tinggal di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III ..................................... 118

4.12 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat


Tinggal di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV ..................................... 119

4.13 Kondisi Lingkungan Permukiman Padat Penduduk .......................................... 122

4.14 Fasilitas Armada Kebakaran di Kota Tanjung Balai ......................................... 130

4.15 Kondisi Sumur Dalam di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV ............................ 135

5.1 Alur Sistem Swadaya Penanggulangan Bencana Kebakaran Oleh Relawan


Sebagai Aktor .................................................................................................... 152

5.2 Zonasi Pembagian Wilayah Sistem Swadaya Penanggulangan Kebakaran ...... 155

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Laju Pertumbuhan Kebakaran .......................................................................... 49

2.2 Klasifikasi Kebakaran....................................................................................... 52

2.3 Tipe Konstruksi Bangunan Berdasarkan Ketahanannya Terhadap


Resiko Kebakaran ............................................................................................. 57

2.4 Variabel Identifikasi Bahaya Kebakaran .......................................................... 66

2.5 Variabel Identifikasi Kerentanan Kebakaran.................................................... 67

2.6 Variabel Identifikasi Ketahanan Kebakaran ..................................................... 69

3.1 Cara Pemberian Nilai Tolok Ukur Pada Variabel Sumber Bahaya,
Kerentanan dan Ketahanan Terhadap Bahaya Kebakaran................................ 83

4.1 Luas Daerah, Banyaknya Rumah Tangga, Penduduk, dan Kepadatan


Penduduk per Km² Menurut Kecamatan Tahun 2009 ...................................... 95

4.2 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Selatan Tahun 2009 .......... 96

4.3 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Datuk Bandar Tahun 2009 ....................... 97

4.4 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Datuk Bandar Timur Tahun 2009 ............ 97

4.5 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Sei Tualang Raso Tahun 2009 ................. 97

4.6 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara Tahun 2009............. 98

4.7 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Teluk Nibung Tahun 2009 ....................... 98

4.8 Kejadian Kebakaran Menurut Kecamatan Tahun 2009.................................... 99

4.9 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Termasuk Angkatan


Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan.... 109

Universitas Sumatera Utara


4.10 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama seminggu
yang Lalu Menurut Jenis Kelamin dan Lapangan Usaha Utama ................... 110
4.11 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu
yang Lalu Menurut Jenis Kelamin dan Status Pekerjaan Utama ................... 111

4.12 Penilaian Terhadap Variabel Sumber Bahaya Kebakaran di Kecamatan


Tanjung Balai Utara........................................................................................ 113

4.13 Penilaian Terhadap Variabel Kerentanan Kebakaran di Kecamatan


Tanjung Balai Utara........................................................................................ 126

4.14 Penilaian Terhadap Variabel Ketahanan Kebakaran di Kecamatan


Tanjung Balai Utara........................................................................................ 130

4.15 Hasil Penilaian Relatif Penentu Tingkat Resiko Bencana Kebakaran


di Kecamatan Tanjung Balai Utara ................................................................ 141

4.16 Penilaian Relatif Tingkat Resiko Bencana Kebakaran di Kecamatan Tanjung


Balai Utara ...................................................................................................... 143

5.1 Jumlah Unit Fasilitas Setiap Blok di Kelurahan Tanjung Balai Kota
III dan Tanjung Balai Kota IV Kota Tanjung Balai......................................... 156

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan merupakan fenomena yang selalu


terjadi pada negara-negara berkembang. Perbaikan penghasilan dan kualitas hidup
menjadi alasan utama masyarakat untuk bermigrasi ke kota. Tidak terkendalinya arus
urbanisasi ini berakibat pada berubahnya lahan perkotaan menjadi lingkungan
permukiman yang tidak tertata dan kualitas fisik yang tidak layak. Kondisi ini sangat
rentan memicu terjadinya kebakaran yang secara materi akan sangat merugikan
masyarakat kota. Tesis ini bertujuan untuk melengkapi sistem penanggulangan
kebakaran di permukiman padat perkotaan dengan memilih Kota Tanjung Balai
sebagai studi kasus.
Pendekatan dilakukan dengan melakukan penelitian pada wilayah studi yang
penetapannya dilakukan melalui purposive sampling. Kemudian dilakukan
identifikasi terhadap wilayah studi yang mengacu pada rumusan Model Crunch yang
mengungkapkan bahwa tingkat resiko bencana kebakaran (R) merupakan
penjumlahan atas sumber bahaya (H) dan kerentanan (V) dikombinasikan dengan
teori tipologi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang
meliputi keberadaan permukiman (KP); kelompok rumah atas prioritas dan
kebutuhannya (KRAPK); daur hari bertinggal (DHB); aktivitas ekonomi (AE), yang
akan dikurangi dengan nilai ketahanan (C) yang dikombinasikan dengan budaya
sosial kemasyarakatan (BSK). Tatanan identifikasi dalam mengungkap keberadaan
lingkungan permukiman merujuk kepada pemikiran-pemikiran para ahli dan instansi,
standarisasi serta peraturan pemerintah untuk mengetahui keberadaan suatu
lingkungan permukiman terhadap tingkat resiko kebakaran yang ada.
Variabel-variabel tolok ukur tertentu seperti: sumber bahaya, kerentanan dan
ketahanan terhadap lingkungan permukiman menjadi dasar untuk dilakukan
penilaian dengan model Crunch yang didukung dengan rumus Sturges untuk
penilaian interval yang ada. Temuan penelitian pada wilayah studi terungkap bahwa
wilayah studi memiliki status tingkat resiko bencana kebakaran yang cukup tinggi
dengan nilai (-8).
Hasil studi dapat disimpulkan bahwa penanggulangan kebakaran tidak cukup
hanya dengan menyediakan fasilitas penanggulangan kebakaran seperti armada
kebakaran serta personil, titik-titik hidran, rumah sakit yang layak, karena ditemui
berbagai kesulitan dalam proses pemadaman kebakaran di wilayah studi yang berupa
permukiman tidak tertata dan kualitas fisik bangunan yang rendah. Sistem swadaya
penanggulangan bencana kebakaran di lingkungan padat perkotaan ditawarkan
sebagai rumusan pemikiran yang diharapkan ideal bagi lingkungan permukiman
seperti wilayah studi.

Kata Kunci: resiko bahaya kebakaran, sumber bahaya, kerentanan, ketahanan.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

The increase in population in urban areas is phenomenon in developing


countries. In search of job opportunities and quality of life becomes the main reason
for people to migrate to the city. This uncontrolled urbanization turned urban land
into slump neighborhoods that are not organized and poor physical qualities. This
condition is very susceptible to trigger fires that materially would be very detrimental
to the urban community. The thesis aims to examine the possibility of fire-fighting
systems in dense urban settlements of Tanjung Balai.
The research was carried out by taking Tanjong Balai as a study area. To
proceed with a study, a purposive sampling was implemented together with the
formulation of Crunch Model. Crunch Model revealed that the level of risk of fire (R)
is the sum of hazard (H) and vulnerability (V) combined with a theoretical typology
of low-income housing in urban communities, including settlements (KP), group of
houses on the priorities and needs (KRAPKA), cycle day to stay (DHB) and economic
activity (AE); which will be reduced by the value of capacity (C) in combination with
the social culture (BSK). Along with this model and combination of other technique
as well as standardization and government regulations were also referred to
determine the existence of a neighborhood against the existing level of fire risk.
Specific benchmarks variables such as: hazard, vulnerability and capacity to
settlements became the basis for an assessment with the Crunch model supported by
Sturges’ formula for the assessment of the existing intervals. The study's findings in
the study area revealed that it has the status of disaster risk rate of fire is quite high
with a value of (-8).
The results of study can be concluded that fire prevention is not enough just to
provide fire prevention facilities such as fire fleet and personnel, hydrants, even
hospitals, because the difficulties always encountered in the process of fire fighting in
the settlements and unorganized physical buildings qualities. A self-help disaster
response system is needed in a dense urban environment as Tanjung Balai.

Keywords: risk of fire hazards, sources of hazards, vulnerability, capacity.

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan kepadatan serta pertumbuhan penduduk yang terpusat di perkotaan

menyebabkan aktivitas di kawasan ini menjadi semakin tinggi. Hal ini akan

menyebabkan peluang terjadinya kebakaran di kawasan perkotaan menjadi lebih

besar. Peningkatan pertumbuhan penduduk juga menyebabkan meningkatnya jumlah

permintaan permukiman. Tingginya permintaan permukiman oleh masyarakat di

perkotaan yang tidak diimbangi dengan perencanaan dan penyediaan lahan

permukiman yang layak, menjadikan masyarakat terpaksa menempati kawasan yang

rentan terhadap bencana kebakaran sebagai tempat tinggal mereka. Akibatnya akan

semakin banyak masyarakat kota yang terkonsentrasi menetap pada kawasan yang

rentan terhadap resiko bencana kebakaran, jika terjadi kebakaran di kawasan tersebut

makan probabilitas jatuhnya korban juga akan semakin besar. Berdasarkan hal

tersebut, diperlukan suatu usaha yang dapat digunakan sebagai cara untuk

mengurangi atau menghilangkan resiko akibat bencana kebakaran terhadap manusia

dan harta bendanya terutama di kawasan-kawasan terbangun seperti kawasan

permukiman padat yang memiliki tingkat kerentanan (vulnerability) yang relatif lebih

tinggi jika dibandingkan dengan kawasan kepadatan rendah. Definisi bencana

menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 Tentang

Universitas Sumatera Utara


Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh

alam, maupun non-alam yaitu bersumber dari ulah manusia sehingga mengakibatkan

timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan

dampak psikologis. Dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa kebakaran

termasuk ke dalam salah satu bencana. Berdasarkan penyebab kejadiannya,

kebakaran adalah bencana yang dikategorikan sebagai bencana alam (natural

disasters) maupun bencana non-alam yang diakibatkan oleh kelalaian manusia (man-

made disasters). Sumber bencana oleh alam yang menyebabkan terjadinya kebakaran

adalah petir, gempa bumi, letusan gunung api, kekeringan dan lain sebagainya.

Sementara itu, sedangkan sumber bencana oleh manusia yang menyebabkan

terjadinya kebakaran diantaranya adalah kebocoran gas LPG yang mudah terbakar,

hubungan arus pendek listrik, puntung rokok, sabotase, kurangnya pengamanan

konstruksi bangunan terhadap kebakaran, dan lain-lain.

Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kawasan perkotaan yang memiliki

tingkat pertumbuhan penduduk dan aktivitas penduduk yang tinggi (2.705

penduduk/km2, BPS Kota Tanjung Balai). Berdasarkan data unit Pemadam

Kebakaran Kota Tanjung Balai, selama tahun 2009 terjadi 21 kali kejadian kebakaran

sementara dari awal tahun hingga bulan Februari 2010 telah terjadi 6 bencana

kebakaran. Hal ini menunjukkan Kota Tanjung Balai memiliki rata-rata kejadian

kebakaran sebanyak 1,9 kali per bulan. Selain menimbulkan kerugian materi,

kebakaran di Kota Tanjung Balai juga menimbulkan korban nyawa dan luka-luka.

Universitas Sumatera Utara


Kebakaran tersebut sekitar 80% disebabkan oleh hubungan pendek listrik, sedangkan

20% disebabkan oleh ledakan kompor, lampu, dan lain-lain. Sekitar 78% kejadian

kebakaran terjadi pada bangunan permukiman penduduk, hal ini dikarenakan pada

umumnya bahan bangunan rumah yang digunakan sangat rentan terhadap kebakaran.

Dengan demikian maka Kota Tanjung Balai termasuk pula ke dalam kawasan

perkotaan yang memiliki peluang besar terjadinya kebakaran.

Kecamatan Tanjung Balai Utara merupakan salah satu kecamatan di Kota

Tanjung Balai yang memiliki peluang terjadinya kebakaran. Hal ini dikarenakan

kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan yang memiliki jumlah kepadatan

penduduk yang terbesar di Kota Tanjung Balai, yaitu sebesar 21.001 penduduk tiap

km2 (BPS Kota Tanjung Balai Tahun 2008). Dengan jumlah kepadatan penduduk

tersebut, maka kecamatan ini memiliki tingkat aktivitas penduduk yang tinggi pula.

Selain itu, besarnya peluang terjadinya kebakaran di kecamatan ini didukung oleh

data Unit Pemadam Kebakaran Kota Tanjung Balai tahun 2010, yang menyatakan

bahwa Kecamatan Tanjung Balai Utara merupakan salah satu wilayah di Kota

Tanjung Balai yang rawan terhadap kebakaran.

Sistem proteksi kebakaran di Kota Tanjung Balai yang telah ada saat ini berupa

Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) yang menitikberatkan pada

sistem dan strategi pemadaman kebakaran. Sementara kajian tentang identifikasi

tingkat resiko kebakaran dan analisis kondisi fisik lingkungan permukiman belum

pernah dilakukan. Sehingga diperlukan penelitian terhadap lingkungan permukiman

kota untuk melihat tingkat resiko kebakaran yang meliputi sumber, kerentanan dan

Universitas Sumatera Utara


ketahanan kebakaran yang diharapkan menjadi salah satu masukan dalam melengkapi

RISPK yang ada merujuk pada Kepmenneg PU No.11/KPTS/2000 yang didukung

Kepmenneg PU No.10/KPTS/2000, UU RI No.28 Tahun 2002, Kep. Dirjen Perkim

No. 58/KPTS/2002, Permen PU No. 20/PRT/M/2009 dan beberapa SNI terkait.

Fokus kepada Kecamatan Tanjung Balai Utara sebagai wilayah terpadat sebagai

studi kasus penelitian. Hasil kajian penelitian diharapkan mampu sebagai dasar yang

jelas untuk menentukan rangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana

kebakaran, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan kemampuan

menghadapi ancaman bencana. Rekomendasi akan dirumuskan setelah melakukan

identifikasi bahaya, kerentanan, ketahanan, dan tingkat resiko kebakaran kawasan

permukiman padat.

1.2 Rumusan Masalah

Kebakaran merupakan suatu kejadian dengan berbagai faktor penyebab yang

dapat terjadi dimana saja dan kapan saja,. Banyak yang memandang bencana

kebakaran, bukan sebagai resiko yang dapat diminimasi, melainkan sebagai musibah.

Juga masih kuat anggapan bahwa biaya untuk proteksi terhadap bahaya kebakaran

bukan biaya yang tergolong sebagai biaya investasi yang dapat dikembalikan dalam

waktu relatif cepat. Namun pada dasarnya kebakaran merupakan kejadian yang

sifatnya dapat dicegah melalui berbagai tindakan pencegahan seperti menjaga

keselamatan aktivitas lingkungan dari ancaman kebakaran.

Universitas Sumatera Utara


Salah satu lokasi di perkotaan yang paling sering terjadi kebakaran adalah

permukiman penduduk terutama permukiman padat. Sering terjadinya kebakaran di

kawasan ini disebabkan oleh bahaya kebakaran yang dimiliki kawasan permukiman

padat, yang tidak didukung adanya ketahanan lingkungan dan masyarakat seperti

kondisi fisik, sosial-kependudukan, ekonomi kelembagaan, serta sarana dan prasarana

yang baik. Sebaliknya, potensi bahaya kebakaran di kawasan permukiman padat

tersebut didukung oleh adanya kerentanan lingkungan dan masyarakat seperti jarak

antar rumah yang terlalu rapat, bahan bangunan rumah yang mudah terbakar, tidak

tersedianya sarana dan prasarana pendukung pencegahan dan penanggulangan

kebakaran, dan lain sebagainya. Untuk mengurangi tingkat resiko terjadinya

kebakaran yang dapat menimbulkan kerugian material, moril, dan fisik, maka

kerentanan yang dimiliki oleh kawasan permukiman padat harus dikurangi bahkan

dihilangkan dan ketahanan yang dimiliki harus ditingkatkan.

Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Kota Tanjung Balai 2010

hanya menitikberatkan pada sistem dan strategi pemadaman kebakaran. Sementara

kajian tentang identifikasi tingkat resiko kebakaran dan analisis kondisi fisik

lingkungan permukiman belum pernah dilakukan. Studi ini dilakukan guna

menghasilkan sistem penanggulangan kebakaran dalam konteks tingkat resiko

bencana kebakaran di permukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara yang

mengidentifikasi sumber bahaya, ketahanan, dan kerentanan. Kondisi sosial

kependudukan dan budaya masyarakat, kondisi ekonomi masyarakat, kondisi sarana

dan prasarana pendukung jika terjadi kebakaran, serta ada/tidaknya lembaga

Universitas Sumatera Utara


masyarakat yang menangani bencana khususnya kebakaran di kawasan permukiman

padat. Pengidentifikasian tersebut dilakukan untuk menjawab empat pertanyaan

penelitian yang diajukan yaitu:

1. Sumber bahaya kebakaran apa saja yang terdapat di permukiman padat?

2. Kerentanan apa saja yang ada di kawasan permukiman padat dalam

menghadapi bahaya kebakaran?

3. Ketahanan apa saja yang ada di kawasan permukiman padat dalam

menghadapi bahaya kebakaran

4. Seberapa tinggi tingkat resiko bencana kebakaran di permukiman padat?

Pada akhirnya pertanyaan penelitian tersebut ditujukan untuk menjawab

pertanyaan penelitian utama dalam studi ini yaitu: penanggulangan bencana

kebakaran seperti apa yang sesuai dengan karakteristik lingkungan permukiman

padat di kota?

1.3 Tujuan dan Sasaran

Tujuan studi ini adalah guna melengkapi sistem penanggulangan bencana

kebakaran di permukiman padat Kota Tanjung Balai dengan wilayah penelitian di

Kecamatan Tanjung Balai Utara. Sedangkan sasaran yang digunakan untuk mencapai

tujuan tersebut adalah:

1. Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel sumber bahaya

kebakaran di kawasan permukiman padat

Universitas Sumatera Utara


2. Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan kawasan

permukiman padat

3. Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel ketahanan kawasan

permukiman padat

4. Penilaian tingkat resiko bencana kebakaran di kawasan permukiman padat.

1.4 Manfaat Studi

Studi ini dilakukan untuk memberikan masukan kepada:

1. Pemerintah Daerah Kota Tanjung Balai dalam mengantisipasi dan

memperkecil kemungkinan terjadinya bencana kebakaran di Kota Tanjung

Balai khususnya di Kecamatan Tanjung Balai Utara.

2. Instansi-instansi terkait seperti PDAM, PLN, Unit Pencegahan dan

Penanggulangan Kebakaran Kota Tanjung Balai agar lebih meningkatkan

kapasitas kawasan permukiman padat di Kota Tanjung Balai dalam

menghadapi bahaya kebakaran melalui penyediaan infrastruktur sesuai

dengan standar yang ada.

3. Masyarakat Kecamatan Tanjung Balai Utara, untuk lebih mengenal

berbagai kerentanan dan ketahanan terhadap bahaya kebakaran serta

potensi kebakaran yang dimiliki wilayahnya sehingga dapat lebih waspada

dan meningkatkan ketahanan terhadap bahaya kebakaran.

Universitas Sumatera Utara


1.5 Ruang Lingkup Studi

Ruang lingkup studi terdiri dari dua cakupan ruang yaitu ruang lingkup wilayah

dan ruang lingkup materi.

1.5.1 Pemilihan wilayah studi

1.5.1.1 Keberadaan kota Tanjung Balai

Kota Tanjung Balai adalah salah satu wilayah kabupaten/kota yang ada di

Provinsi Sumatera, yang secara geografis terletak pada 20 58’ 00” LU dan 990 48’ 00”

BT. Kota ini berada disebelah Tenggara yang berjarak lebih kurang 250 Km dari

Kota Medan. Kota ini berada di pinggir pantai yaitu Pantai Timur Sumatera yang

berhubungan langsung dengan Selat Malaka.

Dengan keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Kota Tanjung Balai Nomor 4

Tahun 2005 tanggal 4 Agustus 2005 tentang Pembentukan Kecamatan Datuk Bandar

Timur dan Nomor 3 Tahun 2006 tanggal 26 Pebruari 2006 tentang Pembentukan

Kelurahan Pantai Johor di Kecamatan Datuk Bandar, maka wilayah Kota Tanjung

Balai menjadi 6 kecamatan dan 31 kelurahan. Adapun kecamatan dan kelurahan yang

ada di Kota Tanjungbalai adalah sebagai berikut:

1. Kecamatan Datuk Bandar, terdiri dari 5 kelurahan yaitu:

a. Kelurahan Sijambi

b. Kelurahan Pahang

c. Kelurahan Gading

d. Kelurahan Sirantau

Universitas Sumatera Utara


e. Kelurahan Pantai Johor

2. Kecamatan Datuk Bandar Timur, terdiri dari 5 kelurahan yaitu:

a. Kelurahan Bunga Tanjung

b. Kelurahan Selat Lancang

c. Kelurahan Selat Tanjung Medan

d. Kelurahan Semula Jadi

e. Kelurahan Pulau Simardan

3. Kecamatan Tanjungbalai Selatan, terdiri dari 6 kelurahan yaitu:

a. Kelurahan Tanjungbalai Kota II

b. Kelurahan Tanjungbalai Kota I

c. Kelurahan Karya

d. Kelurahan Perwira

e. Kelurahan Indra Sakti

f. Kelurahan Pantai Burung

4. Kecamatan Tanjungbalai Utara, terdiri dari 5 kelurahan yaitu:

a. Kelurahan Tanjungbalai Kota III

b. Kelurahan Mata Halasan

c. Kelurahan Kuala Silo Bestari

d. Kelurahan Tanjungbalai Kota IV

e. Kelurahan Sejahtera

5. Kecamatan Sei Tualang Raso, terdiri dari 5 kelurahan yaitu:

a. Kelurahan Pasar Baru

Universitas Sumatera Utara


b. Kelurahan Keramat Kubah

c. Kelurahan Sumber Sari

d. Kelurahan Muara Sentosa

e. Kelurahan Sei. Raja

6. Kecamatan Teluk Nibung, terdiri dari 5 kelurahan yaitu:

a. Kelurahan Beting Kuala Kapias

b. Kelurahan Kapias Pulau Buaya

c. Kelurahan Sei. Merbau

d. Kelurahan Pematang Siantar

e. Kelurahan Perjuangan

Kota Tanjungbalai memiliki luas wilayah 60,529 Km2 (6.052,9 Ha), yang

terdiri dari 6 kecamatan dengan luas yang berbeda-beda.

1.5.1.2 Pemilihan lokasi studi

Wilayah yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kecamatan Tanjung Balai

Utara, Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari lima kelurahan

yaitu Kelurahan Tanjung Balai Kota III, Kelurahan Mata Halasan, Kelurahan Kuala

Silo Bestari, Kelurahan Tanjung Balai Kota IV dan Kelurahan Sejahtera. Wilayah ini

dipilih berdasarkan:

1. Dari enam kecamatan yang ada, wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara

merupakan Wilayah Terpadat di Kota Tanjung Balai Utara menurut data

BPS Kota Tanjung Balai yaitu ±21.001 populasi per km².

Universitas Sumatera Utara


2. Kecamatan Tanjung Balai Utara merupakan salah satu wilayah paling

rentan terjadinya kebakaran. Menurut data Satuan Pemadam Kebakaran,

wilayah ini mengalami sebanyak empat kali terjadi kebakaran di

lingkungan permukiman padat penduduk selama tahun 2009.

3. Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kota yang ada di Provinsi

Sumatera Utara yang mencirikan perkembangan terpusat seperti wilayah

Ibukota Negara, Jakarta. Pencirian perkembangan kota terpusat ini

disebabkan oleh tindak masyarakat berpenghasilan rendah menjadikan

Kecamatan Tanjung Balai Utara sebagai sasaran wilayah lokasi karya

mereka sehingga kota terbentuk dari kantung-kantung permukiman yang

tidak tertata dan fisik permukiman bermaterial dibawah standar yang

sangat rentan terhadap bencana kebakaran.

4. Kecamatan Tanjung Balai Utara merupakan wilayah yang memiliki nilai

luas wilayah terkecil dari nilai luas wilayah kecamatan lainnya namun

memiliki tingkat kepadatan permukiman tertinggi dari wilayah lainnya.

Kondisi ini akan memudahkan peneliti untuk menyelesaikan

permasalahan penanggulangan kebakaran permukiman secara lengkap

dalam substansial yang akan ditetapkan dan diharapkan menjadi

batuloncatan pemikiran dalam merumuskan penyelesaian permasalahan

penanggulangan kebakaran permukiman padat di wilayah sekitarnya.

Universitas Sumatera Utara


1.5.2 Substansi

Bencana kebakaran tidak hanya disebabkan oleh manusia (man-made

disaster), namun juga dapat disebabkan oleh alam (natural hazard). Studi ini hanya

membatasi penyelesaian permasalahan yang disebabkan oleh manusia karena

lingkungan binaan yang terbentuk oleh keberadaan manusia yang sangat berpotensi

sebagai penyebab bencana kebakaran yang terlingkup dalam sumber bahaya yang

berasal dari pemakaian peralatan yang memicu bencana kebakaran, tingkat

kerentanan keberadaan material dan properti sebagai tempat tinggal dan tingkat

ketahanan material yang berada di sekitar kerentanan bahaya kebakaran di wilayah

tersebut.

Selain pembatasan terhadap jenis bencana kebakaran, studi tidak melibatkan

gambaran masyarakat tentang makna bencana kebakaran. Makna bahaya, kerentanan

dan ketahanan bencana kebakaran akan merunut pada studi literatur seperti teori,

peraturan perundangan, kebijakan dan literatur lainnya yang bersifat formal.

Studi akan mengidentifikasi tingkat ketahanan dan kerentanan permukiman padat

penduduk berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, fisik, sarana dan prasarana serta

strukturasi setempat. Kemudian identifikasi bencana kebakaran di wilayah studi

untuk melihat sejauh mana tingkat resiko bencana kebakaran di permukiman padat.

1.6 Sistematika Pembahasan

Sistematika Pembahasan yang akan disajikan pada studi ini sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini akan dimulai dengan segala permasalahan yang melatarbelakangi studi yang

dilengkapi dengan rumusan masalah, tujuan dan sasaran studi, ruang lingkup studi

yang terdiri dari ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup substansi, metodologi

penelitian yaitu metode pendekatan studi, metode pengumpulan data dan metode

analisis, manfaat studi serta kerangka pemikiran.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini diawali dengan membahas kawasan permukiman melalui teori tipologi

permukiman perkotaan untuk menjelaskan karakteristik kawasan. Kemudian wacana

dikembangkan melalui teori-teori yang berkaitan dengan bencana kebakaran, yaitu

konsep kondisi permukiman, kelompok rumah berdasarkan prioritas dan

kebutuhannya, daur hari bertinggal, akitivitas ekonomi dan badan sosial

kemasyarakatan. Bab ini juga memaparkan jenis-jenis kebakaran dan karakteristik di

dalamnya, serta penjelasan konsep penanggulangan bencana kebakaran. Terakhir,

akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel dan tolok ukur bahaya kebakaran di

permukiman padat.

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan jenis penelitian yang digunakan serta menjelaskan konsep dan

analisis resiko kebakaran di kawasan permukiman padat berdasarkan identifikasi

sumber munculnya api, kerentanan dan ketahanan di kawasan studi terhadap

kebakaran. Identifikasi dilakukan melalui variabel-variabel terhadap sumber potensi

Universitas Sumatera Utara


munculnya api, kerentanan dan ketahanan yang telah ditentukan. Terakhir, bab ini

akan melahirkan penilaian relatif tingkat resiko bencana kebakaran di wilayah studi.

BAB IV. KAWASAN PENELITIAN

Bab ini menjelaskan wilayah studi yang telah dilakukan dan diteruskan berupa

rumusan yang dapat dijadikan sistem penanggulangan kebakaran di permukiman

padat di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan temuan dari studi yang telah dilakukan dan diteruskan berupa

rumusan yang dapat dijadikan sistem penanggulangan kebakaran di permukiman

padat di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara. Selain itu akan dijelaskan

mengenai kesimpulan studi berupa alternatif tindakan-tindakan guna mendukung

sistem penanggulan kebakaran yang dapat di rekomendasikan untuk memperkecil

resiko kerugian jika terjadi bencana kebakaran.

BAB VI. PENUTUP

Bab ini menjelaskan hasil rangkuman atau kesimpulan hasil penelitian serta saran

yang diharapkan berupa rumusan yang dapat dijadikan sistem penanggulangan

kebakaran di permukiman padat di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Mengenai kesimpulan studi berupa alternatif tindakan-tindakan guna mendukung

sistem penanggulan kebakaran yang dapat di rekomendasikan untuk memperkecil

resiko kerugian jika terjadi bencana kebakaran.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tentang teori-teori dan faktor-faktor yang harus diperhatikan

dalam sistem penanggulangan kebakaran, kemudian mengembangkannya melalui

variabel tertentu untuk merumuskan tolok ukur bencana kebakaran di kawasan

permukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Selain rujukan terhadap dasar-dasar yang berkaitan tentang standarisasi,

peraturan atau ketetapan serta prinsip-prinsip yang diharapkan sebagai pendekatan

dalam melahirkan sistem penanggulangan kebakaran di wilayah studi, istilah ‘sistem’

akan dikaji merujuk kepada ranah sosial yang di kemukakan oleh Giddens (1984).

2.1 Sistem dan Penanggulangan Kebakaran dalam ‘Makna’ dan Kajian

2.1.1 Makna sistem

Istilah ‘sistem’ menurut Giddens (1984) dalam ranah sosial adalah hubungan

yang direproduksi oleh aktor-aktor atau kolektivitas yang diorganisasi sebagai

praktek-praktek sosial reguler. Sistem merupakan sesuatu yang terus berubah atau

beradaptasi terhadap suatu kondisi yang dihadapi dalam memudahkan penyelesaian

permasalahan atau ketentuan aktivitas tertentu. Sistem lahir atas adanya struktur.

Sedangkan ‘struktur’ dalam ranah sosial adalah aturan dan sumber daya atau tata-

susun hubungan transformasi yang diorganisasi sebagai properti sistem sosial.

Universitas Sumatera Utara


Sehingga ikatan struktur tersebut memiliki wewenang dalam menentukan sistem

tertentu dalam menjalani aktivitas yang menyelesaikan permasalahan dengan

sumberdaya pikiran melalui analisis tertentu.

Berdasarkan pemahaman istilah ‘sistem’ tersebut, kita dapat merumuskan

bahwa sistem penanggulangan kebakaran adalah suatu ketetapan atas hubungan yang

direproduksi untuk menetapkan penataan aktivitas terhadap peristiwa bencana

kebakaran yang dalam hal ini di kawasan permukiman padat di Kecamatan Tanjung

Balai Utara Provinsi Sumatera Utara. Sistem yang terbentuk pasti tidak sama pada

setiap ranah, sebab setiap ranah memiliki kondisi yang berbeda-beda; dan sistem lahir

sesuai dengan kondisi yang dihadapinya agar sistem tersebut dirasakan

kemanfaatannya karena mampu menjawab permasalahan yang ada.

Dalam hal ini, studi tidak sanggup untuk merumuskan semua faktor-faktor yang

ada hingga mampu melahir suatu ‘sistem’ yang dimaksud dalam penanggulangan

bencana kebakaran oleh karena waktu studi yang terbatas. Studi hanya mengkaji

sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan permukiman padat di Kecamatan Tanjung

Balai Utara yang diharapkan sebagai masukan dalam sistem penanggulangan

kebakaran yang akan disusun.

2.1.2 Pengaturan penanggulangan bencana secara umum

Menurut Departemen Sosial RI, pengaturan penanggulangan bencana bersifat

dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang

berhubungan dengan pengamatan setempat dan analisis bencana serta pencegahan,

Universitas Sumatera Utara


mitigasi, kesiapsiagaaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan

rekonstruksi bencana. Pengaturan bencana ini sangat baik diterapkan di lingkungan

padat permukiman perkotaan yang diakibatkan oleh bencana agar dapat

meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan tersebut. Pada gambar 2.1 siklus

atau daur penanganan bencana sebagai pemahaman aktivitas yang terjadi terus-

menerus sebagai rangkaian respon dalam mengahadapi bencana sesuai permasalahan

yang ditemui.

Gambar 2.1 Siklus Pengaturan Bencana


Sumber: Cater, 1991

Siklus pengaturan bencana terdiri dari pencegahan yaitu langkah-langkah yang

dilakukan untuk menghilangkan samasekali atau mengurangi secara drastis akibat

dari ancaman melalui pengendalian dan pengubahsesuaian fisik dan lingkungan. Lalu

mitigasi yaitu tindakan-tindakan yang memfokuskan perhatian pada pengurangan

dampak dari ancaman sehingga demikian mengurangi kemungkinan dampak negatif

kejadian bencana terhadap kehidupan. Berikutnya kesiapan yaitu perkiraan tentang

kebutuhan yang akan timbul bila terjadi kedaruratan bencana dan pengenalan

Universitas Sumatera Utara


sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan demikian membawa

penduduk ke dalam tataran kesiapan lebih baik dalam menghadapi bencana.

Penanggulangan kedaruratan/respon (early warning system) yaitu tindakan-tindakan

yang dilakukan seketika sebelum dan atau setelah terjadinya kejadian bencana.

Kemudian pemulihan yaitu tindakan yang bertujuan untuk membantu masyarakat

mendapatkan kembali sesuatu yang hilang dan membangun kembali kehidupan serta

kempatan-kesempatan yang ada. Terakhir, pembangunan yaitu pembangunan kembali

sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat

pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya

kegiatan perekonomian, sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan

bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan.

Siklus pengaturan bencana merupakan acuan atau sasaran yang akan dicapai

bila terjadi bencana. Sebagai pendekatan, akan tampil konsepsi manajemen bencana

sebagai alat mempermudah menuju pengaturan bencana tersebut, yaitu:

1. Disaster Management Continuum Model

Model ini terfokus pada kejadian bencana dan tanggap darurat. Model ini

juga mengasumsikan bahwa bencana tidak dapat dihindari, selain itu model

ini menjelaskan bahwa bencana merupakan rangkaian yang terus berputar.

2. Pre-During-Post Disaster Model

Model ini sedikit berbeda dengan model sebelumnya yang menganggap

perlunya campur tangan sebagai bentuk manajemen bencna dalam fase

bencana. Bedanya adalah pada pandangan bahwa bencan dapat diakhiri atau

Universitas Sumatera Utara


dihilangkan, selain itu kegiatan persiapan, mitigasi dan perbaikan dapat

dilakukan sebelum, selama dan setelah terjadinya bencana.

3. Contract-Expand Model

Model ini mengasumsikan bahwa bencana terjadi ketika suatu bahaya

melampaui kapasitas komunitas untuk manajemen bencana tersebut, semua

komponen untuk pengurangan bencana dapat dilakukan bersamaan dengan

penekanan yang berbeda-beda. Bencana tidak dapat dihindari dan datang

dalam jangka waktu yang pendek.

4. Risk Reduction Disaster (RRD) Framework

Bencana akan lebih besar jika bahaya (hazard) dan kerentanan

(vulnerability) meningkat dan kapasitas atau ketahanan menurun. Model ini

memfokuskan pada manajemen resiko dengan mengurangi atau

menghilangkan kerentanan, memahami karakteristik bahaya dan

membangun ketahanan berdasarkan kerentanan dan bahaya yang dimiliki

suatu wilayah dalam lingkup analisis sosial dan keilmuan.

5. Crunch Model

Awotona (1997) mengemukakan model ini adalah bahwa bencana

merupakan produk dari kerentanan bertemu dengan bahaya. Model ini

menunjukkan bahwa bencana hanya terjadi jika bahaya bertemu dengan

kondisi yang membuat masyarakat atau elemen non-manusia mudah terkena

dampak negatif dari suatu bahaya. Model ini juga memandang bencana

sebagai konsep sosial yang perlu dilakukan penanganannya terhadap akar

Universitas Sumatera Utara


penyebab munculnya kerentanan dan perlu dilakukan pemahaman terhadap

terjadinya suatu bahaya. Fokus yang dilakukan adalah meningkatkan

kapasitas suatu lingkungan serta analisis sosial untuk mengurangi kerentanan

dan bahaya. Metodenya, dengan adanya pengurangan tingkat bahaya dapat

digambarkan dengan peningkatan kapasitas atau ketahanan suatu lingkungan

serta memperkecil tingkat kerentanan seuatu lingkungan terhadap suatu

bahaya.

Atas pemahaman terhadap model Crunch, Pusat Mitigasi Bencana

menterjemahkan model ini ke dalam rumus yang dapat mempermudah untuk

menganalisis kualitas bencana terhadap dialektik antara bahaya, kerentanan dan

ketahanan. Pada gambar 2.2 menerangkan model terjadinya bencana menurut pusat

mitigasi Bencana ITB, resiko terjadinya bencana dapat dilihat dari bahaya yang

bertemu dengan kerentanan serta tidak adanya ketahanan. Dengan adanya

pemahaman rumusan ini, dapat dijustifikasi bahwa resiko bencana dapat dikurangi

dengan meningkatkan nilai ketahanan dan memperkecil kerentanan yang ada.

Sehingga resiko bencana kebakaran setiap kawasan dapat di ukur melalui sumber

bahaya, kerentanan dan ketahanan-nya.

Gambar 2.2 Model Terjadinya Bencana Menurut


Pusat Mitigasi Bencana ITB

Universitas Sumatera Utara


Dari ke lima konsepsi dalam memahami bencana serta proses dalam

menanggapi bencana, model Crunch lebih relevan digunakan sebagai alat untuk

menuju pendekatan sistem penanggulangan bencana kebakaran yang akan terbentuk

atau sebagai masukan untuk sistem yang telah terbentuk, karena proses pemikirannya

melibatkan aktor kunci (key-actor), ahli teknis dan pemerintah sebagai pe-bijak.

Makna istilah ‘sistem’ oleh Giddens sejalan dengan konsep Crunch yang memikirkan

dan mempertimbangkan segala aktor yang terlibat bersama-sama saling mendukung

dalam menyelesaikan permasalahan bencana dengan menterjemahkan ‘bahaya’ di

dukung oleh ‘kerentanan’ yang dapat diantisipasi ataupun ditekan dengan tindakan

meningkatkan ‘ketahanan’. Apabila pemikiran ini dilaksanakan, maka dapat

dipastikan bahwa kawasan tersebut akan jauh dari bahaya bencana karena menghapus

tingkat kerentanan melalui pemenuhan ‘ketahanan’.

2.1.3 Bencana dan resiko

Menurut UU RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, istilah

bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan

atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya

korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis.

Sedangkan potensi bencana yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi dua

yang dikutip dalam Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan Bakornas 2002

Universitas Sumatera Utara


yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral

hazard). Kelompok potensi bahaya utama terdapat di wailayah perkotaan yang

memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (lingkungan kumuh perkotaan) dan

jumlah industri berbahaya yang tinggi.

Kemudian, di dalam UU RI No. 24 tahun 2007 juga terdapat tiga kelompok

bencana yaitu:

1. Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi,

tsunami, bunung meletus dan bencana alam lainnya.

2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa non-alam yang diantaranya berupa gagal teknologi,

gagal modernisasi, epidemik dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik

sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror.

Ketiga kelompok bencana diatas muncul berdasarkan atas faktor penyebab

terjadinya bencana. Sedangkan faktor penyebab terjadinya bencana tidak terlepas dari

kerentanan kawasan setempat. Oleh karena itu, kerentanan menjadi faktor penentu

atas besar kecilnya resiko terjadinya bencana.

Menurut Sanderson (1997), yang terdapat pada gambar 2.3 beberapa faktor

resiko bencana merupakan hasil dari kerentanan bertemu dengan bahaya yang ada.

Bahaya dapat dilihat berdasarkan tipe, frekuensi dan kualitas bahaya yang akan

Universitas Sumatera Utara


muncul. Sedangkan kerentanan dilihat berdasarkan kondisi sosial, ekonomi,

infrastruktur, dan organisasi yang dimiliki suatu kawasan. Dalam konteks ini tidak

terdapat suatu pertimbangan terhadap potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan

dalam menghadapi bahaya yang mengancam.

resiko

Gambar 2.3 Faktor Resiko Menurut Sanderson


Sumber: Diadaptasi dari bagan konsep bencana Sanderson

Sedangkan resiko menurut Naskah Undang Undang Penanggulangan Bencana

yang ada pada gambar 2.4 menjelaskan bahwa resiko bencana merupakan fungsi dari

ancaman (A) dengan keadaan (K) yang rentan, yang dapat dirubah dengan adanya

kemampuan (m). Pemahaman resiko ini dapat dijadikan rumus dalam mengantisipasi

bahaya yang akan muncul dengan nilai resiko yang dihasilkan adalah 0 (nol).

Sebagai pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan bencana kebakaran

pada wilayah studi akan dibahas terlebih dahulu tentang konsepsi tipologi perumahan

dan pemukiman perkotaan sebagai objek atau sasaran penyelesaian dalam lingkup

fisik tempat tinggal, ekonomi, budaya dan sosial kemasyarakatannya. Kemudian

pembahasan diteruskan tentang bahaya, kerentanan dan ketahanan sebagai proses

Universitas Sumatera Utara


memunculkan variabel tolok ukur penanggulangan bencana kebakaran di

permukiman padat Kecamatan Tanjung Balai Utara.

2.2 Tipologi Perumahan Pemukiman Perkotaan

Salah satu faktor dominan yang memicu permasalahan penanggulangan

kebakaran secara kawasan perkotaan adalah pesatnya laju pertumbuhan

pembangunan di berbagai sektor yang menarik atau menyedot keberadaan penduduk

desa (rural) menuju kota (urban). Pergumulan modal di kota lebih besar dibanding

desa, sehingga terdapat pemikiran di masyarakat bahwa peluang dalam meningkatkan

pendapatan ekonomi lebih mudah dilakukan di lingkungan perkotaan dibanding

dengan desa. Proses perpindahan masyarakat berpenghasilan rendah dijelaskan pada

gambar 2.4.

Pada awalnya masyarakat tersebut hanya berkunjung ke kota, kemudian kota

memberikan peluang dan harapan bagi masyarakat tersebut untuk berkarya. Oleh

karena lokasi karya berjauhan dengan tempat tinggalnya di desa, kemudian mereka

tinggal di kota secara komunal dengan kualitas fisik tempat tinggal yang rentan

terhadap bencana seperti kebakaran.

Hal ini sejalan dengan pengamatan Dwyer dalam Potter dan Lloyd-Evans

(1998), di permukiman padat perkotaan, pada mulanya mereka datang ke kota

melakukan peningkatan peninjauan hingga wilayah terluas. Lalu mereka menuju

pusat kota untuk mencari pekerjaan baik sektor formal maupun informal.

Universitas Sumatera Utara


Agar kita memahami sasaran aktor tentang keberadaan dan kondisi yang

mendekatkan mereka terhadap kerentanan bahaya kebakaran, berikut akan dikaji

tempat tinggal dan lingkungan mereka serta faktor ekonomi dan sosial budaya

mereka.
Pusat
Kota
Kesempatan kerja di kota

Pingiran
Kota
(Penyerbuan
dan Pergantian)

Lokasi Ideal

Perpindahan

Beberapa Beberapa
Squatter Pertumbuhan Squatter
Squatter
Kondisi air Kondisi lahan
buruk sempit

Kota-kota
kecil dan
sekitarnya

Gambar 2.4 Proses Perpindahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Menurut Dwyer

2.2.1 Keberadaan permukiman

Pada bab sebelumnya telah dikemukakan konsep penyediaan perumahan

masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang dikemukakan oleh Drakakis,

konsep ini akan dikembangkan untuk memahami keberadaan permukiman perkotaan

Universitas Sumatera Utara


terhadap faktor-faktor yang menyelimuti mereka dari bahaya kebakaran atas sumber

bahaya, kerentanan dan ketahanannya yang akan di urai sebagai berikut.

2.2.1.1 Permukiman konvesional

Istilah konvensional bermakna sesuatu lahir atas kesepakatan dari hubungan

tertentu yang berdasar atas pemikiran tertentu melalui analisis tertentu. Konvensi

merupakan sesuatu yang sudah ditetapkan, kemudian dilaksanakan menjadi suatu hal

yang wajar. Rumah, merupakan suatu ruang dimana manusia menjalani daur harinya

secara lengkap bersama-sama anggota keluarga lainnya untuk saling menghormati,

belajar, menyayangi yang terlingkup di dalam nilai-nilai kemanusiaan. Tentu

keberadaan ‘rumah’ harus mampu melayani sifat ke-ruang-an tersebut.

Keberadaan permukiman konvensional lahir atas dasar material standar.

Material standar berarti material dengan daya tahan tertentu terhadap faktor-faktor

yang dapat merusak material tersebut melalui uji coba ketahanan tertentu. Kemudian

penyelenggaraannya menggunakan tenaga ahli tertentu yang dapat merumuskan

kemanfaatan tempat tinggal tersebut melalui perencanaan dengan keilmuan tertentu.

Setelah itu keberadaan permukiman yang berdiri diatas lahan resmi yang dapat

memperkuat perencanaan untuk melahirkan tempat tinggal untuk bertinggal dalam

jangka waktu yang tidak terbatas.

2.2.1.2 Permukiman non konvensional

Kondisi permukiman ini adalah kondisi berbalik dari permukiman

konvensional. Permukiman non konvensional lahir atas material disekitarnya yang

Universitas Sumatera Utara


hanya bersifat menutupi atau melindungi dalam jangka waktu yang sangat pendek.

Pemakaian material tempat tinggal kerap kali tidak menggunakan material standar,

akibatnya sangat rentan rusak atau hancur terhadap bencana. Kemudian

penyelenggaraannya dilakukan secara pribadi sesuai dengan kebutuhan minimal

kegunaan ruang yang akan dipakai, sehingga ‘rumah’ tidak dapat melakukan daur

hari secara lengkap dan manusiawi.

Permukiman berdiri di atas lahan yang bukan miliknya atau berstatus ilegal,

yang sewaktu-waktu keberadaan mereka akan hilang karena diambil alih oleh yang

berhak atas lahan tersebut.

Dari kedua tipologi permukiman yang telah dikaji di atas akan

dikembangkan menjadi dasar dalam menciptakan elemen-elemen variabel yang akan

di analisis untuk melahirkan tolak ukur penanggulangan bencana kebakaran. Setelah

memahami konsep fisik tempat tinggal mereka, kita beranjak pada pembahasan

tentang aktivitas bertinggal.

2.2.2 Kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya

Ada tiga kelompok rumah di pemukiman padat perkotaan yang berdasarkan

atas prioritas dan kebutuhannya (Turner dalam Potter dan Lloyd-Evans, 1998), yaitu:

pertama, bridgeheader (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang

memandang rumah sebagai batu loncatan) menurut kamus Webster’s, kata

bridgeheader terdiri dari kata bridge-head yang artinya bergerak ke depan

mengambil posisi tembak yang akan di tuju. Dalam hal ini kelompok masyarakat

Universitas Sumatera Utara


yang dimaksud bukan kelompok militer yang sedang melakukan aksi tertentu, tetapi

masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki prioritas tempat untuk bertinggal

yang berdekatan dengan lokasi karyanya; posisi tembak adalah pusat kota

(mengandung segala ceruk ekonomi) yang dituju untuk mencari pendapatan. Selain

itu kelompok ini cenderung berprioritas hidup untuk makan, maka rumah hanya

menjadi sarana untuk istirahat belaka. Atas karakteristik ini dapat kita pastikan bahwa

kelompok ini pasti bertinggal di fisik tempat tinggal yang sangat rentan terhadap

bahaya bencana kebakaran.

Kedua adalah consolidator (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah

yang sudah melakukan konsolidasi) yaitu makna rumah sebagai tempat konsolidasi

(berkumpul), menjadikan hunian sebagai media antara untuk mengkonsolidasi

kehidupan rumah tangga. Kemampuan rumah tangga dalam melakukan pengelolaan

keuangan, maka prioritas kedekatan terhadap lokasi karya menjadi semakin kurang

penting dan sudah memikirkan tentang pendidikan serta memperhitungkan amenitas

(fasilitas) berhuni. Atas karakteristik ini, kondisi fisik tempat tinggalnya mulai lebih

baik dibanding kelompok sebelumnya karena ‘rumah’ merupakan tempat bernaung

yang sudah dianggap penting untuk melaksanakan daur hari di kota; sehingga tingkat

kerentanan fisik rumah dari bahaya kebakaran berkurang kadarnya.

Terakhir, status seeker (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang

memandang rumah sebagai pembeda status) yaitu rumah sebagai status diri, terjelma

dalam bentuk kualitas fisik dan sarana penunjang yang berkualitas pula. Atas

karakteristik ini dapat dipastikan bahwa keberadaan fisik tempat tinggal mereka

Universitas Sumatera Utara


nyaris jauh dari kerentanan bahaya bencana kebakaran, karena rumah terdiri dari

material standar yang memiliki kekuatan tertentu untuk mengahadapi bahaya seperti

bencana kebakaran.

Dari tiga kelompok rumah di permukiman padat perkotaan dapat diambil

kesimpulan bahwa bridgeheader adalah kelompok yang memiliki penjelmaan tempat

tinggal yang sangat rentan terhadap bahaya kebakaran.

2.2.3 Daur hari bertinggal

Manusia bergerak dalam ruang, dan akan selalu dalam ruang. Dalam menjalani

hidupnya, manusia melakukan beberapa kegiatan dan kegiatan itu terulang kembali

hingga menjadi suatu rutinitas.

Ruang akan terlihat keberadaannya melalui tempat. Tempat tinggal merupakan

tempat terjadinya proses bertinggal atas kegiatan tertentu yang terus berlangsung

melalui ruang, dan tempat tinggal sebagai jelmaannya. Relph (1976) mengungkapkan

bahwa tempat bukan sekedar sesuatu itu berada, tapi lebih dari itu, lokasi dan segala

sesuatu yang ada pada lokasi tersebut, dan tampil sebagai suatu gejala yang berarti

serta menyatu.

Manusia secara umum lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.

Di dalam rumah banyak terdapat properti atau barang-barang milik yang digunakan

sekaligus membantu kelangsungan daur hidup manusia. Penjelmaan pemakaian

rumah berpengaruh terhadap rentannya bahaya kebakaran. Pada gambar 2.5

menunjukkan grafik ruang daur hidup manusia menurut Erikson (1997), disini kita

Universitas Sumatera Utara


akan melihat aktivitas masyarakat yang berada di permukiman padat perkotaan yang

dikonversi menjadi daur hari di tempat tinggal.

Aktivitas hidup lebih Dewasa muda: 19-40


Aktivitas di banyak di dalam
luar tempat rumah Remaja: 12-
ti l Dewasa: 40-65
18
Aktivitas hidup lebih
Usia sekolah: 5-12 banyak di luar rumah Usia Tua: 65-mati

Laju usia
terhadap aktivitas Usia bermain: 3-5
yang meruang

Usia Bayi: 0-3

Aktivitas di
tempat tinggal

Pra-natal Lingkungan Lingkungan perkotaan Lingkungan Mati


Lahir tempat tinggal tempat tinggal
s/d sekolah

Gambar 2.5 Grafik Ruang Daur Hidup Manusia Menurut Erikson (1997)

Pada masa bayi hingga anak (0-5 tahun), waktu daur hidup manusia lebih

banyak dihabiskan di tempat tinggal karena pada masa tersebut ia membutuhkan

perawatan tubuh dan pikiran secara intensif dari orang tuanya di tempat tinggal. Pada

masa anak hingga remaja (5 hingga 18 tahun), waktu daur hidup remaja sudah mulai

menjalani aktivitas pendidikan untuk konsumsi pikiran (teknologi), namun waktu

daur hidupnya masih banyak dijalani di tempat tinggal. Pada masa dewasa (19 hingga

65 tahun), waktu daur hidup lebih banyak dihabiskan di kota dari pada di tempat

tinggal karena pada masa ini mencari penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya melalui kinerja, karya dan pikiran. Pada masa tua (65 hingga mati),waktu

Universitas Sumatera Utara


daur hidup kembali lebih banyak di rumah di banding di kota karena kondisi fisik

tubuh tidak mampu lagi mendukung aktivitas terutama karya.

Pada gambar 2.6 grafik ruang daur hari masyarakat permukimana padat di kota

terdapat garis putus-putus berbentuk kotak. Kotak tersebut melingkupi aktivitas

manusia yang banyak menghabiskan daur hidupnya lebih banyak di rumah dibanding

di luar rumah. Pada masa-masa tersebut manusia sangat membutuhkan bimbingan

dan pengayoman orang tua beserta saudara dalam proses menjalani kehidupan.

Dengan memahami secara jelas waktu-waktu beraktivitas di dalam tempat bertinggal

diharapkan dapat mempermudah identifikasi terhadap sumber-sumber yang dapat

memicu bahaya kebakaran, kemudian mengkaji segala keberadaanya melalui

kerentanan bahaya kebakaran serta menilai seberapa jauh ketahanan permukiman

mereka terhadap bahaya kebakaran untuk merumuskannya sebagai tolok ukur

penanggulangan bencana kebakaran pada sistem tertentu.

Siang
Aktivitas di
luar tempat

Aktivitas pendidikan dan mencari


pendapatan di lokasi karya.

Laju waktu Istirahat


terhadap aktivitas
yang meruang

Malam
Aktivitas di
tempat tinggal
Di Tempat Tinggal Di Lokasi Karya

Rentang waktu daur hari masyarakat permukiman padat di

Gambar 2.6 Grafik Ruang Daur Hari Masyarakat Permukiman Padat di Kota

Universitas Sumatera Utara


2.2.4 Aktivitas ekonomi

Terkait dengan karakter kelompok masyarakat permukiman padat di kota,

Gilbert dan Gugler dalam Potter dan Lloyd-Evans (1998) merumuskan tiga kategori

pekerja di lingkungan perkotaan, pertama yaitu employment atau pekerja tetap dengan

tingkat kemapanan tertentu (elit sektor); kedua unemployment atau pengangguran;

biasanya mereka memperoleh subsidi dan kurang memikirkan kebutuhan makan;

ketiga, underemployment yang memiliki tiga definisi.

Pertama, jumlah pekerja sangat berlimpah dibanding dengan waktu bekerja

seharusnya. Biasanya definisi ini terdapat pada pekerja buruh, karena mereka mencari

penghasilan tambahan dari sisa waktu yang ada.

Kedua, aktivitas ekonomi yang terkait dengan tinggi rendah (fluktuasi)

beraktivitas yang dikelompokkan pada waktu sepanjang hari atau lebih dari

seminggu, atau waktu yang menjelaskan sedikit atau tidak bekerja.

Ketiga, dapat disebut sebagai ‘pekerja terselubung’ yaitu bekerja hanya pada

saat diperlukan karena opurtunis (pemberi kerjaan) tidak mampu menampung tenaga

kerja secara penuh.

Kehadiran tiga kategori pekerja di kota berpengaruh terhadap penjelmaan

kualitas fisik permukimannya. Bagi masyarakat yang berstatus employment,

kerentanan bahaya kebakaran hampir tidak ditemui karena rumah bukan merupakan

bagian tempat produksi untuk meningkatkan pendapatan karena penghasilan cukup

untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan masyarakat yang berstatus

employment dan underemployment sangat rentan memancing terjadinya bahaya

Universitas Sumatera Utara


kebakaran karena kategori masyarakat ini cenderung untuk maemanfaatkan setiap

ceruk ekonomi yang ada untuk meningkatkan pendapatan. Besar kemungkinan bahwa

tempat tinggal dijadikan tempat untuk memproduksi dan berniaga untuk

meningkatkan penghasilan. Hal ini dapat memicu bahaya atau berpotensi terjadinya

kebakaran di permukiman padat perkotaan.

2.2.5 Budaya dan sosial kemasyarakatan (strukturasi)

Masyarakat dalam konotasi umum yaitu asosiasi sosial atau interaksi dan dapat

juga diartikan sebagai unit mempunyai batas yang menandai dari masyarakat yang

lain. Dalam properti sosial, masyarakat memiliki prilaku tertentu untuk bertindak

hidup berdampingan dengan lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat dapat dipandang

secara dinamis karena dapat menjadi subjek sekaligus objek. Namun keberadaan

budaya dan sosial ‘masyarakat’ sangat menentukan kualitas bermukim di lingkungan

permukiman perkotaan.

Gambar 2.7 menjelaskan klasifikasi tipe masyarakat menurut Giddens (1984),

ada tiga klasifikasi masyarakat yaitu masyarakat suku (tribal society), masyarakat

terbagi atas kelas (class divided society) dan masyarakat kelas (class society).

Dalam masyarakat kesukuan atau budaya lisan, prinsip struktural yang dominan

bekerja sepanjang sumbu yang menghubungakan tradisi dan kekerabatan atau

kekeluargaan yang tersemat dalam ruang dan waktu. Media integrasi tergantung pada

interaksi dalam latar lokal yang memiliki kehadiran yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.7 Klasifikasi Tipe Masyarakat Menurut Giddens (1984)

Pola pikir masyarakat dapat dilakukan secara bersama-sama, saling bahu

membahu dan bergotongroyong menuju kepentingan bersama. Atas hubungan

kelompok masyarakat ini, ia memiliki faktor ketahanan terhadap penanggulangan

bencana kebakaran serta mempermudah perwujudan membangun kembali pasca

bencana. Namun dengan pola pikir masyarakat ini juga akan berpotensi kerentanan

bahaya kebakaran sebab dapat melanggar peraturan demi kesejahteraan bersama.

Salah satu contoh relevan terhadap pola pikir masyarakat ini adalah dengan adanya

pencurian arus listrik yang dipakai secara bersama-sama atau juga menggunakan alat

masak yang tidak dianjurkan dengan kayu bakar karena merasa tidak mampu

memakai alat masak yang standar.

Universitas Sumatera Utara


Kemudian masyarakat yang terbagi atas kelas merupakan klasifikasi

masyarakat atas hubungan kekerabatan dna praktek tradisional bahkan masih

menganggap praktek kesukuan masih sangat penting. Terkadang terdapat suatu

kondisi bahwa pemerintah tidak dapat masuk ke dalam adat istiadat setempat.namun

walaupun begitu, klasifikasi masyarakt ini sudah mengenal tata hukum yang berlaku,

prosedur aktivitas ekonomi dan cara-cara kordinasi simbolis yang didasarkan pada

teks tertulis.

Pola pikir masyarakat sudah lebih maju dari masyarakat kesukuan sebab telah

memahami sebab-akibat dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, klasifikasi

masyarakat ini masih memiliki potensi kerentanan yang tinggi terhadap bahaya

kebakaran karena segala peraturan yang berlaku kerap dilanggar demi peningkatan

pendapatan dalam aktivitas perekonomiannya.

Masyarakat kelas yang biasa disebut dengan masyarakat kapitalis yaitu

klasifikasi kemasyarakat yang prinsip strukturalnya kekuatan perekonomian. Atas hal

ini, seluruh sumberdaya akan dikerahkan demi menghasilkan sesuatu berkualitas

secara teknis. Maka sesuatu yang tercipta harus berdasarkan uji dan analisis yang

mendalam dengan penataan yang terencana dalam jangka waktu guna yang tertentu.

Pada klasifikasi masyarakat ini, celah kerentanan terhadap bahaya kebakaran

khususnya akibat ulah manusia dapat dihapuskan karena terdapat pemahaman bahwa

kekeliruan dirisendiri tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.

Universitas Sumatera Utara


2.3 Identifikasi Faktor Teknis Penanggulangan Bencana Kebakaran

Bila kita mengulang sedikit ke belakang tentang konsep Crunch dalam

menyikapi resiko bencana kebakaran, terdapat rumusan sebagai berikut:

Disaster Risk = Hazard + Vulnerability – Capacity


atau
.............(2.1)
Resiko Bencana = Bahaya + Kerentanan - Ketahanan

dengan terjemahan:

1. Resiko bencana akan semakin besar bila faktor bahaya didukung oleh faktor

kerentanan tanpa adanya nilai faktor ketahanan.

2. Resiko bencana dapat di tekan atau dihapuskan bila faktor bahaya yang di

dukung oleh kerentanan dilawan dengan cara meningkatkan nilai faktor

ketahanan.

2.3.1 Bahaya (hazard)

Bahaya adalah kejadian yang jarang atau ekstrim dari lingkungan karena ulah

manusia atau karena alam yang merugikan mempengaruhi kehidupan manusia,

properti atau aktivitas pada tingkat yang menyebabkan bencana. Secara umum,

bahaya juga dapat diartikan sebagai suatu kejadia yang dapat mengarah pada

kehilangan atau kesakitan. Secara umum berdasarkan aktor, bahaya dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Natural Hazard yaitu bahaya yang disebabkan oleh kejadian alam seperti

gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan bencana lainnya.

Universitas Sumatera Utara


2. Man-made Hazard yaitu bahaya yang disebabkan oleh manusia baik secara

langsung maupun tak langsung.

3. Teknologi Hazard yaitu bahaya yang disebabkan oleh reaksi rekayasa

teknologi.

Dari ketiga penyebab bahaya yang tampil di atas, studi ini akan terfokus pada

bahaya yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung

dalam ranah fisik tempat tinggal dan lingkungannya, ekonomi dan sosial kebudayaan

kemasyarakatannya.

2.3.2 Kerentanan (vulnerability)

Kerentanan adalah potensi untuk tertimpa kerusakan atau kerugian, yang

berkaitan dengan kapasitas untuk mengantisipasi suatu bahaya, mengatasi bahaya,

mencegah bahaya dan memulihkan diri dari dampak bahaya. Baik kerentanan

maupun ketahanan, ditentukan oleh faktor-faktor fisik, lingkungan sosial, politik,

budaya dan kelembagaan. Kerentanan dapat berupa:

1. Ekonomi seperti penghasilan yang tidak mapan serta tidak ada fasilitas

pinjaman atau tabungan.

2. Alam seperti ketergantungan pada sumberdaya alam yang terbatas.

3. Bangunan seperti rancang bangun gedung-gedung, lokasi rumah penduduk

di tanah yang miring.

Universitas Sumatera Utara


4. Individu seperti terbatasnya keterampilan atau pengetahuan, kurang

mendapat kesempatan karena masalah gender, lanjut usia atau masih terlalu

muda.

5. Sosial seperti komunitas yang terorganisir, terbagi-bagi atau kepemimpinan

yang kurang baik.

Sedangkan menurut Oetomo (2207), kerentanan mencakup sosial seperti

kepadatan penduduk, struktur umur balita dan lansia, segresasi sosial dan disparitas

sosial-ekonomi; ekonomi seperti tingkat kemiskinan penduduk; budaya; organisasi

atau politis dan kondisi fisik bangunan seperti kepadatan bangunan, konstruksi

bangunan dan bahan bangunan.

Kemudian kerentanan menurut Davidson (1997), kerentanan meliputi:

1. Persentase bangunan yang terbuat dari kayu yang menjelaskan bahan bakar

atau sebagai penyulut terhadap material yang mudah terbakar.

2. Kepadatan penduduk yang menjelaskan kemudahan tindakan evakuasi.

3. Persentase penduduk berusia 0-4 dan 65+, penduduk sakit, cacat dan hamil.

Kemudian Urban Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation

Project tahun 2004 menyebutkan bahwa kerentanan dapat dilihat berdasarkan pada:

1. Fire History yaitu kejadian kebakaran di area setempat di masa lalu.

2. Material Bangunan, kualitas material yang terbakar merupakan penentu

utama terhadap intensitas api; kualitas bangunan dapat dilihat dari tipologi

bangunan, material konstruksi, dan kedekatan lokasi antar bangunan. Selain

Universitas Sumatera Utara


itu kemungkinan munculnya api juga berawal dari aktivitas yang dilakukan

di lokasi setempat, baik karena kaelalaian atau kesalahan.

Berikutnya, Mantra (2205) menjelaskan bahwa yang tergolong dalam

kerentanan adalah:

1. Kondisi lingkungan (lebar jalan masuk, ketersediaan lapangan atau ruang

terbuka dalam melayani aktivitas masyarakat). Kondisi lingkungan berguna

untuk melihat akses yang ada dibanding dengan ketentuan dalam peraturan.

Keberadaan ruang terbuka pada lingkungan masyarakat sangat menentukan

faktor kerentanan yang berbalik pada nilai ketahanan apabila dapat melayani

penanggulangan bencana.

2. Bahan bangunan sangat menentukan untuk melihat seberapa jauh tingkat

ketahanan material terhadapa bencana. Material yang baik dianggap dapat

menahan daya rambat api ke bangunan lainnya. Sebaliknya bila material

yang tidak baik akan malah mendukung rambatan api ke bangunan yang ada

disekitarnya.

3. Struktur Bangunan

4. Jarak antar bangunan, faktor ini juga menentukan faktor daya rambat

perluasan kebakaran. Semakin jarang antar bangunan akan memperkecil

nilai bahaya terhadap bencana dan sebaliknya, semakin rapat jarak antar

bangunan akan memperbesar nilai bahaya bencana.

Terakhir, Bakornas Penanggulangan Bencana (1990) juga menyebutkan bahwa

kerentanan suatu wilayah terhadap bencana dipengaruhi oleh:

Universitas Sumatera Utara


1. Kerentanan Fisik (infrastruktur) yang menggambarkan perkiraan tingkat

kerusakan terhadap fisik bila ada faktor bahaya tertentu, melihat dari

berbagai indikator sebagai persentasi kawasan terbangun, kepadatan

bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio

panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM dan jalan kereta api.

2. Kerentanan Sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap

keselamatan, jiwa atau kesehatan penduduk terhadap bahaya dan beberapa

indikator seperti kepadatan penduduk, laju pertambuhan penduduk,

persentasi penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita.

3. Kerentanan Ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya

kegiatan perekonomian setempat terhadap ancaman bahaya. Kemudian

contoh indikator yang dapat dilihat dengan melihat tingginya persentase

rumah tangga berpenghasilan rendah.

2.3.3 Ketahanan (capacity)

Menurut Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia,

ketahanan lingkungan terhadap bahaya bencana mencakup:

1. Kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah

2. Kapasitas dan Potensi Masyarakat

3. Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban

bencana harus mampu menangani bencana dalam batasan tertentu sehigga

diharapkan bencana tidak berkembang pada skala yang luas. Dalam

Universitas Sumatera Utara


lingkungan masyarakat yang rentan terhadap bencana perlu diadakan

keorganisasian dalam penanganan ancaman bahaya tersebut yang melibatkan

pihak swasta serata peran partisipatif yang lebih luas yang berguna bagi

peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi bencana.

4. Kearifan lokal

Menurut Oetomo (2007), ketahanan lingkungan terhadap bahaya kebakaran

yang lebih meluas:

1. Ketahanan wilayah ditinjau dari segi kelengkapan fasilitas fisik dan

prasarana seperti fasilitas gawat darurat kesehatan, fasilitas pemadam

kebakaran, tempat-tempat evakuasi potensial ruang terbuka yang kokoh,

fasilitas bangunan sebagai ruang sekretariat komando penanggulangan

bencana.

2. Kelengkapan sarana dan utilitas seperti sistem peringatan dini, sarana

koordinasi, telekomunikasi dan informasi, sarana transportasi atau

perhubungan, ambulan, mobil pemadam kebakaran yang sesuai dengan

kebutuhan, hidran, tandon air bersih serta alat-alat berat yang mempercepat

meredam bencana yang lebih meluas.

3. Ketersediaan sumber daya manusia terlatih seperti tenaga medis, paramedik,

polisi, petugas pemadam kebakaran, hansip, militer dan kelompok

sukarelawan.

Ketahanan lingkungan terhadap bahaya kebakaran menurut Davidson (1997)

yaitu personel pemadam kebakaran; penyediaan kebutuhan air gawat darurat; dan

Universitas Sumatera Utara


ketersediaan peralatan pemadam kebakaran seperti mobil pemadam kebakaran, pos

pemadam kebakaran dan hidran.

Ketahanan lingkungan terhadap bahaya bencana kebakaran menurut Urban

Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project tahun 2004 yaitu

ketahan dipengaruhi oleh fire fighting scenario merupakan kemampuan atau

kefektifan pelayanan pemadam kebakaran pada lokasi kebakaran dapat ditentukan

oleh keberadaan sumber air yang jelas dan ruang gerak yang baik bagi mobil

pemadam kebakaran untuk bertindak cepat dalam menangani kebakaran.

Menurut Mantra (2005), ketahanan ditentukan oleh ketersediaan sensor

pencegah kebakaran, ketersediaan splingkler, hidran, detektor, special fire lift, dan

sarana komunikasi yang mempermudah masyarakat untuk menyampaikan terjadinya

kebakaran pada petugas yang didukung dengan ruang terbuka yang luas sebagai

ruang gerak mobil kebakaran dalam menangani kebakaran dengan cepat dan tuntas.

Berdasarkan Kepmen PU No. 11 tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis

Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan yaitu:

1. Lokasi pos pemadam kebakaran yang tidak melebih dari radius 7,5 km dan

derah yang terbangun harus mendapat perlindungan dari mobil kebakaran

yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5 km dari

sektor. Kemudian satu pos kebakaran melayani maksumum tiga kelurahan

atau sesuai dengan wilayah layanan penanggulangan kebakaran yang

masing-masing pos terdiri dari dua regu jaga. Lalu pos kebakaran dipimpin

oleh seorang kepala pos yang merangkap sebagai kepala regu.

Universitas Sumatera Utara


2. Pasokan air untuk pemadaman kebakaran seperti kolam air, danau, sungai,

jeram, sumur dalam dan saluran irigasi, tangki air, tangki gravitasi, kolam

renang, air mancur, reservoir, mobil tangki air dan hidran.

3. Ketersediaan bahan pemadam bukan air seperti foam atau bahan kimia

lainnya.

4. Aksesbilitas seperti batas pembebanan maksimum yang aman dari jalan

belokan, jalan penghubung, jembatan serta menetapkan jalur masuk ke

lokasi sumber air pada berbagai kondisi alam.

5. Ketersediaan sarana komunikasi seperti pusat alarm kebakaran dan telpon

darurat kebakaran.

Sebagai indikator untuk melengkapi faktor ketahanan, akan dikaitkan dengan

mitigasi yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui

pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi

ancaman bencana. Menurut Carter (1992) ada lima prinsip dasar mitigasi yaitu:

1. Initiation yaitu mitigasi yang dapat dikenal dalam tiga konteks berbeda yaitu

rekonstruksi, investasi baru dan kondisi lingkungan eksisting. Saat setelah

terjadinya bencana merupakan kesempatan terbaik untuk mitigasi bencana.

2. Management yaitu tindakan mitigasi yang menyeluruh dan interdependan

serta mencakup tanggung jawab yang luas. Dengan demikian dibutuhkan

suatu kordinator dan kordinasi yang baik falam mitigasi tersebut.

3. Prioritation yaitu memberikan keutamaan terhadap kelompok sosial yang

dianggap penting, pelayanan kritis dan membangkitkan sektor ekonomi vital.

Universitas Sumatera Utara


4. Monitoring and Evaluation yaitu tindakan mitigasi yang membuthkan

monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan dalam menaggapi terjadinya

perubahan pola ancaman atau bahaya, kerentanan dan sumber bahaya.

5. Institutionalization yaitu penetapan tindakan mitigasi yang berkelanjutan

yang bisa saja memlaui komitmen politik dalam inisiasi awal serta

pemeliharaan mitigasi.

Menurut Godschalk (1999), mitigasi terbagi dalam dua kategori yaitu mitigasi

struktural dan non-struktural. Mitigasi struktural berarti memperkuat bangunan dan

infrastruktur terhadap bahaya melalui building codes, engineering design, dan

pelaksanaan konstruksi untuk meningkatkan daya tahan bangunan terhadap ancaman

bahaya. Atas hal ini, mitigasi struktural berpotensi untuk memberi perlindungan

jangka pendek terhadap ancaman dalam jangka waktu yang panjang. Mitigasi non-

struktural yaitu melakukan mitigasi melalui penghindaran terhadap area bahaya yaitu

dengan cara mengarahkan pembangunan yang baru yang berjauhan dari lokasi yang

berpotensi bahaya. Pengarahan dapat dilakukan dengan regulasi dan rencana tata

guna lahan serta merelokasi pembangunan. Mitigasi non-struktural juga dapat

dilakukan dengan pemeliharaan lingkungan alam pelindung yang ada seperti

memelihara daerah tangkapan air atau memperluasnya. Dan mitigasi non-struktural

dapat dilakukan dengan pemberian pelatihan dan pendidikan, pendidikan publik,

perencanaan evakuasi, bangunan institusi dan sistem peringatan.

Universitas Sumatera Utara


2.4 Kebakaran

Istilah kebakaran (Agung, 2004) memiliki arti proses penyalaan api yang dapat

terjadi dimana saja dan kapan saja serta didukung ketersediaan material sebagai

bahan bakar. Kata ‘kebakaran’ mengandung makna adanya bahaya yang diakibatkan

oleh adanya ancaman potensial.

Kebakaran senantiasa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, baik

menyangkut kerusakan harta benda, kerugian materi, gangguan terhadap kelestarian

lingkungan, terhentinya proses produksi barang serta jasa, serta ancaman terhadap

keselamatan jiwa. Kebakaran yang terjadi di permukiman padat penduduk

menimbulkan akibat-akibat sosial, ekonomi dan psikologi yang luas serta kebakaran

di kawasan kumuh padat bisa langsung menghancurkan ekonomi masyarakat korban

kebakaran.

2.4.1 Proses kebakaran

Kebakaran berawal dari proses reaksi oksidasi antara unsur Oksigen (O 2 ),

Panas dan Material yang mudah terbakar (bahan bakar). Keseimbangan unsur-unsur

tersebutlah yang menyebabkan kebakaran. Berikut ini adalah definisi singkat

mengenai unsur-unsur tersebut:

1. Oksigen atau gas O2 yang terdapat diudara bebas adalah unsur penting dalam

pembakaran. Jumlah oksigen sangat menentukan kadar atau keaktifan

pembakaran suatu benda. Kadar oksigen yang kurang dari 12 % tidak akan

menimbulkan pembakaran.

Universitas Sumatera Utara


2. Panas menyebabkan suatu bahan mengalami perubahan suhu/temperatur,

sehingga akhirnya mencapai titik nyala dan menjadi terbakar. Sumber –

sumber panas tersebut dapat berupa sinar matahari, listrik, pusat energi

mekanik, pusat reaksi kimia dan sebagainya.

3. Pada gambar 2.8 dijelaskan tentang segitiga api (tetrahedron api) . Bahan

yang mudah terbakar (bahan bakar), bahan tersebut memiliki titik nyala

rendah yang merupakan temperatur terendah suatu bahan untuk dapat

berubah menjadi uap dan akan menyala bila tersentuh api. Bahan makin

mudah terbakar bila memiliki titik nyala yang makin rendah. Dari ketiga

unsur-unsur bahan bakar, oksigen dan panas dapat menyebabkan rantai

reaksi kimia.

Bahan Oksigen
Bakar Rantai
reaksi
Kimia

Panas

Gambar 2.8 Tetrahedron Api

Proses kebakaran berlangsung melalui beberapa tahapan, yang masing-masing

tahapan terjadi peningkatan suhu, yaitu perkembangan dari suatu rendah kemudian

meningkat hingga mencapai puncaknya dan pada akhirnya berangsur-angsur menurun

sampai saat bahan yang terbakar tersebut habis dan api menjadi mati atau padam.

Universitas Sumatera Utara


Pada umumnya kebakaran melalui dua tahapan, yaitu tahap pertumbuhan (growth

period) dan tahap pembakaran (steady combustion). Tahap tersebut dapat dilihat pada

gambar 2.9 kurva suhu api.

Gambar 2.9 Kurva Suhu Api

Kemudian tahap kebakaran menurut ilmu fisika bangunan terdiri atas tiga tahap

yaitu:

1. Tahap Pembaraan, yaitu tahap dimana permukaan bahan mulai membara dan

suhu udara memanas sampai suhu mengizinkan lompatan api (flash over)

dan permukaan bahan menyala di seluruh ruang yang terkena api. Oleh

karena itu, ciri khas pembaraan tergantung dari luas ruang yang terkena api

dan pada beban kebakaran. Indikator lain belum mempengaruhi kebakaran

secara berarti. Tahap pembaraan ini akan sangat singkat jika cairan menyala

karena flash over terjadi langsung sesudah penyalaan.

2. Tahap Pemanasan, yaitu tahap dimana permukaan barang menyala, maka

suhu di dalam ruang meningkat tajam. Selain beban kebakaran, kebanyakan

Universitas Sumatera Utara


udara (oksigen) di dalam ruang. Berarti bentuk ruang dan pengudaraannya

sangat mempengaruhi kebakaran. Makin tahan bagian bangunan yang

melingkupi ruang yang sedang terkena api, maka makin lama pula jangka

waktu api meluas dan makin kecil bahaya kebakaran meluas.

3. Tahap Pendinginan, tahap dimana jumlah energi bahan bakar tidak cukup

lagi untuk mengatur atau meningkatkan suhu dalam ruang kebakaran,

kemudian suhu mulai menurun. Tahap pendinginan ini membutuhkan waktu

agak lama karena jika suhu dalam ruang mulai menurun, maka bagian

bangunan yang mengelilingi ruang tersebut mulai melepaskan panas yang

tersimpan di dalamnya.

Namun menurut Mantra (2005) proses perkembangan api melalui empat tahap,

yaitu:

1. Tahap Penyalaan atau Peletusan, tahap ini ditandai oleh munculnya api

dalam ruangan yang disebabkan energi panas yang mengenai material dalam

ruangan.

2. Tahap Pertumbuhan, pada tahap ini api mulai berkembang sebagai fungsi

dari bahan bakar. Tahap ini merupakan tahap yang paling tepat untuk

melakukan evakuasi dan tahap dimana sensor pencegah kebakaran atau alat

pemadam mulai bekerja.

3. Tahap Flashover, yaitu tahap transisi antara tahap pertumbuhan dengan

tahap pembakaran penuh dengan suhu 300 hingga 600 derajat celcius.

Universitas Sumatera Utara


4. Tahap Pembakaran Penuh, yaitu tahap dimana energi panas yang dilepaskan

adalah energi yang paling besar; seluruh material dalam ruang terbakar

sehingga temperatur di dalam ruang mencapai 1200 derajat celcius.

5. Tahap Surut, yaitu tahap yang ditandai dengan material terbakar yang mulai

habis dan temperatur mulai menurun. Pada suatu peristiwa kebakaran, terjadi

perjalanan yang arahnya dipengaruhi oleh lidah api dan materi yang

menjalarkan panas. Sifat penjalarannya biasanya kearah vertikal sampai

batas tertentu yang tidak memungkinkan lagi penjalarannya, maka akan

menjalar kearah horizontal. Karena sifat itu, maka kebakaran pada gedung-

gedung bertingkat tinggi, api menjalar ketingkat yang lebih tinggi dari asal

api tersebut.

Saat yang paling mudah dalam memadamkan api adalah pada tahap

pertumbuhan. Bila sudah mencapai tahap pembakaran, api akan sulit dipadamkan

atau dikendalikan.

Menurut Dinas Pemadam Kebakaran (2006), terdapat pada tabel 2.1 mengenai

klasifikasi laju pertumbuhan kebakaran dalam empat klasifikasi pertumbuhan.

Tabel 2.1 Laju Pertumbuhan Kebakaran Menurut Dinas Pemadam Kebakaran (2006)

Waktu Pertumbuhan/Growth
Klasifikasi Pertumbuhan
Time (detik)
Tumbuh Lambat (Slow Growth) > 300
Tumbuh Sedang (Moderete Growth) 150 – 300
Tumbuh Cepat (Fast Growth) 80 – 150
Tumbuh Sangat Cepat (Very Fast Growth) < 80
Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


2.4.2 Sumber api

Adapun sumber datangnya api menurut Davidson (1997) berasal dari collateral

hazard yaitu api muncul akibat adanya bahaya alam misalnya gempa bumi, rusaknya

pipa gas, jatuhnya pemanas air, pembakaran akibat tumpahnya cairan kimia dan

adanya hubungan pendek arus listrik. Sedangkan menurut Urban Research Institute

pada Lao Urban Disaster Mitigation Project 2004, sumber api berasal dari keberadaan

pompa bensin dari lokasi permukiman sekitar, keberadaan pengguna commercial

liquid gas (rumah makan atau pedagang skala kecil) dan sistem pemasangan

sambungan listrik yang tidak standar.

Menurut Mantra (2005), sumber api berasal dari hubungan singkat arus listrik,

kompor minya tanah, perlengkapan penerangan non listrik seperti lampu tempel dan

lilin serta faktor munculnya api di lingkungan permukiman dari bara puntung rokok.

Menurut National Fire Protection Agency No. 1231, sumber api dipengaruhi oleh

keberadaan industri yang menggunakan bahan padat bukan logam dan logam,

keberadaan pom bensin, pemasok bahan bakar minyak dan LPG, kebocoran peralatan

listrik dan korsleting listrik. Termasuk dalam sumber api menurut Fire Risk

Assessment adalah listrik, pemanas listrik, gas atau minyak, penggunaan minyak

tanah dalam proses memasak, perlengkapan penerangan, rokok, korek api,

penggunaan tabung LPG serta penyalaan api secara langsung.

Dari berbagai sumber api berdasarkan literatur yang ada, dapat disimpulkan

bahwa sumber api di dominasi berasal dari aktivitas manusia, selama aktivitas

kehidupan tersebut terus berjalan maka selama itu juga bahaya kebakaran selalu

Universitas Sumatera Utara


mengintai. Oleh karena itu diperlukan analisis mendalam untuk mengantisipasi atau

meredam meluasnya api melalui pemenuhan perangkat tertentu dan pola simulasi

tertentu dalam menyikapi untuk mencegah dan menghambat bencana bahaya

kebakaran yang lebih meluas.

2.4.3 Klasifikasi kebakaran

Agar dapat menentukan sikap dalam menanggulangi bahaya kebakaran ada

baiknya memahami klasifikasi kebakaran agar dapat menetukan tindakan dalam

mempercepat atau meredam wilayah terbakar yang lebih luas. Ada empat jenis

kebakaran dan bahan pemadamnya, yaitu:

1. Kebakaran biasa, yaitu kebakaran benda-benda pada kecuali logam yang

mudah terbakar seperti kertas, kayu dan pakaian yang tergolong sebagai

kelas A. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pokok yaitu

air, foam, CO2, atau bubuk kimia kering.

2. Kebakaran bahan cairan yang mudah terbakar seperti minyak bumi, gas,

lemak dan sejenisnya disebut kebakaran kelas B. Penanggulangannya dapat

menggunakan alat pemadam pelengkap yang memakai zat kimia yaitu foam,

CO2, atau bubuk kimia kering.

3. Kebakaran listrik seperti kebocoran listrik atau korsleting, kebakaran pada

alat-alat listrik generator dan motor listrik disebut jenis kebakaran kelas C.

Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam jenis CO2 dan bubuk

kimia kering.

Universitas Sumatera Utara


4. Kebakaran logam seperti seng, magnesium, serbuk alumunium, sodium,

titanium disebut jenis kebakaran kelas D.

Pada tabel 2.2 djelaskan mengenai klasifikasi kebakaran menurut Dinas

Pemadam Kebakaran Jakarta Tahun 2006, berdasarkan kelas resiko, material dan

media pemadam kebakaran di Indonesia.

Tabel 2.2 Klasifikasi Kebakaran

RESIKO MATERIAL ALAT PEMADAM

Kelas A Kayu, kertas, kain Dry Chemichal Multiporse dan ABC Soda
Acid
Kelas B Bensin, Minyak tanah, Dry Chemichal Foam (serbuk bubuk), BCF
varnish (Bromoclorodiflour Methane), CO2, dan Gas
Hallon
Kelas C Bahan – bahan seperti Dry Chemichal, CO2, Gas Hallon dan BCF
asetelin, methane, propane (Bromoclorodiflour Methane).
dan gas alam
Kelas D Uranium, magnesium dan Metal x, metal guard, dry sand dan Bubuk
titanium Pryme
Sumber: Observasi, Mei 2011

Dari keempat jenis kebakaran tersebut yang jarang ditemui adalah kelas D,

biasanya untuk kelas A, B dan C alat pemadamnya dapat digunakan dalam satu

tabunng atau alat yang dijual secara umum, kecuali bila diperlukan jenis khusus.

Menurut Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen

Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, tingkat resiko kebakaran dapat

diklasifikasikan dalam angka untuk menentukan kualitas resiko yang harus dihadapi

dan ditindaklanjuti, yaitu:

1. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 3, angka klasifikasi yang harus

mempertimbangkan resiko bahaya yang paling rawan dimana jumlah dari isi

Universitas Sumatera Utara


bahan mudah terbakarnya sangat tinggi. Terdapat perkiraan terhadap

berkembangnya api sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang

tinggi. Status ini melingkupi bangunan sekitar dengan radius 15 meter atau

kurang.

2. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 4, angka klasifikasi yang harus

mempertimbangkan resiko bahaya yang tinggi dimana kuantitas dan

kandungan bahan mudah terbakarnya tinggi. Terdapat perkiraan terhadap

berkembangnya api sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang

tinggi. Status ini melingkupi bangunan sekitar dengan radius 15 meter atau

kurang.

3. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 5, angka klasifikasi yang harus

mempertimbangkan sebagai hunian bahaya sedang dimana kuantitas dan

kandungan bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi serta memiliki

tumpukan bahan mudah terbakarnya tidak melebihi 3,7 meter. Kebakaran

pada tingkat ini dapat diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai

pelepasan panas yang sedang.

4. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 6, angka klasifikasi yang harus

mempertimbangkan resiko bahaya rendah dimana kuantitas dan kandungan

bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi serta memiliki tumpukan bahan

mudah terbakarnya tidak melebihi 2,5 meter. Kebakaran pada tingkat ini

dapat diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai pelepasan

panas yang sedang.

Universitas Sumatera Utara


5. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 7, angka klasifikasi yang harus

mempertimbangkan resiko bahaya rendah dimana kuantitas dan kandungan

bahan mudah terbakarnya rendah. Kebakaran pada tingkat ini dapat

diperkirakan berkembang rendah dan mempunyai nilai pelepasan panas yang

rendah.

Dari tingkat status resiko bahaya kebakaran dapat disimpulkan bahwa semakin

kecil angka klasifikasi maka status bahaya semakin tinggi dan sebaliknya bahwa

semakin besar angka klasifikasi maka status bahaya semakin rendah. Dengan

memahami klasifikasi resiko bahaya kebakaran terhadap bahan yang terbakar serta

pencegahannya dan kalsifikasi memberi status resiko kebakaran akan memudahkan

kita untuk menentukan sistem penanggulangan yang sesuai untuk permukiman padat

di Kecamatan Tanjung Balai Utara nantinya.

2.4.4 Pola meluasnya kebakaran

Yang menentukan meluasnya kebakaran adalah dari segi cara api yang meluas

dan menyala. Perhitungan secara kuantitatif tentang cara meluasnya kebakaran sukar

untuk ditentukan, tetapi berdasarkan penyelidikan-penyelidikan tertentu dapat

diperkirakan pola cara meluasnya kebakaran tersebut sebagai berikut:

1. Konveksi (convection) atau perpindahan panas karena pengaruh aliran, hal

ini disebabkan karena molekul tinggi mengalir ke tempat yang bertemperatur

lebih rendah dan menyerahkan panasnya. Panas dan gas akan bergerak

dengan cepat ke atas (langit-langit atau bagian dinding sebelah atas yang

Universitas Sumatera Utara


menambah terjadinya sumber nyala yang baru). Panas dan gas akan bergerak

dengan cepat melalui dan mencari lubang-lubang vertikal seperti cerobong,

pipa-pipa, ruang tangga lubang lift, dsb. Bila jalan arah vertikal terkekang,

api akan menjalar kearah horizontal melalui ruang bebas, ruang langit-langit,

saluran pipa atau lubang-lubang lain di dinding. Udara panas yang

mengembang, dapat mengakibatkan tekanan kepada pintu, jendela atau

bahan-bahan yang kurang kuat serta mencari lubang lainnya untuk ditembus.

2. Konduksi (conduction) atau perpindahan panas karena pengaruh sentuhan

langsung dari bagian temperatur tinggi ke temperatur rendah di dalam suatu

media ruang. Panas akan disalurkan melalui pipa-pipa besi, saluran atau

melalui unsur kontruksi lainnya diseluruh bangunan. Oleh karena sifatnya

meluas, maka perluasan tersebut dapat mengakibatkan keretakan di dalam

kontruksi yang akan memberikan peluang baru untuk penjalaran kebakaran.

3. Radiasi (radiation) atau perpindahan panas yang bertemperatur tinggi ke

benda yang bertemperatur lebih rendah bila benda dipisahkan dalam ruang

karena pancaran sinar dan gelombang elektromagnetik. Permukaan suatu

bangunan tidak mustahil terbuat dari bahan-bahan bangunan yang bila

terkena panas akan menimbulkan api. Oleh karena sifat udara mengembang

ke atas, maka langit-langit dan dinding bagian atas akan terkena panas

terlebih dahulu dan paling kritis. Bahan bangunan yang digunakan sebaiknya

yang angka peningkatan perluasan apinya (fleme-spread ratings) rendah.

Kemudian nyala mendadak (flash-over) yang disebabkan oleh permukaan

Universitas Sumatera Utara


dan sifat bahan bangunan yang sangat mudah termakan api sebagai gejala

umum di dalam suatu kebakaran. Bila suhu meningkat hingga mencapai ±

425 celcius atau gas-gas yang sudah kehausan zat asam mendapat tambahan

zat asam, maka akan menjadi nyala api yang mendadak dan membesarnya

bukan saja secara setempat tetapi meliputi beberapa tempat. Sama halnya

dengan cerobong sebagai penyalur ke luar dari gas-gas panas yang

mengakibatkan adanya bagian kosong udara di dalam ruangan (yang sifatnya

menarik zat asam), semua bagian-bagian yang sempit atau lorong-lorong

vertikal di dalam bangunan menjadi bersifat sebagai cerobong dan dapat

memperbesar nyalanya api terutama apabila kesempatan zat asam membantu

perluasan api tersebut.

Walau uraian pola meluasnya kebakaran tampil dalam paparan yang sangat

teknis namun dapat membantu kita untuk memahami gejala kebakaran yang terjadi

didalam ruang dan diharapkan dapat memperkuat keputusan dalam menentukan

kebijakan yang beraspek pada ketahanan lingkungan terhadap kebakaran.

2.4.5 Penanggulangan kebakaran

Sistem penanggulangan kebakaran ada dua sistem yaitu perlindungan pasif dan

perlindungan aktif. Perlindungan pasif yaitu sistem perlindungan terhadap kebakaran

yang dilaksanakan dengan menggunakan pengaturan terhadap komponen bangunan

dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi

penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran. Sedangkan sistem

Universitas Sumatera Utara


perlindungan aktif yaitu sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan

dengan menggunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual

oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melakukan operasi

pemadaman.

2.4.5.1 Perlindungan pasif

Dalam Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 terdapat tipe klasifikasi konstruksi

bangunan berdasarkan ketahannya terhadap resiko kebakaran yang dimuat pada tabel

2.3.

Tabel 2.3 Tipe Konstruksi Bangunan Berdasarkan Ketahanannya Terhadap Resiko


Kebakaran

TIPE KONSTRUKSI KETERANGAN

Bangunan yang dibuat dengan bahan tahan api (beton,


bata dan bahan lainnya dengan bahan logam yang
Tipe I
dilindungi) dengan struktur yagn dibuat sedemikian
Konstruksi Tahan Api
rupa sehingga tahan terhadap peruntukan dan
perambatan api.
Bangunan yang seluruh bagian konstruksinya
(termasuk dinding, lantai dan atap) terdiri dari bahan
Tipe II dan IV yang tidak mudah terbakar atau tidak termasuk
Tidak Mudah Terbakar, sebagai bahan tahan api yaitu termasuk bangunan
Konstruksi Kayu Berat konstruksi kayu dengan dinding bata, tiang kayu 20,3
cm cm,lantai kayu 76 mm, atap kayu 51 mm dan
balok kayu 15,2 x 25,4 cm.
Bangunan dinding luar bata atau bahan tidak mudah
Tipe III
terbakar lainnya sedangkan bagian bangunan lainnya
Biasa
terdiri dari kayu atau bahan yang mudah terbakar.
Bangunan (kecuali bangunan rumah tinggal) yang
Tipe IV strukturnya sebagaian atau seluruhnya terdiri dari
Kerangka Kayu kayu atau bahan mudah terbakar yang tidak tergolong
dalam konstruksi bisa (tipe III)
Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


Lingkungan permukiman padat di kota merupakan ruang komunal yang kaya

akan kekurangan fisik tempat tinggalnya. Kondisi ini menghadapkan kita pada

permasalahan yang kompleks. Perlindungan fisik permukiman padat dari bahaya

kebakaran memerlukan kebijakan yang lengkap karena melibatkan berbagai pihak

untuk menghapus bahaya kebakaran dalam meningkatkan kualitas hidup permukiman

padat setempat pada kondisi yang lebih baik.

Mengingat perlindungan pasif tidak cukup dalam mengantisipasi dan

menekan proses kebakaran, diperlukan perlindungan aktif yang melibatkan

sumberdaya manusia atau pihak terkait sebagai tindakan awal dalam meredam

kejadian kebakaran.

2.4.5.2 Perlindungan aktif

Sebelumnya telah kita ketahui bahwa sistem perlindungan aktif yaitu sistem

perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan menggunakan peralatan

yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual oleh penghuni atau petugas

pemadam kebakaran dalam melakukan operasi pemadaman. Namun pada saat ini

begitu banyak peralatan perlindungan aktif dalam meredam kebakaran dan semuanya

belum tentu sesuai di kawasan permukiman padat. Berikut akan tampil beberapa

peralatan perlindungan aktif yang sesuai dengan permukiman padat. Air merupakan

bahan utama, mendasar dan pertama dalam meredam kebakaran. Oleh karena itu kita

juga akan menyinggung beberapa hal tentang pendistribusian air agar dapat

Universitas Sumatera Utara


memanfaatkan peralatan perlindungan aktif secara maksimal dalam meredam

peralatan.

a. Alat Pemadam Api Portable

Alat pemadam api portable (APAP) terdiri dari alat pemadam api ringan

(APAR) dan alat pemadam api beroda (APAB). Biasanya kedua alat ini

digunakan untuk tanggap awal pemadaman api. Kedua alat ini dapat

disediakan oleh instansi setingkat keluarahan dan kecamatan serta tiap-

tiap rumah tangga. Adapun spesifikasi kebaradaan alat ini akan di urai

sebagai berikut:

1. Alat Pemadam Api Ringan

Alat pemadam api ringan merupakan salah satu perlengkapan

pemadaman kebakaran yang memiliki berat sekitar 16 kg. Alat

pemadam kebakaran ringan ini tidak hanya berisi air, namun ada juga

yang berisikan foam, serbuk kimia atau CO2 sesuai dengan

penggunaannya terhadap jenis kebakaran yang dihadapi.

2. Alat Pemadam Api Beroda

Alat pemadam api beroda merupakan alat pemadam yang memiliki

berat sekitar 100 hingga 150 kg. Biasanya alat ini digunakan untuk

daerah yang tidak bisa dimasuki kenderaan pemadam kebakaran.

b. Hydrant

Alat pemadam ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu:

Universitas Sumatera Utara


1. Hydrant Box, berdasarkan letaknya terbagi dua yaitu hydrant di

dalam ruangan dan di luar ruangan. Pemasangan hydrant box

biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dan luas ukuran ruangan.

Tetapi untuk ukuran minimalnya diharuskan pada tiap lantai

terdapat minimal satu unit. Pemasangan hydrant box di dalam

ruangan (menempel pada dinding) biasanya harus disertai

pemasangan alarm bel dibagian atas hydrant box. Pada Hydrant Box

juga terdapat gulungan selang atau lebih dikenal dengan istilah hose

reel. Biasanya peralatan ini terdapat di dalam gedung berlantai

banyak, namun terdapat juga kemungkinan di letakkan melalui titik-

titik dengan jangkauan tertentu di kawasan permukiman dengan

pengamanan tertentu agar masyarakat setempat dapat

menggunakannya terlebih dahulu sebelum keberadaan kebakaran

semakin meluas sembari menunggu mobil pemadam kebakaran tiba.

Oleh karena itu diperlukan perlindungan atau keamanan khusus

serta penyuluhan kepada masyarakat setempat untuk menjaga

hidrant box agar selalu siap pakai di saat terjadi kebakaran.

2. Hydrant Pillar, alat ini memiliki fungsi untuk menyuplai air dari

PAM dan GWR gedung yang disalurkan ke mobil pemadam

pebakaran agar dapat menyemprotkan air ke gedung yang sedang

terbakar. Alat ini biasanya diletakan dibagian luar gedung yang

jumlah dan peletakannya disesuaikan dengan luas gedung.

Universitas Sumatera Utara


Pada saat ini hidrant pillar biasanya terkonsentarasi penyediaannya

di titik-titik pusat kota yang dianggap penting. Hal ini dapat kita

buktinya dengan adanya keberadaan hidran pillar di sisi jalan

protokol. Besar kemungkinan penyediaan hidran pillar belum

memiliki analisis khusus untuk penyediaannya di wilayah

permukiman padat. Untuk mencapai tingkat efisiensi dalam

meredamnya perluasan kebakaran, alat ini cukup sesuai

penyediaannya di kawasan permukiman padat yang sangat rentan

terjadinya bahaya kebakaran. Terlebih lagi bila penyediaannya

berdampingan dengan hidran box yang langsung dapat digunakan

oleh masyarakat setempat.

3. Siamese Connection

Alat ini memiliki fungsi untuk menyalurkan air dari mobil

pemadam kebakaran untuk disalurkan ke dalam sistem instalasi pipa

pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang terpasang di

dalam gedung, dan selanjutnya dipancarkan melalui sprinkler-

sprinkler dan hydrant box yang ada di dalam gedung. Alat ini

diletakan pada bagian luar gedung yang jumlahnya serta

peletakannya disesuaikan dengan luas dan kebutuhan gedung itu

sendiri.

Dari cara kerja alat ini, dapat dipahami bahwa siamese connection

hanya bersifat sebagai penghubung dari sumber air ke titik-titik

Universitas Sumatera Utara


pancaran air yang biasanya hanya terdapat fasilitas tersebut di

dalam gendung bertingkat banyak. Besar kemungkinan terjadi

penyediaan alat siamese connection di kawasan permukiman padat

karena cara kerja yang lebih cepat dan efisien. Tetapi memerlukan

analisis khusus dan mendalam terhadap penyediaannya baik secara

kualitas dan kuantitas serta secara teknis dan manajerial dalam

pemanfaatannya yang tidak akan dibahas pada studi ini.

2.5 Kesimpulan

Sistem penanggulangan kebakaran pada suatu pemikiran ternyata tidak hanya

terbatas terhadap penyediaan dan penempatan alat-alat pemadam kebaran saja, namun

memerlukan analisis tentang bagaimana keberadaan bahaya kebakaran setempat yang

dikaitkan dengan kerentanan yang ada baik secara fisik tempat tinggal maupun

aktivitas yang terjadi di kawasan permukiman padat. Keluaran dari pergumulan

antara bahaya dan kerentanan hanya bisa disikapi dengan ketahanan. Semakin rendah

nilai kerentanan maka bahaya akan semakin sulit terjadi yang berarti memiliki nilai

ketahanan yang tinggi, dan sebaliknya bila semakin tinggi nilai kerentanan maka

bahaya akan semakin mudah terjadi yang berarti memiliki nilai ketahanan yang

rendah.

Untuk mendekatkan kita kepada kesimpulan dalam menilai (tolok ukur) tingkat

bahaya, kerentanan dan ketahanan di permukiman padat kawasan Tanjung Balai

Utara, diperlukan identifikasi terhadap studi literatur yang sudah tampil menjadi suatu

Universitas Sumatera Utara


variabel terhadap kondisi nyata di lapangan. Identifikasi di lingkupi oleh konsep

tipologi perumahan dan pemukiman perkotaan yang terbagi menjadi keberadaan

permukiman (KP); kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya (KRAPK); daur

hari bertinggal (DHB); aktivitas ekonomi (AE) dalam koridor bahaya (hazard) dan

kerentanan (vulnerability) yang dinilai melalui ketahanan (capacity) yang berasal dari

analisis teori budaya sosial kemasyarakatan (BSK) yang berisikan tentang

standarisasi, peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang ada.

Hasil identifikasi merunut pada rumus Crunch untuk menghasilkan tolok ukur

penanggulangan bencana kebakaran dengan model yang terlihat pada gambar 2.10.

Gambar dan uraian identifikasi berdasarkan literatur yang terkait dengan fisik

lingkungan kawasan penelitian dan pemakaian yang bertinggal di lokasi tersebut

dalam lingkup ekonomi, sosial dan budaya mereka yang dipahami bahwa sumber

bahaya dan kerentanan diungkap melalui KP, KRAPKA, DHB dan AE. Sedangkan

ketahanan hanya dijawab melalui pemahaman BSK. Atas susunan pemikiran ini,

BSK merupakan pemahaman teori yang dapat menjadi tolok ukur untuk melahirkan

status wilayah penelitian nantinya.

Pada tabel 2.4, 2.5, dan 2.6 merupakan hasil identifikasi awal atas pergulatan

studi literatur yang dikelompokkan pada pemahaman teori yang ada (KP, KRAPKA,

DHB, AE dan BSK) menjadi variabel-variabel yang dapat memudahkan penilaian

untuk merumuskan status bahaya kebakaran di wilayah penelitian dengan

menggunakan model Crunch.

Universitas Sumatera Utara


KP KRAPK DHB AE

C
HAZARD A
P
DISASTER A BSK
C
I
VULNERABILITY T
Y

KP KRAPK DHB AE
SPK
(sistem penaggulangan kebakaran)

Gambar 2.10 Identifikasi Penanggulangan Kebakaran Diadaptasi Melalui Rumus Crunch

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.4 Variabel Identifikasi Bahaya Kebakaran
LITERATUR URI NFPA
FRA
(Urban (National Fire
Davidson Mantra (Fire Risk Rumusan Variabel
KONSEP Research Protection
Assessment)
Institute) Agency)
Terdapatnya Hubungan singkat Kebocoran Listrik; Kelengkapan kondisi
kerusakan arus listrik. peralatan listrik; Pemanas Listrik permukiman terhadap
KP pada pipa atau Korsleting jaringan listrik dan
(Kondisi selang gas; listrik pemanas air sebagai
Permukiman) Jatuhnya alat penyulut atau sumber
pemanas air. utama penyebab bahaya
kebakaran
KRAPK
(Kelompok Rumah
Atas Prioritas dan
Kebutuhan)
Arus pendek Sambungan Kompor minyak Gas dan Minyak; Aktivitas daur hari
listrik; listrik yang tidak tanah; Penggunaan bertinggal terhadap
Tumpahnya standar; Perlengkapan minyak tanah penggunaan daya listrik
cairan kimia. Kesalahan peralatan non dalam memasak; dan non listrik serta
DHB pemakaian gas. listrik (lampu Perlengkapan kebiasaan merokokdan
(Daur Hari tempel dan lilin) Penerangan; penyalaan api
Bertinggal) Rokok; sembarangan adalah
Korek Api; penyebab bahaya
LPG; kebakaran.
Penyalaan Api
secara langsung
AE Pompa bensin Pom bensin; Aktivitas lokasi karya di
(Aktivitas Pemasok bahan lingkungan permukiman
Ekonomi) bakar minyak seperti pom bensin,
dan LPG bahan bakar minya dan
LPG sebagai penyebab
kejadian kebakaran.
Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.5 Variabel Identifikasi Kerentanan Kebakaran
Charlotte Benson Paul Venton dan Bob
Oetomo Rumusan Variabel
dan Jhon Twigg Hansford
Kerusakan dan Kondisi fisik bangunan Kondisi fisik Kondisi fisik permukiman yang memiliki material dan
KP
kerugian; Fisik yang buruk. bangunan; Material konstruksi yang rendah sangat rentan terhadap bahaya
(Kondisi
tempat tinggal yang bangunan; Konstruksi kebakaran sekaligus menjadi bahan bakar dalam
Permukiman)
tidak tahan api bangunan perluasan proses kebakaran.
Ketergantungan Kota merupakan tempat bergantung masyarakat
terhadap sumberdaya berpenghasilan rendah untuk mengeruk segala aktivitas
pencaharian setempat; yang ada dalam meraih pendapatan. Semakin tinggi
Keterampilan dan tingkat aktivitas prekonomian suatu kota maka semakin
pengetahuan yang tinggi pula kerentanan bahaya kebakarannya.
terbatas.
Lingkungan sosial Lokasi lingkungan Kepadatan penduduk Lingkungan permukiman yang buruk, populasi
KRAPK yang buruk; permukiman yang populasi balita dan permukiman yang rapat dan padat sangat mudah tertimpa
(Kelompok Lingkungan terlalu padat; Populasi lanjut usia; segresi bencana kebakaran dengan tingkat bahaya yang tinggi
Rumah Atas Permukiman yang lanjut usia dan balita sosial dan disparitas karena cepat meluas oleh material yang mudah terbakar
Prioritas dan tidak mendukung. yang tidak seimbang; ekonomi. Nilai dan menyulitkan mobil pemadam kebakaran berhadapan
Kebutuhan) Komunitas kebudayaan dan langsung dengan proses kebakaran. Populasi balita dan
terorganisasi; politisasi. lansia akan menyulitkan proses evakuasi yang
Kepemimpinan yang menimbulkan banyak korban serta kondisi lingkungan
kurang baik. yang mudah terjadinya sabotase oleh kepemimpinan
yang buruk dan komunitas yang terorganisasi membuat
kualitas hidup masyarakat permukiman padat semakin
memburuk.

DHB
(Daur Hari
Bertinggal)
Penghasilan yang tidak Pendapatan rendah Nilai pendapatan dibawah rata-rata membuat masyarakat
AE
mapan; Kurangnya berpenghasilan rendah tidak mampu untuk meningkatkan
(Aktivitas
mendapat kesempatan kualitas hidupnya, hidup hanya untuk makan dan tidak
Ekonomi)
kerja. ada alokasi dana untuk membenahi sesuatu yang dapat
mengancam bahaya kebakaran di tempat tinggalnya.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.5 (Lanjutan)
LITERATUR URI Bakornas
(Urban Penanggulangan
Davidson Mantra Rumusan Variabel
KONSEP Research Bencana
Institut)
Kualitas Material Kondisi fisik Kualitas fisik bangunan Kondisi fisik permukiman yang memiliki
KP bahan bangunan; bangunan permukiman. material dan konstruksi yang rendah
(Kondisi bangunan; Kondisi permukiman; sangat rentan terhadap bahaya kebakaran
Permukiman) fisik struktur bangunan. sekaligus menjadi bahan bakar dalam
perumahan perluasan proses kebakaran.
Kepadatan Kejadian Tidak ada akses Kepadatan penduduk; Lingkungan permukiman yang buruk,
penduduk; kebakaran jalan masuk; Tidak Laju pertambahan populasi permukiman yang rapat dan
Persentase masa lalu tersedia ruang penduduk. padat sangat mudah tertimpa bencana
populasi terbuka untuk kebakaran dengan tingkat bahaya yang
KRAPK
balita dan evakuasi; jarak tinggi karena cepat meluas oleh material
(Kelompok
lansia yang antar bangunan yang mudah terbakar dan menyulitkan
Rumah Atas
terlalu yang terlalu rapat mobil pemadam kebakaran berhadapan
Prioritas dan
banyak; karena kepadatan. langsung dengan proses kebakaran.
Kebutuhan)
Sakit, cacat Populasi balita dan lansiayang tinggi serta
dan hamil. tidak tersedianya ruang terbuka akan
menyulitkan proses evakuasi yang
menimbulkan banyak korban.
DHB
(Daur Hari
Bertinggal)
Pendapatan ekonomi Nilai pendapatan dibawah rata-rata
rendah. membuat masyarakat berpenghasilan
rendah tidak mampu untuk meningkatkan
AE
kualitas hidupnya, hidup hanya untuk
(Aktivitas
makan dan tidak ada alokasi dana untuk
Ekonomi)
membenahi sesuatu yang dapat
mengancam bahaya kebakaran di tempat
tinggalnya.
Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.6 Variabel Identifikasi Ketahanan Kebakaran
LITERATUR URI Mantra Kepmen PU
Kemeneg (Urban No. 11 Thn Rumusan
KONSEP Oetomo Davidson
Ristek RI Research 2000 Variabel
Institut)
BSK Fasilitas gawat darurat Pada studi literatur
(Badan Sosial kesehatan, fasilitas yang ada, semua
Kemasayarakatan) pemadam kebakaran, pemikiran tertuju
tempat-tempat evakuasi kepada pebijak
potensial ruang terbuka untuk menyiapkan
yang kokoh, fasilitas Personel sistem yang berisi
bangunan sebagai ruang pemadam tentang
sekretariat komando kebakaran; kelengkapan
penanggulangan bencana; penyediaan Lokasi pos fasilitas sarana dan
Sistem peringatan dini, kebutuhan Ketersediaan pemadam prasarana dalam
sarana koordinasi, air gawat sensor kebakaran; menanggulangi
Kapasitas Kemampuan
telekomunikasi dan darurat; pencegah Pasokan air ; kebakaran seta
Pemerintah atau
informasi, sarana Ketersediaan kebakaran, Ketersediaan proses evakuasi.
Pusat dan kefektifan
transportasi atau peralatan hidran, bahan Selain itu jajaran
Daerah; pelayanan
perhubungan, ambulan, pemadam detektor; pemadam pemerintah juga
Kapasitas pemadam
mobil pemadam kebakaran Sarana bukan air ; dituntut untuk
dan Potensi kebakaran
kebakaran yang sesuai seperti komunikasi; Aksesbilitas; mempersiapkan
Masyarakat; pada lokasi
dengan kebutuhan, mobil Ruang Ketersediaan penanggulangan
Masyarakat. kebakaran.
hidran, tandon air bersih pemadam terbuka yang sarana kebakaran secara
serta alat-alat berat yang kebakaran, luas. komunikasi. struktural
mempercepat meredam pos (strukturasi
bencana yang lebih pemadam kemasyarakatan)
meluas; kebakaran dari tingkat pusat
Tenaga medis, dan hidran. ke masyarakat
paramedik, polisi, seperti yang
petugas pemadam dikemukakan
kebakaran, hansip, militer dalam Kemenristek
dan kelompok RI.
sukarelawan.
Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian pada studi ini dilakukan dengan tiga cara yaitu: metode

pendekatan studi, metode pengumpulan data, dan metode analisis.

3.1 Metode Pendekatan Studi

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode

pendekatan studi yang mengaplikasikan metode kualitatif deskriptif dipilih karena

beberapa variabel yang berpengaruh pada studi ini adalah variabel kualitatif untuk

menggambarkan peristiwa atau fenomena yang terjadi di wilayah studi, dalam

pengelolaan resiko bencananya menggunakan model crunch dan tipologi perumahan

masyarakat yang berpenghasilan rendah.

1. Model Crunch

Kerangka kerja pengelolaan resiko bencana berbasis komunitas (PRBBK)

dengan model Crunch diungkapkan oleh Blaikie, et al (1994) yang

inspirasinya lahir dari konteks Nepal yang kemudian dipahami,

dikonseptualisasikan dan di promosikan secara internasional dari para

ilmuan Inggeris pada tahun 1980-an. Selanjutnya kerangka kerja Crunch

menjadi pengetahuan yang berjalan melintasi banyak tempat dan waktu

hingga tiba dan di gunakan di Nusa Tenggara Timur sekitar awal tahun

2000-an; tepatnya ketika kerangka kerja tersebut diadopsi dari materi

Universitas Sumatera Utara


training PRBBK di Asian Disaster Preparedness Centre di Bangkok 1998-

2002.

Penilaian tingkat resiko bencana kebakaran dilakukan dengan menggunakan

model Crunch. Model Crunch merupakan teori yang dianggap relevan

karena model ini dapat melihat sesuatu bencana terjadi apabila kerentanan

yang dimiliki suatu lingkungan bertemu dengan suatu bahaya. Model Crunch

biasanya dipakai untuk melihat resiko bencana kebakaran di dalam gedung,

namun Metode Crunch pada studi ini akan diolah dan disesuaikan untuk

menyelesaikan permasalahan tingkat resiko bahaya kebakaran di

permukiman padat. Oleh karena itu, intervensi model Crunch pada studi ini

dapat dikatakan suatu analisis penanggulangan kebakaran berbasis

komunitas yang dapat digambarkan pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Perkembangan Kerentanan dan Keamanan Dalam Model Crunch

Universitas Sumatera Utara


Istilah kerentanan pada suatu bencana merupakan akar permasalahan untuk

mengetahui faktor penyebabnya, kemudian dari faktor penyebab tersebut

akan dapat diketahui faktor pendukung kerentanan terjadi. Setelah itu dapat

diambil kesimpulan terhadap kondisi yang dihadapi tentang status

kerentanannya terhadap keamanan yang ada.

Sedangkan perkembangan keamanan merupakan titik balik yang berasal dari

sikap atas reduksi kerentanan yang ada. Kemudian dilakukan pembahasan

terhadap kondisi kerentanan yang ada agar memahami keberadaan potensi

faktor pendukung yang dapat dijadikan suatu penanganan untuk mengurangi

nilai kerentanan yang ada.

Resiko bencana dapat di perkecil jika tingkat kerentanan diperkecil pula dan

tingkat ketahanan atau kemampuan lingkungan terhadap bahaya kebakaran

diperbesar. Dengan menggunakan model Crunch ini, dapat melihat faktor

penentu resiko ancaman bahaya kerentanan dan kapasitas kawasan studi dan

hububungan antara bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan

ketahanan (capacity) dapat terlihat dengan mudah. Resiko bencana akan

semakin besar bila pertemuan bahaya dan kerentanan tanpa ketahanan,

sebaliknya resiko akan semakin kecil bila ketahanan sangat besar bila

kerentanan yang ada diminimalkan.

2. Tipologi perumahan masyarakat

Setelah menentukan metode dalam menilai tingkat resiko bahaya kebakaran

di permukiman padat, secara singkat akan diuraikan tentang tipologi

Universitas Sumatera Utara


perumahan masyarakat perkotaan di dunia ketiga yang cenderung dihuni

oleh masyarakat berpenghasilan rendah menurut pemahaman David-

Drakakis Smith yang dipadukan dengan penyediaan perumahan oleh

Burgess sebagai alat mempermudah untuk melihat sumber bahaya

kebakaran, kerentanan material permukiman dan ketahanan material

permukiman terhadap ancaman bahaya kebakaran.

Menurut David-Drakakis Smith dalam Murison dan Lea (1979), tipologi

perumahan di dunia ketiga terbagi dua, yaitu perumahan dalam bentuk

konvensional dan non konvensional. Perumahan jenis konvensional yaitu

perumahan yang dipahami dalam bentuk standar dengan kriteria yang tidak

dihubungkan atas keadaan realitas sosial-ekonomi. Koridor perumahan yang

ia maksudkan adalah perumahan terkonstruksi dalam institusi formal,

perencanaan, pajak dan hal yang berhubungan dengan praktik legal.

Sedangkan perumahan bentuk non konvensional digambarkan pada suatu

hubungan yang tidak memiliki prosedur (tahap pengerjaan) yang terpraktik

dalam susunan administrasi dan aturan pembangunan atau pengkonstruksian

perumahan tersebut diluar institusi industri pembangunan. Biasanya jenis

perumahan ini tidak dapat diterima dalam istilah masyarakat bourgeouis

(masyarakat konsumerisme yang memiliki tingkat perekonomian yang

sangat mapan).

Berikutnya, jenis perumahan konvensional tepecah menjadi perumahan

publik, privat dan hybrid (perpaduan dua hal yang menonjol: fisik dan legalitas

Universitas Sumatera Utara


penyediaan perumahan). Sedangkan jenis penyediaan perumahan nonkonvensional

terpecah menjadi perumahan hybrid, slum dan squatter. Kita melihat diantara

perumahan bentuk konvensional dan non konvensional terdapat perumahan hybrid.

Turunan jenis-jenis perumahan akan terlihat pada gambar 3.2.

Perumahan Masy. Berpenghasilan


Formal
Non Formal
Konvensional Non

Public Private Hybrid Slum Squatter

Industrial Manufaktur Artisanal

Gambar 3.2 Tipologi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah

Perumahan hibrid yaitu fisik perumahan dibawah standar yang berdiri diatas

lahan legal atau memiliki kepemilikan hak atas tanah yang sah menurut hukum yang

berlaku; atau sebaliknya, fisik perumahan standar berdiri di atas lahan ilegal atau

tidak memiliki kepemilikan hak atas atanah yang tidak sah menurut hukum yang

berlaku.

Bila kita memandang dari alat produksi keberadaan perumahan, menurut

Burgess dalam Murison dan Lea (1979) ada tiga kategori moda produksi yaitu;

industrial, manufaktur dan artisanal. Pertama, moda produksi industrial

diidentifikasikan pada aktivitas konstruksi yang dihubungkan pada konsumsi dan

Universitas Sumatera Utara


produksi yang dibuat atas komersial yang berbeda dan nilai pasar. Moda ini biasanya

memproduksi rumah dalam jumlah besar yang diorientasikan pada kalangan

masyarakat tertentu, diproduksi oleh pihak tertentu dan dipakai untuk kelompok

masyarakat tertentu (pemroduksi dan pemakai adalah aktor yang berbeda).

Kedua, kategori manufaktur lebih merujuk pada aktivitas pemroduksi dalam

kelompok kecil dengan mengupah pekerja untuk memproduksi rumah pada ahli

tertentu seperti arsitek atau perencana. Karakteristik ini adalah campuran penjelmaan

modal dan pemanfaatan pekerja. Biasanya produksi ini tercipta atas permintaan pasar

oleh masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas, diproduksi oleh

pihak tertentu dan dipakai oleh kalangan tertentu. Terakhir, kategori artisnal yaitu

suatu situasi dimana produsen dan konsumen adalah orang yang sama atau

membangun dan dipakai sendiri.

Dengan adanya teori yang menjelaskan tentang tipologi perumahan di dunia

ketiga diharapkan akan memudahkan peneliti untuk mengidentifikasi resiko bahaya

kebakaran di permukiman padat Kota Tanjung Balai Utara menuju rumusan sistem

penanggulangan kebakaran di permukiman kota setempat.

Sebagai gambaran, lingkup studi dalam menyelesaikan permasalahan bencana

kebakaran di wilayah studi dapat digambarkan pada gambar 3.3.

Universitas Sumatera Utara


DISASTER RISK = HAZARD + VULNERABILITY - CAPACITY

Tipologi permukiman Peta Situasi Bencana


perkotaan yang
meliputi: ekonomi,
sosial, fisik
permukiman dan
kondisi masyarakat

kelembagaan
ruang penelitian aksi
Rumusan Sistem

Gambar 3.3 Lingkup Studi Dalam Penyelesaian Permasalahan Bencana Kebakaran


Permukiman Padat di Kota
Sumber: Hasil Pengolahan Peta Situasi Bencana Terhadap Ranah Penelitian

3.1.1 Populasi dan sampel studi

Populasi yang dipilih adalah pihak pihak terkait atas dasar validitas data yang

berguna dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi di 2 (dua) kelurahan yaitu

tanjung balai kota III dan tanjung balai kota IV di kecamatan Tanjung Balai Utara

kota Tanjung Balai. Sedangkan pengambilan sampel studi adalah menggunakan

teknik purposive sampling, sampel atas data yang valid dari pihak-pihak Kepala

Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran, Kepala Kecamatan Tanjung

Balai Utara, lima Kepala Kelurahan dalam lingkup wilayah Kecamatan Tanjung Balai

Utara, Kepala PDAM Tirtanadi, Kepala PLN setempat atau yang mewakilinya,

kemudian Kepala Sektor Tanjung Balai Utara dan Rumah Sakit (Rumkit) Daerah.

Universitas Sumatera Utara


3.1.2 Lokasi dan waktu studi

Lokasi studi adalah kecamatan Tanjung Balai Utara, kota Tanjung Balai

Provinsi Sumatera Utara. Pada lokasi ini memiliki wilayah kecamatan terpadat

dibanding lima kecamatan lainnya dimana dari data kejadian kebakaran kecamatan

tahun 2009 memiliki tingkat kebakaran yang tinggi, ini menunjukkan bahwa

lingkungan permukiman perkotaan di wilayah ini rentan terhadap bahaya kebakaran.

Waktu studi dilaksanakan antara bulan Pebruari 2011 sampai dengan Mei 2011.

3.1.3 Bahan dan alat studi

Bahan dan alat studi yang digunakan untuk mengumpul data adalah sebagai

berikut:

1. Daftar pertanyaan yang akan diajukan sebagai kuesioner kepada responden

2. Kertas dan pulpen untuk mencatat jawaban dari responden

3. Kamera untuk membuat foto yang akan diteliti

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan:

1. Survei Pustaka

Suvei dilakukan untuk mengumpulkan gambaran umum tentang wilayah

studi, informasi mengenai termonologi bencana kebakaran dan kebijakan-

kebijakan terkait serta informasi yang merujuk kepada mitigasi bencana

kebakaran.

Universitas Sumatera Utara


2. Survei Kelembagaan

Survei dilakukan di Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota

Tanjung Balai, PDAM, Kantor Kelurahan dan Kecamatan setempat, Dinas

Sosial, Kepolisian dan Militer yang menaungi wilayah studi.

Survei dilakukan untuk meraih data historik bencana kebakaran di Kota

Tanjung Balai tentang sebaran hydrant, data lokasi dan jumlah pemadam

kebakaran serta data sosial-ekonomi masyarakat setempat.

3. Wawancara

Wawancara yang dilakukan bersifat semistruktur kepada pihak-pihak terkait

yang dapat mewakili masyarakat dilokasi studi seperti Kepala Kecamatan

Tanjung Balai Utara dan Kepala Lurah di lima Kelurahan yang ada.

Wawancara dilakukan guna meraih data tentang karakteristik masyarakat di

lingkungan studi.

Selain itu dilakukan wawancara kepada pihak keamanan yaitu kepolisian

sektor Kecamatan Tanjung Balai Utara dan Koramil setempat, Dinas

Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Tanjung Balai dengan

tujuan meraih data kondisi fisik, sosial kependudukan, ekonomi,

ketersediaan sarana dan prasarana serta kondisi kelembagaan yang tanggap

terhadap bencana kebakaran di wilayah studi; kemudian untuk mengukur

seberapa jauh kesiapan, jarak, dan waktu tempuh Dinas Pencegahan dan

Penanggulangan Kebakaran di wilayah setempat.

Universitas Sumatera Utara


4. Observasi

Observasi dilakukan untuk mengetahui secara langsung kondisi fisik baik

bangunan maupun lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat serta

ketersediaan sarana dan prasarana di kawasan studi melalui rekam jejak

dokumentasi dan tulisan.

3.3 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam studi ini menggunakan teknik sampel purposive

sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang mempertimbangkan kriteria-

kriteria tertentu oleh peneliti yang sesuai dengan tujuan penelitian, dan dalam kasus

ini sampel tertuju pada pihak terkait atas dasar validitas data yang berguna dalam

menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Pihak-pihak yang akan di wawancara untuk meraih data, sampel tertuju pada

Kepala Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran, Kepala Kecamatan

Tanjung Balai Utara, lima Kepala Kelurahan yang berada dalam lingkup wilayah

Kecamatan Tanjung Balai Utara, Kepala Dinas PDAM Tirtanadi dan Kepala Dinas

PLN setempat atau yang mewakilinya; Kemudian Kepala Polisi Sektor Tanjung Balai

Utara dan Koramil setempat.

Teknik purposive sampling digunakan tidak hanya tertuju pada masyarakat

setempat, namun informasi diupayakan diperoleh dari pihak-pihak yang benar-benar

mengenal karakteristik lingkungan setempat.

Universitas Sumatera Utara


3.4 Metode Analisis

Dalam merumuskan sistem penanggulangan kebakaran permukiman padat

perkotaan di kecamatan Tanjung Balai Utara dijelaskan dalam gambar 3.4 yaitu

mengenai kerangka pemikiran dalam studi perumusan sistem penanggulangan

kebakaran di permukiman kota khususnya di Kecamatan Tanjung Balai Utara dengan

kegiatan analisis sebagai berikut:

1. Melakukan studi literatur guna mengumpulkan pendapat mengenai sumber

datangnya api serta untuk mengidentifikasi variabel apa saja yang terlingkup

dalam kerentanan dan ketahanan terhadap bencana kebakaran secara umum.

Kemudian dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang didapat

melalui matriks identifikasi variabel.

2. Mengidentifikasi variabel atas sumber datangnya api, kerentanan dan

ketahanan terhadap bahaya kebakaran di kawasan permukiman padat Kota

Tanjung Balai Utara melalui variabel dengan kegiatan pengklasifikasian

tertentu sesuai dengan literatur yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Menentukan tolak ukur dan standar tertentu yang berkaitan dengan sumber

datangnya api, kerentanan dan ketahanan terhadap kebakaran di permukiman

padat penduduk yang merujuk pada studi literatur, peraturan perundang-

undangan, keputusan pemerintah, standar nasional dan acuan lainnya yang

bersifat formal.

4. Melakukan penilaian terhadap setiap tolak ukur variabel yang telah

ditentukan.

Universitas Sumatera Utara


5. Penilaian tingkat resiko bencana kebakaran di kawasan permukiman pada

Kecamatan Tanjung Balai Utara dengan menggunakan model Crunch yaitu

R=H+V–C

6. Dalam menentukan tingkat resiko bencana kebakaran di kawasan

permukiman padat Kecamatan Tanjung Balai Utara digunakan Rumus

Sturges (k = 1 + 3,3 log N), dengan keterangan bahwa ‘k’ merupakan

interval untuk melihat tingkat resiko dengan nilai tingkat kerentanan yang

tinggi, menengah dan bawah; sedangkan ‘N’ merupakan jumlah data

sampling yang diambil terhadap kawasan yang diteliti.

7. Dalam menentukan sistem penanggulangan kebakaran di permukiman padat

Kecamatan Tanjung Balai Utara dibuat berdasarkan variabel sumber

datangnya api, kerentanan dan ketahanan kawasan permukiman padat

terhadap bahaya kebakaran yang masih belum sesuai standar. Oleh karena

itu, untuk menghilangkan resiko bencana kebakaran yang harus dilakukan

adalah mengurangi atau mentiadakan bahaya dan kerentenan serta

meningkatkan ketahanan yang ada.

3.4.1 Tata cara variabel dan penilaian

Menurut Hatch dan Farhady (1981), secara teoritis variabel didefinisikan

sebagai atribut sesuatu yang yang mempunyai variasi antara sesuatu tersebut dengan

sesuatu yang lain. Sedangkan menurut Kerlinger (1971), variabel adalah konstruk

atau sifat yang akan dipelajari. Maka berdasarkan makna istilah variabel tersebut

Universitas Sumatera Utara


dapat dirumuskan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat yang

ditetapkan sebagai variasi tertentu yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan

kemudian diambil pada suatu kesimpulan.

Variabel penelitian berdasarkan skala pengukuran yang dipergunakan terdapat

empat macam yaitu:

1. Nominal

Untuk data nominal, angka yang diberikan berupa symbol dari kelompok-

kelompok yang terpisah sebagai taraf dari variabel yang diselidiki. Jadi data

pada angka nominal bukan merupakan nilai, sehingga tidak dapat diterapkan

dalam operasi hitung. Sehingga variabel skala pengukuran ini tidak dapat

digunakan pada penelitian ini karena terdapat kesulitan mengurai variabel

menjadi suatu nilai yang dapat menyimpulkan status bahaya kebakaran di

wilayah studi.

2. Ordinal

Untuk ordinal, angka yang diberikan terhadap taraf variabel yang diselidiki

adalah symbol dari kelompok-kelompok yang terpisah dan berurutan. Maka

skala pengukuran dari variabel ini hanya terbatas pada urut-urutan variabel

yang didapat tanpa adanya penilaian yang jelas untuk yang dapat membantu

kita dalam menentukan langkah selanjutnya yangk akan dilakukan.

3. Interval dan Rasio

Untuk interval dan rasio, angka yang digunakan adalah nilai yang dapat

diidentikkan dengan bilangan real (nyata).oleh karena itu angka yang

Universitas Sumatera Utara


terdapat di dalam variabel dapat diterapkan dalam operasi hitung. Oleh

karena itu, variabel skala pengukuran ini akan digunakan dalam penelitian

ini dengan pemberian nilai tertentu yang mengarah kepada perumusan nilai

di kawasan penelitian terhadap bahaya kebakaran.

Sedangkan dari segi hubungan antar variabel dikenal dengan dua jenis variabel

utama, yaitu variabel bebas dan varabel tidak bebas.

1. Varabel bebas atau variabel pengaruh (independent variable) yaitu variabel

penyebab yang diduga, terjadi lebih dahulu.

2. Variabel tidak bebas atau variabel terikat atau variabel terpengaruh

(dependent variable) yaitu akibat yang terjadi kemudian.

Istilah variabel pengaruh dan terpengaruh lebih mencerminkan kecenderungan

dan arah dalam penelitian. Usaha untuk mencari hubungan antara variabel

sesungguhnya mempunyai tujuan akhir untuk melihat kaitan pengaruh antar variabel.

Dalam penelitian ini, variabel pengaruh dan terpengaruh akan saling terkait.

Variabel pengaruh merupakan awal pemikiran mengungkap adanya bahaya

kebakaran yang telah lalu, sedangkan varibel terpengaruh merupakan penjelmaan dari

variabel pengaruh dengan analisis yang melingkupi dalam menjawab permasalahan

penelitian. Kemudian kedua variabel tersebut dinilai untuk merumuskan status

wilayah penilitian terhadap bahaya kebakaran.

Sebagai pendekatan, variabel-variabel yang lahir pada penelitian ini adalah

variabel-variabel yang melingkupi sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan yang

Universitas Sumatera Utara


terkait terhadap fisik lingkungan permukiman dan pemakai atau orang yang

bertinggal di lingkungan permukiman tersebut dalam ranah ekonomi, sosial dan

budaya (cara hidup) kawasan permukiman padat di kota Tanjung Balai Utara.

Berdasarkan pembahasan terhadap tata cara variabel dan penilaian, maka setiap

variabel yang ada akan diberi nilai yang dapat diterapkan dalam operasi hitung untuk

menghasilkan arah penelitian yang dituju, tabel 3.1 menerangkan mengenai cara

pemberian nilai tolok ukur pada variabel sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan

terhadap bahaya kebakaran. Pada gambar 3.4 terlihat kerangka pemikiran penelitian.

Tabel 3.1 Cara Pemberian Nilai Tolok Ukur Pada Variabel Sumber Bahaya,
Kerentanan dan Ketahanan Terhadap Bahaya Kebakaran

Penilaian
Tolok Ukur Pada Variable
Sesuai Strandar Tidak Sesuai Standar
Sumber Bahaya
Kebakaran (H) 1 0

Kerentanan Terhadap Bahaya


Kebakaran (V) 1 0

Ketahanan Terhadap Bahaya


Kebakaran (C) 1 -1

Universitas Sumatera Utara


Tingginya Tingkat Kejadian
PERMASALAHAN Kebakaran di Permukiman
Padat Perkotaan

SASARAN Penanggulangan Kebakaran


PENYELESAIAN di Permukiman Padat
PERMASALAHAN Perkotaan

Identifikasi Permasalahan

Kondisi ekonomi, sosial, Kelengkapan sumberdaya manusia


fisik lingkungan yang Sumber kebakaran terlatih, sarana dan prasarana dan
buruk. kondisi kelembagaan yang baik.

Status:
Berpotensi Bencana Kebakaran

Mempertanyakan:
Bahaya, Kerentanan dan Ketahanan terhadap Bahaya Kebakaran

Identifikasi Bahaya Identifikasi Kerentanan Identifikasi Ketahanan


Kebakaran Kebakaran Terhadap Kebakaran

Penilaian Tingkat Resiko ANALISIS


Dengan menggunakan Dengan menggunakan
rumus Sturgees model Crunch
k=1+3,322 log n
R=H+V-C
dan Typologi Perumahan
Masyarakat
Hasil : Berpenghasilan Rendah
Indikator Tingkat Resiko
Bahaya Kebakaran

SISTEM PENANGGULANGAN Identifikasi variable bahaya,


Kendali kerentanan dan ketahanan
KEBAKARAN PERMUKIMAN PADAT
KECAMATAN TANJUNG BALAI UTARA

Variable bahaya, kerentanan


dan ketahanan

Penentuan tolok ukur dan


standar nilai variabel

Gambar 3.4 Kerangka Pemikiran

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

ANALISIS KAWASAN PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang terbentuknya Kota Tanjung Balai menjadi suatu

ruang yang kompleks dan melahirkan permasalahan bencana kebakaran yang

kemudian mengarah pada suatu wilayah yang paling rentan terhadap bencana

kebakaran. Kemudian dilakukan identifikasi dan analisis terhadap faktor-faktor

penyebab kebakaran dan kerentanannya.

4.1 Gambaran Umum Kota Tanjung balai

4.1.1 Sejarah kota Tanjung Balai

Sejarah Kerajaan Asahan dimulai dengan penobatan raja pertama kerajaan

tersebut yang berlangsung meriah di sekitar Kampung Tanjung. Peristiwa penabalan

raja pertama Kerajaan Asahan tersebut terjadi tepatnya pada tanggal 27 Desember

1620, dan tanggal 27 Desember kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Tanjung

Balai dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjung Balai Nomor: 4/DPRD/TB/1986

tanggal 25 November 1986.

Mengenai asal usul nama kota Tanjung Balai menurut cerita rakyat yang ada di

Kota Tanjung Balai bermula dari sebuah kampung yang ada di sekitar ujung tanjung

di muara Sungai Silau dan Aliran Sungai Asahan. Lama kelamaan balai yang

dibangun semakin ramai disinggahi karena tempatnya yang strategis sebagai bandar

Universitas Sumatera Utara


kecil tempat melintas ataupun orang-orang bepergian ke hulu Sungai Silau. Tempat

itu kemudian dinamakan Kampung Tanjung dan orang lazim menyebutnya Balai di

Tanjung.

Ditemukannya Kampung Tanjung kemudian menjadikan daerah itu menjadi

semakin ramai dan berkembang menjadi sebuah negeri. Penabalan Sultan Abdul Jalil

sebagai raja pertama di Kerajaan Asahan di Kampung Tanjung kemudian memulai

sejarah pemerintahan Kerajaan Asahan pada tahun 1620.

Dalam catatan sejarah, Kerajaan Asahan pernah diperintah oleh delapan orang

raja sejak raja pertama Sultan Abdul Jalil pada tahun 1620 sampai dengan Sultan

Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah tahun 1933, yang kemudian mangkat pada tanggal

17 April 1980 di Medan dan dimakamkan di kompleks Mesjid Raya Tanjungbalai.

Pertumbuhan dan perkembangan Kota Tanjung Balai sejak didirikan sebagai

Gementee berdasarkan Besluit G. G. tanggal 27 Juni 1917 dengan Stbl. 1917 No.

284, sebagai akibat dibukanya perkebunan-perkebunan di daerah Sumatera Timur

termasuk daerah Asahan seperti H.A.P.M., SIPEF. London Sumatera (Lonsum) dan

lain-lain, maka Kota Tanjung Balai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke

daerah Asahan menjadi penting artinya bagi perkembangan perekonomian Belanda.

Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api

Medan - Tanjungbalai, maka hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan

atau diekspor melalui kota pelabuhan Kota Tanjung Balai. Untuk memperlancar

kegiatan perkebunan, maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di

Kota Tanjungbalai antara lain: kantor K.P.M., Borsumeij dan lain-lain, maka pada

Universitas Sumatera Utara


abad XX mulailah penduduk bangsa Eropa tinggal menetap di kota Tanjung Balai.

Assisten Resident van Asahan berkedudukan di Tanjung Balai dan karena jabatannya

bertindak sebagai Walikota dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeenteraad).

Sebagai kota pelabuhan dan tempat kedudukan Assisten Resident, Tanjung

Balai juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan. Pada waktu

Gementee Tanjung Balai didirikan atas Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 No. 284,

luas wilayah Gementee Tanjung Balai adalah 106 Ha. Atas persetujuan Bupati

Asahan melalui maklumat tanggal 11 Januari 1958 No. 260 daerah-daerah yang

dikeluarkan (menurut Stbl. 1917 No. 641) dikembalikan pada batas semula, sehingga

menjadi seluas 200 Ha.

Dengan dikeluarkannya Undang-undang Darurat No. 9 tahun 1956, lembaran

Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjung Balai diganti dengan Kota Kecil

Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah dari Bupati Asahan berdasarkan Surat

Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956 No. U.P. 15/2/3. Selanjutnya

dengan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi

Kotapraja Tanjung Balai.

Dari sejarah Kota Tanjung Balai dapat diambil kesimpulan bahwa wilayah ini

terbentuk di awali dengan keberadaan muara yang ramai dilalui sebagai jalur dari

hulu sungai ke laut. Kemudian wilayah semakin berkembang semenjak digunakan

sebagai gerbang distribusi hasil alam karena disana terjadi pergumulan kapital yang

menjadi magnet bagi wilayah sekitar untuk ikut serta beraktivitas disana. Setelah itu

Universitas Sumatera Utara


lahirlah kaum bangsawan hingga terbentuknya kerajaan hingga sekarang yang

kepemimpinan daerah bergeser menjadi ketua walikota.

Dari kesimpulan yang telah ditampilkan bahwa terdapat potensi ruang sebagai

harapan yang dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat, yaitu muara sebagai

tempat batu loncatan menuju laut yang mengandung hasil laut yang dapat dikonsumsi

dan diperdagangkan. Disana masyarakat dapat menggantungkan kehidupannya

dengan memilih bertinggal di sekitar pinggiran muara yang masih terlingkup dalam

wilayah pusat kota agar dekat dengan wilayah pencaharian pendapatannya dengan

fisik tempat tinggal dibawah standar. Hal ini sejalan dengan konsep yang

dikemukakan oleh Denis Dwyer yang menjelaskan tentang perpindahan masyarakat

yang berupaya mencari ceruk penghasilan pada suatu wilayah demi kelangsungan

hidupnya. Bagi mereka potensi tempat penghasilan lebih penting dibanding dengan

kualitas bertinggal mereka yang secara tidak sadar perlahan-lahan membuat kualitas

hidup mereka semakin menurun dialami sebagian besar oleh masyarakat tersebut.

Proses analisis terbentuknya keberadaan wilayah Kota Tanjung Balai yang

mengacu pada sejarah terbentuknya kota adalah sebagai upaya untuk melihat

kapasitas ruang yang ada hingga melahirkan permasalahan bencana kebakaran.

4.1.2 Gambaran umum wilayah penelitian

4.1.2.1 Letak dan kedudukan

Gambaran umum wilayah kota Tanjung Balai di Provinsi Sumatera Utara

terlihat pada gambar 4.1 dan untuk gambaran pembagian wilayah adminstratif setiap

Universitas Sumatera Utara


kecamatan di wilayah Kota Tanjung Balai dapat dilihat pada gambar 4.1, dengan

batasan wilayah Kota Tanjung Balai adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara: dengan Kecamatan Tanjung Balai Kabupaten Asahan

2. Sebelah Barat: dengan Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan

3. Sebelah Selatan: dengan Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan

4. Sebelah Timur: dengan Kecamatan Sei Kepayang Kabupaten Asahan

Sebagai pendekatan agar lebih jelas dalam memahami wilayah Kota Tanjung

Balai beserta keberadaan wilayah ruang lingkup penelitian akan ditampilkan pada

gambar 4.3. Pada gambar 4.4 merupakan peta situasi wilayah penelitian dimana

terlihat kondisi permukiman yang padat serta infrastruktur yang kurang memadai.

Berdasarkan peta kepadatan ruang wilayah kecamatan Tanjung Balai Utara pada

gambar 4.5 terlihat bahwa Kecamatan Tanjung Balai Utara terbagi atas enam wilayah

kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan ruang yang tidak jauh berbeda antar

wilayah kecamatan. Sebagai pendekatan, Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan

Kecamatan Tanjung Balai Kota IV menjadi fokus pengamatan, wawancara dan

penelitian karena kedua wilayah kelurahan tersebut terletak sebagian besar fasilitas

kota seperti Kantor Kecamatan Tanjung Balai Utara, Pos Unit Dinas Pemadam

Kebakaran Kota, Kantor Perusahaan Daerah Air Minum dan Rumkit Daerah. Oleh

karena itu, kedua kelurahan tersebeut terdapat kelengkapan unsur analisis bahaya

kebakaran yang terurai atas bencana, kerentanan dan ketahanan pada penelitian ini

menjadi tingkat validitas yang mencukupi.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4.1 Peta Lokasi Wilayah Kota Tanjung Balai di Provinsi Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


Kabupaten Asahan

Kabupaten Kabupaten Asahan


Asahan
Kabupaten Asahan

Gambar 4.2 Peta Administratif Kota Tanjung Balai

Universitas Sumatera Utara


Kecamatan Tanjung Balai Utara
(Lokasi Penelitian

Gambar 4.3 Peta Wilayah Penelitian di Kecamatan Tanjung Balai Utara di Kota Tanjung Balai

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4.4 Peta Wilayah Penelitian di Kecamatan Tanjung Balai Utara

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4.5 Peta Kepadatan Ruang Wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara

Universitas Sumatera Utara


4.1.2.2 Tingkat kepadatan penduduk

Kota Tanjung Balai memiliki luas 60,2 km² memiliki enam wilayah

kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang dapat kita lihat pada tabel 4.1.

Dari tabel tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Kecamatan Tanjung Balai Utara

memiliki wilayah kecamatan terpadat dibanding lima wilayah kecamatan lainnya di

Kota Tanjung Balai. Wilayah Kecamatan Tanjung Balai selatan memiliki wilayah

tutupan permukaan lahan yang sangat luas karena tingkat kepadatan penduduknya

hampir memenuhi seluruh luas wilayah walau jumlah penduduknya paling rendah

dibanding lima wilayah kecamatan lainnya.

Tabel 4.1 Luas Daerah, Banyaknya Rumah Tangga, Penduduk, dan Kepadatan
Penduduk per Km² menurut Kecamatan Tahun 2009

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tanjung Balai

Universitas Sumatera Utara


4.2 Gambaran Kejadian Kebakaran di Wilayah Kota Tanjung Balai

Kejadian kebakaran yang tercatat dan ditangani langsung oleh unit kebakaran

pemerintah Kota Tanjung Balai ternyata bukan hanya yang terjadi di wilayah

setempat saja, tetapi juga melayani wilayah terdekat seperti Kabupaten Asahan.

Peristiwa kejadian kebakaran di Kota Tanjung Balai yang ditangani sepanjang tahun

2009 berdasarkan lokasinya diperlihatkan pada tabel 4.2, 4.3, 4.4, 4.5, 4.6, dan 4.7

untuk kejadian kebakaran yang terdapat di 6 kecamatan.

Tabel 4.2 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Selatan Tahun 2009
Mobil
Objek
Hari/ Pemadam
No Lokasi Waktu Yang Jumlah Keterangan
Tanggal Yang
Terbakar
Dikerahkan
Rabu, 22.15
1 Jl. Sudirman Betor 1 Unit 1 Unit
20-05-2009 WIB
Jumat, 16.55
2 Jl. Bougenvil Lalang 1 Unit 1 Unit
19-06-2009 WIB
Tidak semua
objek
terbakar,
Selasa, 13.00 0.5 artinya
3 Jl. Pahlawan Lalang 3 Unit
07-07-2009 WIB Unit setengah
dari luasan
objek bisa
diselamatkan
Jl. Gojali No.
19
Sabtu, 08.15
4 Kel. Rumah 1 Unit 1 Unit
08-08-2009 WIB
Tanjungbalai
Kota II
Jl. Tengku
Jumat, 17.15 Rumah
5 Umar Lk. II 1 Unit 4 Unit
04-04-2009 WIB dan Kios
Kel. Karya
Jl.
Cokroaminoto
Senin, 22.40
6 Kel. Ruko 1 Unit 1 Unit
30-11-2009 WIB
Tanjungbalai
Kota II
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
dan Linmas)

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.3 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Datuk Bandar Tahun 2009
Mobil
Objek Pemada
No Lokasi Hari/Tanggal Waktu Yang Jlh m Yang
Terbakar Dikerah
kan
Senin, 11.15
1 Jl. Anwar Idris Ruko 1 Unit 1 Unit
16-03-2009 WIB
Gg. Gemini Lk. I Kamis, 15.05
2 Rumah 5 Unit 5 Unit
Kel. Gading 19-03-2009 WIB
Jl. Sudirman KM. 5 Sabtu, 09.15
3 Rumah 1 Unit 1 Unit
Sijambi 19-04-2009 WIB
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
dan Linmas)

Tabel 4.4 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Datuk Bandar Timur Tahun 2009
Objek Mobil
Yang Pemadam
No Lokasi Hari/Tanggal Waktu Jlh
Terbak Yang
ar Dikerahkan
Jl. Mahoni Lk. I Selat Senin, 20.10
1 Rumah 3 Unit 4 Unit
Lancang 04-05-2009 WIB
Jl. Sudirman Gg. Rabu, 09.30
2 Rumah 1 Unit 1 Unit
Tapsel 27-0502009 WIB
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
dan Linmas)

Tabel 4.5 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Sei Tualang Raso Tahun 2009
Mobil
Objek
Pemadam
No. Lokasi Hari/Tanggal Waktu Yang Jlh
Yang
Terbakar
Dikerahkan
Senin, 02.15
1 Kapias Rumah 1 Unit 3 Unit
08-01-2009 WIB
Jl. Sei Deli Beting
Minggu, 07.00
2 Seroja Lk. I Kel. Rumah 1 Unit 4 Unit
09-08-2009 WIB
Keramat Kubah
Jl. D.I. Panjaitan Sabtu, 04.45
3 Rumah 1 Unit 1 Unit
Kel. Muara Sentosa 14-11-2009 WIB
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
dan Linmas)

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.6 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara Tahun 2009
Mobil
Objek
Pemadam
No. Lokasi Hari/Tanggal Waktu Yang Jlh
Yang
Terbakar
Dikerahkan
Selasa, 21.30
1 Jl. Suprapto Rumah 1 Unit 5 Unit
07 April 2009 WIB
Jumat, 15.30
2 Jl. Suprapto Lalang 1 Unit 1 Unit
19 Juni 2009 WIB

Jl. D.I. Panjaitan Senin,


09.19
3 Gg. Aman Kel. 07 Desember Rumah 7 Unit 5 Unit
WIB
Sejahtera 2009
Jl. Logam Lk. V
Senin,
Kel. 12.30
4 07 Desember Rumah 1 Unit 1 Unit
Tanjungbalai WIB
2009
Kota III
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
dan Linmas)

Tabel 4.7 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Teluk Nibung Tahun 2009


Mobil
Objek
Pemadam
No. Lokasi Hari/Tanggal Waktu Yang Jlh
Yang
Terbakar
Dikerahkan
Jumat, 02.30 PT. Sawit
1 Kapias, P. Buaya 1 Unit 3 Unit
30-01-2009 WIB Jaya
Pelabuhan Teluk Kamis, 16.30
2 Kapal 1 Unit 2 Unit
Nibung 18-06-2009 WIB
Jl. Yos Sudarso
Lk. IV Kel. Selasa, 19.35
3 Rumah 8 Unit 6 Unit
Beting Kuala 10-11-2009 WIB
Kapias
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
dan Linmas)

Maka rekapitulasi kejadian kebakaran dan persentase terjadinya berdasarkan

kejadian menurut lokasi yang tercatat dan ditangani langsung oleh unit kebakaran

pemerintah Kota Tanjung Balai sepanjang Tahun 2009 terlihat pada tabel 4.8.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.8 Kejadian Kebakaran Menurut Kecamatan Tahun 2009
Tahun (2009)

No. Kecamatan Rasio Terhadap Total


Jumlah Kejadian
(%)

1 Datuk Bandar 3 15,00


2 Datuk Bandar Timur 2 10,00
3 Tanjung Balai Selatan 5 25,00
4 Tanjung Balai Utara 4 20,00
5 Sei Tualang Raso 3 15,00
6 Teluk Nibung 3 15,00
Jumlah 20 100,00
Sumber: Hasil analisis

Dari data kejadian kebakaran antar Kecamatan di Kota Tanjung Balai

melahirkan pertanyaan atas validitas Kelurahan Tanjung Balai Utara yang menjadi

lokasi penelitian penanggulangan kebakaran perkotaan atas jumlah kejadian

kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Selatan lebih banyak terjadi kebakaran

dibanding Kecamatan Tanjung Balai Utara. Dalam menjawab pertanyaan ini sebagai

pendekatan kita melihat kembali data kejadian kebakaran bahwa Kecamatan Tanjung

Balai Utara memiliki unit terbakar yang lebih tinggi dibanding dengan kejadian

kebakaran wilayah Kecamatan Tanjung Balai Selatan. Hal ini menunjukkan kepada

kita bahwa lingkungan permukiman perkotaan wilayah Kecamatan Tanjung Balai

Utara lebih rentan terkena bencana kebakaran dibanding wilayah Kecamatan Tanjung

Balai Selatan.

Atas pembahasan sebelumnya telah ditetapkan alat dalam membahas potensi

sumber bahaya kebakaran dengan menggunakan teori kondisi pemukiman (KP),

Universitas Sumatera Utara


kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhan (KRAPK), daur hari bertinggal (DHB)

dan aktivitas ekonomi (AE). Agar taat azas dalam menganalisis atas tujuan

penyelesaian permasalahan yang akan dicapai, maka data di lapangan akan merujuk

kepada teori-teori tersebut kemudian disusun melalui variabel dengan penilaian

tertentu agar dapat merumuskan tentang keberadaan bahaya, kerentanan dan

ketahanan wilayah penelitian yang akan dilakukan pada sub bab berikut.

4.3 Identifikasi Serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Potensi Sumber
Bahaya Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan
Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV)

Pada sub bab ini akan dilakukan analisis dengan cara identifikasi serta penilaian

tolok ukur dan variabel sumber bahaya (H) kebakaran atas pengaruh yang

menyebabkan munculnya api berdasarkan teori-teori ruang perkotaan yang didukung

dengan acuan referensi tentang ketetapan pernyataan yang berkaitan dengan bahaya

kebakaran.

4.3.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya
kebakaran menurut kondisi pemukiman (KP)

Identifikasi kolektif dalam lingkup kondisi pemukiman nyata di lapangan

terkait hubungan singkat arus listrik dan korsleting listrik. Kondisi pemukiman

menurut David-Drakakis Smith terdapat beberapa golongan berdasarkan

konvensional dan non-konvensional. Golongan tersebut bersumber pada penekanan

regulasi atau status keabsahan ber-mukim dan kondisi fisik bertinggal. Wilayah lokasi

penelitian di dominasi oleh lingkungan permukiman yang bergolongan non-

Universitas Sumatera Utara


konvensional sebab secara keabsahaannya di akui oleh pihak berwenang setempat,

namun keberadaan fisik perumahannya tidak standar atau lingkungan permukiman

yang tidak tertata atau terencana.

Dalam hal ini, keberadaan fasilitas kondisi permukiman atau tindak untuk

bermukim dapat mempengaruhi jalur formal yang ada, seperti penyediaan arus listrik

standar PLN. Menurut keterangan yang diperoleh dari warga setempat bahwa

penyediaan arus listrik tersebut berubah secara teknis untuk melayani kebutuhan

permukiman yang jumlahnya terus bertambah sehingga teknis penyediaan arus listrik

tersebut terjadi secara praktis. Atas hal inilah yang menyebabkan perubahan

keberadan penyaluran energi listrik secara teknis menjadi tidak standar.

Perlu juga kita ketahui bahwa penyaluran daya energi listrik standar PLN

adalah sebagai berikut, yaitu kondisi instalasi yang buruk, banyaknya sambungan

listrik dalam satu tiang yang lebih dari tujuh titik pelayanan, dan kondisi kabel listrik

yang terbuka. Ketiga hal inilah yang dapat menjadi ukuran apakah kondisi instalasi

listrik suatu lingkungan permukiman apakah berkualitas baik atau buruk.

Menurut wawancara informal yang dilakukan dengan petugas PLN terhadap

pemasangan arus listrik yang ada di kedua kelurahan bahwa penyediaannya bersifat

resmi atau legal. Tentang pengaruh atau efek yang terjadi akibat pemasangan instalasi

yang buruk sebagai penyebab bahaya kebakaran merupakan penanganan lanjutan dari

pihak PLN yang belum terealisasi hingga kini walau pihak PLN juga menyadari

bahwa instalasi penyediaan arus listrik di wilayah studi berkualitas kurang baik

seperti terlihat pada gambar 4.6 dan 4.7.

Universitas Sumatera Utara


pada lingkaran memperlihatkan tiang listrik yang
mengambang tidak lebih dari 4m sejajar dengan terdapat penyaluaran sambungan listrik
tinggi tempat tinggal yang dapat merusak kualitas yang melebihi kapasitasnya yaitu lebih dari
kabel dan menyulut titik api 7 sambungan listrik

Gambar 4.6 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota III
Sumber: Observasi, Mei 2011

tidak tersedianya tiang penyalur lokal


skala kecil berupa tiang distribusi
sambungan listrik hingga menggantung
paralel di fisik tempat tinggal dibawh
standar dengan status yang
membahayakan

Gambar 4.7 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV
Sumber: Observasi, Mei 2011

Berdasarkan data lapangan yang di wilayah studi tentang kondisi bahaya

kebakaran menurut kondisi pemukiman terkait dengan penyaluran daya arus listrik

dari PLN ke lingkungan permukiman berkualitas sangat buruk. Atas kondisi ini, maka

potensi bahaya kebakaran menurut kondisi pemukiman mendapat nilai 0.

Universitas Sumatera Utara


4.3.2 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya
kebakaran menurut kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhan (KRAPK)

Identifikasi kolektif atas keberadaan tempat tinggal mereka melahirkan citra

tentang proritas kebutuhan dalam bertinggal. Menurut Turner, mereka berupaya

bertinggal sedekat mungkin dengan lokasi karyanya sehingga keberadaan fisik tempat

tinggal bagi mereka menjadi tidak penting. Fisik tempat tinggal bukan untuk

membina keluarga untuk kualitas hidup yang lebih baik, tetapi hanya sebatas untuk

meraih pendapatan demi kelangsungan hidup.

Kondisi di lapangan di Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan

Tanjung Balai Kota IV Kecamatan Tanjung Balai Utara, masih terdapat fisik

permukiman yang miskin material atau berdiri dengan material dibawah standar dan

hanya sebagai tempat istirahat belaka. Rumah-rumah tersusun dipinggiran muara di

Keluarahan Tanjung Balai Kota III diatas tiang-tiang kayu setempat dengan lantai dan

dinding papan serta tepas (anyaman irisan bambu) beratapkan seng dengan kerangka

bambu atau kayu. Dan rumah-rumah yang tersusun di pinggiran rel kereta di

Kelurahan Tanjung Balai Kota IV dengan kondisi fisik tempat tinggal yang tidak jauh

berbeda dengan fisik tempat tinggal di Kelurahan Tanjung Balai Kota III.

Atas kondisi ini, kebereradaan fisik tempat tinggal yang kurang penting bagi

mereka disebabkan oleh pendapatan atau penghasilan yang sangan rendah, hanya

untuk bertahan hidup. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa selama pendapatan

mereka masih rendah, maka selama itu pula terdapat kecenderungan bahwa mereka

Universitas Sumatera Utara


akan kehilangan rumah mereka akibat juga mendukung tingkat bahaya kebakaran

terhadap lingkungannya.

Selain itu keberadaan fisik rumah-rumah mereka berada pada lingkungan yang

tidak tertata, seperti tidak memiliki jalan lokal yang tidak terencana, miskin saluran

air bersih dan pembuangan air kotor. Hal ini akan memperburuk kualitas hidup

mereka yang rentan terhadap penyakit yang dapat mengganggu pengumpulan

penghasilan untuk kualitas hidup yang lebih baik lagi. Berikut pada gambar 4.8

terlihat buruknya fisik tempat tinggal mereka yang dapat memperlihatkan citra

bertinggal mereka terhadap kebutuhan bertinggal atas prioritas dan kebutuhannya.


kondisi fisik
bertinggal di
wilayah Kelurahan
Tanjung Balai
Kota IV, bahaya
kebakaran akan
selalu mengikuti
mreka selama fisik
tempat tinggal
kondisi fisik bertinggal di wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III, nilai menjadi tidak
pendapatan yang rendah menjadikan rumah hanya sebagai tempat istirahat penting.
belaka yang dapat mempermudah mendatangkan bahaya kebakaran

Gambar 4.8 Kondisi Rumah Atas Prioritas dan Kebutuhannya


Sumber: Observasi, Mei 2011

Berdasarkan data di lapangan yang dianalisis melalui teori yang telah

ditetapkan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa memiliki potensi bahaya

kebakaran yang sangat memungkinkan yang terkait menurut kelompok rumah atas

prioritas dan kebutuhannya. Atas kesimpulan ini, potensi bahaya pada konteks ini

bernilai 0.

Universitas Sumatera Utara


4.3.3 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan vriabel potensi sumber bahaya
kebakaran menurut daur hari bertinggal (DHB)

Identifikasi kolektif yang berdasarkan atas daur hari bertinggal dapat dilihat

berdasarkan pola hidup keseharian atas observasi yang dilakukan di lapangan

penelitian. Adapun kategori yang meliputi daur hari bertinggal di lingkungan

permukiman yang dapat melahirkan bahaya kebakaran adalah penerangan non listrik,

pembuangan puntung rokok yang masih menyala dan pemakaian alat-alat rumah

tangga yang rusak.

4.3.3.1 Penerangan non-listrik

Penggunaan penerangan non-listrik dapat menimbulkan bahaya kebakaran.

Bahaya kebakaran akibat penerangan non-listrik biasanya disebabkan oleh kelalaian

manusia. Untuk menilai seberapa besar potensi bahaya yang ada di suatu lingkungan

maka tolok ukur yang digunakan adalah keberadaan pengguna dan intensitas

peralatan non-listrik.

Seluruh masyarakat di kedua kelurahan tidak ada yang menggunakan alat

penerangan non-listrik sebagai alat penerangan utama. Alat penerangan non-listrik

seperti lilin dan lampu tempel hanya digunakan jika terjadi pemadaman arus listrik

sementara. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa potensi sumber api di kedua

kelurahan memiliki potensi yang rendah terjadinya bahaya kebakaran, maka pada

konteks ini memiliki nilai 1.

Universitas Sumatera Utara


4.3.3.2 Pembuangan puntung rokok yang masih menyala

Kegiatan merokok dalam bertinggal di tempat tinggal maupun di lingkungan

setempat merupakan sesuatu yang wajar. Namun kegiatan ini ternyata merupakan

salah satu variable yang masuk dalam analisis terhadap potensi terjadinya kebakaran

di lingkungan permukiman perkotaan. Menurut wawancara dengan penduduk

setempat, bahwa kegiatan merokok atau perokok aktif dilakukan oleh sebagian besar

jumlah penduduk remaja dan dewasa setempat. Oleh karena jumlah perokok aktif

tinggi di wilayah studi, maka dapat dipastikan bahwa potensi terjadinya kebakaran

juga tinggi. Begitu juga halnya dengan kelalaian sikap dalam adab merokok yang

membuang puntung rokok dengan sembarang tanpa memastikan terlebih dahulu

apakah bara api rokok tersebut dalam keadaan mati atau tidak menyala. Atas hal ini,

dapat diambil kesimpulan bahwa potensi kebakaran menurut daur hari bertinggal

yang terkait dengan pembuangan punting rokok yang masih menyala diberi nilai 0.

4.3.3.3 Peralatan listrik yang rusak

Penggunaan peralatan listrik yang rusak dalam menjalani daur hari bertinggal

juga berpotensi munculnya api. Peralatan listrik yang dimaksud adalah peralatan

elktronik seperti setrika, televisi, radio, kipas angin dan peralatan listrik rumah tangga

lainnya. Pemakaian peralatan yang tidak layak pakai dapat menyebabkan arus pendek

dan dapat menimbulkan terjadinya kebakaran. Peralatan listrik tersebut sebagian

besar digunakan oleh masyarakat yang ada di kedua kelurahan yaitu Tanjung Balai

Kota III dan Tanjung Balai Kota IV.

Universitas Sumatera Utara


Menurut data yang di dapat di lapangan bahwa peralatan listrik rumah

tangga yang dipakai oleh masyarakat setempat adalah peralatan listrik yang

konvesional yang berarti bahwa peralatan yang tidak memiliki teknologi terkini

namun dapat digunakan. Maksud dari pemakaian peralatan berteknologi terkini salah

satunya seperti peralatan yang hemat energi dan memiliki pengaman dalam menyerap

arus listrik baik pemakai maupun terhadap keberadaan peralatan itu sendiri. Dalam

pemakaian peralatan listrik tersebut terdapat sikap pada masyarakat bahwa apabila

peralatan tersebut masih dapat digunakan walau memiliki tingkat kemanan yang

rendah, maka peralatan listrik tersebut akan terus dipakai.

Pada konteks ini, pemakaian peralatan listrik bagi masyarakat di kedua

keluarahan yang menjadi objek wilayah studi berstatus pemenuhan kebutuhan dasar,

bukan amenitas. Amenitas yaitu suatu asset atau fasilitas yang dapat memenuhi

kebutuhan si pemakai dengan teknologi yang mutakhir atau terkini. Peralatan listrik

yang dipakai bukan sebagai pemuas kebutuhan bagi mereka, melainkan sebagai asset

yang hanya mampu melayani kehidupan sehari-hari.

Maka dari itu dapat diambil kesimpulan bahwa peralatan listrik yang

digunakan oleh masyarkat setempat memiliki potensi terjadinya kebakaran yang

disebabkan oleh status pemakaian perlatan tersebut, yaitu peralatan listrik sebagai

pemenuhan kebutuhan dasar berkualitas rendah dan sewaktu-waktu dapat

menimbulkan arus pendek yang dapat menimbulkan api dan diteruskan dengan

terjadinya kebakaran. Atas kesimpulan yang telah dirumuskan, maka penilaian

Universitas Sumatera Utara


variable ini terkait dengan potensi terjadinya kebakaran dalam lingkup daur hari

dalam konteks pemakaian peralatan listrik rumah tangga mendapat nilai 0.

4.3.4 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya
kebakaran menurut aktivitas ekonomi (AE)

Menurut teori aktivitas ekonomi yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya

terdapat tiga kategori pekerja, yaitu employment, unemployment dan

underemployment. Pada wilayah studi, populasi yang mendominasi dari ketiga

kategori perkerja tersebut adalah underemployment, yaitu waktu kerja yang tidak

tetap, sedikitnya waktu bekerja disbanding waktu kerja standar atau pada umumnya

dan perkerja terselubung yaitu waktu kerja yang dimanfaatkan yang ditentukan oleh

si pemberi kerja.

Pada tabel 4.9 menjelaskan bahwa angkatan kerja memiliki pendidikan yang

rendah yaitu dominasi pekerja tamatan SD, SMTP dan SMTA. Atas data ini dapat

disimpulkan bahwa kondisi masyarakat tersebut memiliki tingakat penghasilan yang

rendah sebab tidak mampu bersekolah lebih tinggi dan selalu memanfaatkan ceruk

atau peluang pendapatan yang ada dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tidak dapat

memilih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan pencari kerja. Kemudian muncul

keingintahuan tentang bagaimana sifat pekerjaan yang dijalani oleh masyarkat

tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.9 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Termasuk Angkatan Kerja
Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Sumber: BPS Kota Tanjung Balai, Survei Angkatan Kerja Nasional

Pada tabel 4.10 dapat menjelaskan pada kita bahwa populasi pekerja

masyarakat setempat didominasi perkerja pertanian yang memiliki waktu kerja yang

tidak tetap. Kemudian populasi pekerja yang diminati adalah sebagai pegawai atau

buruh di lapangan usaha perdagangan. Lingkup perdagangan yang terdapat pada tabel

melingkupi sekala besar, menengah dan kecil.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.10 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu
yang Lalu Menurut Jenis Kelamin dan Lapangan Usaha Utama

Sumber: BPS Kota Tanjung Balai, Survei Angkatan Kerja Nasional

Istilah perdagangan atau berniaga atas inisiatif pribadi pada umumnya bersifat

informal, atau tidak memiliki standar dan izin dari pihak berwenang. Oleh karena itu,

lapangan usaha yang ada berpengaruh dengan potensi yang menimbulkan bencana

kebakaran. Demi meneruskan penyusunan pemikiran yang ada, pada tabel 4.11

menjelaskan populasi pekerjaan utama di wilayah penelitian.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.11 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu
yang Lalu Menurut Jenis Kelamin dan Status Pekerjaan Utama

Sumber: BPS Kota Tanjung Balai, Survei Angkatan Kerja Nasional

Pada tabel diatas populasi pekerja yang mendominasi adalah pekerjaan sebagai

buruh atau pekerja dan usaha tanpa bantuan orang lain. Menurut wawancara yang

ada, buruh atau karyawan yang ada di wilayah penelitian sebagian besar bekerja di

pusat-pusat ekonomi atau lingkungan perdagangan kota seperti restoran, penjualan

material dan tempat-tempat usaha yang memerlukan karyawan dari pemilik usaha.

Sedangkan tipe masyarakat berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain di dominasi

dengan melaut atau sebagai nelayan dan membuka usaha rumahan dengan keahlian

Universitas Sumatera Utara


yang terbatas.Yang menjadi sasaran pemikiran terhadap kegiatan ekonomi yang

berpotensi munculnya bencana kebakaran adalah lapangan usaha yang terdapat di

lingkungan permukiman perkotaan. Pada gambar 4.9 yang merupakan data

dokumentasi lapangan menunjukkan beberapa usaha yang dapat memicu terjadinya

kebakaran yang terdapat di wilayah studi.

usaha penampung barang bekas yang usaha pandai besi yang selalu memunculkan
banyak melahirkan pekerja sendiri tanpa api yang dapat memicu bencana kebakaran
bantuan orang lain. namun tempat ini yang tidak lengkapi dengan pengamanan
mimicu bencana kebakaran yang lengkap antisipasi kebakaran.
disebabkan oleh benda-benda yang mudah
terbakar.

usaha perdagangan yang menjual benda-benda pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang


mudah memicu terjadinya bencana kebakaran seperti pom bensin, penjualan tabung gas
dan minyak bensin kemasan botol plastik.

Gambar 4.9 Lapangan Usaha yang Memicu Terjadinya Kebakaran


Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


Fakta yang ada telah melahirkan kesimpulan pada variabel ini, yaitu wilayah

penelitian mengandung aktivitas ekonomi yang dapat memicu terjadinya kebakaran.

Hal ini disebabkan oleh lapangan usaha yang ada sebagian besar tidak memiliki izin

dan pengamanan antisipasi terjadinya kebakaran yang terkait dengan tolok ukur yang

ada. Oleh karena itu, variabel ini mendapat nilai 0 di wilayah penelitian.

4.3.5 Rekapitulasi Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Potensi Sumber Bahaya
Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara

Berdasarkan penjelasan berupa pengidentifikasian tolok ukur dan variabel

penentu sumber datangnya api (H) di Kecamatan Tanjung Balai Utara untuk penilaian

sumber datangnya api di kawasan pemukiman padat Kecamatan Tanjung Balai Utara.

(tabel 4.12).

Tabel 4.12 Penilaian Terhadap Variabel Sumber Bahaya Kebakaran di Kecamatan


Tanjung Balai Utara
VARIABEL TOLOK UKUR PENILAIAN
Kondisi instalasi yang buruk 0
Banyaknya sambungan listrik dalam satu tiang
KP 0
pelayanan
Kondisi kabel listrik yang jauh dari keamanan 0
KRAPKA Fisik tempat tinggal bermaterial tidak standar 0
Minimalisasi memakai penerangan non-
1
listrik
Pembuangan puntung rokok sembarangan yang masih
DHB 0
menyala
Pemakaian peralatan listrik bersifat kebutuhan dasar
0
yang minim fasilitas keamanan barang
Rendahnya nilai pendapatan masyarakat setempat 0
AE Membuka lapangan usaha yang memicu terjadinya
0
kebakaran
Jumlah Nilai Variabel Sumber Bahaya Kebakaran (H) 1

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan rekapitulasi variabel penentu datangnya api di Kecamatan Tanjung

Balai Utara berjumlah 1. Hal ini menjelaskan bahwa sumber bahaya kebakaran di

Kecamatan Tanjung Balai Utara sangat tinggi karena nilai 9 adalah nilai tertinggi

variabel berstatus sumber bahaya kebakaran terendah (lingkungan padat pemukiman

jauh dari sumber bahaya kebakaran); sedangkan nilai 0 adalah nilai terendah variabel

namun berstatus sumber bahaya tertinggi (lingkungan padat pemukiman yang dekat

sekali dengan sumber bahaya kebakaran).

4.4 Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Kerentanan Bahaya
Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan Tanjung Balai
Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV)

Pada sub bab ini akan dilakukan analisis dengan cara identifikasi serta penilaian

tolok ukur dan variabel kerentanan (V) bahaya kebakaran atas pengaruh yang

menyebabkan munculnya api berdasarkan teori-teori ruang perkotaan yang didukung

dengan acuan referensi tentang ketetapan pernyataan yang berkaitan dengan

kerentanan terjadinya kebakaran.

4.4.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya
kebakaran menurut kondisi Pemukiman (KP)

Berdasarkan referensi melalui kolektif yang berasal dari lembaga baik secara

instansi dan perorangan yang terungkap sebagai identifikasi awal pada bab

sebelumnya, rumusan aspek kerentanan kebakaran menurut kondisi pemukiman di

dominasi oleh kualitas konstruksi dan fisik bangunan yang tidak standar atau

memakai material bermutu rendah.

Universitas Sumatera Utara


Menurut fakta yang terdapat di wilayah penelitian, populasi perumahan yang

bersifat non-konvensional mendominasi disbanding perumahan yang bersifat

konvensional. Fakta ini dapat kita lihat lingkungan perumahan yang berada di

sepanjang pinggiran muara di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan

lingkungan perumahan yang terdapat di pinggiran sepanjang rel kereta di Wilayah

Keluarahan Tanjung Balai Kota IV seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Dari gambar 4.10 terlihat kondisi kualitas rumah-rumah yang ditampilkan

terbuat dari material dibawah standar, idengan tingkat kepadatan pemukiman di

wilayah studi terlalu tinggi. Oleh karena itu, kerentanan yang memudahkan

penyebaran terjadinya kebakaran yang meluas disebabkan oleh fisik pemukiman

masyarakat yang tidak standard dan berkualitas rendah.

kondisi fisik bertinggal di wilayah kondisi fisik bertinggal di wilayah Kelurahan


Kelurahan Tanjung Balai Kota III, rumah- Tanjung Balai Kota IV, rumah-rumah menempel
rumah terbuat dari material dibawah pada bangunan kantor kereta api yang telah usang
standar yang sangat mudah terbakar denga material tidak standar
sehingga teerlalu rentan terjadinya
kebakaran

Gambar 4.10 Rentannya Kualitas Fisik Pemukiman Terhadap Kebakaran


Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


Adapun tempat bernaung layak bertinggal sebagai tolok ukur adalah, berdirinya

fisik tempat tinggal yang terbuat dari struktur dan dinding beton serta penutup atap

yang tidak mudah terbakar seperti rangka baja dan tutupan genteng. Namun

perbaikan kualitas material standar fisik tempat tinggal masyarakat tersebut sulit

dicapai karena mereka masyarakat berpenghasilan rendah.

Berdasarkan penjelasan yang dilakukakn dalam konteks ini dapat diambil

kesimpulan bahwa variabel kerentanan bahaya kebakaran dalam lingkup kondisi

pemukiman bernilai 0.

4.4.2 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan


terjadinyakebakaran menurut kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya
(KRAPK)

Variabel kerentanan terjadinyua kebakaran menurut kelompok rumah atas

prioritas dan kebutuhannya biasanya dialami oleh kelompok masyarkat yang berstatus

bridgeheader. Kelompok ini pasti selalu memanfaatkan peluang pendapatan yang ada

karena tidak memiliki keahlian. Kurangnya tingkat keahlian yang ada disebabkan

karena mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kapital atau modal yang

dimiliki oleh mereka adalah tenaga sebagai imbal jasa dalam meraih penghasilan.

Populasi mereka sangat mendominasi di wilayah perkotaan.

Untuk masyarakat perkotaan wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III,

mendapatkan penghasilan yang sangat mudah dapat dijalani sebagai buruh nelayan.

Menurut informasi yang ada di lapangan, mereka secara umum untuk mendapatkan

pengahasilan tanpa memerlukan pendidikan dan keahlian standar dengan membantu

Universitas Sumatera Utara


para nelayan di lautan. Tentang bagaimana spesifikasi pekerjaan nantinya secara

langsung akan terpraktikkan secara praktis disaat proses aktivita nelayan berlangsung.

Sebagai imbalannya, mereka akan mendapatkan hasil tangkapan di laut dan persentasi

hasil penjualan penangkapan ikan di pelelangan ikan dengan nilai yang sedikit.

Namun penghasilan di peroleh tergantung dari hasil pendapatan yang raih saat proses

ber-nelayan yang sudah mulai terdapat kesulitan.

Menurut Keterangan Kepala Camat Kecamatan Tanjung Balai Utara, aktivitas

nelayan dalam meraih pendapatan terdapat kesulitan karena para nelayan yang ada

bertindak untuk memetakkan perairan laut yang ada sebagai ke-absahan dalam

bernelayan atau terdapat batasan ruang dalam menangkap ikan. Walau permasalahn

ini sudah ditangani oleh pihak yang berwenang, namun kepala camat juga tidak

menjamin apakah permasalahan tersebut terselesaikan di lapangan.

Para nelayan yang mampu mengumpulkan pendapatannya hanya mampu untuk

membeli kapal kecil yang memiliki kekuatan terbatas di arena laut. Sehingga dapat

dipastikan bahwasanya seluruh nelayan yang terdapat di Kelurahan Tanjung Balai

Kota III mengalami permasalahan tersebut. Terdapat pemikiran bahwa pemilik kapal

saja menemukan kesulitan pendapatan saat mencari penghasilan, apalagi sesorang

yang berstatus sebagai buruh di atas kapal nelayan tersebut.

Waktu bekerja mereka tidak menentu tergantung dari hasil penangkapan yang

diraih. Kemudian proses daur hari mereka juga berada di atas kapal. Sehingga

terbentuklah citra terhadap tempat tinggal mereka yang hanya sebagai tempat

istrirahat belaka atau sebagai tempat berteduh istri dan anak-anaknya. Bagaimana

Universitas Sumatera Utara


tentang kualitas fisik bertinggal mereka akan terlihat pada gambar 4.11 yang

merupakan citra masyarakat berpenghasilan rendah dari sisi tempat tinggal di wilayah

kelurahan Tanjung Balai Kota III.

kondisi fisik bertinggal masyarakat berpenghasilan rendah sangat rentan menimbulkan dan
menjadi penghantar terjadinya kebakaran ke rumah-rumah sekitarnya yang menyebabkan
proses kebakaran menjadi meluas
Gambar 4.11 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat Tinggal di
Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III
Sumber: Observasi, Mei 2011

Sedikit berbeda dengan kondisi masyarakat berpenghasilan rendah yang berada

di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV. Waktu kerja mereka nyaris tetap

karena pada umumnya mereka bekerja sebagai buruh di area perdagangan. Wilayah

kota Kelurahan Tanjung Balai Kota IV terdapat pasar atau pusat perdagangan

tradisional dan konvensional, seperti pasar daerah yang melayani kebutuhan sehari-

hari dan toko-toko perlengkapan lainnya. Wilayah ini juga berdekatan dengan pusat

perdagangan pakaian bekas (monza) yang berada di Kelurahan Matahalasan,

sehingga masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta terbatasnya

keahlian dapat mencari penghasilan disana.

Universitas Sumatera Utara


Masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah Keluarahan Tanjung Balai Kota

IV berdempetan mendiami tempat tinggal di pinggiran rel kereta api atau tepatnya

mengisi ruang kosong sebagaian bidang lahan stasiun Kereta Api Kota Tanjung

Balai. Menurut Kepala Camat Kecamatan Tanjung Balai Utara, keberadaan tempat

tinggal mereka diragukan keabsahannya kerena menduduki lahan yang dimiliki oleh

PT. KAI. Oleh karena itu terjadi penciptaan ruang permukiman yang tidak tertata atau

terencana secara sepihak yang hendak bertinggal di wilayah tersebut dengan fisik

tempat tinggal yang tidak standar. Berikut citra bertinggal mereka yang dapat

diterjemahkan atas nilai penghasilan yang dimiliki sebagai masyarakat kelompok

rumah atas prioritas dan kebutuhannya dengan melihat gambar 4.12.

kondisi fisik bertinggal masyarakat salah satu aktivitas ekonomi sekitar tempat
berpenghasilan rendah di wilayah tinggal mereka sebagai ceruk pendapatan bagi
Kelurahan Tanjung Balai Kota IV yang masyarakat berpenghasilan rendah yang
rentan terjadinya proses kebakaran melahirkan citra buruk terhadap kualitas fisik
tempat tinggalnya
Gambar 4.12 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat Tinggal di
Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV
Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan data statistik yang telah ditampilkan pada sub bab sebelumnya

menjelaskan bahwa Wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara memiliki tingkat

kepadatan populasi penduduk yang sangat tinggi dibanding dengan luas wilayah yang

ada. Penjelasan secara empiris tersebut karena tutupan lahan lebih luas dibanding

ruang terbuka. Potensi yang dimiliki wilayah menjadi magnet bagi masyarakat untuk

berkarya dalam memanfaatkan segala ceruk ekonomi yang ada.

Atas kondisi tersebut seperti terlihat pada gambar 4.13 kantung-kantung

permukiman yang tidak tertata atau terencana. Rumah-rumah berdiri saling

berdempetan hingga melahirkan jalan-jalan kecil (gang atau jalan tikus) sebagai

sarana pencapaian antar rumah dan dari rumah menuju lokasi karya. Selain itu juga

terdapat ruang kosong yang dikelilingi deretan rumah-rumah tak terencana yang

dapat dimanfaatkan anak-anak untuk bermain dan berkumpul. Sedangkan aktivitas

sosialisasi antar tetangga yang pada umumnya dilakukan oleh ibu-ibu dapat dilakukan

dengan bertandang ke teras-teras rumah tetangga.

Ungkapan kondisi tersebut menjelaskan pada kita bahwa akan mempersulit bagi

armada kebakaran ke lokasi sasaran terjadinya kebakaran, sehingga menjalarnya api

pada rumah yang lain akan terjadi dalam waktu yang singkat. Menurut keterangan

melalui wawancara dengan petugas pemadaman kebakaran daerah setempat untuk

mencapai sasaran terjadinya kebakaran dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan

bangunan tinggi di sekitar wilayah terjadinya kebakaran. Cara lain yang dapat

dilakukan petugas yaitu dengan menambah kapasitas panjang pipa penyemprotan air

Universitas Sumatera Utara


agar mempermudah pencapaiannya ke lokasi kebakaran walau tekanan air menjadi

berkurang.

Maka variabel kerentanan dalam lingkup kelompok rumah atas prioritas dan

kebutuhannya yang terkait dengan lokasi permukiman terlalu padat diberikan nilai 0,

sebab lingkungan permukiman yang terbentuk tidak menyediakan ruang sirkulasi

armada kebakaran dalam mencapai lokasi kebakaran serta mempermudah meluasnya

api membakar rumah-rumah di sekitarnya.

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap masayarakat berpenghasilan

rendah terhadap kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya dalam lingkup

kerentanan terjadinya kebakaran mendapat nilai 0.

Adapun tolok ukur dalam menyelesaikan permasalahan pada konteks ini sangat

kompleks, yaitu tidak hanya perbaikan terhadap kualitas fisik tempat tinggal mereka

saja, namun juga tersedia luasnya lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan

kesejahteraan hidup mereka. Istilah citra mengandung makna dialektik atau

pergumulan penyelesaian permasalahan yang saling berpengaruh, atau penyelesaian

satu permasalahan akan dapat diselesaikan bila permasalahan lain yang

melingkupinya juga turut diproses untuk diselesaikan.

Universitas Sumatera Utara


1 5

1.posisi rumah yang saling berhadapan terpisah


dengan jalan setapak dengan muatan sirkulasi hanya
untuk dua orang berselisih jalan.
2.lingkungan perumahan dengan letak yang tidak
tertata.
3.anak-anak memanfaatkan lahan kosong yang ada
ditengah-tengah kepadatan dempetan rumah.
4.akses jalan local yang tidak memadai untuk
4 memeroses percepatan pemadaman kebakaran oleh
damkar.
5. jalan tikus atau gang senggol yang hanya dapat
dilalui oleh satu orang.

Gambar 4.13 Kondisi Lingkungan Permukiman Padat Penduduk


Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


4.4.3 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya
kebakaran menurut daur hari bertinggal (DHB)

Pada kegiatan dalam identifikasi yang terkait dengan daur hari bertinggal

terlingkup terhadap kerentanan terjadinya kebakaran pada bab sebelumnya tidak

terdapat variabel yang dilahirkan. Namun setelah menjalani studi observasi di

lapangan serta dengan beberapa hasil wawancara yang dihasilkan ternyata

menandung tingkat kerentanan terjadinya kebakaran terutama terhadap perluasan

ruang yang terbakar di lingkungan wilayah studi.

Masyarakat pekerja yang ada di lingkungan permukiman pada pagi hingga

sore hari pada umumnya di lokasi karya, maka masyarakat yang bertinggal di tempat

tinggal di dominasi oleh kaum ibu dan anak-anak. Daur hari ibu rumah tangga dan

anak-anak sebelum dan pulang sekolah di tempat tinggal biasanya mengerjakan

pekerjaan rumah tangga. Atas kondisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa

masyarakat yang berada di tempat tinggal akan memadati lingkungan permukiman di

malam hingga pagi hari.

Kegiatan analisis dalam melihat kapasitas populasi masyarakat bertinggal di

lingkungan permukiman akan menentukan percepatan atau lambatnya perluasan saat

terjadinya kebakaran. Hal ini menjadi pembahasan karena kondisi kebakaran yang

terjadi di malam hingga pagi hari dan pagi hingga sore hari memiliki penanganan

pemadaman yang berbeda tergantung jumlah populasi masyarakat yang berada di

lingkungan permukiman. Dengan pernyataan bahwa semakin tinggi jumlah populasi

masyarakat di lingkungan permukiman, maka waktu pemadaman penyebaran api juga

Universitas Sumatera Utara


akan semakin cepat karena volume air yang dikerahkan dalam pemadaman akan

semakin besar. Begitu juga sebaliknya, bila kebakaran terjadi di pagi hingga sore hari

maka pemadaman kebakaran akan berjalan lambat karena populasi masyarakat yang

berada di lingkungan permukiman akan sedikit serta sedikitnya volume air yang

dikerahkan untuk pemadaman api akan semakin sulit.

Hal ini dibuktikan dengan melihat kembali tabel peristiwa kebakaran di

Kecamatan Tanjung Balai Utara di Jalan D.I. Panjaitan G. Amal pada tanggal 7

Desember 2009 telah membakar tujuh unit rumah (unit terbanyak dari peristiwa

lainnya) yang terjadi di pagi hari, tepatnya pada waktu 09.19 WIB. Dengan tingginya

tingkat kepadatan penduduk akan memudahkan perluasan api, dan hal ini hanya dapat

di atasi dengan cara kebersamaan masyarakat bersama-sama untuk meredam laju

perluasan api atas volume air sejalan dengan populasi masyarakat yang sedang

bertinggal di permukiman.

Setelah menganalisis tingkat kerentanan kebakaran dalam lingkup daur hari

bertinggal yang dikaitkan dengan jumlah populasi yang sedang bertinggal di

lingkungan permukiman turut menentukan perluasan penyebaran api di saat

terjadinya kebakaran, lokasi wilayah studi mendapat nilai 0 sebab populasi

masyarakat bertinggal di waktu pagi hingga sore hari lebih sedikit dibanding dengan

populasi masyarakat di waktu malam hingga pagi hari yang melahirkan tingkat

kerentanan perluasan kebakaran yang cukup tinggi.

Universitas Sumatera Utara


4.4.4 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya
kebakaran menurut aktivitas ekonomi (AE)

Menurut identifikasi awal yang berasal dari referensi yang ada pada bab

sebelumnya, variabel kerentanan kebakaran dalam lingkup aktivitas ekonomi di

dominasi dengan pemikiran tentang rendahnya penghasilan atau pendapatan

masyarakat. Sebab, nilai pendapatan dibawah rata-rata membuat masyarakat

berpenghasilan rendah tidak mampu meningkatkan kualitas atau kesejahteraan

hidupnya, melainkan hidup hanya untuk makan dan tidak ada alokasi dana untuk

membenahi sesuatu yang dapat mengancam terjadinya bahaya kebakaran di tempat

tinggalnya.

Dengan adanya fakta yang telah dikemukakan sebelumnya tentang citra yang

diambil dari tempat tinggal mereka dapat menginterpretasikan sebagai analisis

dengan pemikiran yang tidak jauh berbeda bahwa pendapatan ekonomi atau

penghasilan mereka berpengaruh besar terhadap kerentanan terjadinya kebakaran

pada tempat tinggal mereka. Lingkungan pemukiman yang berada di sepanjang

pinggiran muara di Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan deretan rumah-rumah yang

berada di sepanjang pinggiran rel kereta api di Keluarahan Tanjung Balai Kota IV

merupakan terjemahan citra kerentanan yang ada yang berasal dari hasil aktivitas

ekonomi mereka. Oleh karena itu, variabel kerentanan terjadinya kebakaran menurut

aktivitas ekonomi mendapat nilai 0.

Universitas Sumatera Utara


4.4.5 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan bahaya kebakaran di
kecamatan Tanjung Balai Utara

Berdasarkan penjelasan berupa pengidentifikasian tolok ukur dan variabel

kerentanan kebakaran (V) di Kecamatan Tanjung Balai Utara, maka pada tabel 4.13

dijelaskan tentang penilaian rentannya bahaya kebakaran di kawasan pemukiman

padat Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Tabel 4.13 Penilaian Terhadap Variabel Kerentanan Kebakaran di Kecamatan


Tanjung Balai Utara
VARIABEL TOLOK UKUR PENILAIAN
Kondisi fisik tempat tinggal terdiri dari
KP 0
material dibawah standar
Masyarakat berpenghasilan rendah,
pendidikan rendah dan keahlian yang 0
rendah
KRAPKA
Lingkungan permukiman berderetan
0
mempermudah penyebaran api
Kapasitas pemukiman yang terlalu padat 0
Terjadinya kebakaran dan cepat meluas
disaat populasi masyarakat di lingkungan
DHB 0
permukiman menurun karena berada di
lokasi karya
Penghasilan yang didapat hanya mempu
AE untuk kebutuhan sehari-hari atau tidak 0
memiliki keuangan cadangan
Jumlah Nilai Variabel Kerentanan Bahaya Kebakaran (V) 0

Berdasarkan rekapitulasi variabel kerentan bahaya kebakaran (V) di Kecamatan

Tanjung Balai Utara berjumlah 0. Hal ini menjelaskan bahwa kerentanan bahaya

kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara sangat tinggi; karena nilai 6 adalah

nilai tertinggi variabel berstatus kerentanan bahaya kebakaran terendah (lingkungan

padat pemukiman jauh dari kerentanan bahaya kebakaran); sedangkan nilai 0 adalah

Universitas Sumatera Utara


nilai terendah variabel namun berstatus sangat rentan terjadinya bahaya kebakaran

(lingkungan padat pemukiman yang sangat rentan sekali terhadap bahaya kebakaran).

4.5 Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Ketahanan


Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan Tanjung Balai
Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV)

Pada studi literatur yang telah dirumuskan pada bab 2, semua pemikiran tertuju

kepada pebijak atau pemerintah untuk menyediakan dan menyiapkan yang berisi

tentang kelengkapan fasilitas sarana dan prasarana dalam menanggulangi kebakaran

serta proses evakuasi di saat terjadinya bencana kebakaran. Selain itu jajaran

pemerintah juga dituntut untuk mempersiapkan penanggulangan kebakaran secara

struktural (strukturasi kemasyarakatan) dari tingkat pusat ke masyarakat lokal.

Adapun fasilitas yang sangat terkait memberi pengaruh dalam nilai ketahanan

saat mengahadapi dari awal terjadinya kebakaran hingga proses evakuasi seperti

armada pemadaman kebakaran, titik-titik hidran aktif yang tersebar di seluruh

wilayah, rumah sakit dan para medis dan non medis daerah sebagai proses perawatan

dan pengobatan korban bencana kebakaran, peringatan dini, sarana komunikasi yang

meluas, sarana perhubungan dan infrastruktur, serta tersedianya tandon air sebagai

cadangan air permanen yang dapat digunakan sewaktu terjadinya proses kebakaran.

Berikut ini kita akan merumuskan variabel-variabel yang terkait dengan nilai

ketahanan terhadap terjadinya kebakaran dalam lingkup badan sosial kemasyarakatan

(BSK) dalam lingkup kebijakan pemerintah sebagai substansi strukturasi sosial

masyarakat dan nilai budaya msyarakat setempat. Sebab dengan kebijakan yang di

Universitas Sumatera Utara


keluarkan pemerintah akan melahirkan fasilitas-fasilitas berupa tindakan penyediaan

dan pembangunan infrastruktur yang dapat mengahambat terjadinya kebakaran serta

mempercepat pemadaman kebakaran yang sedang berlangsung; dan nilai budaya

masyarakat setempat akan melahirkan tindakan yang cepat dalam menangani masalah

kebakaran.

4.5.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel ketahanan terhadap
terjadinya kebakaran menurut badan sosial kemasyarakatan (BSK)

Adapun fasilitas yang dapat menghambat terjadinya kebakaran dan

mempercepat pemadaman kebakaran yang sedang berlangsung akan melahirkan

variabel-variabel sebagai berikut.

4.5.1.1 Armada kebakaran daerah

Menurut observasi lapangan yang dihasilkan, saat ini Kota Tanjung Balai

memiliki tujuh unit mobil pompa yang dilengkapi dengan selang dan nozel. Walau

umur mobil pompa tersebut rata-rata sudah mencapai ±10-20 tahun, namun kondisi

armada mobil tersebut siap operasi dan sudah banyak jasanya dalam meredam dan

memadamkan kebakaran di wilayah setempat termasuk terjadinya kebakaran di

Kecamatan Tanjung Balai Utara seperti terlihat pada gambar 4.14.

Jumlah keseluruhan personil armada kebakaran yang siap bekerja di lapangan

kejadian kebakaran berjumlah 18 personil, 2 personil bertugas piket di pos armada

kebakaran dan 16 personil siap siaga bekerja saat terjadi kebakaran. Sebagai upaya

untuk mempertahankan kapasitas personil agar mampu siap siaga setiap waktu untuk

Universitas Sumatera Utara


mengantisipasi terjadi kebakaran, maka hari libur umum dan libur hari besar jumlah

personil yang tetap siaga diupayakan berjumlah 12 personil dengan satuan tugas yang

standar. Semua personil telah mengikuti dan memiliki standar tata cara pemadaman

kebakaran yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dalam jangka waktu setahun

sekali, sehingga dapat dipastikan bahwa personil armada kebakaran di wilayah studi

telah memiliki kecakapan yang cukup untuk memadamkan proses terjadinya

kebakaran.

Pada sisi lain, armada kebakaran di wilayah setempat tidak memiliki fasilitas

pemadaman jenis kebakaran bahan cairan yang mudah terbakar seperti minyak, jenis

kebakaran listrik dan jenis kebakaran logam; melainkan hanya dapat memadamkan

jenis kebakaran biasa atau kebakaran yang disebabkan oleh bahan-bahan umum yang

mudah terbakar seperti kayu, pakaian dan kertas. Seperti yang telah dibahas pada bab

sebelumnya bahwa ketiga jenis pemadaman ini memerlukan alat pemadaman CO2

dan bubuk kimia kering; dan armada kebakaran wilayah setempat tidak memeiliki

fasilitas ini.

Walaupun begitu, dengan pengamatan yang dilakukan, lokasi penelitian

hampir tidak terdapat rumah produksi yang terkait dengan bahan-bahan kimia,

melainkan kapasitas ruang yang ada hanya dipenuhi oleh lingkungan pemukiman

masyarakat berpenghasilan rendah yang hanya menganggap rumah sebagai tempat

istirahat belaka seperti yang telah diungkap pada pembahasan sebelumnya.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dipaparkan, maka variabel dalam

konteks ini dapat dirumuskan bahwa armada kebakaran yang ada di wilayah setempat

Universitas Sumatera Utara


berkondisi baik dan taat guna karena mampu memadamkan kejadian kebakaran

dengan fasilitas dan keahlian yang cukup. Oleh karena itu variabel ini mendapat nilai

1.

pos armada kebakaran yang siap Salah satu kondisi armada kebakaran yang
operasional kapanpun dan dimanapun sudah berumur ±29 tahun (tahun pembuatan
siap ke lokasi kejadian kebakaran untuk 1982) yang kondisinya masih baik dan siap
memadamkan kebakaran operasional

salah satu fasilitas mobil armada kebakaran


salah satu fasilitas mobil armada yang memiliki pengaturan tekanan air yang
kebakaran yang memiliki pompa air dapat disesuaikan dengan tingkat kesulitan
yang mampu nenyemprotkan air dalam
pemadaman kebakaran
jarak 20-30 meter

Gambar 4.14 Fasilitas Armada Kebakaran di Kota Tanjung Balai


Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


4.5.1.2 Rumah sakit daerah

Rumah sakit daerah Kota Tanjung Balai merupakan rumah sakit klasifikasi

C yaitu rumah sakit yang memiliki daya tampung dibawah 500 orang dengan fasilitas

yang mampu menangani permasalahan kesehatan umum. Analisis keberadaan rumah

sakit setempat merupakan salah satu faktor fasilitas yang dapat member harapan

keberlanjutan kehidupan masyarakat termasuk korban bencana kebakaran.

Adapun fasilitas tenaga medis dan non-medis yang terdapat di rumah sakit

daerah wilayah penelitian yaitu dokter umum 23 orang, dokter spesialis 14 orang,

perawat (medis) 135 orang termasuk bidan dan tenaga non-medis 35 orang.

Sedangkan jumlah kesiapan tenaga medis seperti jumlah dokter jaga 14 orang, jumlah

dokter praktek 14 orang, jumlah dokter terbang 5 orang yang berpendidikan spesialis.

Daya tampung ruang unit gawat darurat (UGD) 6 orang dan daya tamping rawat inap

sebanyak 115 orang. Fasilitas rumah sakit yang mampu menangani masalah

kesehatan meliputi UGD 24 jam, ambulan, incenerator, IPAL, laboratorium, rontgen,

farmasi, instalasi jenazah, instalasi gizi, kamar bedah, kamar bersalin, pojok TBC,

askes centre, mobile x-ray, USG 4D dan racun api portable yang tersebar di beberapa

titik ruang rumahsakit daerah sebagai alat tindakan pertama bila terjadinya kebakaran.

Sedangkan fasilitas obat-obatan yang dimiliki rumah sakit daerah setempat

meliputi obat-obatan emergensi, obat-obatan esensial, obat-obatan generic, bahan abis

pakai dan bahan anestesi. Dan unit ambulan yang dimiliki sebagai percepatan

penanganan masalah kesehatan, rumah sakit daerah memiliki 5 unit ambulan; 3 unit

ambulan layak operasional dan 2 unit ambulan tidak layak pakai.

Universitas Sumatera Utara


Lokasi rumah sakit daerah dari lingkungan pemukiman kota Kelurahan

Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV sekitar ±2,5 km. Jarak

antara rumah sakit daerah dan lingkungan pemukiman sebagai wilayah studi mudah

untuk dijangkau dan mudah dicapai oleh korban bencana kebakaran. Menurut

keterangan yang didapat, pihak rumah sakit sangat berapresiasi untuk menangani

korban-korban missal termasuk korban bencana kebakaran sehingga dengan adanya

keberadaan rumah sakit daerah tersebut akan memberikan nilai ketahanan yang baik

terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat yang menjadi korban bencana

kebakaran.

Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukakan, keberadaan rumah sakit

daerah cukup baik untuk beroperasi dalam menangani korban bencana kebakaran

baik ditinjau dari segi fasilitas peralatan dan fasilitas tenaga medis dan non-medis.

Oleh karena itu, variabel ini mendapat nilai 1 karena mampu memberikan ketahanan

dalam menghadapi bencana kebakaran yang terjadi.

4.5.1.3 Sarana komunikasi

Sarana komunikasi adalah salah satu tolok ukur sebagai alat mempercepat

pemadaman kejadian kebakaran, sebab dengan adanya alat telekomunikasi peristiwa

kebakaran dapat dilaporkan dengan cepat kepada Dinas Kebakaran Daerah setempat.

Menurut observasi yang telah dilakukan di wilayah setempat, tidak terdapat sarana

telekomunikasi seperti telepon umum yang disediakan oleh PT. Telkom di

lingkungan pemukiman padat penduduk di Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan

Universitas Sumatera Utara


Kelurahan Tanjung Balai Kota IV Kecamatan Tanjung Balai Utara. Kantung-kantung

alat telekomunikasi hanya ada di beberapa titik perkantoran pemerintah yang letaknya

jauh dari lingkungan pemukiman wilayah studi.

Alat komunikasi yang lain yang dapat melaporkan informasi peristiwa

kebakaran seperti handphone atau telepon selular pada umumnya dimiliki oleh

masyarakat setempat. Walau populasi masyarakat setempat yang memiliki alat

komunikasi dibawah 35%, namun informasi kejadian kebakaran tetap cepat sampai

pada Dinas Kebakaran Daerah setempat seperti kejadian-kejadian kebakaran

sebelumnya menurut wawancara yang telah dilakukan dengan warga setempat.

Kepemilikan alat komunikasi bagi mereka hanya bersifat kebutuhan bukan

amenitas, sehingga pemakaiannya hanya sebatas dipergunakan bila sangat diperlukan.

Oleh karena itu, variabel ini bernilai -1 sebab fasilitas alat komunikasi umum tidak

terdapat di wilayah pemukiman padat dan hanya mengandalkan alat komunikasi yang

dimiliki oleh masyarakat setempat.

4.5.1.4 Sarana perhubungan dan infrastruktur

Sarana perhubungan darat seperti angkutan kota (mini bus) lokal terdapat di

pusat aktivitas ekonomi Kota Tanjung Balai yang berjarak ±0,5-2 km dari lingkungan

pemukiman Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan ±0,1-0,5 km dari lingkungan

pemukiman Kelurahan Tanjung Balai Kota IV. Sarana perhubungan darat yang lain

pada umumnya menyebar berdekatan dengan lingkungan pemukiman wilayah studi

seperti ojek dan becak motor. Dengan adanya sarana perhubungan khususnya

Universitas Sumatera Utara


perhubungan darat akan memudahkan masyarakat untuk melakukan pertolongan

pertama kepada korban bencana kebakaran yang akan di rujuk ke rumah sakit

terdekat.

Sedangkan sarana infrastruktur seperti kondisi jalan yang baik dan mudah

dilalui pada umumnya berkondisi baik. Dengan adanya sarana jalan yang baik akan

memudahkan masyarakat untuk mobilisasi segala keperluan dan menyelesaikan

masalah dalam menangani pemadaman kebakaran.

Berdasarkan analisis, variabel dalam konteks ini sangat mendukung

ketahanan dalam proses pemadaman kebakaran karena sarana perhubungan khusunya

perhubungan darat dan sarana jalan berkondisi baik dan mampu menjawab

permasalahan yang dihadapi saat terjadinya proses kebakaran. Oleh karena itu,

variabel ini mendapat nilai 1.

4.5.1.5 Sumber air bukan hidran

Selain hidran, pasokan air untuk keperluan pemadaman kebakaran diperoleh

dari dua sumber yaitu sumber alam dan sumber buatan. Sumber alam seperti kolam

air, danau, sungai, jeram, sumur dalam, dan irigasi. Sedangakan sumber air buatan

seperti tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur, reservoir dan mobil

tangki air (Kepmen PU No.11 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen

Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan).

Sumber air bersih yang diperoleh oleh Kecamatan Tanjung Balai Utara

berasal dari PDAM. Kualitas sumber air yang ada kurang baik dan memiliki debit air

Universitas Sumatera Utara


yang normal menurut informasi yang didapat dari warga setempat. Sehingga sumber

air buatan yang dimiliki oleh masyarakat Kecamatan Tanjung Balai Utara tidak dapat

diandalakan sebagai alat untuk memadamkan kebakaran.

Sedangkan sumber air alam berdekatan dengan lokasi pemukiman

Kelurahan Tanjung Balai Kota III karena lokasi pemukiman mereka terletak di

sepanjang pinggiran muara, sehingga air muara tersebut dapat dipergunakan untuk

memadamkan api bila terjadi kebakaran. Selain itu, sumber air alam seperti sumur

dalam terdapat di beberapa titik Kelurahan Tanjung Balai Kota IV, namun kondisinya

tidak dapat dipastikan apakah mencukupi untuk memenuhi pasokan air saat

menghadapi volume kebakaran yang ada. Oleh karena itu, terdapat kesulitan bagi

masyarakat Kelurahan Tanjung Balai Kota IV untuk mendapatkan kapasitas air yang

siap digunakan untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di wilayah ini, karena

persediaan air yang ada hanya sumber air buatan yang hanya dapat dipakai untuk

kebutuhan hidup sehari-hari seperti terlihat pada gambar 4.15.

sumur ini disediakan untuk membersihkan penggerak (lokomotif) kereta api


yang letaknya di lokasi rel putar kereta api yang sudah tidak digunakan lagi.

Gambar 4.15 Kondisi Sumur Dalam di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV


Sumber: Observasi, Mei 2011

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan analisis, maka variabel ini untuk Kelurahan Tanjung Balai Kota

III mendapat nilai 1 sebab tolok ukur persediaan air untuk pemadaman kebakaran

dapat dilakukan dengan sumber air alam yang terdapat di muara dan variabel untuk

wilayah padat pemukiman seperti di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV mendapat

nilai -1 sebab tidak terdapat persediaan yang memadai, dan hanya mengandalkan

persediaan sumber air buatan (PDAM) yang kapasitasnya sebatas untuk kebutuhan

kehidupan sehari-hari. Sehingga secara keseluruhan, variabel ini mendapat nilai 0

sebagai hasil penjumlahan dari ke-dua kelurahan (Tanjung Balai Kota III dan

Tanjung Balai Kota IV) nilai variabel ketahanan kebakaran dalam lingkup sumber air

bukan hidran di Kecamatan Tanjung Balai Utara.

4.5.1.6 Sumber air hidran

Sumber air yang berasal dari hidran merupakan salah satu peralatan yang

sangat penting untuk digunakan saat terjadinya kebakaran di suatu wilayah. Sebagai

tolok ukur atas pembuktian ketahanan kebakaran, sumber air hidran akan dianalisis

melalui dua faktor yaitu berdasarkan keberadannya dan kondisinya di wilayah studi.

Menurut informasi dari Dinas Kebakaran Daerah setempat, hidran tersedia di seluruh

wilayah Kota Tanjung Balai sebanyak 6 unit yang tersebar disetiap kecamatan.

Sedangkan hidran yang terdapat di Kecamatan Tanjung Balai Utara terletak

wilayah Kelurahan Tanjung Balai Utara IV yang berlokasi di pusat aktivitas ekonomi

kota atau berdekatan dengan stasiun kereta api Kota Tanjung Balai. Atas kondisi ini,

satu unit hidran yang berada di Kecamatan Tanjung Balai Utara tidak mampu

Universitas Sumatera Utara


melayani kebakaran yang terjadi di wilayah tersebut karena unit yang terbatas akan

membutuhkan waktu penyerapan air yang sangat lama. Oleh karena itu, dalam sisi

keberadaan hidran yang terdapat di Kecamatan Tanjung Balai Utara mendapatkan

nilai -1 karena memiliki jumlah unit titik yang tidak dapat melayani kejadian

kebakaran yang ada.

Berikut tentang kondisi hidran ada, menurut keterangan dengan sumber yang

sama bahwa kondisi hidran baik secara kualitas material namun tidak dapat

digunakan karena tidak memiliki cadangan air. Kapasitas air yang ada apa hidran

merupakan pasokan air yang disediakan oleh PDAM. Kondisi ini disebabkan karena

penyediaan air bersih lebih diutamakan dibanding penyediaan air hidran karena

persediaan air bersih yang terbatas. Atas kondisi hidran yang ada, variabel ini

mendapat nilai -1 sebab tidak memiliki kapasitas air yang siap digunakan saat

terjadinya kebakaran di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Berdasarkan analisis, variabel mendapatkan nilai -2 sebagai hasil

penjumlahan faktor tolok ukur keberadaan dan kondisi hidran yang berada di wilayah

padat pemukiman di Kecamatan Tanjung Balai Utara. Maka dapat diambil

kesimpulan bahwa ketahanan kebakaran sangat rendah bila ditinjau dari sumber air

hidran yang ada di wilayah studi.

4.5.1.7 Peringatan dini

Pada setiap rumah yang ada di pemukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara

tidak disediakan sistem peringatan dini berupa alarm kebakaran. Alat peringatan dini

Universitas Sumatera Utara


terbagi menjadi dua bagian, yaitu alat peringatan dini elektronik dan konvensional.

Biasanya alat peringatan dini elektronik terdapat pada bangunan bertingkat salah

satunya seperti alarm lonceng otomatis. Alarm ini akan berbunyi ketika dengan

menekan tombol fungsinya oleh petugas atau pemakai gedung. Sedangkan alarm

konvensional seperti lonceng atau kentongan yang dipukul-pukul dengan irama

tertentu menandakan adanya bahaya yang terjadi di lingkungan mereka.

Lonceng atau kentongan terdapat di setiap keantor kelurahan, kantor

kecamatan dan tempat ibadah. Peringatan dini juga dapat mereka lakukan dengan

menggunakan pengeras suara yang ada di rumah ibadah sebagai informasi cepat

sampai dalam skala lokal.

Berdasarkan analisis tersebut, maka ketahanan kebakaran dalam lingkup

peringatan dini di Kecamatan Tanjung Balai Utara mendapat nilai 1 sebab peringatan

dini konvensional telah melahirkan pola komunikasi yang baik untuk bertindak cepat

dalam mengatasi kondisi kebakaran yang terjadi di lingkungan pemukiman mereka.

4.5.1.8 Keberadaan nilai budaya masyarakat

Penilaian terhadap kerentanan wilayah terhadap bahaya kebakaran dapat

dilihat melalui budaya masyarakat. Budaya masyarakat yang baik dapat menjadi

suatu ketahanan terhadap bahaya kebakaran. Tolok ukur yang digunakan dalam

menilai ketahanan kawasan pemukiman padat bahaya kebakaran adalah kepedulian

antar penduduk.

Universitas Sumatera Utara


Budaya gotong royong di sebagian besar lingkungan Kecamatan Tanjung

Balai Utara berkondisi sangat baik. Kesimpulan ini dihasilkan dari kegiatan pengajian

bersama (wirit) yang penyelenggaraannya digilir setiap malam jumat di masing-

masing rumah penduduk. Kemudian juga terdapat kegiatan jumat atau minggu bersih

yang di kordinasikan oleh kepala lingkungan kepada seluruh warganya. Selain itu di

wilayah studi terdapat kumpulan masyarakat STM (serikat tolong menolong) yang

beroperasi saat terjadinya musibah seperti meninggal dan musibah lainnya langsung

memberikan bantuan. Dengan adanya penyelenggaraan-penyelenggaraan yang

bersifat kebersamaan inilah menimbulkan rasa kekeluargaan antar sesama.

Berdasarkan keterangan yang ada diwilayah studi bahwa kejadian kebakaran

yang ada dimulainya tindakan pemadaman dilakukan oleh warga setempat. Seluruh

masyarakat yang ada bersama-sama berupaya untuk memadamkan kebakaran

semampunya seperti yang telah di kemukakan pada sub bab sebelumnya. Oleh karena

itu, variabel ini mendapat nilai 1 karena kondisi keberadaan budaya masyarakat

setempat bernilai baik dan dapat diandalkan kebersamaannya dalam memadamkan

kebakaran yang terjadi.

4.5.2 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel ketahanan bahaya kebakaran di
kecamatan Tanjung Balai Utara

Berdasarkan penjelasan berupa pengidentifikasian tolok ukur dan variabel

ketahanan kebakaran (C) di Kecamatan Tanjung Balai Utara, maka dibuat tabel 4.14

untuk penilaian ketahanan bahaya kebakaran di kawasan pemukiman padat

Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.14 Penilaian Terhadap Variabel Ketahanan Kebakaran di Kecamatan Tanjung
Balai Utara

VARIABEL TOLOK UKUR PENILAIAN


Operasional armada kebakaran daerah yang
1
layak
Jumlah personil damkar yang memadai dan
1
cakap dibidangnya
Kapasitas rumah sakit yang mampu
1
melayani jumlah korban bencana kebakaran
Jumlah tenaga medis dan non-medis yang
BSK
mampu menjawab permasalahan kesehatan 1
korban bencana kebakaran
Fasilitas peralatan rumah sakit yang lengkap 1
Persediaan obat-obatan yang cukup 1
Sarana komunikasi yang tidak memadai 0
Sarana perhubungan dan infarastruktur yang
1
tergolong baik
Sumber air bukan hidran 0
Sumber air hidran yang tidak berfungsi 0
Peringatan dini konvensional yang dapat
BSK 1
dimanfaatkan dengan baik
Keberadaan nilai sosial budaya masyarakat
1
yang baik
Jumlah Nilai Variabel Ketahanan Bahaya Kebakaran (C) 9

Berdasarkan rekapitulasi variabel kerentan bahaya kebakaran (V) di Kecamatan

Tanjung Balai Utara berjumlah 0. Hal ini menjelaskan bahwa ketahanan bahaya

kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara tertinggi bernilai 12 (terdiri dari 12

variabel); sedangkan nilai terendah ketahanan bahaya kebakaran bernilai 0 (tidak

memiliki nilai ketahanan bahaya kebakaran).

Jumlah ketahanan bahaya kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara adalah

9. Nilai ketahanan bahaya kebakaran (C) ini akan dikombinasikan dengan nilai

sumber bahaya kebakaran (H) dan nilai kerentanan bahaya kebakaran (V). kemudian

dilakukan penjumlahan sesuai dengan tata rumusan model Crunch (R=H+V-C).

Universitas Sumatera Utara


4.6 Tingkat Resiko Bencana Kebakaran Kawasan Padat Pemukiman
Kecamatan Tanjung Balai Utara

Untuk mengetahui besar kecilnya potensi bencana kebakaran di Kecamatan

Tanjung Balai Utara, maka berdasarkan pengidentifikasian serta penilaian variabel

dan tolok ukur sember datangnya api, kerentanan dan ketahanan terhadap api di

kawasan pemukiman padatdilakukan perhitungan nilai relative resiko bencana

kebakaran (R) dengan menggunakan model Crunch. Pada model Crunch (R=H+V-C),

tingkat resiko bencana suatu kawasan dapat diketahui berdasarkan jumlah nilai

potensi sumber bahaya yang ada (H), nilai kerentanan kawasan yang jika bertemu

dengan bahaya dapat menimbulkan bencana (V), serta bagaimana tingkat ketahanan

kawasan dalam menghadapi bahaya (C). Berdasarkan pengidentifikasian analisis

yang telah dilakukan pada sub bab sebelumnya maka pada tabel 4.15 merupakan hasil

penilaian relatif penentu tingkat resiko bencana kebakaran di kecamatan Tanjung

Balai Utara.

Tabel 4.15 Hasil Penilaian Relatif Penentu Tingkat Resiko Bencana Kebakaran di
Kecamatan Tanjung Balai Utara
VARIABEL TOLOK UKUR NILAI
Kondisi instalasi yang buruk 0
Banyaknya sambungan listrik dalam satu tiang
KP (independen) 0
pelayanan
Kondisi kabel listrik yang jauh dari keamanan 0
KRAPKA (dependen) Fisik tempat tinggal bermaterial tidak standar 0
Minimalisasi memakai penerangan non-listrik 1
Pembuangan puntung rokok sembarangan yang masih
0
DHB (independen) menyala
Pemakaian peralatan listrik bersifat kebutuhan dasar
0
yang minim fasilitas keamanan barang
Rendahnya nilai pendapatan masyarakat setempat 0
AE (dependen) Membuka lapangan usaha yang memicu terjadinya
0
kebakaran
Jumlah Nilai Variabel Sumber Bahaya Kebakaran (H) 1

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.15 (Lanjutan)
Kondisi fisik tempat tinggal terdiri dari material dibawah
KP (dependen) 0
standar
Masyarakat berpenghasilan rendah, pendidikan rendah
0
dan keahlian yang rendah
KRAPKA
Lingkungan permukiman berderetan mempermudah
(dependen) 0
penyebaran api
Kapasitas pemukiman yang terlalu padat 0
Terjadinya kebakaran dan cepat meluas disaat populasi
DHB (dependen) masyarakat di lingkungan permukiman menurun karena 0
berada di lokasi karya
Penghasilan yang didapat hanya mempu untuk kebutuhan
AE (dependen) sehari-hari atau tidak memiliki keuangan cadangan 0

Jumlah Nilai Variabel Kerentanan Bahaya Kebakaran (V) 0


Operasional armada kebakaran daerah yang layak 1
Jumlah personil damkar yang memadai dan cakap
1
BSK dibidangnya
Kapasitas rumah sakit yang mampu melayani jumlah
1
korban bencana kebakaran
Jumlah tenaga medis dan non-medis yang mampu
menjawab permasalahan kesehatan korban bencana 1
kebakaran
Fasilitas peralatan rumah sakit yang lengkap 1
Persediaan obat-obatan yang cukup 1
Sarana komunikasi yang tidak memadai 0
Sarana perhubungan dan infrastruktur yang tergolong
1
baik
Sumber air bukan hidran 0
Sumber air hidran yang tidak berfungsi 0
Peringatan dini konvensional yang dapat dimanfaatkan
1
dengan baik
Keberadaan nilai sosial budaya masyarakat yang baik 1
Jumlah Nilai Variabel Ketahanan Bahaya Kebakaran (C) 9
Sumber Analisis, 2011

Kemudian tabel 4.16 akan menunjukkan hasil penilaian tingkat resiko bencana

kebakaran berdasarkan jumlah nilai sumber datangnya api, kerentanan, dan ketahanan

terhadap bahaya kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.16 Penilaian Relatif Tingkat Resiko Bencana Kebakaran di Kecamatan
Tanjung Balai Utara
MODEL CRUNCH Jumlah Variabel Jumlah Nilai
Potensi sumber datangnya api (H) 9 1
Kerentanan terhadap bahaya kebakaran
6 0
(V)
Ketahanan terhadap bahaya kebakaran
12 9
(C)
Tingkat resiko bencana kebakaran
27 -8
(R) = (H) + (V) – (C)
Sumber Analisis, 2011

Nilai sumber bencana kebakaran (H+V) yang terendah (nyaris tidak memiliki

sumber bencana kebakaran) menurut variabel bernilai 15 (sesuai standar bernilai 1

per variabel); nilai sumber bencana kebakaran (H+V) yang tertinggi (sangat rentan

dengan sumber bencana kebakaran) menurut variabel bernilai 0 (tidak sesuai standar);

dan nilai ketahanan bencana kebakaran (C) tertinggi (mampu meredam bencana

kebakaran) menurut variabel bernilai 12; serta nilai ketahanan bencana kebakaran (C)

terendah (tidak mampu meredam bencana kebakaran) menurut variabel bernilai -12.

Ternyata, setelah adanya penjumlahan terhadap sumber bencana dan kerentanan

kebakaran terhadap ketahanan bencana kebakaran menghasilkan resiko bencana -8.

Untuk merumuskan tingkat resiko yang terjadi, akan digunakan rumus Sturges yaitu

k=1+3,322 log n (k=jumlah tingkat penerimaan; n=jumlah tolok ukur) sebagai alat

dalam melahirkan nilai relatif resiko bencana kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai

Utara dengan penjabaran sebagai berikut:

k = 1 + 3,322 log n

k = 1 + 3,322 log 27

Universitas Sumatera Utara


k = 1 + (3,322 x 1, 431)

k = 1 + 4,7 (dibulatkan menjadi 5)

k = 6 (jumlah interval)

Karena terdapat 27 tolok ukur, dengan nilai tertinggi 27 dan nilai terendah -

12, maka berdasarkan rumus Sturges, pada studi ini terdapat enam kelas dengan nilai

interval 9 (sembilan) yang dapat diketahui melalui pengurangan nilai tertinggi dengan

nilai terendah yang diperoleh dari hasil bagi jumlah kelas interval. Ke-enam kelas

interval tersebut adalah:

28 s/d 19 = tinggi (nyaris tidak memiliki potensi bahaya kebakaran)

18 s/d 10 = sedang (sedikit memiliki potensi bahaya kebakaran)

9 s/d 0 = rendah (memiliki potensi bahaya kebakaran)

-1 s/d -10 = cukup rendah (berpotensi bahaya kebakaran)

-11 s/d -20 = sangat rendah (sangat berpotensi terjadinya bahaya kebakaran)

-21 s/d -28 = paling rendah (paling berpotensi terjadinya bahaya kebakaran)

Tingkat potensi bencana kebakaran wilayah pemukiman pada di Kecamatan

Tanjung Balai Utara mendapat nilai -8, maka wilayah tersebut berstatus cukup rendah

(berpotensi bahaya kebakaran).

4.7 Kesimpulan

Kota Tanjung Balai merupakan satu wilayah perkotaan di Sumatera Utara

dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Hal ini mempengaruhi

tingkat resiko terhadap bahaya kebakaran, sebagaimana yang ditunjukan dari data

Universitas Sumatera Utara


hasil survey yang telah dilakukan. Kota Tanjung Balai memiliki 6 wilayah

kecamatan. Dipilihnya Kecamatan Tanjung Balai Utara sebagai kawasan studi

didasari oleh rasio perbandingan luas wilayah dengan kepadatan penduduk yang ada.

Dari rasio ini Kecamatan Tanjung Balai Utara memiliki luas wilayah yang terkecil

dengan tingkat kepadatan penduduk yang paling padat.

Untuk mengetahui besar kecilnya tingkat resiko bahaya kebakaran di

Kecamatan Tanjung Balai Utara, digunakan model Crunch: R=H+V-C, dimana R

adalah tingkat resiko kebakaran, H adalah potensi sumber datangnya api, V adalah

kerentanan terhadap bahaya kebakaran dan C adalah ketahanan terhadap bahaya

kebakaran. Tingkat resiko bencana suatu kawasan dapat diketahui berdasarkan

jumlah nilai potensi sumber bahaya yang ada (H), nilai kerentanan kawasan yang jika

bertemu dengan bahaya dapat menimbulkan bencana (V), serta bagaimana tingkat

ketahanan kawasan dalam menghadapi bahaya (C).

Berdasarkan pengidentifikasian analisis yang telah dilakukan, tingkat resiko

terjadinya bencana kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara menghasilkan

resiko bencana dengan nilai -8. Karena terdapat 27 tolok ukur, dengan nilai tertinggi

27 dan nilai terendah -12, maka berdasarkan rumus Sturges, pada studi ini terdapat

enam kelas dengan nilai interval 9 (sembilan) yang dapat diketahui melalui

pengurangan nilai tertinggi dengan nilai terendah yang diperoleh dari hasil bagi

jumlah kelas interval. Nilai -8 berada pada interval -1 hingga -10 yang bermakna

Kecamatan Tanjung Balai Utara berpotensi terhadap bahaya kebakaran.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh dari Model Crunch serta interval penilaian potensi

bencana kebakaran dari rumus Sturges bahwa wilayah pemukiman padat Kecamatan

Tanjung Balai Utara memiliki potensi dengan tingkat cukup rendah yang

diterjemahakan sebagai suatu daerah yang cukup berpotensi terjadinya bahaya

kebakaran. Sebagai pendekatan dalam dasar sistem yang layak digunakan saat ini

pada lingkungan pemukiman mereka diawali dengan merumuskan tingkat bahaya dan

kerentanan bahaya kebakaran yang berasal dari urut-urutan tolok ukur melalui

variabel yang telah dianalisis pada bab sebelumnya.

5.1 Sumber Bahaya dan Kerentanan Kebakaran

Agar mempermudah dalam menganalisis variabel dan tolok ukur untuk

melahirkan suatu sistem penanggulangan kebakaran, sumber bahaya dan kerentanan

yang menjadi pemicu agar menjauh dari lingkungan padat pemukiman menjadi

ketahanan bahaya kebakaran terbagi pada dua faktor yaitu faktor manusia sebagai

pemakai dan ruang sebagai wadah bertinggal mereka di lingkungan padat pemukiman

wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara.

5.1.1 Faktor manusia

Melalui rumusan identifikasi tolok ukur yang lahir dari variabel potensi bahaya

dan kerentanan terjadinya kebakaran disebabkan oleh manusia berupa pembuangan

Universitas Sumatera Utara


puntung rokok yang masih menyala dengan sembarang tempat, pemakaian peralatan

listrik yang bermutu rendah karena bersifat pemenuhan kebutuhan dasar, rendahnya

nilai pendapatan masyarakat setempat, berpendidikan rendah, miskin keahlian,

sedikitnya populasi penduduk disaat jam kerja normal yaitu pada pagi hingga sore

hari dan tidak memiliki nilai keuangan cadangan melainkan pendapatan hanya dapat

memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hal tersebut merupakan karakteristik masyarakat yang bertinggal di lingkungan

padat pemukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara khususnya yang bertinggal di

Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV.

Karakteristik tersebut merupakan akar permasalahan atas sumber bahaya dan

kerentanan terjadinya kebakaran. Seluruh karakteristik sebagai faktor manusia yang

menjadi sumber bahaya dan kerentanan bencana kebakaran akan terus melekat pada

diri mereka sebelum karakteristik tersebut terlepas dari diri mereka.

Pemerintah sebagai penentu kebijakan tidak dapat diharapkan sepenuhnya

untuk menyelesaikan permasalahan mereka dalam jangka waktu yang singkat.

Kemudian penyelenggaraannya memerlukan biaya yang tidak sedikit karena

melibatkan pusat pendidikan dan pelatihan untuk melengkapi keahlian mereka agar

dapat meningkatkan pendapatannya. Berikutnya dengan membuka lapangan usaha

yang seluas-luasnya agar mereka memiliki pendapatan yang tetap agar bias memiliki

keuangan cadangan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup

mereka dengan harapan sedikit demi sedikit dapat merubah kehidupan mereka secara

perlahan. Semua itu akan sulit dilakukan dalam jangka waktu terkini karena alokasi

Universitas Sumatera Utara


dana pemerintah yang terbatas bagi pembenahan kesejahteraan masyarakat

berpenghasilan rendah. Oleh karena itu diperlukan pemikiran pada suatu sistem

penanggulangan bencana kebakaran yang dapat memberdayakan mereka untuk ikut

serta menjaga lingkungan pemukimannya dari bencana bahaya kebakaran.

5.1.2 Faktor ruang sebagai wadah bertinggal

Dalam rumusan identifikasi tolok ukur yang lahir dari variabel potensi bahaya

dan kerentanan terjadinya kebakaran disebabkan oleh ruang sebagai wadah bertinggal

mereka berupa instalasi pelayanan listrik kota yang tidak standar, fisik tempat tinggal

bermaterial dibawah standar, membuka lapangan usaha yang memicu terjadinya

kebakaran dan deretan pemukiman yang terlalu padat mempercepat perluasan titik

kebakaran.

Hal tersebut merupakan karakteristik ruang sebagai wadah bertinggal mereka di

lingkungan padat pemukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara khususnya pada

Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV.

Karakteristik tersebut merupakan akar permasalahan atas sumber bahaya dan

kerentanan terjadinya kebakaran bagi tempat bertinggal mereka. Seluruh karakteristik

sebagai faktor ruang sebagai wadah bertinggal yang menjadi sumber bahaya dan

kerentanan bencana kebakaran akan terus melekat pada diri mereka sebelum

karakteristik tersebut terlepas dari diri mereka.

Aktor tertuju sebagai sasaran yang dapat memperbaiki kualitas ruang

lingkungan bertinggal mereka tidak lain juga adalah pemerintah sebagai pemberi

Universitas Sumatera Utara


kebijakan. Adapun beberapa kebijakan yang ada untuk menyelesaikan permasalahan

ruang lingkungan diantara dapat dilakukan dengan relokasi yaitu memindahkan ruang

lingkungan mereka ke tempat yang lebih layak. Hal ini akan sulit ditempuh sebab

memerlukan biaya yang sangat tinggi, selain itu di wilayah setempat merupakan

wilayah padat pemukiman sehingga tidak memiliki ruang yang dapat menggantikan

tempat tinggal mereka kecuali pembangunan lokasi ruang lingkungan pemukiman

mereka berjauhan dengan lokasi asal yang belum tentu sesuai dengan karakteristik

mereka.

Kemudian kebijakan yang lebih mudah yaitu dengan cara up-grading atau

meningkatkan kualitas ruang lingkungan mereka menjadi ruang lingkungan

bertinggal yang layak dan memilliki nilai ketahanan yang baik terhadap bahaya dan

kerentanan kebakaran. Hal ini juga sulit dilakukan sebab sistem up-grading yaitu

pemerintah dan masyarakat setempat membagi tugas bersama-sama dalam hal kerja

dan biaya untuk meningkatkan kualitas fisik ruang lingkungan permukiman. Sistem

tersebut juga sulit tercapai sebab masyarakat setempat tidak memiliki waktu dan

biaya dalam meningkatkan kualitas tempat tinggalnya karena waktu yang ada

dimanfaatkan untuk mencari ceruk yang ada di lokasi karya dan tidak memiliki

keuangan cadangan (pendapatan yang ada hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-

hari, tidak ada alokasi biaya untuk meningkatkan kualitas fisik tempat tinggal

mereka)

Setelah menganalisis kedua faktor tersebut yang berasal dari identifikasi tolok

ukur variabel sumber bahaya dan kerentanan kebakaran, pemikiran akan mengarah

Universitas Sumatera Utara


kepada kebutuhan fasilitas yang diperlukan dalam meredam sumber bahaya dan

kerentanan kebakaran setempat tanpa melihat kebijakan pemerintah secara

keseluruhan dalam menyelesaikan permasalahan manusia sebagai aktor yang

bertinggal di wilayah padat pemukiman dan ruang lingkungan bertinggal mereka di

Kecamatan Tanjung Balai Utara.

5.2 Rumusan Sistem Penanggulangan Kebakaran

Setelah mengidentifikasi tolok ukur variabel terhadap penyelesaiannya dalam

sudut pandang kebijakan, pembahasan bergerak dengan melihat potensi yang dimiliki

oleh masyarakat pada suatu nilai yang dapat melahirkan ketahanan terhadap

kebakaran. Potensi tersebut diharapkan menjadi dasar terbentuknya sistem

penanggulangan bencana kebakaran di lingkungan permukiman mereka sendiri.

Sebagai pendekatan untuk merumuskan sistem penganggulangan kebakaran di

lingkungan padat pemukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara juga terbagi menjadi

dua faktor yaitu faktor manusia sebagai aktor yang bertinggal di pemukiman tersebut

dan faktor keberadaan lingkungan sebagai ruang yang harus dipertahankan dari

bencana kebakaran yang setiap waktu dapat saja terjadi.

5.2.1 Aktor bertinggal

Adapun potensi yang bernilai baik atau standar yang terdapat di dalam

identifikasi tolok ukur pada variabel yang telah dirumuskan yaitu nilai sosial

masyarakat yang dapat diandalkan untuk meredam bahaya kebakaran. Dalam

Universitas Sumatera Utara


membentuk sistem penanggulangan kebakaran di lingkungan mereka dapat dimulai

dengan kolektivitas masyarakat usia muda yang dirasa mampu sebagai relawan

penggulangan kebakaran. Kemudian dilakukan perekrutan relawan tersebut yang diisi

dengan pelatihan dari pihak militer dan kepolisian untuk menguatkan mental mereka

dalam menghadapi terjadinya kebakaran serta pembelajaran pengetahuan teknis

dalam memadamkan api oleh Dinas Damkar Daerah sesuai dengan waktu luang

mereka.

Seluruh relawan yang ada diatur kinerjanya di bawah pengawasan kelurahan

setempat agar selalu siap siaga apabila terjadi bahaya kebakaran di lingkungan

mereka. Atas hal ini, bentuk penanggulangan bencana kebakaran dapat disebut

sebagai sistem swadaya karena melibatkan masyarakat setempat sebagai tindakan

pertama untuk memperkecil penyebaran api bila terjadi bencana kebakaran. Sistem

ini akan lebih mudah dicapai bila dibandingkan dengan melihat kebijakan pemerintah

secara umum.

Adapun strukturasi keberadaan sistem swadaya penanggulangan bencana

kebakaran di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara dapat digambarkan pada

gambar 5.1 yang merupakan urut-urutan sturkturasi yang menjadi awal terbentuknya

pola kegiatan sebagai tindakan dalam menjalankan sistem swadaya penanggulangan

kebakaran di lingkungan padat pemukiman wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Universitas Sumatera Utara


Kecamatan

Manajerial
kinerja Kelurahan Militer

Relawan Dinas Damkar Daerah

Sistem
SwsSwadaya

Siap Siaga Kepolisian

Mental &
Pengetahu
an

Penanggulangan
Bencana Kebakaran

Gambar 5.1 Alur Sistem Swadaya Penanggulangan Bencana Kebakaran


Oleh Relawan Sebagai Aktor
Sumber: Hasil Analisis

Pada gambar diatas terlihat tentang melibatkan masyarakat pada suatu

kebijakan dalam mengambil keputusan di saat terjadinya kebakaran karena mereka

telah dibekali pengetahuan dalam menghadapi kebakaran yang terjadi maupun

mengantisipasi potensi bahaya yang akan menimpa lingkungan pemukiman mereka.

Maka dari itu relawan akan terlatih dalam menghadapi bencana kebakaran karena

mental dan pengetahuan yang dimilikinya menjadi dasar dalam mengambil keputusan

untuk memadamkan api serta proses mitigasi bencana di saat terjadi kebakaran di

lingkungan pemukiman mereka.

Universitas Sumatera Utara


Dengan melibatkan masyarkat setempat untuk ikutserta dalam pemadaman

kebakaran, pengetahuan yang mereka miliki lambat-laun pembelajaran akan

menyebar pada setiap tempat tinggal mereka tentang pentingnya kualitas lingkungan

agar terhindar dari bahaya kebakaran. Sehingga berikutnya muncul harapan-harapan

untuk memperbaiki kualitas bertinggal baik secara tingkah laku terhadap lingkungan

maupun di tempat tinggalnya. Maka ketahanan lingkungan pemukiman terhadap

sumber bahaya dan kerentanan kebakaran semoga akan tercipta.

5.2.2 Keberadaan lingkungan pemukiman

Agar sistem swadaya penanggulangan kebakaran dapat berjalan dengan baik,

diperlukan adanya penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung sebagai alat yang

memudahkan dalam meredam kebakaran yang terjadi dapat di lakukan sebagai

berikut.

5.2.2.1 Penyediaan peringatan dini konvensional

Atas kondisi bahaya kebakaran yang selalu mengancam lingkungan

pemukiman mereka terdapat suatu pemikiran untuk tetap selalu siaga. Tindakan untuk

selalu siaga dapat dilakukan dengan penyediaan peringatan dini yang ditujukan

kepada setiap tempat tinggal mereka. Penyediaan peringatan dini konvensional tidak

memerlukan biaya yang berarti sehingga mudah dan tidak mengganggu keuangan

mereka.

Universitas Sumatera Utara


Peringatan dini konvensional dapat disediakan dengan material yang

terdapat di sekitar pemukiman mereka seperti potongan besi atau potongan bambu.

Peralatan peringatan dini dapat dikatakan berfungsi bila benda tersebut menimbulkan

bunyi yang berarti di saat diberi pukulan tertentu. Akan memudahkan komunikasi

bila populasi yang menggunakan peringatan dini konvensional tersebut dalam jumlah

yang banyak. Sehingga penanganan penanggulangan bencana kebakaran dapat

dilakukan dengan cepat sebelum penyebaran titik api semakin meluas.

5.2.2.2 Penyediaan pompa air beserta pipa standar

Penyediaan pompa air beserta pipa standar yang dapat disediakan secara

terbatas yang di manajerial oleh kelurahan setempat. Peralatan ini akan siap sedia

sewaktu-waktu diperlukan oleh relawan yang ada. Bersama diketahui bahwa

penyebaran api di lingkungan pemukiman mereka pasti menyebar dengan cepat sebab

kualitas fisik tempat tinggal mereka bermutu rendah. Peralatan ini akan sangat

membantu sebagai percepatan menahan penyebaran api yang ada sembari menunggu

damkar yang kesulitan masuk ke lokasi kebakaran karena minimnya akses lokal.

5.2.2.3 Penyediaan sumur sebagai cadangan air

Kemudian relawan diberikan tanggung jawab dalam mengidentifikasi titik-

titik rawan lingkungan permukiman mereka yang rentan terjadinya kebakaran untuk

disediakan sumur buatan sebagai cadangan air yang dapat digunakan untuk

memadamkan kebakaran.

Universitas Sumatera Utara


Penyediaan sumur sebagai cadangan air yang dapat digunakan di saat

terjadinya kebakaran akan dapat dikombinasikan pemakaiannya dengan peralatan

pompa air untuk memadamkan kebakaran. Dengan adanya pendekatan ini, secara

tidak langsung lingkungan padat pemukiman di Kecamatan Tanjung Balai Utara telah

memiliki tingkat ketahanan kebakaran secara swadaya bagi lingkungan mereka.

5.3 Zonasi Sistem Swadaya Penanggulangan Kebakaran di Kecamatan


Tanjung Balai Utara

Agar mempermudah penyerapan terhadap sistem swadaya yang telah

dirumuskan, seperti terlihat pada gambar 5.2 ditampilkan penentuan titik-titik

penyediaan fasilitas atau perangkat yang dapat mendukung dalam meredam

kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Gambar 5.2 Zonasi Pembagian Wilayah Sistem Swadaya Penanggulangan


Kebakaran

Universitas Sumatera Utara


Pada gambar zonasi wilayah di atas, blok-blok dibagi berdasar luas wilayah

secara keseluruhan menurut batas kelurahan. Batas antar blok hadir berdasarkan akses

jalan yang dapat mendukung kinerja relawan dan masyarakat dalam meredam

kebakaran yang terjadi. Namun secara kinerja, perangkat yang terdapat pada setiap

blok dapat digunakan untuk blok lain dan dapat mempercepat meredam kebakaran

yang terjadi. Dan blok-blok hadir hanya tindakan untuk mempermudah penyediaan

perangkat dan sistem kinerja yang akan dilakukakan. Pada tabel 5.1 akan tampil

jumlah unit fasilitas untuk setiap blok yang mendukung proses penerapan sistem

swadaya penanggulangan kebakaran di Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan

Kelurahan Tanjung Balai Kota IV di Kecamatan Tanjung Balai Utara Kota Tanjung

Balai.

Tabel 5.1 Jumlah Unit Fasilitas Setiap Blok di Kelurahan Tanjung Balai Kota III
dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV Kota Tanjung Balai

Kel. TBK III Kel. TBK IV


Fasilitas Blok Blok Blok Blok Blok Blok Blok Blok Blok Blok
1 2 3 1 2 3 4 5 6 7
Set Pompa Air
1 1
Portable (Unit)

Jumlah Titik
1 2 3 2 1 2 1 3 2 2
Cadangan Air (Titik)

Komunikasi Dini
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Konvensional (Unit)

Serbagai penyediaan set pompa air portabel dapat disediakan masing-masing

satu unit di setiap kelurahan. Namun untuk kejadian kebakaran yang berdekatan

dengan batasan kelurahan, perangkat pompa portabel yang ada dapat digunakan tanpa

Universitas Sumatera Utara


melihat batas kelurahan. Untuk perangkat komunikasi dini konvensional, dapat

disediakan minimal 1 unit setiap blok yang ada sebab jangkauan bunyi dapat

merambat pada setiap blok yang ada di sekelilingknya.

Zonasi wilayah sistem swadaya penanggulangan kebakaran yang ditampilkan

pada pembahasan tersebut hanya berdasarkan penafsiran logis tanpa ukuran kualitas

perangkat yang ada. Maka dari itu untuk menemukan rumusan yang jelas tentang

keberadaan yang lebih dalam dan akurat akan memerlukan pembahasan lebih jauh

yang dapat dilakukan pada penelitian lainnya yang dapat menjadi lanjutan dari studi

ini.

5.4 Kesimpulan
Pemikiran yang telah diterjemahakan pada bab ini merupakan hasil dari

identifikasi tolok ukur atas variabel yang lahir dari kondisi pemukiman, kondisi

rumah atas prioritas dan kebutuhannya, daur hari bertinggal, aktivitas ekonomi dan

badan sosial kemasyarakatan yang dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran tentang

bencana kebakaran yang dirumuskan melalui Model Crunch untuk memastikan status

keberadaan sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan lingkungan pemukiman padat

wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara sangat terbuka kemungkinan menerima

pemikiran-pemikiran yang lain untuk melengkapi dan memperbaiki sistem swadaya

penanggulangan bencana kebakaran khususnya di lingkungan pemukiman padat

perkotaan yang bersifat membangun demi penyempurnaan pemikiran-pemikiran

dalam konteks ini selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara


Adapun kesimpulan yang terkandung dalam sistem penanggulangan bencana

kebakaran adalah, kelengkapan fasilitas armada kebakaran daerah tidak mampu

sepenuhnya dalam mengatasi ketahanan kebakaran di lingkungan padat pemukiman

karena terhambat oleh karakteristik bertinggal yang dimiliki oleh mereka. Dalam

melahirkan ketahanan kebakaran di suatu lingkungan ada baiknya terlebih dahulu

memahami keberadaan karaktersitik masyarakat yang dalam konteks ini adalah

sistem swadaya penanggulangan bencana kebakaran di pemukiman padat perkotaan

wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

PENUTUP

Setelah melakukan pengidentifikasian dan analisis mengenai tingkat resiko

bencana kebakaran yang dapat terjadi di Kecamatan Tanjung Balai Utara, maka dapat

diperoleh temuan studi, kesimpulan studi dan dapat diberikan rekomendasi.

6.1 Temuan Studi

Kecamatan Tanjung Balai Utara memiliki sumber bahaya kebakaran yang

berasal dari:

1. Sistem pemasangan kawat listrik, yaitu kondisi instalasi listrik yang buruk

dan banyaknya sambungan listrik dalam satu tiang yang lebih dari tujuh

sambungan.

2. Keberadaan minyak tanah dan LPG, yaitu keberadaan pedagang dan pemakai

minyak tanah, serta kondisi kompor yang tidak baik dan cara penyimpanan

kompor yang tidak sesuai standar.

3. Keberadaan SPBU atau pedagang bensin eceran, yaitu keberadaan pedagang

bensin eceran di dalam lingkungan dan SPBU terdekat yang tidak memiliki

zona aman.

4. Keberadaan industri rumah tangga dengan bahan mudah terbakar.

Universitas Sumatera Utara


5. Keberadaan peralatan listrik rumah tangga, yaitu banyaknya jumlah

pengguna peralatan listrik, kondisi yang buruk, serta intensitas pemakaian

yang tinggi.

6. Penggunaan penerangan non-listrik.

7. Puntung rokok.

8. Penyalaan api secara langsung.

Variabel kerentanan terhadap bahaya kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai

Utara yang tidak sesuai dengan standar adalah:

1. Dari segi ekonomi yaitu keberadaan penduduk yang bekerja di tempat yang

berdekatan dengan permukiman padat dan keberadaan rumah tangga miskin;

2. Dari segi sosial kependudukan yaitu keberadaan penduduk usia rentan dan

penduduk yang berpenyakit permanen atau cacat, serta kepadatan penduduk.

3. Dari segi fisik yaitu keberadaan bangunan berbahan bangunan dan konstruksi

tidak tahan api, kepadatan bangunan yang tinggi, tidak adanya jarak antar

bangunan, jarak antar jalan besar yang terlalu jauh, serta sempitnya jalan

lingkungan.

4. Dari segi ketersediaan prasarana yaitu luas dan lokasi ruang terbuka yang

kurang memadai;

5. Dari segi sarana yaitu jumlah dan kondisi kendaraan pemadam kebakaran

yang kurang baik, tidak adanya hydrant, kurangnya sumber air, dan

kurangnya bahan pemadam bukan air.

Universitas Sumatera Utara


6. Dari segi sumber daya manusia yaitu cakupan pelayanan serta jumlah

pemadam kebakaran dan tenaga medis yang kurang.

Nilai resiko bencana kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara adalah -8,

maka tingkat resiko terjadinya bencana kebakaran karena ulah manusia di di

Kecamatan Tanjung Balai Utara termasuk dalam berpotensi terhadap bahaya

kebakaran.

6.2 Kesimpulan

Berdasarkan klasifikasi kelas tingkat resiko bencana kebakaran, Kecamatan

Tanjung Balai Utara termasuk dalam kelas berpotensi terjadi bahaya kebakaran.

Selain itu terdapat beberapa tolok ukur variabel sumber bahaya, kerentanan, dan

ketahanan terhadap bahaya kebakaran yang tidak sesuai dengan standar. Oleh karena

itu, dalam rangka mengurangi tingkat resiko bencana kebakaran di Kelurahan

Babakan Asih dan Jamika, diperlukan beberapa tindakan sistem penanggulangan

(mitigasi) bencana kebakaran.

Bentuk mitigasi bencana yang diusulkan akan dikelompokkan berdasarkan tiga

faktor penentu tingkat resiko yaitu sumber bahaya, kerentanan, dan ketahanan.

Berikut merupakan bentuk mitigasi yang diusulkan:

Berdasarkan variabel sumber bahaya kebakaran yang tidak sesuai dengan

standar sebagai berikut:

1. Perbaikan kabel listrik yang masih terdapat kabel tidak tertutup bahan

isolasi.

Universitas Sumatera Utara


2. Karena SPBU yang ada tidak memiliki zona aman maka diperlukan

pembuatan zona aman atau buffer disekitar SPBU terdekat.

3. Mengurangi atau bahkan menghilangkan potensi munculnya bahaya

kebakaran melalui peningkatan kewaspadaan masyarakat dan pengurangan

tingkat kecerobohan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

4. Pemberian ketegasan kepada masyarakat dalam melakukan penyimpanan

atau penggunaan barang-barang yang mudah terbakar, seperti penyimpanan

tabung LPG yang ditempatkan oleh pedagang di pinggir jalan.

Berdasarkan variabel kerentanan terhadap bahaya kebakaran yang tidak sesuai

standar

1. Diperlukan perbaikan kondisi bangunan rumah di Kecamatan Tanjung Balai

Utara yang jumlah bangunan non-permanen dan semi permanennya masih

banyak. Tindakkan perbaikan tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat dan

pemerintah daerah Kota Tanjung Balai. Perbaikan tersebut berupa:

a. Penggantian dinding bangunan rumah yang masih terbuat dari

triplek/bilik/kayu menjadi berbahan batu bata atau batako yang telah

diplester.

b. Penggunaan kerangka beton bertulang sebagai struktur penyangga

bangunan untuk rumah yang akan direnovasi.

c. Penggunaan dinding rangkap sebagai pembatas antar rumah. Untuk

bangunan rumah yang belum memiliki dinding sendiri atau masih

Universitas Sumatera Utara


menempel pada rumah tetangga dibangun dinding pembatas, dengan

demikian kecepatan api menjalar ke rumah lain akan semakin kecil.

2. Pengendalian pemanfaatan ruang melalui pembatasan pendirian bangunan di

wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara.

3. Pengawasan penerapan standar Koefisian Dasar Bangunan (KDB) yang

benar khususnya.

4. Melakukan land consolidation, yaitu menata kembali bangunan yang ada di

kawasan permukiman padat sehingga dapat terbentuk akses jalan yang lebih

baik. Hal ini perlu dilakukan karena kondisi lebar jalan saat ini tidak

memadai dan akan mempersulit warga jika melakukan pelarian/evakuasi.

Berdasarkan ketahanan terhadap bahaya kebakaran yang tidak sesuai standar

1. Di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara perlu disediakan hydrant yang

diletakkan di dalam lingkungan sehingga mempermudah petugas melakukan

pemadaman api. Pihak PDAM Kota Tanjung Balai sebaiknya meningkatkan

tekanan dan debit air di wilayah selatan Kota Tanjung Balai, khususnya di

Kecamatan Tanjung Balai Utara. Dengan demikian pihak pemadam

kebakaran tidak sulit mencari sumber air dari wilayah lain.

2. Pembuatan penampungan air di dalam lingkungan kecamatan yang dapat

digunakan oleh seluruh masyarakat baik sebagai kebutuhan sehari-hari

maupun sebagai sumber air pemadam kebakaran.

Universitas Sumatera Utara


3. Karena mobil pemadam kebakaran tidak dapat masuk ke dalam lingkungan

maka diperlukan penyediaan alat pemadam api berat (APAB) di setiap RT

dan alat pemadam api ringan (APAR) pada bangunan-bangunan non-tempat

tinggal seperti pertokoan, gudang, industri, dan lainnya. Selain itu

keberadaaan APAR/APAB pada SPBU terdekat diperlengkap sesuai dengan

standar.

4. Pengendalian keberadaan ruang terbuka yang ada saat ini supaya tidak

dibangun serta penambahan jumlah dan luas ruang terbuka sebagai tempat

evakuasi jika terjadi bencana. Serta pembuatan ruang terbuka yang lokasinya

dapat dijangkau mobil pemadam kebakaran.

5. Menambah jumlah anggota dan pos pemadam kebakaran di Kota Tanjung

Balai sesuai dengan standar yang ada serta menambah jumlah tenaga medis

dan paramedis di Kecamatan Tanjung Balai Utara.

7. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pelatihan mengenai pencegahan dan

penanggulangan bencana kebakaran di kawasan permukiman padat,

sehingga untuk mengatasi kebakaran pada saat terjadi kebakaran tidak hanya

mengandalkan keahlian petugas pemadam kebakaran atau petugas keamanan

yang ada. Hal ini perlu dilakukan karena hingga saat ini, pelatihan simulasi

kebakaran yang dilakukan hanya melibatkan linmas setempat dan tidak

melibatkan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


6.3 Rekomendasi Studi Lanjutan

Rekomendasai studi lanjutan yang diberikan adalah:

1. Identifikasi dalam studi ini dilakukan melalui wawancara kepada aparat

pemerintah (camat, lurat dan RT) pada wilayah studi dengan asumsi bahwa

mereka memahami karakteristik wilayahnya. Karena dalam studi ini tidak

diikutsertakannya masyarakat dalam mengidentifikasi karakteristik

penduduk dan wilayah studi ini, maka rekomendasi studi yang diusulkan

adalah: melakukan studi sejenis dengan menggunakan masyarakat sebagai

sampel responden.

2. Studi ini tidak mempertimbangkan nilai kerugian yang akan ditimbulkan jika

terjadi kebakaran, maka studi lanjutan yang direkomendasikan adalah studi

identifikasi tingkat resiko bencana kebakaran di permukiman padat

berdasarkan skenario kerugian yang akan ditimbulkan.

3. Ditemui tidak terdapat beberapa tolok ukur yang tidak memiliki standar

baku, maka direkomendasikan untuk melakukan penyusunan standar baku

dan peraturan mengenai kebencanaan khususnya bencana kebakaran yang

disebabkan oleh ulah manusia.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Awotona, A. (1997) Reconstruction after Disaster, England.

Badan Pusat Statistik Kota Tanjung Balai dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kota Tanjung Balai (2010), Tanjung Balai Dalam Angka 2010

BAKORNAS PB. 1990. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.43 Tahun 1990
Tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana.Jakarta.

Blaikie, P.M. Cannon, T., Davis, I., & Wisner, B.(1994) At Risk: Natural Hazards,
People's Vulnerability and Disasters. London: Routledge.

Carter, W.N. (1992) Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook, Asian


Development Bank.

Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta (2006) Teori Dasar Penanggulangan Bahaya


Kebakaran. Jakarta: Dinas Pemadam Kebakaran.

Erikson, E. H. (1997), The Life Cycle Completed, W.W. Norton M. Company.

Giddens, A. (1984), The Constitution of Society,Berkeley & Los Angeles: University


of California Press.

Godschalk, D. R. (et al.) (1999), Natural Hazard Mitigation. Washington D.C, Island
Press.

Kepmen PU No. 11/KPTS/2000, Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan


Kebakaran di Perkotaan.

Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen


Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan.

Mantra, I.B.G.W (2005), Kajian Penanggulangan Bahaya Kebakaran Pada


Perumahan-Suatu Kajian Pendahuluan di Perumahan Sarijadi Bandung.,
Jurnal Permukiman Natah Volume 3 Nomor 1. Laboratorium Perumahan dan
Permukiman Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
Denpasar., 2005

Universitas Sumatera Utara


Murison, H.S., Lea, JP (1979), Housing in Third World Countries., The Macmillan
press.

Perda Kota Bandung No. 15 Tahun 2001 Penjelasan pasal 37 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Bahaya Kebakaran.
Potter, R.B., Lloyd-Evans, S (1998), The City in Developing World, Longman Press.,
United Kingdom.

Relph, E. (1976)., Place and Placelessness., Pion Limited, 207 Brondesbury Park,
London.

Wahyudi, A. (2004), Identifikasi Tingkat Resiko Kebakaran Menggunakan SIG (Studi


Kasus: Kota Bandung).Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah (dan
Kota Sekolah Arsitektur dan Perencanaan Pengembangan Kebijakan Institut
Teknologi Bandung.
Oetomo, A (2007), Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana, Buletin Tata Ruang
Mei-Juni 2007.

Sanderson, D (1997), Reducing Risk as a Tool For Urban Improvement: The Caqueta
Ravine, Lima, Peru.

Perda Kota Bandung No. 15 Tahun 2001 Penjelasan pasal 37 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Bahaya Kebakaran.

Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

http://tilz.tearfund.org/webdocs/Tilz/Roots/English/Disaster/Disaster%20risk%20red
uction%20-%20Section%202.pdf; diakses pada tanggal 22 Maret 2011.

http://www.yeu.or.id/images/file/UUNo.24Tahun2007.pdf; diakses pada tanggal 14


April 2011

http://www.proventionconsortium.org/themes/default/pdfs/tools_for_mainstreaming_
DRR_Bahasa.pdf; diakses pada tanggal 14 April 2011

http://www.adpc.net/dms/Lao%20Fire.PDF; diakses pada tanggal 14 April 2011

http://www.nfpa.org; diakses pada tanggal 14 April 2011

http://www.archive.official-documents.co.uk/document/fire.htm; diakses pada


tanggal 14 April 2011

Universitas Sumatera Utara


http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/13039-8-
597469341720.doc; diakses pada tanggal 15 April 2011

http://tilz.tearfund.org/webdocs/Tilz/Other%20languages/Indonesian%20Bahasa/Roo
ts%209%20-
%20Reducing%20Risk%20of%20Disaster%20in%20our%20Community/ROO
TS%209-%20Bahasa%20chapter%201-3.doc; diakses pada tanggal 15 April
2011

http://www.ecbproject.org/publications/ECB3/Leaving_Disasters_Behind_Chapter_2
_Key_Concepts.pdf; diakses pada tanggal 15 April 2011

http://www.scribd.com/doc/54249926/Variabel-penelitian-3; diakses pada tanggal 11


Juli 2011

http://www.ntt-academia.org/CBDRM/Draft-Module-CBDRM-FKPB-January-
2004.pdf; diakses pada tanggal 17 Juli 2011.

http://www.zef.de/module/register/media/1c56_a-history-of-cbdrm-in-Indonesia.pdf;
diakses pada tanggal 17 Juli 2011.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai