Anda di halaman 1dari 195

IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

TESIS

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN TINDAKAN


KEPERAWATAN DALAM TANGGAP BENCANA BERBASIS TPB
(THEORY PLANNED BEHAVIOUR) DALAM KONTEKS KEARIFAN
BUDAYA LOKAL

SETYO KURNIAWAN
NIM. 1316141513031

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

i
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

TESIS

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN TINDAKAN


KEPERAWATAN DALAM TANGGAP BENCANA BERBASIS TPB
(THEORY PLANNED BEHAVIOUR) DALAM KONTEKS KEARIFAN
BUDAYA LOKAL

SETYO KURNIAWAN
NIM. 1316141513031

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

ii
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN TINDAKAN


KEPERAWATAN DALAM TANGGAP BENCANA BERBASIS TPB
(THEORY PLANNED BEHAVIOUR) DALAM KONTEKS KEARIFAN
BUDAYA LOKAL

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep)


dalam Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga

SETYO KURNIAWAN
NIM. 131614153031

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNVERSITAS AIRLANGGA
2018

iii
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri. Semua sumber yang di kutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Setyo Kurniawan


NIM : 131614153031
Tanda Tangan :

Tanggal : 6 Agustus 2018

iv
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING TESIS

TESIS

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN TINDAKAN


KEPERAWATAN DALAM TANGGAP BENCANA BERBASIS TPB
(THEORY PLANNED BEHAVIOUR) DALAM KONTEKS KEARIFAN
BUDAYA LOKAL

SETYO KURNIAWAN

131614153031

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 6 AGUSTUS 2018

Oleh:

Dr. Tintin'Sukartini, S.Kp.,M.Kes

NIP.197212172000032001

Pembimbing kedua

~
Joko Suwito, S.Kp., M.Kes

NIP. 196801241992031002

ini, S.Kp.,M.Kes
'~12172000032001

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Seminar Hasil Tesis ini diajukan oleh:


Nama Setyo Kurniawan
NIM : 131614153031
Program Studi : Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga Surabaya
Judul : Pengembangan Model Tindakan Keperawatan Dalam Tanggap
Bencana Berbasis Theory Planned Behaviour Dalam Konteks
Kearifan Budaya Lokal

Tesis ini telah diuji dan dinilai

Oleh panitia penguji pada

Program Studi Magister Keperawatan Universitas Airlangga

Pada tanggal 6 Agustus 2018

Panitia Penguji

1. Ketua: Dr. Kusnanto, S.Kp.,M.Kes


NIP. 196808291989031002
....~~ ..........

Anggota :

2. Dr. Tintin Sukartini, S.Kp.,M.Kes


NIP. 197212172000032001

3. Joko Suwito, S.Kp., M.Kes


NIP. 196801241992031002

4. Dr. Dwi Ananto W, S.ST.,M.Kes


NIP. 197201291996031001

5. Harmayetty, S.Kp., M.Kes *(lm~


............ ;: ..................... .

NIP. 197004102000122001

Vi

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

KATAPENGANTAR

Puji alhamdulillah saya panjatkan atas Alloh SWT,

berkat rahmat dan hidayah-Nya tesis dengan judul PENGEMBANGAN MODEL

KEPERA WAT AN DALAM T ANGGAP BERBASIS

BEHA VIOUR DENGAN BUDAYA

merupakan salah satu dalam pencapaian Magister

(M.Kep) pada Program Fakultas

Universitas Airlangga Surabaya. mengucapkan

kasih sebesar-besamya kepada:

1. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) selaku Fakultas Keperawatan

Airlangga Surabaya yang memberikan kesempatan dan

fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan

Sukartini, S.Kp, umalVl Program Studi Magister

Keperawatan Universitas Airlangga ;:)"I'..ali~u;:) sebagai pembimbing Ketua

yang telah bersedia memben Q.1Q.11a.11, saran serta petunjuk dari awal proses

hingga akhir tesis ini

3. Joko Suwito, S.Kp, M.Kes anggota yang telah

memberikan bimbingan, saran, dan petunjuk demi terselesaikannya tesis ini.

Dr. Kusnanto, S.Kp.,M.Kes., W, S.ST. M.Kes., Harmayetty,

S.Kp.,M.Kes. selaku telah bekenan memberikan arahan,

masukan dan dukungan U<111'..<1U penulis

5. Kedua orang adik, serta ~-'-b~ keeil tercinta. Terima kasih atas doa,

cinta dan dukungan terus mengalir dalam segala kondisi

penulis hadapi lUll""",,'"

vii
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

6. Saudara-saudara di 118 ;'juraoa'ya dokter dan perawat yang te1ah

rnernberikan dorongan material ..,~.......... peneliti menernpuh

pendidikan hingga terselesaikan 1m.

7. Keluarga besar Bedah Surabaya yang

rnendukung dan rnernberikan support terhadap penulis untuk rnelanjutkan

studi di jenjang Magister

8. Ternan-ternan perawat bencana Kabupaten Pacitan yang telah

bersedia rnenjadi reSDOlloe:n serta rnernberikan support bagi peneliti dalarn

rnelakukan penelitian

9. Rekan-rekan dukungan serta persahabatan

teIjalin menjadi sebuah (saudara tapi tak sedarah)

kelanjutan di Indonesia.

10. Semua pihak yang rnernbantu terselesaikannya tesis ini.

Semoga Allah ketulusan dan budi baik

yang telah dukungan, dan inspirasi dalam

tesis. Penulis penelitian ini rnasih jauh dari sempurna,

oeImtlIUiiial bagi pembaca dan ilmu ket)en>iWiataln.

Surabaya, 6 2018

Penulis,

Vlll

viii
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Sebagai sivitas akademik Universitas Airlangga Surabaya, saya yang


bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Setyo Kurniawan
NIM : 131614153031
Program Studi : Magister Keperawatan
Departemen : Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas : Keperawatan
Jenis Karya : Tesis

Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, setuju untuk memberikan kepada


Universitas Airlangga Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non Exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Pengembangan Model Tindakan Keperawatan Dalam Tanggap Bencana Berbasis


Theory Planned Behaviour Dalam Konteks Kearifan Budaya Lokal”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan ini, maka Universitas
Airlangga berhak untuk menyimpan, megalihmediakan/format, mengelola
kedalam bentuk pangkalan data (database) merawat dan mempublikasikan tugas
akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai
pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Surabaya
Pada tanggal : 6 Agustus 2018

Yang Menyatakan,

(Setyo Kurniawan)

ix
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

INCREASING DEVELOPMENT MODEL IN DISASTER NURSING


RESPONSE BASED ON THEORY PLANNED BEHAVIOUR IN A LOCAL
WISDOM

EXECUTIVE SUMMARY

Disasters are a serious dysfunction that occurs in a society or community


that results in widespread losses, whether material, economic or environmental
losses that exceed the capabilities of affected communities (Yan et al., 2015). East
Java is one of the areas in Indonesia with potential disasters that have the worst
impact. The number of casualties, economic losses and environmental damage is
not small. Pacitan regency is one of 38 districts in East Java Province which has
huge potential of natural disasters. Earthquakes, landslides, the potential for
tsunamis is a threat to residents around Pacitan regency. The last disaster that
struck Pacitan was the flash flood that occurred on 28 November 2017, where as
many as 1,879 people fled, 19 people died, 14 victims were struck by landslides.
Nurses are part of the first responder in disaster management needs to be better
prepared in caring for mass casualties (Wenji et al., 2014) including starting when
finding victims, stabilizing to make referrals. However, the field is still found in
the victim immediately evacuated without any optimal stabilization process.
According to Labrague et al. (2016) a nurse needs to have knowledge and skills
on disaster and disaster management. From interviews conducted on 8 September
2017 to 14 disaster nurses, 2 nurses working in referral hospitals stated that they
had received unstable casualty referrals.

The literature review in this research consists of 1). Theory of Planned


Behavior 2). Behavior 3). Disaster consisting of definition, type of disaster
according to Law No.24 Year 2007, disaster management, disaster nurse role,
religiosity and disaster 4). Cultural theory. Culture is an important component of
life even in terms of helping disaster victims. As a professional nurse we must
know how the character of the local culture. According to (Matsumoto, 2007)
cultural cultivation (through social roles) influences the occurrence of a behavior.
Related to the role of disaster nurse to culture as expressed in Transcultural
Nursing theory. Where the cultural sciences in the learning process and nursing
practice focuses on differences and similarities between cultures with respect for
care, health and ill health is based on the value of human culture, beliefs and
actions, and this science is used to provide nursing care, especially culture or
cultural integrity to human (Leininger, 2002). Leinenger argues that a
combination of knowledge about the patterns of transcultural nursing practice
with technological advances can lead to a more complete health care service for
many people and different cultures.

x
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

This research use cross sectional approach. The sample in this research is
all nurse of Puskesmas of Pacitan Regency, then with technique of sampling non
probability sampling with purposive sampling method so get 175 nurse of
Puskesmas of Pacitan Regency as respondent in this research. Inclusion criteria
used to select the sample include: 1). Minimum 2 years nurse stay in Pacitan area.
2). Nurses who have emergency emergency training certificates with AHA / ERC
/ ILCOR guidelines at least in 2005. 3). Nurse who already has a diploma of
higher education nursing (minimum Diploma 3). Based on the Partial Least
Square Test indicates that: 1). Personal factors affect the behavior toward
behavioral with the value of parameter coefficient of 0.149 and the value of t =
2.182> 1.96. 2). Personal factors affect the Subjective Norm with the parameter
coefficient value of 0.216 and the value of t = 2.248> 1.96. 3). Personal factors
affect the Perceived Behavioral Control with parameter coefficient value of 0.315
and the value of t = 4.099> 1.96. 4). Social-culture factor related to attitude
toward behavioral with parameter coefficient value 0,037 and value t = 0,714
<1,96. 5). Social-culture factor influenced Subjective Norm with parameter
coefficient value 0,244 and value t = 3,207> 1,96. 6). Social-culture factor
influenced Perceived Behavioral Control with parameter coefficient value 0,136
and t value = 2,034> 1,96. 7). Factor of information influence toward behavior
toward behavioral with value of parameter coefficient 0,732 and value t = 17,268>
1,96. 8). Factor of information not related to Subjective Norm with coefficient
value of parameter -0,057 and value t = 0,780 <1,96. 9). Factor of information not
related to Perceived Behavioral Control with value of parameter coefficient 0,086
and value t = 1,102 <1,96. 10). attitude toward behavioral have an effect on
Intension with parameter coefficient value 0,192 and value t = 3,356> 1,96. 11).
Subjective Norm effect on Intension with parameter coefficient value 0,496 and t
value = 6,561> 1,96. 12). Perceived Behavioral Control has no effect on Intension
with coefficient parameter value 0,074 and value t = 1,174 <1,96. 13). Intension
has no effect on behavior (Behavior) with value of parameter coefficient 0,109
and value t = 1,649 <1,96

Attitude toward behavioral factor has strong influence with GOF value =
0,631, behavioral factor has weak effect with nilao GOF = 0,012, Intension factor
has good influence with GOF value = 0,383, perceived behavioral control factor
has weak effect with GOF value = 0,142 , whereas the Subjective norm has a
weak effect with the value of GOF = 0.105

xi
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN TINDAKAN


KEPERAWATAN DALAM TANGGAP BENCANA BERBASIS TPB
(THEORY PLANNED BEHAVIOUR) DALAM KONTEKS KEARIFAN
BUDAYA LOKAL

RINGKASAN

Bencana adalah sebuah gangguan fungsi serius yang terjadi di suatu


masyarakat atau komunitas yang mengakibatkan kerugian yang meluas, baik
kerugian material, ekonomi atau lingkungan yang melebihi kemampuan
masyarakat terdampak bencana (Yan et al., 2015). Jawa Timur merupakan salah
satu wilayah di Indonesia dengan potensi bencana yang memiliki dampak
terburuk. Jumlah korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang
tidak sedikit. Kabupaten Pacitan merupakan salah satu dari 38 Kabupaten di
Propinsi Jawa Timur yang memiliki potensi bencana alam yang sangat besar.
Gempa bumi,tanah longsor, potensi terjadi tsunami adalah ancaman bagi
penduduk di sekitar wilayah Kabupaten Pacitan. Bencana terakhir yang melanda
Pacitan adalah banjir bandang yang terjadi tanggal 28 November 2017, di mana
sebanyak 1.879 warga mengungsi, 19 orang meninggal, 14 korban tertimpa tanah
longsor. Perawat merupakan bagian dari first responder dalam penanganan
bencana perlu dipersiapkan dengan lebih baik dalam merawat korban massal
(Wenji et al., 2014) termasuk mulai saat menemukan korban, melakukan
stabilisasi hingga melakukan rujukan. Akan tetapi dilapangan masih di temukan
korban segera di evakuasi tanpa ada proses stabilisasi yang optimal. Menurut
Labrague et al., (2016) seorang perawat perlu memiliki pengetahuan dan skill
mengenai bencana dan manajemen bencana. Dari hasil wawancara yang telah
dilakukan tanggal 8 september 2017 terhadap 14 orang perawat bencana, 2 orang
perawat yang bekerja di rumah sakit rujukan menyatakan bahwa pernah menerima
rujukan korban bencana yang masih belum stabil.

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini terdiri dari 1). Theory of Planned
Behavior 2). Perilaku 3). Bencana yang terdiri dari definisi, jenis bencana menurut
Undang-Undang No.24 Tahun 2007, managemen bencana, peranan perawat
bencana, religiusitas dan bencana 4). Teori budaya. Budaya merupakan komponen
penting dalam kehidupan bahkan dalam hal membantu korban bencana. Sebagai
perawat professional kita harus mengetahui bagaimana karakter budaya setempat.
Menurut (Matsumoto, 2007) penanan budaya (melalui peranan sosial) ikut
mempengaruhi terjadinya sebuah perilaku. Terkait peranan perawat bencana
terhadap budaya seperti yang diungkapkan dalam teori Transcultural Nursing. Di
mana wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan
yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan
menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia,
kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan

xii
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger,


2002). Leinenger berpendapat bahwa kombinasi pengetahuan tentang pola praktik
keperawatan transcultural dengan kemajuan tekhnologi dapat menyebabkan makin
sempurnanya pelayanan perawatan kesehatan orang banyak dan berbagai kultur.

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel dalam


penelitian ini adalah seluruh perawat Puskesmas Kabupaten Pacitan, yang
kemudian dengan tekhnik sampling non probability sampling dengan metode
purposive sampling sehinggadi dapatkan 175 orang perawat Puskesmas
Kabupaten Pacitan sebagai responden dalam penelitian ini. Kriteria inklusi yang
digunakan untuk memilih sample antara lain: 1). Perawat yang minimal selama 2
tahun tinggal di wilayah Pacitan. 2). Perawat yang memiliki sertifikat pelatihan
kegawat daruratan dengan guideline AHA/ERC/ILCOR minimal tahun 2005. 3).
Perawat yang telah memiliki ijazah pendidikan tinggi keperawatan (minimal
Diploma 3). Berdasarkan Uji Partial Least Square menunjukkan bahwa : 1).
Faktor personal berpengaruh terhadap attitude toward behavioral dengan nilai
koefisiensi parameter 0,149 dan nilai t = 2,182 > 1,96. 2). Faktor personal
berpengaruh dengan Subjective Norm dengan nilai koefisiensi parameter 0,216
dan nilai t = 2,248 > 1,96. 3). Faktor personal berpengaruh pada Perceived
Behavioral Control dengan nilai koefisien parameter 0,315 dan nilai t = 4,099 >
1,96. 4). Faktor social-culture berhubungan dengan attitude toward behavioral
dengan nilai koefisien parameter 0,037 dan nilai t = 0,714 < 1,96. 5). Faktor
social-culture berpengaruh terhadap Subjective Norm dengan nilai koefisien
parameter 0,244 dan nilai t = 3,207 > 1,96. 6). Faktor social-culture berpengaruh
terhadap Perceived Behavioral Control dengan nilai koefisien parameter 0,136
dan nilai t = 2,034 > 1,96. 7). Faktor information berpengaruh terhadap attitude
toward behavioral dengan nilai koefisien parameter 0,732 dan nilai t = 17,268
>1,96. 8). Faktor information tidak berhubungan dengan Subjective Norm dengan
nilai koefisien parameter -0,057 dan nilai t = 0,780 < 1,96. 9). Faktor information
tidak berhubungan dengan Perceived Behavioral Control dengan nilai koefisien
parameter 0,086 dan nilai t = 1,102 < 1,96. 10). attitude toward behavioral
berpengaruh pada Intension dengan nilai koefisien parameter 0,192 dan nilai t =
3,356 > 1,96. 11). Subjective Norm berpengaruh terhadap Intension dengan nilai
koefisien parameter 0,496 dan nilai t = 6,561 > 1,96. 12). Perceived Behavioral
Control tidak berpengaruh terhadap Intension dengan nilai koefisien parameter
0,074 dan nilai t = 1,174 < 1,96. 13). Intension tidak ada pengaruh terhadap
perilaku (Behaviour) dengan nilai koefisien parameter 0,109 dan nilai t = 1,649 <
1,96

Faktor Attitude toward behavioral memiliki pengaruh yang kuat dengan


nilai GOF = 0,631, faktor behavioral memiliki pengaruh yang lemah dengan nilao
GOF = 0,012, faktor Intension memiliki pengaruh yang baik dengan nilai
GOF=0,383, faktor perceived behavioral control memiliki pengaruh lemah

xiii
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

dengan nilai GOF=0,142, sedangkan Subjective norm memiliki pengaruh yang


lemah dengan nilai GOF=0,105

xiv
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

INCREASING DEVELOPMENT MODEL IN DISASTER NURSING


RESPONSE BASED ON THEORY PLANNED BEHAVIOUR IN A LOCAL
WISDOM

ABSTRACT

Introduction: Disaster is a serious dysfunction that occurs in a society or


community that results in widespread losses with many victims. Various efforts
continue to be made to develop the ability of human resources in the face of
disaster. Actually on real disaster situations still found the victim immediately
brought to definitive care without optimal stabilization process. So there is found
many DOA (Death On arrival) when the victims comes to intra hospital. The
purpose of this study is to validate the model hypothesis that influences the
behavior of the disaster response nurses. Method: This study used cross-sectional
design. 175 nurses in Pacitan, Indonesia follow this study by purposive sampling.
The data taken are the factors that influence behavior on Theory Planned Behavior
and local cultural wisdom. Result and Analysis: Significantly personal factors
relate to attitude (t=2.182), Information relates to attitude (t=17.268), social
culture is not related to attitude (t = 0.714), intension is not related to behavior (t =
1.649). Discussion and Conclusion: Personal factors and information obtained
affect a person to behave and have an intention in disaster response, but ultimately
not necessarily someone willing to take disaster response measures in accordance
with the intention. This is become principal and to be background factor on
SPGDT (General Emergency Life Support)

Keywords: Disaster nurses, theory planned behavior, personal factors, behavior

xv
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN TINDAKAN


KEPERAWATAN DALAM TANGGAP BENCANA BERBASIS TPB
(THEORY PLANNED BEHAVIOUR) DALAM KONTEKS KEARIFAN
BUDAYA LOKAL

ABSTRAK

Introduction: Bencana merupakan gangguan fungsi serius yang terjadi di suatu


masyarakat atau komunitas yang mengakibatkan kerugian yang meluas dengan
angka korban tidak bisa dikatakan sedikit. Bermacam upaya terus dilakukan untuk
mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dalam menghadapi bencana.
Akan tetapi masih di temukan korban segera di bawa tanpa proses stabilisasi
optimal. Dan pada situasi nyata bencana masih di dapatkan angka DOA (Death
On Arrival) ketika korban masuk ke dalam fase intra hospital. Tujuan dari
penelitian ini adalah memvalidasi hipotesis model yang mempengaruhi perilaku
perawat tanggap bencana. Method: Penelitian ini menggunakan desain cross-
sectional. 175 orang perawat se Kabupaten Pacitan di pilih dengan purposive
sampling. Data yang diambil adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
pada Theory Planned Behavior dan kearifan budaya lokal. Result and Analysis:
Secara signifikan faktor personal berhubungan dengan attitude (nilai t=2,182),
Informasi berhubungan dengan attitude (nilai t=17,268), sosial culture tidak
berhubungan dengan attitude (nilai t=0,714), intension tidak berhubungan dengan
behavior (t=1,649). Discussion and Conclusion: faktor personal dan informasi
yang didapatkan mempengaruhi seseorang untuk bersikap dan memiliki suatu niat
dalam tanggap bencana, akan tetapi pada akhirnya belum tentu seseorang mau
melakukan tindakan tanggap bencana sesuai dengan niatnya. Situasi ini yang
menjadi prinsip latar belakang dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu

Kata Kunci : Perawat bencana, theory planned behavior, faktor personal, perilaku

xvi
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR .......................................................................................... i


SAMPUL DALAM....................................................................................... ii
PRASYARAT GELAR ................................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................ iv
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING TESIS ..................................... v
LEMBAR PENGESAHAN TESIS ............................................................... vi
KATA PENGANTAR...................................................................................... vii
PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................................................... ix
EXECUTIVE SUMMARY .............................................................................. x
RINGKASAN ............................................................................................... xii
ABSTRAC ................................................................................................... xv
ABSTRAK ................................................................................................... xvi
DAFTAR ISI ................................................................................................ xvii
DAFTAR TABEL........................................... ............................................... xx
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xxii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxiii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. xxiv

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum.................................................................. . 4
1.3.2 Tujuan khusus ............................................................... 4
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis............................................................... . 6
1.4.2 Manfaat praktis .............................................................. 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………… 7


2.1 Theory Planned Behaviour....................................................... 7
2.1.1 Intensi.................................................. ............................. 9
2.1.2 Sikap (Attitude toward behavioral)................................... 10
2.1.3 Subjective Norm .............................................................. 13
2.1.4 Perceived Behavioral Control ......................................... 14
2.1.5 Variabel Lain Yang Mempengaruhi ................................ 16
2.2 Perilaku ................................................................................... 19
2.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi terbentuknya Perilaku.......... 20
2.2.2 Domain Perilaku Kesehatan ............................................ 22
2.3 Definisi Bencana...... ................................................................ 28
2.3.1 Jenis-jenis Bencana Alam ................................................ 29
2.3.2 Disaster Management ...................................................... 33
2.3.3 Peran Perawat Dalam Bencana ......................................... 36
2.3.4 Religiusitas dan Bencana................................................... 37
2.4 Teori Budaya ........................................................................... 39

xvii

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2.4.1 Konsep Transkultural ...................................................... 40


2.4.2 Peran dan Fungsi Keperawatan Transkultural .................. 42
2.4.3 Kearifan Budaya Lokal Pacitan ....................................... 43
2.5 Keaslian Penelitian .................................................................. 47

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL.......................................................... 55


3.1 Kerangka Konseptual Penelitian.................................................. 55
3.2 Hipotesis Penelitian..................................................................... 57

BAB 4 METODE PENELITIAN.................................................................. 59


4.1 Desain Penelitian.................................................................... 59
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Sampling
4.2.1 Populasi............................................................................ 59
4.2.2 Sampel dan Besar Sample............................................... 59
4.2.3 Teknik Sampling.............................................................. 60
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel Independen........................................................ 60
4.3.2 Variabel Dependen........................................................... 61
4.4 Definisi Operasional.................................................................. 62
4.5 Instrumen Penelitian ...... ........................................................ 64
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas .................................................. 65
4.7 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data Penelitian...................... 66
4.8 Prosedur Pengumpulan Data…………………………………. 66
4.9 Kerangka Kerja Penelitian........................................................ 68
4.10 Analisis Data............................................................................. 69
4.11 Pengujian Hipotesis................................................................... 70
4.12 Etika Penelitian....................................................................... 71

BAB 5 HASIL PENELITIAN ..................................................................... 7


5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................... 7
5.1.1 Geografi ............................................................................. 7
5.1.2 Topografi dan Iklim ........................................................... 7
5.1.3 Kependudukan ................................................................... 7
5.1.4 Wilayah Peka Bencana dan Wilayah Kritis......................... 7
5.1.5 Sarana Kesehatan ............................................................... 7
5.2. Karakteristik Responden Penelitian ............................................ 
5.2.1 Socio-Cultur Responden..................................................... 
5.2.2 Karakteristik Faktor Latar Belakang ................................... 8
5.2.3 Karakteristik Faktor Pembentuk Sikap ............................... 8
5.2.4 Karakteristik Faktor Pembentuk Perilaku ........................... 8
5.3.Analisis Inferensial Model Peningkatan Tindakan Keperawatan
Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned Behavior ................ 8
5.3.1 Evaluasi Model Pengukuran atau outer model .................... 8
5.3.2 Pengujian Model Struktural atau inner model ..................... 8
5.3.3 Pengujian Hipotesis............................................................ 8
5.4.Hasil Focus Grup Discussion (FGD) ........................................... 9
5.5.Rekomendasi Hasil FGD ............................................................ 9

xviii

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 6 PEMBAHASAN .............................................................................. 9


6.1. Pengaruh Faktor Personal Terhadap Attitude Toward Behavioral
pada Tindakan Perawat Tanggap Bencana ........................................ 9
6.2. Pengaruh Faktor Personal Terhadap Subjective Norm pada Tindakan
Perawat Tanggap Bencana ................................................................. 9
6.3. Pengaruh faktor personal dengan Perceived Behavioral Control
dalam perilaku tanggap bencana ........................................................ 9
6.4. Pengaruh faktor Social-culture dengan attitude toward behavioral
dalam perilaku tanggap bencana ........................................................ 
6.5. Pengaruh Social-culture dengan Subjective Norm dalam perilaku
tanggap bencana ................................................................................ 10
6.6. Pengaruh Social-culture dengan Perceived Behavioral Control
dalam perilaku tanggap bencana ........................................................ 10
6.7. Pengaruh Information dengan attitude toward behavioral dalam
perilaku tanggap bencana .................................................................. 10
6.8. Pengaruh Information dengan Subjective Norm dalam perilaku
tanggap bencana……………………………………………………… 10
6.9. Pengaruh Information dengan Perceived Behavioral Control dalam
perilaku tanggap bencana .................................................................. 10
6.10. Pengaruh attitude toward behavioral terhadap Intension dalam
perilaku tanggap bencana .................................................................. 10
6.11. Pengaruh Subyektive Norm terhadap Intension dalam perilaku
tanggap bencana ................................................................................ 11
6.12. Pengaruh Perceived Behavioral Control terhadap Intension dalam
perilaku tanggap bencana .................................................................. 11
6.13. Pengaruh Intension terhadap perilaku (Behaviour) tanggap
bencana ............................................................................................. 11
6.14. Temuan Penelitian ......................................................................... 11
6.15. Keterbatasan Penelitian.................................................................. 12

BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 12


7.1 Simpulan .................................................................................. 12
7.2 Saran ........................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 12

xix

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel Keaslian Penelitian........................................................ 46

Tabel 4.1 Variabel Penelitian Pengembangan Model Peningkatan Tindakan


Keperawatan Dalam Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned
Behaviour Dalam Konteks Kearifan Budaya
Lokal....................................................................................... 61

Tabel 4.2 Definisi Operasional Penelitian Pengembangan Model


Peningkatan Tindakan Keperawatan Dalam Tanggap Bencana
Berbasis Theory Planned Behaviour Dalam Konteks Kearifan
Budaya Lokal............................................................................ 62

Tabel 5.1 Letak batas wilayah kabupaten Pacitan……………………... 74


Tabel 5.2 Distribusi Puskesmas di wilayah Kabupaten Pacitan……….. 77
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Sosio-
Culture……………………………………………………… 79
Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan karakteristik personal
(Sikap umum, Religiusitas) Informasi (Pengetahuan,
Pengalaman, Budaya)……………………………………... 80
Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan attitude toward
behavioral, subyektive norm, perceived behavioral control
……………………………………………………………… 81
Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan Intension dan
Behavior………………………….…………………………. 82

Tabel 5.7 Perhitungan measuremen model (outer model) pada Model


Peningkatan Tindakan Keperawatan Tanggap Bencana
Berbasis Theory Planned Behaviour dalam konteks kearifan
budaya lokal di Kabupaten Pacitan…………………………. 84

Tabel 5.8 Perhitungan measuremen model (inner model) pada Model


Peningkatan Tindakan Keperawatan Tanggap Bencana
Berbasis Theory Planned Behaviour dalam konteks kearifan
budaya lokal di Kabupaten Pacitan …………........................ 86

Tabel 5.9 Hasil perhitungan uji t (T-Test) pada Model Peningkatan


Tindakan Keperawatan Tanggap Bencana Berbasis Theory
Planned Behaviour dalam konteks kearifan budaya lokal di
Kabupaten Pacitan …………………………………………. 88

xx

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tabel 5.10 Goodness of fit (GoF) pada Model Peningkatan Tindakan


Keperawatan Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned
Behaviour dalam konteks kearifan budaya lokal di
Kabupaten Pacitan………………………………………….. 90

Tabel 5.19 Hasil FGD pada Model Peningkatan Tindakan


Keperawatan Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned
Behaviour dalam konteks kearifan budaya lokal di
Kabupaten Pacitan………………………………………… 91

xxi

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Theory of Planned Behaviour (Ajzen, 2005).......................... 8

Gambar 2.2 Model Konsep Teori Transkultural (Leineinger, 2002)…….. 42

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Pengembangan Model


Peningkatan Tindakan Keperawatan Berbasis Theory Planned
Behaviour, Transkultural Model, dan Culture, Context and
Behaviour.................................................................................... 55

Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian Pengembangan Model


Peningkatan Tindakan Keperawatan dalam Tanggap Bencana
Berbasis Theory Planned Behaviour dalam Konteks Kearifan
Budaya Lokal……………………………….............................. 68

Gambar 5.1 Measurement model (outer model)…………………………. 83

Gambar 5.2 Measurement model (inner model)…………………………. 85

Gambar 5.3 Structural model (Pengujian hipotesis)……………………… 87

Gambar 6.1 Temuan Penelitian…………………………………………… 117

xxii

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 : Inform Consent…………………..…………………......... 1

Lampiran 2 : Kuesioner Background Faktor………………………........ 2

Lampiran 3 : Kuesioner Sikap Umum………………………………….. 3

Lampiran 4 : Kuesioner Religiusitas…………………………………..... 4

Lampiran 5 : Kuesioner Pengetahuan………………………………....... 5

Lampiran 6 : Kuesioner Sikap Terhadap Tindakan Tanggap Bencana… 7

Lampiran 7 : Kuesioner Pengalaman…………………………………… 9

Lampiran 8 : Kuesioner Norma Subyektif…………………………….. 10

Lampiran 9 : Kuesioner Perceived Behavioral Control……………….. 11

Lampiran 10 : Kuesioner Intensi……………………………………… 12

Lampiran 11 : Kuesioner Budaya……………………………………….. 13

Lampiran 12 : Lembar Observasional………………………………….. 14

Lampiran 13 : Panduan Teknis FGD…………………………………… 15

Lampiran 14 : Keterangan Lolos Kaji Etik…………………………….. 21

Lampiran 15 : Rekomendasi Penelitian.................................................... 22

Lampiran 16 : Modul Peningkatan Tindakan Keperawatan Tanggap Bencana

Dengan Konteks Kearifan Budaya Lokal................................................. 24

xxiii

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR SINGKATAN

3A : Amankan diri, Amankan lingkungan, Amankan korban


AHA : American Heart Association
ATLS : Advance Trauma Life Support
BNPB : Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPBD : Badan Penanggulangan Bencana Daerah
ERC : European Resuscitation Council
FGD : Focus Group Discussion
ICN : International Council of Nursing
IGD : Instalasi Gawat Darurat
ILCOR : The International Liaison Committee On Resuscitation
PBC : Perceived Behavioral Control
PLS : Partial Least Square
SAR : Search And Rescue
SN : Subyektive Norm
SPGDT : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
TPB : Theory of Planned Behaviour
TRA : Theory Reaction of Action
WHO : World Health Organization

xxiv

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Badan Kesehatan Dunia WHO, mendefinisikan bahwa bencana adalah

sebuah gangguan fungsi serius yang terjadi di suatu masyarakat atau komunitas

yang mengakibatkan kerugian yang meluas, baik kerugian material, ekonomi atau

lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat terdampak bencana (Yan et

al., 2015). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia mencatat

bahwa selama tahun 2016 terdapat 2.342 kejadian bencana di Indonesia, naik 35%

jika dibandingkan dengan jumlah bencana pada tahun 2015. Dari jumlah tersebut,

sebanyak 92% adalah bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir,

longsor dan puting beliung. Selama tahun 2016 telah terjadi 766 bencana banjir,

612 longsor, 669 puting beliung, 74 kombinasi banjir dan longsor, 178 kebakaran

hutan dan lahan, 13 gempa, tujuh gunung meletus, dan 23 gelombang pasang dan

abrasi. Dampak yang ditimbulkan bencana telah menyebabkan 522 orang

meninggal dunia dan hilang, 3,05 juta jiwa mengungsi dan menderita, 69.287 unit

rumah rusak dimana 9.171 rusak berat, 13.077 rusak sedang, 47.039 rusak ringan,

dan 2.311 unit fasilitas umum rusak. (www.bbc.com).

Jawa Timur merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan potensi

bencana yang memiliki dampak terburuk. Jumlah korban kematian, luka-luka,

kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan tidak bisa dikatakan sedikit.

Kabupaten Pacitan merupakan salah satu dari 38 Kabupaten di Propinsi Jawa

Timur yang memiliki potensi bencana alam yang sangat besar. Menurut Kasi

1
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2

Kedaruratan dan Logistik BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah)

wilayah Pacitan yang dikutip dari Radar Madiun tanggal 6 Agustus 2016, mulai

bulan Januari hingga bulan Juli ada sekitar 326 kejadian bencana, seperti gempa

bumi dan tanah longsor. Akan tetapi dari situs BPBD Pacitan dan situs Dinas

Kesehatan Kabupaten Pacitan tidak di sebutkan data jumlah korban luka-luka dan

meninggal. Pada tanggal 28 November 2017 telah terjadi banjir besar yang

melanda wilayah Kabupaten Pacitan. Berdasarkan hasil Press Release yang di

umumkan oleh BPBD Pacitan per tanggal 30 November 2017 di dapatkan data

sebanyak 1.879 warga mengungsi yang tersebar di 8 titik pengungsian, 19 orang

meninggal di mana 5 diantaranya karena terseret arus banjir, 14 korban tertimpa

tanah longsor, 5 orang sedang dalam proses pencarian oleh tim penyelamat.

Bermacam upaya terus dilakukan untuk mengembangkan kemampuan

sumber daya manusia dalam menghadapi bencana, akan tetapi tingginya angka

korban kejadian bencana tidak dapat di hindari. Perawat sebagai salah satu bagian

dari first responder dalam penanganan bencana perlu dipersiapkan dengan lebih

baik dalam merawat korban massal (Wenji et al., 2014) termasuk mulai saat

menemukan korban, melakukan stabilisasi hingga melakukan rujukan. Akan tetapi

dilapangan masih di temukan situasi bahwa korban yang ditemukan segera di

bawa tanpa ada proses stabilisasi yang optimal. Menurut Labrague et al., (2016)

seorang perawat perlu memiliki pengetahuan dan skill mengenai bencana dan

manajemen bencana.

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan tanggal 8 september 2017

terhadap 14 orang perawat bencana, 3 orang perawat menjawab korban harus

segera dirujuk, 4 orang perawat lainnya menyatakan bahwa tatalaksana korban

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3

bencana dengan memberikan oksigen menggunakan nasal, pasang cairan infus,

hentikan perdarahan semampunya lalu korban segera dirujuk secepatnya.

Sedangkan 2 orang perawat lainnya yang bekerja di rumah sakit rujukan

menyatakan bahwa pernah menerima korban bencana yang masih belum stabil

saat dirujuk ke IGD Rumah Sakit.

Keperawatan sebagai bagian dari first responder dituntut untuk selalu siap

sedia memberikan keilmuan dan keterampilan terkait bencana dan manajemen

bencana untuk memberikan pertolongan kepada setiap yang membutuhkan dalam

keadaan apapun termasuk dalam situasi tanggap bencana (Baack and Alfred,

2013). Menurut Martinsen dalam Alligood, (2014), seorang perawat memiliki

tanggung jawab untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk

membantu orang lain sebagai sesama manusia dalam berbagai kondisi baik saat

sedang dalam tugas sebagai profesional maupun sedang tidak dalam tugas

profesional termasuk dalam situasi bencana. Pelaksanaan tindakan keperawatan

pada situasi tanggap bencana memiliki tantangan tersendiri. Berbagai macam

dinamika yang terjadi saat bencana, karakteristik masing-masing individu

perawat, serta pengalaman positif maupun negatif, emosi termasuk rasa bangga,

takut, komitmen ikut mempengaruhi bagaimana tindakan keperawatan diberikan.

(Hammad et al., 2012).

Sebagai upaya meningkatkan tindakan keperawatan pada saat response

bencana, maka perlu adanya suatu pengembangan model aplikatif tentang

peningkatan kemampuan tindakan keperawatan perilaku tanggap bencana. Theory

of Planned Behavior mempunyai dasar pendekatan beliefs yang membentuk niat

(intention) dan mendorong individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4

Dengan pembentukan sebuah model yang berbasis Theory of Planned Behavior

diharapkan tim perawat tanggap bencana dan seluruh perawat khususnya di

wilayah Kabupaten pacitan di harapkan mampu meningkatkan kemampuan

tindakan dalam menolong korban bencana. Sehingga angka korban bencana yang

selamat diharapkan meningkat dari tahun ke tahun.

1. 2 Rumusan Masalah

Bagaimana model pendekatan Theory of Planned Behavior terhadap

peningkatan tindakan keperawatan tanggap bencana dalam konteks kearifan

budaya lokal di Kabupaten Pacitan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengembangkan model peningkatan tindakan keperawatan tanggap

bencana berbasis Theory of Planned Behavior dalam konteks kearifan budaya

lokal di wilayah Kabupaten Pacitan.

1.3.2 Tujuan khusus

1 Menganalisis hubungan faktor latar belakang (personal) terhadap attitude

toward behavioral dalam perilaku tanggap bencana

2 Menganalisis hubungan faktor latar belakang (personal) terhadap subjective

Norm dalam perilaku tanggap bencana

3 Menganalisis hubungan faktor latar belakang (personal) terhadap perceived

behavioral control dalam perilaku tanggap bencana

4 Menganalisis hubungan faktor latar belakang (social-culture) terhadap attitude

toward behavioral dalam perilaku tanggap bencana

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5

5 Menganalisis hubungan faktor latar belakang (social-culture) terhadap

subjective norm dalam perilaku tanggap bencana

6 Menganalisis hubungan faktor latar belakang (social-culture) terhadap

perceived behavioral control dalam perilaku tanggap bencana

7 Menganalisis hubungan faktor latar belakang (information) terhadap attitude

toward behavioral dalam perilaku tanggap bencana

8 Menganalisis hubungan faktor latar belakang (information) terhadap

subjective norm dalam perilaku tanggap bencana

9 Menganalisis hubungan faktor latar belakang (information) terhadap perceived

behavioral control dalam perilaku tanggap bencana

10 Menganalisis hubungan attitude toward behavioral terhadap intension dalam

perilaku tanggap bencana

11 Menganalisis hubungan subyektive norm terhadap intension dalam perilaku

tanggap bencana

12 Menganalisis hubungan perceived behavioral control terhadap intension

dalam perilaku tanggap bencana

13 Menganalisis hubungan perceived behavioral control terhadap perilaku

(behaviour) dalam perilaku tanggap bencana

14 Menganalisis hubungan intension terhadap perilaku (behaviour) tanggap

bencana

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Hasil penyusunan model tindakan keperawatan tanggap bencana berbasis

Theory of Planned Behavior sebagai kerangka pemikiran dan rujukan dalam

pengembangan Ilmu Keperawatan pada tanggap bencana.

1.4.2 Praktis

Hasil penyusunan model ini diharapkan dapat digunakan sebagai panduan

ataupun masukan dalam upaya meningkatkan keilmuan perawat tanggap bencana

dalam upaya membantu menangani bencana.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Theory of Planned Behavior

Teori Perilaku yang direncanakan (Theory of Planned Behavior) yang

disingkat dengan TPB pertama kali di usulkan oleh Icek Ajzen pada tahun 1985

melalui artikelnya “from intension to behaviour”, teori ini merupakan

pengembangan lebih lanjut dari TRA (Theory Reaction Action) yang di usulkan

bersama oleh Martin Fisbein dan Icek Ajzen pada tahun1980. Seperti pada teori

TRA, faktor inti dari TPB adalah niat individu dalam melakukan perilaku tertentu.

Niat diasumsikan sebagai penangkap motivasi yang mempengaruhi suatu perilaku.

Secara umum, semakin kuat niat untuk terlibat dalam perilaku maka semakin

besar kemungkinan perilaku tersebut dilakukan (Ajzen, 1991).

Ajzen (1991) menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu

persepsi terhadap pengendalian yang dapat dilakukan (perceived behavioral

control). Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang

dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu. Dengan kata lain,

dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh

sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol

yang dapat dilakukannya yang bersumber pada keyakinannya terhadap kontrol

tersebut (control beliefs)

7
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8

Background factors:
Attitude toward behavioral:
1. Personal 1. behavioral belief
General Attitude
Personality Trait
2. outcome evaluations
Values
Emotions
Intelligence Subjective Norms:
Intention Behavior
2. Social
1. normative belief
Age,gender Race 2. motivation to comply
Etnicity
Education
Income Religion
Perceived Behavioral Control
3. Information 1. controllability/control
Experience 2. perceived power
Knowledge
Media Expo

Gambar 2.1 The Theory of Planned Behavior (Ajzen, 2005),

Theory of Planned Behavior mempunyai dasar pendekatan beliefs yang

membentuk niat (intention) dan mendorong individu untuk menampilkan atau

melakukan suatu perilaku tertentu. Beliefs dipengaruhi oleh beberapa faktor latar

belakang individu, antara lain yaitu faktor personal yang meliputi (nilai, emosi,

dan kognisi), faktor sosial yang meliputi (usia, jenis kelamin, ras, budaya,

pendapatan, dan agama), serta faktor referensi/informasi yang meliputi

(pengetahuan, pengalaman, dan media) (Ajzen, 2005)

Theory of Planned Behavior (TPB) menyampaikan bahwa perilaku yang

ditampilkan oleh individu timbul karena adanya intensi/niat untuk berperilaku.

Sedangkan munculnya niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu:

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9

1) behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu

perilaku (beliefs strength) dan evaluasi atas hasil tersebut (outcome

evaluation)

2) normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain

(normative beliefs) dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut

(motivation to comply)

3) control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang

mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control

beliefs) dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung

dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Hambatan

yang mungkin timbul pada saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari

dalam diri sendiri maupun dari lingkungan .

Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap terhadap perilaku

positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang

dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subjektif (subjective norm)

dan control beliefs menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol

perilaku yang dipersepsikan (Ajzen, 2002) dalam (Nursalam, 2015).

2.1.1 Intensi

Dikutip dari (Nursalam, 2015), Ajzen (1988, 1991) mengungkapkan

bahwa intensi merupakan indikasi seberapa kuat keyakinan seseorang akan

mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang akan digunakan untuk

melakukan sebuah perilaku. Selain itu intensi (niat) dapat di definisikan sebagai

keinginan untuk melakukan perilaku. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa,

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10

seseorang berperilaku karena faktor keinginan, kesengajaan atau karena memang

sudah direncanakan. Niat berperilaku (behavioral intention) masih merupakan

suatu keinginan atau rencana. Dalam hal ini, niat belum merupakan perilaku,

sedangkan perilaku (behavior) adalah tindakan nyata yang dilakukan.

Intensi merupakan faktor motivasional yang memiliki pengaruh pada

perilaku, sehingga orang dapat mengharapkan orang lain berbuat sesuatu

berdasarkan intensinya (Ajzen 1988, 1991). Pada umumnya, intensi memiliki

korelasi yang tinggi dengan perilaku, oleh karena itu dapat digunakan untuk

meramalkan perilaku.

Menurut Fishbein dan Ajzen (1985), intensi diukur dengan sebuah

prosedur yang menempatkan subjek di suatu dimensi probabilitas subjektif yang

melibatkan suatu hubungan antara dirinya dengan tindakan. Menurut Theory of

Planned Behavior, intensi memiliki 3 determinan, yaitu: sikap, norma subjektif,

dan kendala-perilaku-yang-dipersepsikan (Ajzen, 1988). Pengukuran intensi dapat

digolongkan ke dalam pengukuran belief. Sebagaimana pengukuran belief,

pengukuran intensi terdiri atas 2 hal, yaitu pengukuran isi (content) dan kekuatan

(strength). Isi dari intensi diwakili oleh jenis tingkah laku yang akan diukur,

sedangkan kekuatan responsnya dilihat dari rating jawaban yang diberikan

responsden pada pilihan skala yang tersedia. Contoh pilihan skalanya adalah

mungkin-tidak mungkin dan setuju-tidak setuju.

2.1.2 Sikap (Attitude toward behavioral)

Dikutip dari (Nursalam, 2015), menurut Ajzen (2005) sikap merupakan

besarnya perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek (favorable) atau

negatif (unfavorable) terhadap suatu objek, orang, institusi, atau kegiatan. Eagly

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11

dan Chaiken (1993) dalam Aiken (2002) mendefinisikan sikap sebagai

kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi suatu

identitas dalam derajat suka dan tidak suka. Sikap dipandang sebagai sesuatu yang

afektif atau evaluatif. Konsep sentral yang menentukan sikap adalah belief.

Menurut Fishbein dan Ajzen (1985), belief merepresentasikan pengetahuan yang

dimiliki seseorang terhadap suatu objek, di mana belief menghubungkan suatu

objek dengan beberapa atribut. Kekuatan hubungan ini diukur dengan prosedur

yang menempatkan seseorang dalam dimensi probabilitas subjektif yang

melibatkan objek dengan atribut terkait. Menurut Fishbein dan Ajzen (1985),

sikap seseorang terhadap suatu objek sikap dapat diestimasikan dengan

menjumlahkan hasil kali antara evaluasi terhadap atribut yang diasosiasikan pada

objek sikap (belief evaluation) dengan probabilitas subjektifnya bahwa suatu

objek memiliki atau tidak memiliki atribut tersebut (behavioral belief). Atau

dengan kata lain, dalam theory of planned behavior sikap yang dimiliki seseorang

terhadap suatu tingkah laku dilandasi oleh belief seseorang terhadap konsekuensi

(outcome) yang akan dihasilkan jika tingkah laku tersebut dilakukan (outcome

evaluation) dan kekuatan terhadap belief tersebut (belief strength). Belief adalah

pernyataan subjektif seseorang yang menyangkut aspek-aspek yang dapat

dibedakan tentang dunianya, yang sesuai dengan pemahaman tentang diri dan

lingkungannnya (Ajzen, 2005).

Dikaitkan dengan sikap, belief mempunyai tingkatan atau kekuatan yang

berbeda beda, yang disebut dengan belief strength. Kekuatan ini berbeda-beda

pada setiap orang dan kuat lemahnya belief ditentukan berdasarkan persepsi

seseorang terhadap tingkat keseringan suatu objek memiliki atribut tertentu

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12

(Fishbein & Ajzen, 1975). Sebagai salah satu komponen dalam rumusan intensi,

sikap terdiri atas belief dan evaluasi belief Fishbein & Ajzen, 1975 dalam Ismail

& Zain, 2008), seperti rumus berikut ini:

Berdasarkan rumus di atas, sikap terhadap perilaku tertentu (AB)

didapatkan dari penjumlahan hasil kali antara kekuatan belief terhadap outcome

yang dihasilkan (bi) dengan evaluasi terhadap outcome (ei). Dengan kata lain,

seseorang yang percaya bahwa sebuah tingkah laku dapat menghasilkan sebuah

outcome yang positif, maka ia akan memiliki sikap yang positif. Begitu juga

sebaliknya, jika seseorang memiliki keyakinan bahwa dengan melakukan suatu

tingkah laku akan menghasilkan outcome yang negatif, maka seseorang tersebut

juga akan memiliki sikap yang negative terhadap perilaku tersebut.

Pengukuran sikap tidak bisa didapatkan melalui pengamatan langsung,

melainkan harus melalui pengukuran respons. Pengukuran sikap ini didapatkan

dari interaksi antara belief content- outcome evaluation dan belief strength. Belief

seseorang mengenai suatu objek atau tindakan dapat dimunculkan dalam format

respons bebas dengan cara meminta subjek untuk menuliskan karakteristik,

kualitas dan atribut dari objek atau konsekuensi tingkah laku tertentu. Fishbein &

Ajzen menyebutnya dengan proses elisitasi. Elisitasi digunakan untuk

menentukan belief utama (salient belief ) yang akan digunakan dalam penyusunan

alat ukur atau instrument.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13

2.1.3 Subjective Norm

Dikutip dari (Nursalam, 2015), Norma subjektif merupakan kepercayaan

seseorang mengenai persetujuan orang lain terhadap suatu tindakan (Ajzen, 1988),

atau persepsi individu tentang apakah orang lain akan mendukung atau tidak

terwujudnya tindakan tersebut. Norma subjektif adalah pihak-pihak yang

dianggap berperan dalam perilaku seseorang dan memiliki harapan pada orang

tersebut, dan sejauh mana keinginan untuk memenuhi harapan tersebut. Jadi,

dengan kata lain bahwa norma subjektif adalah produk dari persepsi individu

tentang belief yang dimiliki orang lain. Orang lain tersebut disebut referent, dan

dapat merupakan orang tua, sahabat, atau orang yang dianggap ahli atau penting.

Terdapat dua faktor yang memengaruhi norma subjektif: normative belief, yaitu

keyakinan individu bahwa referent berpikir ia harus atau harus tidak melakukan

suatu perilaku dan motivation to comply, yaitu motivasi individu untuk memenuhi

norma dari referent tersebut.

Rumusan norma subjektif pada intensi perilaku tertentu, dirumuskan

sebagai berikut (Fishbein & Ajzen, 1975):

Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa norma subjektif

adalah persepsi seseorang terhadap orang-orang yang dianggap penting bagi

dirinya untuk berperilaku atau tidak berperilaku tertentu, dan sejauhmana

seseorang ingin mematuhi anjuran orang-orang tersebut. Norma subjektif secara

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14

umum dapat ditentukan oleh harapan spesifik yang dipersepsikan seseorang, yang

merupakan referensi (anjuran) dari orang-orang yang di sekitarnya dan oleh

motivasi untuk mengikuti referensi atau anjuran tersebut.

Berdasarkan rumus di atas, norma subjektif (SN) didapatkan dari hasil

penjumlahan hasil kali normative belief tentang tingkah laku i (bi) dan dengan

motivation to comply/ motivasi untuk mengikutinya (mi). Dengan kata lain bahwa,

seseorang yang yang memiliki keyakinan bahwa individu atau kelompok yang

cukup berpengaruh terhadapnya (referent) akan mendukung ia untuk melakukan

tingkah laku tersebut, maka hal ini akan menjadi tekanan sosial untuk seseorang

tersebut melakukannya. Sebaliknya, jika seseorang percaya bahwa orang lain yang

berpengaruh padanya tidak mendukung tingkah laku tersebut, maka hal ini

menyebabkan ia memiliki norma subjektif untuk tidak melakukannya.

Pengukuran norma subjektif sesuai dengan antesedennya, yaitu

berdasarkan 2 skala: normative belief dan motivation to comply. Maka

pengukurannya juga diperoleh dari penjumlahan hasil perkalian keduanya. Norma

subjektif sama halnya dengan sikap, belief tentang pihak-pihak yang mendukung

atau tidak mendukung didapatkan dari hasil elisitasi untuk menentukan belief

utamanya.

2.1.4 Precieved Behavioral Control

Dikutip dari (Nursalam, 2015), kendali-perilaku-yang-dipersepsikan

(perceived behavior control) merupakan persepsi terhadap mudah atau sulitnya

sebuah perilaku dapat dilaksanakan. Variabel ini diasumsikan merefleksikan

pengalaman masa lalu, dan mengantisipasi halangan yang mungkin terjadi

(Ajzen, 1988). Atau perceived behavioral control adalah persepsi seseorang

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15

tentang kemudahan atau kesulitan untuk berperilaku tertentu. Terdapat dua

asumsi mengenai kendali perilaku yang dipersepsikan. Pertama, kendali perilaku

yang dipersepsikan diasumsikan memiliki pengaruh motivasional terhadap

intensi. Individu yang meyakini bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk

berperilaku, tidak akan memiliki intensi yang kuat, meskipun ia bersikap positif,

dan didukung oleh referents (orang-orang di sekitarnya) (Ajzen 1988). Kedua,

kendali-perilaku yang-dipersepsikan memiliki kemungkinan untuk memengaruhi

perilaku secara langsung, tanpa melalui intensi, karena ia merupakan substitusi

parsial dari pengukuran terhadap kendali aktual (Ajzen, 1988).

Perceived behavioral control sama dengan kedua faktor sebelumnya yaitu

dipengaruhi juga oleh beliefs. beliefs yang dimaksud adalah tentang ada/ hadir

dan tidaknya faktor yang menghambat atau mendukung performa tingkah laku

(control belief ). Berikut adalah rumus yang menghubungkan antara perceived

behavioral control dan control belief:

Kendali perilaku yang dipersepsikan/PBC didapat dengan menjumlahkan

hasil kali antara keyakinan mengenai mudah atau sulitnya suatu perilaku

dilakukan (control belief) dan kekuatan faktor i dalam memfasilitasi atau

menghambat tingkah laku (power belief). Dengan kata lain, semakin besar

persepsi seseorang mengenai kesempatan dan sumber daya yang dimiliki (faktor

pendukung), serta semakin kecil persepsi tentang hambatan yang dimiliki, maka

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16

semakin besar perceived behavioral control yang dimiliki seseorang. Pengukuran

perceived behavioral control yang dapat dilakukan hanyalah mengukur persepsi

individu yang bersangkutan terhadap kontrol yang ia miliki terhadap beberapa

faktor penghambat atau pendukung tersebut. Beberapa faktor yang dipersepsi

sebagai penghambat atau pendorong tersebut didapatkan dari proses elisitasi untuk

mendapatkan belief yang utama.

2.1.5 Variabel Lain yang Mempengaruhi

Dikutip dari (Nursalam, 2015), menurut Ajzen, 2005 dalam Ramadhani,

2009 bahwa variabel lain yang memengaruhi intensi selain beberapa faktor utama

tersebut (sikap terhadap perilaku, norma subjektif dan PBC), yaitu variabel yang

memengaruhi atau berhubungan dengan belief. Beberapa variabel tersebut dapat

dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Faktor personal

Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu, sifat

kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi, dan

kecerdasan yang dimilikinya.

2. Faktor sosial

Faktor sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin (gender), etnis,

pendidikan, penghasilan, dan agama.

a) Usia

Secara fisiologi pertumbuhan dan perkembangan seseorang dapat

digambarkan dengan pertambahan usia. Pertambahan usia

diharapkan terjadi pertambahan kemampuan motorik sesuai dengan

tumbuh kembangnya. Akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17

seseorang pada titik tertentu akan mengalami kemunduran akibat

faktor degeneratif. Umur adalah rentang kehidupan yang diukur

dengan tahun, dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 tahun

sampai 40 tahun, dewasa madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa

lanjut > 60 tahun. Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang

dihitung sejak dilahirkan. Usia yang lebih tua umumnya lebih

bertanggung jawab dan lebih teliti dibanding usia yang lebih muda.

Hal ini terjadi kemungkinan karena yang lebih muda kurang

berpengalaman. Menurut umur/usia berkaitan erat dengan tingkat

kedewasaan atau maturitas seseorang. Kedewasaan adalah tingkat

kedewasaan teknis dalam menjalankan tugas-tugas, maupun

kedewasaan psikologis. Azjen (2005) menyampaikan bahwa pekerja

usia 20-30 tahun mempunyai motivasi kerja relatif lebih rendah

dibandingkan pekerja yang lebih tua, karena pekerja yang lebih

muda belum berdasar pada landasan realitas, sehingga pekerja muda

lebih sering mengalami kekecewaan dalam bekerja. Hal ini dapat

menyebabkan rendahnya kinerja dan kepuasan kerja, semakin lanjut

usia seseorang maka semakin meningkat pula kedewasaan teknisnya,

serta kedewasaan psikologisnya yang akan menunjukkan

kematangan jiwanya. Usia semakin lanjut akan meningkatkan pula

kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, mengendalikan

emosi, berpikir rasional, dan toleransi terhadap pandangan orang lain

sehingga berpengaruh juga terhadap peningkatan motivasinya.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18

b) Jenis Kelamin

Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua

jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat

pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin

laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar

berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki

jakun (adam’s apple) dan memproduksi sperma. Sedangkan

perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk

melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai

alat menyusui.

c) Pendidikan

Azjen (2006) menyebutkan bahwa latar belakang pendidikan

seseorang akan memengaruhi kemampuan pemenuhan kebutuhannya

sesuai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda

yang pada akhirnya memengaruhi motivasi kerja seseorang. Dengan

kata lain bahwa pekerja yang mempunyai latar belakang pendidikan

tinggi akan mewujudkan motivasi kerja yang berbeda dengan

pekerja yang berlatar belakang pendidikan rendah. Latar belakang

pendidikan memengaruhi motivasi kerja seseorang. Pekerja yang

berpendidian tinggi memiliki motivasi yang lebih baik karena telah

memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan

dengan pekerja yang memiliki pendidikan yang rendah. Menurut

Notoatmodjo (1992) menyebutkan bahwa dengan pendidikan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19

seseorang akan dapat meningkatkan kematangan intelektual

sehingga dapat membuat keputusan dalam bertindak.

3. Faktor informasi

Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan dan ekspose pada

media. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi

setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang

lain, media massa maupun lingkungan.

Variabel-variabel dalam background factor ini memengaruhi belief dan

pada akhirnya berpengaruh juga pada intensi dan tingkah laku. Keberadaan faktor

tambahan ini memang masih menjadi pertanyaan empiris mengenai seberapa jauh

pengaruhnya terhadap belief, intensi dan tingkah laku. Namun, faktor ini pada

dasarnya tidak menjadi bagian dari TPB (Theory Planned Behaviour) yang

dikemukakan oleh Ajzen, melainkan hanya sebagai pelengkap untuk menjelaskan

lebih dalam determinan tingkah laku manusia

2. 2 Perilaku

Perilaku adalah kumpulan reaksi, perbuatan, aktifitas, gabungan gerakan,

tanggapan, atau jawaban yang dilakukan seseorang seperti proses berpikir,

bekerja, hubungan seks, dan sebagainya. Notoatmodjo (1992) mendefenisikan

perilaku sebagai totalitas dari penghayatan dan aktivitas yang memengaruhi

perhatian, pengamatan, pikiran, daya ingat, dan fantasi seseorang. Perilaku adalah

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20

totalitas respon, semua respon juga sangat tergantung pada karakteristik

seseorang (Pieter and Lubis, 2010).

Menurut (Notoatmodjo, 2010) perilaku merupakan hasil hubungan antara

perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan respons. Perilaku kesehatan

adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan

dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta

lingkungan.

2.2.1 Faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku

Menurut (Pieter and Lubis, 2010), perilaku dipengaruhi oleh lima faktor

antara lain :

1. Emosi

Emosi adalah reaksi kompleks yang berhubungan dengan kegiatan atau

perubahan-perubahan secara mendalam dan hasil pengalaman dari

rangsangan eksternal dan keadaan fisiologis. Emosi menyebabkan seseorang

terangsang untuk memahami objek atau perubahan yang disadari sehingga

memungkinkannya untuk mengubah sikap atau perilakunya. Bentuk-bentuk

emosi yang berhubungan dengan perubahan perilaku yaitu rasa marah,

gembira, bahagia, sedih, cemas, takut, benci, dan sebagainya.

2. Persepsi

Persepsi adalah pengalaman-pengalaman yang dihasilkan melalui indra

penglihatan, pendengaran, penciuman. Persepsi seseorang mampu

mengetahui atau mengenal objek melalui alat penginderaan.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21

3. Motivasi

Hasil motivasi akan diwujudkan dalam bentuk perilaku, karena dengan

motivasi individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan fisiologis,

psikologis dan sosial.

4. Belajar

Belajar adalah salah satu dasar memahami perilaku manusia, karena belajar

berkaitan dengan kematangan dan perkembangan fisik, emosi, motivasi,

perilaku sosial dan kepribadian. Melalui belajar orang mampu mengubah

perilaku dari perilaku sebelumnya dan menampilkan kemampuannya sesuai

kebutuhannya.

5. Inteligensi

Inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap

situasi-situasi baru secara cepat dan efektif serta memahami berbagai

interkonektif dan belajar dengan menggunakan konsep-konsep abstrak

secara efektif.

Menurut pendapat (Green, 2005) kesehatan seseorang dipengaruhi oleh

faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior

causes). Perilaku kesehatan ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu :

1. Faktor Predisposisi (Predisposing faktor)

Terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, status

social dan nilai-nilai.

2. Faktor pendukung (enabling faktor)

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22

Faktor pendukung meliputi tersedianya atau tidak tersedianya fasilitas

kesehatan/ sarana-sarana kesehatan misalnya:. Puskesmas, obat-obatan

dan jamban.

3. Faktor Pendorong (reinforcing faktor)

Terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain

yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Perilaku adalah sesuatu yang kompleks yang merupakan resultan dari

berbagai macam aspek internal maupun eksternal, psikologis maupun fisik.

Perilaku tidak berdiri sendiri dan selalu berkaitan dengan faktor-faktor lain.

Pengaruhnya terhadap status kesehatan dapat langsung maupun tidak langsung.

2.2.2 Domain Perilaku Kesehatan

(Bloom, 1908) dalam (Notoatmodjo, 2010) membagi perilaku dalam tiga

domain/ranah yaitu: pengetahuan, sikap dan tindakan/ praktik. Dalam

perkembangan selanjutnya para ahli pendidikan dan untuk kepentingan hasil

pendidikan, ketiga domain ini dapat diukur dari :

1. Pengetahuan

Pengetahuan yang merupakan domain yang sangat penting untuk

terjadinya tindakan merupakan hasil dari “tahu” dimana terjadinya

setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu,

misalnya: pengetahuan tentang materi pembelajaran yang diberikan

oleh narasumber. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif

mempunyai 6 tingkatan, yakni:

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh

bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebgai suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi

materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek

atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang

dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

Aplikasi di sasni dapat diartikan penggunaan hukum, rumus, metode,

prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama

lain.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24

e. Sintesis (shynthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang sudah ada.

Menurut Rogers (1974) dalam (Notoatmodjo, 2010), perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan. Proses pembentukan perilaku adalah sebagai berikut:

a. Awareness (kesadaran)

Orang menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap

stimulus.

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu. Di

sinilah sikap objek mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik

lagi.

d. Trial, subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa

yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2. Sikap

Allport (1954) dalam (Notoatmodjo, 2010) menjelaskan bahwa

sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni: 1) Kepercayaan

(keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek, 2) Kehidupan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25

emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek, 3)

Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini

secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Sikap

terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Suatu usaha

untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,

lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide

tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan

orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat

tiga.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala risiko adalah sikap yang paling tinggi.

Menurut (Sarwono, 2012) sikap dapat dibentuk atau berubah melalui lima

cara yaitu:

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26

a. Adopsi

Adopsi merupakan kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi

berulang dan terus-menerus dimana semakin lama akan diserap ke

dalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya sikap.

b. Eferensiasi

Berkembangnya inteligensi, bertambahnya pengalaman sejalan dengan

bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang terjadi dianggap sejenis,

sekarang dianggap lepas dari jenisnya. Objek tersebut dapat terbentuk

pula secara tersendiri.

c. Integrasi

Pembentukan sikap dapat terjadi secara bertahap, dimulai dengan

berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan hal tertentu.

d. Trauma

Trauma adalah suatu cara pembentukan atau perubahan sikap melalui

suatu kejadian secara tiba-tiba dan mengejutkan sehingga meninggalkan

kesan mendalam dalam diri individu tersebut. Kejadian tersebut akan

membentuk atau mengubah sikap individu terhadap kejadian sejenis.

e. Generalisasi

Generalisasi adalah suatu cara pembentukan atau perubahan sikap

karena pengalaman traumatik pada diri individu terhadap hal tertentu,

dapat menimbulkan sikap negatif terhadap semua hal yang sejenis atau

sebaliknya.

Faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap (Sarwono, 2012):

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27

1. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri seseorang yang

bersangkutan seperti selektifitas. Kita tidak dapat menangkap seluruh

rangsangan dari luar melalui persepsi, oleh karena kita harus memilih

rangsangan mana yang akan kita dekati, dan mana yang harus dijauhi.

Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungan dalam diri.

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar manusia, yaitu: sifat

objek yang dijadikan sasaran sikap, kewibawaan orang yang menggunakan

suatu sikap, media komunikasi yang digunakan dalam penyampaian sikap,

dan situasi pada saat sikap terbentuk.

3. Praktik atau tindakan

Menurut (Sunaryo, 2004), suatu sikap pada diri individu belum tentu

terwujud dalam suatu tindakan. Agar sikap terwujud dalam perilaku nyata

diperlukan faktor pendukung (support) atau suatu kondisi yang

memungkinkan. Tingkatan praktik meliputi:

a. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

b. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28

c. Mekanisme (mechanism)

Individu dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau

sudah menjadi kebiasaan adalah indikator praktik tingkat tiga.

d. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dan dimodifiasi

dengan baik tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut.

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai

pada domain kognitif yang berarti bahwa subjek tahu terlebih dahulu terhadap

stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya. Hal ini kan menimbulkan

respon batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui. Rangsang

yang telah diketahui dan disadari tersebut akan menimbulkan respon yang lebih

jauh lagi yaitu berupa tindakan terhadap atau sehubungan dengan stimulus.

2. 3 Defini Bencana

Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah suatu

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau

faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya

korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman

bencana, kerentanan bencana, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29

2.3.1 Jenis-Jenis Bencana

Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, antara

lain:

a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa

gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,

dan tanah longsor.

b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,

gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.

c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan terror.

Sedangkan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010),

jenis-jenis bencana antara lain:

a. Gempa Bumi merupakan peristiwa pelepasan energi yang menyebabkan

dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi secara tiba-tiba.

Mekanisme perusakan terjadi karena energi getaran gempa dirambatkan ke

seluruh bagian bumi. Di permukaan bumi, getaran tersebut dapat

menyebabkan kerusakan dan runtuhnya bangunan sehingga dapat

menimbulkan korban jiwa. Getaran gempa juga dapat memicu terjadinya

tanah longsor, runtuhan batuan, dan kerusakan tanah lainnya yang merusak

permukiman penduduk. Gempa bumi juga menyebabkan bencana ikutan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
30

berupa, kecelakaan industri dan transportasi serta banjir akibat runtuhnya

bendungan maupun tanggul penahan lainnya.

b. Tsunami diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang

ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut. Gangguan impulsif

tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik atau longsoran.

Kecepatan tsunami yang naik ke daratan (run-up) berkurang menjadi

sekitar 25-100 Km/jam dan ketinggian air.

c. Letusan Gunung Berapi adalah merupakan bagian dari aktivitas vulkanik

yang dikenal dengan istilah "erupsi". Hampir semua kegiatan gunung api

berkaitan dengan zona kegempaan aktif sebab berhubungan dengan batas

lempeng. Pada batas lempeng inilah terjadi perubahan tekanan dan suhu

yang sangat tinggi sehingga mampu melelehkan material sekitarnya yang

merupakan cairan pijar (magma). Magma akan mengintrusi batuan atau

tanah di sekitarnya melalui rekahan-rekahan mendekati permukaan bumi.

Setiap gunung api memiliki karakteristik tersendiri jika ditinjau dari jenis

muntahan atau produk yang dihasilkannya. Akan tetapi apapun jenis

produk tersebut kegiatan letusan gunung api tetap membawa bencana bagi

kehidupan. Bahaya letusan gunung api memiliki resiko merusak dan

mematikan.

d. Tanah Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau

batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng

akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng

tersebut. Tanah longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada

tanah/batuan penyusun lereng.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
31

e. Banjir dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam

jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang

datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh karena tersumbatnya sungai

maupun karena pengundulan hutan disepanjang sungai sehingga merusak

rumah-rumah penduduk maupun menimbulkan korban jiwa.

f. Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh dibawah

kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi

dan lingkungan.

g. Angin Topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120

km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik

utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan

khatulistiwa. Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam suatu

sistem cuaca. Angin paling kencang yang terjadi di daerah tropis ini

umumnya berpusar dengan radius ratusan kilometer di sekitar daerah

sistem tekanan rendah yang ekstrem dengan kecepatan sekitar 20 Km/jam.

Di Indonesia dikenal dengan sebutan angin badai.

h. Gelombang Pasang adalah gelombang air laut yang melebihi batas normal

dan dapat menimbulkan bahaya baik di lautan, maupun di darat terutama

daerah pinggir pantai. Umumnya gelombang pasang terjadi karena adanya

angin kencang atau topan, perubahan cuaca yang sangat cepat, dan karena

ada pengaruh dari gravitasi bulan maupun matahari. Kecepatan gelombang

pasang sekitar 10-100 Km/jam. Gelombang pasang sangat berbahaya bagi

kapal-kapal yang sedang berlayar pada suatu wilayah yang dapat

menenggelamkan kapal-kapal tersebut. Jika terjadi gelombang pasang di

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
32

laut akan menyebabkan tersapunya daerah pinggir pantai atau disebut

dengan abrasi.

i. Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan

oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia

dalam penggunaan teknologi atau industri.

j. Kebakaran adalah situasi dimana suatu tempat atau lahan atau bangunan

dilanda api serta hasilnya menimbulkan kerugian. Sedangkan lahan dan

hutan adalah keadaan dimana lahan dan hutan dilanda api sehingga

mengakibatkan kerusakan lahan dan hutan serta hasil-hasilnya dan

menimbulkan kerugian.

k. Aksi Teror atau Sabotase adalah semua tindakan yang menyebabkan

keresahan masyarakat, kerusakan bangunan, dan mengancam atau

membahayakan jiwa seseorang atau banyak orang oleh seseorang atau

golongan tertentu yang tidak bertanggung jawab. Aksi teror atau sabotase

biasanya dilakukan dengan berbagai alasan dan berbagai jenis tindakan

seperti pemboman suatu bangunan/tempat tertentu, penyerbuan tiba-tiba

suatu wilayah, tempat, dan sebagainya. Aksi teror atau sabotase sangat

sulit dideteksi atau diselidiki oleh pihak berwenang karena direncanakan

seseorang atau golongan secara diam-diam dan rahasia.

l. Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huru-

hara atau kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu

daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku,

ataupun organisasi tertentu.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
33

2.3.2 Disaster Management

Disaster Management Cycle adalah suatu bentuk penerapan kegiatan

dalam rangka mengatasi dan mempersiapkan diri menghadapi musibah bencana.

Disaster cycle merupakan suatu penerapan model pembelajaran yang bersifat

umum dan banyak digunakan dalam penanggulangan bencana. Terdapat 4 fase

dalam Disaster Management Cycle yaitu:

a. Prevention/Mitigasi pra bencana

b. Preparedness pra bencana

c. Respon pada tahapan pasca bencana

d. Reconstruction pada tahapan pasca bencana

Pada tahapan pra bencana, perlu diketahui terlebih dahulu Threads atau ancaman

yang akan membahayakan objek (manusia dan/atau material) di sekitarnya

sehingga dapat menekan tingkat kerentanan atau Vulnerability yang ada.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 tahun 2010 Pasal 1 (4)

yang dimaksud Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana,

baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan

maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi

ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Dan pada pasal 14

secara jelas disebutkan kegiatan mitigasi bencana selain diorientasikan kepada

kegiatan fisik juga berorientasi pada kegiatan non fisik. Maka berdasarkan amanat

Pasal 16, kegiatan mitigasi bencana non struktur/non fisik mencakup 7 (tujuh)

aspek yakni:

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
34

1. Penyusunan peraturan perundang-undangan

2. Penyusunan peta rawan bencana

3. Penyusunan peta risiko bencana

4. Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)

5. Penyusunan tata ruang

6. Penyusunan zonasi

7. Pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat.

Preparedness atau kesiapsiagaan adalah faktor penting dalam managemen

bencana dimana upaya ini dilakukan setelah usaha mitigasi dilaksanakan dengan

baik. Kesiapsiagaan dapat diartikan juga sebagai aktivitas sebelum terjadinya

bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas operasional dan

memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi. Upaya ini dapat

berupa tindakan relokasi dan pembangunan tempat-tempat pengungsian sehingga

masyarakat yang rentan dapat menghindar di radius paling aman. Pada tahapan

Preparedness dibutuhkan bentuk kerjasama serta koordinasi yang mantap dari

berbagai lintas sektoral dalam mengupayakan keselamatan warga selama

termasuk di dalam pengungsian. Kegiatan Preparedness dalam bencana secara

umum adalah:

1. Kemampuan menilai resiko

2. Perencanaan siaga

3. Mobilisasi sumber daya

4. Pendidikan dan pelatihan

5. Koordinasi

6. Mekanisme respon

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
35

7. Manajemen informasi

8. Gladi/ simulasi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Jose and Dufrene, 2014) serta

(Alim, Kawabata and Nakazawa, 2014) menyatakan bahwa dalam keperawatan

tidak di temukan adanya keseragaman atau standart baku dalam kompetensi

pembelajaran ataupun pelatihan terkait Disaster Preparedness yang dapat

digunakan. Hingga saat ini meski kegiatan Disaster Preparedness di berbagai

tempat berbeda-beda akan tetapi untuk keperawatan masih menggunakan ICN

framework of DisasterNursing Competencies tahun 2009 sebagai acuan.

Respone pada tahapan bencana adalah tindakan emergency sesaat setelah

terjadi bencana. Upaya ini dapat meliputi usaha penyelamatan (rescue effort), first

aid, fire fighting, dan evakuasi. Pada tahapan ini dibutuhkan koordinasi dan peran

aktif dari SAR, TNI/POLRI, para relawan bencana hingga tim kesehatan bencana.

Seluruh tindakan diupayakan untuk menekan dan mengurangi jumlah korban.

Tahapan terakhir adalah upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi

adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat

sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama

untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan

kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Selain itu, rekonstruksi adalah

pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah

pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan

sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
36

budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat

dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.

2.3.3 Peran perawat dalam bencana

Dalam hal penanganan bencana perawat memegang peranan kunci

penting. Sepanjang sejarah kejadian bencana, perawat diminta untuk dapat

menangani kebutuhan individu, kelompok dan masyarakat kritis. Peranan perawat

dibutuhkan karena keterampilannya dalam memberi perawatan yang luas

(misalnya penyediaan pengobatan, pencegahan penyakit), kreativitas dan

kemampuan beradaptasi, kepemimpinan dan jangkauan yang luas keterampilan

yang bisa diterapkan dalam berbagai situasi bencana. Selama keberlangsungan

management bencana peranan yang sering di kaitankan dengan perawat terlihat

selama fase awal bencana hingga fase pasca pemulihan. Dengan kata lain peranan

perawat di butuhkan tidak hanya saat terjadi bencana saja akan tetapi dari fase

awal preparedness (kesiapsiagaan) hingga pemulihan jangka panjang (Davies,

2005).

Menurut WHO (2009) dalam ICN (The International Counsil of Nursing)

Framework Of Disaster Nursing Competencies peranan seorang perawat harus

dapat bekerja secara internasional, dalam berbagai bentuk situasi dengan perawat

dan penyedia layanan kesehatan dari seluruh belahan dunia lainnya. Situasi

tersebut dapat berupa situasi layanan emergency (pre hospital, evakuasi dan intra

hospital) hingga situasi pemulihan bencana. Untuk memastikan keperawatan

dapat bekerja secara global maka perawat bencana siap merespon bila terjadi

bencana, dengan kemampuan kompetensi antara lain :

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
37

a. memfasilitasi penyebaran perawat secara global;

b. menciptakan konsistensi dalam perawatan yang diberikan;

c. memfasilitasi komunikasi;

d. membangun kepercayaan diri;

e. memfasilitasi pendekatan yang lebih profesional;

f. mempromosikan tujuan bersama;

g. memungkinkan pendekatan terpadu;

h. meningkatkan kemampuan perawat untuk bekerja secara efektif dalam

struktur organisasi;

i. membantu perawat berfungsi dengan baik sebagai anggota multidisipliner

termasuk menguasai sistem penanganan kebencanaan

2.3.4 Religiusitas dan Bencana

Bencana telah memberikan dampak yang begitu besar baik secara fisik,

psikologis maupun sosial. Diperlukan adanya pengembangan masyarakat yang

memiliki kemampuan untuk mengorganisasi, belajar dan beradaptasi dalam

menghadapi bencana. Salah satu ko nsep psikologi yang menjelaskan tentang

kemampuan tersebut adalah resiliensi.

Dalam konteks yang umum resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan

manusia untuk menghadapi dan mengatasi tekanan hidup serta dapat menjadikan

peristiwa buruk tersebut sebagai pengalaman berharga yang dapat merubah diri ke arah

positif (Grotberg, dalam Aulia, 2014). Dukungan sosial dengan resiliensi juga

memiliki hubungan yang sangat signifikan. Artinya, semakin tinggi dukungan

sosial yang diterima seseorang maka semakin tinggi pula resiliensi dalam diri

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
38

seseorang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Werner (dalam Oktaviana, 2009) yang

dalam penelitiannya menemukan bahwa individu yang dapat sukses beradaptasi pada

saat dewasa pada konteks terdapat tekanan (resiliensi) menyandarkan sumbernya pada

keluarga dan komunitasnya.

Disamping kebutuhan dukungan sosial, faktor religiusitas juga

mempengaruhi resiliensi korban pasca bencana. Hal ini selaras dengan pendapat

Bastaman dalam Liputo (dalam Saput ri, 2011) yang menyatakan bahwa individu yang

memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai setiap kejadian secara

poisitif, sehingga hidupnya menjadi bermakna dan terhindar dari stress atau depresi.

Bukti bahwa religiusitas itu mempengaruhi resiliensi terungkap dalam penelitian yang

dilakukan oleh Suryaman dkk (2013). Agama sebagai koping (religius atau spiritual

coping) menjadi hal yang utama pengaruhnya, sehingga disimpulkan bahwa aspek

agama memiliki peran terbesar dalam mempengaruhi resiliensi. Bagi sebagian

besar masyarakat yang mengalami bencana penting bagi mereka untuk

mengetahui apakah bencana yang terjadi merupakan suatu peristiwa yang berasal

dari gangguan alam, manusia, atau merupak suatu intrik politik. Bagi sebagian

besar masyarakat Indonesia merasa bahwa penderitaan yang mereka alami dalam

bencana merupakan kejadian yang mungkin berasal dari luar kendali mereka atau

justru dari suatu hal yang sebenarnya bisa di kendalikan. Oleh karena itu,

pendekatan agama bagi pribadi masing-masing korban bencana menjadi suatu

halyang dirasa cukup efektif dalam membangun kembali harapan masa depan.

Karena sebagian besar korban bencana merasa bahwa doa merupakan suatu hal

yang luar biasa yang dapat mengendalikan perasaan mereka serta menenangkan

(Campbell, 2014).

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
39

Penelitian lain tentang hubungan antara religiusitas dengan resiliensi, dilakukan

oleh Retnowati (dalam Setyowati 2010). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

mengembangkan resiliensi merupakan perjalanan pribadi setiap individu. Oleh karena

itu, setiap individu berbeda dalam mempersepsi peristiwa traumatik dan peristiwa

hidupnya, sehingga seorang individu yang memiliki resiliensi tidak berarti terlepas dari

kesedihan, kesusahan dan distress, akan tetapi dalam kondisi tersebut individu mampu

untuk menyikapinya dengan positif dan tetap mengembangkan dirinya kearah yang

lebih baik.

2. 4 Teori Budaya

Culture berarti kebudayaan, cara pemeliharaan, pembudidayaan

kepercayaan, nilai-nilai dan pola perilaku yang umum berlaku bagi suatu

kelompok dan di teruskan pada generasi berikutnya. Cultural berarti sesuatu yang

berkaitan dengan kebudayaan. Koentjaraningrat (2002), membagi budaya menjadi

7 unsur : yakni sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi

kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian

hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk

budaya secara keseluruhan. Budaya sendiri berarti akal budi, hasil dan adat

istiadat. Kebudayaan berarti hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)

manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Budaya caring

merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang di

gunakan untuk menjadi pedoman tingkah lakunya. Menurut Leininger (1991),

transcultural dapat diartikan sebagai:

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
40

a. Lintas budaya yang mempunyai efek bahwa budaya yang satu

mempengaruhi budaya yang lain

b. Pertemuan kedua nilai-nilai budaya yang berbeda melalui proses interaksi

sosial

c. Transcultural Nursing merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan

dengan perbedaan maupun kesamaan nilai-nilai budaya (nilai budaya yang

berbeda, ras, yang mempengaruhi pola seorang perawat saat melakukan

asuhan keperawatan kepada klien/pasien)

Menurut (Matsumoto, 2007) ada 3 faktor utama yang mempengaruhi

terjadinya sebuah perilaku seseorang yaitu : sifat dasar manusia (melalui proses

psikologi universal), budaya (melalui peran sosial), dan kepribadian (melalui

identitas peran individu) dan berpendapat bahwa perilaku individu adalah produk

dari interaksi antara ketiganya. Selain itu, budaya muncul dari interaksi sifat dasar

manusia dan konteks ekologis di mana kelompok itu ada, dan bagaimana peran

sosial ditentukan oleh makna psikologis khusus budaya yang dikaitkan dengan

konteks situasional.

2.4.1 Konsep Transkultural

Perkembangan teori keperawatan terbagi menjadi 4 level perkembangan

yaitu metha theory, grand theory, midle range theory dan practice theory. Salah

satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah Transcultural

Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan

dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
41

keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai

kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah

penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan

asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan

mengakibatkan terjadinya cultural shock. Kondisi Cultural shock akan dialami

oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan

perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya

rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi.

Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami

nyeri. Pada beberapa daerah atau Negara diperbolehkan seseorang untuk

mengungkapkan rasa nyerinya dengan berteriak atau menangis. Tetapi karena

perawat memiliki kebiasaan bila merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila

berteriak atau menangis akan dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati

klien tersebut menangis atau berteriak, maka perawat akan memintanya untuk

bersuara pelan-pelan, atau memintanya berdoa atau malah memarahi pasien

karena dianggap telah mengganggu pasien lainnya. Kebutaan budaya yang

dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan

keperawatan yang diberikan.

Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada

proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan

kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan

pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan

untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya

kepada manusia (Leininger, 2002).

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
42

Gambar 2.2 model konsep teori transcultural (Leininger, 2002)

2.4.2 Peran dan Fungsi Keperawatan Transkultural

Budaya memiliki pengaruh yang luas terhadap kehidupan seorang

individu. Tindakan keperawatan yang di dalamnya melibatkan unsur individu

yang banyak serta berbeda-beda maka perlu mengetahui latar belakang budaya

yang ada di kehidupan individu maupun masyarakat tersebut. Sehingga tindakan

yang di lakukan oleh perawat dapatditerima dengan mudah. Menurut medelini

Leinenger, studi praktik layanan kesehatan transcultural berfungsi untuk

meningkatkan pemahaman atas perilaku manusia dalam kaitannya dengan

kesehatannya. Leinenger berpendapat bahwa kombinasi pengetahuan tentang pola

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
43

praktik transcultural dengan kemajuan tekhnologi dapat menyebabkan makin

sempurnanya pelayanan perawatan kesehatan orang banyak dan berbagai kultur

(Alligood, 2014).

Tindakan keperawatan yang di berikan kepada klien harus tetap

memperhatikan tiga prinsip asuhan keperawatan, yaitu:

1. Culture care preservation/maintenance

Prinsip membantu, memfasilitasi atau memperhatikan fenomena budaya

guna membantu individu menentukan tingkat kesehatan dan gaya hidup

yang di inginkan

2. Culture care accommodation/negotiation

Prinsip membantu yang merefleksikan cara-cara untuk beradaptasi, atau

bernegoisasi atau mempertimbangkan kondisi kesehatan dan gaya hidup

klien

3. Culture care repatterning/restructuring

Merekonstruksi atau mengubah desain untuk membantu memperbaiki

kondisi kesehatan dan pola hidup klien kearah yang lebih baik.

2.4.3 Kearifan Budaya Local (Local Wisdom) Pacitan

Kearifan budaya lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat

yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri (Padmanugraha,

2010). Kearifan lokal (Local Wisdom) biasanya di wariskan secara turun temurun

dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui cerita dari mulut ke mulut.

Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, permainan rakyat dan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
44

kegiatan rakyat. Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh

masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan

diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu

tempat.

Kabupaten Pacitan merupakan bagian dari wilayah pulau Jawa yang

terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur. Wilayahnya berbatasan

dengan Kabupaten Ponorogo di utara, Kabupaten Trenggalek di timur, Samudra

Hindia di selatan, serta Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) di barat. Sebagian

besar wilayahnya memiliki karakteristik geografis berupa pegunungan kapur,

yakni bagian dari rangkaian Pegunungan Kidul.

Dalam sistem pemerintahan kabupaten Pacitan dipimpin oleh seorang

Bupati. Jika menilik dari unsur wilayah masyarakat budaya, Kabupaten Pacitan

merupakan bagian dari wilayah tlatah Mataraman. Di beri nama Mataraman

lantaran wilayah ini masih mendapat pengaruh yang kuat dari budaya Kerajaan

Mataram. Bila melihat dari adat istiadatnya, masyarakat di wilayah Mataraman

memang mirip dengan masyarakat di daerah Jawa Tengah terutama Yogyakarta

dan Surakarta. Hal yang paling mencolok adalah penggunaan bahasa Jawa yang

masih terkesan halus meski tidak sehalus masyarakat di Yogyakarta dan

Surakarta. Selain itu budaya gotong royong, taat pada “sinuwun” (Raja) juga di

rasakan masih sangat kental mempengaruhi kehidupan bermasyarakat di wilayah

tlatah Mataraman bila di bandingkan wilayah tlatah lainnya seperti wilayah Arek,

Madura Pulau dan Pandalungan (Arifina, 2016). Meskipun di wilayah kabupaten

pacitan tidak ada seorang Raja sebagai penguasa akan tetapi rasa menjunjung

tinggi terhadapa pimpinan daerah (Bupati) masih terasa kental. Mengutip sebuah

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
45

tulisan di Suara Media Nasional yang di terbitkan tanggal 23 februari 2015,

Bupati Pacitan dalam sabdotomo atau pidato utama saat peringatan ulang tahun

kabupaten pacitan tanggal 19 februari 2015 “Lelakon para sesepuh ngantos

jejering bupati Pacitan kathah rintangan, pramilo mugiyo kito tansah jejeg mikul

dhuwur mendhem jero, menjadi pelayan ingkang sae kagem masyarakat,

anggayuh Pacitan ingkang sejahtera lan kerto raharjo”. Dapat di artikan bahwa

masyarakat Pacitan adalah masyarakat yang meneladani para pendahulu dengan

cara “mikul dhuwur mendhem njero” yang secara harfiah, dapat diartikan sesuatu

yang harus dijunjung tinggi dan ada yang harus ditanam dalam-dalam.

Dalam kejadian bencana, menurut catatan BNPB pusat mengutip dari situs

resmi BPBD daerah Pacitan bahwa berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1859

terjadi gempa bumi besar di Pacitan dengan kekuatan 7,5 SR, dan hal ini memicu

terjadinya tsunami kecil. Pada tahun 1937 gempa berkekuatan 7,2 SR kembali

mengguncang wilayah Pacitan dengan intensitas guncangan gempa dirasakan VII

– IX MMI, sehingga menimbulkan banyak kerusakan. Oleh karena itu, belajar

dari pengalaman yang telah ada maka Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD) Pacitan saat ini tengah menggalakkan jargon 20-20-20 yang bermakna 20

detik, 20 menit, dan 20 meter. Jargon ini mengindikasikan bila gempa terjadi lebih

dari 20 detik, masyarakat memiliki waktu 20 menit untuk evakuasi ke tempat yang

lebih tinggi lebih dari 20 meter. BPBD Pacitan dan mitra kerja lainnya saat ini

sedang gencar mensosialisasikan kepada masyarakat untuk senantiasa waspada

dan mengingat jargon tersebut.

Selain jargon 20-20-20 tersebut, sebagian besar masyarakat pacitan telah

memiliki pengetahuan pengenalan situasi alam jika akan terjadi bencana yang di

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
46

peroleh secara turun menurun. Berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki oleh

masyarakat nelayan tradisional di kabupaten Pacitan, secara historis mereka rata-

rata sudah memiliki pengetahuan tentang kebencanaan laut. Fakta itu dapat

dibuktikan lewat tanda-tanda alam yang sudah mereka kenali melalui penuturan

lisan dari generasi ke generasi. tanda-tanda alam seperti air laut mendadak kering

setelah beberapa saat terdengar ada “lindu” atau gempa terjadi dapat dipastikan

akan terjadi tsunami. Masyarakat pacitan juga senantiasa menjujung budaya

warisan leluhur dalam memberikan informasi serta bergotong royong terhadap

sesama dengan semangat 3M yaitu Menthung (memukul kenthongan), Mendhem

(mengubur semua hal negatif), Mikul (bersama-sama/bergotong royong

membangun).

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


TESIS
2.1.5 Keaslian Penelitian

Tabel 2.1 Theoritical mapping

No Judul Desain Sample dan Variabel Analisis Hasil


Penelitian Teknik Sampling
1 Japanese and Study Sample: Independen: 1. Descriptive a. Tidak ada perbedaan yang signifikan
Korean nursing komparasi 721 siswa motivasi analisis antara mahasiswa perawat jepang
2 dan korea untuk bergabung dalam
Students motivation perawat jepang 2. X test
for joining dan korea Dependen: 3. T - test kegiatan bencana pada daerah yang
Kegiatan mereka tempati.
Disasater Relief b. Dibandingkan mahasiswa perawat
activities as nurse Teknik Sampling: disaster relief
korea, mahasiswa jepang sangat
in the future Purposive
sampling setuju jika melakukan bantuan
hingga lintas batas/terjadi di Negara
Choe et al., 2017
lain (p= .001)
c. Mahasiswa jepang memiliki motivasi
yang lebih rendah dari pada
mahasiswa korea jika bergabung

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


dalam penanganan bencana di luar
negeri
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2 Disaster Descriptive, Sample: Independen: Descriptive 80% responden (n = 136) menunjukkan


Preparedness in cross sectional 170 responden Personal statistics untuk bahwa
Philippine Nurses research perawat pengetahuan frekuensi, rata- mereka tidak sepenuhnya siap untuk
Labrague, L. J. et rata, prosentase
menanggapi bencana, hanya 20% (n =
standard
al. (2016) Teknik sampling: 34)
deviations
Random sampling Dependen: digunakan untuk mengakui bahwa mereka merasa mereka
Disaster
47

SETYO KURNIAWAN
TESIS
preparedness quantify cukup siap.
responses dariResponden percaya
respondents. bahwa mereka dapat berfungsi dalam
peran utama pendidik (n = 107,
62,94%), perawat (n = 104, 61,17%),
dan konselor (n = 82, 48,24%). Lebih
dari setengah responden (n = 98, 57,7%)
tidak mengetahui adanya SPO
penanganan bencana di tempat kerja.
Pelatihan bencana diambil sebagai
pertolongan pertama (n = 79, 46,4%), uji
coba lapangan (n = 43, 25,29%), dan
BLS (n = 57, 33,53%) di katakan
penting untuk mempersiapkan bencana
3 Disaster Cross sectional Sample: Independen 1. Kolmogoro  Mayoritas memiliki pengetahuan dan
management: study design 194 perawat 1. Knowledge v-Smirnov kemampuan skill yang adekuat,
Emergency nursing emergeny 2. Attitude untuk gambaran sikap yang positif terhadap
3. Skill menilai disaster manajeman
and medical
Teknik Sampling: distribusi  Jenis kelamin dan tingkat pendidikan
personnel’s Dependen:
Purposive normal berhubungan dengan peningkatan
knowledge, attitude

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


Observasi skor pengetahuan dan skor
and practices of the sampling perilaku perawat 2. Untuk uji
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

emergency bivariate kemampuan


East Coast region
hospitals of mengguna
Malaysia
kan chi
square dan
Fisher
(Ahayalimudin and exact tes
Osman, 2016)
48

SETYO KURNIAWAN
TESIS
4 Disaster nursing Descriptive Sample: Independen : 1. Analisa a. 89 responden mengembalikan
skills, knowledge study 139 perawat a. Disaster descriptive kuesioner
and attitudes teregistrasi nursing skill untuk data b. Sebagian besar responden tidak ada
b. Knowledge kuantitativ yang menerima pelatihan khusus
required in
c. Attitude bencana
earthquake relief: e
c. Skill yang sering dilakukan saat
implications for 2. Data
Dependen: terjadi bencana adalah bandaging,
nursing education Nursing education kualitative observasi dan monitoring,
dengan debridement dan rawat luka serta
konten transportasi korban
(Yan et al., 2015)
analisis, d. Responden mengidentifikasi bahwa
coding, skill yang sangat dibutuhkan saat
terjadi bencana adalah cpr, hentikan
perdarahan, splinting bandaging dan
emergency management
5 Nurses’ FGD Sample : _ _ Dari 15 orang perawat yang di
Competencies in 45 perawat wawancarai dan 30 orang perawat yang
Disaster Nursing: emergency dan sedang melakukan penelitian
bencana mengungkapkan bahwa berdasarkan
Implications for
ICN framework Nursing Disaster yang
Curriculum terdiri dari empat tema dan sepuluh
Development and domain, hal yang paling di perlukan

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


Public Health” adalah kompetensi etis dan hukum
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

keperawatan bencana yang selama ini


(Loke and Fung, masih terbengkalai di Hongkong. Dalam
2014) situasi bencana yang bersifat kompleks
di butuhkan kompetensi khusus dalam
memberikan pelayanan terhadap
komunitas. Hal ini di rasakan masih
belum di miliki oleh perawat-perawat
bencana di Hongkong
49

SETYO KURNIAWAN
TESIS
6 Chinese nurses Kualitatif Sample : Independen : 1. hasil narasi Lima tema muncul
relief experiences research 12 orang perawat Nurse masing 1. Tantangan tak terkalahkan
following two dari 4 RS yang experience masing 2. Kualitas perawat bencana
earthquakes: In depth pernah terjun di participant 3. Kesehatan mental dan gambaran
Implications for interview daerah bencana Dependen: di validasi trauma
disaster education a. Disaster dengan 4. Perencanaan dan koordinasi bencana
and policy education validity of yang buruk
development b. Policy qualitative 5. Kurangnya pendidikan, perawatan
development studies dan peralatan medis saat bencana
Wenji, Z. et al.
2. hasil yang Participant menggambarkan bahwa
(2014) sudah di mereka di tantang oleh kondisi hidup
validasi di yang belum sempurna, gempa susulan,
duskusikan dan perbedaan budaya. Para perawat
bersama participant telah menempatkan diri
mereka pada kepentingan serta
pengembangan kerja sama tim,kempuan
berfikir kritis, managemen bencana dan
urgensi membangun system tanggap
bencana yang lebih baik
7 Nurses Study Korelasi Sample: Independen: Analisa  Sebagian besar perawat tidak percaya

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


preparedness and 625 perawat a. Nurses deskriptive diri dengan kemampuan mereka saat
menangani bencana besar
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

perceived preparedness
competence in b. Perceived  Perawat yang percaya diri sudah
kompetensi memiliki pengalaman di
managing disasters
lapangan/bencana sebelumnya
 Perilaku (motivasi) merupakan
Baack, S. and Dependen:
prediktor yang signifikan terhadap
Alfred, D. (2013) Disaster persepsi
management  kompetensi perawat untuk mengelola
50

SETYO KURNIAWAN
TESIS
bencana hanya dalam hal kesediaan
perawat untuk menanggung risiko
keterlibatan dalam situasi bencana.
 kepuasan kerja bukanlah penentu
kesiapsiagaan bencana
8 Literature Review Literature Sample: _ _ Artikel yang paling umum digunakan
of Disaster Health Review 222 artikel ditemukan dengan menggunakan
Research in Japan: kategori pencarian “keperawatan dan
Focusing on penelitian bencana”. Di antara kategori
Disaster Nursing pencarian, “keperawatan dan pendidikan
Education bencana” memiliki jumlah publikasi
yang tinggi. Kategori ini memuncak
pada tahun 2007
(Kako, Mitani and Perlu ada Studi evidence base lebih
Arbon, 2012) lanjut untuk mengembangkan
metodologi dan bidang studi lainnya
dalam keperawatan bencana, termasuk
database bahasa lain sangat diharapkan
di masa depan
9 Local wisdom- Exploratory Sample: Perilaku _ a. Saat terjadi bencana, bantul adalah
wilayah dengan tinggi jumlah penduduk,

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


based disaster Case study _ masyarakat bantul
(deskriptif)  Behavior minim dana perbaikan, keterbatasan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

recovery model in capability dalam me manage bencana


Indonesia beliefes b. 2 tahun masa recovery memberikan
 Normative kesan “Re- Imaging” pada wilayah
beliefes Bantul,Yogyakarta menjadi lebih baik.
Semangat pemulihan kondisi bencana
(Kusumasari and  Control tidak terlepas dari budaya lokal.
Alam, 2012) believes Prinsipnya personal itu sendiri yang dapat
memutuskan bagaimana membangun
kembali kondisi mereka
51

SETYO KURNIAWAN
TESIS
10 Nursing in the Literature Sample : _ Analisa  Lima tema muncul dari ulasan.
emergency review 18 rtikel deskriptive - What nurses do during a disaster
department (ED) response
during a - How nurses feel during a disaster
response
disaster: A review
- Preparedness of nurses for disaster
of the current response in the ED
literature - Barriers to working in the ED
during a disaster
Hammad, K. S. et - Changes that occur during a
al. (2012) disaster.
 Terdapat dua temuan utama
- Perubahan dari hari kerja 'normal'
menjadi bencana
- kesiapan perawat bekerja di IGD
selama bencana
11 A survey of the Exploratory Sample : _ Deskriptif a.Tiga keterampilan utama yang
practice of nurse’s Case study 24 register nurse statistic penting untuk perawat adalah: insersi
skill in Wenchuan (deskriptif) intravena; observasi dan monitoring;
triage korban massal
earthquake disaster
b. Ketiga skill paling sering digunakan
sites: implications adalah: debridement dan rawat luka;

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


for disaster training observasi dan monitoring; insersi
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

intravena
(Yin et al., 2011) c. Tiga keterampilan yang dilakukan
paling mahir adalah: penyisipan
intravena; observasi dan monitoring;
pemasangan kateter
d. Tiga keterampilan peringkat teratas
yang paling penting untuk pelatihan
adalah: transportasi korban massal;
52

SETYO KURNIAWAN
TESIS
emergency manajemen; haemostasis,
pembalutan, fiksasi, penanganan
manual
12 Local Wisdom and Artikel review Sample: _ Descriptive a. 14 studi yang terkumpul
Health Promotion: 245 artikel analisis menunjukkan keduanya yaitu Lokal
Barrier or Catalyst? wisdom dan Indegenous Knowledge
sebagai katalis ataupun barrier pada
promosi kesehatan
b. Keduanya lebih dari sekedar konsep,
keduanya adalah merupakan alat
(Demaio, 2011) yang dapat di gunakan sebagai sarana
promosi kesehatan
13 Cultural, Ethical, Fenomenologi Sample : _ Descriptive- Dampak budaya, etis, dan spiritual dari
and Spiritual _ kuantitative bencana bergantung pada berbagai
Implications of macam faktor. Dampak bencana pada
budaya bergantung pada orang-orang
Natural Disasters
yang ada di dalam budaya itu sendiri
from the Survivors’ serta kekuatan dan ketahanan budaya
Perspective tersebut. Bencana dapat memperlambat
perkembangan budaya. Namun biasanya
(Varghese, 2010) kebiasaan, kepercayaan dan system nilai
tetaplah sama

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


14 The effects of Meta analisis Sample: Independen : Descriptive- a.Bukti konvergen menunjukkan bahwa
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

objective norms on 196 studi Subyektive kuantitative hubungan antara Descriptive Norm
behaviour in the norm dan Behavior lebih kuat daripada
theory of planned hubungan Preceived Injuctive dan
behaviour: A meta- Dependen: Behavior
analysis behaviour b. Bukti menunjukkan adanya
hubungan langsung antara Descriptive
(Manning, 2009)
53

SETYO KURNIAWAN
TESIS
Norm dan Behavior dalam konteks
Theory of Planned Behavior.
c. Tercatat efek penekanan dari
Preceived Injuctive terhadap
Descriptive Norm dalam hubungannya
dengan Behavior
15 The Impact of Studi Sample : Independen : Bencana yang diakibatkan oleh alam
Disaster on Culture, Literature a. Disaster maupun non alam menjadi ancaman bagi
Self, and Identity: b. Culture kehidupan kemanusiaan. Sebagai
Increased c. Self professional dalam kesehatan termasuk
Awareness by d. identity keperawatan memiliki kewajiban untuk
Health Care terus mengembangkan dan memperbaiki
Professionals is dalam kesiapsiagaan dan tanggap
Needed Dependen: bencana. Konsep diri, identitas, dan
Increase budaya adalah fenomena sosial dan
(Deeny and
awarness psikologis yang penting, yang
McFetridge, 2005) kemungkinan besar akan terpengaruh
oleh pengalaman bencana. Bagaimana
individu memandang diri dalam konteks

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


sosial dan melintasi rentang kehidupan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

muncul sebagai aspek penting eksistensi


manusia
54

SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

1. Personal Attitude toward


a. Sikap Umum behavioral:
b. Religiusitas Sikap perilaku
c. Kepribadian tanggap bencana
d. Sifat
e. Emosi
f. Kecerdasan

Subjective Norm: Behavior


2. Sosial - Culture Tindakan
a. Usia Norma subyektif
dalam perilaku perawat
b. Jenis Kelamin Intention
tanggap bencana Tanggap
c. Pendidikan
d. Budaya bencana
personal
e. Ras
f. Pendapatan
g. Life style

3. Informasi
Preceived
a. Pengetahuan
Behavioral
b. Pengalaman Control:
c. Kebijakan dan Pengendalian
aturan yang persepsi terhadap
berlaku tanggap bencana
d. Media

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian pengembangan model peningkatan tindakan keperawatan
berbasis Theory of Planned Behaviour (Ajzen, 1991) dalam konteks kearifan budaya
lokal

Keterangan:
: di teliti
: tidak di teliti
: mempengaruhi

55
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
56

Theory of Planned Behavior menyatakan bahwa perilaku yang ditampilkan

oleh individu timbul karena adanya intension (niat) untuk melakukan sebuah

perilaku. Sedangkan munculnya niat untuk berperilaku ditentukan oleh 3 faktor

penentu yaitu:

1. Attitude toward behavioral. Dimana sikap ini di awali oleh adanya

Behavioral Belief, atau keyakinan individu akan hasil dari suatu

perilaku, dan evaluasi atas hasil tersebut.

2. Subyektif Norm. Norma atau penilaian seseorang yang di dapatkan dari

Normative Beliefs, sebuah yaitu keyakinan tentang harapan normatif

orang lain, dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut.

3. Perceived Behavioral Control. Didapatkan dari rasa Control Beliefs,

yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau

menghambat perilaku yang akan ditampilkan, dan persepsinya tentang

seberapa kuat hal-hal yang mendukung atau menghambat perilakunya

tersebut.

Dalam diri seseorang ketiga faktor penentu terjadinya perilaku tersebut didasari

oleh background factor yaitu: personal, sosial, serta informasi.

Berkaitan dalam kehidupan bermasyarakat seorang individu tidak bisa

terlepas dari suatu norma-norma atau aturan sosial yang berlaku dalam kehidupan

bermasyarakat (budaya). Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat ada 3 hal

yang mempengaruhi sesorang untuk dapat berperilaku antara lain basic human

nature (proses psikologi secara umum), culture (aturan-aturan sosial), dan

personality (identitas aturan personal).

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
57

Intuisi (niat) atau alasan seseorang berperilaku dalam kehidupan

bermasyarakat adalah merupakan interaksi antara ketiganya (Matsumoto, 2007).

Dengan niat yang kuat akan terbentuklah suatu perilaku (Behavior). Dengan

memperhatikan nilai-nilai aturan sosial yang berlaku di suatu wilayah, maka dapat

terbentuklah suatu perilaku yang sesuai dengan kaidah budaya setempat, dalam

hal ini adalah perilaku tanggap bencana yang selaras dengan kearifan budaya

lokal.

3.2 Hipotesis

1. Ada pengaruh faktor latar belakang (Personal) dengan attitude toward

behavioral dalam perilaku tanggap bencana

2. Ada pengaruh faktor latar belakang (Personal) dengan Subjective

Norm dalam perilaku tanggap bencana

3. Ada pengaruh faktor latar belakang (Personal) dengan Perceived

Behavioral Control dalam perilaku tanggap bencana

4. Ada pengaruh faktor latar belakang (Social-culture) dengan attitude

toward behavioral dalam perilaku tanggap bencana

5. Ada pengaruh faktor latar belakang (Social-culture) dengan Subjective

Norm dalam perilaku tanggap bencana

6. Ada pengaruh faktor latar belakang (Social-culture) dengan Perceived

Behavioral Control dalam perilaku tanggap bencana

7. Ada pengaruh faktor latar belakang (Information) dengan attitude

toward behavioral dalam perilaku tanggap bencana

8. Ada pengaruh faktor latar belakang (Information) dengan Subjective

Norm dalam perilaku tanggap bencana

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
58

9. Ada pengaruh faktor latar belakang (Information) dengan Perceived

Behavioral Control dalam perilaku tanggap bencana

10. Ada pengaruh attitude toward behavioral terhadap Intension dalam

perilaku tanggap bencana

11. Ada pengaruh Subyektive Norm terhadap Intension dalam perilaku

tanggap bencana

12. Ada pengaruh Perceived Behavioral Control terhadap Intension dalam

perilaku tanggap bencana

13. Ada pengaruh Perceived Behavioral Control terhadap perilaku

(Behaviour) tanggap bencana

14. Ada pengaruh Intension terhadap perilaku (Behaviour) tanggap

bencana

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1.Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanative-

observasional. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan suatu kejadian atau

gejala terjadi dengan hasil akhir adalah gambaran mengenai hubungan sebab-

akibat variabel bebas dan variabel terikat. Pendekatan yang digunakan pada

penelitian ini adalah cross sectional karena variable bebas dan variabel terikat

diamati secara bersamaan (Sugiyono, 2006).

4.2.Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitan adalah semua perawat di wilayah Dinas

Kesehatan Kabupaten Pacitan tahun 2016 sebanyak 305 orang perawat.

4.2.2 Sampel dan Besar Sample

Pada penelitian ini kriteria inklusi yang digunakan untuk memilih sample

antara lain:

1) Perawat yang minimal selama 2 tahun tinggal di wilayah Pacitan

2) Perawat yang memiliki sertifikat pelatihan kegawat daruratan

dengan guideline AHA/ERC/ILCOR minimal tahun 2005

3) Perawat yang telah memiliki ijazah pendidikan tinggi keperawatan

(minimal Diploma 3)

59
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
60

Besarnya sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus (Arikunto, 2009):

N
n=
1+(N x e²)

Keterangan :
n : besar sampel
N : besar populasi
e : error level yang digunakan adalah 0.05

maka besar sampel dalam penelitian sebanyak :

305 305 305


n= = =
1+(305 x 0.0025) 1+(0.7625) 1.7625

= 173.04
= 173 perawat

4.2.3 Teknik Sampling

Penelitian ini menggunakan teknik sampling non probability sampling

dengan metode purposive sampling yaitu suatu teknik memilih sample diantara

populasi sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh peneliti (tujuan dan masalah

dalam penelitian).

4.3. Variabel Penelitian

4.3.1 Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah personal, socio-culture,

informasi, Attitude toward behavioral, subjective norm, perceived behavioral

control, dan Intension.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
61

4.3.2 Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah behavior (perilaku) perawat

terhadap tanggap bencana. Adapun variabel-variabel tersebut dapat dilihat pada

tebel 4.1.

Tabel 4.1 Variabel Penelitian pengembangan model peningkatan tindakan keperawatan


dalam tanggap bencana berbasis TPB (theory planned behaviour) dalam
konteks kearifan budaya lokal

Variabel Keterangan Indikator


Independen
X1 Personal X 1.1 = Sikap Umum
X 1.2 = Religiusitas

X2 Socio-Culture X 2.1 = Usia


X 2.2 = Jenis Kelamin
X 2.3 = Pendidikan

X3 Informasi X 3.1 = Pengetahuan


X 3.2 = Pengalaman
X 3.3 = Aturan Yang berlaku
(Budaya Masyarakat)
X4 Attitude toward behavioral
X5 Subjective Norm
X6 Perceived Behavioral Control
X7 Intension

Dependen
Perilaku perawat tanggap
Y bencana Y 1.1 = Safety First
Y 1.2 = Triage
Y 1.3 = Initial Asessment

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
62

4.4.Definisi Operasional Penelitian

Tabel 4.2 Definisi operasional penelitian

Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor


Operasional
Independen

1. Personal (X1) Bersifat pribadi atau - -


perseorangan

a. Sikap Umum Kecenderungan Penilaian sikap Kuesioner Interval Menggunak


(X1.1) Individu untuk umum perawat an skala
merespon dengan dalam melakukan likert 1-4
cara khusus terhadap tindakan tanggap
suatu stimulus bencana Sikap baik
> mean

Sikap
kurang baik
< mean

b. Religiusitas Suatu keadaan Penilaian keyakinan Kuesioner Nominal Menggunak


(X1.2) dimana individu pribadi perawat an skala
merasakan dan dalam melakukan likert 1-4
mengakui adanya tindakan tanggap
kekuatan tertinggi bencana Baik : skor
yang menaungi > mean
kehidupan manusia
Kurang:
skor < mean

2. Socio-culture Hubungan saling


(X2) membutuhkan satu
dengan lainnya yang
terikat dalam suatu
nilai aturan yang
berlaku dalam suatu
kelompok
masyarakat

a. Usia (X2.1) Jumlah bilangan Kategori usia Kuesioner Interval 1 = 20-25


tahun yang di miliki perawat yang
perawat sejak lahir bekerja di 2 = 26-30
hingga penelitian Puskesmas 3 = 31-35
dilakukan 4 = 36-40
5 = 41-45
6 = 46-50
7 = 51-55

b. Jenis Pensifatan atau Pertanyaan tertutup Kuesioner Nominal 1. Laki-


kelamin pembagian dua jenis laki
(X2.2) kelamin klien yang 2. Peremp
ditentukan secara uan
biologis yang
melekat pada

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
63

Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor


Operasional
pensifatan tersebut 1. D3/D4
2. S1
c. Pendidikan Pendidikan formal di Kategori Kuesioner Ordinal 3. S1+
(X2.3) bidang keperawatan pendidikan perawat Ners
yang di tempuh yang bekerja di 4. S 2
perawat sesuai ijazah Puskesmas
terakhir yang di
miliki

3. Informasi Kabar berita tentang Menggunak


(X3) sesuatu hal ana skala
likert 1-4
a. Pengetahuan Pemahaman perawat Penilaian Kuesioner Interval
(X3.1) tentang tata laksana Pengetahuan Pengetahua
tanggap bencana tentang: n Baik :
Skor ≥
1. Definisi mean
2. Jenis bencana
3. Cara Kurang :
penanganan Skor <
korban bencana mean
4. Sistem Rujukan

b. Pengalaman Kejadian yang Penilaian Kuesioner Interval Menggunka


(X3.2) pernah di alami (di pengalaman tentang na skala
jalani, di rasakan,di terjun melakukan likert 1-4
tanggung) baik penanganan
kejadian lama bencana Pengalaman
ataupun baru positif jika
skor > mean

Pengalaman
negative
jika Skor <
mean

c. Kultur Aturan yang berlaku Penilaian tentang Kuesioner Interval Skala Likert
masyarakat di dalam kehidupan fenomena aturan 1-4
(X3.3) bermasyarakat dalam kehidupan
penanganan tanggap bermasyarakat yang Sikap
bencan berlaku tentang budaya baik
penanganan skor ≥ mean
tanggap bencana
Sikap
budaya
kurang jika
Skor <
mean

4. Attitude Perasaan mendukung Penilaian sikap Kuesioner Interval Skala Likert


toward atau memihak atau perawat terhadap 1-4
behavior tidak memihak perilaku
(X4) terhadap suatu obyek penanganan Sikap baik
(Penanganan bencana yang jika ≥ mean
bencana) yang akan terdiri dari skala,
disikapi yaitu:

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
64

Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor


Operasional
1. Skala evaluasi Sikap
terhadap belief kurang bila
2. Skala belief Skor <
subyek terhadap mean
perilaku
penanganan
tanggap
bencana

5. Norma Persepsi individu Penilaian norma Kuesioner Interval Skor


Subyektif terhadap suatu Subyektif perawat jawaban
(X5) tekanan sosial yang terhadap perilaku menggunak
di anggap penting tanggap bencana an Skala
dalam menganjurkan terdiri dari 2 Skala: Likert 1-4
untuk melakukan
atau tidak melakukan 1. Motivation to Sikap baik
perilaku tanggap comply jika skor ≥
bencana dan sejauh 2. Normative belief mean
mana individu
berkeinginan untuk Sikap
mematuhi anjuran kurang baik
ataupun larangan jika Skor <
tersebut mean

6. Perceived Persepsi Individu Perceived Kuesioner Interval Skor


Behavioral menegenai kondisi behavioral control jawaban
Control atau situasi yang terhadap perilaku menggunak
(X6) mendorong individu perawat tanggap an Skala
atau menghambat bencana di ukur Likert 1-4
perilaku tanggap dengan 2 skala :
bencana Sikap baik
1. Control belief jika skor ≥
2. Power belief mean

Sikap
kurang baik
jika Skor <
mean

7. Niat Keinginan dalam hati Penilaian Intensi Kuesioner Interval Skor


(Intension) sesorang untuk perawat dalam menggunak
(X7) melakukan dan tidak tanggap bencana an skala
melakukan sesuatu Likert1-4
(tanggap bencana)
Niat baik
jika skor ≥
mean

Niat kurang
jika Skor <
mean

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
65

Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor


Operasional
Dependen

Perilaku perawat Perilaku perawat Penilaian perawat Lembar Nominal 1. Baik :


tanggap bencana untuk mengikuti dalam melakukan observasi Skor>60
(Y) tindakan sesuai serangkaian 2. Kurang
prosedur dalam tindakan yang : skor <
penanganan tanggap berhubungan 60
bencana dengan: Safety first,
Triage, Initial
asessment

4.5 Instrumen Penelitian

Instrument penelitian adalah alat yang digunakan oleh peneliti dalam

mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik

(cermat, lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah di olah.

1. Instrument pengukuran variabel Independen

a. Semua variabel dependen di ukur menggunakan kuesioner yang berasal

dari kuesioner Theory of Planned Behaviour yang telah di modifikasi dan

telah mendapatkan persetujuan dari pemilik teori tersebut.

b. Pada variabel personal (X1) dengan indikator religiusitas peneliti

membuat kuesioner sendiri dengan mengadaptasi dari literatur Dealing

with Diversity Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in

Indonesia (2014). Saat ini peneliti masih menunggu balasan terkait izin

mengadaptasi literature sebagi bahan kuesioner. Akan tetapi di dalam

buku tersebut telah disebutkan bahwa diperbolehkan untuk menggunakan

secara bebas dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
66

c. Pada variabel Informasi (X3) dengan indikator pengetahuan peneliti

menggunakan kuesioner yang di buat sendiri bersumber dari modul ATLS

(Advance Trauma Life Support) student course manual Tenth Edition.

d. Pada variabel Informasi (X3) dengan indikator budaya peneliti

menggunakan kuesioner yang di buat sendiri menyesuaikan dengan

budaya atau tradisi lokal yang ada di wilayah Kabupaten Pacitan.

2. Instrumen pengukuran variabel dependen

Instrumen yang digunakan adalah berupa lembar observasional yang telah

disusun peneliti bersumber dari modul ATLS (Advance Trauma Life Support)

student course manual Tenth Edition.

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji validitas dan

reliabilitas alat ukur dengan menyebar kuesioner pada 15 responden perawat di

daerah Kabupaten Pacitan atau di sekitar wilayah Pacitan yang memiliki karakter

budaya masyarakat yang sama, sehingga dapat mewakili karakteristik responden

penelitian yang akan dilakukan. Responden dalam uji coba kuesioner ini tidak

termasuk responden penelitian. Untuk uji validitas peneliti menggunakan Pearson

product moment membandingkan nilai r table dan r hitung. Pernyataan valid jika r

hitung ≥ nilai r table (0,36). Sedangkan untuk uji reliabilitas menggunakan

tekhnik Cronbach Alfa. Menurut Wiyono (2011) jika nilai r hitung > r tabel maka

dapat dinyatakan memiliki reliabilitas atau dapat diandalkan dengan nilai r ≥0,65.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
67

4.7 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data Penelitian

Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini dilaksanakan di seluruh

Puskesmas wilayah Kabupaten Pacitan. Waktu pelaksanaan penelitian

dilaksanakan pada 1 Mei 2018 – 1 Juni 2018.

4.8 Prosedur Pengumpulan dan Pengambilan Data

Sebelum melakukan pengumpulan dan pengambilan data penelitian,

peneliti melakukan uji etik terlebih dahulu di Fakultas Keperawatan Universitas

Airlangga. Setelah dinyatakan lolos dan mendapatkan surat keterangan lolos uji

etik maka peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian kepada Fakultas

Keperawatan Universitas Airlangga. Surat ijin tersebut kemudian disampaikan

kepada BAKESBANGPOL Kabupaten Pacitan yang kemudian di teruskan kepada

Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan. Setelah mendapatkan surat ijin penelitian

dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan, surat diteruskan ke Puskesmas wilayah

kerja Kabupaten Pacitan. Peneliti melakukan koordinasi dengan pihak Puskesmas

terkait pelaksanaan penelitian

Pengambilan data penelitian dilakukan pada tanggal 1 Mei - 1 Juni 2018.

Penelitian dilakukan di seluruh puskesmas wilayah kerja Kabupaten Pacitan.

Peneliti berkoordinasi dengan Kepala Puskesmas dan menunjukkan surat dari

BAKESBANGPOL Kabupaten Pacitan dan rekom dari Dinas Kesehatan

Kabupaten Pacitan. Penelitian di laksanakan sesuai dengan kriteria inklusi yang

telah ditentukan. Peneliti memberikan penjelasan kepada responden mengenai

penelitian dan meyakinkan tentang kerahasiaan dalam penelitian. Peneliti

memberikan kesempatan pada responden untuk mengisi kuesioner yang telah

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
68

disediakan tanpa mengganggu kegiatan pelayanan/asuhan keperawatan yang

sedang dilakukan oleh responden.

Data yang telah didapatkan di ujikan kemudian dianalisis menggunakan

Partial Least Square (PLS). Hasil analisis yang didapatkan akan dibahas pada

tahap Focus Group Discussion (FGD). Focus Group Discussion direncanakan

dilaksanakan sebanyak dua kali. Peserta FGD terdiri dari peneliti, perwaklian

perawat bencana dari DPD PPNI Pacitan, beberapa responden penelitian dan

pakar dalam ilmu kebencanaan. Peneliti melakukan koordinasi tempat dan waktu

pelaksanaan FGD agar tidak mengganggu kegiatan pelayanan kesehatan. Rencana

pada pertemuan pertama akan membahas hasil analisis penelitian serta masukan

tentang perilaku perawat tanggap bencana. Sedangkan pada pertemuan kedua

membahas konsep solusi yang dihasilkan pada pertemuan FGD pertama, yaitu

berupa penyusunan modul tentang perawat tanggap bencana berbasis TPB dan

kearifan budaya lokal Pacitan.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
69

4.9 Kerangka kerja penelitian

Populasi perawat Puskesmas wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten


Pacitan tahun 2016

Purposive sampling

Sampel Perawat yang memenuhi kritia inklusi

Pengambilan data dan mengidentifikasi variabel :


a. Background Factors (personal, Socio-cultur, informasi)
b. Sikap terhadap tanggap bencana
c. Intensi tanggap bencana
d. Perilaku tanggap bencana

Menganalisis hubungan antar variabel dengan Analisis PLS

Menemukan isu strategis

Melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan ahli/


pakar/ expert : perawat puskesmas dan petugas BPBD Pacitan

Menyusun model peningkatan kemampuan


perawat tanggap bencana

Pembuatan Modul perawat tanggap bencana


berbasis kearifan lokal

Bagan 4.3 Pengembangan model peningkatan tindakan keperawatan dalam tanggap bencana
berbasis TPB (theory planned behaviour) dalam konteks kearifan budaya lokal

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
70

4.10 Analisis Data

a. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk melihat hasil dari masing-masing

variabel. Data yang berjenis kategori disajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi.

b. Analisis Inferensial

Teknik yang digunakan adalah model persamaan structural berbasis variance

atau component based yang di sebut dengan PLS (Partial Least Square). PLS

memiliki keunggulan yaitu bersifat powerfull. Hal ini disebabkan karena PLS

tidak mengasumsikan data harus memiliki skala tertentu, sampel kecil juga

dapat digunakan untuk konfirmasi sebuah teori (Ghozali, 2013). PLS

memungkinkan pengujian rangkaian hubungan antar variabel laten (structural

model), outer model yang mengkhususkan hubungan antar variabel laten

dengan indikator. Evaluasi model terdiri dari dua bagian evaluasi model

pengukuran dan evaluasi struktural.

1. Evaluasi model pengukuran atau outer model

Model pengukuran atau outer model dengan indikator relatif dievaluasi

berdasarkan hasil validity dan reability indikator. Indikator dikatakan

valid jika memiliki nilai outer loading diatas 0,6 dan nilai T- Statistic

diatas 1,96. Reliability menguji nilai reliabilitas indikator dari konstruk

yang membentuknya.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
71

2. Evaluasi model struktural atau inner model

Evaluasi inner model bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh

atau hubungan kausalitas antar variabel-variabel dalam penelitian,

yaitu dengan mendapatkan nilai R square atau koefisien determinasi.

3. Godness Of Fit

Pada tahapan ini evaluasi bertujuan untuk megetahui besarnya

kekuatan model dalam penelitian dengan menunjukkan nilai kekuatan

variabel serta menunjukkan gambaran anak panah antar variabel.

X1.1
X1 X4
X1.2

X2.1

X2.2 X2 X7
X5 Y

X2.3

X3.1

X3.2 X3 X6

X3.3

Bagan 4.2 Pengembangan model peningkatan tindakan keperawatan dalam tanggap bencana
berbasis TPB (theory planned behaviour) dalam konteks kearifan budaya lokal

4.11 Pengujian Hipotesis

Pengujian dilakukan dengan t-test, jika didapatkan nilai p-value = 0,05 (a

≤ 5%) maka di simpulkan signifikan dan sebaliknya. Jika hasil pengujian hipotesis

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
72

pada outer model menunjukkan nilai signifikan, berarti indikator dipandang dapat

digunakan sebagai instrumen pengukur variabel laten. Sedangkan apabila hasil

pengujian pada inner model bernilai signifikan, maka dapat dikatakan bahwa

terdapat pengaruh yang bermakna pada variabel laten terhadap variabel laten

lainnya.

4.12 Etika Penelitian

Menurut WHO (2016) penelitian memiliki beberapa prinsip etika yaitu :

(1) prinsip manfaat, (2) prinsip menghargai hak-hak subyek, (3) prinsip keadilan.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan penelitian ini peneliti telah mendapatkan

rekomendasi dari Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga berupa surat

keterangan lolos uji etik dengan nomer 713-KEPK tertanggal 27 Maret 2018.

Setelah mendapatkan surat keterangan uji etik penelitian dilaksanakan dengan

berpedoman pada:

1. Inform consent ( lembar persetujuan penelitian)

Informed consent diberikan kepada subyek penelitian sebelum penelitian

dilakukan dengan pemberian penjelasan tujuan pelaksanaan penelitian.

Responden yang bersedia menjadi subjek dalam penelitian, diminta untuk

menandatangani lembar Informed consent. Responden berhak tidak bersedia

untuk mengikuti kegiatan penelitian dan tidak ada paksaan dalam kegiatan

tersebut.

2. Anonimity (tanpa nama)

Pada penelitian ini, responden tidak mencantumkan nama hanya di tulis

nomor responden agar privasi responden tetap terjaga.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
73

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan

dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya hasil pengolahan data yang akan

dilaporkan pada hasil riset.

4. Beneficiency dan non Maleficiency

Dalam penelitian ini, perlakuan diberikan semata-mata untuk memberikan

manfaat pada responden. Perlakuan disemua proses penelitian diterapkan

dengan tidak menyebabkan cedera fisik maupun psikis dan ditujukan untuk

mendapatkan manfaat.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1. Geografi

Pacitan merupakan salah satu dari 38 Kabupaten di Propinsi Jawa Timur

yang terletak di bagian Selatan barat daya. Kabupaten Pacitan terletak di

antara 1100 55′-1110 25′ Bujur Timur dan 70 55′- 80 17′ Lintang Selatan, dengan

luas wilayah 1.389,8716 Km2 atau 138.987,16 Ha. Luas tersebut sebagian besar

berupa perbukitan yaitu kurang lebih 85 %, gunung-gunung kecil lebih kurang

300 buah menyebar diseluruh wilayah Kabupaten Pacitan dan jurang terjal yang

termasuk dalam deretan Pegunungan Seribu yang membujur sepanjang selatan

Pulau Jawa, sedang selebihnya merupakan dataran rendah.

Kabupaten Pacitan terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa dan berbatasan

dengan Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

merupakan pintu gerbang bagian barat wilayah selatan dari Provinsi Jawa Timur

dengan kondisi fisik berupa pegunungan kapur selatan yang membujur dari

Gunung kidul hingga ke Kabupaten Trenggalek menghadap ke Samudera

Indonesia. Secara administratif wilayah Kabupaten Pacitan terdiri dari 12

kecamatan, 166 desa dan 5 kelurahan. Wilayah terluas adalah di Kecamatan

Tulakan yaitu seluas 161,61 km² dan yang paling kecil wilayahnya adalah

Kecamatan Sudimoro, yaitu 71,05 km².

74
TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
75

Tabel 5.1 Letak batas wilayah kabupaten Pacitan


Timur Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur)
Selatan Samudra Indonesia
Barat Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah)
Utara Kabuapten Ponorogo (Jawa Timur)
Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah)

5.1.2. Topografi dan iklim

Dari aspek topografi wilayah Kabupaten Pacitan memiliki bentangan yang

bervariasi dengan kemiringan sebagai berikut:

1. Datar (kelas kelerengan 0-5%) dengan luas 55,59 Km2 atau 4% dari luas

wilayah Kabupaten Pacitan.

2. Berombak (kelas kelerengan 6-10%) dengan luas 138,99 Km2 atau 10%

dari luas wilayah Kabupaten Pacitan.

3. Bergelombang (kelas kelerengan 11-30%) dengan luas 333,57 Km2 24%

dari luas wilayah Kabupaten Pacitan.

4. Berbukit (kelas kelerangan 31-50%) dengan luas 722,73 Km2 atau 52%

dari luas wilayah di Kabupaten Pacitan.

5. Bergunung (kelas kelerengan > 52%) dengan luas 138,99 Km2 atau 10%

dari luas wilayah di Kabupaten Pacitan.

Bila ditinjau dari struktur dan jenis tanah terdiri dari Assosiasi Litosol

Mediteran Merah, Aluvial kelabu endapan liat, Litosol campuran Tuf dengan

Vulkan serta komplek Litosol Kemerahan yang ternyata di dalamnya banyak

mengandung potensi bahan galian mineral. Ditinjau dari sudut geografisnya

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
76

wilayah Kabupaten Pacitan seluas 1.389,8716 Km2 atau 138.987,16 Ha sebagian

besar tanahnya terdiri atas :

1. Tanah ladang : 21,51% atau 29.890,58 ha.

2. Pemukiman Penduduk : 02,27% atau 3.153,33 ha.

3. Hutan : 58,56% atau 81.397 ha

4. Sawah : 09,36% atau 13.014,26 ha.

5. Pesisir dan tanah kosong : 08,29% atau 11.530,99 ha

Kabupaten Pacitan seperti daerah lainnya di Pulau Jawa dipengaruhi oleh

iklim Tropika basah dengan 2 musim yaitu musim hujan (bulan Oktober-April)

dan musim kemarau (bulan April-Oktober). Berdasarkan pencatatan selama 24

tahun terakhir curah hujan mencapai 2300 mm per tahun. Curah hujan bulanan

maksimum rata-rata 416 mm yang terjadi pada bulan Januari dan curah hujan

bulanan minimum rata-rata 53 mm yang terjadi pada bulan Agustus. Suhu rata-

rata 270C sedangkan kecepatan angin antara 30-50 km/jam. Berdasarkan data

curah hujan yang berhasil dihimpun Kabupaten Pacitan dari 12 stasiun pengamat

hujan yang tersebar di berbagai kecamatan di Kabupaten Pacitan menunjukkan

bahwa rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini berkisar antara 2.023

mm/tahun (Tegalombo) sampai 2.746 mm/tahun (Purwosari), dengan rata-rata

hari hujan tahunan berkisar antara 98 hari/tahun hingga 134 hari/tahun. Curah

hujan tertinggi jatuh pada bulan basah(>200 mm) berlangsung antara Oktober

sampai April. Sedangkan bulan kering (<100 mm) umumnya berlangsung pada

bulan Mei sampai September. (www.pacitankab.go.id)

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
77

5.1.3. Kependudukan

Berdasarkan hasil perhitungan melalui proyeksi Sensus Penduduk yang

dilakukan oleh BPS Kabupaten Pacitan Tahun 2016 gambaran penduduk

Kabupaten Pacitan berjumlah 552.307 jiwa yang terdiri dari 269.616 jiwa

penduduk laki-laki dan 282.691 jiwa penduduk perempuan. Sex ratio penduduk

Kabupaten Pacitan pada tahun 2016 adalah 95,37 artinya terdapat 95 laki-laki

diantara 100 penduduk perempuan.

5.1.4. Wilayah Peka Bencana Alam Dan Wilayah Kritis

Kondisi geologi di sebagian besar wilayah Indonesia merupakan pertemuan

lempeng-lempeng tektonik menjadikan kawasan Indonesia memliki kondisi

geologi yang sangat kompleks termasuk wiyah Kabupaten Pacitan. Daerah pulau

Jawa bagian Selatan khususnya Cilacap, Kebumen, Wonogiri hingga Pacitan yang

berada di atas lempeng India-Auastralia kondisinya saat ini sangat rapat karena

mendapat tekanan dari lempeng Eropa-Asia. Kondisi lempeng Jawa Selatan yang

rapat dan tertekan itu sewaktu-waktu bisa patah sehingga menimbulkan gempa.

1. Gempa Bumi

Daerah Kabupaten Pacitan yang berada di atas lempeng India-Australia

kondisinya saat ini sangat rapat karena mendapat tekanan dari lempeng

Eropa-Asia. Berdasarkan hal tersebut maka seluruh wilayah Kabupaten

Pacitan termasuk kedalam kawasan rawan gempa bumi.

2. Kawasan Rawan Tanah Longsor/Gerakan Tanah

Adapun kawasan rawan tanah longsor/gerakan tanah di Kabupaten Pacitan

merupakan daerah yang memiliki kemiringan lahan lebih dari 40% dan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
78

kawasan yang memiliki jenis tanah Redzina dan litosol. Pada kawasan

yang memiliki kriteria tersebut penggunaan lahan sedapat mungkin berupa

hutan lindung/hutan rakyat.

3. Kawasan Rawan Gelombang Pasang Tsunami

Adapun kecamatan yang merupakan kawasan rawan bencana tsunami dan

perlu diatur penggunaan lahannya adalah seluruh wilayah pantai di bagian

selatan seperti kecamatan Sudimoro, Ngadirojo, Tulakan, Kebonagung,

Pringkuku, Punung dan Sudimoro. Kabupaten Pacitan yang memiliki

kemiringan landai dan juga wilayah-wilayah yang dilalui oleh sungai-

sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

5.1.5 Sarana kesehatan

Dalam upaya meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat di wilayah Kabupaten Pacitan, pemerintah Kabupaten Pacitan telah

membangun sarana kesehatan mulai Rumah Sakit daerah dengan status type C,

Puskesmas Rawat inap hingga Puskesmas Keliling

Tabel 5.2 Distribusi Puskesmas di wilayah Kabupaten Pacitan

No Kecamatan Puskesmas
1 Pacitan 1. Pacitan
2. Tanjungsari

2 Kebonagung 1. Kebonagung
2. Ketrowonojoyo

3 Arjosari 1. Arjosari
2. Kedungbendo

4. Punung 1. Punung
2. Gondosari

5 Pringkuku 1. Pringkuku
2. Candi

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
79

No Kecamatan Puskesmas
6 Donorojo 1. Donorojo
2. Kalak

7 Ngadirojo 1. Ngadirojo
2. Wonokarto

8 Tulakan 1. Tulakan
2. Bubakan

9 Sudimoro 1. Sudimoro
2. Sukorejo

10 Tegalombo 1. Tegalombo
2. Gemaharjo

11 Nawangan 1. Nawangan
2. Pakis Baru

12 Bandar 1. Bandar
2. Jeruk

Dari 24 Puskesmas yang terdapat di wilayah Kabupaten Pacitan, 13

Puskesmas diantaranya memiliki status sebagai Puskesmas rawat inap. Sedangkan

lainnya sebagai Puskesmas Non Rawat Inap yang juga melayani kesehatan

masyarakat Pacitan dengan fasilitas yang dimiliki seperti layanan Puskesmas

Keliling, Puskesmas Pembantu dan lain-lain.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
80

5.2 Karakteristik Responden Penelitian


5.2.1 Sosio-Culture Responden
Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan karakteristik sosio-culture

Std
Karakteristik Frekuensi % Mean
deviation
Usia
20-25 tahun 1 0.57
26-30 tahun 34 19,42
31-35 tahun 59 33,71
36-40 tahun 33 18,84 36,69 6,40
41-45 tahun 22 12,57
46-50 tahun 23 13,14
51-55 tahun 3 1,71
Total 175 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 80 45,72
Perempuan 95 54,28
Total 175 100
Pendidikan
D3/D4 110 62,85
S1 18 10,28
S1+Ners 47 26,87
S2 - 0
Total 175 100
Lama Kerja
1-5 tahun 27 15,42
6-10 tahun 68 38,85
11-15 tahun 34 19,42
16-20 tahun 20 11,42 11,28 7,03
21-25 tahun 12 6,85
26-30 tahun 12 6,85
> 30 tahun 2 1,14
Total 175 100
Status pekerjaan
PNS 110 62,85
Non PNS 65 37,15
Total 175 100

Berdasarkan tabel 5.3 rerata usia responden adalah 36,69 tahun yang bisa di

kategorikan sebagai usia produktif. Rerata jenis kelamin dalam responden

penelitian ini adalah perempuan dengan prosentase 54,28%. Sebagian besar

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
81

tingkat pendidikan terakhir responden adalah D3/D4 Keperawatan dengan

prosentase 62,85%. Rerata lama kerja dalam responden penelitian ini adalah

sebesar 11,28 tahun. Sedangkan untuk status kepegawaian sebagian besar

responden adalah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 62,85%.

5.2.2 Karakteristik Faktor Latar Belakang

Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan Personal (Sikap Umum, Religiusitas),


Informasi (Pengetahuan, Pengalaman, Budaya)

Mean Std
Karakteristik Frekuensi % deviation
Sikap Umum
Positif 129 73,72
Negatif 46 26,28 30,60 2,69
Total 175 100
Religiusitas
Baik 111 63,43 28,45 3,026
Kurang 64 36,57
Total 175 100
Pengetahuan
Baik 93 53,15
Kurang 82 46,85 65,08 6,69
Total 175 100
Pengalaman
Positif 87 49,72 31,22 2,49
Negative 88 50,28
Total 175 100
Budaya
Baik 135 77,15 29,95 2,36
Kurang 40 22,85
Total 175 100

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa rerata nilai sikap perawat secara umum

pada responden adalah 30,60 Sebagian besar responden (73,72%) memiliki

gambaran sikap umum yang positif. Nilai rerata religiusitas pada responden

adalah 28,45. Sebagian besar responden (63,43%) memiliki gambaran religiusitas

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
82

yang baik, percaya akan adanya kekuatan Tuhan mengesampingkan arti

keyakinan yang bersifat turun temurun. Nilai rerata tingkat pengetahuan perawat

tentang kegawat daruratan dana bencana adalah baik sebesar 65,08. Dari faktor

pengalaman sebanyak 87 orang (49,72%) responden perawat memiliki

pengalaman yang positif terhadap penanganan bencana. Artinya sebagian bear

dari responden pernah terlibat sebelumnya dalam penanganan korban bencana.

Sedangkan dari faktor budaya sebanyak 77,15% responden perawat mengenali

karakter budaya yang ada di wilayahnya dengan baik.

5.2.3 Karakteristik Faktor pembentuk sikap

Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan Attitude toward behavior, subjective


norm, dan perceived behavioral control

Mean Std
Karakteristik Frekuensi % deviation
Sikap tanggap bencana
Baik 88 50,28 67,27 7,20
Kurang 87 49,72
Total 175 100
Subjective Norm
Positif 58 33,15 30,88 2,64
Negative 117 66,85
Total 175 100
Perceived behavioral control
Positif 86 49,15 29,98 2,27
Negative 89 50,85
Total 175 100

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa rerata nilai sikap tanggap bencana (Attitude

toward behavior) pada perawat adalah 67,27. Besar responden yang yang

memiliki sikap baik hampir berimbang dengan sikap yang kurang. Rerata nilai

norma subyektif pada perawat adalah 30,88. Perawat yang memiliki norma

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
83

subyektif positif hanya sebesar 33,15%. Untuk rerata nilai perceived behavioral

control pada perawat adalah 29,98. Besarnya jumlah responden perawat yang

memiliki perceived behavioral control positif sebesar 49,15%

5.2.4 Karakteristik Faktor Pembentuk Perilaku

Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan Intension dan Behaviour

Mean Std
Karakteristik Frekuensi % deviation
Intensi
Positif 76 43,42 31,73 2,78
Negative 95 54,28
Total 175 100
Perilaku tanggap bencana
Baik 83 47,42 72,50 4,94
Kurang 92 52,57
Total 175 100

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa rerata nilai intensi pada perawat adalah

31,73. Besarnya jumlah responden perawat yang memiliki nilai intesion (niat)

positif adalah sebesar 43,42%, artinya memiliki niat yang kuat untuk melakukan

tindakan tanggap bencana. Sedangkan rerata nilai perilaku tanggap bencana pada

perawat adalah sebesar 72,50.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
84

5.3 Analisis Inferensial Model Peningkatan Tindakan Keperawatan


Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned Behaviour

5. 3. 1 Evaluasi model pengukuran atau outer model

Gambar 5.1 Measurement model (outer model)

Pada tahap pengujian ini menampilkan gambaran hasil pengujian PLS

tahap measurement model (outer model) pada variabel faktor personal terdiri dari

religiusitas, dan sikap secara umum. Variabel social-cultur yang terdiri dari usia,

jenis kelamin, pendidikan. Variabel informasi yang terdiri dari pengetahuan,

pengalaman, kebijakan yang berlaku di masyarakat (aturan budaya), variabel

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
85

attitude toward behavioral (sikap perilaku tanggap bencana), variabel norma

subyektif, variabel perceived behavioral control, variabel intensi, dan variabel

sikap tanggap bencana. Hasil perhitungan measurement model pada masing-

masing variabel dapat dilihat pada tabel 5.15

Tabel 5.7 Perhitungan measuremen model (outer model) pada Model Peningkatan
Tindakan Keperawatan Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned
Behaviour dalam konteks kearifan budaya lokal di Kabupaten Pacitan

Average
Loading Variance Composite
Variabel Sub Variabel
factor Extracted reliability
(AVE)
Religiusitas 0,894
Personal 0,719 0,836
Sikap umum 0,800
Usia 0,796
Socio-culture Jenis kelamin 0,397 0,327 0,221
Pendidikan 0,435
Pengetahuan 0,715
Informasi Pengalaman 0,628 0,441 0,703
Aturan budaya 0,648
Attitude 1,000
toward 1,000 1,000
behavioral
Norma 1,000
1,000 1,000
subyektif
Perceived 1,000
behavioral 1,000 1,000
control
Intension 1,000 1,000 1,000
Behavior 1,000
tanggap 1,000 1,000
bencana

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 5.7 sub variabel jenis kelamin,

pendidikan memiliki loading factor < 0,6 maka ub variabel ini akan di hapus dari

dari model. Pada penelitian ini nilai AVE pada variabel faktor socio-culture

(0,327), dan informasi (0,441) dinyatakan tidak valid < 0,5. Nilai composite

reliability pada variabel faktor socio-culture tidak reliabel (0,221 < 0,7).

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
86

5. 3. 2 Pengujian model struktural (inner model)

Gambar 5.2 Measurement model (inner model)

Tahap ini menampilkan gambaran hasil pengujian PLS tahap measurement

model (inner model) pada variabel faktor personal terdiri dari religiusitas dan

sikap umum, variabel social culture dengan sub variabel usia, variabel faktor

informasi dengan sub variabel pengetahuan, budaya dan pengalaman, variabel

attitude toward behavioral (sikap tanggap bencana), norma subyektif, variabel

perceived behavioral control, variabel intensi, dan variabel perilaku. Hasil

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
87

perhitungan measurement model (inner model) pada masing-masing variabel

dapat dilihat pada tabel 5.8

Tabel 5.8 Perhitungan measuremen model (inner model) pada Model Peningkatan
Tindakan Keperawatan Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned
Behaviour dalam konteks kearifan budaya lokal di Kabupaten Pacitan

Average
Loading Variance Composite
Variabel Sub Variabel
factor Extracted reliability
(AVE)
Religiusitas 0,894 0,836
Personal 0,719
Sikap umum 0,800
Socio-culture Usia 1,000 1,000 1,000
Pengetahuan 0,715
Informasi Budaya 0,648 1,000 1,000
Pengalaman 0,628
Attitude
toward 1,000 1,000 1,000
behavioral
Norma 1,000 1,000 1,000
subyektif
Perceived
behavioral 1,000 1,000 1,000
control
Intension 1,000 1,000 1,000
Behavior
tanggap 1,000 1,000 1,000
bencana

Hasil perhitungam tabel 5.8 menunjukkan seluruh variabel memiliki nilai

loading factor ≥ 0,6. Pada penelitian ini nilai AVE pada seluruh variabel valid

≥0,5. Nilai composite reliability pada seluruh variabel adalah reliabel ≥ 0,7.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
88

5. 3. 3 Pengujian hipotesis

Gambar 5.3 Structural model (Pengujian hipotesis)

Tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian structural model. Pada

tahap ini memiliki tujuan mengetahui adanya pengaruh variabel. Pengujian ini

menggunakan perbandingan uji t (t-test), apabila nilai t hitung lebih besar dari t

tabel, t-value >1,96 berarti pengujian signifikan.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
89

Tabel 5.9 Hasil perhitungan uji t (T-Test) pada pada Model Peningkatan Tindakan
Keperawatan Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned Behaviour
dalam konteks kearifan budaya lokal di Kabupaten Pacitan

Koef. Standard Ket


Hubungan antar Sample T
Para Deviation
variabel mean Statistic
Meter (STDEV)
1 personal -> attitude Signifikan
0,150 0,154 0,068 2,202
toward behavioral
2 personal -> Tidak
0,059 0,072 0,097 0,609
subyektive norm Signifikan
3 personal -> perceived Signifikan
0,200 0,201 0,087 2,309
behavioral control
4 sosial culture -> Signifikan
attitude toward -0,123 -0,119 0,053 2,323
behavioral
5 sosial culture -> Signifikan
0,238 0,238 0,067 3,532
subyektive norm
6 sosial culture -> Signifikan
perceived behavioral 0,103 0,103 0,060 2,297
control
7 informasi -> attitude Signifikan
0,629 0,632 0,069 9,123
toward behavioral
8 informasi -> Signifikan
0,311 0,298 0,135 2,297
subyektive norm
9 informasi -> Signifikan
perceived behavioral 0,340 0,344 0,106 3,212
control
10 attitude toward Signifikan
behavioral -> 0,192 0,190 0,055 3,487
intension
11 subyektive norm -> Signifikan
0,496 0,492 0,076 6,556
intension
12 perceived behavioral Signifikan
0,074 0,079 0,062 1,197
control -> intension
13 perceived behavioral Signifikan
0,219 0,218 0,077 2,856
control -> behavioral
14 intension -> Tidak
0,025 0,022 0,075 0,337
behavioral signifikan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
90

Berdasarkan keterangan tabel 5.9 di dapatkan gambaran model structural

sebagai berikut:

1. Ada pengaruh personal dengan attitude toward behavioral dengan nilai

koefisiensi parameter 0,150 dan nilai t = 2,202 > 1,96

2. Tidak ada pengaruh faktor personal dengan Subjective Norm dengan nilai

koefisiensi parameter 0,059 dan nilai t = 0,609 > 1,96

3. Ada pengaruh faktor personal dengan Perceived Behavioral Control dengan

nilai koefisien parameter 0,200 dan nilai t = 2,309 > 1,96

4. Terdapat pengaruh faktor social-culture dengan attitude toward behavioral

dengan nilai koefisien parameter -0,123 dan nilai t = 0,714 < 1,96

5. Ada pengaruh faktor social-culture dengan Subjective Norm dengan nilai

koefisien parameter 0,238 dan nilai t = 3,532 > 1,96

6. Ada pengaruh faktor social-culture dengan Perceived Behavioral Control

dengan nilai koefisien parameter 0,103 dan nilai t = 2,297 > 1,96

7. Ada pengaruh faktor information dengan attitude toward behavioral dengan

nilai koefisien parameter 0,629 dan nilai t = 9,123 >1,96

8. Ada pengaruh faktor information dengan Subjective Norm dengan nilai

koefisien parameter -0,311 dan nilai t = 2,297 > 1,96

9. Ada pengaruh faktor information dengan Perceived Behavioral Control

dengan nilai koefisien parameter 0,340 dan nilai t = 3,212 >1,96

10. Ada pengaruh attitude toward behavioral terhadap Intension dengan nilai

koefisien parameter 0,192 dan nilai t = 3,487 > 1,96

11. Ada pengaruh Subjective Norm terhadap Intension dengan nilai koefisien

parameter 0,496 dan nilai t = 6,556 > 1,96

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
91

12. Ada pengaruh Perceived Behavioral Control terhadap Intension dengan nilai

koefisien parameter 0,074 dan nilai t = 1,197 >1,96

13. Ada pengaruh Perceived Behavioral Control terhadap perilaku (Behaviour)

dengan nilai koefisien parameter 0,219 dan nilai t = 2,856 < 1,96

14. Tidak ada pengaruh Intension terhadap perilaku (Behaviour) dengan nilai

koefisien parameter 0,025 dan nilai t = 0,337 < 1,96

Tabel 5.10 Goodness of fit (GoF) pada Model Peningkatan Tindakan


Keperawatan Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned
Behaviour dalam konteks kearifan budaya lokal di Kabupaten
Pacitan

Variabel R square
Attitude toward behavioral 0,502
Subjective norm 0,227
Perceived behavior control 0,223
Intension 0,383
Behavioral 0,053

Untuk memvalidasi model structural secara keseluruhan digunakan Goodness

of Fit (GOF). GOF indeks merupakan ukuran tunggal untuk memvalidasi

performa gabungan antara model pengukuran dan model structural. Goodness of

fit pada model penelitian ini diukur menggunakan Q-Square predictive relevance.

Rumus Q-Square:

Q2 = 1 – ( 1 – R12) ( 1 – R22 ) ... ( 1- Rp2 )

Q2 = 1 – (1-0,502)(1-0,227)(1-0,223)(1-0,383)(1-0,053)
Q2 = 1- (0,498)(0,773)(0,777)(0,617)(0,947)
Q2 = 1 – (0,174)
Q2 = 0, 826

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
92

Nilai Goodness Of Fit (GOF) terbentang antara 0 sd 1 dengan interpretasi nilai-

nilai : 0,1 (GOF kecil), 0,25 (GOF moderate), dan 0,36 (GOF baik). Nilai GOF

pada model penelitian ini 0,826 > 0,36 artinya Model Peningkatan Tindakan

Keperawatan Tanggap Bencana Berbasis Theory Planned Behaviour dalam

konteks kearifan budaya lokal di Kabupaten Pacitan dapat di aplikasikan.

5.4 Hasil Focus Group Discussion (FGD)

FGD bertujuan untuk membahas isu strategis dan mendapatkan penyebab

dan solusi sebagai dasar untuk menyusun rekomendasi dalam pengembangan

model Peningkatan Tindakan Keperawatan Tanggap Bencana Berbasis Theory

Planned Behaviour dalam konteks kearifan budaya lokal di Kabupaten Pacitan.

FGD dilakukan setelah peneliti melakukan analisis data baik deskriptif maupun

inferensial. Dasar pengambilan isu strategis berdasarkan hasil analisis PLS faktor

yang mempengaruhi perilaku perawat tanggap bencana.

Tabel 5.11 Hasil FGD pada Model Peningkatan Tindakan Keperawatan Tanggap
Bencana Berbasis Theory Planned Behaviour dalam konteks kearifan
budaya lokal di Kabupaten Pacitan

Isu strategis Kemunkinan Pendapat peserta FGD Telaah peneliti


Penyebab
Faktor informasi : Kurangnya pengetahuan 1. Kemampuan setiap Pengetahuan mengenai
pengetahuan terkait penatalaksanaan orang dalam penanganan korban
korban bencana sesuai menyerap ilmu bencana yang sesuai
panduan terbaru berbeda-beda ada dengan dengan update
yang bisa fokus terbaru dapat
mengikuti mempermudah dalam
pengetahuan terbaru menangani korban
ada yang belum bencana dan mengurangi
punya kesempatan resiko tinggi angka
mengikuti kematian korban
perkembangan bencana
terbaru
2. Masih ada yang
mengikuti

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
93

Isu strategis Kemunkinan Pendapat peserta FGD Telaah peneliti


Penyebab
tatalaksana seperti
biasanya saja
(mengikuti
tatalaksana yang
sudah ada)
3. Untuk
meningkatkan
pengetahuan terbaru
biayanya mahal
Faktor informasi : Perkembangan jaman 1. Kesiapsiagaan Pelestarian budaya
Aturan/kebijakan dan tekhnologi telah bencana sudah ada melalui kegiatan yang
masyarakat yang mempengaruhi pola alat dan tekhnologi turun temurun serta
berlaku (budaya) kehidupan yang mampu pengenalan tanda-tanda
mendeteksi mungkin alam seperti ilmu
bermasyarakat
perlu peningkatan pengetahuan yang
sosialisasi dan terdahulu tetap perlu
peningkatan sistem diperhatikan agar saat
penyampaian terjadi bencana dapat
informasi terkait menolong sesama
kejadian bencana
2. Ilmu leluhur masih
bisa di katakan
relevan di gunakan
untuk mengetahui
kondisi alam dan
sekitar hanya saja
kita perlu lebih
peduli dengan
lingkungan sekitar
3. 3M perlu di
sosialisasikan
kembali sebagai
wujud pelestarian
budaya dalam
bermasyarakat
karena tidak semua
wilayah masih
menerapkan 3M

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
94

5.5 Rekomendasi Hasil FGD

1. Sering mengadakan kegiatan pendidikan keilmuan gawat darurat

berkelanjutan terkait penanganan korban bencana.

2. Melakukan kegiatan bersama antara tenaga kesehatan dalam hal ini perawat

dengan pihak terkait dalam rangka tanggap bencana

3. Perawat-perawat Puskesmas agar lebih sering dilibatkan/mendapatkan

perhatian khusus terutama dalam hal pendidikan dan pelatihan gawat darurat

atau pelatihan tanggap bencana

4. Koordinasi tim tanggap bencana dengan masyarakat di desa sangat di

perlukan agar masyarakat dapat terlibat dalam penanganan bencana.

5. Pengadaan Modul tindakan tanggap bencana agar tim memiliki pedoman

dalam penanganan korban bencana

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
94

BAB 6

PEMBAHASAN

6. 1 Pengaruh faktor personal terhadap attitude toward behavioral pada


tindakan perawat tanggap bencana

Berdasarkan hasil tabel 5.8 di jelaskan bahwa faktor personal

mempengaruhi attitude toward behavioral (sikap terhadap tanggap bencana).

Komponen dari faktor personal yang mempengaruhi pada penelitian ini adalah

sikap perawat dan religiusitas. Secara umum dapat di jelaskan bahwa tingkat

kematangan berfikir dan tingkat kematangan religiusitas pada diri personal akan

sangat mempengaruhi perilaku seseorang terutama dalam kaitannya kegiatan

prososial seperti misalnya perilaku seorang perawat kepada seorang klien

(Haryati, 2013). Perilaku prososial pada tenaga perawat yang dimaksud adalah

tingkah laku seseorang yang bertujuan untuk merubah keadaan psikis atau fisik

penerima sedemikian rupa, sehingga penolong akan merasa bahwa penerima

menjadi lebih sejahtera. Seperti penelitian yang di lakukan oleh Haryati, dkk

(2013), seorang perawat yang memiliki kematangan dalam sisi religiusitas akan

menunjukkan sikap dan perilaku prososial yang baik, tercermin pada saat

melaksanakan asuhan tindakan keperawatan dia akan menunjukkan sikap

kooperatif, bertanggung jawab, membantu kebutuhan klien tanpa

mempertimbangkan unsur untung dan rugi.

Pada penelitian ini rerata usia responden adalah usia produktif yaitu 36

tahun. Menurut teori perkembangan psikologi bahwa seiring pertambahan usia di

95

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
96

tahap-tahap pertumbuhan itu pula berlangsung proses perubahan fisik, dan juga

spiritual. Melalui proses pertumbuhan secara bertahap, fisik mencapai tingkat

kematangannya. Mencapai puncak pertumbuhan, yakni di usia dewasa. Sementara

psikologi perkembangan belum mampu memberi spiritual batas yang jelas tentang

batas usia kematangan spiritual (Jalaludin, 2015).

Penelitian ini 129 orang perawat memilki penilaian sikap yang baik dan

sebanyak 111 orang perawat memiliki gambaran religiusitas yang baik. Mereka

percaya dan meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi terkait bencana

bergantung pada kuasa Tuhan YME meskipun kejadian bencana dapat di

prediksikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Toward (2016), menyatakan

bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara religi/spiritual seseorang

dengan perilaku seseorang. Dalam penelitiannya yang melibatkan 751 mahasiswa

didapatkan bahwa mahasiswa yang memiliki keyakinan religi/spiritual tinggi serta

berkomitmen kuat terhadap keyakinannya memilki perilaku meminum alkohol

yang rendah di bandingkan dengan mahasiswa yang memiliki nilai religi/spiritual

yang rendah. Menurut Fitchett et al., (2004) dalam (Toward, 2016) bahwa

mereka-mereka yang memiliki kepampuan religiusitas tinggi akan memiliki

tingkat ketaatan dalam beribadah termasuk dalam keseharian serta memiliki

tingkat emosi yang matang. Sehingga pada suatu kondisi atau situasi kritis yang

sedang terjadi mereka kan berfikir secara kritis terlebih dahulu sebelum bertindak,

tidak lagi bereaksi tanpa berfikir seperti anak-anak atau orang yang tidak matang

emosinya. Selain itu hubungan yang positif antara nilai religiusitas dengan sikap

dan perilaku juga di kemukakan oleh Dixon and Abbey (2000) dalam Stephenson

et al., (2008), di sebutkan bahwa “Agama adalah kerangka untuk

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
97

menyumbangkan ide di kandung dan perlu selalu dipelihara dalam kehidupan

untuk berbagi dengan sesama”. Kesimpulan tersebut di kuatkan pula pada hasil

dua wawancara kualitatif, dan salah satu dari dua wawancara itu adalah dengan

seorang pendeta evangelis. Semakin kuat agama menjadi landasan dalam

berperilaku, maka semakin positif hasilnya untuk diri sendiri dan sesama.

6. 2 Pengaruh faktor personal terhadap subjective norm pada tindakan


perawat tanggap bencana

Berdasarkan hasil tabel 5.8 tidak terdapat hubungan antara faktor personal

dengan Subjective Norm. Menurut Ajzen, (2011) norma subjektif merupakan

suatu bentuk nilai kepercayaan seseorang mengenai persetujuan orang lain

terhadap suatu tindakan atau persepsi individu tentang apakah orang lain akan

mendukung atau tidak terwujudnya tindakan tersebut. Untuk mendapatkan nilai

kepercayaan (belief) dari seseorang, maka individu perlu memiliki tingkat

kematangan berfikir personal dalam hal ini sikap dan nilai religiusitas. Dengan

tingkat kematangan berfikir seseorang sebelum melakukan tindakan akan

menghasilkan suatu tindakan yang terbaik. Hal ini akan menimbulkan penilain

positif dari orang lain (norma subyektif), sehingga orang lain akan memberikan

rasa percaya dan mendukung terhadap tindakan yang telah dilakukan seseorang

(Hanson and Nothwehr, 2014). Norma subjektif dapat diartikan juga sebagai

pihak-pihak yang dianggap berperan dalam perilaku seseorang dan memiliki

harapan pada orang tersebut, serta sejauh mana keinginan untuk memenuhi

harapan tersebut. Norma subyektif menyiratkan pemikiran individu orang paling

penting dalam hidupnya dan kemudian membayangkan apakah pendapat orang itu

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
98

tentang langkah atau tindakan yang kita lakukan akan menjadi negatif atau positif

(Kopfman, and Smith, 1996) dalam Stephenson et al., (2008).

Persepsi dan pemikiran orang lain bisa saja akan mempengaruhi perilaku

yang akan dilakukan seseorang. Akan tetapi persepsi dan penguasaan diri

sesorang jauh lebih kuat terbangun dari pada mempertimbangkan penilaian orang

lain. Kematangan sisi religiusitas misalnya, apa yang di yakini sesorang dengan

kuat tidak akan mudah di goyahkan dengan persetujuan dari orang lain. Sehingga,

norma subjektif adalah produk dari persepsi individu tentang belief yang dimiliki

orang lain. Fishbein dan Ajzen (1991) mencatat bahwa sikap, subjektif norma, dan

PBC semuanya didasarkan pada sebuah nilai keyakinan. Mereka mengemukakan

bahwa keyakinan diciptakan dari informasi dan hasil dalam niat perilaku. Dalam

perkembangannya masing-masing dari tiga komponen yang membentuk niat

perilaku (Personal, Sosial-Culture, dan Informasi), manusia harus melakukan

penilaian yang menghasilkan keyakinan pula. TPB (Theory Planned Behavior)

sering digunakan untuk implementasi berlatih perubahan. Sikap, norma subjektif,

dan PBC dapat dianggap sebagai bagian dari konteks berbasis bukti perubahan.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
99

6. 3 Pengaruh faktor personal dengan Perceived Behavioral Control dalam


perilaku tanggap bencana

Pada hasil tabel 5.8 di dapatkan gambaran bahwa terdapat pengaruh faktor

personal dengan Perceived Behavioral Control. Perceived Behavioral Control

menggambarkan tentang perasaan self efficacy atau kemampuan diri individu

dalam melakukan suatu perilaku. Ajzen (dalam Ismail & Zain, 2008) menjelaskan

bahwa perilaku seseorang tidak hanya dikendalikan oleh dirinya sendiri, tetapi

juga membutuhkan kontrol dari luar. Individu yang meyakini bahwa dirinya tidak

memiliki sumber daya pendukung atau kesempatan untuk berperilaku, maka tidak

akan memiliki intensi (niat) yang kuat, meskipun ia bersikap positif, dan didukung

oleh referents (orang-orang di sekitarnya) (Ajzen, 2005).

Menurut Engel et al (1995) perceived behavioral control dapat di bentuk

oleh kesempatan pendidikan ataupun keterampilan yang di berikan kepada

individu. Dengan adanya pendidikan dan ketrampilan di harapkan mampu

merubah ranah kognitif dari seseorang serta memiliki sikap positif terhadap suatu

hal sebelum melakukan sebuah perilaku. Berdasarkan penelitian yang di lakukan

Natan (2012) menemukan bahwa komponen dari model TPB (Theory Planned

Behaviour) secara parsial mempengaruhi perilaku perawat dalam melakukan

sebuah tindakan. Segala seseuatu yang akan menjadi keputusan perawat dalam

bertindak telahdi perhitungkan secara matang dalam perceived behavioral control,

hal ini di sebabkan oleh karena apa yang di lakukan oleh perawat berhubungan

erat dengan manusia yang merupakan makhluk bernyawa. Penerapan tindakan

salah yang dilakukan oleh perawat terhadap klien dapat memberikan dampak yang

merugikan dan membahayakan bagi klien. Akan tetapi komponen yang berbeda

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
100

dari pelaksanaan dan pengukuran variabel TPB (Theory Planned Behaviour) akan

mendorong niat perilaku dan kemudian perilaku itu sendiri dalam situasi yang

berbeda.

6. 4 Pengaruh faktor Social-culture dengan attitude toward behavioral dalam


perilaku tanggap bencana

Berdasarkan hasil tabel 5.8 di dapatkan gambaran bahwa terdapat

pengaruh faktor social culture dengan attitude toward behavior. Landasan teori

TPB (Theory Planned Behaviour) milik Ajzen menyatakan social culture terdiri

dari usia, jenis kelamin (gender), etnis, pendidikan, penghasilan. Dalam

tulisannya Ajzen, (2011) menyebutkan bahwa latar belakang pendidikan

seseorang akan mempengaruhi kemampuan pemenuhan kebutuhannya sesuai

dengan tingkat pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda yang pada akhirnya

mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Sedangakan dari faktor usia di

sampaikan bahwa umur/usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau

maturitas seseorang. Kematangan tersebut di sebabkan oleh karena banyaknya

pengalaman yang telah di lalui. Sehingga apa yang telah menjadi pengalaman

tersebut dapat di tarik, di simpan menjadi sebuah pembelajaran di masa yang akan

datang. Kelompok usia yang lebih tua umumnya lebih bertanggung jawab dan

lebih teliti dan lebih peduli di banding usia yang lebih muda. Hal ini selaras

dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Adesina and Ojukwu, (2017)

terhadap klien dengan hipertensi. Mereka-mereka yang berumur dewasa dan telah

diberi pengetahuan tentang kegiatan aktivitas fisik pada kasus hipetensi memiliki

tingkat perilaku yang jauh lebih positif di bandingkan dengan klien yang berusia

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
101

lebih muda. Klien yang terkena hipertensi akan berupaya senentiasa menjaga pola

makan dan senantiasa menjaga kesehatannya dengan aktivitas olahraga. Dengan

adanya pengaruh dari lingkungan serta dukungan dari orang sekitar, klien dengan

hipertensi senantiasa memiliki sikap dan perilaku yang positif terhadap

kehidupannya.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Murnaghan et al (2010) terhadap

sejumlah remaja yang senantiasa menjaga pola hidup sehat dengan tidak merokok

dan selalu berolah raga menyebutkan bahwa faktor lingkungan atau sosial tempat

mereka tinggal menjadi faktor pendorong yang kuat dalam mendukung sikap

positif para remaja dalam menjada pola hidup sehat yang mereka pilih. Selain

adanya pengetahuan yang mendukung dalam menentukan sikap 80% responden

tinggal di lingkungan keluarga yang juga menerapkan kebiasaaan pola hidup

sehat.

6. 5 Pengaruh Social-culture dengan Subjective Norm dalam perilaku tanggap


bencana

Berdasarkan hasil tabel 5.8 di jelaskan bahwa ada pengaruh faktor social-

culture dengan Subjective Norm. Sesuai dengan landasan teori TPB (Theory

Planned Behaviour) komponen dari social culture terdiri dari usia, jenis kelamin

(gender), etnis, pendidikan, penghasilan. Sedangkan Norma subjektif (Subjective

norm) menurut Ajzen, (2011), merupakan kepercayaan seseorang mengenai

persetujuan orang lain terhadap suatu tindakan. Norma subjektif dapat di artikan

sebagai bentuk produk dari persepsi individu tentang belief yang dimiliki orang

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
102

lain. Selain itu subjective norm sebagai prediktor kedua dari terbentuknya niat

suatu perilaku atau "persepsi tentang apa yang orang lain pikir harus dilakukan

sebaik-baiknya persepsi tentang apa yang dilakukan orang lain” (Fishbein, 2000).

Dalam upaya mengukur persepsi tentang usaha apa yang akan dilakukan

orang lain, seseorang individu perlu memiliki suatu pengalaman. Pengalaman

tersebut dapat di peroleh sesorang melalui tingkat usia kematangan dalam berfikir,

jenis kelamin, dan tingkat pendidikan seseorang. Sehingga apa yang di upayakan

dalam mengukur persepsi orang lain akan dapat digunakan sebagai pembanding

dalam rangka menperoleh niat yang lebih baik. Seorang individu dengan

kematangan berfikirnya di dukung dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka

kemapuannya dalam menganalisa suatu permasalahan akan semakin tajam. Hal ini

di sebabkan karena kemampuan kognitif yang di miliki seseorang tersebut

semakin terus diasah. Sehingga sebelum mengabil suatu keputusan dalam

bersikap maupun bertindak akan terjadi pemikiran mendalam terlebih dahulu.

Sedangkan apabila seseorang dalam usia yang belum matang dan dengan tingkat

pendidikan masih belum memadai, apabila di hadapakan pada suatu pilihan untuk

melakukan suatu tindakan (perilaku) maka akan ada kecenderungan seseorang

tersebut mencari solusi tambahan kepada lingkungan sekitarnya (norma subyektif)

agar dapat bersikap dan berperilaku sesuaidengan harapan lingkungan.

Dalam kehidupan nyata apabila seseorang ragu-ragu dalam bertindak atau

mengabil keputusan hal yang sering di lakukan adalah mencari pertimbangan

kepada pihak lain. Pertimbangan tersebut akan di gunakan sebagai tambahan

informasi bagi diri seseorang dengan harapan akan menjadi sebuah referensi

tambahan atau solusi kepada orang lain yang dapat di percayainya. Apabila

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
103

tambahan informasi tersebut di rasakan sesuai dengan apa yang di harapkan, hal

tersebut akan menjadi sebuah dorongan atau motivasi dalam melakukan sebuah

tindakan. Sesuai dengan apa yang di utarakan Tuominen and Leino-kilpi, (2014)

bahwa semakin matang usia seseorang, semakin banyak pengalaman yang di

peroleh dari sekitarnya, semakin bebas orang tersebut mengaktualisasikan dirinya

hingga memiliki rasa bebas dalam pengambilan keputusan dalam berperilaku.

Sedangkan dari sisi gender atau jenis kelamin, wanita memiliki keterikatan yang

erat terhadap norma subjektif. Akan tetapi kembali pada latar belakang budaya

masing-masing. Seperti halnya wanita arab cenderung meminta pendapat anggota

keluarga sebelum mengambil keputusan berperilaku. Sedangkan pada wanita di

wilayah budaya eropa rasa kebebasan dan persamaan hak lebih mendominasi.

Sehingga wanita pada budaya eropa bebas melakukan apa saja selama aktualisasi

diri mereka terpenuhi (Kardosh et al., 2017).

6. 6 Pengaruh Social-culture dengan Perceived Behavioral Control dalam


perilaku tanggap bencana

Berdasarkan gambaran dari tabel 5.8 terdapat pengaruh faktor social-

culture dengan Perceived Behavioral Control. Menurut Ajzen, (2011) Variabel ini

(Perceived Behavioral Control) diasumsikan merefleksikan pengalaman masa

lalu, dan mengantisipasi suatu halangan yang mungkin akan terjadi. Semakin

matang tingkat usia seseorang maka semakin banyak pengalaman yang telah di

alami oleh seseorang tersebut. Pengalaman yang telah dimiliknya akan di jadikan

sebuah modal pembelajaran apabila menjumpai hal serupa di masa yang akan

datang. Begitu pula di saat seseorang memiliki pengalaman di sertai pendidikan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
104

yang memadai, maka sesorang akan berada pada posisi tingkat tertinggi dalam hal

rasa percaya diri dalam mengevalusi sesuatu hal sebelum bertindak. Perceived

Behavioral Control mengacu pada rasa kepercayaan individu terhadap

kemampuannya benar dalam melakukan perilaku yang dipertanyakan (Ajzen,

1991; Bandura, 1986) dalam Martinez and Lewis, (2016). Dengan sikap dan

perceived norm, PBC (Perceived Behavioral Control) dianggap sebagai prediktor

proksimal ketiga dari niat perilaku (Fishbein, 2000, 2008; Fishbein & Ajzen,

2010; Fishbein et al., 2002). Dalam penelitian yang dilakukan Martinez and

Lewis, (2016) terhadap populasi besar pada orang dewasa yang terlibat dalam

kampanye komunikasi kesehatan di Amerika di sebutkan bahwa Sikap dan

perceived norm, sangat kuat di pengaruhi oleh tingkat kematangan usia dan

penerimaan seseorang dari sisi religi. Perceived Behavioral Control mewakili hal

tepenting lainnya sebagai prediktor perilaku kontrol di kalangan orang dewasa.

Satu kontribusi penting dari pendekatan tindakan beralasan berkaitan dengan

peran Perceived Behavioral Control, serta aktual kontrol perilaku, dalam

membentuk perilaku. Kontrol perilaku yang sebenarnya dapat terdiri dari

keterampilan yang di dapatkan dari pendidikan formal dan non formal serta

kendala lingkungan dan berteori untuk mempengaruhi Perceived Behavioral

Control dan memoderasi hubungan niat-perilaku. Fishbein dan Ajzen (2010)

dalam Martinez and Lewis, (2016) mencatat bahwa meskipun lebih kuat niat

umumnya mengarah pada kemungkinan peningkatan melakukan perilaku, ketika

kontrol perilaku yang sebenarnya rendah (misalnya, ada kekurangan pada tingkat

keterampilan yang penting atau adanya suatu hambatan pada lingkungan),

individu dapat dikecualikan dari melaksanakan niat mereka. Hal seperti ni

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
105

menyiratkan bahwa keterampilan, kemampuan, hambatan lingkungan, dan

fasilitator perlu dinilai untuk sepenuhnya memahami kapan suatu perilaku

kemungkinan besar terjadi.

6. 7 Pengaruh Information dengan attitude toward behavioral dalam perilaku


tanggap bencana

Sesuai dengan hasil tabel 5.8 bahwa ada pengaruh faktor information

dengan attitude toward behavioral. Menurut Ajzen (1994) komponen faktor

informasi adalah pengalaman, pengetahuan dan ekspose pada media.

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan,

pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan. Pendidikan ataupun

informasi yang di peroleh seseorang akan dapat meningkatkan kematangan

intelektual sehingga dapat membuat keputusan dalam bertindak ataupun dalam

berperilaku. Pengetahuan maupun informasi yang di butuhkan seseorang tentunya

berasal dari sumber-sumber berkualitas dan dapat dipercaya tingkat

kebenarannya. Prior knowledge adalah segala pengetahuan yang telah dimiliki

dan telah siap digunakan oleh seseorang (Sumarto, Hadi, 2013: 19) dalam

(Sulastri, 2013). Pengetahuan tersebut meliputi semua pengalaman tentang suatu

informasi atau ide, persepsi, dan konsep serta imaji yang terdapat dalam otak

seseorang. Penyediaan informasi melalui media termasuk website dengan segala

kemudahannya saat ini di harapkan dapat memenui kebutuhan informasi yang

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
106

bersifat ilmiah serta berpengaruh pada sikap seseorang individu dalam memenuhi

kebutuhan informasi ilmiahnya dilihat dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi.

Menurut pendapat Green, (2005) pengetahuan merupakan faktor

predisposisi dalam proses terbentuknya attitude (sikap) dan berperilaku kesehatan.

Sikap dan berperilaku kesehatan di dapatkan dari sesuatu yang kompleks yang

merupakan resultan dari berbagai macam aspek internal maupun eksternal,

psikologis maupun fisik, yang semuanya akan di dapatkan dari pengetahuan baik

yang bersifat langsung ataupun tidak langsung. Suatu bentuk informasi yang

berkualitas memiliki ciri antara lain: akurat, tepat waktu, relevan, dan lengkap

(Sulastri, 2013). Selain itu informasi harus dapat mendukung kepercayaan

penggunanya dalam hal ini seseorang yang akan mengambil suatu sikap. Ketika

informasi dapat mendukung keyakinan seseorang, maka informasi tersebut

mempunyai nilai valensi positif, sedangkan jika informasi tidak mendukung

keyakinan seseorang, maka informasi tersebut memiliki nilai valensi negatif.

Informasi dalam suatu media memiliki kekuatan potensial dan pengaruh yang kuat

yang dapat mempengaruhi orang untuk membentuk sikap tertentu.

6. 8 Pengaruh Information dengan Subjective Norm dalam perilaku tanggap


bencana

Berdasarkan hasil tabel 5.8 di jelaskan bahwa terdapat pengaruh faktor

information dengan Subjective Norm. Pengetahuan dan informasi yang di peroleh

seseorang akan merubah ranah kognitif, afektif dan konatif secara perseorangan.

Memperkaya khazanah atau memperluas wawasan yang di miliki oleh seseorang.

Sedangkan pada subjective norm diartikan sebagai faktor sosial yang

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
107

menunjukkan tekanan sosial yang di rasakan untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu perbuatan. Norma subjektif (Subjective norm) menurut Azjen,

dikutip dari (Nursalam, 2015) merupakan kepercayaan seseorang mengenai

persetujuan orang lain terhadap suatu tindakan. Norma subjektif dapat di artikan

sebagai bentuk produk dari persepsi individu tentang belief yang dimiliki orang

lain. Menurut Fishbein dan Azjen, (2005). Komponen norma subyektif antara

lain:

1. Normative beliefs

Persepsi atau keyakinan mengenai harapan orang lain terhadap dirinya

yang menjadi acuan untuk menampilkan perilaku atau tidak

2. Motivation to comply

Motivasi individu untuk memenuhi harapan tersebut

Dalam kehidupan sehari-hari manusia bersinggungan dengan kehidupan makhluk

sosial lainnya. Setiap individu telah memiliki prior knowledge nya masing-masing

yang bertujuan untuk memperkuat jati diri seseorang dalam membentuk suatu

sikap dan membentuk suatu perilaku. Akan tetapi ketika dalam pengambilan sikap

atau keputusan tidak jarang seseorang menilai dan meminta pendapat atau

persepsi lainnya. Penilaian persepsi atau keyakinan dari orang lain tersebut akan

digunakan sebagai bentuk dukungan atau motivasi dalam diri seseorang dalam

upaya memenuhi sikap personal. Tidak ada kaitannya dengan upaya mengetahui

persepsi seseorang dalam rangka mengambil sikap. Apabila seseorang menilai

persepsi atau keyakinan mengenai harapan orang lain terhadap dirinya hal tersebut

digunakan sebagai motivasi atau penguatan sisi psikologis seseorang yang

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
108

kemungkinan besar saat itu muncul sedikit keraguan. Sehingga norma subyektif

yang berlaku hanya bersifat sebagai penguat atau sebagai pendukung.

6. 9 Pengaruh Information dengan Perceived Behavioral Control dalam


perilaku tanggap bencana

Berdasarkan hasil tabel 5.8 terdapat pengaruh faktor information dengan

Perceived Behavioral Control. Menurut Ajzen, (2005) kendali perilaku yang

dipersepsikan (perceived behavior control) merupakan persepsi terhadap mudah

atau sulitnya sebuah perilaku dapat dilaksanakan. Variabel ini diasumsikan

merefleksikan pengalaman masa lalu, dan mengantisipasi halangan yang mungkin

terjadi. Bisa saja pengetahuan yang di peroleh seseorang mengatakan bahwa

perilaku yang akan dilakukan di nilai mudah untuk dilakukan. Kontrol perilaku

yang sebenarnya dapat terdiri dari keterampilan dan kendala pada kondisi

lingkungan yang secara teori mempengaruhi PBC (Perceived Behavioral Control)

sehingga nantinya akan memoderasi antara hubungan niat dan perilaku. Fishbein

dan Ajzen (2010) mencatat bahwa meskipun lebih kuat niat (pada umumnya)

mengarah pada kemungkinan peningkatan perilaku, ketika kontrol perilaku yang

sebenarnya rendah (misalnya, ada kekurangan keterampilan penting atau adanya

hambatan lingkungan), individu dapat dikecualikan dari melaksanakan niat

mereka. Ini menyiratkan bahwa keterampilan, kemampuan, hambatan lingkungan,

dan fasilitator perlu dinilai sepenuhnya untuk memahami kapan suatu perilaku

mungkin terjadi. Untuk menilai hal tersebut pengalaman dan pengetahuan

seseorang menjadi faktor predisposisi dalam pembentukan niat.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
109

Perceived Behavioral Control sendiri mewakili persepsi seseorang tentang

melakukan suatu perilaku di bawah kendali internal atau kendali keadaan suatu

lingkungan. Perbedaan individual dalam kemampuan melakukan kontrol perilaku

yang kita miliki tertentu memainkan peranan yang penting dalam memahami

kemampuan fungsi manusia

Seperti misalnya dalam hal seseorang melakukan pertolongan pertama

pada korban. Semua keilmuan terkait telah di peroleh sebagai modal dalam

melakukan aplikasi pertolongan korban. Akan tetapi manakala seseorang tersebut

jauh dari sarana dana prasana yang mendukung tentu akan menjadi sulit dalam

melakukan pertolongan. Kendali perilaku yang dipersepsikan (perceived behavior

control) akan menyampaikan bahwa apa yang akan di lakukan jauh dari standart

keilmuan yang ada, sesorang tersebut akan melemahkan niat dalam melakukan

pertolongan pada langkah berikutnya. Selaras dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Kardosh et al., (2017), bahwa klien yang memiliki resiko

menderita kanker payudara akan mudah mengambil keputusan melakukan PM

(Preventive Mastectomy) bukan di karenakan bagusnya informasi yang telah di

terima sehingga seorang klien memandang sulit tidaknya melakukan tindakan PM

(Preventive Mastectomy). Informasi yang di peroleh menambah wawasan

sehingga mempengaruhi langsung terhadap kendali pikir seseorang serta secara

tidak langsung terhadap niat melakukan PM. Akan tetapi lebih pada arah

dukungan anggota keluarga dalam menerima kondisi wanita tersebut (Subjective

norm) menjadi faktor dominan.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
110

6. 10 Pengaruh attitude toward behavioral terhadap Intension dalam


perilaku tanggap bencana

Berdasarkan gambaran dari tabel 5.8 di jelaskan bahwa terdapat pengaruh

antara attitude toward behavioral terhadap Intension. Fishbein dan Azjen, (2010)

menjelaskan intensi sebagai representasi kognitif dan konatif dari kesiapan

seorang individu untuk melakukan suatu perilaku. Intensi merupakan penentu dan

disposisi dari perilaku, hingga individu tersebut memiliki kesempatan dan waktu

yang tepat untuk menunjukkan suatu perilaku secara kongkrit. Secara spesifik,

dalam teori TPB (Theory Planned Behaviour) intensi adalah indikasi

kecenderungan soerang individu untuk melakukan perilaku dan merupakan

antesenden langsung perilaku tersebut. Dalam Theory of Reasoned Action dari

Ajzen, (2011), juga menyebutkan bahwa tindakan seseorang adalah realisasi dari

keinginan atau niat seseorang untuk bertindak. Faktor yang mempengaruhi niat

adalah sikap pada tindakan, dan norma subyektif menyangkut persepsi seseorang,

apakah orang lain yang dianggap penting akan mempengaruhi perilakunya Di

contohkan bahwa orang yang merokok dengan penilaian sikap yang positif

mengenai merokok akan cenderung memiliki niat yang kurang untuk berhenti atau

usaha dalam berhenti merokok, sedangkan mereka yang memiliki penilaian sikap

negatif terhadapa merokok akan cenderung memiliki lebih banyak niat yang kuat

untuk berhenti merokok (Natan, 2012).

Menurut Conner et, al (2014) Intensi (niat) lebih di dasarkan pada sebuah

perasaan tentang akan melakukan suatu perilaku (sikap afektif), yang pada

pemikiran sebelumnya terdapat tentang segala kemungkinan atau konsekuensi

dari suatu tindakan yang akan dilakukan (sikap kognitif), dan juga dikaitkan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
111

dengan prediksi perilaku yang lebih baik. Sehingga dengan sikap yang baik dan

kuat akan memunculkan niat yang positif.

6. 11 Pengaruh Subyektive Norm terhadap Intension dalam perilaku


tanggap bencana

Berdasarkan tabel 5.8 di jelaskan bahwa ada pengaruh Subyektive Norm

terhadap Intension. Menurut Fishbein dan Azjen (2005) subjective norm diartikan

sebagai faktor sosial yang menunjukkan tekanan sosial yang di rasakan untuk

melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, faktor sosial ini di pengaruhi

oleh persepsi atau keyakinan mengenai harapan orang lain terhadap dirinya

(Normative beliefs) dan motivasi dalam memenuhi harapan (Motivation to

comply).

Norma subyektif adalah persepsi seseorang atau asumsi tentang harapan

orang lain, perilaku tertentu bahwa seseorang akan atau tidak akan melakukan.

Karena persepsi ini sangat subyektif sifatnya, dimensi ini disebut sebagai norma

subyektif. Norma subyektif sama halnya dengan sikap juga dipengaruhi oleh

keyakinan. Keduanya berbeda namun sikap terhadap perilaku adalah fungsi dari

keyakinan perilaku (behavioral keyakinan) yang akan dilakukan, sedangkan

norma subyektif adalah fungsi dari keyakinan seseorang yang dibentuk oleh orang

lain dalam kehidupan seseorang (Fishbein dan Ajzen, 2010). Penelitian tentang

pengaruh norma subyektif terhadap niat berperilaku sebelumnya sudah pernah

dilakukan oleh berbagai pihak, disebutkan bahwa norma subyektif berpengaruh

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
112

positif dan signifikan dalam menentukan keinginan seseorang untuk berperilaku

(Choi and Duffy, 2017)

Seperti misalkan sebuah contoh niat (intension) orang tua yang

menghendaki anaknya dalam keadaan sehat. Maka orang tua akan mencari

informasi terkait mengenai pro dan kontra imunisasi. Informasi yang telah di

peroleh akan di serap dan di pertimbangkan mengenai baik dan buruknya. Begitu

mendapatkan dukungan kuat dari sekitar (subjective norm) maka niat orang tua

yang menginginkan anaknya selalu dalam keadaan sehat akan melakukan

pelaksanaan imunisasi. Dari contoh bisa di simpulkan bahwa niat (intension) jika

di dukung oleh subjective norm yang positif dengan mudah akan terealisasi

pelaksanaan behavior.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Rhodes & Courneya (2005),

mengemukakan bahwa norma subyektif yang dibangun dari intention, jika norma

subjektif buruk maka niat akan melemah, sebaliknya jika norma subjektif baik

maka niat akan baik pula, dalam penelitian ini hasil norma subyektif baik

sehingga ada hubungan antara norma subyektif dengan intention. Hal ini akan

memunculkan sebuah keyakinan dalam diri seseorang tentang seberapa kuat

keinginan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang

akan digunakan untuk melakukan sebuah perilaku (intensi).

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
113

6. 12 Pengaruh Perceived Behavioral Control terhadap Intension dalam


perilaku tanggap bencana

Berdasarkan gambaran tabel 5.8 di jelaskan bahwa terdapat pengaruh

Perceived Behavioral Control terhadap Intension. Seperti yang telah di utarakan

oleh Conner et al., (2014), Intensi (niat) lebih di dasarkan pada sebuah perasaan

tentang akan melakukan suatu perilaku (sikap afektif), yang pada pemikiran

sebelumnya terdapat tentang segala kemungkinan atau konsekuensi dari suatu

tindakan yang akan dilakukan (sikap kognitif), dan juga dikaitkan dengan prediksi

perilaku yang lebih baik. Sehingga dengan sikap yang baik dan kuat akan

memunculkan niat yang positif. Sedangakan kendali perilaku (perceived behavior

control) lebih cenderung mempersepsikan terhadap hambatan mudah atau sulitnya

sebuah perilaku dapat dilaksanakan. Variabel ini diasumsikan merefleksikan

pengalaman masa lalu, dan mengantisipasi halangan yang mungkin terjadi.

Dalam pendekatan teori reasoned-action (tindakan yang beralasan), niat

sebuah perilaku dapat ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu: attitude toward

behavior, Perceived Norm yang berkenaan dengan perilaku, Perceived Behavioral

Control yang berkenaan dengan perilaku. Sikap sebagai prediktor pertama,

merupakan fungsi dari keinginan yang diinginkan dan kemungkinan hasil yang

diharapkan dan yang telah dibuktikan akan menjadi menjadi prediktor kuat dari

beberapa perilaku (Fishbein, 2008; Nejad, Wertheim, & Greenwood, 2004; Payne,

Jones, & Harris, 2004; Smith-McLallen & Fishbein, 2008) dalam Martinez and

Lewis, (2016). Prediktor kedua dari niat perilaku adalah Perceived Norm, atau

"persepsi tentang apa yang orang lain pikirkan dan persepsi tentang apa yang

dilakukan orang lain dengan sebaik-baiknya ”(Fishbein, 2000, hal. 275) dalam

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
114

Martinez and Lewis, (2016). Konseptualisasi norma yang dirasakan dalam

pendekatan reasoned-action (tindakan yang beralasan) terdiri dari dua jenis

norma. Yang pertama mengacu pada norma subyektif, atau persepsi tentang apa

yang orang lain pikirkan dan harus dilakukan. Kedua adalah norma deskriptif

yaitu menangkap persepsi tentang apa yang biasanya dilakukan oleh orang lain.

Sehingga Perceived Behavioral Control mengacu pada sebuah kepercayaan atau

keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam menilai benar atau tidak

dalam melakukan perilaku yang dipertanyakan dalam dirinya (Ajzen, 1991;

Bandura, 1986). Dengan adanya sikap dan norma yang dirasakan dalam diri,

Perceived Behavioral Control dianggap sebagai prediktor proksimal ketiga dari

niat dalam perilaku yang memiliki hubungan keterkaitan yang erat (Fishbein,

2000, 2008; Fishbein & Ajzen, 2010; Fishbein et al., 2002) dalam Martinez and

Lewis, (2016).

6. 13 Pengaruh Perceived Behaviour Control terhadap perilaku (Behaviour)


tanggap bencana

Berdasarkan hasil tabel 5.8 di sebutkan bahwa terdapat pengaruh antara

perceived Behaviour Control terhadap perilaku (Behaviour) tanggap bencana.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mullan et al., (2016) terhadap

sekelompok wanita hamil menyatakan bahwa peranan PBC (Perceived Behavioral

Control) terhadap kebisaan untuk berperilaku hidup sehat dan pola makan sehat

selama proses kehamilan berlangsung di dapatkan nilai konstruk yang mengarah

kuat (0.73). Dengan kata lain terdapat hubungan yang relatif kuat antara PBC

(Perceived Behavioral Control) dengan perilaku. Dari hasil wawancara yang juga

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
115

telah dilakukan kepada wanita hamil, sebagian besar responden berpendapat

bahwa berperilaku sehat memang harus dilakukan untuk menjaga proses

kehamilan tetap terjaga sehat hingga masa kelahiran berlangsung. Sebuah hasil

Meta-analisis (Armitage dan Conner, 2001 dalam Mullan et al., 2016) telah

menguatkan penelitian ini secara empiris. Dalam ulasan, mereka menemukan

adanya hubungan niat-perilaku akan bernilai lebih kuat ketika kontrol perilaku

(Perceived Behavioral Control) yang dirasakan lebih besar. Bahkan pada

beberapa personal tanpa di dukung niat kuat akan muncul suatu perilaku yang

dapat dilakukan tanpa di awali dengan sebuah niat karena pengaruh pengetahuan

atau budaya tradisi perseorangan.

Perceived Behavioral Control menurut pendapat Hanson and Nothwehr

(2014) merupak konstruk secara langsung yang penting dalam membangun,

mengembangkan intervensi dalam merubah suatu perilaku. Dalam contoh kasus

realita misalnya seseorang yang mengetahui terdapat korban atau seseorang lain

yang membutuhkan suatu pertolongan yang bersifat urgent maka seseorang

tersebut akan segera memberikan pertolongan secara langsung tanpa banyak

pertimbangan bahkan tanpa adanya niatan awal untuk membantu.. Sehingga

tindakan pertolongan yang diberikan bersifat spontanitas.

6. 14 Pengaruh Intension terhadap perilaku (Behaviour) tanggap bencana

Berdasarkan hasil tabel 5.8 di sebutkan bahwa tidak ada pengaruh

Intension terhadap perilaku (Behaviour). Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Fishbein, 2008; Nejad, Wertheim, & Greenwood, 2004; Payne, Jones, & Harris,

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
116

2004; Smith-McLallen & Fishbein, 2008 dalam Martinez and Lewis, (2016),

Sikap sebagai prediktor pertama dan merupakan fungsi dari sebuah keinginan

yang diinginkan sangat kuat dan kemungkinan hasil yang diharapkan dan apa

yang telah dibuktikan akan menjadi menjadi prediktor kuat dari beberapa

perilaku. Pengetahuan adalah faktor paling utama yang berhubungan dengan

perilaku. Dengan ada nilai pengetahuan yang dimiliki maka terdapat sebuah

keinginan untuk membuktikan apa yang telah di pelajari. Faktor berikutnya yang

mendukung terbentuknya perilaku diikuti oleh norma subyektif, kontrol praktik,

dan sikap (Zhang, Zhu and Wan, 2018). Semua penelitian ini sesuai dengan teori

asli dari TPB. Akan tetapi tidak selamanya sebuah niat akan di teruskan menjadi

sebuah perilaku. Banyak hal yang dapat mempengaruhi niat seseorang sehingga

tidak jadi melakukan suatu tindakan. Sehingga munculah gap (jarak) antara niat

dan perilaku.

Sebagai contoh misalnya pada sesorang wanita yang berniat untuk

melakukan dan melaksanakan program KB. Segala informasi yang di perlukan di

cari dan diperolehnya mengenai program pelaksanaan KB. Akan tetapi ketika

meminta pertimbangan suami (Subjective Norm) mengenai rencananya (Intension)

mengikuti program KB, ternyata suami menolak karena memiliki pendapat yang

tidak sejalan dengan pendapat istri. Suami lebih berpendapat bahwa banyak

sedikitnya anak yang akan dimiliki sudahada yang mengatur rezekinya masing-

masing. Niat istri (intension) untuk melaksanakan program KB (behaviour) tidak

dapat terlaksana.

Fenomena terjadinya gap atau jarak antara Intensi (niat) dengan Behavior

(perilaku) mungkin menjadi latar belakang dalam terbentuknya SPGDT (Sistem

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
117

Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu) bahwa setiap first responder hendaknya

memperhatikan terlebih dahulu unsur 3A (Aman Diri, Aman Lingkungan, Aman

Korban). Begitu salah satu unsur ini tidak terpenuhi dalam diri seorang first

responder, bisa jadi seseorang yang sudah memiliki bekal pengetahuan bencana

bagus, sikap terhadap bencana bagus, tetapi pada akhirnya tidak memberikan

bantuan pertolongan (perilaku). Menurut Fife-Schaw, Sheeran, & Norman, 2007

(di kutip dalam Sheeran & Webb, 2016) bahwa perubahan yang terjadi dalam

Intension (niat) tidak turut menjamin adanya perubahan dalam berperilaku.

Dengan kata lain tidak selamanya sesorang yang memiliki niat kuat akan berakhir

lurus dengan sebuah perilaku. Banyak dari hasil penelitian yang telah dilakukan

yang secara ekspilit tidak menunjukkan hubungan antara intesi dan perilaku.

Menurut Sheeran, Trafimow, & Armitage (2003) dalam dalam (Sheeran & Webb,

2016) bahwa intensi (niat) akan lebih mendukung terjadinya sebuah aksi perilaku

ketika respective behavior mudah untuk dilakukan atau dalam bahasa milik azjen

Perceived Behavior Control (persepsi) mudah untuk melakukan suatu aksi. Nilai

Perceived Behavior Control bisa berasal dari faktor internal seseorang dan bisa

juga berasal dari eksternal. Faktor pengalaman masa lalu yang membekas tajam

bahkan hingga menimbulkan trauma tersendiri bagi seseorang bisa mempengaruhi

Perceived Behavior Control seseorang. Begitu juga dari fakor eksternal, kondisi

lapangan yang sulit, sarana dan pra sarana yang tidak mendukung bisa juga

mempengaruhi Perceived Behavior Control sehingga seseorang dapat

mengurungkan niatnya (Intension) untuk melaksanakan sebuah perilaku. Dengan

kata lain apabila suatu tujuan atau suatu perilaku di prediksi akan sulit di

realisasikan maka akan terjadi kesenjangan antara Intensi dengan perilaku.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
118

6. 15 Temuan Penelitian

Berdasarkan keseluruhan hasil pengujian hipotesis maka dapat diketahui

jalur signifikansi yang menggambarkan model hasil penelitian ini

Personal Attitude
Sikap umum toward
religiusitas Behaviour

Subjective Intension Behavior


Socio-culture Norm
Usia

Informasi Perceived
Pengalaman Behaviour
Budaya Control
pengetahuan

Gambar 6.1 Temuan Penelitian

Gambar 6.1 menunjukkan hasil penelitian berupa rekomendasi model

peningkatan tindakan keperawatan tanggap bencana dalam konteks kearifan

budaya lokal. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa :

1. Variabel personal mempengaruhi secara langsung fakor pembentuk sikap

(attitude toward behavior dan perceived behavior control) tetapi tidak terdapat

hubungan terhadap subjective norm

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
119

2. Variabel social culture mempengaruhi langsung pada ketiga aspek pembentuk

sikap yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior

control

3. Variabel informasi mempengaruhi secara langsung terhadap attitude toward

behavior, Subjective norm dan perceived behavioral control.

4. Variabel attitude toward behavior, subjective norm serta perceived behavioral

control mempengaruhi terbentuknya Intension (niat)

5. Variablel perceived behavior control mempengaruhi terbentuknya behavior

(perilaku)

6. Variabel intension (niat) tidak berhubungan dengan behavior (perilaku).

7. Perilaku tanggap bencana di pengaruhi oleh faktor personal, socio culture, dan

informasi melalui variabel perceived behavioral control

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pembahasan pada Theory Planned

Behavior milik Ajzen, dimana terdapat beberapa jalur dari variabel yang tidak

mempengaruhi dengan variabel lainnya. Temuan penelitian yang di dapatkan

adalah faktor personal, social-culture dan informasi mendukung terbentuknya

sikap (attitude toward behavior, Subjective norm, perceived behavioral control)

yang mempengaruhi langsung terhadap terbentuknya niat (intension). Akan tetapi

niat (intesion) tidak mempengaruhi perilaku Temuan penelitian tersebut sesuai

dengan karakter kearifan budaya lokal Kabupaten Pacitan yang memiliki karakter

budaya Mataraman. Karakter Budaya masyarakat Kabupaten Pacitan yang masih

menjunjung tinggi “taat pada “sinuwun” yaitu Raja/Pimpinan dirasakan masih

terasa mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam kegiatan perawat

tanggap bencana. Hal ini di didapatkan peneliti saat melakukan diskusi dengan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
120

responden penelitian dan saat melakukan FGD (Focus grup Discusiion) bahwa

hampir sebagian besar keputusan terkait tanggap bencana menunggu koordinasi

dan arahan dari pimpinan. Dalam bagan temuan penelitian dibuktikan dengan

adanya pengaruh yang bernilai moderat pada variabel attitude toward behavior,

Subjective Norm, terhadap Intension (niat).

Temuan penelitian lainnya didapatkan bahwa variabel Intension (niat)

tidak berhubungan dengan variabel Behavior (perilaku).temuan ini juga tidak

selaras dengan Theory Planned Behavior. Dalam kondisi nyata bisa saja bahwa

seseorang yang sudah memiki niat untuk melakukan tindakan perilaku tidak di

teruskan menjadi perilaku yang nyata karena adanya sesuatu hal yang

mempengaruhi. Sehingga terdapat gap atau jarak antara niat dengan perilaku.

Seperti halnya yang telah di ungkapkan oleh Fife-Schaw, Sheeran, & Norman,

2007 (di kutip dalam Sheeran & Webb, 2016) bahwa perubahan yang terjadi

dalam Intension (niat) tidak turut menjamin adanya perubahan dalam berperilaku.

Banyak perawat yang sudah memiliki bekal pengetahuan mengenai penangan

bencana, sikap tanggap bencana akan tetapi saat kejadian bencana terjadi hanya

sedikit jumlah mereka yang terjun pada saat terjadi bencana. Banyak hal yang

mungkin mempengaruhi mengapa seseorang yang sudah memiliki niat menangani

bencana akan tetapi dia tidak jadi melakukan penanganan bencana. Faktor

tersebut bisa saja berasal dari dalam personal itu sendiri atau berasal dari luar

personal. Fenomena terjadinya gap atau jarak antara Intensi (niat) dengan

Behavior (perilaku) mungkin menjadi latar belakang dalam SPGDT (Sistem

Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu) yang tertuang dalam Undang-Undang

No. No.24 Tahun 2007, bahwa setiap first responder hendaknya memperhatikan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
121

terlebih dahulu unsur 3A (Aman Diri, Aman Lingkungan, Aman Korban). Begitu

salah satu unsur ini tidak terpenuhi dalam diri seorang first responder, bisa jadi

seseorang yang sudah memiliki bekal pengetahuan bencana bagus, sikap terhadap

bencana bagus, Intension (niat) melakukan pertolongan yang bagus, di akhirnya

tidak melanjutkan pada tingkat perilaku penangan korban bencana. Karena prinsip

dari penanganan korban bencana yang tertuang dalam Undang-Undang No. No.24

Tahun 2007 adalah safety first bagi penolong.

Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan juga bahwa indikator variabel

informasi yaitu aturan yang berlaku dalam masyarakat (budaya) lama tidak

berpengaruh terhadap sikap sehingga sesuai hasil pengolahan data statistic dalam

PLS (Partial Least Square) budaya di hilangkan dari informasi. Hal ini bisa saja

terjadi di masyarakat karena ada sebagian anggapan bahwa budaya lama sudah

tidak relevan dengan kondisi saat ini karena tergantikan oleh perkembangan

tekhnologi. Misalkan budaya 3M (Menthung, Mikul, Mendhem) pada masyarakat

Pacitan, pengenalan tanda-tanda alam akan terjadinya bencana, budaya

masyarakat terdahulu menggunakan alat bantu pukul berupa kentongan untuk

memberikan informasi terjadinya bencana. Suara kentongan yang di pukul

terdengar di suatu titik kemudian di teruskan secara estafet sehingga saling

bersahut-sahutan memukul kentongan. Sedangkan pada era saat ini hanya

beberapa wilayah saja di daerah Kabupaten Pacitan yang masih memiliki

kentongan itupun tidak semua rumah memiliki kentongan.

Pada jaman sekarang masyarakat lebih meyukai menggunakan media

elektronik, jejaring media dalam mempercayai keakuratan berita melalui

informasi yang di sampaikan oleh pihak yang dapat bertanggung jawab terhadap

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
122

informasi mengenai akan terjadinya bencana. Akan tetapi sebenarnya budaya

tidak hilang. Tanpa disadari bahwa sebenarnya apa yang telah dilakukan

masyarakat termasuk Perawat Tanggap Bencana merupakan bagian dari budaya

jaman sekarang dalam mengenali, menyampaikan berita, hingga bertindak dalam

penganan bencana. Hanya saja alat dan wadah yang berbeda. Semangat saling

membantu, bergotong royong dan budaya menunggu perintah “sinuwun

(Raja/Pimpinan)” yang menjadi ciri khas budaya masyarakat Mataraman dalam

hal ini masyarakat wilayah Kabupaten Pacitan tidak hilang.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti merekomendasikan agar perawat

tanggap bencana tetap memperhatikan 3A sesuai SPGDT (Sistem Penanganan

Gawat Darurat Terpadu) yang berlaku dan memperhatikan bagaimana suasana

budaya setempat, tradisi yang ada di masyarakat terkait penanganan bencana agar

perawat bencana dapat bekerjasama dengan masyarakat sekitar dalam penanganan

korban bencana lebih optimal. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, peneliti

merekomendasikan agar perawat tanggap bencana untuk lebih meningkatkan

pengetahuan terkait keilmuan tanggap bencana, dan untuk lebih memiliki motivasi

dalam melakukan tindakan tanggap bencana nantinya jika sewaktu-waktu bencana

datang sehingga niat (intensi) yang dari awal bagus akan tetap optimal hingga

waktu pelaksanaan yang sesungguhnya.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
123

6. 16 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian yang di miliki oleh peneliti antara lain:

1. Penelitan hanya dilakukan di wilayah Kabupaten Pacitan sehingga tidak dapat

di generalisasi di tempat lain dan populasi di seluruh dunia karena berbeda

wilayah berbeda pula karakteristik budaya.

2. Pengumpulan data hanya berdasarkan kuesioner dan observasi pada manikin

untuk peneliti selanjutnya perlu melakukan observasi menyeluruh (sistem

penanganan bencana daerah) terkait penanganan bencana

3. Penelitian tidak dilakukan pada situasi bencana yang nyata sehingga situasi

sesungguhnya pada kejadian bencana tidak dapat dihadirkan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
123

BAB 7

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di wilayah Kabupaten

Pacitan terhadap perawat tanggap bencana maka dapat disimpulkan bahwa:

Model peningkatan tindakan keperawatan tanggap bencana berbasis Theory

Planned Behavior dalam konteks kearifan budaya lokal adalah model yang

dipengaruhi secara tidak langsung oleh faktor personal, social culture dan

perceived behavioral control. Sedangkan perilaku perawat tanggap bencana di

pengaruhi langsung oleh perceived behavioral control.

7.2 Saran

1. Bagi Perawat Bencana

a. Menggunakan Modul Tindakan Perawat Tanggap Bencana dengan

Konteks Kearifan Lokal dalam upaya meningkatkan keterampilan

tindakan tanggap bencana

b. Melakukan pelatihan gawat darurat atau pelatihan tanggap bencana

c. Melakukan kegiatan bersama/berkoordinasi dengan lintas sektoral dalam

rangka menyiapkan sumber daya manusia tanggap bencana

d. Lebih menggiatkan kembali khazanah budaya terkait penaggulangan

bencana seperti 3M dan gotong royong bersama

124

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
125

2. Bagi peneliti selanjutnya

a. Dilakukan penelitian lanjutan terkait efektifitas modul yang

direkomendasikan untuk meningkatkan tindakan keperawatan bencana

b. Melakukan observasi terhadap pengambilan data tindakan keperawatan

tanggap bencana.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
126

DAFTAR PUSTAKA

Adesina, F. and Ojukwu, M. C. C. 2017. Perception, Knowledge, and Attitude


toward Physical Activity Behaviour : Implications for Participation
among Individuals with Essential Hypertension, High Blood Pressure &
Cardiovascular Prevention. Springer International Publishing. doi:
10.1007/s40292-017-0235-y.
Ahayalimudin, N. A. and Osman, N. N. S., 2016. Disaster management:
Emergency nursing and medical personnel’s knowledge, attitude and
practices of the East Coast region hospitals of Malaysia. Australasian
Emergency Nursing Journal. College of Emergency Nursing Australasia,
19(4), pp. 203–209. doi: 10.1016/j.aenj.2016.08.001.
Aiken L. H. Sean, P.C., 2002. Hospital Nurse Staffing And Patient Mortality,
Nurse Burnout, And Job Dissatisfaction. JAMA, 288 (16):1987-1993.
doi:10.1001/jama.288.16.1987
Ajzen, I and Fishben M., 1991. The theory of planned behavior. Organizational
Behavior and Human Decision Processes, 50, pp. 179–211. doi:
10.1016/0749-5978(91)90020-T.
Ajzen, I., 2005. Attitudes, Personality and Behavior. New York. USA: Open
University Press
Ajzen, I., 2011. The theory of planned behaviour: Reactions and reflections.
Psychology and Health, 26(9), pp. 1113–1127. doi:
10.1080/08870446.2011.613995.
Alim, S., Kawabata, M. and Nakazawa, M., 2014. Nurse Education Today
Evaluation of disaster preparedness training and disaster drill for nursing
students. YNEDT. Elsevier Ltd. doi: 10.1016/j.nedt.2014.04.016.
Alligood, M. R., 2014. Nursing Theorists And Their Work, 8th Edition. Maryland
Heights, MO: Mosby Elsevier.
Arifina, 2016. Keunikan Masyarakat Jawa Timur.
http://www.goodnewsfromindonesia.id. diakses tanggal 31 Oktober 2017
pukul 04.45.
Arikunto, 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi VI.
Jakarta : Rineka Cipta.
Baack, S. and Alfred, D., 2013. Nurses’ preparedness and perceived competence
in managing disasters. Journal of Nursing Scholarship, 45(3), pp. 281–
287. doi: 10.1111/jnu.12029.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
127

Chiou, J.S., 1998. The Effect Of Attitude, Subjective Norm, And Perceived
Behavioral Control On Consumer's Purchase Intentions: The Moderating
Effect Of ProductKnowledge And Attention to Social Comparison
Information. proc.Natl.Sci.Counc.ROC (c) Vol 9, No.2, pp.298-308
Choe, M.-A., Kuwano N., Bang K.-S., Cho M.-K., Yatshusiro R., Kawata Y.,
2017. Japanese and Korean Nursing Students, Motivation for Joining
Disaster Relief Activities as Nurses in the Future. Journal of Trauma
Nursing, 24(3). doi: 10.1097/JTN.0000000000000291.
Choi, S. H. and Duffy, S. A. 2017. Analysis of Health Behavior Theories for
Clustering of Health Behaviors’, 28(4), pp. 203–209. doi:
10.1097/JAN.0000000000000195.
Conner, M., McEachan, R., Lawton, R., Gardner, P., 2014. Basis of Intension as a
Moderator of the Intension-Health Behaviour Relationship. Health
psychology 35(3). doi: 10.1037/hea0000261
Davies, K, 2005. Nurses Need Advance skills in disaster health care. British
Journal of Nursing, 14(4), p. 2016.doi: 137.189.171.235

Deeny, P. and McFetridge, B., 2005. The impact of disaster on culture, self, and
identity: Increased awareness by health care professionals is needed.
Nursing Clinics of North America, 40(3), pp. 431–440. doi:
10.1016/j.cnur.2005.04.012.
Demaio, A., 2011. Local Wisdom and Health Promotion: Barrier or Catalyst?’,
Asia Pacific Journal of Public Health. 23(2), pp. 127–132. doi:
10.1177/1010539509339607.
Departemen Pendidikan Indonesia., 2008. KamusBesar Bahasa Indonesia. Jakarta
: Balai Pustaka
Fishbein, M. and Ajzen, I., 2010. Predicting and Changing Behavior: The
Reasoned Action Approach. Psychology Press (Taylor & Francis) : New
York.

Fitchett, G., Murphy, P., Kim, J., Gibbons, J., Cameron, J., & Davis, J. (2004).
Religious struggle: Prevalence, correlates and mental health risks in
diabetic, congestive heart failure, and oncology patients. International
Journal of Psychiatry in Medicine, 34(2), 179–196.
doi.org/10.2190/UCJ9-DP4M-9C0X-835M

George, A. J. E., Quattrone, M. S. and Goldstone, M. 1998. Law and the


Emergency Nurse Emergency nurses as “good Samaritans” The
Boccasile case. (October), pp. 431–433.
Ghozali, I., 2013. Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program IBM SPSS 21
Update PLS Regresi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
128

Hanson, J. D. and Nothwehr, F. (2014) ‘Indirect and Direct Perceived Behavioral


Control and the Role of Intention in the Context of Birth Control
Behavior’. doi: 10.1007/s10995-014-1658-x.

Hammad, K. S., Arbon P., Gebbie K., Hutton A., 2012. Nursing in the emergency
department (ED) during a disaster: A review of the current literature.
Australasian Emergency Nursing Journal. College of Emergency
Nursing Australasia, 15(4), pp. 235–244. doi:
10.1016/j.aenj.2012.10.005.
Haryati, T. D., 2013. Kematangan Emosi, Religiusitas, Dan Perilaku Prososial
Perawat Di Rumah Sakit: Pesona. Jurnal Psikologi Indonesia. Vol 2, No.
2, hal 162-172
Hidayat, A. A., 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif.
Jakarta: Heath Books.
Ismail, V.Y and Zain, E., 2008. Peranan Sikap, Norma Subyektif, dan Perceived
Behavioral Control terhadap Intensi Pelajar SLTA memilih Fakultas
Ekonomi. Jurnal Ekonom dan Bisnis. Vol 5 , No 3

Jalaludin, 2015. Tingkat Usia dan Perkembangan Spiritualitas serta Faktor yang
Melatar belakanginya di Majelis Tamasya Rohani Riyadhul Jannah
Palembang. Intizar, Vol. 21, No. 2, 2015
Jennings-Sanders, A., 2004. Teaching disaster nursing by utilizing the Jennings
Disaster Nursing Management Model. Nurse Education in Practice, 4(1),
pp. 69–76. doi: 10.1016/S1471-5953(03)00007-6.
Jennings-Sanders, A., Frisch, N. and Wing, S., 2005. Nursing students’
perceptions about disaster nursing. Disaster Management and Response,
3(3), pp. 80–85. doi: 10.1016/j.dmr.2005.04.001.
Jose, M. M. and Dufrene, C., 2014. Nurse Education Today Educational
competencies and technologies for disaster preparedness in
undergraduate nursing education : An integrative review. YNEDT.
Elsevier B.V., 34(4), pp. 543–551. doi: 10.1016/j.nedt.2013.07.021.
Kako, M., Mitani, S. and Arbon, P., 2012. Literature Review of Disaster Health
Research in Japan: Focusing on Disaster Nursing Education. Prehospital
and Disaster Medicine, 27(2), pp. 178–183. doi:
10.1017/S1049023X12000520.
Kardosh, M., Bar-Tal, Y., Barnoy. S., 2017. The Relationship Between Body
Image, Gender, Subjective Norms, and the Decision to Undergo
Preventive Mastectomy Among Arab and Jewish BRCA Carriers. Cancer
NursingTM, Vol. 00, No. 0, pp. 1–8. doi:
10.1097/NCC.0000000000000503.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
129

Koh, H. and Mackert, M., 2016. A Study Exploring Factors of Decision to Text
While Walking among College Students based on Theory of Planned
Behavior ( TPB ). 8481(August). doi: 10.1080/07448481.2016.1215986.

Kusumasari, B. and Alam, Q., 2012. Local wisdom-based disaster recovery model
in Indonesia. Disaster Prevention and Management: An International
Journal, 21(3), pp. 351–369. doi: 10.1108/09653561211234525.
Labrague, L. J., Yboa, B. C., McEnroe, D. M., Lobrino, L. R., Brennan, M. G. B.,
2016. Disaster Preparedness in Philippine Nurses. Journal of Nursing
Scholarship, 48(1), pp. 98–105. doi: 10.1111/jnu.12186.
Leininger, M. 2002. Culture Care Theory : A Major Contribution. doi:
10.1177/10459602013003005.
Loke, A. Y. and Fung, O. W. M., 2014. Nurses’ competencies in disaster nursing:
Implications for curriculum development and public health.
International Journal of Environmental Research and Public Health,
11(3), pp. 3289–3303. doi: 10.3390/ijerph110303289.
Maness, S. B. and Branscum, P., 2017. Utilizing a Social Determinant of Health
Framework as Determinants of Perceived Behavioral Control. 40(1), pp.
39–42. doi: 10.1097/FCH.0000000000000131.
Manning, M., 2009. The effects of subjective norms on behaviour in the theory of
planned behaviour : A meta-analysis. British Journal of Social
Psychology, 48, pp. 649–705. doi: 10.1348/014466608X393136.
Martinez, L. S. and Lewis, N., 2016. The Moderated Influence of Perceived
Behavioral Control on Intentions Among the General U . S . Population :
Implications for Public Communication Campaigns The Moderated
Influence of Perceived Behavioral Control on Intentions Among the
General U.S. Population : Implications for Public Communication
Campaigns. 730(September). doi: 10.1080/10810730.2016.1204378.
Matsumoto, D., 2007. Culture, context, and behavior. Journal of Personality,
75(6), pp. 1285–1320. doi: 10.1111/j.1467-6494.2007.00476.x.
McKie, A., Baguley, F., Guthrie, C., Kirkpatrick, P., Laing, A., O'Brien, S.,
Taylor, R., Wimpenny, F., 2012. Exploring clinical wisdom in nursing
education. Nursing Ethics, 19(2), pp. 252–267. doi:
10.1177/0969733011416841.
Mullan, B., Henderson, J., Kothe, E., Allom, V., Orbell, S., Hamilton, K. 2016.
The Role of Habit and Perceived Control on Health Behavior among
Pregnant Women. Am J Health Behav, 40(3), pp. 291–301. doi:
http://dx.doi.org/10.5993/AJHB.40.3.1
Murnaghan, D. A., Blanchard, C. M., Rodgers, W. M., LaRosa, J. N.,
MacQuarrie, C. R., MacLellan, D. L., & Gray, B. J. 2010. Predictors of
physical activity, healthy eating and being smoke-free in teens: A theory

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
130

of planned behaviour approach. Psychology and Health, 25(8), 925Y941.


doi:10.1080/08870440902866894

Natan, M. B., Faour., Naamhah., Grinberg., and Klein-Kremer. 2012. Factors


affecting medical and nursing staff reporting of child abuse. pp. 1–7.
https://doi.org/10.1111/j.1466-7657.2012.00988.x
Nursalam, 2015. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis.
4th edn. Edited by P. Lestari. Jakarta Selatan: Salemba Medika.
Oktaviani, D. (2012). Resiliensi Remaja Aceh yang Mengalami Bencana
Tsunami. Naskah Publikasi, Depok: Universitas Indonesia.

Powers, R., 2009. Evidence-based ED Disaster Planning. Journal of Emergency


Nursing, 35(3), pp. 218–223. doi: 10.1016/j.jen.2008.03.002.
Setiawan, A., Pratitis N.T., 2015. Religiusitas, Dukungan Sosial dan Resiliensi
Korban Lumpur Lapindo Sidoarjo. Pesona. Jurnal Psikologi Indonesia.
Mei 2015, Vol. 4, No. 02, hal 137 - 144
Rhodes, R.E., Courneya, K.S., Jones, L.W., 2005. The Theory of Planned
Behaviour and lower-order personality traits: Interaction effects in the
exercise domain. Journal Personality and Individual Difference, 38
(2),251-265. doi: 10.1016/j.paid.2004.04.005
Risakotta, A.B., 2014. Dealing with Diversity, religion, Globalization, Violence,
Gender, and Disaster In Indonesia. Geneva : Globethics.net/Yogyakarta:
Indonesian Consortium for Religious Studies.
Russell-babin, K. A., 2017. Lessons Learned From a Theory of Planned Behavior-
Derived Study on Educational Interventions Inspired by the Affective
Domain, 48(12). doi: 10.3928/00220124-20171115-05.
Setyowati, A., Hartati, S., Sawitri, D.R., 2010. Hubungan Antara Kecerdasan
Emosional Dengan Resiliensi Pada Siswa Penghuni Rumah Damai.
Jurnal Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010

Sheeran, P., Webb, T.L. 2016. The Intension-Behaviour Gap. Social and
Personality Psychology Compass 10/9 (2016), 503-518,
10.1111/spc3.12265

Stangeland, P. A., 2010. Disaster nursing: A retrospective review. Critical Care


Nursing Clinics of North America, 22(4), pp. 421–436. doi:
10.1016/j.ccell.2010.09.003.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
131

Stephenson, M. T., Morgan.S.E., Roberts-Perez, S.D., Harisson, T., Long, S.D


2008. The Role of Religiosity, Religious Norms, Subjective Norms, and
Bodily Integrity in Signing an Organ Donor Card The Role of
Religiosity, Religious Norms, Subjective Norms, and Bodily Integrity in
Signing an Organ Donor Card. 236 (November 2015). doi:
10.1080/10410230802342119.
Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D’, Bandung:
Alfabeta
Sulastri. S., 2013. Pengaruh Informasi Website Perpustakaan Terhadap Sikap
Mahasiswa, Jurnal Kajian Informasi & Perpustakaan. Vol.1/No.2,
Desember 2013, hlm 171-177

Suryaman, M.A., Stanislaus.S., Mabruri. M.I., 2013. Pengaruh Religiusitas


Terhadap Resiliensi Pada Pasien Rehabilitasi Narkoba Yayasan Rumah
Damai Semarang. Journal Unnes-Developmental and Clinical
Psychology. DCP2 (1) : 14-18

Toward, P. A. 2016. Alcohol Use in College : The Relationship Between Alcohol,


Journal of Religion and Health. Springer US. doi: 10.1007/s10943-016-
0210-2.
Tuominen, L. and Leino-kilpi, H. 2014. Older people’s experiences of their free
will in nursing homes. Journal Nursing-ethics, pp. 1-14 doi:
10.1177/0969733014557119

Varghese, S. B., 2010. Cultural, ethical, and spiritual implications of natural


disasters from the survivors’ perspective. Critical Care Nursing Clinics
of North America. Elsevier Ltd, 22(4), pp. 515–522. doi:
10.1016/j.ccell.2010.09.005.

Wenji, Z., Turale, S., Stone, T.E., Petrini, M. A., 2014. Nurse Education in
Practice Chinese nurses' relief experiences following two earthquakes :
Implications for disaster education and policy development’, Nurse
Education in Practice. Elsevier Ltd, pp. 1–7. doi:
10.1016/j.nepr.2014.06.011.
Yan, Y. E., Turale, S., Stone, T., Petrini, M., 2015. Disaster nursing skills,
knowledge and attitudes required in earthquake relief: Implications for
nursing education. International Nursing Review, 62(3), pp. 351–359.
doi: 10.1111/inr.12175.
Yin, H., He, H., Arbon and Zhu., 2011. A survey of the practice of nurses’ skills
in Wenchuan earthquake disaster sites: Implications for disaster training.
Journal of Advanced Nursing, 67(10), pp. 2231–2238. doi:
10.1111/j.1365-2648.2011.05699.x.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 1

Inform Consent
(Pernyataan persetujuan mengikuti penelitian)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama :
Umur :
Asal Institusi :
Telah mendapat keterangan secara terinci dan jelas mengenai:
1. Penelitian keperawatan yang berjudul “PENGEMBANGAN MODEL
TINDAKAN KEPERAWATAN TANGGAP BENCANA BERBASIS
THEORY OF PLANNED BEHAVIOUR DALAM KONTEKS KEARIFAN
BUDAYA LOKAL”
2. Perlakuan yang akan di terapkan terhadap subyek
3. Manfaat ikut sebagai subyek penelitian
4. Bahaya yang akan timbul
5. Prosedur penelitian
Dalam prosedur penelitian mendapat kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut. Oleh
karena itu, saya (bersedia/tidak bersedia*) secara sukarela untuk menjadi subyek
penelitian dengan penuh kesadaran tanpa ada rasa ketepaksaan.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada tekanan
dari pihak manapun.
Pacitan, ……………....... 2018
Peneliti Responden

(……..………….) (…………………….)

*) coret salah satu

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 2

KUESIONER BACKGROUND FAKTOR

Petunjuk

Berilah tanda centang (√) pada kotak yang telah disediakan sesuai dengan

jawaban yang Bapak/Ibu/Saudara pilih

No. Responden :…………………. (Lewati)

Tanggal :………………….

A. Data demografi

1. Pendidikan

o D3 Keperawatan/D4 Keperawatn

o S-1 Keperawatan

o S-1 Keperawatan + Ners

o S-2 Keperawatan

2. Usia :…………tahun

3. Jenis kelamin : L / P

4. Lama kerja :…………tahun

5. Status pekerjaan

o PNS

o Non - PNS

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 3

KUESIONER SIKAP UMUM

(Adaptasi dari Nursalam, 2015)

Pilihlah pernyaan berikut sesuai dengan apa yang anda pikirkan/rasakan. Pilihan
jawaban sebagai berikut:

STS : Sangat Tidak Setuju


TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
No Pernyataan STS TS S SS
1 Saya senang dengan tugas dan fungsi perawat
yang menjadi tanggung jawab saya saat ini.
2 Saya senang dengan tugas tambahan di luar
tugas pokok saya saat ini
3 Saya senang melakukan kerjasama dengan
sesama petugas lainnya
4 Saya senang dengan fasilitas, sarana dan
prasarana di tempat saya bekerja saat ini
5 Sebelum melakukan tindakan saya
memastikan bahwa diri saya dalam keadaan
safety terlebih dahulu
6 Saya akan memproritaskan tindakan
kesehatan berdasarkan urutan kedatangan
korban
7 Ketika kondisi badan saya tidak optimal
karena sakit saya tetap melakukan tindakan
kesehatan
8 Saya terlalu sibuk dengan kegiatan tindakan
keperawatan yang menjadi tanggung jawab
saya
9 Saya bertanggung jawab terhadap kondisi
pasien yang sedang saya rawat
10 Saya hanya akan memberikan bantuan hidup
pada pasien saat hanya di butuhkan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 4

KUESIONER RELIGIUSITAS

(Adaptasi dari Campbell, 2017)

Pilihlah pernyaan berikut sesuai dengan apa yang anda pikirkan/rasakan. Pilihan
jawaban sebagai berikut:

STS : Sangat Tidak Setuju


TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
No Pernyataan STS TS S SS
1 Bencana terjadi akibat kesalahan manusia
dalam mengelola kekayaan alam yang sudah
di percayakan Tuhan kepada kita
2 Saya yakin bahwa kejadian bencana alam
seperti tsunami terjadi karena penguasa laut
sedang murka
3 Saya percaya bahwa setiap perbuatan yang
kita lakukan akan mendapatkan balasan
setimpal dari Tuhan
4 Saya yakin bahwa hujan yang terjadi secara
terus menerus di Pacitan disebabkan oleh
prosesi tradisi “Mantu Kucing” yang tidak
sesuai dengan aturannya.
5 Ketika terjadi bencana saya berdoa agar hati
saya menjadi damai, tenang siap menolong
sesame
6 Menurut saya menolong orang lain itu hanya
akan membuat dirinya menjadi tidak mandiri
7 Saya yakin bahwa semua bencana yang
terjadi itu adalah murni karena takdir dari
Tuhan
8 Saya selalu memulai tindakan apapun dengan
berdoa memohon keselamatan dan
keberkahan dari Tuhan

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 5

KUESIONER PENGETAHUAN

(Adaptasi dari ATLS Student Course Manual Tenth Edition, 2017)

Petunjuk : berilah tanda silang (X) pada kolom yang sesuai menurut pendapat
anda

No Pertanyaan STS TS S SS

DEFINISI

1 Bencana adalah kejadian yang merugikan yang


dapat di prediksikan sebelumnya
2 Perawat adalah bagian dari First Responder saat
bencana terjadi yang memerlukan kemampuan
memadai
3 Saat bencana terjadi perlu adanya kerjasama lintas
sektoral dalam penanganan bencana
4 Bencana yang terjadi di daerah adalah tanggung
jawab pemerintah daerah
TRIAGE

5 Korban dengan pernafasan > 30 x/menit di beri


label warna MERAH
6 Jika menemukan korban dengan label MERAH
rujuk saja secepatnya
7 Korban dengan label warna KUNING tidak perlu
di perhatikan kondisi jalan nafasnya
8 Fokus penanganan korban bencana cukup hanya
pada korban label KUNING
INITIAL ASESSMENT

9 Langkah awal memeriksa korban adalah menilai


sejauh mana tingkat kesadaran korban
10 Jika pada korban trauma yang terdengan suara
nafas tambahan seperti berkumur maka jaw trust
11 Jika menemukan korban bencana yang jatuh dari
lereng tebing maka tatalaksananya korban cedera
tulang belakang
12 Membuka jalan nafas menggunakan alat orofaring
(mayo) perlu diberikan plester agar tidak terlepas
dari mulut korban
13 Korban tidak sadar, terdapat multiple trauma, dan
tidak bisa menggerakakan anggota tubuh perlu di
pasang penyangga leher (Collar brace/neck collar)
14 Merujuk korban bencana dengan trauma cukup

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

menggunakan nasal canul oksigen


15 Korban bencana tanah longsor yang terhimpit
tidak perlu di berikan oksigenasi
16 Evaluasi pernafasan cukup hanya melihat berapa
jumlah frekuensi pernafasan korban
17 Yang di perlu diwaspadai pada korban perdarahan
adalah terjadinya syok
18 Kondisi syok di tandai gelisah, bicara yang
merancu tidak jelas seperti orang yang panik
19 Korban yang mengalami syok segera di berikan
label KUNING
20 Korban tidak sadar, tidak bernafas mengalami
fraktur pada costa ke 3, 4, dan 5 maka tidak boleh
di lakukan pijat jantung

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 6

KUESIONER SIKAP TERHADAP TINDAKAN TANGGAP BENCANA

(Adaptasi dari Ajzen, 2005)

Pilihlah pernyaan berikut sesuai dengan apa yang anda pikirkan/rasakan. Pilihan
jawaban sebagai berikut:

STS : Sangat Tidak Setuju


TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
No Pernyataan STS TS S SS
1 Saya ikut bertanggung jawab terhadap kondisi
korban bencana yang terjadi di daerah
wilayah kerja saya
2 Saya selalu siap terjun ke medan bencana
kapanpun saya di butuhkan
3 Saya mengawali tindakan dengan prinsip
safety first (menggunakan APD)
4 Saya selalu melakukan re-evaluasi terhadap
tindakan keperawatan yang sudah saya
lakukan pada korban bencana
5 Melakukan tindakan tanggap bencana sesuai
dengan prosedur merupakan standart
perawatan pada situasi tanggap bencana
6 Saya hanya melakukan tindakan perawatan
tanggap darurat pada korban yang
membutuhkan
7 Saya merasa berat untuk melakukan tindakan
tanggap bencana karena beban kerja yang
saya alami bertambah besar
8 Saya terlalu sibuk untuk terjun ke wilayah
bencana dan melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana
9 Saya percaya dengan tindakan rapid
assessment yang tepat pada korban bencana
akan meningkatkan angka survive pada
korban bencana
10 Saya akan membantu korban bencana setelah
mendapat perintah dari pimpinan
11 Saya bertanggung jawab terhadap pemilahan
derajat kegawatan korban bencana
12 Saya hanya memberikan labeling pada korban
yang gawat saja
13 Bagi saya prinsip Safety first dengan benar
dapat mencegah terkena infeksi ataupun

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

penyakit tertular lainnya


14 Saya tidak perlu melakukan cuci tangan
sesuai prosedur karena membutuhkan waktu
yang banyak
15 Saat menolong korban bencana saya tidak
perlu cuci tangan karena situasinya
emergency
16 Panduan tentang penanganan korban bencana
mengurangi variasi tindakan keperawatan
tanggap bencana
17 Panduan safety first saat bertemu korban
bencana mengganggu nilai profesionalisme
saya
18 Keselamatan diri saya harus menjadi prioritas
saat melakukan penyelamatan bencana
19 Penangan pertama pada penderita bencana
bukan tugas utama dari perawat
20 Saya harus mampu menguasai keilmuan
tanggap bencana

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 7

KUESIONER PENGALAMAN

(Adaptasi dari Ajzen, 2005)

Pilihlah pernyaan berikut sesuai dengan apa yang anda pikirkan/rasakan. Pilihan
jawaban sebagai berikut:

STS : Sangat Tidak Setuju


TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
No Pertanyaan STS TS S SS

1 Saya selalu membiasakan diri untuk


melakukan tindakan safety first dalam
kondisi apapun
2 Saya sering menangani kondisi korban
secara langsung tanpa memperhatikan
safety first
3 Saya mengalami kesulitan dalam
menentukan labeling kegawatan pada
korban
4 Saya tahu bahwa labeling di awal
menemukan korban akan menjadi prioritas
dalam melakukan tindakan keperawatan
tanggap bencana
5 Panduan tindakan keperawatan tanggap
bencana akan membantu saya dalam
memberikan pelayanan tanggap bencana
6 Saya melakukan tindakan keperawatan
tanggap bencana karena ada perintah dari
pimpinan
7 Saya pernah terjun di tenda dapur umum
bencana
8 Dalam melakukan tindakan keperawatan
tanggap bencana saya selalu berkoordinasi
dengan BPBD setempat
9 Saya selalu menunggu keputusan dari
pihak keluarga korban untuk melakukan
tindakan yang bersifat emergency
10 Saya melakukan tindakan tanggap bencana
sesuai dengan prosedur yang sudah di
tetapkan

10

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 8

KUESIONER NORMA SUBYEKTIF

(Adaptasi dari Ajzen, 2005)

Pilihlah pernyaan berikut sesuai dengan apa yang anda pikirkan/rasakan. Pilihan
jawaban sebagai berikut:

STS : Sangat Tidak Setuju


TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
No Pernyataan STS TS S SS
1 Biasanya saya akan mengikuti apa saja yang
telah di tetapkan oleh tim tanggap bencana
2 Biasanya saya akan melakukan apa saja yang
di sarankan oleh tokoh masyarakat sekitar
3 Saya akan mengikuti apa yang telah di
tetapkan oleh Kepala Dinas/Pimpinan tempat
saya bekerja
4 Biasanya saya akan melaksanakan apa yang
di sarankan oleh tim lain (BPBD, PMI)
5 Saya akan memikirkan keputusan terbaik
untuk korban yang sedang saya tangani

6 Masyarakat sekitar saya mendukung untuk


melakukan tindakan keperawatan tanggap
bencana
7 Kepala Dinas dan Pimpinan tempat saya
bekerja mendukung saya untuk menjadi
bagian dalam keperawatan tanggap bencana
8 Teman sejawat saya mendukung saya untuk
menjadi bagian dalam keperawatan tanggap
bencana
9 Tim lainnya mendukung saya menjadi bagian
dalam keperawatan tanggap bencana
10 Keputusan tim adalah keputusan terbaik untuk
korban bencana yang sedang di tangani

11

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 9

KUESIONER PERCEIVED BEHAVIORAL CONTROL

(Adaptasi dari Ajzen, 2005)

Pilihlah pernyaan berikut sesuai dengan apa yang anda pikirkan/rasakan. Pilihan
jawaban sebagai berikut:

STS : Sangat Tidak Setuju


TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
No Pernyataan STS TS S SS
1 Peraturan penanganan bencana merupakan
faktor pendorong untuk melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana
2 Banyaknya kekeliruan dalam penanganan
korban bencana menjadi faktor pendorong
untuk melakukan tindakan keperawatan
tanggap bencana
3 Motivasi menjalankan kewajiban dan
tanggung jawab perawat menjadi faktor
pendukung untuk melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana
4 Motivasi menjalankan kewajiban dan
menjaga warisan budaya masyarakat menjadi
faktor pendukung untuk melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana yang sesuai
dengan kultur masyarakat
5 Keragaman kehidupan bermasyarakat menjadi
faktor pendukung untuk melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana yang sesuai
dengan aturan masyarakat
6 Jam kerja merupakan faktor penghambat
untuk melakukan tindakan keperawatan
tanggap bencana
7 Belum tersedianya sarana dan prasarana
menjadi faktor penghambat untuk melakukan
tindakan keperawatan tanggap bencana
8 Faktor pengalaman dan informasi menjadi
faktor pendukung untuk melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana
9 Faktor beban kerja menjadi faktor
penghambat untuk melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana
10 Minimnya reward menjadi faktor penghambat
untuk melakukan tindakan tanggap bencana

12

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 10

KUESIONER INTENSI

(Adaptasi dari Ajzen, 2005)

Pilihlah pernyaan berikut sesuai dengan apa yang anda pikirkan/rasakan. Pilihan
jawaban sebagai berikut:

STS : Sangat Tidak Setuju


TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
No Pernyataan STS TS S SS
1 Saya akan mencoba melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana jika terjadi
bencana
2 Saya berusaha untuk melakukan tindakan
safety first sebelum melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana
3 Saya berusaha melakukan labeling terlebih
dahulu sebelum melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana
4 Saya yakin bahwa saya melakukan tindakan
keperawatan tanggap bencana dengan benar
sesuai dengan prosedur yang ada
5 Saya berusaha melakukan tindakan initial
assessment korban bencana yang benar
6 Saya yakin bahwa saya dapat melakukan
tindakan labeling yang tepat pada korban
bencana
7 Saya yakin bahwa saya dapat melakukan
tindakan Initial asessment yang tepat pada
korban bencana
8 Saya berusaha melakukan kerjasama dana
koordinasi dengan tim lainnya setelah
melakukan tindakan keperawatan tanggap
bencana
9 Saya berniat rutin melakukan tindakan safety
first hingga berkoordinasi dengan tim
kesehatan lain dalam menolong korban
kejadian bencana
10 Saya berniat untuk melakukan tindakan
keperawatan bencana sesuai dengan standart
yang telah di tentukan

13

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 11

KUESIONER BUDAYA

Pilihlah pernyaan berikut sesuai dengan apa yang anda pikirkan/rasakan. Pilihan
jawaban sebagai berikut:

STS : Sangat Tidak Setuju


TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
No Pernyataan STS TS S SS
1 Saya akan bergotong royong dengan warga
untuk menangani bencana tanpa menunggu
petugas/aparat pemerintah datang
2 Saya senang mensosialisikan jargon dari
BPBD pacitan 20 detik-20 menit-20 meter
untuk membantu mengurangi resiko bencana
3 Menurut saya kentongan adalah alat bantu
efektif yang perlu di lestarikan untuk
mengingatkan masyarakat jika terjadi bencana
4 Saya lebih suka membantu masyarakat di
dapur umum bencana dari pada mengerjakan
tugas pokok saya saat terjadi bencana
5 Menurut saya informasi dari orang tua jaman
dahulu tentang laut tiba-tiba surut, lalu ada
suara gemuruh (lindu) itu merupakan hal yang
tidak relevan saat ini
6 Saya memutuskan untuk segera mengambil
tindakan terhadap korban bencana tanpa perlu
menunggu perintah pimpinan
7 Jika menemukan korban bencana saya akan
bergotong royong dengan warga untuk
menolong dan merujuk korban
8 Saat menolong korban bencana di upayakan
untuk tidak melibatkan keluarga agar korban
lebih survive
9 Saya mendukung pelestarian program
masyarakat tanggap bencana dengan konsep
3M (Menthung-Mendhem-Mikul)
10 Saya akan mempertahankan tradisi ceprotan
dengan melakukan bersih desa bersama-sama
agar kelestarian alam tetap terjaga

14

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 12

LEMBAR OBSERVASI

(Adaptasi dari ATLS Student Course Manual Tenth Edition, 2017)

No Pertanyaan Ya Tidak

1 Perawat melakukan tindakan Safety First


Unsur 3A :
 Amankan Diri, Lingkungan, Korban
2 Pemeriksaan tingkat kesadaran korban
 A = Alert Respons
 V = Verbal to Respons
 P = Pain to Respons
 U = Unrespone
3 Melakukan pemeriksaan Airway
Look, Listen, and Feel
Mengenali kegawatan Airway
 Snoring (Ngorok)
 Gurgling (cairan)
 Crowing (Odema laring)
Mampu melakukan tatalaksana sederhana Airway
management
 Head tilt
 Chin lift
 Jaw trust
Penggunaan Alat bantu sederhana dengan tepat
 Nasofaring
 Orofaring
4 Mengenali kegawatan Breathing
Memberikan oksigen sesuai kegawatan korban
 Simple masker Oksigen
 Masker reservoir Re-Breathing
 Masker reservoir Non Re-Breathing
 Jackseen Rees
5 Mengenali kegawatan Circulation
Tanda-tanda shock:
 Akral dingin, basah, pucat
 Nadi >100, teraba lemah
 Sistolik < 90mmHg
 Crt > 2 detik
 Produksi urin < 0,5 -1 cc/kg/BB
Melakukan tatalaksana kegawatan circulation
 Posisi shock
 Menghentikan perdarahan
 Pasang infus 2 line
 Pengambilan sample darah

15

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

 Pasang dower kateter


 Resusitasi cairan
6 Mengenali tanda-tanda korban cardiac arrest
 Tidak sadar
 Apneu/tidak bernafas
 Tidak teraba nadi carotis
Melakukan pijat jantung
 Titik tumpu tepat (setengah sternum bagian bawah)
 Kedalaman pijat jantung tepat (2 - 2.4 inchi)
 Frekuensi 100-120x/menit
 Perbandingan 30 pijatan dan 2 kali tiupan
 Evaluasi nadi carotis tiap2 menit
7. Mengenali kondisi korban layak evakuasi
 Stabil A - B – C
 Koordinasi dengan tempat rujukan
 Kendaraan/transportasi yang sesuai standart evakuasi
korban

16

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 13

PANDUAN TEKNIS FGD

1. Kriteria peserta :
a. Bersifat Sukarela.
Peserta FGD berdasarkan atas sukarela dan tidak terpaksa karena suatu
imbalan atau janji- janji kepada peserta.
b. Jumlah Kelompok Terbatas
Jumlah peserta FGD tidak lebih dari 10 orang dan merepresentasikan
keterwakilan kelompok masyarakat
c. Peserta terdiri dari Pakar kebencanaan, BPBD daerah Kabupaten Pacitan,
Perawat bencana, Kepala Puskesmas
2. Kriteria Komunikasi :
a. Menjaga Kerahasiaan
Pendapat peserta FGD dijaga kerahasiaannya oleh Fasilitator dan Tim
Pelaksana FGD
b. Kebebasan Berpendapat
Kebebasan menyampaikan pendapat peserta, perlu dijaga dan bukan
kebenaran atau kesalahan
3. Kriteria procedural
a. Suasana Diskusi Informal
Suasana atau proses diskusi FGD adalah informal, tidak formal seperti
rapat dinas atau presentasi seminar, dll.
b. Fasilitator Tidak Memihak
Fasilitator FGD tidak boleh memihak, dan menilai terhadap pendapat
peserta,tetapi memfasilitasi agar semua peserta ikut berpartisipasi aktif
berdiskusi.

A. Perencanaan dan persiapan


1. Perencanaan
Perencanaan pelaksanaan FGD dalam perancangan model peningkatan
tindakan keperawatan tanggap bencana.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

a. Pemilihan tempat dan waktu


pelaksanaan FGD dikonsultasikan dengan pihak Puskesmas yang ada di
wilayah kerja Kabupaten Pacitan sehingga tidak menggangu pelayanan
Puskesmas terkait.
b. Penyiapan bahan dan alat bantu FGD
Bahan dan alat bantu pelaksanaan FGD dirancang sesuai kebutuhan ATK
dan peralatan tulis: Kertas tulis, kertas manila, ballpoint, spidol, dll, sesuai
kebutuhan
c. Peralatan bantu FGD
Peralatan diskusi partisipatif, antara lain laptop, LCD, Camera/Handicam,
alat rekaman, dll.
2. Penyiapan materi FGD
Pertanyaan- pertanyaan kunci topik FGD, dipersiapkan oleh peneliti. Materi
topik FGD: Materi topik FGD dalam bentuk Ringkasan tindakan Tanggap
Bencana dan tata laksananya yang disiapkan oleh Tim Pelaksana FGD.
3. Agenda pelaksanaan FGD
Agenda/acara FGD dirancang untuk satu topic FGD selama ±1 jam atau
maksimum selama 2 jam diskusi. Tempat FGD: Ruangan untuk diskusi
(sesuai kebutuhan), kursi tempat duduk sebanyak ±15 buah dan peralatan
konsumsi seperlunya

B. Pelaksanaan
1. Presentasi topik FGD
Topik :
a. Membangun persamaan persepsi/pemahaman teknis mengenai tindakan
keperawatan tanggap bencana (Nursing Disaster Preparedness),
b. Menginisiasi kerjasama/kolaborasi kelembagaan masyarakat dan para
pihak yang terkait seperti BPBD daerah Kabupaten Pacitan serta tokoh
masyarakat sekitar.
c. Mengoptimalkan peranan budaya lokal dalam membantu meningkatkan
tindakan keperawatan tanggap bencana

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Untuk memberikan pembekalan dan pemahaman latar belakang dan


permasalahan para peserta FGD, Fasilitator menyampaikan presentasi singkat
mengenai ringkasan latar belakang dan permasalahan yang terjadi pada
tatalaksana tanggap bencana, program-program yang telah dilaksanakan.
Dalam penyusunan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk bahan diskusi
partisipatif FGD agar peserta FGD cepat mengerti dan cepat merespon maka
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pertanyaan dibuat singkat dan “to the point”
b. Pertanyaan dibuat fokus satu pengertian, tidak multi tafsir atau
“bercabang”
c. Pertanyaan dibuat dengan kata-kata tunggal bukan yang bersifat majemuk
atau kata-kata perbahasa.
d. Pertanyaan dibuat bukan untuk jawaban “ya” atau “tidak”, tetapi
jawaban/penjelasan/pendapat terhadap pertanyaan “why” dan “how”

C. Daftar pertanyaan
1. Persepsi perawat bencana mengenai masalah tindakan perawat tanggap
bencana (Initial Asessment) pada korban bencana
2. Inisiasi kolaborasi kelompok masyarakat dengan para pihak terkait dalam
kegiatan peningkatan tindakan keperawatan tanggap bencana

D. Diskusi partisipatif peserta


1. Kesepakatan dan aturan diskusi
Pelaksanaan FGD dilakukan melalui diskusi partisipatif oleh seluruh
peserta yang difasilitasi oleh Fasilitator. Pelaksanaan diskusi partisipatif
dalam rangka FGD dalam peningkatan tindakan keperawatan tanggap
bencana

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2. Skema pengaturan tempat

Dalam rangka mengeksploitasi partisipasi peserta FGD maka perlu disepakati


bersama pemahaman dan aturan diskusi partisipatif, yaitu :
1. Semua peserta FGD sama derajat dan berhak untuk berpartisipasi
menyampaikan pendapat/saran/jawaban.
2. Apapun jawaban/pendapat/saran yang disampaikan peserta FGD tidak
boleh diklasifikasikan “salah” atau “benar”, “setuju” atau “tidak setuju”
3. Pendapat/jawaban setiap peserta merupakan “share information” dan tidak
untuk diekspose keluar dari tempat FGD.
4. Semua jawaban/pendapat direcord dengan alat rekaman, dan dirahasiakan
nama- namanya pada laporan FGD dengan menggunakan “kode” peserta.
3. Suasana diskusi kondusif
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa selama diskusi partisipatif FGD
berlangsung kemungkinan akan menghadapi situasi/suasana sebagai berikut:
a. Situasi FGD yang “stagnant ” atau “diam”: Pada waktu baru dimulai FGD
mungkin akan terjadi suasana terdiam dan jika dalam waktu relatif lama,
maka Fasilitator segera berinisiatif “mencairkan” suasana.
b. Peserta terlalu aktif atau pasif: Fasilitator harus mengatur atau “memblok”
agar peserta yang pasif juga berkesempatan aktif dalam diskusi, sehingga
tidak terjadi “ego individual”.
c. Perdebatan yang memanas:Jika terjadi perdebatan yang memanas,
Fasilitator segera mengambil inisiatif menetralkan suasana dengan
memberikan pendapat atau analogi yang disertai dengan joke-joke ringan.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

d. Menyimpang dari topik diskusi:Jika jalannya diskusi menyimpang dari


topik FGD yang telah disepakati, Fasilitator segera berinisiatif untuk
mengembalikan ke topik FGD yang telah disepakati.
4. Analisis hasil FGD
Hasil pengumpulan informasi FGD dari 3 topik tersebut kemudian dilakukan
analisis yang pada prinsipnya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Coding terhadap sikap, pendapat peserta FGD yang memiliki kesamaan
terkait topik FGD
2. Persamaan istilah yang digunakan, termasuk perbedaan pendapat terhadap
istilah yang digunakan peserta dalam pemahaman
3. Klasifikasi dan kategorisasi terhadap sikap dan pendapat peserta FGD
berdasarkan kerangka kegiatan
4. Hubungan antara masing- masing kategorisasi yang ada untuk menentukan
kerangka hasil diskusi atau sikap dan pendapat kelompok terhadap
kegiatan

E. Tim pelaksana
1. Fasilitator
Dalam pelaksanaan FGD diperlukan seorang Fasilitator yang sekaligus
bertindak selaku moderator diskusi. Seorang Fasilitator FGD perlu memiliki
kompetensi keterampilan substantif dan proses yaitu kemampuan:
a. Mendengar, sensitifity dan empaty terhadap keragaman peserta baik
agama, suku, gender dan perbedaan pendidikan
b. Berkomunikasi, berbicara, dan pengamatan sikap peserta dalam
memfasilitasi pelaksanaan FGD
c. Penguasaan substansi topik FGD
d. Mengelola pelaksanaan diskusi menjadi dinamis, dan menjaga suasana
informal
e. Mendorong peserta FGD bergairah dan berpartisipasi Tugas Fasilitator
yang utama adalah memimpin diskusi sehingga dapat belangsung lancar.
Sebagai moderator ia tidak boleh berpihak bahkan terhadap dirinya tetapi

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

memperlakukan peserta secara setara dan peserta harus memperoleh kesan


initermasuk kesetaraan perbedaan gender.
2. Notulis
Tugas pokok Notulis adalah mencatat hasil diskusi dan merekan proses FGD
dari awal hingga akhir diskusi, dengan peralatan bantu antara lain: peralatan
rekaman, laptop/PC, dll.
3. Dokumentasi
Untuk melengkapi laporan FGD maka perlu adanya dokumentasi yang
mendokumentasikan jalannya FGD berupa foto-foto, dan audio visual dengan
camera dan handicame

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


Scanned by CamScanner
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


Scanned by CamScanner
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN SETYO KURNIAWAN


Scanned by CamScanner
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENINGKATAN TINDAKAN KEPERAWATAN DALAM


TANGGAP BENCANA DENGAN KONTEKS KEARIFAN
BUDAYA LOKAL

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


SURABAYA
2018

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

MODUL PENINGKATAN TINDAKAN KEPERAWATAN


DALAM TANGGAP BENCANA BERBASIS TPB (THEORY
PLANNED BEHAVIOUR) DALAM KONTEKS KEARIFAN
BUDAYA LOKAL

Editor :
Dr. Tintin Sukartini, S.Kp, M.Kes
Joko Suwito, S.Kp, M.Kes

Penyusun:
Setyo Kurniawan, S.Kep.,Ns

Hak Cipta 2018, Pada Penerbit

Hak Publikasi pada Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga

Dilarang menerbitkan atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini
dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun mekanis, termasuk
memfotocopy, merekam atau system penyimpanan dan pengambilan
informasi, tanpa seizin tertulis penerbit.

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga


Kampus C Unair Mulyerojo Surabaya 60115
Telp. (031) 5913754, 5913257, 5913752
Fax (031) 5913754, 5913257
Email: dekan@fkp.unair.ac.id

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT bahwa


kini telah tersusun Panduan Peningkatan Tindakan Keperawatan
Tanggap Bencana dalam Konteks kearifan Budaya Lokal Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga.

Penyusunan panduan ini adalah untuk meningkatkan peran


perawat dalam memberikan asuhan keperawatan tanggap darurat
dan tanggap bencana dan memperhatikan kondisi kebudayaan
suatu daerah.

Harapannya semoga panduan ini dapat bermanfaat sesuai


tujuan dari penyusunan modul ini.

Surabaya, Juli 2018

Penyusun

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR ISI

Cover ...................................................................................... i
Kata Pengantar........................................................................ ii
Daftar Isi................................................................................. iii
Penjelasan Umum ................................................................... iv

Kegiatan Belajar .................................................................. iv


Deskripsi .............................................................................. iv
Tujuan .................................................................................. iv
Sasaran ................................................................................. iv
Uraian Materi ....................................................................... 1
a. Triage………………………………………………….. 1
b. Penanganan Life Support……………………………… 2
c. Evakuasi……………………………………………….. 8
d. Kearifan Lokal………………………………………… 9

Pertanyaan .......................................................................... 10
Daftar Pustaka .................................................................... 11

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENJELASAN UMUM

DESKRIPSI (DEFINISI)

Tanggap darurat pada bencana adalah serangkaian kegiatan yang


dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang di timbulkan. Kegiatan tersebut
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsian, penyelamatan serta pemulihan saran dan pra sarana
(UU No.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana).

TUJUAN

Memahami proses penanganan tanggap darurat/tanggap bencana


yang meliputi:

e. Triage
f. Penanganan Life Support
g. Evakuasi
h. Kearifan Lokal

SASARAN

1. Perawat Tanggap Bencana


2. Perawat Puskesmas

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

MATERI

I. TRIAGE
a. Pengertian
Pemilahan penderita berdasarkan berat ringannya cedera
atau penyakit untuk menentukan perawatan gawat darurat
dan tindakan selanjutnya.

b. Prinsip penerapan Triage –START (Simple Triage And


Rapid Treatment)
 Bisa bergerak dengan terdapat luka
 Tidak bernafas setelah open Airway
 Pernafasan > 30x/mnt
 Perfusi – crt 2 dtk
 Mental Status- tidak mengikuti perintah sederhana
 Kondisi lainnya

c. Kartu Triage

= Meninggal
= Segera
= di tunda
= tidak perlu
rujuk

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

II. LIFE SUPPORT

Tatalaksana penanganan korban bencana dari awal korban


di temukan (petugas sebagai first responder) antara lain:

1. Selalu lakukan 3A
Hal yang sangat penting sebelum melakukan tindakan apapun
terkait menolong korban yaitu:
 Amankan diri (menggunakan APD = handscoon, masker,
google, caps. dll)
 Amankan lingkungan (pastikan situasi lingkungan aman bagi
penolong utk menolong)
 Amankan Korban (bawa korban ke tempat yang ideal, jika
memungkinkan. Hati2 korban cedera servikal)

2. Cek Tingkat Kesadaran Korban


Pemeriksaan tingkat kesadaran secara cepat di awal tidak
menggunakan GCS (subyektif). Maka menggunkan :
A = respon to ALERT (sadar penuh)
V = respon to VERBAL
P = respon to PAIN (3 titik pemeriksaan = sternum, pangkal kuku,
Supraorbita)
U = UNRESPONSIVE (tidak sadar)

3. Airway Management
Kegawatan yang terjadi pada tahapan ini adalah terjadinya
OBSTRUKSI (Sumbatan) baik Total/Partial. Cara pemeriksaan:
LOOK : lihat pergerakan dada
LISTEN : dengarkan suara nafas tambahan
FEEL : rasakan hembusan nafas

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Secara normal manusia bernafas tidak terdengan suara apapun.


Maka jika pada pemeriksaan suara nafas tambahan terdengar suara
snoring (mengorok—pangkal lidah jatuh), gurgling (berkumur--
cairan), crowing (serak seperti suara gagak—oedem laring), segera
lakukan pembebasan jalan nafas.

Pembebasan jalan nafas bisa dilakukan dengan 2 cara

 Manual
Head tilt, Chin lift,

Jaw trust (hanya untuk korban trauma)

 Dengan menggunakan alat bantu


a. Nasofaring
Mengukur dari puncak hidung—tragus. Besar kecilnya alat
dengan jari kelingking dominan korban.

Tidak boleh di pasang pada korban


jika ada polip, perdarahan hidung,
terjadi fraktur basis cranii

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

b. Orofaring
Mengukur ada 2 cara, dari sudut bibir---tragus atau tengah
bibir-----angulus mandibular. Syarat boleh di pasang
orofaring jika korban:
 GCS < 8
 Tidak sadar
 Tidak ada reflek muntah

Pemasangan orofaring tidak boleh di tambahkan


pemasangan plester.

c. Suctioning untuk kasus gurgling


d. Tatalaksana definitive untuk kasus crowing (pemasangan
LMA, Intubasi, Needle cricotiroidotomy)

4. Breathing Management
Kegawatan pada tahapan ini di sebabkan karena Hipoksia
(kekurangan O2), sehingga korban mengalami perubahan pola
pernafasan sebagai bentuk kompensasi dalam upaya mencukupi
kebutuhan asupan oksigen terutama di dalam otak.
Cara periksaan:
 LOOK : lihat pergerakan dada, simetris ?, dada kanan—
dada Kiri, dada—perut?
 LISTEN : dengar suara nafas tambahan (evaluasi Airway)
 FEEL : rasakan hembusan nafas

Jika perlu tambahkan pemeriksaan saturasi O2 dengan menggunakan


alat pulse oksimetri untuk megetahui kadar oksigenasi pada jaringan
perifer (N > 92%)

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tambahkan kekurangan oksigenasi pada korban dengan mengunakan


alat:

 Nasal canule, 2-4 lpm, konsentrasi yng dihasilkan 24%-36%


 Simple masker, 4-6 lpm, konsentrasi yang dihasilkan 40%-60%
 Masker reservoir/masker kantong
- Re-breathing Mask, 8-12 lpm, konsentrasi yang di hasilkan
90%
- Non Re-Breathing Mask, 8-12 lpm, konsentrasi yang di
hasilkan 95%
 Jackson rees, 10-15 lpm, konsentrasi yang di hasilkan 100%,
Harus ada O2
 BVM (Bag Valve Mask)

5. Circulation Management
Kegawatan pada tahapan ini adalah terjadinya SYOK, yang di
sebabkan oleh berkurangnya cardiac output hingga 50%
(hipovolemik---perdaraharn, dehidrasi, luka bakar). Syok di kenali
dengan tandanya:
 Akral Dingin, Basah, Pucat
 Nadi cepat > 100x/mnt, dengan kualitas teraba lemah
 Estimasi Sistolik < 80 mmHg
 Crt > 2 detik
 Prod. Urin < N (N prod urin= 0,5-1 cc/kgBB/jam)

Jika di pastikan korban mengalami syok maka sebagai penolong


yang harus segera dilakukan adalah :

a. Posisi Syok (kaki di naikkan 450 agar darah di kaki 300-500 cc


turun ke jantung)
b. Stop perdarahan (pembebatan)
c. Pasang infus 2 jalur dengan jarum nomer besar
d. Pengambilan sample darah korban
e. Pasang kateter (buang urin residu)

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

f. Resusitasi cairan (hingga kondisi klien membaik/tidak syok)

Cairan yang di gunakan untuk resusitasi adalah cairan KRISTALOID


seperti RL, NS (PZ), Ringer Asetat (Asering)

Jumlahnya cairan yang di berikan 20-40 cc/KgBB selama 10-20 menit


utk dewasa, 30-60 menit utk anak/lansia. Resusitasi di lakukan hingga
kondisi korban tidak SYOK

Jika tidak syok korban bisa di berikan cairan MAINTENANCE

a. Dewasa 40-50 cc/KgBB/24 jam


b. Anak-anak menggunakan rumusan Holiday Sgar (syarat anak
BB 30kg. jika lebih dari 30 kg ikutkan dewasa)

10 kg I X 100 cc =

10 kg II X 50 cc =

10kg III X 20 cc =

Total =………..cc /24 jam

6. Basic Life Support

Dilakukan dengan kondisi korban (AHA guideline, 2015):

 Un responsive
 No Breathing atau pada korban yng bernafas Gasping

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Segera lakukan RJP efektif selama 2 menit (5 siklus utk 1orang


penolong, 7/8 siklus utk penolong ganda)

Titik tumpu pijatan ada di setengah Sternum bagian bawah

Dengan kedalaman pijatan 2-2.4 inchi atau setara 5-6 cm

Pijatan dilakukan dengan perbandingan 30 pijatan : 2 kali tiupan nafas

Setelah 2 menit di evaluasi keberhasilan pjiat jantung dengan meraba


nadi karotis selama 5-10 detik. Jika tidak teraba di maka lanjutkan RJP

Pijat jantung yang dilakukan penolong boleh dihentikan jika:

a. Faktor penolong
 Penolong kelelahan setelah 30 menit
 Ada bantuan lain datang
b. Faktor korban
 Terdapat tanda lebam mayat
 Terdapat ROSC (return of spontaneous circulation)
c. Faktor lingkungan
 Lingkungan mengancam nyawa penolong
 Advise DNR (Do Not Resuscitation) dari dokter yang
bertanggung jawab terhadap korban

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

III. EVAKUASI

Proses evakuasi yang akan dilakukan petugas harus


memperhatikan kondisi korban. Kondisi korban stabil atau tidak
dengan memperhatikan komponen pada materi Life Support. Jika
kondisi korban stabil maka korban dapat di evakuasi dan di
transport menuju ke tempat rujukan.

Apabila korban di curigai dengan fraktur cervical dengan tanda-


tanda seperti:

a. Jejas di atas clavicula


b. Multiple trauma
c. Penurunan kesadaran
d. Cedera kepaladisertai deficit neurologis
e. Terdapat mechanism of Injury
f. Korban mengeluh nyeri di sekitar leher

Maka korban di evakuasi dengan dibantu petugas dengan


menggunakan log roll

Korban di transport menggunakan peralatan sesuai dengan


standart evakuasi

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

IV. KEARIFAN LOKAL

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu


masyarakat yang tidak dapat di pisahkan dari masyarakat itu
sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara turun temurun
dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut.
Kearifan lokal yang ada di wilayah Kabupaten Pacitan

1. Pengenalan kondisi alam


Pengenalan kondisi alam yang masih di kenal adalah tanda-
tanda apabila kemungkinan akan terjadi tsunami
“banyu segaten sat sak naliko” artinya air laut surut secara
mendadak

2. 3 M
Budaya yang perlu di lestarikan dan dikembangkan mengingat
adanya perubahan serta perkembangan jaman telah mengikis
peradaban budaya lama. 3 M (menthung, mandhem, mikul)
Menthung = memukul kentongan sebagai tanda apabila ada
kejadian bencana mendekat. Situasi saat ini bisa di gantikan
dengan jejaring menggunakan media elektronik dan media
sosial yang bersifat cepat dan lebih luas (Handphone,
Whatsapp)

Mendhem = segala sesuatu yang telah terjadi segera di


lupakan, kubur dalam-dalam, tidak larut dalam suasana duka

Mikul = bergotong royong bersama-sama kembali


membangun demi kehidupan yang lebih baik

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PERTANYAAN
1. Ada berapa macam warna yang di gunakan untuk triage?
2. Sebutkan jenis-jenis triage?
3. sebutkan tatalaksana penanganan korban bencana?
4. Sebutkan Kearifan lokal yang ada di Pacitan?

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR PUSTAKA

Advance Trauma Life Support, (2018). Advance Trauma Life Support


for Doctors. student course manual Tenth Edition. USA :
American College Of Surgeons

American Heart Association. 2015. Guidelines 2015 CPR and ECC.


www.heart.org diakses tanggal 31 Oktober 2017 pukul 04.5

Ahayalimudin, N. A. and Osman, N. N. S., 2016. Disaster


management: Emergency nursing and medical personnel’s
knowledge, attitude and practices of the East Coast region
hospitals of Malaysia. Australasian Emergency Nursing
Journal. College of Emergency Nursing Australasia, 19(4),
pp. 203–209. doi: 10.1016/j.aenj.2016.08.001.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN


SETYO KURNIAWAN

Anda mungkin juga menyukai