PROPOSAL KTI
WULAN PIANA
8801210071
PROPOSAL KTI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan
Menyelesaikan Pendidikan Program
Diploma III Keperawatan di Fakultas Kedokteran
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
WULAN PIANA
8801210071
PERNYATAAN ORIGINALITAS
Menyatakan dengan sungguh-sungguh, bahwa karya ilmiah ini adalah milik saya.
Saya telah merujuk, dan mengutip semua sumber secara akurat. Apabila hasil
karya saya ditemukan plagiarisme, saya bersedia menerima hukuman apapun.
Wulan Piana
NIM. 8801210071
Serang, 2023
Disetujui oleh,
Dosen Pembimbing
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah ini telah diamankan dihadapkan penguji dan diakui sebagai
salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi Diploma
III Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Penguji II
Ns. Rizky Rachmatullah, S.Kep., M.Kep., Sp. Kep. Kom (
)
NIP. 20220103215
Mengesahkan,
Ketua Program Studi DIII Keperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Epi Rustiawati, M.Kep., Sp.Kep.MB
NIP. 197811042005022001
KATA PENGANTAR
BIODATA
Motto Hidup
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORIGINALITAS i
LEMBAR PERSETUJUAN SEMINAR SIDANG PROPOSAL ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
BIODATA vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Studi Kasus 4
1.3.1. Tujuan Umum 4
2.2.3 Patofisiologi 22
2.2.4 Etiologi 25
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perencanaan Keperawatan 18
Tabel 2.2 Implementasi Keperawatan 19
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mikroorganisme Mycobacterium Tuberculosis Pada Paru 22
Gambar 2.2 Batuk Efektif 42
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
*Sumber : Tim Pokja SIKI DPP PPNI, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, 2018.
2.1.6 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap terakhir, dalam proses keperawatan yang memiliki
peran krusial dalam perawatan pasien. Pada tahap ini, perawat melakukan
penilaian menyeluruh terhadap hasil tindakan yang telah dilaksanakan
selama proses perawatan. Langkah pertama dalam evaluasi adalah
membandingkan hasil tindakan perawat, dengan kriteria hasil yang telah
ditetapkan sebelumnya. Hal ini bertujuan, untuk menentukan sejauh mana
tujuan perawatan telah tercapai. Selanjutnya, perawat menilai apakah
masalah kesehatan yang dihadapi oleh pasien telah teratasi dengan baik,
hanya sebagian teratasi, atau bahkan belum teratasi sama sekali. Evaluasi
ini, memberikan gambaran tentang efektivitas intervensi keperawatan yang
telah dilakukan dan apakah perlu dilakukan penyesuaian atau perubahan
dalam rencana perawatan. Hasil evaluasi juga, menjadi dasar bagi perawat
untuk memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang
perkembangan perawatan dan langkah selanjutnya dalam perjalanan
pemulihan pasien. Dengan kata lain, evaluasi adalah tahap kunci dalam
memastikan bahwa perawatan yang diberikan selaras dengan kebutuhan dan
tujuan pasien (Niswah,2021; Elin Erlina, 2020; Kemenkes RI, 2020).
Gambar 2.1
Mikroorganisme Mycobacterium Tuberculosis pada Paru
*Sumber : Dr. Fatmawati, M.Si, 2022
2.2.3 Patofisiologi
Basil tuberkulosis yang mencapai permukaan alveoli biasanya, terhirup
sebagai kelompok yang terdiri dari satu hingga tiga basil. Gumpalan basil
yang lebih besar, cenderung tertahan di rongga hidung dan tidak
menyebabkan penyakit. Setelah masuk ke dalam alveolus, biasanya di
bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkulosis
ini memicu reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear muncul di lokasi
tersebut dan mencoba memfagosit bakteri, meskipun tidak selalu berhasil
membunuh organisme tersebut. Beberapa hari kemudian, leukosit digantikan
oleh makrofag. Alveoli yang terinfeksi akan mengalami konsolidasi dan
menyebabkan gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat
sembuh sendiri tanpa merusak jaringan paru-paru atau dapat berlanjut
dengan bakteri terus bertahan hidup atau berkembang biak di dalam sel.
Basil juga dapat menyebar melalui sistem limfatik regional. Makrofag yang
terinfeksi menjadi lebih panjang dan beberapa di antaranya bergabung untuk
membentuk sel-sel tuberkulosis epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari. Nekrosis di bagian
tengah lesi menciptakan gambaran seperti keju dan disebut nekrosis
kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di
sekitarnya, yang terdiri dari sel-sel epiteloid dan fibroblas, menyebabkan
reaksi yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa dan
membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang
melingkupi tuberkulosis. Lesi primer pada paru-paru disebut fokus Ghon,
dan kombinasi infeksi pada kelenjar limfe regional dan lesi primer disebut
kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang terkalsifikasi dapat terlihat pada
orang sehat yang secara kebetulan melepaskan bahan tuberkulosis ke dalam
bronkus dan membentuk kavitas. Materi tuberkulosis yang dilepaskan dari
dinding kavitas dapat memasuki cabang trakeobronkial. Proses ini dapat
berulang di bagian lain, dari paru-paru atau basil dapat menyebar ke laring,
telinga tengah, atau usus. Kavitas kecil dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Ketika peradangan
mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut
yang berdekatan dengan batas bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental
dan tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada, menyebabkan lesi mirip
dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat berlangsung
tanpa gejala selama jangka waktu yang lama atau, sebaliknya, dapat
membangun kembali hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat
peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau
pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang melarikan diri dari
kelenjar limfe, akan mencapai aliran darah. Jumlah organisme yang lebih
kecil, kadang-kadang dapat menyebabkan lesi pada berbagai organ lain di
luar paru-paru (ekstrapulmoner). Penyebaran melalui sistem peredaran darah
adalah fenomena akut, yang biasanya menyebabkan tuberkulosis miliar. Hal
ini, terjadi ketika fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak
organisme memasuki sistem vaskuler dan menyebar ke organ-organ tubuh
(Widi Yuana, 2020; Elin Erlina, 2020; Niswah, 2021; David P.Maison,
2022).
Tabel 2.3
Jenis dan efek samping OAT
Nama Obat Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik,
gangguan fungsi hati, kejang.
Rifampicin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
urine berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skinrash,
sesak nafas, anemia hemolitik
Pyrazinamide (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan
fungsi hati, gout artritis.
Streptomycin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
25 anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Ethambutol (E) Bakteriostatiki Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer.
*Sumber : Kemenkes RI, 2014
b) Prinsip Pengobatan
Obat Anti Tuberculosis (OAT) merupakan komponen kunci, dalam
penanganan TB. Pengobatan TB adalah salah satu langkah, yang
paling efektif untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri
TB. Pengobatan yang memadai harus mematuhi prinsip-prinsip
berikut: Terapi harus disusun dalam bentuk kombinasi OAT yang
tepat, dengan setidaknya mencakup empat jenis obat untuk mencegah
perkembangan resistensi. Dosis harus diberikan dengan akurat dan
harus diminum secara teratur dengan pengawasan langsung dari PMO
(Pengawas Menelan Obat) hingga pengobatan selesai. Pengobatan
harus diberikan dalam rentang waktu yang cukup, terdiri dari tahap
awal dan tahap lanjutan, untuk mencegah terjadinya kekambuhan
(Dita Pramasari, 2019). Hindari penggunaan OAT tunggal
(Monoterapi). Penggunaan OAT dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap
(KDT) lebih disarankan dan memberikan manfaat yang lebih besar.
(Kemenkes RI, 2014). Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah elemen
kunci dalam terapi Tuberkulosis. Pengobatan Tuberkulosis adalah
langkah yang sangat efektif dalam mencegah penyebaran lebih lanjut
dari bakteri penyebabnya (Fajar Bagaskara, 2019; Dita Pramasari,
2019; Kemenkes RI, 2014).
c) Fase Pengobatan
1) Fase intensif
Ketika memasuki fase intensif, setiap harinya klien Tuberkulosis
akan menerima dosis obat dan ini memerlukan pengawasan ketat
guna menghindari perkembangan resistensi terhadap obat. Secara
umum, jika pengobatan intensif dilakukan secara teratur, dalam
kurun waktu 2 minggu, sebagian besar pasien Tuberkulosis yang
semula memiliki hasil positif pada uji BTA akan mengalami
perubahan menjadi negatif. Penting untuk mencatat bahwa
pengawasan intensif selama tahap ini memainkan peran krusial
dalam keberhasilan pengobatan Tuberkulosis. Lebih lanjut, dalam
2 bulan, sebagian besar dari mereka yang awalnya memiliki hasil
positif akan mengalami konversi menjadi hasil negatif,
menandakan respons positif terhadap terapi ( Kemenkes RI, 2020;
Kemenkes RI, 2014; Niswah, 2021).
2) Fase Lanjutan
Pada fase lanjutan pengobatan Tuberkulosis, klien akan menerima
jenis obat yang lebih sedikit dibandingkan dengan tahap intensif,
tetapi pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih
panjang. fase lanjutan ini memiliki peran penting dalam mengatasi
kuman persister yang mungkin masih ada, sehingga dapat
mencegah kemungkinan kembalinya infeksi Tuberkulosis. Selama
tahap lanjutan, obat-obatan yang digunakan dirancang untuk
memastikan bahwa semua sisa kuman Tuberkulosis yang mungkin
masih aktif dapat dieliminasi dengan efektif. Oleh karena itu,
pengobatan dalam tahap lanjutan ini menjadi langkah kunci dalam
memastikan kesembuhan yang berkelanjutan dan mencegah
kekambuhan penyakit Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2020;
Kemenkes RI, 2014; Wendy Farista, 2018).
2. Panduan Pengunaan OAT di Indonesia
Pedoman pengobatan Tuberkulosis yang diterapkan oleh Program
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia (Kemenkes RI,
2020; Kemenkes RI, 2014) mencakup:
a. Klasifikasi 1 (2HRZE/4H3R3)
Pedoman pengobatan Tuberkulosis ini disediakan khusus untuk
individu yang baru mengawali pengobatan :
1) Pasien yang mengidap Tuberkulosis Paru dengan hasil positif
pada uji BTA
2) Pasien Tuberkulosis Paru dengan hasil negatif pada uji BTA
tetapi gambaran thoraknya positif.
3) Pasien dengan Tuberkulosis Paru yang menunjukkan
manifestasi ekstra.
Tabel 2.4
Dosis OAT KDT untuk kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjut 3 Kali
Berat badan Selama 56 RHZE Seminggu Selama 16 Minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 table 4 KDT 2 table 2KDT
38 – 54 kg 3 table 4 KDT 3 table 2KDT
55-70 kg 4 table 4KDT 4 table 2KDT
≥71 kg 5 table 4KDT 5 table 2KDT
*Keterangan:
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Ethambutol
S = Streptomisin
b. Klasifikasi 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Pedoman pengobatan Tuberkulosis ini ditujukan kepada individu
yang sebelumnya telah menjalani pengobatan dan saat ini memiliki
hasil positif pada uji BTA (Kemenkes RI, 2020) :
1. Pasien yang mengalami kekambuhan.
2. Pasien yang tidak berhasil dalam pengobatan menggunakan
OAT klasifikasi 1.
3. Pasien yang memulai pengobatan kembali setelah
menghentikannya.
PROSEDUR TINDAKAN/BUKTI
Pengertian Melatih kemampuan batuk secara efektif untuk
membersihkan faring, trakea dan bronkus dari sekret atau
benda asing di jalan napas
Tujuan 1.Merangsang terbukanya sistem kolateral
2.Meningkatkan distribusi ventilasi
3.Meningkatkan volume paru
4.Memfasilitasi pembersihan saluran napas.
Mengidentifikasi 1. Mengkonfirmasi / Verifikasi identitas klien
klien 2. Mengidentifikasi kontra pemberian batuk efektif
Prosedur pelaksanaan 1. Identifikasi pasien menggunakan minimal dua identitas
(Nama lengkap, tanggal lahir, dan/atau nomor rekam
medis)
2. Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedur
3. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan:
a. Sarung tangan bersih, jika perlu
b. Tisu
c. Bengkok dengan cairan desinfektan
d. Suplai oksigen, jika perlu
e. Pengalas atau underpad
f. Air hangat
4. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah
5. Pasang sarung tangan bersih, jika perlu
6. Identifikasi kemampuan batuk
7. Atur posisi semi-Fowler dan Fowler
8. Lakukan Postural Drainase
9. Lakukan Clapping/Vibrasi
10. Anjurkan menarik napas melalui hidung selama 4
detik, menahan napas selama 2 detik, kemudian
menghembuskan napas dari mulut dengan bibir
dibulatkan (Mencucu) selama 8 detik
11. Anjurkan mengulangi tindakan menarik napas dan
hembuskan selama 3 kali
12. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik
napas dalam yang ke-3
13. Kolaborasi pemberian mukolitik dan ekspektoran,
jika perlu
14. Rapikan pasien dan alat-alat yang digunakan
15. Lepaskan sarung tangan
16. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah
17. Dokumentasikan prosedur yang telah dilakukan dan
respons pasien
Sumber: (PPNI,
2021).
BAB III
METODE PENELITIAN
Tabel 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Oprational
5. Bermanfaat (Beneficience)
Penelitian sebaiknya mencapai manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat
secara umum dan subjek penelitian secara khusus. Peneliti harus berusaha
meminimalkan dampak negatif yang dapat menimpa subjek penelitian.
Oleh karena itu, pelaksanaan penelitian harus memiliki kemampuan untuk
mencegah atau setidaknya mengurangi rasa sakit, cedera, stres, atau
bahkan kematian pada subjek penelitian (Dela Wulandari, 2021). Dalam
konteks penelitian ini, peneliti telah berupaya agar tidak ada pihak yang
mengalami kerugian dengan menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian
yang akan dilakukan kepada kedua responden. Melalui pelaksanaan
penelitian ini, diharapkan dapat mengurangi kemungkinan komplikasi
yang timbul akibat masalah ketidak-efektifan bersihan jalan napas yang
dialami oleh kedua klien (Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian, 2017; Luthfi Gusmanto P.W., 2020).
6. Kejujuran (Veracity)
Kejujuran merujuk pada kewajiban untuk mengungkapkan kebenaran.
Prinsip ini merupakan hal yang penting dalam pelayanan kesehatan karena
digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan informasi yang benar
kepada setiap pasien dan memastikan bahwa pasien benar-benar
memahaminya. Prinsip kejujuran memiliki keterkaitan erat dengan
kemampuan seseorang untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya
(Dela Wulandari, 2021) . Dalam konteks ini, peneliti menjamin integritas
dan kejujuran dengan cara menjelaskan secara akurat manfaat penelitian
yang akan dilakukan serta berusaha memberikan jawaban yang jujur
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh klien dan keluarga
yang berkaitan dengan kesehatan klien (Bassey E. Ekeng et al, 2022;
Wahyudi, 2018).