Anda di halaman 1dari 38

ASUHAN KEPERAWATAN BERSIH JALAN NAPAS TIDAK EFEKTIF

PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN TINDAKAN BATUK


EFEKTIF DI RSUD DR. DRAJAT PRAWIRANEGARA SERANG BANTEN
TAHUN 2023/2024

PROPOSAL KTI

WULAN PIANA
8801210071

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2023/2024
ASUHAN KEPERAWATAN BERSIH JALAN NAPAS TIDAK EFEKTIF
PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN TINDAKAN BATUK
EFEKTIF DI RSUD DR. DRAJAT PRAWIRANEGARA SERANG
BANTEN
TAHUN 2023/2024

PROPOSAL KTI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan
Menyelesaikan Pendidikan Program
Diploma III Keperawatan di Fakultas Kedokteran
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
WULAN PIANA
8801210071

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2023/2024

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Wulan Piana
NIM : 8801210071
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : Asuhan Keperawatan Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Pada Pasien Tuberckulosis Paru Dengan Tindakan Batuk
Efektif di RSUD Dr. Drajat Prawaranegara Serang
Banten

Menyatakan dengan sungguh-sungguh, bahwa karya ilmiah ini adalah milik saya.
Saya telah merujuk, dan mengutip semua sumber secara akurat. Apabila hasil
karya saya ditemukan plagiarisme, saya bersedia menerima hukuman apapun.

Serang, 09 September 2023


Yang menyatakan

Wulan Piana
NIM. 8801210071

LEMBAR PERSETUJUAN SEMINAR SIDANG PROPOSAL


Nama : Wulan Piana
NIM : 8801210071
Program Studi : DIII Keperawatan
Fakultas : Fakultas Kedokteran
Judul : Asuhan Keperawatan Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Pada Pasien Tuberckulosis Paru Dengan Tindakan Batuk
Efektif di RSUD Dr. Drajat Prawaranegara Serang
Banten

Disetujui untuk Seminar Hasil Karya Tulis Ilmiah (KTI), pada:


Hari/ Tanggal :

Serang, 2023
Disetujui oleh,
Dosen Pembimbing

Ns. Rizky Rachmatullah, S.Kep., M.Kep., Sp. Kep. Kom


NIP.20220103215

HALAMAN PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Pada Pasien


Tuberkulosis Paru Dengan Tindakan Batuk Efektif Di RSUD Dr. Drajat
Prawiranegara Serang Banten

Karya Tulis Ilmiah ini telah diamankan dihadapkan penguji dan diakui sebagai
salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi Diploma
III Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Serang, ………… 2023

Dewan Penguji Tanda Tangan


1. Penguji I
Ns. Eli Amaliyah, S.Pd., S.Kep., M.MKes. Ph. D (
)
NIP. 1969112119881120012

2. Penguji II
Ns. Rizky Rachmatullah, S.Kep., M.Kep., Sp. Kep. Kom (
)
NIP. 20220103215

Mengesahkan,
Ketua Program Studi DIII Keperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Epi Rustiawati, M.Kep., Sp.Kep.MB
NIP. 197811042005022001
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah dengan
judul “Asuhan Keperawatan Bersih Jalan Napas Tidak Efektif Pada Pasien
Tuberkulosis Paru Dengan Tindakan Melatihan Batuk Efektif Di RSDP Serang
Banten” setelah mengucap syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
arahannya . Karya Tulis Ilmiah kontekstual telah siap sebagai salah satu prasyarat
untuk menyelesaikan pendidikan akhir pada program studi Diploma III
Keperawatan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis memahami bahwa
penulisan ini, dapat terselesaikan tepat waktu berkat bantuan dari beberapa pihak.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
berikut:
1. Dr. H. Fatah Sulaeman S.T., M.T selaku Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
2. Dr. dr. Siti Farida, M.Kes., Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Epi Rustiawati, M.Kep., Sp.Kep.MB selaku ketua Prodi Diploma III
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Ns. Rizky Rachmatullah, S.Kep., M.Kep., Sp. Kep. Komselaku Dosen
Pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, arahan, dan dukungan
kepada penulis. Sehingga, laporan karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan
dengan tepat waktu.
5. Hj. Ns. Eli Amaliyah, S.Pd., S.Kep., M.MKes. Ph. D selaku Dosen Penguji.
6. Ayahanda H.Jamani, beliau memang tidak sempat merasakan pendidikan
sampai bangku perkuliahan. Namun, beliau mampu mendidik, memotivasi
memberikan dukungan hingga penulisan mampu menyelesaikan studinya
sampai “Diploma III Keperawatan”.
7. Ibunda Hj.Sukaesih, beliau sangat berperan penting dalam menyelesaikan
program studi penulis. Beliau juga, memang tidak sempat merasakan
pendidikan sampai dibangku perkuliahan, tapi semangat, memotivasi serta do’a
yang selalu beliau berikan. Sehingga, penulisan mampu menyelesaikan
studinya sampai “Diploma III Keperawatan”.
8. Untuk ke tiga kakakku, Refirohmansyah, Yudi Saputra, Dewi Hasanah dan
untuk ke dua adikku, Arini Selviana, Selpi Ayu Winda terima kasih sudah
mendukung dan menjadi alasan beberapa bulan meninggalkan rumah demi
menempuh Pendidikan di bangku perkuliahan.
9. Nenek dan sodara sodara dipihak ayah ataupun ibu yang sangat ingin melihat
penulis sampai kejenjang “Diploma III Keperawatan.” Beliau tak hentinya
mengingatkan penulis untuk selalu rajin, tekun selama menjalankan studi ini.
Sehingga, perkataan beliau yang selalu melekat di ingatan penulis.
10. Teman-teman dan rekan Angkatan 2021 mahasiswa Diploma III
Keperawatan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
11. Serta saya tidak dapat menyebutkan satu persatu semua pihak-pihak yang
berkontribusi dalam terciptanya karya tulis ilmiah ini.
Penulis memahami bahwa Karya Tulis Ilmiah ini, sebenarnya memiliki banyak
kelemahan dan tidak bisa dibilang sempurna. Sehingga, penulis memberikan
kesempatan untuk memberikan analisis dan ide-ide yang berharga untuk
mengerjakan tulisan di Karya Tulis Ilmiah.

Serang, 09 September 2023


Yang menyatakan
Wulan Piana
NIM. 8801210071

BIODATA

Nama : Wulan Piana


Tempat, Tanggal lahir : Lebak, 03 Maret 2023
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Gerendeng, Rt/Rw 010/003
Ds.Tamansari, Kec. Banjarsari, Kab.Lebak.
Prov. Banten
Riwayat Pendidikan : 1. Lulusan SD Negeri 2 Tamansari
tahun
2015
2. Lulusan SMP Negeri 1 Banjarsari tahun
2018
3. Lulusan SMA Negeri 1 Banjarsari tahun
2021
4. Menjalankan Pendidikan Diploma III
Keperawatan Di Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa Sejak 2021 Sampai
Sekarang.

Motto Hidup

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORIGINALITAS i
LEMBAR PERSETUJUAN SEMINAR SIDANG PROPOSAL ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
BIODATA vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Studi Kasus 4
1.3.1. Tujuan Umum 4

1.3.2 Tujuan Khusus 5

1.4 Manfaat Studi Kasus 5


1.4.1 Bagi Perkembangan Ilmu 5

1.4.2. Bagi Masyarakat 5

1.4.3. Bagi Pasien dan Keluarga 6

1.4.4. Bagi Institusi 6

1.4.5. Bagi RS Terkait 6

1.4.6. Bagi Peneliti dan Penulis 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7


2.1 Konsep Asuhan Keperawatan 7
2.1.1 Pengkajian Keperawatan 7

2.1.2 Analisa Data 15

2.1.3 Diagnosa Keperawatan 16

2.1.4 Intervensi Keperawatan 17

2.1.5. Pelaksanaan/ Implementasi Keperawatan 19

2.2 Prinsip Dasar Penyakit 20


2.2.1 Definisi Tuberkulosis Paru 20

2.2.3 Patofisiologi 22

2.2.3 Pathway Tuberkulosis 23

2.2.4 Etiologi 25

2.2.5 Penatalaksanaan Medis 26

2.2.6 Manifestasi Klinis 35

2.2.7 Komplikasi Tuberkulosis Paru 38

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang 38

2.3 Tindakan Keperawatan 40


2.3.1 Pengertian Batuk Efektif 40

2.3.2 Tujuan Batuk Efektif 42

2.3.3 Pengeluaran lendir dengan batuk yang efektif 43

2.3.4. Prosedur Pelaksanaan Batuk Efekti 44

BAB III METODE PENELITIAN 46


3.1 Metode Penelitian 46
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 47
3.2.1 Tempat Penelitian 47

3.2.2 Waktu Penelitian 47

3.3 Subjek Penelitian 47


3.4 Fokus Studi 48
3.5 Definisi Operasional 48
3.6 Instrumen Penelitian 49
3.7 Metode Pengumpulan Data 49
3.8 Etika Studi Kasus 51
3.9 Langkah-langkah Pengumpulan Data 54
3.10 Metode Analisis Data 55
DAFTAR PUSTAKA 57

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perencanaan Keperawatan 18
Tabel 2.2 Implementasi Keperawatan 19

Tabel 2.3 Jenis Efek Samping OAT 27

Tabel 2.4 Dosis OAT KDT Kntuk Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) 29

Tabel 2.5 Dosis OAT KDT Untuk Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)


30

Tabel 2.6 Dosis KDT Sisipan 31

Tabel 2.7 Dosis OAT Pada Anak 32

Tabel 3.1 Definisi Operasional 48

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mikroorganisme Mycobacterium Tuberculosis Pada Paru 22
Gambar 2.2 Batuk Efektif 42

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi bakteri yang mengganggu sistem pernapasan, disebut tuberkulosis
(TB). TB menyebar melalui saluran pernapasan, dapat disebabkan oleh basil
Mycobacterium Tuberculosis yang berbentuk batangan (Marcelo Fouad
Rabahi, 2017). Salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia adalah
tuberkulosis, yang merupakan masalah kesehatan global yang serius
(Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian, 2017). Biasanya, mikroba Mycobacterium Tuberculosis akan
lebih sering menyerang organ paru-paru, Namun, tidak terbatas hanya pada
paru-paru saja. Beberapa penelitian, menunjukkan bahwa peningkatan kasus
tuberkulosis paru disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya kurangnya
upaya penemuan dini, berakhirnya pengobatan, tidak adanya tanggung jawab
korban untuk menjalani pengobatan, dan meningkatnya resistensi akibat
penyakit tersebut. Normal organisme mikroskopis Mycobacterium
Tuberculosis pada umumnya menyerang paru-paru, selain organ paru-paru
bakteri tersebut juga menyerang berbagai organ. Meningkatnya kejadian
tuberkulosis paru, berdasarkan beberapa pemeriksaan disebabkan oleh tidak
adanya lokasi awal, gangguan pengobatan, tidak adanya kesungguhan pasien
dalam mencari pengobatan, dan maraknya hambatan akibat pemberontakan
penyerahan (Marcelo Fouad Rabahi, 2017; Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian, 2017; Nisa, S.M., dan
P.S., Y.D, 2016).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tuberkulosis merenggut nyawa
sekitar 1.3 juta orang pada tahun 2017 dan menambah penderitaan 10.4 juta
orang di seluruh dunia. Mayoritas kasus tuberkulosis pada tahun 2016 terjadi
di Afrika (25%), Asia Tenggara (45%), dan Pasifik Barat. India berada di
peringkat kedua dengan jumlah kasus terbanyak di dunia, setelah India dan
diikuti oleh Tiongkok. Sekitar 400 orang dari setiap 100.000 penduduk
Indonesia positif terdiagnosis TBC paru, dengan angka prevalensi tertinggi
berada di Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo
(0.5%), Banten (0.4%), Papua Barat (0.4%), dan Sumatera Barat (0.2%).
Metodologi masyarakat untuk mengatasi masalah Tuberkulosis di Indonesia,
telah dituangkan dalam rencana Dinas Kesejahteraan untuk periode 2015-
2019 yang diharapkan dapat menurunkan angka prevalensi tuberkulosis dari
297 untuk setiap 100.000 penduduk pada tahun 2015 menjadi 245 untuk
setiap 100.000 penduduk pada tahun 2019 (World Wellbeing Association
(WHO), 2017; Indonesia Service of Wellbeing, 2018; Kemenkes RI, 2018).
Berdasarkan Laporan TBC Global tahun 2017, WHO memperkirakan
terdapat 842.000 kasus tuberkulosis di Indonesia dengan 107.000 kematian.
Sejak dengan informasi tersebut, Indonesia telah menjadi negara dengan
tuberkulosis tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan disusul oleh
Tiongkok. Menurut
(Riskesdas, 2018), menunjukkan bahwa Provinsi Banten memiliki prevalensi
tuberkulosis paru tertinggi di Indonesia. Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
yang mempunyai CNR TB BTA positif pada tahun 2019 adalah Kabupaten
Tangerang yang mempunyai CNR sebesar 6.089 per 100.000 penduduk. Kota
Tangsel memiliki CNR sebesar 3.844 per 100.000 penduduk, dan Kabupaten
Serang memiliki CNR sebesar 3.568 per 100.000 penduduk. Kota Serang
memiliki angka positif CNR TB BTA terendah yaitu 32 per 100.000
penduduk, disusul Kota Cilegon 1.294 dan Kota Tangerang masing-masing
2.150 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2019, ahli bakteriologi memastikan
angka kesembuhan tuberkulosis dengan Kabupaten Tangerang melaporkan
jumlah pasien tertinggi sebanyak 1.784 pasien. Wilayah dengan Tingkat
pengobatan lengkap tertinggi untuk semua kasus TBC adalah Rezim
Pandeglang dengan 76.2% dari jumlah kasus TBC yang lengkap yang
terdaftar dan telah ditangani. (SAP Sayekti, Nunuk Nugrohowati, Winda
Lestari, 2020; Kemenkes RI, 2018: World Health Organization (WHO),
2017).
Masalah Keperawatan, pada karya tulis ilmiah mengenai tuberkulosis salah
satunya tentang bersihan jalan napas yang tidak efektif. Sehingga, dapat
mengganggu sistem oksigenasi tubuh dan mengganggu pertukaran oksigen
dan karbon dioksida antara darah dan udara sekitarnya. Hal tersebut,
membentuk karbon dioksida yang aktif secara metabolik dan harus
dikeluarkan oleh tubuh (Mutiyani, T., Sumarni, T., & Wirakhmi, I. N., 2021).
Keluhan batuk yang berkepanjangan disertai dengan keluarnya sekresi adalah
salah satu gejala awal tuberkulosis paru dan sering terjadi (Masting, K.,
Syafar, M., & Yusuf, A. , 2021). Dalam jurnal berjudul "The Echo of
Pulmonary Tuberculosis: Mechanisms of Clinical Symptoms and Other
Disease-Induced Systemic Complications" yang diterbitkan dalam jurnal
Clinical Microbiology Review (Luies, L., & Preez, I. du, 2020), dibahas
mengenai mekanisme gejala yang berkaitan dengan penyakit dan komplikasi
sistemik lainnya. Penumpukan sekresi di saluran pernapasan bawah dapat
membuat batuk lebih sulit dan menghalangi saluran udara, batuk yang efektif
menghilangkan sekresi dengan usaha (Luies & Preez, 2020). Menurut
(Karyanto, R., & Laili, N, 2018) batuk yang efektif adalah prosedur
keperawatan yang membersihkan saluran udara dan meningkatkan
pergerakan sekresi. Batuk dengan efektif menghemat energi karena
dampaknya pada pemrosesan pada awal minggu, yang mengakibatkan
hilangnya nutrisi, terutama kalori (Lestari, E. D., Umara, A. F., & Immawati,
S. A., 2020). Menurut (Puspitasari, F., Purwono, J., & Immawati., 2021)
dalam jurnal akademik yang berjudul "Penerapan Teknik Batuk Efektif Untuk
Mengatasi Masalah Keperawatan Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Pada
Pasien Tuberkulosis Paru", banyak orang menderita tuberkulosis paru dan
mengalami batuk yang tidak efektif, yang dapat memperburuk kondisi karena
seringnya batuk dan merusak struktur lembut paru-paru, tenggorokan, dan
pita suara (Puspitasari, F., Purwono, J., & Immawati., 2021). Batuk yang
efektif penting bagi pasien tuberkulosis, dan informasi yang benar tentang
teknik batuk yang efektif diberikan, serta pelatihan penggunaan teknik batuk
yang efektif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan batuk yang efektif
(Puspitasari, 2019). Orang yang tidak mampu batuk dapat menggunakan
teknik batuk yang efektif untuk membersihkan saluran napas laring, trakea,
dan bronkiolus dari cairan atau benda asing (Fatimah, S., & Syamsudin,
2019).
Pada penelitian sebelumnya, batuk efektif menjadi tujuan pada pasien
tuberkulosis paru yang mempunyai masalah bersihan jalan napas tidak
efektif. Kajian tersebut berlangsung pada tahun 2022 hingga 2023, setelah
dimulainya era New Normal. Isi dari penelitian tersebut mengandung
beberapa proses keperawatan yaitu teknik pendekatan yang berbeda dengan
penulis lakukan akibat dari sistem imunitas dan perkembangan dari suatu
penyakit baru pada periode 2023-2024. ( tinggal data rumah sakit )
Hasil penelitian, menyebutkan bahwa Tindakan Latihan batuk efektif masalah
keperawatan pada pasien 1 dan pasien 2 dapat teratasi dihari ke 4 asuhan
keperawatan. Selain itu, berdasarkan studi pendekatan yang penulis dapat dari
penulis tertarik untuk melakukan penelitian studi kasus dengan mengangkat
masalah ini dalam pembuatan proposal dengan judul “Asuhan Keperawatan
Bersih Jalan Napas Tidak Efektif Pada Pasien Tuberkulosis Paru Dengan
Tindakan Batuk Efektif Di RSUD Dr. Drajat Prawiranegara Serang Banten”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah studi
kasus ini adalah bagaimana Asuhan Keperawatan dengan tindakan melatih
batuk efektif dapat mengurangi masalah bersihan pada jalan napas pada pasien
Tuberkulosis Paru di RSUD Dr Drajat Prawiranegara Serang Banten.

1.3 Tujuan Studi Kasus


1.3.1. Tujuan Umum
Dapat mengambarkan tentang Asuhan Keperawatan Bersih Jalan Napas
Tidak Efektif Pada Pasien Tuberculosis Paru Dengan Tindakan Batuk
Efektif.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan Pengkajian Asuhan Keperawatan Bersih Jalan Napas
Tidak Efektif Pada Pasien Tuberculosis Paru (TB) Dengan Tindakan
Batuk Efektif.
2. Merumuskan Diagnosa Asuhan Keperawatan Bersih Jalan Napas
Tidak Efektif Pada Pasien Tuberculosis Paru (TB) Dengan Tindakan
Batuk Efektif.
3. Menyusun Intervensi Asuhan Keperawatan Bersih Jalan Napas Tidak
Efektif Pada Pasien Tuberculosis Paru (TB) Dengan Tindakan Batuk
Efektif.
4. Melaksanakan Implementasi Asuhan Keperawatan Bersih Jalan Napas
Tidak Efektif Pada Pasien Tuberculosis Paru (TB) Dengan Tindakan
Batuk Efektif.
5. Melakukan Evaluasi Asuhan Keperawatan Bersih Jalan Napas Tidak
Efektif Pada Pasien Tuberculosis Paru (TB) Dengan Tindakan Batuk
Efektif.
1.4 Manfaat Studi Kasus
1.4.1 Bagi Perkembangan Ilmu
Demi kemajuan ilmu pengetahuan sebagai sumber informasi untuk
meningkatkan pemahaman topik ilmu kesehatan terkait pengobatan pasien
tuberkulosis paru yang mempunyai permasalahan ketidakefisienan
bersihan jalan napas, khususnya dalam teknik batuk yang efektif.
1.4.2. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat umum sebagai informasi tentang pentingnya kesehatan
yang baik dan upaya mencegah penyakit serius, serta penggunaan strategi
peretasan yang efektif untuk membantu mengatasi masalah keluarnya
lender.
1.4.3. Bagi Pasien dan Keluarga
Pasien dan keluarga mendapatkan data dan informasi mengenai kurangnya
pelayanan kebersihan jalur penerbangan dengan estimasi peretasan yang
layak pada pasien tuberkulosis paru.
1.4.4. Bagi Institusi
Temuan penelitian ini, dapat dikonsultasikan di perpustakaan. Sebagai
referensi, pada Program Diploma III Keperawatan Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa. Sekaligus, dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk
Mahasiswa/I Diploma III Keperawatan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
dalam melakukan penelitian serupa
1.4.5. Bagi RS Terkait
Seluruh jajaran tim kesehatan, akan mendapatkan wawasan dan
pengetahuan dari hasil penelitian yang berfokus pada pemeliharaan
kebersihan saluran pernafasan yang tidak berhasil. Serta, tindakan batuk
yang efektif pada pasien tuberkulosis paru.
1.4.6. Bagi Peneliti dan Penulis
Temuan-temuan penelitian ini, berpotensi menjadi landasan atau data
pendukung bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Khususnya, yang
berkaitan dengan pemeliharaan dan juga dapat menjadi rujukan, sumber,
dan bahan acuan bagi para peneliti saat ini. Sehingga, dapat dijadikan acuan
untuk dikembangkan lebih lanjut pada materi lain untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran. Ketika penderita tuberkulosis paru batuk secara
efektif, perlindungan untuk membersihkan jalan napas menjadi tidak
efektif. Terlebih lagi, bagi penciptanya sendiri konsekuensi dari eksplorasi
ini dapat menjadi peluang berkembangnya dalam menggarap informasi dan
kemampuan penciptanya, khususnya di bidang penelitian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan


2.1.1 Pengkajian Keperawatan
Langkah pertama, dalam memberikan asuhan keperawatan adalah
pengkajian. Pengkajian dengan cara, dengan mengumpulkan data kesehatan
pasien secara metodis, komprehensif, akurat, jelas, dan berkelanjutan.
Evaluasi terdiri dari, penilaian screening dan belajar di dalam dan di luar.
Studi penyaringan dilakukan, saat pengambilan keputusan keadaan yang
khas atau aneh. Evaluasi mendalam, akan dilakukan untuk menentukan
diagnosis yang tepat jika ada data yang tidak normal (Bassey E. Ekeng et al
, 2022; Olfah, Yustiana & Abdul Ghofur, 2016; Kartikasari, Fitriana, 2020)
1. Data Pasien
Tuberkulosis pneumonia adalah penyakit yang dapat hilang kapan saja
pada siapa saja, tanpa memperhatikan orientasi atau usia. Penyakit ini
dapat menyerang anak-anak dan orang dewasa, menunjukkan betapa
seriusnya dampaknya pada kelompok usia yang berbeda. Orang-orang
yang tinggal di daerah padat penduduk, dimana jumlah sinar matahari
yang sampai ke rumahnya sangat terbatas lebih mungkin menderita
kondisi ini. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah dan mengobati
tuberkulosis aspirasi sangat penting untuk melindungi individu yang
berisiko tinggi tertular penyakit ini (Ardhitya Sejati & Liena Sofiana,
2015; Tri Dewi Kristini & Rana Hamidah, 2020).
2. Keluhan Utama
Penting untuk mengenali tanda dan gejala gangguan sistem pernafasan,
agar dapat mengetahui kondisi pasien dan menilainya. Keluhan utama
pada penderita tuberculosis, dengan masalah kebersihan jalan napas tidak
efektif seperti sesak napas, sesak napas, sesak, keringat dingin, mual,
penyumbatan jalur pernafasan dan kelemahan otot pernafasan. Reaksi
yang bersifat menular dan inflamasi, serta menyebabkan kerusakan pada
parenkim paru. Hal ini, menyebabkan produksi dahak berlebihan.
Sehingga, menyumbat saluran pernapasan dan menyulitkan oksigen untuk
mencapai jaringan. Akibatnya, oksigenasi dan pembersihan jalan napas
terganggu ( Sally E Hayward et al , 2022; Kemenkes RI, 2020; Rofii, M.,
Warsito, B. E., Santoso, A., & Ulliya, S., 2018; Elin Erlina, 2020).
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Penting untuk mengenali tanda dan gejala gangguan sistem pernafasan,
agar dapat mengetahui kondisi pasien dan menilainya. Keluhan utama
pada penderita tuberkulosis, dengan masalah kebersihan jalan napas tidak
efektif seperti sesak napas, sesak napas, sesak, keringat dingin, mual,
penyumbatan jalur pernafasan dan kelemahan otot pernafasan. Reaksi
yang bersifat menular dan inflamasi, serta menyebabkan kerusakan pada
parenkim paru. Hal ini, menyebabkan produksi dahak berlebihan.
Sehingga, menyumbat saluran pernapasan dan menyulitkan oksigen untuk
mencapai jaringan. Akibatnya, oksigenasi dan pembersihan jalan napas
terganggu (Kemenkes RI, 2020; Ardhitya Sejati & Liena Sofiana, 2015;
Elin Erlina, 2020; Sally E Hayward et al , 2022).
1) Paliatif (Provokatif)
Kesulitan bernafas dan sesak nafas terjadi, ketika virus
Mycobacterium Tuberkulosis menyerang paru-paru. Sehingga, dapat
menyebabkan alveolus mengalami konsolidasi dan eksudasi.
2) Quality (Kualitas)
Pasien tuberkulosis paru, sering mengalami sesak yang mirip
dengan rasa berat di dada, disertai dengan suara mengi, penggunaan
otot bantu pernapasan, sesak napas, dan ketidaknyamanan di dada.
3) Region (Daerah)
Biasanya, pasien merasakan sesak napas di daerah dada dan tidak
merambat ke bagian tubuh lainnya.
4) Severity (Keparahan)
Sesak napas yang dirasakan oleh pasien, dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari mereka.
5) Time (Waktu)
Sesak napas dapat terjadi kapan saja atau saat melakukan berbagai
aktivitas.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Evaluasi yang cermat, melibatkan pemeriksaan apakah pasien
sebelumnya pernah mengalami Tuberkulosis (TB). Berdampak pada
pasien melaporkan batuk yang berkepanjangan, Tuberkulosis yang
berasal dari organ lain, pembesaran kelenjar getah bening, dan kondisi-
kondisi yang mungkin memperburuk tuberkulosis paru, seperti diabetes
mellitus. Penting untuk menanyakan tentang obat-obatan, yang pernah
dikonsumsi oleh pasien dalam waktu dekat. Salah satunya, termasuk obat
OAT dan obat pereda batuk. Catat jika sebelumnya, terjadi efek samping
atau reaksi yang merugikan akibat penggunaan obat-obatan tersebut.
Selain itu, tanyakan tentang alergi atau sensitivitas terhadap obat. Karena
terkadang pasien, bisa salah mengira reaksi alergi sebagai efek samping
obat. Perlu juga melakukan penyelidikan lebih mendalam, terkait sejauh
mana penurunan berat badan dalam enam bulan terakhir. Penurunan berat
badan ini, erat kaitannya dengan perkembangan tuberkulosis paru dan
dapat menyebabkan gejala seperti anoreksia dan mual, yang sering terkait
dengan penggunaan obat OAT (Ardhitya Sejati & Liena Sofiana, 2015;
Elin Erlina, 2020; Kemenkes RI, 2020; Fatemeh Zeynali kelishomi et al,
2022).
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dari sudut pandang patologis, tuberkulosis (TB) bukanlah kondisi yang
diwariskan secara genetik. Namun, sangat penting bagi penyedia layanan
kesehatan untuk menanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah
mengalami penyakit ini sebelumnya. Karena hal, ini dapat menjadi faktor
potensial dalam penularannya di dalam rumah tangga. Menilai riwayat
medis keluarga memiliki signifikansi, terutama dalam memperkuat gejala
yang dilaporkan oleh pasien. Hal yang perlu diperiksa adalah riwayat
medis keluarga yang mungkin menjadi faktor predisposisi terhadap
gejala, termasuk riwayat kesulitan bernafas, batuk yang berkepanjangan
dan berlarut-larut, atau kejadian batuk berdarah pada generasi
sebelumnya (Elin Erlina, 2020; Tri Dewi Kristini & Rana Hamidah,
2020).
6. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda Vital
Berikut tanda-tanda vital, yang dialami pasien pengidap
Tuberkulosis (Wa Ode Zamni, 2018; Wendy Farista, 2018; Fajar
Bagaskara, 2019) :
1) Kondisi Umum: Umumnya, individu yang mengidap penyakit
ini sering merasa lelah selama aktivitas fisik dan mengalami
rasa kelemahan.
2) Kesadaran Mental: Tingkat kesadaran bervariasi tergantung
pada tahap penyakit dan tingkat keparahannya. Pada tahap
awal, kewaspadaan mental biasanya tetap terjaga, tetapi pada
tahap lanjut, kesadaran bisa menurun menjadi tahap setengah-
koma atau bahkan koma total.
3) Tekanan Darah: Pada kasus tuberkulosis paru, tingkat tekanan
darah cenderung berada dalam rentang normal, meskipun bisa
bervariasi tergantung pada tingkat kesadaran.
4) Detak Jantung: Umumnya, detak jantung tetap normal pada
individu dengan tuberkulosis paru; namun, beberapa orang
mungkin mengalami peningkatan detak jantung (Takikardia)
akibat kesulitan pernapasan dan sesak napas.
5) Suhu Tubuh: Secara umum, suhu tubuh bisa berkisar dari
sedikit meningkat (Subfebris) hingga demam, dengan suhu
yang melebihi 40 Celsius.
6) Pernapasan: Secara umum, individu dengan tuberkulosis paru
sering mengalami pernapasan yang cepat (Takipnea) atau
kesulitan bernapas (Dispnea).
b. Pemeriksaan Fisik
Berikut pemeriksan fisik, pada pasien pengidap Tuberkulosis
(Wendy Farista, 2018; Fajar Bagaskara, 2019) :
1) Sistem pernapasan
a) Observasi: Tubuh tampak kurus, paru-paru terkena
penyakit mengecil dan menarik isi mediastinum atau paru-
paru lainnya. Pada tuberkulosis paru yang sudah lanjut
dengan fibrosis, sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-
otot interkostal yang meluas (Dela Wulandari, 2021;
Kemenkes RI, 2020).
b) Pemeriksaan dengan menyentuh dan memukul (Palpasi
dan perkusi) : Pada tuberkulosis paru yang tidak
komplikasi, saat menyentuh, tidak ada gerakan dada ketika
bernapas seimbang antara kanan dan kiri. Suara
pemukulan yang samar jika ada infiltrasi, suara
pemukulan menjadi sangat beresonan atau timpanik jika
ada rongga yang cukup besar dan suara pemukulan
terdengar redup hingga kurang jelas jika bakteri
Tuberkulosis memengaruhi pleura (Dela Wulandari, 2021;
Kemenkes RI, 2020).
c) Pemeriksaan dengan mendengarkan (Auskultasi) : Suara
napas bronkial hingga ada suara tambahan berupa ronki
basah atau kasar (Wendy Farista, 2018; Fajar Bagaskara,
2019).
2) Sistem Kardiovaskular
a) Pemeriksaan: Konjungtiva yang anemis, warna kulit yang
pucat. Jika ada Jaringan fibrosis sangat luas, lebih dari
setengah total jaringan Ada sianosis di paru-paru,
peningkatan tekanan vena jugularis, asites dan terdapat
edema (Dela Wulandari, 2021; Kemenkes RI, 2020).
b) Pemeriksaan dengan menyentuh dan memukul:
Hepatomegali terjadi jika ada jaringan fibrosis yang sangat
luas mencakup lebih dari setengah jaringan paru-paru.
c) Pemeriksaan dengan mendengarkan: Suara P2 menjadi
keras, ventrikel kanan. atrium kanan gallop, muncul bunyi
murmur graham stell jika ada jaringan fibrosis yang
mencakup lebih dari setengah jaringan paru-paru (Fajar
Bagaskara, 2019; Niswah: 2021).
3) Sistem Abdomen
a) Inspeksi : Terlihat simetris
b) Palpasi : Tidak terjadinya pembesaran pada Hepar
c) Perkusi : Terdengar suara Timpani
d) Auskultasi: tidak terdengar bising usus pasien (Elin Erlina,
2020; Niswah: 2021).
4) Reproduksibilitas Sistem
a) Wawasan: Tidak ada lesi, pendataran kemaluan, atau
jaringan parut (Luies, L., & Preez, I. du, 2020; Kemenkes
RI, 2020).
b) Palpasi, Tidak ada nyeri tekan dan perilaku abnormal
(Fajar Bagaskara, 2019; Niswah: 2021)..
5) Sistem Kemih
Biasanya ditemukan kencing berwarna kemerahan sebagai
efek samping obat tuberkulosis paru (Fajar Bagaskara, 2019;
Niswah: 2021)..
6) Sistem Endokrin
Umumnya hipermetabolisme dapat ditemukan karenanya
infeksi, pembesaran kelenjar getah bening, peningkatan gula
darah (Fajar Bagaskara, 2019; Niswah: 2021).
7) Sistem Muskuloskeletal
Dapat digunakan untuk mengobati berbagai kondisi, termasuk
nyeri punggung, tonus otot, dan nyeri lutut (Fajar Bagaskara,
2019; Niswah: 2021)..
8) Sistem Integumen
Inspeksi : Sianosis perifer disebabkan oleh adanya aliran dari
perifer, turgor kulit disebabkan oleh dehidrasi (Fajar
Bagaskara, 2019; Niswah: 2021).
7. Data Psikologi, Data Sosial dan Data Spiritual
a. Data Psikologi
Berikut data psikologi yang dialami pasien Tuberkulosis (Fajar
Bagaskara, 2019; Niswah: 2021; Dela Wulandari, 2021) :
1) Status Emosi Jika seseorang mempunyai kendali emosi,
karena saat ini hal itu tidak masuk akal, dan karena itulah
yang dia lakukan untuk mengendalikan situasi.
2) Tingkat Kecemasan Klien
Pasien mengalami tingkat kecemasan ringan, sedang, berat,
atau panik. Penderita tuberkulosis biasanya mengalami
kecemasan berat akibat proses pengobatan yang lama.
Pasien setiap kali ada dering, panik, atau berat.
3) Konsep Diri
a) Citra tubuh
Tanyakan persepsi pasien terhadap citra tubuh, bagian
tubuh yang disukai dan tidak disukai. Penderita
tuberkulosis biasanya mempunyai kecemasan yang berat
karena menjalani pengobatan membutuhkan waktu yang
lama
b) Identitas diri
Tanyakan status dan posisi pasien (sekolah, tempat kerja,
kelompok) apakah klien puas dengan posisi atau status
itu, dan apakah klien puas sebagai laki-laki atau Wanita.
c) Peran Pasien
Peran dan kemampuan pasien dalam melaksanakan tugas
(Keluarga, masyarakat) akan terganggu dengan hal ini
penyakit.
d) Diri Ideal
Ekspektasi tubuh, posisi dan lingkungan.
e) Harga diri
Penilaian atau diberikan kepada orang lain terhadap
dirinya dan hidupnya. Penyakit ini dapat menyebabkan
rendahnya harga diri terhadap pasien.
f) Mekanisme yang digunakan
Sebelumnya menggunakan mekanisme pertahanan diri
penyakit dan sebelum penyakit seperti adaptif atau
maladaptive berbicara dengan orang lain, minum
alkohol, dll. Penyakit ini memerlukan pengobatan selama
kurang lebih 9 bulan. Hal ini menyebabkan coping
menjadi tidak efektif karena tidak efektif mematuhi
pengobatan. Sehingga menimbulkan penyakit yang lebih
parah.
b. Data Sosial
Berikut data sosial yang dialami pasien Tuberkulosis (Wendy
Farista, 2018; Wa Ode Zamni, 2018; Niswah, 2021).
1. Metode Komunikasi
Bagaimana orang berkomunikasi, apakah mereka berbicara
dengan aktif, tenang, atau hati-hati, apakah mereka
merespon secara spontan, menolak, atau merespons dengan
baik, dan bagaimana bahasa nonverbal mereka, termasuk
bahasa tubuh, komunikasi yang efektif, dan kerja sama
dalam komunikasi.
2. Metode Interaksi
Bagaimana reaksi yang muncul, apakah interaksinya positif
atau negatif, ada tindakan agresif, atau apakah ada isu yang
muncul dalam proses interaksi.
c. Data Spiritual
Berikut data spiritual, yang dialami pasien Tuberkulosis ( Dela
Wulandari, 2021; Ratnasari et al, 2021; Azhifah Tsabiet
Sudarsono, 2023):
1. Motivasi religi, terlibat dalam kegiatan keagamaan atau
aktivitas spiritual bisa memberikan dukungan emosional
dan rasa nyaman yang sangat dibutuhkan bagi individu
yang tengah menghadapi penyakit serius seperti TBC.
2. Apakah pasien percaya bahwa penyakitnya bisa sembuh,
tergantung pada iman dan usahanya. Ini juga bergantung
pada keyakinan klien tentang penyakit spesifik yang
mereka hadapi, serta interpretasi pribadi mereka tentang
kondisi mereka. Apa pemahaman klien tentang
penyakitnya, apakah mereka melihatnya sebagai ujian
kehidupan atau peringatan ilahi dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Tidak jarang bagi pasien tuberkulosis untuk percaya
bahwa penyakit tersebut memiliki asal-usul supranatural,
seperti sihir.
3. Pelaksanaan praktik keagamaan sebelum dan selama
perawatan,bagaimana praktik ibadah sehari-hari sebelum
terkena penyakit dan selama menjalani sakit, apakah
terdapat perubahan dalam rutinitas ibadah, masalah baru
yang muncul, atau hal-hal lain yang berhubungan dengan
hal ini.
2.1.2 Analisa Data
Dalam bidang praktik keperawatan yang berorientasi pada memberikan
pelayanan terbaik kepada pasien, pengelolaan data menjadi informasi yang
berguna memiliki peran yang sangat penting. Proses ini seringkali
melibatkan peninjauan kembali atau penambahan evaluasi terhadap data
yang telah terkumpul sebelumnya. Salah satu tujuan utama dari pengelolaan
data adalah untuk menetapkan diagnosis keperawatan yang tepat. Agar hal
ini tercapai, perawat harus melakukan langkah pembenaran data terhadap
informasi yang telah dikumpulkan sebelumnya. Pembenaran data dilakukan
melalui perbandingan antara informasi subjektif yang diberikan oleh pasien
dengan data objektif yang telah didokumentasikan selama pengamatan dan
pemeriksaan. Signifikansi dari perbandingan ini adalah untuk menilai
apakah data subjektif dan objektif yang ada sesuai dengan standar normal
atau nilai-nilai yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, perawat harus
memastikan bahwa data yang dikumpulkan mencerminkan kondisi
kesehatan pasien yang sebenarnya, dan jika terdapat perbedaan yang
bermakna, perawat harus mencari pemahaman yang lebih mendalam.
Penting untuk diingat bahwa pengelolaan data adalah langkah awal yang
krusial dalam proses perawatan. Dari situ, perawat dapat mengidentifikasi
permasalahan kesehatan utama, merencanakan intervensi yang sesuai, dan
melacak kemajuan pasien selama proses perawatan. Oleh karena itu, upaya
pembenaran terhadap data adalah langkah yang tidak boleh diabaikan dalam
memberikan perawatan yang berkualitas kepada pasien. Ini juga
menegaskan pentingnya komunikasi yang efektif dan pencatatan data yang
akurat antara perawat, pasien, dan anggota tim perawatan lainnya untuk
memastikan bahwa informasi yang diperoleh menjadi dasar yang kuat dalam
penyelenggaraan perawatan yang efektif (Mohamed Sidahmed M. Siddik et
al, 2023; Wendy Farista, 2018; Azhifah, 2023).

2.1.3 Diagnosa Keperawatan


Evaluasi klinis terhadap bagaimana seorang pasien merespons masalah
kesehatan saat ini atau yang diharapkan, terkait dengan kehidupan mereka
mengarah pada pembentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk memahami respon khusus dari setiap pasien,
keluarga mereka, dan masyarakat terhadap situasi kesehatan yang mereka
hadapi. Diagnosis keperawatan dapat dikelompokkan menjadi dua jenis
utama: diagnosis aktif dan diagnosis pasif. Diagnosis aktif membimbing
penyediaan intervensi keperawatan penyembuhan dan pencegahan,
menunjukkan bahwa pasien saat ini tidak sehat atau berisiko mengalami
ketidaknyamanan. Diagnosis pasif mencakup diagnosis aktual dan diagnosis
risiko. Pasien dengan diagnosis aktif dianggap dalam keadaan sehat dan
mampu mencapai kondisi yang optimal atau sehat. Semua diagnosis ini
terkait erat dengan promosi Kesehatan. (Tim pokja SDKI DPP PPNI., 2017;
Wendy Farista, 2018). Pasien tuberkulosis paru sering kali mengalami
diagnosa berikut ini (Olfah, Yustiana & Abdul Ghofur, 2016; Sally E
Hayward,et al, 2022):
1. Keterbatasan kebersihan saluran udara yang terkait dengan sekresi
yang tertahan.
2. Pola pernafasan yang tidak efektif yang menyebabkan paru-paru
mengalami kontraksi yang berkurang.
3. Gangguan pertukaran gas yang terganggu yang terkait dengan
kerusakan pada membran kapiler alveolar.
4. Proses infeksi yang terkait dengan hipertermia (Kenaikan suhu tubuh).
5. Ketidakseimbangan gizi yang terkait dengan peningkatan metabolisme
tubuh.
6. Gangguan pola tidur yang terkait dengan batuk, sesak napas, dan nyeri
dada.
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi diagnosis keperawatan pada
kasus ini, yaitu penyumbatan saluran nafas yang tidak efektif berkaitan
dengan retensi lendir/sekresi. Hal ini, menunjukkan fokus pada kesulitan
pasien dalam membersihkan saluran pernapasannya akibat sekresi yang
terjebak (Tim pokja SDKI DPP PPNI., 2017; Elin Erlina, 2020).

2.1.4 Intervensi Keperawatan


Setelah merumuskan diagnosis keperawatan, langkah selanjutnya adalah
perencanaan keperawatan. Intervensi keperawatan adalah setiap tindakan
yang dilakukan oleh perawat berdasarkan pengetahuan dan penilaian klinis
untuk mencapai hasil yang diharapkan. Klasifikasi intervensi keperawatan,
Dalam membersihkan saluran nafas yang tidak efektif termasuk dalam
kategori fisiologis yang ditujukan untuk mendukung fungsi fisik dan
regulasi homeostasis. Ini termasuk dalam subkategori pernapasan yang
berisi kelompok intervensi keperawatan yang bertujuan untuk
mengembalikan fungsi pernapasan dan oksigenasi (Tim Pokja SIKI DPP
PPNI, 2018; Fajar Bagaskara; 2019; Sally E Hayward,et al, 2022).
Tabel 2.1
Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria
No. Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Bersihan Jalan Setelah dilakukan Manajemen jalan napas Observasi
Nafas Tidak tindakan keperawatan ▪ Memonitor pola nafas (Frekuensi,
Efektif b.d selama 3 x 24 jam kedalaman, usaha nafas)
sekresi yang diharapkan bersihan ▪ Monitor bunyi nafas tambahan
tertahan jalan napas membaik (Gurgling, mengi, wheezing,
dengan kriteria hasil: ronkhi kering)
1) Batuk efektif
▪ Monitor sputum (Jumlah, warna,
meningkat
aroma)
2) Produksi sputum
Terapeutik
menurun
3) Dispnea membaik ▪ Pertahankan kepatenan jalan nafas
4) Frekuensi napas dengan head-tilt dan chin-lift
membaik (Jaw-thrust jika curiga trauma
5) Pola napas servikal)
membaik ▪ Posisikan semi-fowler atau fowler
▪ Berikan minum hangat
▪ Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
▪ Lakukan penghisapan lendir selama
15 detik
▪ Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
▪ Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill − Berikan
oksigen, jika perlu
Edukasi
▪ Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
efektif
▪ Anjurkan tarik napas dalam melalui
hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik, kemudian
keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu (Dibulatkan) selama 8
detik
▪ Anjurkan mengulangi tarik napas
dalam hingga 3 kali.
▪ Anjurkan batuk dengan kuat
langsung setelah tarik napas dalam
yang ke 3 Kolaborasi
▪ Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu
*Sumber : Tim Pokja SIKI DPP PPNI, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, 2018.

2.1.5. Pelaksanaan/ Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana keperawatan, oleh
petugas medis dan pasien. Petugas bertanggung jawab atas asuhan
keperawatan, yang menunjukkan pengendalian diri dan diarahkan pada
tujuan dan hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan di mana aktivitas
dilakukan dan diselesaikan, seperti yang digambarkan dalam pengaturan
yang dibuat sebelumnya. Perawat menggunakan tindakan tertentu perilaku
atau aktivitas untuk melakukan intervensi menggabungkan persepsi,
pelatihan bermanfaat dan Kerjasama (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018;
Fajar Bagaskara; 2019; Dela Wulandari, 2021).
Tabel 2.2
Implementasi Keperawatan
Waktu/
Diagnosa
No. Hari/ Implementasi Paraf
keperawatan
Tanggal
Bersihan jalan • Memonitor pola nafas (Frekuensi
napas tidak kedalaman, usaha nafas)
efektif b.d • Memonitor bunyi nafas tambahan
sekresi yang (Gurgling, mengi, wheezing,
tetahan ronkhi kering)
• Memonitor sputum (Jumlah, warna,
aroma)
• Memposisikan semi-fowler atau
fowler
• Memberikan minum hangat
• Melakukan fisioterapi dada, jika
perlu
• Melakukan penghisapan lendir
selama 15 detik
• Memberikan oksigen
• Menganjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak kontraindikasi
Mengajarkan teknik batuk efektif.

*Sumber : Tim Pokja SIKI DPP PPNI, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, 2018.

2.1.6 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap terakhir, dalam proses keperawatan yang memiliki
peran krusial dalam perawatan pasien. Pada tahap ini, perawat melakukan
penilaian menyeluruh terhadap hasil tindakan yang telah dilaksanakan
selama proses perawatan. Langkah pertama dalam evaluasi adalah
membandingkan hasil tindakan perawat, dengan kriteria hasil yang telah
ditetapkan sebelumnya. Hal ini bertujuan, untuk menentukan sejauh mana
tujuan perawatan telah tercapai. Selanjutnya, perawat menilai apakah
masalah kesehatan yang dihadapi oleh pasien telah teratasi dengan baik,
hanya sebagian teratasi, atau bahkan belum teratasi sama sekali. Evaluasi
ini, memberikan gambaran tentang efektivitas intervensi keperawatan yang
telah dilakukan dan apakah perlu dilakukan penyesuaian atau perubahan
dalam rencana perawatan. Hasil evaluasi juga, menjadi dasar bagi perawat
untuk memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang
perkembangan perawatan dan langkah selanjutnya dalam perjalanan
pemulihan pasien. Dengan kata lain, evaluasi adalah tahap kunci dalam
memastikan bahwa perawatan yang diberikan selaras dengan kebutuhan dan
tujuan pasien (Niswah,2021; Elin Erlina, 2020; Kemenkes RI, 2020).

2.2 Prinsip Dasar Penyakit


2.2.1 Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi menular, yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Mycobacterium tuberculosis adalah
mikroorganisme berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tanpa
spora, dan tanpa kapsul dengan ukuran panjang sekitar 1-4/µm dan tebal
sekitar 0,30-0,60/µm. Kuman ini memiliki dinding sel yang unik, yang
terdiri dari lapisan lilin yang terutama terbuat dari asam lemak (lipid) yang
disebut mycolic acid. Keberadaan asam lemak ini membuat kuman ini lebih
tahan terhadap kondisi asam dan resisten terhadap gangguan kimia serta
fisik. Oleh karena itu, seringkali disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman ini bisa mati dengan cepat jika terkena sinar matahari langsung,
tetapi memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam kondisi dingin. Ini
terjadi karena kuman berada dalam keadaan dormant, yang
memungkinkannya untuk menjadi aktif lagi di masa yang akan
datang.Penyakit ini dapat menular melalui percikan dahak dari pasien TB
yang memiliki tes BTA (bakteri tahan asam) positif. Meskipun tingkat
penularannya lebih rendah, pasien TB dengan hasil tes BTA negatif tetap
memiliki potensi untuk menyebarkan penyakit TB. Jadi, Tuberkulosis Paru
adalah sebuah infeksi yang umumnya menyerang organ paru-paru, terutama
parenkim paru-paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
Tuberkulosis yang dapat terhirup oleh manusia melalui udara. Selain paru-
paru, organ tubuh lainnya juga bisa terinfeksi, seperti meninges, ginjal,
tulang, dan sebagainya. Tuberkulosis Paru merupakan penyakit menular
yang dapat diobati dengan pengobatan yang sesuai dan teratur (Sabinan G.
& Mariana S., 2017; Wendy Farista, 2018; Fajar Bagaskara, 2019; Olfah,
Yustiana & Abdul Ghofur, 2016).

Gambar 2.1
Mikroorganisme Mycobacterium Tuberculosis pada Paru
*Sumber : Dr. Fatmawati, M.Si, 2022
2.2.3 Patofisiologi
Basil tuberkulosis yang mencapai permukaan alveoli biasanya, terhirup
sebagai kelompok yang terdiri dari satu hingga tiga basil. Gumpalan basil
yang lebih besar, cenderung tertahan di rongga hidung dan tidak
menyebabkan penyakit. Setelah masuk ke dalam alveolus, biasanya di
bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkulosis
ini memicu reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear muncul di lokasi
tersebut dan mencoba memfagosit bakteri, meskipun tidak selalu berhasil
membunuh organisme tersebut. Beberapa hari kemudian, leukosit digantikan
oleh makrofag. Alveoli yang terinfeksi akan mengalami konsolidasi dan
menyebabkan gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat
sembuh sendiri tanpa merusak jaringan paru-paru atau dapat berlanjut
dengan bakteri terus bertahan hidup atau berkembang biak di dalam sel.
Basil juga dapat menyebar melalui sistem limfatik regional. Makrofag yang
terinfeksi menjadi lebih panjang dan beberapa di antaranya bergabung untuk
membentuk sel-sel tuberkulosis epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari. Nekrosis di bagian
tengah lesi menciptakan gambaran seperti keju dan disebut nekrosis
kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di
sekitarnya, yang terdiri dari sel-sel epiteloid dan fibroblas, menyebabkan
reaksi yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa dan
membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang
melingkupi tuberkulosis. Lesi primer pada paru-paru disebut fokus Ghon,
dan kombinasi infeksi pada kelenjar limfe regional dan lesi primer disebut
kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang terkalsifikasi dapat terlihat pada
orang sehat yang secara kebetulan melepaskan bahan tuberkulosis ke dalam
bronkus dan membentuk kavitas. Materi tuberkulosis yang dilepaskan dari
dinding kavitas dapat memasuki cabang trakeobronkial. Proses ini dapat
berulang di bagian lain, dari paru-paru atau basil dapat menyebar ke laring,
telinga tengah, atau usus. Kavitas kecil dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Ketika peradangan
mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut
yang berdekatan dengan batas bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental
dan tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada, menyebabkan lesi mirip
dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat berlangsung
tanpa gejala selama jangka waktu yang lama atau, sebaliknya, dapat
membangun kembali hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat
peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau
pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang melarikan diri dari
kelenjar limfe, akan mencapai aliran darah. Jumlah organisme yang lebih
kecil, kadang-kadang dapat menyebabkan lesi pada berbagai organ lain di
luar paru-paru (ekstrapulmoner). Penyebaran melalui sistem peredaran darah
adalah fenomena akut, yang biasanya menyebabkan tuberkulosis miliar. Hal
ini, terjadi ketika fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak
organisme memasuki sistem vaskuler dan menyebar ke organ-organ tubuh
(Widi Yuana, 2020; Elin Erlina, 2020; Niswah, 2021; David P.Maison,
2022).

2.2.3 Pathway Tuberkulosis


*Sumber : Dita Pramasari, 2019
2.2.4 Etiologi
Tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberkulosis dan
dapat menular, ketika seseorang yang menderita penyakit paru aktif
mengeluarkan organisme ini. Orang yang rentan dapat terinfeksi, saat
menghirup droplet yang mengandung bakteri tersebut. Bakteri ini kemudian
ditransmisikan ke alveoli dan mulai berkembang biak. Proses inflamasi
dapat menghasilkan eksudat di alveoli dan menyebabkan berbagai kondisi
seperti bronkopneumonia, pembentukan granuloma, dan perkembangan
jaringan fibrosa (Smeltzer & Bare, 2015). Saat seseorang yang menderita
Tuberkulosis paru batuk, bersin, atau berbicara, tanpa disadari droplet nuclei
akan terlepas dan jatuh ke permukaan tanah, lantai, atau tempat lainnya. Jika
droplet nuclei tersebut terpapar sinar matahari atau suhu udara yang tinggi,
maka mereka akan menguap. Menguapnya droplet nuclei bakteri ke udara
akan dibantu oleh pergerakan angin, yang kemudian membuat bakteri
Tuberkulosis yang terkandung dalam droplet nuclei tersebar di udara. Jika
bakteri ini kemudian terhirup oleh seseorang yang sehat, maka orang
tersebut berpotensi terinfeksi oleh bakteri Tuberkulosis (Fajar Bagaskara,
2019; Wendy Farista, 2018). Orang yang memiliki tingkat risiko tinggi
untuk terinfeksi virus Tuberkulosis menurut (Smeltzer & Bare, 2015)
termasuk :
1. Individu yang berinteraksi dekat dengan seseorang yang menderita
Tuberkulosis aktif.
2. Individu yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang terhambat
(termasuk lansia, pasien kanker, mereka yang sedang menjalani terapi
kortikosteroid, atau yang terinfeksi HIV).
3. Pengguna obat-obatan intravena dan penyalahguna alkohol.
4. Orang yang tidak memiliki akses perawatan kesehatan yang memadai
(termasuk tunawisma, tahanan, kelompok etnik dan ras minoritas,
terutama anak-anak di bawah usia 15 tahun dan orang dewasa muda
antara usia 15 hingga 44 tahun).
5. Individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (seperti
diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, atau masalah gizi).
6. Orang yang tinggal di daerah pemukiman yang tidak layak.
7. Orang yang bekerja dalam pekerjaan tertentu (seperti tenaga kesehatan,
terutama yang melakukan aktivitas berisiko tinggi).

2.2.5 Penatalaksanaan Medis


1. Menurut pedoman tahun (Kemenkes RI, 2014), terapi
Tuberkulosis Paru
melibatkan :
a) Tujuan Pengobatan
Tujuan terapi Tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, menghindari kekambuhan, memutuskan mata
rantai penularan, dan mencegah perkembangan resistensi bakteri
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Tabel 2.3
Jenis dan efek samping OAT
Nama Obat Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik,
gangguan fungsi hati, kejang.
Rifampicin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
urine berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skinrash,
sesak nafas, anemia hemolitik
Pyrazinamide (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan
fungsi hati, gout artritis.
Streptomycin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
25 anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Ethambutol (E) Bakteriostatiki Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer.
*Sumber : Kemenkes RI, 2014

b) Prinsip Pengobatan
Obat Anti Tuberculosis (OAT) merupakan komponen kunci, dalam
penanganan TB. Pengobatan TB adalah salah satu langkah, yang
paling efektif untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri
TB. Pengobatan yang memadai harus mematuhi prinsip-prinsip
berikut: Terapi harus disusun dalam bentuk kombinasi OAT yang
tepat, dengan setidaknya mencakup empat jenis obat untuk mencegah
perkembangan resistensi. Dosis harus diberikan dengan akurat dan
harus diminum secara teratur dengan pengawasan langsung dari PMO
(Pengawas Menelan Obat) hingga pengobatan selesai. Pengobatan
harus diberikan dalam rentang waktu yang cukup, terdiri dari tahap
awal dan tahap lanjutan, untuk mencegah terjadinya kekambuhan
(Dita Pramasari, 2019). Hindari penggunaan OAT tunggal
(Monoterapi). Penggunaan OAT dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap
(KDT) lebih disarankan dan memberikan manfaat yang lebih besar.
(Kemenkes RI, 2014). Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah elemen
kunci dalam terapi Tuberkulosis. Pengobatan Tuberkulosis adalah
langkah yang sangat efektif dalam mencegah penyebaran lebih lanjut
dari bakteri penyebabnya (Fajar Bagaskara, 2019; Dita Pramasari,
2019; Kemenkes RI, 2014).
c) Fase Pengobatan
1) Fase intensif
Ketika memasuki fase intensif, setiap harinya klien Tuberkulosis
akan menerima dosis obat dan ini memerlukan pengawasan ketat
guna menghindari perkembangan resistensi terhadap obat. Secara
umum, jika pengobatan intensif dilakukan secara teratur, dalam
kurun waktu 2 minggu, sebagian besar pasien Tuberkulosis yang
semula memiliki hasil positif pada uji BTA akan mengalami
perubahan menjadi negatif. Penting untuk mencatat bahwa
pengawasan intensif selama tahap ini memainkan peran krusial
dalam keberhasilan pengobatan Tuberkulosis. Lebih lanjut, dalam
2 bulan, sebagian besar dari mereka yang awalnya memiliki hasil
positif akan mengalami konversi menjadi hasil negatif,
menandakan respons positif terhadap terapi ( Kemenkes RI, 2020;
Kemenkes RI, 2014; Niswah, 2021).
2) Fase Lanjutan
Pada fase lanjutan pengobatan Tuberkulosis, klien akan menerima
jenis obat yang lebih sedikit dibandingkan dengan tahap intensif,
tetapi pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih
panjang. fase lanjutan ini memiliki peran penting dalam mengatasi
kuman persister yang mungkin masih ada, sehingga dapat
mencegah kemungkinan kembalinya infeksi Tuberkulosis. Selama
tahap lanjutan, obat-obatan yang digunakan dirancang untuk
memastikan bahwa semua sisa kuman Tuberkulosis yang mungkin
masih aktif dapat dieliminasi dengan efektif. Oleh karena itu,
pengobatan dalam tahap lanjutan ini menjadi langkah kunci dalam
memastikan kesembuhan yang berkelanjutan dan mencegah
kekambuhan penyakit Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2020;
Kemenkes RI, 2014; Wendy Farista, 2018).
2. Panduan Pengunaan OAT di Indonesia
Pedoman pengobatan Tuberkulosis yang diterapkan oleh Program
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia (Kemenkes RI,
2020; Kemenkes RI, 2014) mencakup:
a. Klasifikasi 1 (2HRZE/4H3R3)
Pedoman pengobatan Tuberkulosis ini disediakan khusus untuk
individu yang baru mengawali pengobatan :
1) Pasien yang mengidap Tuberkulosis Paru dengan hasil positif
pada uji BTA
2) Pasien Tuberkulosis Paru dengan hasil negatif pada uji BTA
tetapi gambaran thoraknya positif.
3) Pasien dengan Tuberkulosis Paru yang menunjukkan
manifestasi ekstra.

Tabel 2.4
Dosis OAT KDT untuk kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjut 3 Kali
Berat badan Selama 56 RHZE Seminggu Selama 16 Minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 table 4 KDT 2 table 2KDT
38 – 54 kg 3 table 4 KDT 3 table 2KDT
55-70 kg 4 table 4KDT 4 table 2KDT
≥71 kg 5 table 4KDT 5 table 2KDT

*Sumber: Kemenkes RI, 2014

*Keterangan:
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Ethambutol
S = Streptomisin
b. Klasifikasi 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Pedoman pengobatan Tuberkulosis ini ditujukan kepada individu
yang sebelumnya telah menjalani pengobatan dan saat ini memiliki
hasil positif pada uji BTA (Kemenkes RI, 2020) :
1. Pasien yang mengalami kekambuhan.
2. Pasien yang tidak berhasil dalam pengobatan menggunakan
OAT klasifikasi 1.
3. Pasien yang memulai pengobatan kembali setelah
menghentikannya.

Mycrobacterium Tabel 2.5


Dosis OAT KDT Droplet
untuk infection
kategori Masuk lewat jalan napas
2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
tuberculosis
Berat Tahap Intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 x
Badan (150/75/400/275) + S seminggu RH (150/150) + E
Alveoli (tempat berkumpulnya
(275)
bakteri untuk memperbanyak
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
diri)
30 – 37 kg 2tab 4KDT + 500 2tab 4 KDT 2 tab 2 KDT + 2tab etambutol
Menyebar pada ginjal, tulang
mg streptomisin
inj. atau lobus
korteks serebri Sistem limfe dan aliran
38 – 54 kg 3tab 4KDT + 750
atau paru 3tab 4KDT Menempel pada paru
3 tab 2 KDT + 3tab etambutol
darah
mg streptomisin
inj.
55 – 70 kg 4tab
Keluar +dari
4KDT 1000 4tab 4KDT 4 tab 2 KDT + 4tab etambutol
mg streptomisin
tracheobionchial
inj.
bersama sekret
≥ 71 kg 5tab 4KDT + 100 5tab 4KDT (>dosis 5 tab 2 KDT + 5tab etambutol
mg streptomisin Dibersihkan oleh makrofag Menetap di jaringan paru
tinggi)
inj.
*Sumber: Kemenkes RI, 2014 Terjadi proses peradangan
Sembuh tanpa pengobatan

c. OAT sisipan (HRZE)


Pengeluara
Paket sisipan Kombinasi Dosis zat progen
Tetap (KDT) Tumbuh
mirip dengan paket
dan berkembang di
pengobatan yang diberikan selama periode intensifsitoplasma
dalam kategori
makrofag
1. Paket ini disediakan untuk pasien selama 28 hari untuk
Mempengaruhi hipotalamus
mengatasi penyakit Tuberkulosis.
Sarang primer/afek primer
Mempengaruhi sel point (fokus ghen)
Tabel 2.6
Dosis KDT sisipan
Hipertemia (D.0130)
Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE
Berat Badan
(150/75/400/275
30-37 kg
Komplek Primer 2 tablet 4KDT
Limafingitis Lokal Limfadinitis Regional
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
Menyebar
≥71 kg ke Organ Sembuh sendiri tanpa pengobatan
5 tablet 4KDT Sembuh dengan bekas fibrosis
lain*Sumber: Kemenkes RI, 2014
d. Klasifikasi
Radang tahunan bronkus OAT Pada Anak
Pertahanan primer tidak adekuat
Prinsip dasar dalam pengobatan Tuberkulosis paru adalah
Pembentukan
memberikan setidaknya Turbekel
tiga jenis Kerusakan
obat dan membrane
menjalankannya dalam
Berkembangkurun waktu enam bulan. Pada anak-anak, pengobatanalveolar
dengan Obat
menghancurkanAnti jaringan
Tuberculosis (OAT) dilakukan secara harian, baik dalam tahap
intensif maupun tahap lanjutan, dan dosis Proses
ikat sekitar Peradangan
obat harus disesuaikan
dengan berat badan mereka. Dalam pengobatan Tuberkulosis paru,
aspek penting adalah pemberian obat yang memadai dalam periode
yang cukup untuk memastikan penyembuhan dan mencegah
kekambuhan. Pada anak-anak, pengaturan dosis obat berdasarkan
berat badan sangat penting untuk memastikan pengobatan yang
efektif dan aman (Kemenkes RI, 2020; Luthfi Gusmanto P.W., 2020;
Bagian tengah Pembentukan sputum Menurunnya permukaan
nekrosisDita Pramasari, 2019).
berlebihan efek paru
Membentuk jaringan Alveolus mengalami
Bersihan jalan napasTabel 2.7
keju
tidak efektif Dosis OAT pada anakkonsolidasi & eksudasi
(D.0001)
Jenis Obat
Sekret BB <saat
keluar 10 kg BB 10-20 kg BB 20-32 kg Gg Pertukaran gas
Isoniazid
batuk 50 mg 100 mg 200 mg (D.0003)
Batuk produktif
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg
Batuk terus* menerus
Sumber: Kemenkes RI, 2014
Batuk berat
Nyeri dada Distensi abdomen
3. Pemantauan serta evaluasi hasil pengobatan Tuberkulosis paru sesuai
Tidak nyaman
dengan Mual muntah Intake nutrisi
Batuk terus menerus
panduan dari (Kemenkes RI, 2020; Kemenkes RI, 2014) adalah sebagai
berikut: rasa nyaman
Gangguan Defisit nutrisi (D.0074)
a. Pemantauan perkembangan pengobatan Tuberkulosis.
Nyeri (D.0074)
Pemantauan perkembangan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilakukan melalui pemeriksaan kembali dahak menggunakan
mikroskop. Metode pemeriksaan dahak dengan mikroskop lebih efektif
daripada pemeriksaan radiologi untuk memonitor kemajuan pengobatan.
Pengukuran Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau
kemajuan pengobatan karena tidak memiliki spesifisitas yang cukup
dalam kasus Tuberkulosis paru. Untuk memonitor perkembangan
pengobatan, dilakukan dua kali pemeriksaan spesimen dahak (satu pada
waktu pagi dan satu pada waktu lainnya). Hasil pemeriksaan dianggap
negatif jika kedua spesimen tersebut menunjukkan hasil negatif.
Namun, jika salah satu atau kedua spesimen menunjukkan hasil positif,
maka hasil pemeriksaan dahak dianggap positif (Wa Ode Zamni, 2018;
Dita Pramasari, 2019; Elin Erlina, 2020).
b. Hasil pada pengobatan Tuberkulosis paru
a. Sembuh
Seseorang yang telah menyelesaikan seluruh regimen
pengobatannya dengan sukses, individu yang telah mengikuti
pengobatan tuberkulosis dengan baik. Dalam memastikan
kesembuhan yang tepat, penting bahwa pemeriksaan ulang dahak
terakhir menunjukkan hasil negatif, dan setidaknya satu
pemeriksaan ulang sebelumnya juga harus menunjukkan hasil yang
sama, yaitu negatif. Ini merupakan tanda bahwa proses pengobatan
telah efektif dan telah mencapai kesembuhan yang memuaskan
(Dela Wulandari, 2021; Sally E Hayward et al , 2022).
b. Kesembuhan Penuh
Seseorang yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap,
namun tidak memenuhi kriteria kesembuhan atau mengalami
kegagalan pengobatan adalah individu yang telah mengikuti seluruh
rangkaian terapi yang ditentukan, tetapi hasil pengobatannya tidak
sesuai dengan harapan atau standar yang biasanya digunakan untuk
menilai kesembuhan. Dalam konteks ini, meskipun pengobatan telah
selesai, kondisi kesehatannya mungkin belum mencapai tingkat
pemulihan yang diharapkan, atau mungkin ada ketidaksesuaian
antara hasil pengobatan dengan target yang telah ditetapkan. Ini
dapat menjadi situasi yang menantang baik bagi pasien maupun
penyedia layanan kesehatan, dan memerlukan evaluasi lebih lanjut
untuk memahami mengapa kondisi ini terjadi (Dela Wulandari,
2021; Sally E Hayward et al , 2022).
c. Meninggal
Individu yang menderita Tuberkulosis (TBC) dan akhirnya
meninggal selama periode pengobatan, terlepas dari penyebabnya,
merupakan pasien TBC yang telah mengalami kematian saat sedang
menjalani terapi. Hal ini mencerminkan tingkat risiko dan
kompleksitas dalam pengobatan TBC, di mana hasil pengobatan
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tingkat keparahan
penyakit dan kondisi kesehatan umum pasien (Kemenkes RI, 2020;
Kemenkes RI, 2014).
d. Beralih
Keputusan pasien untuk beralih ke unit pengobatan tuberkulosis
paru yang berbeda dengan catatan medis yang belum ada, dalam
sistem pengawasan kesehatan menghadirkan tantangan dalam
mengikuti perkembangan pengobatan mereka. Karena tidak ada
catatan sebelumnya, tentang hasil pengobatan mereka, dapat
menjadi sulit untuk menentukan tahap terkini dalam proses
penyembuhan pasien ini(Kemenkes RI, 2020; Kemenkes RI, 2014).
e. Terhenti
Individu yang tidak melanjutkan pengobatan, mereka selama
minimal dua bulan berturut-turut sebelum mereka mencapai tahap
pengobatan yang direncanakan telah menghadapi kesulitan dalam
mengikuti perawatan yang diberikan. Hal ini bisa disebabkan, oleh
berbagai faktor seperti kesulitan dalam mengakses perawatan medis,
efek samping yang tidak diinginkan dari obat-obatan, atau bahkan
kurangnya pemahaman tentang pentingnya pengobatan yang
konsisten. Dalam situasi ini, penting untuk mengevaluasi dan
mendukung pasien untuk mengatasi hambatan yang mungkin
mereka hadapi dalam menjalani pengobatan Tuberkulosis paru.
Kebijaksanaan dan dukungan medis yang tepat dapat membantu
meningkatkan tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan
mencapai kesembuhan yang optimal (Kemenkes RI, 2020;
Kemenkes RI, 2014).
f. Gagal
Seseorang yang masih memiliki hasil pemeriksaan dahak yang
menunjukkan adanya bakteri penyebab Tuberkulosis yang tetap
aktif, atau bahkan mengalami perubahan menjadi positif kembali,
setelah menjalani pengobatan selama lima bulan atau lebih. Situasi
ini menandakan bahwa meskipun telah berlangsung cukup lama
dalam terapi, bakteri penyebab Tuberkulosis tetap ada dalam tubuh
pasien atau mungkin berkembang kembali setelah sebelumnya
tampaknya berkurang atau tidak aktif. Penting untuk memahami
bahwa hal ini bisa mengindikasikan perkembangan resistensi
terhadap obat atau kondisi lain yang menghambat efektivitas
pengobatan. Oleh karena itu, pemantauan yang cermat dan evaluasi
lebih lanjut diperlukan untuk menentukan langkah selanjutnya
dalam perawatan pasien tersebut. Keselamatan pasien dan
pencegahan penyebaran infeksi menjadi prioritas utama dalam kasus
seperti ini(Kemenkes RI, 2020; Kemenkes RI, 2014).

2.2.6 Manifestasi Klinis


Menurut (Cucu Malihah, 2016) tanda-tanda klinis tuberkulosis dapat sangat
bervariasi, bahkan ada yang tidak merasakan keluhan apapun ketika
menjalani pemeriksaan kesehatan. Pasien Tuberkulosis bisa mengalami
sejumlah masalah kesehatan yang mencakup gejala seperti batuk berdahak
yang berlangsung lama, suhu tubuh yang tinggi tetapi tidak mencapai
demam, keringat berlebihan yang terjadi pada malam hari tanpa penyebab
yang jelas, kesulitan bernapas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan.
Semua gejala ini dapat secara signifikan mempengaruhi produktivitas pasien
dan bahkan dapat mengancam nyawa mereka. Pentingnya pemahaman dan
deteksi dini gejala-gejala ini dalam rangka diagnosis dan pengobatan
Tuberkulosis tidak bisa diabaikan. Karena dalam beberapa kasus, gejala-
gejala ini dapat bersifat subtropis atau muncul secara bertahap, sehingga
memerlukan perhatian khusus dari profesional kesehatan untuk
mengidentifikasi penyakit ini dengan akurat. Selain itu, pengobatan yang
tepat waktu dan efektif sangat penting untuk menghindari komplikasi serius
dan potensi penyebaran infeksi ke orang lain ( Wa Ode Zamni, 2018; Fajar
Bagaskara, 2019; Cucu Malihah, 2016).
1. Gejala Umum
Gejala pokok yang umumnya muncul pada pasien dengan tuberkulosis
paru adalah batuk yang berlangsung selama minimal dua minggu dengan
dahak. Selain itu, pasien juga bisa mengalami gejala tambahan seperti
batuk yang disertai dengan darah, penurunan berat badan, rasa malaise,
kesulitan bernafas, nyeri, kelemahan fisik, penurunan nafsu makan,
keringat berlebihan pada malam hari tanpa aktivitas fisik yang
signifikan, serta demam ringan yang berlangsung lebih dari satu bulan
(Azhifah Tsabiet Sudarsono, 2023). Menurut informasi yang diberikan
oleh (Kemenkes RI, 2014), batuk yang berlangsung secara terus menerus
selama minimal tiga minggu atau bahkan lebih seringkali disebabkan
oleh iritasi pada saluran bronkus. Batuk ini sebenarnya merupakan
mekanisme alami tubuh untuk menghilangkan zat-zat yang
mengakibatkan peradangan di dalam bronkus. Proses batuk ini dimulai
dengan fase kering, namun ketika peradangan semakin parah, batuk akan
menjadi lebih produktif (Azhifah Tsabiet Sudarsono, 2023; Kemenkes
RI, 2014).
2. Gejala Lain
Gejala lain yang ditemukan menurut (Wahyudi, 2018; Kemenkes RI,
2020)) :
a. Produksi dahak yang mengandung darah atau hemoptisis terjadi
ketika pembuluh darah pecah. Mayoritas kasus batuk darah pada
penderita tuberkulosis terjadi di dalam kavitas, walaupun dalam
beberapa situasi dapat terjadi di ulkus pada dinding bronkus.
b. Kesulitan bernafas muncul saat infiltrasi penyakit sudah menyebar
ke sebagian besar paru-paru. Nyeri dada terjadi ketika peradangan
telah mencapai pleura, yang mengakibatkan pleuritis. Ketika pasien
mengambil dan melepaskan nafas, gesekan antara dua lapisan pleura
dapat menyebabkan nyeri dada.
c. Pasien juga dapat mengalami kelemahan fisik, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan, sensasi tidak nyaman dalam tubuh
(malaise), berkeringat berlebihan pada malam hari, dan demam.
Berkeringat berlebihan pada malam hari terjadi karena perubahan
hormon sirkadian yang berlebihan dalam pengaturan suhu tubuh.
3. Gejala Infeksi
Menurut (Kemenkes RI, 2020; Hilka et al, 2016), gejala klinis yang
muncul bervariasi tergantung pada jenis infeksi yang terjadi :
a. Primer
Ada dua kemungkinan jalannya infeksi ini. Pertama, infeksi dapat
terjadi tanpa adanya gejala yang terlihat dan akan sembuh dengan
sendirinya. Atau, infeksi dapat menunjukkan gejala pneumonia
seperti batuk dan demam ringan. Pada tipe infeksi Tuberkulosis
primer, kondisinya bisa berkembang menjadi pleuritis dengan cairan
di rongga pleura, atau bahkan menjadi lebih serius dengan nyeri
pleura dan kesulitan bernafas. Jika tidak diobati, tipe infeksi primer
bisa sembuh sendiri, walaupun tingkat kesembuhannya hanya sekitar
50%.
b. Post Primer
Tuberkulosis post primer dapat menunjukkan berbagai gejala, seperti
penurunan berat badan, keringat dingin di malam hari, suhu tubuh
yang lebih tinggi dari normal (subfebris), batuk dengan dahak yang
berlangsung lebih dari dua minggu, kesulitan bernafas, serta
hemoptisis yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah di
sekitar bronkus, yang mengakibatkan munculnya bercak-bercak
darah dalam dahak hingga batuk darah yang cukup parah.
Tuberkulosis post primer juga dapat menyebar ke berbagai organ
tubuh, yang bisa menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis,
tuberkulosis yang menyerupai penyakit yang sama pada berbagai
bagian tubuh, peritonitis dengan ciri-ciri tertentu seperti papan catur,
tuberkulosis pada ginjal, sendi, serta kelenjar limfe di leher, yang
dikenal sebagai skrofuloderma.Pada lansia, Tuberkulosis juga dapat
menampilkan gejala yang tidak lazim seperti perubahan perilaku,
perubahan status mental, demam, anoreksia, dan penurunan berat
badan. Basil Tuberkulosis Paru juga dapat tetap aktif dalam tubuh
selama lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman.

2.2.7 Komplikasi Tuberkulosis Paru


Jika Tuberkulosis paru tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan
masalah yang lebih serius. Menurut (Kemenkes RI, 2020; Alfais Fauzi D.,
2019) komplikasi ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori :
1. Komplikasi dini :
a. Pleuritis
b. Efusi pleura
c. Empyema
d. Laryngitis
e. Menjalar ke organ lain (usus)
f. Poncest antropathy
2. Komplikasi Lanjut
a. Obstruksi jalan napas sindrom obstruksi pasca Tuberkulosis (SOPT)
b. Kerusakan parenkim berat (SOPT/fibrosa paru, kor pulmonal)
c. Amyloidasis
d. Karsinoma paru
e. Sindrom gagal napas dewasa (ARDS)

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


Menurut (Menteri Kesehatan RI , 2016) dan (Kemenkes RI, 2017),
pengujian tambahan untuk Tuberkulosis mencakup:
a. Uji Mikrobiologi
1. Pemeriksaan Visual Langsung Dahak
Pemeriksaan dahak digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis
Tuberkulosis dan menilai keberhasilan pengobatan. Prosedur
pemeriksaan dahak melibatkan pengumpulan dua sampel dahak
yang dikenal sebagai spesimen uji dahak, yaitu dahak sewaktu (S)
dan dahak pagi (P). Dahak sewaktu (S) dikumpulkan di fasilitas
kesehatan, sementara dahak pagi (P) dikumpulkan pada pagi hari
setelah pasien bangun tidur. Pengambilan sampel dahak bisa
dilakukan di rumah pasien atau di unit perawatan rawat inap jika
pasien sedang dirawat di sana.
2. Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM)
Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM) menggunakan alat Xpert
MTB/RIF adalah metode deteksi molekuler yang berbasis teknologi
PCR (Polymerase Chain Reaction) real-time bersarang. Metode ini
digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan bakteri
Mycobacterium tuberculosis dan mengidentifikasi apakah bakteri
tersebut resisten terhadap obat rifampisin. Pemeriksaan Xpert
MTB/RIF mampu mendeteksi DNA dari kompleks Mycobacterium
tuberculosis langsung dari berbagai jenis sampel, termasuk dahak
dan sampel non-dahak seperti sampel bilas lambung atau feses.
3. Studi Biakan
Pada dasarnya, dapat melakukan pemeriksaan biakan dengan
memanfaatkan dua jenis media yang berbeda, yaitu media padat
seperti Lowenstein-Jensen dan media cair seperti Mycobacteria
growth indicator tube. Penggunaan kedua jenis media ini bertujuan
untuk mendeteksi keberadaan bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Media padat seperti Lowenstein-Jensen digunakan karena mampu
mendukung pertumbuhan dan perkembangan bakteri
Mycobacterium tuberculosis dengan cara yang memungkinkan
pengamat untuk memeriksa secara visual koloni yang terbentuk.
Sementara itu, media cair seperti Mycobacteria growth indicator
tube memiliki keunggulan dalam memberikan hasil lebih cepat
karena berbasis indikator pertumbuhan yang berubah warna saat
bakteri tumbuh. Dengan menggunakan kedua jenis media ini, kita
dapat mengidentifikasi dengan lebih efisien apakah ada keberadaan
bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam sampel yang diperiksa,
yang merupakan langkah penting dalam diagnosis penyakit
tuberkulosis.
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Pemeriksaan foto thoraks penderita tuberkulosis
Gambaran radiografi foto thorax pada pasien dengan tuberkulosis
menggambarkan adanya bayangan berbentuk awan dan bercak yang
sering disebut sebagai infiltrat. Infiltrat ini biasanya paling sering
terdeteksi di bagian atas paru-paru. Pada awalnya, infiltrat ini
muncul sebagai lesi dengan pola yang tidak teratur (patchy) yang
menyerupai bayangan awan, serta nodul (bercak). Setelah sekitar 10
minggu dari infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, infiltrat ini
dapat menjadi indikasi bahwa proses penyakit tersebut sedang
berlangsung secara aktif.
2. Pemeriksaan jaringan lengkap yang diambil melalui tindakan biopsi
atau operasi (histopatologi) diperlukan dalam situasi-situasi di mana
terdapat kecurigaan terhadap tuberkulosis ekstraparu.
c. Test Resistensi Obat
Pengujian sensitivitas obat digunakan untuk mengidentifikasi apakah
Mycobacterium tuberculosis menunjukkan resistensi terhadap obat anti-
tuberkulosis (OAT) atau tidak. Proses pengujian ini harus dilaksanakan
di laboratorium yang telah mematuhi standar pemantapan mutu
(Quality Assurance/QA) dan telah memperoleh sertifikasi baik dari
tingkat nasional maupun internasional.
d. Tes Serologis
Saat ini, penggunaan pemeriksaan serologis tidak dijadikan
rekomendasi untuk pemeriksaan penyakit tuberkulosis.

2.3 Tindakan Keperawatan


2.3.1 Pengertian Batuk Efektif
Terapi batuk yang efektif adalah pendekatan untuk melatih individu yang
tidak mampu melakukan batuk secara efektif agar dapat membersihkan
laring, trakea, dan bronkiolus dari lendir atau benda asing dalam saluran
pernapasan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Latihan batuk efektif adalah
tindakan yang dilakukan oleh perawat untuk mengatasi sekresi dalam
saluran pernapasan. Pemberian latihan batuk efektif khususnya ditujukan
kepada pasien yang mengalami masalah keperawatan dalam hal
membersihkan saluran pernapasan dengan baik dan memiliki risiko tinggi
terkena infeksi pada saluran pernapasan bagian bawah karena adanya
akumulasi sekresi dalam saluran pernapasan. Akumulasi ini sering
disebabkan oleh penurunan kemampuan batuk (Bassey E. Ekeng , 2022;
Dita Pramasari, 2019).
Dalam penelitian yang diterbitkan oleh (Selma Arık,Kıvan Çevik,
2021)dalam Journal of Clinical and Experimental Investigations dengan
judul "Pengaruh Drainase Postural dan Latihan Pernapasan Dalam serta
Latihan Batuk terhadap Saturasi Oksigen, Volume Triflo, dan Tes Fungsi
Paru pada Pasien dengan COPD," perbandingan antara efek dari drainase
postural dan latihan pernapasan dalam serta latihan batuk terhadap tingkat
saturasi oksigen menunjukkan bahwa rata-rata nilai saturasi oksigen setelah
latihan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum latihan, dan perbedaan ini
memiliki signifikansi statistik. Studi yang dilakukan oleh Gürgün et al.
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat saturasi oksigen meningkat
dari 71 sebelum menjalani rehabilitasi menjadi 77 setelah rehabilitasi pada
kelompok eksperimen, namun tidak ada perubahan yang signifikan terjadi
pada kelompok kontrol. Dalam studi yang dilakukan oleh Kara et al. untuk
mengevaluasi dampak latihan batuk efektif dan latihan pernapasan
diafragma pada tes fungsi paru, hasil menunjukkan bahwa tingkat saturasi
oksigen, yang awalnya berada pada 92,4% sebelum latihan, meningkat
menjadi 96,5% setelah latihan. Sementara itu, dalam penelitian oleh Faager,
Stahle, dan Larsen, hasil menunjukkan bahwa latihan batuk efektif berhasil
meningkatkan tingkat saturasi oksigen pada pasien dengan tuberkulosis paru
sedang atau berat (Selma Arık,Kıvan Çevik, 2021). Perbedaan dalam efek
membersihkan saluran pernapasan sebelum dan setelah menjalani fisioterapi
dada disebabkan oleh keunggulan cara dan fungsi kerja fisioterapi dada
yang lebih optimal dibandingkan dengan metode manual biasa. Pandangan
ini diperkuat oleh teori Fitzgerald (2001), yang menyatakan bahwa
fisioterapi dada merupakan salah satu bentuk fisioterapi yang sangat
bermanfaat bagi individu dengan penyakit pernapasan, baik yang bersifat
akut maupun kronis. Meskipun metodenya mungkin terlihat sederhana,
fisioterapi dada ini terbukti sangat efektif dalam membantu menghilangkan
sekresi dan meningkatkan ventilasi pada pasien yang mengalami gangguan
fungsi paru (Suhanda, P., & Rusmana, M , 2014; Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018; Dita Pramasari, 2019).
Gambar 2.2
Batuk Efektif
*Sumber : ummirazka, 2023

2.3.2 Tujuan Batuk Efektif


Tujuan utama dari melakukan batuk efektif adalah untuk menjaga
kebersihan dan kepatenan jalan napas. Ini adalah tindakan yang bertujuan
untuk membersihkan jalan nafas, mencegah timbulnya komplikasi seperti
infeksi saluran pernapasan dan pneumonia, serta mengurangi tingkat
kelelahan pasien. Batuk efektif menjadi penting karena melibatkan teknik
yang fokus pada inspirasi maksimal yang dimulai dari fase ekspirasi. Dalam
konteks ini, perawatan yang memprioritaskan pemeliharaan patensi jalan
napas adalah sangat krusial. Ini membantu jalan napas agar tetap terbuka
dan berfungsi dengan baik, menghindari penyumbatan yang bisa
menghambat pernapasan yang efektif. Dengan demikian, batuk efektif tidak
hanya berperan dalam membersihkan jalan napas, tetapi juga dalam menjaga
fungsi pernapasan yang optimal untuk pasien (Dela Wulandari, 2021; Elin
Erlina, 2020; Dita Pramasari, 2019).

2.3.3 Pengeluaran lendir dengan batuk yang efektif


Proses batuk yang normal melibatkan serangkaian peristiwa yang
melibatkan inhalasi dalam, penutupan glottis (pita suara), kontraksi aktif
otot-otot ekspirasi, dan pembukaan glottis. Pada tahap inhalasi dalam,
volume paru-paru meningkat dan diameter jalan napas membesar,
memungkinkan aliran udara melewati area lendir yang mungkin menyumbat
saluran napas atau meloloskan benda asing lainnya. Kontraksi otot-otot
ekspirasi yang berlawanan dengan glottis yang tertutup menciptakan
tekanan intrathorak yang tinggi. Ketika glottis terbuka, aliran udara keluar
dengan cepat dan kuat, yang memberi sekret peluang untuk berpindah ke
saluran pernapasan bagian atas, di mana sekret tersebut dapat dikeluarkan.
Batuk efektif ini direkomendasikan dilakukan sekitar 3 hingga 4 kali sehari
(Kemenkes RI, 2014; Lestari, E. D., Umara, A. F., & Immawati, S. A., 2020

2.3.4. Prosedur Pelaksanaan Batuk Efekti


PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL LATIHAN
BATUK EFEKTIF

PROSEDUR TINDAKAN/BUKTI
Pengertian Melatih kemampuan batuk secara efektif untuk
membersihkan faring, trakea dan bronkus dari sekret atau
benda asing di jalan napas
Tujuan 1.Merangsang terbukanya sistem kolateral
2.Meningkatkan distribusi ventilasi
3.Meningkatkan volume paru
4.Memfasilitasi pembersihan saluran napas.
Mengidentifikasi 1. Mengkonfirmasi / Verifikasi identitas klien
klien 2. Mengidentifikasi kontra pemberian batuk efektif
Prosedur pelaksanaan 1. Identifikasi pasien menggunakan minimal dua identitas
(Nama lengkap, tanggal lahir, dan/atau nomor rekam
medis)
2. Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedur
3. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan:
a. Sarung tangan bersih, jika perlu
b. Tisu
c. Bengkok dengan cairan desinfektan
d. Suplai oksigen, jika perlu
e. Pengalas atau underpad
f. Air hangat
4. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah
5. Pasang sarung tangan bersih, jika perlu
6. Identifikasi kemampuan batuk
7. Atur posisi semi-Fowler dan Fowler
8. Lakukan Postural Drainase
9. Lakukan Clapping/Vibrasi
10. Anjurkan menarik napas melalui hidung selama 4
detik, menahan napas selama 2 detik, kemudian
menghembuskan napas dari mulut dengan bibir
dibulatkan (Mencucu) selama 8 detik
11. Anjurkan mengulangi tindakan menarik napas dan
hembuskan selama 3 kali
12. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik
napas dalam yang ke-3
13. Kolaborasi pemberian mukolitik dan ekspektoran,
jika perlu
14. Rapikan pasien dan alat-alat yang digunakan
15. Lepaskan sarung tangan
16. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah
17. Dokumentasikan prosedur yang telah dilakukan dan
respons pasien
Sumber: (PPNI,
2021).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Desain penelitian adalah rencana penelitian yang dirancang secara terperinci
yang terbagi dari beberapa komponen yang saling menyatu satu sama lainnya
untuk mendapatkan fakta atau data dalam rangka menjawab pertanyaan atau
masalah penelitian. Desain penelitian yang akan diterapkan adalah pendekatan
studi kasus, yang melibatkan pengkajian yang intensif dan mendalam terhadap
unit penelitian. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menganalisis kejadian
yang terkait dengan kasus tersebut, serta bagaimana tindakan dan reaksi kasus
tersebut terhadap suatu intervensi khusus. (Margaritha Listia Pu’u, 2019; Dita
Pramasari, 2019;Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah, 2023-2024).
Studi kasus adalah metode penelitian yang melibatkan pengkajian satu unit
penelitian yang dilakukan secara intensif. Penting untuk mengetahui variabel
yang terkait dengan masalah penelitian. Rancangan studi kasus akan
disesuaikan dengan kondisi kasus, sambil tetap mempertimbangkan faktor
penelitian. Keuntamaan utama dari pendekatan ini adalah kemampuan untuk
melakukan analisis yang sangat rinci. Meskipun jumlah responden terbatas,
hal ini memungkinkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
tentang satu unit subjek. (Widi Yuana, 2020; Fajar Bagaskara, 2019).
Studi kasus ini dimulai dengan mengumpulkan fakta-fakta yang terkait dengan
faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gejala tertentu. Selanjutnya,
gejala atau peristiwa tersebut dibandingkan dengan situasi lain atau dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya dari dua atau beberapa kelompok sampel
secara objektif. Hal ini bertujuan untuk secara ilmiah, simetris, dan logis
mencari solusi masalah (Soekidjo Notoadmojo, 2018). Desain penelitian atau
studi kasus dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengembangkan membuat asuhan keperawatan mengenai masalah bersihan
jalan napas tidak efektif pada pasien Tuberkulosis paru dengan menggunakan
tindakan pelatihan batuk efektif di RSUD DR. Drajat Prawiranegara Serang
Banten.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian studi kasus ini akan dilakukan di RSUD DR. Drajat
Prawiranegara Kota Serang Provinsi Banten.

3.2.2 Waktu Penelitian


Penelitian akan dijadwalkan dalam bentuk studi kasus oleh peneliti. Waktu
penelitian akan dimulai sejak saat klien MRS datang hingga klien pulang
atau hingga klien dirawat selama minimal 3 hari. Jika klien sudah pulang
dalam kurun waktu 3 hari, maka akan dilakukan penggantian dengan klien
lain yang memiliki kasus yang sama. Penelitian proposal karya tulis ilmiah
akan dimulai pada bulan September hingga Maret 2024.

3.3 Subjek Penelitian


Subyek Dalam penelitian ini, dua pasien yang menjadi fokus perhatian adalah
mereka yang sedang menjalani asuhan keperawatan terkait dengan masalah
bersihan jalan napas yang tidak efektif akibat Tuberkulosis paru. Tindakan
yang difokuskan adalah pelatihan batuk efektif, dan penelitian ini akan
dilakukan di ruang penyakit dalam RSUD Dr,Drajat Prawiranegara Kota
Serang Provinsi Banten. Subjek penelitian dalam kasus ini adalah pasien
Tuberkulosis paru dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
a) Dua individu yang terdiagnosa dengan Tuberkulosis paru dan
menghadapi kendala dalam menjaga kebersihan jalan napas mereka
yang tidak efektif.
b) Pasien yang sedang dirawat inap di rumah sakit.
c) Pasien yang mengizinkan diri mereka untuk berpartisipasi sebagai
responden.
d) Pasien yang memiliki tingkat kesadaran yang optimal atau
composmentis. (Dita Pramasari, 2019; Dela Wulandari, 2021).
2. Kriteria Eklusi
a) Pasien tidak ingin menjadi subjek.
b) Pasien yang meninggalkan rumah sakit atau dipindahkan ke ruangan
lain sebelum mencapai 3 hari.
c) Pasien yang tidak mendapatkan diagnosis medis Tuberkulosis paru.
d) Pasien yang mengidap Tuberkulosis MDR (Multi-Drug Resistant).
e) Pasien Tuberkulosis yang mengalami gejala batuk berdarah.(Dita
Pramasari, 2019; Dela Wulandari, 2021).

3.4 Fokus Studi


Fokus penelitian ini adalah pada pasien yang menghadapi kendala dalam
menjaga kebersihan jalan napas yang tidak efektif akibat Tuberkulosis paru
dan menerima tindakan pelatihan batuk efektif selama periode dari hari
pertama hingga hari ketiga di Ruang penyakit dalam RSUD DR. Drajat
Prawiranegara Kora Serang Provinsi Banten.

3.5 Definisi Operasional


Definisi operasional dalam konteks variabel penelitian mengacu pada atribut,
sifat, atau nilai yang dimiliki oleh objek atau aktivitas tertentu, yang telah
ditentukan oleh peneliti untuk tujuan penelitian dan untuk kemudian diambil
kesimpulan dari hasilnya. Dengan kata lain, definisi operasional adalah cara
peneliti menjelaskan secara konkret tentang variabel yang akan diteliti .
(Wendy Farista, 2018; Moleong, Lexy, 2014; Sugiyono, 2015).

Tabel 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Oprational

1 Tuberkulosis paru Penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium


Tuberkulosis, yang menginfeksi paru-paru dan hampir semua
organ tubuh yang lain. (Alfais Fauzi D., 2019; Luies, L., &
Preez, I. du, 2020; Tim Pokja SIKI 2018).
2 Bersihan Jalan Napas Bersihan jalan napas yang tidak efektif adalah
Tidak Efektif ketidakmampuan untuk membersihkan membersihkan sekret
atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas
tetap jalan. (Kemenkes RI, 2020; Lestari, E. D et al, 2020;
Tim Pokja SDKI PPNI 2017).
3 Batuk Efektif Batuk efektif adalah Pelatihan batuk yang efektif yang
melibatkan instruksi kepada pasien yang mungkin mengalami
kesulitan dalam mengeluarkan batuk dengan efisien. Hal ini
bertujuan untuk membantu mereka membersihkan lendir atau
benda asing dari laring, trakea, dan bronkiolus dalam sistem
pernapasan mereka. (Lestari, E. D. et al, 2020; Niswah,
2021;Tim Pokja SIKI 2018).
*Sumber: (Dyan Nuraini, 2021).

3.6 Instrumen Penelitian


Penelitian studi kasus yang dilakukan akan melibatkan pengamatan atau
observasi, pengkajian atau wawancara, pemeriksaan fisik serta pelaksanaan
tindakan pelatihan batuk efektif pada pasien yang berada di Ruang Penyakit
Dalam di RSUD DR. Drajat Prawiranegara Kora Serang Provinsi Banten.
Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup format asuhan
keperawatan yang terdiri dari lembar pengkajian, lembar diagnosa, lembar
intervensi, lembar implementasi, lembar observasi, lembar evaluasi, serta alat-
alat yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan fisik dan pelatihan batuk
efektif. (Kemenkes RI, 2020; Sugiyono, 2015; Moleong, Lexy, 2014)
3.7 Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan (Moleong, Lexy, 2014) artikel ini, metode pengumpulan data
yang digunakan adalah:
1. Wawancara
Pengumpulan data pertama kali dilakukan melalui wawancara, yang
merupakan dialog dengan maksud tertentu yang diinisiasi oleh kedua
belah pihak, yakni pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan pihak
yang diwawancara yang memberikan respons terhadap pertanyaan
tersebut. Proses wawancara dilakukan secara langsung dengan kedua klien
dan keluarga masing-masing, melibatkan pertemuan tatap muka dan
penyampaian beberapa pertanyaan. Hasil dari sesi wawancara ini
mencakup informasi mengenai identitas klien, keluhan utama saat masuk
rumah sakit, keluhan utama saat dikaji, riwayat penyakit yang dimiliki
baik masa kini maupun masa lalu dalam keluarga, serta kebiasaan sehari-
hari sebelum dan setelah sakit, seperti pola nutrisi, pola eliminasi, tidur,
personal hygiene, dan aktivitas lainnya. (Cucu Malihah, 2016; Dela
Wulandari, 2021;Dwi Maslukhah, 2021).
2. Observasi
Pengertian observasi dalam konteks penelitian adalah fokus perhatian pada
suatu objek dengan menggunakan semua indera untuk mengumpulkan
seluruh data yang relevan. Observasi yang dilakukan pada kedua klien
mencakup evaluasi kondisi umum, monitoring tanda-tanda vital,
pengamatan terhadap keluhan yang disampaikan oleh klien, serta
pemantauan perubahan kondisi klien selama masa perawatan. Observasi
merupakan metode untuk mengamati perilaku dan status klien dengan
tujuan memperoleh informasi mengenai masalah kesehatan dan aspek-
aspek keperawatan yang berkaitan dengan klien tersebut (Cucu Malihah,
2016; Dela Wulandari, 2021;Dwi Maslukhah, 2021).
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan suatu prosedur yang dilakukan oleh peneliti
untuk mengevaluasi kondisi fisik klien dengan tujuan mengidentifikasi
permasalahan kesehatan yang mungkin dialami klien, serta untuk
mengumpulkan data dasar yang diperlukan untuk merencanakan intervensi
yang sesuai.Menurut (Moleong, Lexy, 2014; Kemenkes RI, 2020) terdapat
empat pendekatan dalam melakukan pemeriksaan fisik, yakni:
a. Inspeksi, yang melibatkan pengamatan dan observasi dengan
menggunakan panca indera untuk mendeteksi potensi masalah
kesehatan pada pasien.
b. Palpasi, merupakan metode pemeriksaan di mana peneliti merasakan
ukuran, kekuatan, atau posisi suatu objek di dalam tubuh.
c. Perkusi, dilakukan dengan mengetuk permukaan tubuh menggunakan
jari tangan sebagai perantara, dengan tujuan untuk mengevaluasi
kondisi organ-organ dalam tubuh.
d. Auskultasi, yakni proses mendengarkan suara-suara yang dihasilkan di
dalam tubuh pasien dengan menggunakan alat yang disebut stetoskop.
(Ardhitya Sejati & Liena Sofiana, 2015; Kemenkes RI, 2020; Wendy
Farista, 2018).
4. Dokumen Penelitian
Pendekatan terakhir dalam mengumpulkan data adalah melalui studi
dokumentasi. Dalam konteks ini, dokumen merujuk pada setiap materi
tertulis yang digunakan sebagai sumber data dan bukti dalam konteks
pengujian (Moleong, 2014). Penelitian dokumentasi yang dilakukan oleh
peneliti melibatkan pengumpulan dan pemeriksaan hasil-hasil terkait
penelitian, seperti laporan pemeriksaan diagnostik yang relevan dengan
kondisi klien. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data yang dapat
mendukung atau menguatkan diagnosa yang telah ditemukan sebelumnya.
(Sabinan G. & Mariana S., 2017; Luthfi Gusmanto P.W., 2020; Kemenkes
RI, 2018).

3.8 Etika Studi Kasus


Pada umumnya, prinsip-prinsip etika dalam konteks penelitian atau
pengumpulan data dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, yakni prinsip
manfaat, prinsip menghargai, hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.
Rinciannya akan dijelaskan berikut ini.
1. Informed Consent (Surat Persetujuan)
Informed Consent (Surat Persetujuan) secara literal terdiri dari dua kata,
yaitu "informed" yang mengindikasikan bahwa seseorang telah diberikan
penjelasan atau informasi, dan "consent" yang merujuk pada tindakan
memberikan izin atau persetujuan. Dengan demikian, dapat diartikan
bahwa Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan secara
sukarela oleh klien terhadap suatu tindakan medis setelah klien menerima
seluruh informasi yang relevan mengenai sifat dan konsekuensi tindakan
tersebut. Konsep Informed Consent didasarkan pada prinsip-prinsip seperti
autonomi, beneficence, dan non-maleficence, yang mengakar pada
martabat manusia dan mengedepankan perlindungan terhadap otonomi
dan integritas klien. (Mutiyani et al, 2021; Bertalina, B., Purnama, 2016).
2. Tanpa Nama (Anonimity)
Mayoritas penelitian yang melibatkan manusia berpotensi mengganggu
kehidupan pribadi mereka. Oleh karena itu, peneliti harus memastikan
bahwa privasi narasumber tetap terlindungi dengan menjaga kerahasiaan
informasi agar tetap terjaga. Partisipan memiliki hak untuk memastikan
bahwa semua data dan informasi yang mereka berikan akan dijaga dalam
kerahasiaan. (Cucu Malihah, 2016; Wa Ode Zamni, 2018; Dwi
Maslukhah, 2021)
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Setiap orang memiliki hak dasar yang termasuk hak privasi dan kebebasan
untuk memberikan informasi sesuai kehendaknya. Setiap orang memiliki
hak untuk menolak memberikan informasi yang mereka miliki kepada
pihak lain. Karena itu, penting bagi peneliti untuk tidak mengungkapkan
informasi yang mengidentifikasi subjek penelitian (Notoatmodjo, 2018).
Dalam penelitian ini, semua data yang telah dikumpulkan akan tetap
dijaga kerahasiaannya oleh peneliti, dan hanya data tertentu dari kedua
klien yang akan diungkapkan dalam hasil penelitian. (Sabinan G. &
Mariana S., 2017; Lestari, E. D. et al, 2020)
4. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan memastikan bahwa semua subjek penelitian mendapatkan
perlakuan yang sama dan manfaat yang setara, tanpa memandang faktor
seperti gender, agama, etnis, dan sebagainya (Widi Yuana, 2020). Dalam
konteks ini, peneliti berusaha menjalankan prinsip keadilan dengan
memberikan perlakuan yang serupa kepada kedua responden, yakni
pemberian perawatan yang sama terkait masalah keperawatan yang
diidentifikasi, yaitu masalah ketidak-efektifan bersihan jalan napas melalui
pelatihan teknik batuk efektif pada kedua responden. (Kartikasari,
Fitriana, 2020; Karyanto, R., & Laili, N, 2018; Azhifah Tsabiet
Sudarsono, 2023).

5. Bermanfaat (Beneficience)
Penelitian sebaiknya mencapai manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat
secara umum dan subjek penelitian secara khusus. Peneliti harus berusaha
meminimalkan dampak negatif yang dapat menimpa subjek penelitian.
Oleh karena itu, pelaksanaan penelitian harus memiliki kemampuan untuk
mencegah atau setidaknya mengurangi rasa sakit, cedera, stres, atau
bahkan kematian pada subjek penelitian (Dela Wulandari, 2021). Dalam
konteks penelitian ini, peneliti telah berupaya agar tidak ada pihak yang
mengalami kerugian dengan menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian
yang akan dilakukan kepada kedua responden. Melalui pelaksanaan
penelitian ini, diharapkan dapat mengurangi kemungkinan komplikasi
yang timbul akibat masalah ketidak-efektifan bersihan jalan napas yang
dialami oleh kedua klien (Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian, 2017; Luthfi Gusmanto P.W., 2020).
6. Kejujuran (Veracity)
Kejujuran merujuk pada kewajiban untuk mengungkapkan kebenaran.
Prinsip ini merupakan hal yang penting dalam pelayanan kesehatan karena
digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan informasi yang benar
kepada setiap pasien dan memastikan bahwa pasien benar-benar
memahaminya. Prinsip kejujuran memiliki keterkaitan erat dengan
kemampuan seseorang untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya
(Dela Wulandari, 2021) . Dalam konteks ini, peneliti menjamin integritas
dan kejujuran dengan cara menjelaskan secara akurat manfaat penelitian
yang akan dilakukan serta berusaha memberikan jawaban yang jujur
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh klien dan keluarga
yang berkaitan dengan kesehatan klien (Bassey E. Ekeng et al, 2022;
Wahyudi, 2018).

3.9. Langkah-langkah Pengumpulan Data


Setelah proses pengolahan data selesai, hasil penelitian akan terbentuk, dan
kemudian data penelitian akan dipresentasikan dalam bentuk narasi. Data ini
dapat diperoleh melalui dua jenis sumber, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer merujuk pada informasi yang diperoleh secara
langsung dari sumber asal, seperti pengisian kuesioner dan melakukan
wawancara dengan narasumber. Sementara itu, data sekunder mengacu pada
sumber informasi yang diperoleh secara tidak langsung, seperti melalui
referensi buku catatan medis pasien yang relevan. Terdapat 8 langkah yang
dilakukan dalam proses pengumpulan data, seperti berikut ini (Widi Yuana,
2020; Azhifah Tsabiet Sudarsono, 2023; Alfais Fauzi D., 2019):
1. Peneliti pertama-tama mengajukan surat permohonan studi pendahuluan
dan meminta izin penelitian RSUD kepada sekretariat jurusan Diploma III
Keperawatan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Mengajukan surat permohonan studi pendahuluan dan permintaan izin
penelitian kepada direktur RSUD.
3. Menerima balasan surat dari bagian akademik/diklat RSUD, yang berisi
persetujuan untuk studi pendahuluan dan izin penelitian yang mencakup
pengumpulan prevalensi.
4. Menyerahkan surat izin studi pendahuluan kepada bagian rekam medik
guna mendapatkan data jumlah pasien Tuberkulosis paru yang tercatat di
RSUD.
5. Memberikan surat izin penelitian kepada kepala ruangan RSUD untuk
pemilihan kasus yang menghadapi masalah keperawatan berupa gangguan
bersihan jalan napas yang tidak efektif pada pasien Tuberkulosis paru.
6. Melakukan observasi pada pasien yang telah ditunjuk oleh kepala ruangan
dan menjalin kesepakatan mengenai jadwal, serta memberikan penjelasan
serta meminta persetujuan melalui informed consent, jika pasien bersedia
menjadi subjek penelitian.
7. Melakukan perawatan keperawatan untuk meningkatkan efektivitas
bersihan jalan napas pada pasien Tuberkulosis paru dengan melatih teknik
batuk yang efektif.
8. Mendokumentasikan dan mengulas hasil dari implementasi tindakan
pelatihan batuk yang efektif pada pasien Tuberkulosis paru.
3.10. Metode Analisis Data
Analisis data dimulai saat peneliti berada di lapangan selama proses
pengumpulan data hingga semua data terkumpul. Proses analisis data ini
melibatkan presentasi fakta yang kemudian dibandingkan dengan teori yang
relevan, dan akhirnya diungkapkan dalam bentuk pandangan dalam
pembahasan. Teknik analisis yang diterapkan adalah dengan merinci
jawaban yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara mendalam yang
dilakukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Metode analisis ini
melibatkan observasi oleh peneliti dan juga kajian dokumen yang
menghasilkan data yang nantinya akan diinterpretasikan oleh peneliti. Data
tersebut akan dibandingkan dengan teori yang terkait untuk menjadi dasar
dalam memberikan rekomendasi intervensi. Urutan dalam proses analisis
dilakukan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan. (Niswah, 2021;
Nursalam, 2015; Karyanto, R., & Laili, N, 2018):
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan langkah yang melibatkan pendekatan
kepada subjek penelitian, dan metode pengumpulan data sangat
tergantung pada desain penelitian yang digunakan. Cara mengumpulkan
data berkaitan erat dengan desain penelitian dan alat atau teknik yang
digunakan. Proses pengumpulan data dalam studi kasus ini melibatkan
tiga tahap utama, yaitu pengumpulan data melalui wawancara,
observasi, dan dokumen. Data yang terkumpul mencakup informasi
yang berkaitan dengan pengkajian, diagnosis, perencanaan,
implementasi tindakan, dan evaluasi. Hasil pengumpulan data dicatat
dalam catatan lapangan, kemudian disalin dalam bentuk transkrip.
2. Mereduksi data
Data wawancara dikumpulkan dalam bentuk catatan lapangan disalin
menjadi satu salinan dan dikelompokkan dalam data data subjektif dan
objektif dianalisis berdasarkan hasil evaluasi data yang dibandingkan
dengan nilai normal.
3. Penyajian Data
Data dapat disajikan melalui berbagai format, seperti tabel, gambar,
grafik, diagram, atau narasi teks. Kerahasiaan pasien terjamin dengan
cara mengaburkan identitas dari kedua pasien dan penanggung jawab
mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam. (2015). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis


Edisi 4.; Medika,. Penerbit Salemba.
Alfais Fauzi D. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dewasa Penderita Tb
Paru Dengan Masalah Keperawatan Defisiensi Pengetahuan Tentang
Program Pengobatan Di Ruang Asoka Rsud Dr. Harjono Ponorogo. Tugas
Akhir (D3) thesis,. Ponorogo: Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Ardhitya Sejati & Liena Sofiana. (2015). FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA
TUBERKULOSIS. Jurnal Kesehatan Masyarakat 10 (2), 122-128.
Azhifah Tsabiet Sudarsono. (2023). HUBUNGAN SPIRITUALITAS DENGAN
MOTIVASI SEMBUH PASIEN TUBERKULOSIS PADA MASA PANDEMI
COVID-19 DI RS PARU JEMBER. Jember: UNIVERSITAS JEMBER.
Bassey E. Ekeng,Adeyinka A. Davies,Iriagbonse I. Osaigbovo,Adilia Warris,Rita
O. Oladele and David W. Denning 8. (2022). Pulmonary and
Extrapulmonary Manifestations of Fungal Infections Misdiagnosed as
Tuberculosis: The Need for Prompt Diagnosis and Management. Journal
Of Fungsi, 2.
Bertalina, B., Purnama. (2016). Hubungan Lama Sakit, Pengetahuan, Motivasi
Pasien dan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Diet Pasien Diabetes
Mellitus. Jurnal Kesehatan, Vol 7, No 2, , No 2, 329-340.
Cucu Malihah. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Dewasa Dengan TBC. .
David P.Maison. (2022). Patofisiologi tuberkulosis dan intervensi anti-VEGF.
Journal Of Clinical Tuberculosis and Other Mycrobacterial Diseases, 27.
Dela Wulandari. (2021). ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. J DENGAN
TUBERCULOSIS PARU DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN
OKSIGENASI DI RUANG TERATAI RSUD KOTA KENDARI. Kendari:
POLTEKKES KEMENKES KENDARI.
Denise Rossato Silva & Alana Ambos Freitas. (2022). Post-tuberculosis lung
disease: a comparison of Brazilian, Italian, and Mexican cohorts. J Bras
Pneumol, 48(2):e20210515.
Dita Pramasari. (2019). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
TUBERCULOSIS PARU DI RUANG SERUNI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA. Samarinda:
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN.
Dr. Fatmawati, M.Si. (2022, November 24). Estimasi dan Analisis Parameter pada
Model Transmisi Tuberkulosis Tipe SIS-SEIS di Jawa Timur Indonesia.
artikel ilmiah populer, p. 1.
DWI MASLUKHAH. (2021). KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN
KELUARGA PADA PASIEN TB PARU DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN DEFISIT PENGETAHUAN DI DESA ARJOSARI
KABUPATEN PASURUAN. Sidoarjo: POLITEKNIK KESEHATAN
KERTA CENDEKIA.
Elin Erlina. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TB
PARU DI PUSKESMAS SIAK HULU I KABUPATEN KAMPAR. RIAU:
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RIAU.
Fajar Bagaskara. (2019). LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEPERAWATAN
TUBERKULOSIS PARU PADA Ny. S DAN Ny. M DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS DI
RUANG MELATI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. HARYOTO
LUMAJANG. Jember: UNIVERSITAS JEMBER.
Fatemeh Zeynali kelishomi, Susan Khanjani ,Fatemeh Fardsanei ,Hediyeh Saghi
Sarabi ,Farhad Nikkhahi and Behzad Dehghani. (2022). Bacteriophages of
Mycobacterium tuberculosis, their diversity, and potential therapeutic
uses: a review. BMC Infectious Diseases, 22:957.
Fatimah, S., & Syamsudin. (2019). PENERAPAN TEKNIK BATUK EFEKTIF
MENGATASI KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS
PADA Tn. M DENGAN TUBERKULOSIS. . Jurnal Keperawatan Karya
Bhakti,5,, 26–30.
Hilka, T. K., A. Abulfathi, B. Rosenkranz, B. Bennett, M. Schwenkglenks, dan E.
Sinanovic. (2016). Health-Related Quality Of Life And Its Association
With Medication Adherence In Active Pulmonary Tuberculosis- A
SystematicReview Of Global Literature With Focus On South Africa.
Health and Quality of Life Outcomes.4(42), 2–13.
Kartikasari, Fitriana. (2020). PENGARUH PELATIHAN PENGKAJIAN
KOMPREHENSIF TERHADAP PENGETAHUAN DAN
KETERAMPILAN PERAWAT MENGKAJI KEBUTUHAN KLIEN DI
PUSKESMAS. Jurnal Keperawatan Suaka Insan. Volume 5 Edisi I.
Karyanto, R., & Laili, N. (2018). Pelaksanaan Batuk Efektif Pada Pasien
Tuberkulosis Paru Mengatasi Masalah Ketidakefektifan Jalan Napas. .
Jurnal Iklkes (Jurnal Ilmu Kesehatan), 9(1),, 79.
Kemenkes RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. (2017). Petunjuk Teknis Pemeriksaan TB Dengan TCM.
Kemenkes RI. (2018, Desember 26). Tuberkulosis (Tb. Tuberkulosis.
Kemenkes RI. (2020). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberculosis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian.
(2017). Modul Pelatihan penanggulangan Tuberkulosis bagi petugas
kesehatan. Jakarta:: Kemenkes RI.
Lestari, E. D., Umara, A. F., & Immawati, S. A. (2020). Pengaruh Batuk Efektif
Terhadap Pengeluaran Sputum Pada Pasien Tuberkulosis Paru. . Jurnal
Ilmiah.
Luies, L., & Preez, I. du. (2020). The echo of pulmonary tuberculosis:
Mechanisms of clinical symptoms and other disease-induced systemic
complications. . Clinical Microbiology Reviews,33(4, 1–19.
Luthfi Gusmanto P.W. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK TBC
(TUBERCOLOSIS) DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN
NAFAS DI RUANGAN NUSAINDAH ATAS RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH Dr. SLAMET GARUT. Bandung: UNIVERSITAS BHAKTI
KENCANA BANDUNG.
Marcelo Fouad Rabahi, J. L. (2017). Tuberculosis treatment. J Bras Pneumol,
43(5):472-486.
MARGARITHA LISTIA PU’U. (2019). “ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn.
A.N DENGAN TUBERCULOSIS PARU DI RUANG TULIP RSUD Prof.
Dr. W.Z. JOHANES KUPANG”. Kupang: POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENKES KUPANG.
Masting, K., Syafar, M., & Yusuf, A. . (2021). Determinan Sosial Kesehatan
Terhadap Kepatuhan Pengobatan Dots Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(2), , 552-559.
Menteri Kesehatan RI . (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Mohamed Sidahmed M. Siddik, Thowiba E. Ahmed, Fatima Rayan Awad Ahmed,
Rania A. Mokhtar, Elmustafa Sayed Ali , and Rashid A. Saeed. (2023).
Research Article Development of Health Digital GIS Map for
Tuberculosis Disease Distribution Analysis in Sudan. Journal of
Healthcare Engineering Volume 2023, 10.
Moleong, Lexy. (2014). Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Jakarta:
Remaja Rosda Karya.
Mutiyani, T., Sumarni, T., & Wirakhmi, I. N. (2021). Studi Kasus pada Pasien
Tuberkulosis Paru Ny. S dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di
Desa Pengadegan Kecamatan Pengadegan Kabupaten Purbalingga.
Seminar Nasional Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat,,
1451-1455.
Nisa, S. M., & P.S., Y. D. (2016). Hubungan Antara Karakteristik Kader
Kesehatan Dengan Praktik Penemuan Tersangka Kasus Tuberkulosis Paru.
. Journal of Health Education, 2(1), 93–100.
Niswah, K. (2021). ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.M DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS
PADA DIAGNOSA MEDIS TUBERKULOSIS PARU DI DESA GOLOKAN
GRESIK. Sidoarjo: POLITEKNIK KESEHATAN KERTA CENDEKIA.
Olfah, Yustiana & Abdul Ghofur. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan
: Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Kemenkes RI.
Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah. (2023-2024). BUKU PEDOMAN
PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH DENGAN METODE STUDI
KASUS. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Puspitasari, F., Purwono, J., & Immawati. (2021). Penerapan Teknik Batuk Efektif
Untuk Mengatasi Masalah Keperawatan Bersihan Jalan Napas Tidak
Efektif Pada Pasien Tuberkulosis Paru. Jurnal Cendikia Muda, 1(2),
230235., 230-235.
Puspitasari, N. D. (2019). Teknik Batuk Efektif Dan Bersihan Jalan Nafas Pada
Klien Tuberkulosis Paru Di Rsud M. Soewandhie Surabaya. Jurnal
Keperawatan, 12(2),, 121–128.
Rofii, M., Warsito, B. E., Santoso, A., & Ulliya, S. (2018). Diagnosa Keperawatan
yang Sering Ditegakkan Perawat Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Rumah
Sakit. . Jurnal Kepemimpinan Dan Manajemen Keperawatan,1(2), 1–8.
S A P Sayekti,Nunuk Nugrohowati,Winda Lestari. (2020). Faktor – Faktor yang
Berhubungan dengan Skoring Tuberkulosis Paru Anak di Daerah Lokus
Stunting Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tanara Tahun 2019.
Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK) , 1-2.
Sabinan G. & Mariana S. (2017). Pencegahan Penyakit Tbc Paru Yang Utama
Dimulai Dari Dalam Rumah Penderita. Jurnal Info Kesehatan Vo 15, No.1,
pp. 120-128.
Sally E Hayward,Anna Deal,Kieran Rustage ,Laura B Nellums ,Annika C
Sweetland,Delia Boccia,Sally Hargreaves ,Jon S Friedland. (2022). The
relationship between mental health and risk of active tuberculosis: a
systematic review. BMJ Open, 12.
Selma Arık,Kıvan Çevik. (2021). Effect of Postural Drainage and Deep
Breathing-Cough Exercises on Oxygen Saturation, Triflo Volume and
Pulmonary Function Test in Patients with COPD. JOURNAL OF
CLINICAL AND EXPERIMENTAL INVESTIGATIONS.Vol.12, 4.
Smeltzer & Bare. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.
Soekidjo Notoadmojo. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung:
Alfabeta.
Suhanda, P., & Rusmana, M . (2014). Efektifitas fisioterapi dada dan batuk efektif
pasca nebulasi terhadap bersihan jalan nafas pada pasien Tuberkulosis
paru di Rsu Tangerang. Jurnal Medikes (Media Informasi Kesehatan, 1(2),
, 87-94.
Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(1st ed.). . Dewa pengurus pusat persatuan perawat nasional indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI.
Tri Dewi Kristini & Rana Hamidah. (2020). Potensi Penularan Tuberculosis Paru
pada Anggota Keluarga Penderita. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
INDONESIA. Volume 15, , No.1.
Ulfasari Rafflesia. (2014). Model Penyebaran Penyakit Tuberkulosis (TBC).
Jurnal Gradien Vol. 10 No., 983-986.
ummirazka. (2023, September 15). Awas, Batuk Bisa Jadi Salah Satu Gejala
Kanker. Kesehatan, p. 1.
Wa Ode Zamni. (2018). ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA Tn “H”
DENGAN PENYAKIT TUBERCULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KULISUSU. Kendari: POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENKES KENDARI.
Wahyudi, A. D. (2018). Faktor Resiko TB Paru Dengan Kejadian TB Paru. .
Kupang: Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang Progam Studi
Keperawatan Waingapu.
Wendy Farista. (2018). ASUHAN KEPERAWATAN PADA TB PARU DENGAN
FOKUS STUDI PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI DI RST DR.
SOEDJONO MAGELANG. Semarang: POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENKES SEMARANG.
Widi Yuana. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KLIEN
DENGAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BUMI AYU
KOTA DUMA. Riau: POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RIAU.
World Health Organization (WHO). (2017). Global Tuberkulosis Report. Geneva.
Yunita Eka Ratnasari, Erti Ikhtiarini Dewi, Enggal Hadi Kurniyawan. (2021).
Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Stres Pasien TB Paru di Rumah
Sakit Paru Jember. e-journal Pustaka Kesehatan. Vol.9, 2.

Anda mungkin juga menyukai