Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendeteksian kondisi kebangkrutan dipercaya tidak sepenuhnya berasal
dari kinerja laporan keuangan semata. Misalnya dengan penggunaan metode
Altman (1968) yakni metode pendeteksian kebangkrutan yang ia kemukakan dan
diberi nama Altman Z-score. Diperlukan juga variabel pendukung lainnya agar
dapat memberi gambaran lebih tentang bagaimana situasi keuangan sebenarnya dan
apa yang menyebabkan terjadinya situasi tersebut guna menemukan sinyal
peringatan dini atas kondisi kebangkrutan yang lebih kuat dan lebih handal (Campa,
2014; Veronica, 2014).
Gudmundsson (2002) melakukan pengujian terhadap perusahaan
penerbangan diseluruh dunia dan mendapati bahwa dari keseluruhan variabel
independen penelitiannya yang menunjukkan signifikansi terhadap kemungkinan
kegagalan adalah average age of aircraft dan number of employees. Pengaruh
average age of aircraft dan number of employees menunjukkan bahwa
bertambahnya umur rata-rata pesawat dan bertambahnya jumlah karyawan
berpengaruh terhadap bertambahnya kemungkinan kegagalan perusahaan dan
sebaliknya. Tampaknya karyawan dalam penelitian tersebut mampu memberikan
pengaruh terhadap terjadinya kegagalan dalam suatu perusahaan. Sedangkan,
penelitian Situm (2015) mengenai peranan biaya karyawan dalam hubungannya
terhadap pendeteksian potensi kebangkrutan menunjukkan bahwa rasio-rasio yang
digunakan terkait karyawan tidak dapat berkontribusi untuk peningkatan kinerja
model prediksi kebangkrutan, akan tetapi tanda-tanda indikator karyawan dalam
fungsi diskriminan memang menunjukkan arah yang diharapkan. Terdapat
perbedaan dari dua penelitian diatas, secara konsep bertambahnya kuantitas dari
jumlah karyawan juga akan

1
mengakibatkan bertambahnya costs yang dikeluarkan untuk membiayai karyawan.
Akan tetapi secara statistik bertambahnya costs tidak mampu menunjukkan
pengaruh dalam membedakan perusahaan yang bangkrut dan non-bangkrut. Secara
logika pengelolaan karyawan yang efisien tampaknya memainkan peranan penting
dalam mengurangi probabilitas terjadinya kebangkrutan, yakni dengan melakukan
efisiensi didalam penggunaan sumber daya manusia. Akan tetapi tindakan
mengurangi penggunaan sumber daya manusia juga dapat menimbulkan dampak
negatif, yaitu menurunnya tingkat produktifitas perusahaan (Khaliq, 2014).
Keterlibatan manajemen dalam kelangsungan hidup perusahaan juga turut
memegang peranan penting. Tindakan manajemen yang dapat merekonstruksi
transaksi secara internal yang menyebabkan kinerja perusahaan terlihat baik, akan
tetapi juga dapat menciptakan masalah dimasa mendatang. Terkait dengan
manajemen laba, Campa (2014) melakukan penelitian di Spanyol terhadap
perusahaan yang bankrut dan tidak listing saham kedalam bursa, menemukan
bahwa perusahaan yang bangkrut melakukan kegiatan manajemen laba lebih gencar
dibandingkan perusahaan yang sehat dan masih beroperasi. Perusahaan-perusahaan
yang bankrut di Spanyol melakukan kegiatan manajemen laba dengan
menggunakan kedua indikator manajemen laba yakni metode akrual dan manipulasi
transaksi real. Kedua praktek tersebut dilakukan setidaknya tiga tahun sebelum
awal terjadinya kebangkrutan, akan tetapi manipulasi transaksi real berhenti sesaat
sebelum mengajukan kebangkrutan dalam tahun berjalan. Tampaknya kondisi
kegagalan menjadi suatu motivasi bagi manajemen untuk melakukan manipulasi
demi berusaha menunda terjadinya kebangkrutan. Lain halnya dengan penelitian
Eternadi (2012) yang mengemukakan bahwa semakin gagal suatu perusahaan maka
tingkat manajemen laba semakin menurun. Hal ini terjadi dikarenakan manajemen
melakukan tindakan manajemen laba dengan metode income minimation. Pengaruh
tersebut juga dapat diartikan bahwa peningkatan manajemen laba akan berdampak
pada peningkatan untuk terbebas dari resiko kebangkrutan. Dutzi (2016) melakukan
review terhadap literatur-literatur penelitian terkait manajemen laba dan
kebangkrutan, menyatakan bahwa hubungan kedua hal tersebut cukup ambigu.
Terkadang manajemen laba dan kebangkrutan menunjukkan pengaruh yang searah
akan tetapi juga disisi lain manajemen laba dan kebangkrutan juga dapat
menunjukkan pengaruh yang bertolak belakang. Beberapa faktor utama yang dapat
melandasi amiguitas tersebut antara lain seperti: motivasi untuk mendapatkan
insentif, reversal accruals, pengaruh stress level dan opini audit. Perbedaan hasil-
hasil penelitian sebelumnya ini membuat penelitian ini menarik untuk diteliti lebih
lanjut dengan menggunakan objek penelitian yang berbeda.
Sampel data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari laporan-
laporan keuangan perusahaan pertambangan di Indonesia yang di release oleh
Bursa Efek Indonesia (IDX) dengan penggunaan time series mulai dari tahun 2011
hingga tahun 2015. Pemilihan sampel ini didasari oleh kondisi harga dari komoditas
industri pertambangan yang masih cenderung menurun ditahun 2015 (Ministry of
Energy and Mineral Resources Republic of Indonesia, 2015) yang mengakibatkan
guncangan finansial bagi seluruh perusahaan yang bergerak pada sektor tersebut.
Berdasarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2015) didapatkan
informasi bahwa
(1) Perlambatan pertumbuhan perekonomian global sedang terjadi, terutama pada
Tiongkok yang merupakan negara konsumen minyak mentah utama dunia. (2)
Sejauh ini produksi minyak mentah dari Amerika Serikat dan negara-negara non-
OPEC terus meningkat. (3) Terjadi kelebihan pasokan minyak mentah global, salah
satunya akibat peningkatan pasokan Iran sejak dicabutnya embargo terhadap Iran.
(4) Masih rendahnya permintaan minyak mentah di kawasan Eropa dan Asia,
khususnya India dan Tiongkok. Lalu untuk faktor domestik dalam negeri terdapat
pula peraturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan pertambangan
khususnya sektor mineral dan batuan untuk dapat membangun pusat pengolahan
atau pemurnian barang tambang (smelter) agar komoditas pertambangan dapat
memiliki nilai jual lebih di pasar internasional (Supriadi, 2015).
Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat gap didalam penelitian
terdahulu terkait penilaian kondisi perusahaan yang mengalami kebangkrutan
dengan
memanfaatkan indikator employee cost dan manajemen laba. Celah perbedaan
antara tiap hasil penelitian terdahulu dimanfaatkan untuk diaplikasikan dalam kasus
yang berbeda. Penelitian tentang employee cost terhadap pengaruhnya pada
kebangkrutan masih sangat jarang dipublikasikan (Situm, 2015) oleh karena itu
penelitian ini dilakukan untuk semakin menambah literatur dalam hal tersebut.
Begitu pula untuk manajemen laba, penelitian yang berfokus pada kaitan
manajemen laba terhadap kebangkrutan juga masih relatif “muda” yakni selama
sepuluh tahun belakangan. Studi-studi terdahulu tersebut menyatakan adanya
hubungan antara manajemen laba terhadap kebangkrutan namun dengan arah hasil
yang heterogen (Dutzi, 2016). Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat
semakin menjelaskan temuan baru yang lebih konsisten. Penelitian ini akan
membahas kasus perusahaan pertambangan di Indonesia yang sedang mengalami
gejolak (ketidakpastian) dan tampaknya masih belum menemukan titik terang
hingga saat ini. Penelitian ini bermaksud untuk menggabungkan hasil dari
penelitian terdahulu menggunakan indikator rasio keuangan seperti profitabilitas
yang terbukti di beberapa penelitian menunjukkan signifikansi dalam mendeteksi
kondisi kebangkrutan, lebih lanjut pemanfaatan indikator rasio keuangan juga dapat
mendukung kontribusi keseluruhan variabel dalam membedakan perusahaan yang
bangkrut dan non-bangkrut (Campa, 2014; Veronica, 2014; Habib, 2013).
Pengungkapan pengaruh karyawan dan manajemen laba dengan bantuan
proftibalitas diharap mampu memberikan informasi bagi pihak pengambil
keputusan diperusahaan pertambangan agar dapat memecahkan isu utama saat ini
yaitu kegagalan bisnis. Apakah dengan berfokus kepada karyawan maka
perusahaan dapat tetap survive ditengah kondisi yang tidak menguntungkan? atau
dengan adanya aktifitas manajemen laba sehingga kondisi terburuk dapat ditunda
atau harus tetap berfokus pada pencapaian profit demi kelangsungan hidup
perusahaan. Penelitian ini juga dapat berkontribusi bagi negara-negara berkembang
dalam menemukan solusi untuk dapat tetap selamat ditengah era gempuran bisnis
yang terbuka saat ini.
1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah employee cost berpengaruh terhadap kemungkinan kebangkrutan?
2. Apakah manajemen laba berpengaruh terhadap kemungkinan kebangkrutan?
3. Apakah profitabilitas berpengaruh terhadap kemungkinan kebangkrutan?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh bukti empiris bagaimana pengaruh employee cost
terhadap kemungkinan kebangkrutan.
2. Untuk memperoleh bukti empiris bagaimana pengaruh manajemen laba
terhadap kemungkinan kebangkrutan.
3. Untuk memperoleh bukti empiris bagaimana pengaruh profitabilitas
terhadap kemungkinan kebangkrutan.

1.4. Manfaat Penelitian


Terdapat beberapa kegunaan hasil dari penelitian ini bagi beberapa pihak,
sebagai berikut:
1. Bagi perkembangan di bidang akademik, diharapkan hasil penelitian ini
nantinya dapat berguna dalam proses pengembangan bidang akademik
terutama dalam bidang ilmu akuntansi terkait dengan pengembangan
model pendeteksian kebangkrutan dengan memanfaatkan indikator dari
employee cost, manajemen laba dan profitabilitas.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan untuk
keperluan pengambilan keputusan, secara khusus bagi para pemangku
kepentingan di perusahaan-perusahaan pertambangan agar dapat
mempertimbangkan indikator apa saja yang seharusnya diolah, sehingga
dapat menyajikan suatu informasi yang layak tentang kondisi keuangan
perusahaan.
1.5. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian latar belakang penelitian yang menjadi dasar atau
alasan dilakukannya penelitian, perumusan terkait masalah-masalah yang
akan diteliti lebih mendalam, tujuan dan manfaat hasil dari penelitian,
serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Bab ini menjelaskan mengenai tinjauan pustaka sebagai dasar konsep dan
teori-teori yang dianggap relevan dengan permasalahan dalam penelitian,
kerangka konseptual, serta perumusan hipotesis.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah
penelitian. Metode penelitian ini terdiri dari: rancangan penelitian, definisi
operasional dan pengukuran variabel, metode pengumpulan data serta
metode analisis data.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan mengenai hasil analisis dan pembahasan yang
berkaitan dengan masalah penelitian, dimana akan dibandingkan antara
hasil penelitian saat ini dengan hasil penelitian sebelumnya atau teori yang
digunakan, serta pembahasan mengenai hipotesis yang diajukan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN SERTA IMPLIKASI
Bagian ini berisikan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, implikasi
dan keterbatasan dari penelitian yang dilakukan serta dilampirkan juga
saran bagi penelitian selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Rerangka Teoritis
2.1.1.1. Teori Terkait Kebangkrutan
Terdapat beberapa teori terkait dengan kebangkrutan yang dijadikan
landasan dalam banyak penelitian terdahulu, antara lain sebagai berikut:
1. The Trade-off Theory
Dalam trade-off theory dinyatakan bahwa perusahaan memiliki rasio
hutang atas ekuitas yang optimal, hal tersebut ditentukan dengan
melakukan trade- off keuntungan dari hutang dengan biaya. Dalam model
trade-off tradisional, keuntungan hutang adalah keuntungan pajak atas
pengurangan bunga. Dan yang dimaksud biaya adalah biaya mungkin
muncul saat terjadi distress (baik yang menyebabkan kebangkrutan dan
yang tidak menyebabkan kebangkrutan) dan beban pajak pribadi
pemegang obligasi saat menerima pendapatan bunga. Tujuan utama trade-
off tersebut adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan oleh karena itu
hutang dan ekuitas digunakan sebagai alasan pengganti. Menurut teori ini,
profitabilitas yang semakin tinggi akan menurunkan kemungkinan distress
dan membiarkan perusahaan meningkatkan keuntungan pajak dengan
meningkatkan leverage. Oleh karena itu, perusahaan harus lebih memilih
pembiayaan hutang karena manfaat pajaknya. Dengan kata lain teori ini
menyatakan bahwa perusahaan dapat meminjam sampai titik di mana
keuntungan pajak dari hutang adalah sama persis dengan biaya yang
mungkin muncul saat terjadinya distress (baik yang menyebabkan
kebangkrutan dan yang tidak menyebabkan kebangkrutan) (Modigliani
dan Miller, 1958; Miller, 1977).
2. Liquidity Preference Theory
Menurut teori ini uang adalah aset paling likuid. Likuiditas adalah atribut
pada aset. Semakin cepat suatu aset di konversikan menjadi uang maka
dianggap aset tersebut sangat liquid. Kebutuhan atas likuiditas ditentukan
oleh tiga motif:
a. The transcations motive
Harus memiliki likuiditas agar dapat menjamin transaksi dasar, karena
pendapatan tidak tersedia selalu tersedia secara cepat. Jumlah likuiditas
yang diminta ditentukan oleh tingkat pendapatan, dimana semakin
tinggi pendapatan maka semakin banyak uang yang diminta untuk
mengakomodasi peningkatan belanja.
b. The precautionary motive
Harus memiliki likuiditas dalam hal akan terjadinya kasus atau
masalah tidak terduga yang membutuhkan sejumlah pengeluaran yang
tidak terduga.
c. Speculative motive
Harus mempertahankan likuiditas karena terdapat spekulasi bahwa
harga obligasi akan turun, sehingga investor akan memilih untuk
menggunakan dana likuid demi melakukan investasi pada hal lain yang
menawarkan tingkat return yang lebih baik. Investor tidak ingin
menginvestasikan modalnya saat keadaan tidak menguntungkan karena
takut kehilangan kesempatan yang lebih baik dimasa mendatang
dengan demikian, semakin rendah tingkat suku bunga, semakin banyak
uang yang diminta (dan sebaliknya) (Keynes, 1936).

2.1.1.2. Kesulitan Keuangan (Financial Distress)


Kondisi keuangan suatu perusahaan di ukur dari kemampuan untuk
mendanai operasional bisnisnya dan memperoleh keuntungan dari kegiatan bisnis
tersebut. Jika perusahaan dapat memenuhi hal tersebut, maka kondisi keuangannya
berada dalam kondisi normal tetapi jika tidak maka dapat diartikan bahwa
perusahaan sedang mengalami masalah yakni kondisi kesulitan keuangan (financial
distress) (Prihanthini, 2015).
Sebelum terjadinya kebangkrutan terlebih dahulu diawali dengan tanda-
tanda awal salah satunya adalah financial distress. Financial distress sulit untuk
diartikan secara tepat dikarenakan terlalu banyak kejadian-kejadian yang melanda
perusahaan disaat kondisi ini terjadi, antara lain:
1. Berkurangnya deviden,
2. Penutupan pabrik,
3. Kerugian,
4. Pemutusan hubungan kerja (PHK),
5. CEO yang mengundurkan diri,
6. Harga saham yang jatuh, (Prihanthini, 2015).

Menurut Prihanthini (2015) financial distress adalah situasi dimana cash


flow operasional perusahaan tidak lagi mencukupi untuk mendanai kewajiban yang
dimiliki oleh perusahaan, sehingga perusahaan dipaksa untuk melakukan tindakan
yang dapat memperbaiki kondisi tersebut. Menurut Zaki (2011) financial distress
mengacu pada kondisi ketika peminjam (baik individu atau institusi) tidak dapat
memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditur. Kondisi kesulitan ini mungkin
terjadi karena faktor spesifik internal si peminjam seperti reputasi, leverage,
volatilitas pendapatan, jaminan atau mungkin karena faktor spesifik eksternal
seperti kondisi ekonomi dan tingkat suku bunga. Para karyawan yang bekerja di
perusahaan yang mengalami financial distress seringkali memiliki rasa percaya diri
yang kurang dan sebaliknya memiliki tingkat stress yang tinggi dikarenakan
berhadapan dengan situasi bangkrut, yakni kemungkinan untuk kehilangan posisi
jabatan dan pekerjaannya. Dalam situasi financial distress para pekerja akan
menjadi kurang produktif. Terlebih lagi jika perusahaan yang mengalami kondisi
financial distress tidak segara melakukan perbaikan performa atau tidak
menangani kondisi tersebut
secara maksimal maka akan memungkinkan perusahaan dapat mengalami
kebangkrutan atau lebih buruk lagi terpaksa melikuidasi perusahaan. Investor juga
dapat memberikan penilaian negatif terhadap performa perusahaan yang
menyebabkan berkurangnya minat akan saham perusahaan yang bermasalah
tersebut (Khaliq, 2014). Dalam penelitian Habib (2013) dinyatakan bahwa kondisi
financial distress di perusahaan-perusahaan telah lama menjadi isu perhatian oleh
pemerintah dan para investor. Penurunan kinerja keuangan yang signifikan dan
terus-menerus dalam perusahaan pada akhirnya dapat mengakibatkan kebangkrutan
dan membuat investor atau kreditor menderita kerugian secara finansial. Financial
distress sangat beresiko karena hal tersebut menciptakan kecenderungan bagi
perusahaan-perusahaan untuk melakukan hal-hal yang berbahaya bagi para
pemangku kepentingan seperti kegagalan kinerja operasional. Selain itu, financial
distress juga memiliki resiko lainnya seperti tidak dapat merespon persaingan bisnis
sehingga kehilangan kesempatan untuk meningkatkan market share.
Secara umum terdapat beberapa tahapan pada perusahaan yang mengalami
distress hingga akhirnya berujung pada kebangkrutan (Emery & Finnerty, 1997;
Brigham, 1997; Gitman, 1994), yaitu antara lain:
1. Economic Failure
Kondisi economic failure terjadi apabila suatu perusahaan
mengalami hal dibawah ini:
a. Tidak mempunyai pendapatan yang cukup untuk dapat menutup
biaya produksi maupun biaya modal (cost of capital).
b. Tingkat pengembalian investasi modal (rate of return) lebih rendah
daripada tingkat investasi modal yang dapat dihasilkan di luar
perusahaan, misalnya tingkat deposito lebih besar dari return on
investment (ROI).
c. Tingkat pengembalian investasi modal lebih rendah daripada biaya
modal yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Bisnis atau
perusahaan yang mengalami kondisi economic failure tetap dapat
melanjutkan
operasional-nya selama para investor atau kreditur masih bersedia
untuk memberikan tambahan modal dan pemilik perusahaan masih
bersedia untuk menerima tingkat pengembalian (return) dibawah
tingkat bunga pasar.
2. Business Failure
Kondisi ini menggambarkan suatu perusahaan yang pengembalian
atas investasinya (return) bernilai negatif atau rendah. Dengan kata lain,
apabila suatu perusahan mengalami kerugian operasional secara terus-
menerus maka nilai pasar (market value) dari perusahaan tersebut akan
mengalami penurunan. Sehingga apabila perusahaan tersebut tidak mampu
untuk memperoleh return yang lebih besar dari biaya modalnya maka
perusahaan atau bisnis tersebut dikatakan mengalami kegagalan (failure).
3. In Default
Suatu perusahaan berada dalam kondisi in default apabila perusahaan
melanggar jangka waktu perjanjian hutang (term of loan agreement).
Terdapat dua istilah yang berbeda dalam mengartikan kondisi ini, yaitu:
a. Technical Default
Kondisi ini terjadi jika debitur dalam hal ini perusahaan melanggar
perjanjian pinjaman. Perusahaan yang mengalami hal ini tidak selalu
mengarah kepada kondisi kebangkrutan, dikarenakan perusahan tetap
dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya apabila perusahaan
melakukan negosiasi kembali dengan kreditur.
b. Payment Default
Perusahaan dinyatakan berada dalam tahap ini apabila perusahaan
gagal memenuhi kewajiban untuk membayar bunga dan atau pokok
pinjaman. Kegagalan disini tidak selalu berarti bahwa perusahaan
tidak mampu membayar hutangnya, tetapi mungkin saja karena
perusahan tersebut terlambat membayar kewajibannya yang telah
jatuh tempo walaupun hanya satu hari. Jika dalam perjanjian
hutang
dilengkapi dengan perjanjian grace period (perpanjangan waktu
periode), maka kondisi payment default terjadi setelah masa grace
period tersebut berakhir.
4. Insolvent
Perusahaan dikatakan dalam kondisi insolvent jika perusahaan tidak
mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang disebabkan karena
kekurangan likuiditas dana atau perusahaan tidak mampu memperoleh
laba bersih (menderita kerugian). Terdapat dua pengertian untuk kondisi
ini yaitu:
a. Technical Insolvency
Kondisi ini terjadi apabila perusahaan kekurangan kas sehingga tidak
dapat melunasi hutang lancarnya pada saat jatuh tempo. Pada kondisi
ini sebenarnya total aset perusahaan masih lebih besar dari total
kewajiban, namun demikian masalah yang dihadapi oleh perusahaan
adalah masalah krisis likuiditas. Technical insolvency merupakan
kondisi tidak likuid yang bersifat temporer. Jika setelah jangka waktu
tertentu perusahaan mampu mengkonversikan asetnya sehingga
dapat menghasilkan uang cash untuk membayar kewajibannya, maka
perusahaan memungkinkan untuk survive dan keluar dari resiko
kegagalan.
b. Bankruptcy Insolvency
Kondisi ini terjadi ketika nilai buku (book value) dari total kewajiban
perusahaan lebih besar daripada nilai pasar (market value) total
asetnya, sehingga nilai perusahaan (firm’s net worth) adalah negatif.
Hal ini berarti nilai dari aset tidak mencukupi untuk membayar
kembali hutangnya. Bankruptcy insolvency umumnya memberikan
indikasi terjadinya kondisi distress yang lebih serius daripada
technical insolvency sehingga dapat juga dikatakan sebagai tanda
menuju kebangkrutan yang akan mengarah pada likuidasi
perusahaan.
5. Bankruptcy
Kondisi ini dinyatakan dalam bentuk modal yang negatif, yang
berarti klaim dari kreditur tidak akan dipenuhi kecuali harta dari
perusahaan telah dapat dilikuidasi (dijual). Perusahaan dinyatakan
bangkrut secara legal apabila perusahaan telah membuat pernyataan
kebangkrutan sesuai ketentuan yang berlaku.

2.1.1.3. Kondisi Kebangkrutan


Dalam mengukur kebangkrutan dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu
flow approach dan stock approach. Dari perspektif stock approach, kebangkrutan
dapat dinyatakan terjadi jika total kewajiban perusahaan melebihi total aset.
Sedangkan dari pendekatan flow approach, kebangkrutan dapat dinyatakan terjadi
jika perusahaan tidak dapat menghasilkan kas yang cukup untuk menjalankan
operasional (Hanafi, 2004).
Veronica (2014) menyatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kondisi kebangkrutan dan faktor-faktor tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor- faktor internal dapat dikategorikan sebagai berikut, yaitu antara lain:
1. Manajemen yang tidak efisien, yang dapat terdiri dari biaya produksi yang
terbuang percuma, atau kurangnya keterampilan keahlian manajemen yang
berpotensi mengarah kepada kekurangan budget secara terus menerus.
2. Ketidakseimbangan antara modal, piutang, dan hutang. Terlalu banyak
hutang dapat menimbulkan beban bunga, yang kemudian memotong
margin usaha perusahaan. Lalu, terlalu banyak piutang juga dapat berarti
terdapat aset yang idle, yang kemungkinan tidak dapat menghasilkan
pendapatan (piutang tidak tertagih).
3. Moral hazard oleh manajemen, seperti: penyalahgunaan wewenang, fraud
dan penyajian informasi yang palsu kepada stakeholder juga dapat
menyebabkan kondisi financial distress bahkan kebangkrutan.
Disisi lain, faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
kebangkrutan dapat dikategorikan sebagai berikut, yaitu antara lain:
1. Faktor-faktor eksternal yang berhubungan secara langsung meliputi;
a. Selera dan preferensi dari customer yang berubah dapat
menyebabkan mereka untuk beralih ke produk subtitusi dari
perusahaan yang berbeda.
b. Relasi dengan supplier yang tidak dikelola dengan baik
menyebabkan pada suatu saat perusahaan akan mengalami kesulitan
dalam memperoleh segala hal yang dibutuhkan untuk kegiatan bisnis.
c. Debitur dapat mempengaruhi piutang perusahaan dan mengganggu
siklus operasional perusahaan.
d. Kreditur dapat mempengaruhi suntikan kelancaran pembiayaan yang
diperlukan, khususnya untuk kebutuhan modal kerja.
2. Faktor-faktor eksternal yang berhubungan secara tidak langsung meliputi;
a. Kondisi makroekonomi.
b. Persaingan global, dimana hal tersebut kemungkinan dapat
menyebabkan peningkatan tekanan ke arah persaingan yang sangat
ketat dalam kegiatan bisnis. Faktor-faktor eksternal secara tidak
langsung diatas juga dapat menempatkan tekanan kepada kondisi
perbaikan terus-menerus untuk produk dari perusahaan (Veronica,
2014; Brigham, 1997; Emery & Finnerty, 1997).

Setiap model yang dirumuskan dapat terdiri dari ketidakakuratan dalam


mencatat prediksi nyata pada kebangkrutan perusahaan, kemungkinan
ketidakakuratan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori umum yaitu
antara lain:
1. Type I error
Dalam kategori ini dinyatakan prediksi bahwa perusahaan tidak akan
bangkrut. Namun, perusahaan dalam kenyataannya berubah menjadi
bangkrut. Type I error menyebabkan biaya yang relatif tinggi karena dapat
memprediksi situasi "tidak ada kebangkrutan", dimana menyebabkan
investor untuk berinvestasi lebih kedalam perusahaan. Namun pada
kenyataannya, perusahaan berubah menjadi bangkrut. Dampaknya ialah
investor akan kehilangan uang mereka.
2. Type II error
Dalam kategori ini dinyatakan prediksi bahwa perusahaan akan bangkrut,
tetapi dalam kenyataannya perusahaan masih beroperasi dan atau
menghasilkan keuntungan. Type II error juga menimbulkan biaya,
meskipun tetap pada tingkat yang lebih rendah daripada akumulasi biaya
yang dikeluarkan oleh Type I error dalam memprediksi kebangkrutan.
Dalam hal ini, investor dapat memilih untuk tidak berinvestasi di
perusahaan yang di prediksi akan mengalami kebangkrutan. Namun dalam
realitanya, perusahaan tetap beroperasi dengan lancar maka secara tidak
langsung mengartikan bahwa investor telah kehilangan kesempatan untuk
menghasilkan uang (Beaver, 1966).

2.1.1.4. Model Prediksi Kebangkrutan “Altman Z-Score Model”


Altman (1968) ialah seorang profesor dari New York, ia telah berhasil
mengembangkan model yang dapat mendeteksi atau memprediksi kebangkrutan
untuk perusahaan manufaktur. Dia menggunakan rasio dari laporan keuangan yang
di aplikasikan kedalam multiple discriminant analysis didalam penelitiannya. Hasil
dari penelitiannya tersebut dikenal sebagai Z score model dan pengaplikasiannya
masih digunakan hingga saat ini. Altman Z score model tersebut mengkalkulasikan
rasio keuangan secara bersamaan untuk menghasilkan satu hasil prediksi yang dapat
mengestimasi keseluruhan kondisi keuangan perusahaan yang diteliti. Kelebihan
model Altman dibandingkan analisis rasio traditional adalah dalam proses
simulasinya mempertimbangkan likuiditas, asset management, debt management,
profitabilitas, dan market value (Khaliq, 2014). Model tersebut terbukti akurat
dalam
memprediksi kebangkrutan dengan tingkat keberhasilan sekitar 94% saat sampel
awal dan sekitar 95% dari keseluruhan sampel perusahaan yang dibagi kedalam
kelompok bangkrut dan non-bangkrut berdasarkan klasifikasi realitanya. Lebih
lanjut, temuan model tersebut dapat memprediksi terjadinya kebangkrutan secara
akurat sejak dua tahun sebelum kegagalan sebenarnya dengan akurasi yang
berkurang setelah tahun kedua (Altman, 1968; Khaliq, 2014). Penelitian oleh
Sinarti & Tia (2015) yang meneliti kualitas hasil pengukuran kebangkrutan dengan
metode Altman Z-Score, Springate Model, Zmijewski Model menyatakan bahwa
model prediksi Altman Z- Score terbukti lebih akurat dari pada model prediksi
lainnya dalam memprediksi perusahaan yang sehat dan perusahaan yang berpotensi
bangkrut. Berikut merupakan uraian mengenai rasio-rasio yang digunakan dalam
persamaan diskriminan dalam model Z score tersebut:
1. Modal kerja terhadap total aset (working capital to total assets) digunakan
untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan terhadap total kapitalnya atau
untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
jangka pendek. Indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
masalah pada tingkat likuiditas perusahaan adalah indikator-indikator
internal seperti ketidakcukupan kas, hutang dagang membengkak, dan
beberapa indikator lainnya.
2. Laba ditahan terhadap total aset (retained earning to total assets)
digunakan untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio ini mengukur
akumulasi laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan
berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan
beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan.
Hal tersebut dapat menyebabkan perusahaan yang masih relatif muda pada
umumnya akan menunjukkan hasil rasio yang rendah, kecuali yang
labanya sangat besar pada masa awal berdirinya.
3. Pendapatan sebelum bunga dan pajak terhadap total aset (earnings before
interest and taxes to total assets) digunakan untuk mengukur produktivitas
yang sebenarnya dari aktiva perusahaan. Rasio tersebut mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang
digunakan. Rasio ini merupakan kontributor terbesar dari model tersebut.
Beberapa indikator yang dapat kita gunakan dalam mendeteksi adanya
masalah pada kemampuan profitabilitas perusahaan diantaranya adalah
piutang dagang meningkat, rugi terus-menerus dalam beberapa kwartal,
persediaan meningkat, penjualan menurun, dan terlambatnya hasil
penagihan piutang.
4. Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku hutang (market value equity to
book value of total debt) digunakan untuk mengukur seberapa banyak
modal yang dapat tersedia untuk mengatasi kondisi jumlah hutang yang
lebih besar daripada aktivanya dan agar perusahaan tidak menjadi pailit.
Modal yang dimaksud adalah gabungan nilai pasar dari modal biasa dan
saham preferen, sedangkan hutang mencakup hutang lancar dan hutang
jangka panjang.
5. Penjualan terhadap total aset (sales to total assets) digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan.
Rasio tersebut mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan
aktiva untuk menghasilkan penjualan (Altman, 1968; Khaliq, 2014).
Berikut merupakan bentuk perhitungan dari model Z score tersebut, yaitu:

Z = 1.2 (Working Capital/Total Assets) + 1.4 (Retained Earnings/Total Assets) +


3.3 (EBIT/Total Assets) + 0.6 (Market Value of Equity/Book Value of Total Debt)
+ 1.0 (Sales/Total Assets)
;dimana interpretasinya dapat diartikan sebagai berikut,
jika: Z < 1,81 : diprediksi akan bangkrut,
1,81 ≤ Z ≤ 2,99 : grey area,
Z > 2,99 : diprediksi normal.
Nilai Z merupakan indeks dari potensi kebangkrutan dalam prakteknya
nilai Z antara 1,81 sampai dengan 2,99 merupakan area abu-abu (grey area) yang
berarti jika perusahaan tidak ditangani dengan cepat dan cermat maka kemungkinan
besar perusahaan akan mengalami kebangkrutan. Untuk menemukan nilai tengah
atas kondisi grey area tersebut, nilai 2,675 ditetapkan sebagai nilai kritis terbaik
dalam memisahkan perusahaan yang berpotensi bangkrut dan tidak bangkrut
(Altman, 1968). Jika hasil score dari Z yang kurang dari 2,675 mengindikasikan
bahwa perusahaan memiliki potensi 95% untuk bangkrut dalam kurun waktu satu
tahun. Lebih lanjut, Altman mengungkapkan bahwa bilamana Z < 1.81 berarti
menunjukkan bahwa perusahaan diprediksi akan mengalami kondisi kebangkrutan,
sedangkan bilamana Z > 2.99 berarti menunjukkan bahwa perusahaan diprediksi
berada dalam kondisi sehat atau normal (Altman, 1968; Ross, 2010).

2.1.1.5. Kinerja Keuangan


Kinerja keuangan perusahaan dapat dievaluasi dari rasio keuangan
(Veronika, 2014). Rasio keuangan seperti: likuiditas, solvabilitas, aktivitas,
profitabilitas, dan pasar dapat mengartikan kondisi kesehatan keuangan suatu
perusahaan. Dalam penelitian ini rasio yang akan digunakan hanya rasio yang
berhubungan dengan kemampuan menghasilkan laba, maka rasio profitabilitas
adalah ukuran yang paling tepat.

2.1.1.5.1. Rasio Profitabilitas


Rasio ini mengukur efektivitas pengelolaan perusahaan dan berkaitan erat
dengan tujuan akhir perusahaan yaitu untuk menghasilkan tingkat laba maksimum.
Ketika rasio profitabilitas meningkat maka dapat diartikan perusahaan
menghasilkan laba yang lebih tinggi. Hubungan antara rasio profitabilitas dan
kebangkrutan perusahaan dalam penelitian yang dilakukan Veronica (2014)
menyatakan bahwa indikator profitabilitas memberikan hasil yang signifikan dalam
menjelaskan kebangkrutan. Dan juga hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
salah satu
rasio keuangan yang dominan dan secara signifikan mempengaruhi terjadinya
kebangkrutan pada suatu perusahaan adalah rasio profitabilitas, seperti: return on
asset (ROA). Robert (1997) menyatakan bahwa return on asset diukur dari laba
bersih setelah pajak (earning after tax) terhadap total asset-nya yang mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam penggunaan aset investasi untuk operasional
perusahaan dalam rangka menghasilkan profit bagi perusahaan.. Semakin besar
ROA menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin baik, karena tingkat
pengembalian investasi (return) semakin besar. Berikut ada rumus dalam
memperhitungkan return on assets (ROA), yaitu:
ROA = NI / TA
; dimana:
ROA : Return on Asset
NI : Net Income
TA : Total Asset

2.1.1.6. Manajemen Laba


Tekanan yang disebabkan oleh karena hasil kinerja bisnis yang buruk atau
berhadapan dengan situasi perekonomian yang ekstrim menjadi alasan kuat
mengapa manajemen melakukan manipulasi untuk dapat mengubah tampilan hasil
kinerja keuangan perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Campa (2014) menunjukkan bahwa perusahaan yang mengalami
kebangkrutan menunjukkan tingkat aktivitas manajemen laba yang lebih tinggi.
Hasil ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa manajer dari perusahaan yang sangat
tertekan secara finansial cenderung untuk berusaha meningkatkan penghasilan
sebagai upaya terakhir untuk menghindari kebangkrutan. Namun, hal tersebut
membuat para pemangku kepentingan yang membuat keputusan tentang masa
depan perusahaan didasarkan atas informasi yang dikumpulkan dari laporan yang
kualitasnya dipengaruhi oleh praktek-praktek manipulasi laba. Dengan
mempertimbangkan bahwa laba berkualitas tinggi sangat penting untuk membuat
keputusan rasional, maka topik manajemen laba
adalah topik yang relevan untuk penelitian ini. Berikut merupakan teori yang
mendasari kegiatan manajemen laba yaitu sebagai berikut:

2.1.1.6.1. Laba
Menurut Chariri (2003) pengertian laba adalah laba akuntansi yang
merupakan selisih pengukuran pendapatan dan beban. Besar kecilnya laba sebagai
pengukur kenaikan aktiva sangat tergantung pada ketepatan pengukuran pendapatan
dan beban. Earnings disebut juga sebagai konsep laba periode. Konsep laba periode
dimaksudkan untuk mengukur efisiensi suatu perusahaan. Ukuran efisiensi
umumnya dilakukan dengan membandingkan laba periode berjalan dengan laba
periode sebelumnya atau dengan laba perusahaan lain pada industri yang sama.
Yang termasuk elemen laba pada konsep laba periode adalah peristiwa atau
perubahan nilai yang dapat dikendalikan manajemen dan berasal dari keputusan-
keputusan periode berjalan.

2.1.1.6.2. Konsep Akrual


Dalam akuntansi dikenal istilah basis akrual dan basis kas. Basis akrual
digunakan untuk menentukan penghasilan pada saat diperoleh dan untuk mengakui
beban yang sepadan dengan penghasilan pada saat diperoleh. Basis kas digunakan
untuk mengakui pendapatan dan beban atas dasar kas tunai yang diterima atau
dikeluarkan. Dasar akrual dalam laporan keuangan memberikan kesempatan kepada
manajer untuk memodifikasi laporan keuangan untuk menghasilkan jumlah laba
(earnings) yang diinginkan. Standar Akuntansi Keuangan juga memberikan
keleluasaan kepada manajer untuk memilih metode akuntansi dalam menyusun
laporan keuangan. Deteksi atas kemungkinan dilakukannya manajemen laba dalam
laporan keuangan secara umum diteliti melalui penggunaan akrual. Jumlah akrual
yang tercermin dalam penghitungan laba terdiri dari discretionary accruals dan non
discretionary accruals. Non discretionary accruals merupakan komponen akrual
yang terjadi seiring dengan perubahan dari aktivitas perusahaan dan discretionary
accruals merupakan komponen akrual yang berasal dari earnings management yang
dilakukan oleh manajer perusahaan (Andromeda, 2008).

2.1.1.6.3. Manajemen Laba Dalam Teori Akuntansi Positif


Konsep earnings management (manajemen laba) dapat dimulai dari
pendekatan agency theory dan signaling theory. Teori keagenan (agency theory)
menyatakan bahwa praktik earnings management dipengaruhi oleh adanya konflik
kepentingan antara agen (manajemen) dengan prinsipal (pemilik) yang timbul
ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat
kemakmuran yang dikehendakinya. Teori sinyal (signalling theory) membahas
bagaimana seharusnya sinyal-sinyal keberhasilan atau kegagalan manajemen
disampaikan kepada pemilik (Jensen, 1976). Penyampaian laporan keuangan dapat
dianggap sinyal apakah agen telah berbuat sesuai dengan kontrak kerja. Dalam
hubungan keagenan, manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal
perusahaan seperti kreditor dan investor. Asimetri informasi terjadi ketika manajer
memiliki informasi internal perusahaan yang relatif lebih banyak dan mengetahui
informasi tersebut lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Kondisi ini
memberikan kesempatan kepada manajer untuk menggunakan informasi yang
diketahuinya untuk memanipulasi laporan keuangan sebagai usaha untuk
memaksimalkan kepentingannya (Andromeda, 2008). Tiga hipotesis teori akuntansi
positif (Positive Accounting Theory) yang dirumuskan oleh Watts dan Zimmerman
(1990) dapat dijadikan dasar pemahaman dalam tindakan earning management
yakni antara lain:
1. Hipotesis program bonus (The Bonus Plan Hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan laporan kinerja yang didasarkan atas data
akuntansi merupakan insentif bagi manajer untuk memilih prosedur dan
metode akuntansi yang dapat memaksimumkan besarnya bonus yang akan
diperoleh. Laba suatu periode akuntansi yang lebih rendah dari target laba
merupakan insentif bagi manajer untuk mengurangi laba yang dilaporkan
dalam suatu periode tersebut dan mentransfer laba ke periode berikutnya.
2. Hipotesis perjanjian hutang (The Debt Covenant Hypothesis)
Salah satu persyaratan dalam pemberian kredit seringkali mencakup
kesediaan debitur untuk mempertahankan tingkat rasio modal kerja
minimal, rasio debt to equity minimal. Pelanggaran terhadap batasan-
batasan yang termuat dalam kontrak kredit ini merupakan hal yang
menakutkan bagi manajemen. Oleh karena itu, kondisi keuangan yang
menyebabkan perusahaan berada dalam posisi nyaris melanggar perjanjian
kredit dapat menjadi insentif bagi manajer untuk melakukan manajemen
laba dalam rangka meminimalkan probabilitas pelanggaran perjanjian
kredit.
3. Hipotesis Politis (The Political Cost Hypothesis)
Fluktuasi yang besar dalam laba mungkin menarik perhatian pembuat
peraturan (regulator), fluktuasi peningkatan yang besar atas laba dapat
dipandang sebagai sinyal krisis dan menyebabkan regulator bertindak.
Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat
mengurangi laba dibandingkan perusahaan kecil. Positive Accounting
Theory (PAT) mengakui tiga bentuk hubungan keagenan yaitu: (1) antara
manajemen dengan pemilik, (2) antara manajemen dengan kreditor, (3)
antara manajemen dengan pemerintah. Dalam konteks ini PAT adalah
untuk menerangkan dan meramalkan pilihan manajemen terhadap metode
dan prosedur akuntansi. PAT mencoba menganalisis biaya serta manfaat
pengungkapan informasi keuangan tertentu bagi komunitas yang
memerlukan informasi akuntansi. Asumsi yang mendasarinya adalah
semua komunitas yang berkepentingan dengan perusahaan bertindak
secara rasional untuk memaksimalkan kepentingannya.

2.1.1.6.4. Agency Theory


Teori keagenan ini diartikan sebagai suatu bentuk kontrak kerjasama,
dimana satu orang atau lebih (principal) melakukan suatu perjanjian dengan orang
lain (agent) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka (principal)
termasuk pendelegasian kewenangan dalam hal pengambilan keputusan. Hubungan
keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan, yaitu:
1. Terjadinya informasi yang asimetris (information asymmetry), dimana
manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai
kondisi keuangan yang sebenarnya dan posisi operasi entitas dari pemilik
(principal).
2. Terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidaksamaan
tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan pemilik. Dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah
keagenan ini menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan
ditanggung baik oleh principal maupun agent (Jensen, 1976).
Biaya keagenan tersebut dibagi menjadi monitoring cost, bonding cost dan
residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh
principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan
mengontrol perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya yang ditangung oleh
agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent
akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual loss merupakan
pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari
perbedaan keputusan agent dan keputusan principal (Jensen, 1976).
Berdasarkan penelitian Campa (2014) digunakan dua cara untuk menilai
earnings management yakni manipulasi transaksi real dan manipulasi akrual. Dari
kedua cara tersebut masing-masing menunjukan pengaruh manajemen laba terhadap
potensi terjadinya kebangkrutan, akan tetapi saat perusahaan berada dalam kondisi
kebangkrutan hanya manipulasi akrual yang tetap menunjukkan pengaruh. Oleh
karena itu penelitian ini akan menggunakan proxy dari manipulasi akrual yaitu
akrual diskresioner (discretionary accruals). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Dechow (1995) membuktikan bahwa penggunaan model modified jones (1991)
merupakan alat ukur yang paling akurat dalam memprediksi manajemen laba
hingga saat ini, atas dasar tersebut maka penelitian ini juga akan menggunakan
model
prediksi manajemen laba modified jones. Langkah-langkah untuk mengukur akrual
diskresioner dijabarkan sebagai berikut:
a. Pertama-tama dengan menggukur jumlah dari total accrual pada
periode berjalan dengan rumus sebagai berikut:

; dimana,
NIit = Laba bersih (net income) perusahaan i pada periode t
CFit = Arus kas operasi (cash flow of operation)
perusahaan i pada periode t.
b. Lalu kemudian total accrual diestimasi dengan persamaan regresi
OLS (Ordinary Least Square), yakni sebagai berikut:

; dimana,
TACt = Total accrual dalam periode t
TAt-1 = Total asset periode t-1
∆REVt = Perubahan pendapatan atau penjualan bersih periode
t PPEt = Property, plan and equipment periode t
α1, α2, α3 = Koefisien regresi.
c. Setelah diestimasi dengan persamaan regresi OLS maka koefisien
regresi dari total accrual dapat digunakan untuk menghitung non
akrual diskresioner yakni sebagai berikut:

; dimana,
∆RECt = Perubahan piutang bersih dalam periode
t α1, α2, α3 = Fitted coefficients hasil regresi
d. Dengan didapatnya hasil total accrual yang telah diestimasi dalam
persamaan regresi OLS dan telah didapat pula ukuran dari non akrual
diskresioner maka tahap terakhir adalah menghitung total akrual
diskresioner yakni sebagai berikut:

; dimana,
DTACt = Total akrual diskresioner tahun
t TACt = Total akrual tahun t
NDTACt =Non akrual diskresioner pada tahun t (Dechow, 1995).

2.1.1.7. Employee Cost (Biaya Karyawan)


Blazovich (2014) menyatakan bahwa kinerja dari perusahaan yang
sifatnya “employee-friendly” menunjukkan performa yang lebih baik daripada
perusahaan lainnya yang tidak berfokus akan hal yang serupa. Secara khusus,
perusahaan yang employee-friendly memiliki nilai pasar atas ekuitas yang superior,
tingkat pengembalian aset yang lebih tinggi, dan tingkat pengembalian ekuitas yang
lebih baik. Disisi lain, mengenai tingkat resiko temuan penelitiannya menunjukkan
bahwa perusahaan yang employee-friendly kurang berisiko dibandingkan
perusahaan lain. Tiga dimensi resiko diuji yaitu current ratio, leverage, dan Altman
Z-score. Perusahaan yang employee-friendly memiliki current ratio yang lebih
tinggi, rata-rata leverage yang rendah (rasio hutang jangka panjang terhadap aset
lebih rendah), dan memiliki nilai Altman Z-score yang lebih tinggi. Z-score yang
lebih tinggi dapat menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kemungkinan
kebangkrutan yang lebih kecil.
Perancangan rencana penggajian digunakan oleh perusahaan untuk
mendukung, memberikan semangat, mendorong dan mengontrol sikap dan kinerja
dari karyawan. Rencana tersebut berbentuk kompensasi berupa insentif maupun
upah atau gaji. Berikut beberapa teori yang dapat menjelaskan dampak kompensasi
terhadap karyawan:
1. Equity Theory and Fairness
Dalam membuat suatu keputusan penggajian, manajemen perusahaan
harus selalu sadar bahwa para karyawannya akan selalu berusaha untuk
mengevaluasi tingkatan penghasilan yang mereka terima dengan karyawan
lainnya dalam satu perusahaan. Teori ini menjelaskan bahwa seorang
karyawan akan membandingkan rasio dari hal yang diterimanya
(outcomes: gaji, benefit, kondisi pekerjaan) dengan apa yang diberikannya
(inputs: kemampuan, pengalaman, upaya) terhadap outcomes/inputs (O/I)
dari karyawan lainnya. Jika karyawan menilai ratio O/I diri nya lebih kecil
dari pada karyawan lain maka akan muncul suatu rasa ketidakadilan yang
kurang baik, sebaliknya jika karyawan menilai ratio O/I diri nya lebih
besar dari pada karyawan lain maka akan muncul rasa ketidakadilan yang
terlalu tinggi akan tetapi hal ini sangat jarang terjadi atau diungkapkan
dikarenakan karyawan akan selalu berusaha berpikir rasional dengan
menganggap bahwa beban kerjanya telah sepadan dengan penghasilan
yang didapat. Untuk kondisi dimana rasa ketidakadilan yang kurang baik
muncul dalam diri seorang karyawan maka akan menyebabkan beberapa
hal berikut:
a. Berusaha mengurangi kualitas atau kapasitas dari pekerjaannya,
b. Berusaha mendapatkan penghasilan lebih (seperti: mencuri, korupsi,
double job),
c. Berupaya untuk memunculkan permasalahan dan berhenti secara tiba-
tiba ataupun dengan menolak untuk bekerjasama dengan karyawan lain
yang dianggap mendapatkan kompensasi yang lebih daripada dirinya
(Noe, 2015).
2. Efficiency Wage Theory
Dalam ekonomi ketenagakerjaan (labor economics), teori efficiency wage
berpendapat bahwa upah merujuk pada insentif yang dibayarkan kepada
seorang karyawan dengan tingkatan yang lebih besar dari pada upah rata-
rata pasar akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi dari karyawan,
ataupun akan mengurangi biaya employee turnover. Keuntungan dengan
memberikan upah diatas upah rata-rata pasar adalah memberikan
perusahaan kesempatan untuk mendapatakan talented individual dan
menciptakan kepuasan dalam bekerja, hal tersebut dapat berdampak pada
ketenagakerjaan yang produktif dan efektif. Sedangkan dampak negatif
dengan memberikan upah diatas rata-rata pasar bagi perusahaan adalah
akan semakin meningkatkan beban perusahaan dan bagi lapangan
pekerjaan akan semakin meningkatkan pengangguran karena hanya
menjaring orang-orang dengan kemampuan dalam bidang tertentu.
Kondisi penting dimana teori ini dapat berlaku adalah saat perusahaan
memiliki tekhnologi atau infrastruktur yang membutuhkan seorang atau
beberapa profesional untuk mengoperasikannya (Akerlof, 1986).
Pemanfaatan karyawan secara profesional dan ekonomis tampaknya
penting untuk kesuksesan perusahaan dan ini juga bergantung pada kualitas dari
manajemen mengenai seberapa baik aspek-aspek profesional dan ekonomis tersebut
terpenuhi. Hal ini memungkinkan bagi perusahaan untuk meningkatkan EBIT
melalui pengendalian ketat terhadap biaya tenaga kerja (Kim, 2006). Bartual (2012)
melakukan analisis terhadap dua variabel yang berhubungan dengan karyawan:
sales/personnel expenses and sales/(financial expenses + personnel expenses).
Hanya variabel kedua yang signifikan secara statistik dan oleh karena itu cocok
untuk membedakan antara perusahaan yang gagal dan yang tidak gagal. Perusahaan
yang menunjukkan nilai rasio sales/(financial expenses + personnel expenses) yang
lebih tinggi tampaknya lebih stabil dan oleh karena itu kurang rentan terhadap
masalah. Atas dasar itu ditarik kesimpulan bahwa dalam menghadapi krisis dan
kebangkrutan perusahaan harus dapat menciptakan peningkatan sales dan
pengurangan biaya karyawan. Lain hal dengan Situm (2015) yang mengemukakan
bahwa penggunaan rasio terkait biaya karyawan antara lain: jumlah karyawan,
sales/jumlah karyawan, EBIT/jumlah karyawan, EBIT/staff cost dalam
memprediksi krisis dan prediksi kepailitan perusahaan mengungkapkan bahwa
hampir tidak ada dari rasio tersebut
yang terdeteksi untuk memiliki kekuatan diskriminatif dalam membedakan antara
perusahaan bangkrut dan non bangkrut. Dikarenakan berbagai perusahaan saling
bersaing di pasar tenaga kerja, setiap perusahaan harus memandang para
karyawannya bukan hanya sebagai cost tetapi juga sebagai resource yang
diinvestasikan dan oleh karena itu diharapkan akan memberikan hasil yang
diharapkan. Biarpun dalam mengontrol costs secara langsung dapat mempengaruhi
perusahaan dalam persaingan bisnis hal tersebut dapat diatasi jika costs dapat selalu
ditekan rendah dengan mengorbankan produktivitas dan kualitas karyawan.
Memiliki biaya tenaga kerja lebih tinggi daripada kompetitor tidak perlu menjadi
perhatian jika perusahaan juga memiliki tenaga kerja terbaik dan paling efektif
dimana yang dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik (Noe,
2015).

2.1.2. Penelitian Terdahulu


Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Nama
No. Judul Variabel Penelitian Hasil
Peneliti
1. Edward I. Financial Variabel Independen: Keseluruhan variabel
Altman (1968) Working Capital/Total independen terbukti dapat
Ratio, Assets, Retained digunakan untuk
Discriminant Earnings/Total membedakan perusahaan
Analysis and the Assets, yang bangkrut dan non-
Prediction EBIT/Total Assets, bangkrut dengan akurasi
of Market Value of sebesar 95% sejak 2 tahun
Corporate Equity/Book sebelum terjadinya
Bankruptcy Value of Total kegagalan.
Debt, Sales/Total
Assets Variabel
Dependen:
Bankruptcy
2. Sinarti dan Tia Bankruptcy Variabel Independen: Model prediksi Altman Z-
Maria Prediction Z-score Model, Springate Score terbukti lebih akurat
Sembiring Analysis Model, Zmijewski Model dari pada model prediksi
(2015) of Variabel Dependen: lain dalam memprediksi
Manufacturing Bankruptcy Prediction perusahaan yang sehat dan
3. Sveinn Vidar Airline Distress Variabel Independen: Dari keseluruhan variabel
Gudmundsson Prediction Using Load Factor, number of independen, yang
(2002) Non-Financial passengers, number menunjukkan signifikansi
Indicators of hours flown, terhadap kemungkinan
number of departure, kegagalan adalah average
number of pilots, age of aircraft dan number
number of of employees. Pengaruh
employees, average age average age of aircraft dan
of aircraft, inflation, number of employee
brands of aircraft, memiliki arah positif,
political influence bertambahnya umur rata-rata
Variabel Dependen: pesawat dan bertambahnya
Probability of Failure jumlah karyawan
berpengaruh terhadap
bertambahnya kemungkinan
kegagalan perusahaan dan
sebaliknya.
4. Janell L. Employe-Friendly Variabel Independen:  Kinerja finansial dari
Blazovich, Companies and Financial Performance perusahaan yang
Katherine Worklife dan Risk Level employee- friendly lebih
Taken Smith, Balance: Is there Variabel Dependen: baik dibandingkan dengan
L. Murphy an Impact on Employee-Friendly Firms perusahaan serupa yang
Smith (2014) Financial tidak berorientasi terhadap
Performance and karyawan.
Risk Level?  Perusahaan yang
employee- friendly
memiliki tingkatan resiko
yang lebih rendah daripada
perusahaan lain yang
serupa tapi tidak
berorientasikan terhadap
karyawan.
5. Domenico Earnings Variabel Independen: Perusahaan yang bangkrut
Campa dan management Bankrupt firms and non- melakukan manajemen laba
María-del-Mar among bankrupt bankrupt firms yang meningkat, manajemen
Camacho- non-listed Variabel Dependen: laba yang dilakukan
Miñano (2014) firms: Earnings Management menggunakan manipulasi
evidence accruals dan manipulasi
from penjualan selama 3 tahun
Spain berturut-turut sebelum
kebangkrutan secara resmi.
6. Andreas Dutzi Earnings Variabel Independen: Hasil review terhadap
dan Bastian Management Earnings Management beberapa penelitian
Rausch (2016) Before Variabel Dependen: manajemen laba terhadap
Bankruptcy: Bankruptcy kebangkrutan didapatkan
A bahwa hubungan
Review of manajemen laba dan
the kebangkrutan sangat ambigu.
Literature Terdapat kondisi dimana
manajemen laba meningkat
dan kondisi manajemen laba
menurun selama periode
menuju kebangkrutan,
faktor-faktor penyebab
utamanya antara lain:
motivasi insentif, reversal
accruals, stress
level dan opini audit.
7. Hossein Discretionary Variabel Independen: Hasil penelitian menyatakan
Eternadi, Accruals Failed Firms bahwa perusahaan yang
Mohsen Behavior Variabel Dependen: mengalami kegagalan
Dastgi, Earnings terbukti melakukan
Mansour of Iranian Management manajemen laba. Teknik
Momeni, dan Distressed Firms manajemen laba yang
Hassan dilakukan dengan metode
Farajzadeh income minimation.
Dehkordi
(2012)
8. Daniel Profitability Variabel Independen: Perusahaan dengan
Brindescu Ratio asa Profitability Ratio profitabilitas tinggi
(2016) Tool Variabel Dependen: menunjukkan kebangkrutan
for Corporate Bankruptcy yang rendah, penelitian ini
Bankruptcy menyatakan arah hubungan
Prediction variabel profitability ratio
dan corporate bankruptcy
negatif.
9. M. Sienly Bankruptcy Variabel Independen: Financial ratio dan cash
Veronica dan Prediction Inflasi, Interest flow ratio menunjukkan
Samuel PD Model: Rates, Gross pengaruh terhadap terjadinya
Anantadjaya An Domestic Product, kebangkrutan sedangkan
(2014) Industrial Exchange Makroekonomi tidak
Rates, Financial menunjukkan pengaruh
Study in Ratios, sama sekali.
Indonesian Cash Flow
Publicly-listed Ratios
Firms Variabel Dependen:
Corporate Bankruptcy
During
1999-2010
2.2. Rerangka Konseptual
Keinginanan untuk membuktikan pengaruh variabel employee cost
terhadap kemungkinan kebangkrutan dalam penelitian ini didasari oleh beberapa
penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu oleh Gudmundsson (2002) tentang faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kemungkinan kebangkrutan pada perusahaan
penerbangan mengemukakan bahwa, dari keseluruhan faktor penyebab yang diteliti
yang menunjukkan pengaruh adalah umur rata-rata dari pesawat terbang dan jumlah
employee di perusahaan penerbangan. Dari hasil penelitiannya tersebut dapat
diartikan bahwa semakin meningkatnya umur rata-rata dari pesawat terbang dan
semakin meningkatnya jumlah karyawan akan berakibat pada peningkatan
kemungkinan terjadinya kebangkrutan. Penelitian lainnya oleh Situm (2015)
tentang pengaruh beberapa rasio terkait biaya karyawan (employee costs) tidak
dapat menunjukkan pengaruh dalam membedakan kondisi perusahaan yang
bangkrut dan kondisi perusahaan yang sehat.
Menurut equity theory and fairness (Noe, 2015) seorang karyawan akan
selalu membandingkan output yang diberikan dengan input yang diterima, jika
karyawan tersebut merasa bahwa ada ketidakadilan antara output dan input tersebut
akan menyebabkan karyawan untuk mengurangi kualitas dan atau kapasitas
kinerjanya, berupaya untuk mencari penghasilan tambahan, bahkan menolak untuk
bekerjasama yang tentu saja dapat mempengaruhi kinerja dari perusahaan bahkan
dapat memunculkan resiko bagi perusahaan. Menurut efficiency wage theory
(Akerlof, 1986) juga menyatakan bahwa perusahaan bersedia untuk memberikan
upah atau gaji diatas rata-rata pasar demi dapat menjaring talented individual,
semakin banyak talented individual didalam perusahaan juga tentu saja
membebankan perusahaan dalam mengalokasikan dana untuk membayar gaji
karyawan tersebut. Atas dasar literatur dan penelitian terdahulu diatas bahwa
peningkatan jumlah karyawan berpengaruh dalam menyebabkan terjadinya
kebangkutan dan oleh karena peningkatan jumlah karyawan juga turut
mengakibatkan peningkatan costs, maka
peneliti membangun argument bahwa peningkatan employee costs seharusnya juga
akan menyebabkan peningkatan kemungkinan kebangkrutan pada perusahaan.
Terkait pengaruh variabel manajeman laba terhadap kemungkinan
kebangkrutan dalam penelitian ini juga didasari oleh beberapa penelitian terdahulu.
Penelitian terdahulu oleh Campa (2014) tentang kebangkrutan terhadap
hubungannya dengan manajemen laba membuktikan bahwa perusahaan yang
bangkrut terjadi karena melakukan manajemen laba yang meningkat daripada
perusahaan yang normal. Hal tersebut dapat di interpretasikan bahwa manajer di
perusahaan yang mengalami kebangkrutan lebih berusaha untuk meningkatkan laba
karena perusahaan perlu untuk terlihat lebih baik daripada yang sebenarnya.
Tujuannya untuk menghindari dan atau berusaha untuk menunda resiko terjadinya
kebangkrutan. Penelitian Dutzi (2016) dengan melakukan review pada beberapa
literatur terkait pengaruh manajemen laba terhadap kebangkrutan perusahaan,
mengemukakan bahwa kedua hal tersebut menunjukkan hubungan yang ambigu.
Ada kondisi dimana manajemen laba dilakukan dengan income maximation disaat
perusahaan menuju kondisi kebangkrutan dan adapula kondisi dimana manajemen
laba dilakukan dengan income minimation saat menuju kondisi kebangkrutan.
Perlakuan yang berbeda-beda tersebut didasari oleh adanya kepentingan
manajemen.
Agency theory menurut Jensen (1976) menyatakan bahwa dalam
perusahaan terdapat kerjasama antara entitas manajemen (agent) dan pemilik atau
stakeholders (principal) dalam menjalankan bisnis. Oleh karena itu pula akan
terjadi asimetri informasi dimana agent akan lebih banyak memiliki informasi
tentang perusahaan daripada principal. Juga akan terjadi konflik kepentingan
dimana agent dan principal akan berbeda pandangan atau tujuan dalam
menjalankan bisnis. Atas dasar teori tersebut manajemen laba dengan pemanfaatan
metode pencatatan accrual basis akan menjadi celah bagi manajemen untuk
menciptakan situasi yang kondusif agar pemilik atau stakeholders akan selalu
merasa tidak ada masalah didalam perusahaan karena laba tersaji dengan baik. Atas
dasar beberapa penelitian terdahulu dan teori yang melandasi kegaitan manajemen
laba diatas peneliti membangun argumen untuk
membuktikan bahwa manajemen laba dengan tolak ukur discretionary accrual yang
semakin meningkat menandakan motivasi manajemen atas insentif sehingga
menyebabkan terjadinya penurunan kemungkinan kebangkrutan atau hanya untuk
melakukan penundaan terjadinya kebangkrutan.
Variabel profitabilitas di-implementasikan dalam model penelitian didasari
oleh penelitian terdahulu. Penelitian oleh Brindescu (2016) menyatakan bahwa
rasio profitabilitas terbukti menunjukkan pengaruh dengan arah negatif terhadap
kebangkrutan perusahaan. Dengan begitu dapat diartikan bahwa tingkat
profitabilitas harus dapat selalu ditingkatkan agar dapat meminimalisir resiko
kebangkrutan perusahaan. Penelitian ini bermaksud untuk menggabungkan hasil
dari penelitian terdahulu menggunakan indikator rasio keuangan yakni profitabilitas
yang terbukti di beberapa penelitian menunjukkan signifikansi terhadap
pendeteksian kondisi kebangkrutan, lebih lanjut pemanfaatan indikator rasio
keuangan juga dapat mendukung kontribusi keseluruhan variabel dalam
membedakan perusahaan yang bangkrut dan non-bangkrut (Campa, 2014;
Veronica, 2014; Habib, 2013).
Menurut Robert (1997) bahwa return on assets sebagai rasio atas
profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menggunakan asset-
nya secara efektif sehingga dapat menghasilkan profit. Menurut Chariri (2003)
pengertian laba adalah laba akuntansi yang merupakan selisih pengukuran
pendapatan dan beban. Besar kecilnya laba sebagai pengukur kenaikan aktiva
sangat tergantung pada ketepatan pengukuran pendapatan dan beban. Dengan laba,
perusahaan dapat meramalkan arus kas masa depan. Menurut Keynes (1936) dalam
liquidity preference theory menyatakan bahwa likuiditas adalah atribut dari asset
sehingga semakin cepat suatu asset dikonversikan menjadi uang maka keperluan
operasional perusahaan dapat tercukupi, resiko tidak terduga dapat dicegah dan
dana yang ada bisa digunakan untuk berinvestasi lebih lagi pada hal lainnya yang
memberikan tingkat return yang baik maka tentu saja kemungkinan kebangkrutan
dapat dicegah. Sehingga peneliti berargumen bahwa tingkat profitabilitas yang
tinggi akan menyebabkan penurunan resiko terjadinya kemungkinan kebangkrutan.
Atas dasar penjelasan dari kumpulan
literatur dan penelitian terdahulu diatas, maka kerangka dari penelitan ini akan
dirancang dengan bentuk sebagai berikut:

Gambar 2.1

Rerangka Konseptual

Variabel Independen Variabel Dependen

Employee Cost (X1)


H1

H2
Manajemen Laba (X2) Kebangkrutan (Y)

H3
Profitabilitas (X3)

2.3. Pengembangan Hipotesis


Beberapa permasalahan industri pertambangan yang muncul belakangan
ini menyebabkan sektor ini berada pada kondisi yang dilematis terkait dengan
permasalahan sosial, politis, perundangan hingga Pertambangan Tanpa Izin (PETI).
Dewasa ini, pasar komoditi logam dan mineral dunia sedang mengalami “booming”
harga dan “unpredicted conditions” sementara aktivitas eksplorasi dan investasi
juga meningkat. Tetapi Indonesia masih belum mampu memanfaatkan kondisi yang
“menarik” ini secara optimal. Kendala ini menyebabkan terhambatnya optimalisasi
kontribusi sektor pertambangan dalam mendorong perekonomian nasional
Indonesia (Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2016).

2.3.1. Pengaruh Employee Cost Terhadap Kemungkinan Kebangkrutan


Employee merupakan salah satu resource penting bagi sebuah perusahaan.
Tanpa adanya employee yang cukup dan berkualitas tentu saja perusahaan akan
kehilangan produktifitas. Akan tetapi, disamping bertambahnya jumlah employee
yang dapat meningkatkan produktifitas, hal tersebut juga mengakibatkan
perusahaan harus mengalokasikan sejumlah costs untuk dapat membiayai tenaga
kerja tersebut. Meningkatnya costs disatu sisi dapat menempatkan perusahaan
diposisi tidak menguntungkan (gagal atau bangkrut).
Penelitian yang dilakukan oleh Blazovich (2014) membuktikan bahwa
perusahaan yang berorientasi pada karyawan menunjukkan tingkat market value of
equity yang tinggi dan tingkat return on asset yang baik daripada kebanyakan
perusahaan yang tidak berfokus pada karyawan. Pengukuran terhadap median dari
performa perusahaan yang berorientasi terhadap karyawan lebih besar daripada
perusahaan lain yang tidak berorientasi terhadap hal yang sama. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa perusahaan yang berorientasi terhadap karyawan lebih baik
dalam menghasilkan profit dibandingkan dengan perusahaan sejenis yang tidak
berorientasi terhadap karyawan. Penelitian Gudmundsson (2002) mendapati bahwa
dari keseluruhan variabel independen penelitiannya yang menunjukkan signifikansi
terhadap kemungkinan kegagalan adalah average age of aircraft dan number of
employees. Pengaruh number of employee menunjukkan bahwa bertambahnya
jumlah karyawan berpengaruh terhadap bertambahnya kemungkinan kegagalan
perusahaan dan sebaliknya. Tampaknya karyawan dalam penelitian tersebut mampu
memberikan pengaruh terhadap terjadinya kegagalan dalam suatu perusahaan. Lain
hal-nya dengan penelitian yang dilakukan oleh Situm (2015) terhadap rasio
employee-related costs (biaya terkait karyawan) penelitiannya menemukan bahwa
tingkat profitabilitas yang didasarkan oleh biaya terkait karyawan tidak
menunjukkan pengaruh terhadap pembentukan model pendeteksian dini
kebangkrutan. Akan tetapi hal tersebut dapat berubah tergantung dari ukuran
perusahaan (firm size) yang digunakan sebagai sampel penelitian. Bertambahnya
kuantitas dari jumlah karyawan juga mengakibatkan bertambahnya costs yang
dikeluarkan untuk membiayai karyawan. Akan tetapi secara statistik bertambahnya
costs masih belum mampu menunjukkan
pengaruh dalam membedakan perusahaan yang bangkrut dan non-bangkrut, atas
dasar tersebut maka dirancang hipotesis pertama dalam penelitian ini yaitu:
H1: Employee cost berpengaruh positif terhadap kecenderungan
terjadinya kebangkrutan.

2.3.2. Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Kemungkinan Kebangkrutan


Manajemen laba merupakan suatu tindakan untuk mengatur tingkat laba
yang diperoleh, besar atau rendahnya laba sangat berpengaruh disaat perusahaan
menghadapi kondisi yang beresiko tinggi (i.e. kebangkrutan). Kuat dugaan bahwa
dengan dilakukannya manajemen laba yang semakin meningkat maka kemungkinan
kebangkrutan akan semakin kecil dikarenakan motivasi dari manajemen untuk
mendapatkan insentif dan atau berusaha untuk menunda terjadinya kebangkrutan
menjadi faktor pendorong utama.
Menurut Campa (2014) tentang kebangkrutan terhadap hubungannya
dengan manajemen laba menunjukkan bahwa perusahaan yang bangkrut melakukan
manajemen laba yang meningkat daripada perusahaan yang normal. Hal tersebut
dapat di interpretasikan bahwa manajer perusahaan yang mengalami kebangkrutan
lebih memilih untuk meningkatkan laba karena perusahaan perlu untuk terlihat
lebih baik daripada yang sebenarnya. Tujuannya untuk menghindari dan atau
berusaha untuk menunda resiko terjadinya kebangkrutan. Manipulasi accruals bisa
menjadi cara termudah bagi para manajer untuk memanipulasi laba dikarenakan
accruals melibatkan asumsi dan estimasi terhadap hal-hal yang bersifat intangible
dan akan sulit dinilai oleh pihak yang tidak berinteraksi secara langsung. Penelitian
lainnya oleh Eternadi (2012) yang menguji perilaku perusahaan yang gagal di Iran
terhadap manajemen laba menyatakan bahwa perusahaan yang gagal selama proses
menuju kebangkrutannya menunjukkan nilai akrual diskresioner yang semakin
negatif, dengan kata lain bahwa semakin perusahaan menuju kondisi kebangkrutan
maka manajemen laba semakin menurun. Teknik tersebut dilakukan dengan income
minimation. Tampaknya bagi perusahaan yang mengalami kegagalan di negara
berkembang seperti Iran melakukan penurunan tingkat laba akan tetapi tujuan hal
tersebut dilakukan tidak dijelaskan lebih lanjut dalam penelitiannya. Penelitian yang
dilakukan Dutzi (2016) dengan melakukan review terhadap beberapa literatur
terkait hubungan manajemen laba terhadap kebangkrutan perusahaan, menyatakan
bahwa kedua hal tersebut menunjukkan hubungan yang ambigu. Ada kondisi
dimana manajemen laba dilakukan dengan income maximation disaat perusahaan
menuju kondisi kebangkrutan dan adapula kondisi dimana manajemen laba
dilakukan dengan income minimation saat menuju kondisi kebangkrutan. Perlakuan
yang berbeda-beda tersebut didasari oleh adanya kepentingan manajemen seperti:
motivasi untuk mendapatkan insentif, membalik jumlah accruals, stress level yang
tinggi dan demi memperoleh opini audit yang baik. Oleh karena argumen yang
disampaikan di awal terkait manajemen laba dan adanya gap dalam penelitian-
penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang kedua dirancang sebagai berikut:
H2: Manajemen laba berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
terjadinya kebangkrutan.

2.3.3. Pengaruh Profitabilitas Terhadap Kemungkinan Kebangkrutan


Secara logika, semua perusahaan pasti menginginkan untuk menghasilkan
profit secara terus menerus dan semakin meningkat. Tingkat profitabilitas yang
tinggi dapat menandakan bahwa perusahaan beroperasi secara efektif dalam
kegiatan bisnisnya dengan demikian maka sangat tidak mungkin perusahaan
berhadapan dengan kondisi kebangkrutan.
Menurut Veronica (2014) menyatakan bahwa rasio profitabilitas yang
diukur dengan return on assets (ROA) menunjukkan tanda signifikansi dalam 2
tahun sebelum kegagalan bisnis. Tingginya nilai dari ROA menunjukkan bahwa
perusahaan menggunakan asset-nya lebih efektif dalam menghasilkan keuntungan.
Sebaliknya, nilai kecil dari ROA menunjukkan bahwa perusahaan menggunakan
asset secara tidak efektif. ROA kecil ini dapat menempatkan perusahaan dalam
kondisi distress dan probabilitas untuk menghadapi kebangkrutan dapat
meningkat dari waktu ke
waktu. Brindescu (2016) menyatakan bahwa rasio profitabilitas menunjukkan arah
hubungan negatif terhadap kebangkrutan perusahaan. Dengan begitu dapat diartikan
bahwa tingkat profit harus dapat selalu ditingkatkan agar dapat meminimalisir
resiko kebangkrutan perusahaan. ROA menurut Robert (1997) merupakan ukuran
atas tingkat profitabilitas, untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam mencapai
profit, ROA adalah ukuran yang tepat. Atas dasar untuk membuktikan hasil
penelitian tersebut dengan sampel perusahaan dibidang pertambangan maka
dirancang hipotesis ketiga dalam penelitian ini yaitu:
H3: Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
terjadinya kebangkrutan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Penelitian ini ingin menguji tentang bagaimana pengaruh employee cost,
manajemen laba, dan profitabilitas terhadap kemungkinan kebangkrutan pada
perusahaan pertambangan di Indonesia.
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan aktifitas
bisnisnya di Indonesia dan bergerak dalam sektor usaha pertambangan. Sampel
perusahaan pertambangan dipilih sebagai objek penelitian didalam penelitian ini
karena beberapa alasana pertama berdasarkan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia (2015) didapatkan informasi bahwa (1)
Perlambatan pertumbuhan perekonomian global sedang terjadi, terutama pada
Tiongkok yang merupakan negara konsumen minyak mentah utama dunia. (2)
Sejauh ini produksi minyak mentah dari Amerika Serikat dan negara-negara non-
OPEC terus meningkat.
(3) Terjadi kelebihan pasokan minyak mentah global, salah satunya akibat
peningkatan pasokan Iran sejak dicabutnya embargo terhadap Iran. (4) Masih
rendahnya permintaan minyak mentah di kawasan Eropa dan Asia, khususnya India
dan Tiongkok. Lalu kedua untuk faktor domestik dalam negeri terdapat pula
peraturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan pertambangan khususnya
sektor mineral dan batuan untuk dapat membangun pusat pengolahan atau
pemurnian barang tambang (smelter) agar komoditas pertambangan dapat memiliki
nilai jual lebih di pasar internasional (Supriadi, 2015). Perusahaan yang menjadi
sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan yang dipih berdasarkan metode
purposive sampling, yaitu pengambilan data berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan sektor
industry pertambangan yang sudah go public di Bursa Efek Indonesia (IDX) yakni
sebanyak 44 perusahaan. Dari keseluruhan populasi yang ada, setelah diseleksi akan
menjadi sebanyak 27 perusahaan karena terdapat 17 perusahaan yang tidak
memenuhi persyaratan dalam purposive sampling. Sehingga jumlah sample yang
digunakan adalah berjumlah 135 data yaitu 27 perusahaan hasil purposive sampling
dikalikan dengan time series penelitian ini mulai dari tahun 2011-2015 yakni
sebanyak 5 tahun.

3.2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel


Definisi operasional masing-masing variabel penelitian dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Variabel employee cost
Employee cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sehubungan
dengan pemanfaatan tenaga kerja dalam aktifitas bisnisnya. Seiring
dengan bertambahnya jumlah dari karyawan didalam perusahaan maka
ukuran employee cost juga pasti bertambah (Gudmundsson, 2002).
Employee cost yang dimaksud dalam penelitian ini hanya
memperhitungkan biaya rutin yang dikeluarkan oleh perusahaan
sehubungan dengan tenaga kerja, seperti: gaji, upah tenaga kerja langsung
dan upah tenaga kerja tidak langsung, serta tunjangan rutin. Untuk biaya
lain-lain yang sifatnya tidak rutin dikeluarkan dari perhitungan employee
cost. Contoh biaya yang tidak rutin tersebut antara lain, seperti: pensiun,
pendidikan atau training, kesehatan, dan biaya sehubungan karyawan
lainnya yang tidak terduga. Ukuran jumlah karyawan juga tidak di ikut
sertakan dalam penelitian oleh karena keterbatasan informasi yang
disediakan oleh sumber data dalam penelitian ini. Penelitian ini
menggunakan ukuran staff cost berdasarkan penelitian Situm (2015) yang
masih belum menunjukkan hasil yang berpengaruh. Tidaknya adanya
pengaruh tersebut kuat dugaan kemungkinan disebabkan oleh rasio yang
digunakan yakni EBIT/Staff Cost. Menurut pandangan peneliti, jika
ukuran tersebut ingin diimplementasikan lebih cocok untuk digunakan
dalam mengukur proporsi pendapatan yang dihasilkan dengan pembiayaan
terhadap karyawan. Sehingga dalam penelitian ini, ukuran dari staff cost
tersebut dirubah sedemikian rupa sesuai kebutuhan untuk mengukur
employee cost sehingga menjadi Staff Costs/EBIT. Dengan menggunakan
ukuran tersebut dapat tergambar sebagai proporsi biaya yang dialokasikan
terhadap karyawan dalam membentuk pendapatan. Maka, rasio yang
digunakan adalah sebagai berikut:

;dimana:
Staff Costs = Total nilai dari biaya karyawan pada periode t,
EBIT = Earnings before interest and tax selama periode
t.
2. Variabel Manajemen Laba
Manajemen laba dalam penelitian ini diukur menggunakan akrual
diskresioner karena akrula diskresioner merupakan suatu cara untuk
meningkatkan atau mengurangi pelaporan laba dimana hal ini akan sulit
dideteksi akibat dilakukannya manipulasi kebijakan akuntansi yang
berhubungan dengan akrual, misalnya dengan cara menaikkan biaya
amortisasi dan depresiasi, mencatat kewajiban yang besar atas jaminan
produk (garansi), kontigensi dan potongan harga, dan mencatat persediaan
yang sudah usang (Andromeda, 2008). Akrual diskresioner dalam
penelitian ini dihitung dengan menggunakan Modified Jones’ Models
(Dechow, 1995):
a. Total Accrual dihitung dengan rumus sebagai berikut:

;dimana:
NIit = Laba bersih (Net income) perusahaan i pada periode t,
CFit = Arus kas operasi (Cash flow of operation) perusahaan
i pada periode t.
b. Setelah nilai Total Accrual didapatkan, kemudian nilai total accrual
tersebut diestimasi dengan persamaan regresi OLS (Ordinary Least
Square), yaitu:

;dimana:
TACt = Total Accruals dalam periode
t, TAt-1 = Total Asset periode t-1,
∆SALt = Perubahan pendapatan atau penjualan bersih dalam
periode t,
PPEt = Property, Plan and Equipment periode
t, α1, α2, α3 = Koefisien Regresi.
c. Kemudian nilai koefisien regresi yang didapat digunakan untuk
menghitung nilai Non akrual diskresioner, sebagai berikut:

;dimana:
∆RECt = Perubahan piutang bersih dalam periode t,
α1, α2, α3 = Fitted coefficient yang diperoleh dari hasil regresi
pada perhitungan total accrual.
d. Total akrual diskresioner

;dimana:
DTACt = Total akrual diskresioner tahun
t, TACt = Total akrual tahun t,
NDTACt = Non akrual diskresioner pada tahun t.
3. Variabel Profitabilitas
Profitabilitas diukur menggunakan merupakan rasio return on asset
(ROA) yaitu rasio untuk mengukur efektifitas dari kegiatan managemen
suatu perusahaan. Efektifitas yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk
mencapai tujuan akhir dari suatu perusahaan yaitu tingkat pendapatan
yang maksimum dengan memanfaatkan asset yang tersedia. Ketika rasio
profitabilitas meningkat maka dapat diartikan perusahaan menghasilkan
pendapatan yang tinggi (Veronica, 2014; Brindescu 2016). Berikut cara
perhitungan return on asset yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
ROA = NI/TA

;dimana:
NI = Laba bersih perusahaan setelah pajak selama periode t,
TA = Total asset perusahaan selama periode t.
4. Variabel Kebangkrutan
Pengukuran kebangkrutan di dalam penelitian ini mengaplikasikan metode
Z score model (Altman, 1968) dikarenakan berdasarkan penelitian
terdahulu oleh Sinarti & Tia (2015) tentang kebangkrutan menyatakan
bahwa model ini terbukti lebih akurat dalam memprediksi kebangkrutan
dibandingkan dengan metode pengukuran kebangkrutan lainnya. Lebih
lanjut, temuan model tersebut dapat memprediksi terjadinya kebangkrutan
secara akurat sejak dua tahun sebelum kegagalan sebenarnya dengan
akurasi yang berkurang setelah tahun kedua. Kelebihan model Altman
dibandingkan metode analisis lainnya adalah dalam proses simulasinya
mempertimbangkan likuiditas, asset management, debt management,
profitabilitas, dan market value (Khaliq, 2014). Berikut cara perhitungan Z
score yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
Z = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5
;dimana,
X1 : Working Capital / Total Assets
X2 : Retained Earnings / Total Assets
X3 : EBIT / Total Assets
X4 : Market Value of Equity / Book Value of Total Debt
X5 : Sales / Total Assets
Nilai dari Z score yang dihasilkan berdasarkan persamaan diatas dapat
dijelaskan sebagi berikut:
a. Nilai dari Z < 1,81 dapat mengartikan bahwa perusahaan diprediksi
akan mengalami kebangkrutan.
b. Nilai 1,81 ≤ Z ≤ 2,99 dapat mengartikan bahwa perusahaan dalam
kondisi tidak menentu (gray area)
c. Nilai dari Z > 2,99 dapat mengartikan bahwa perusahaan diprediksi
beroperasi dalam kondisi normal (Altman, 1968).
Untuk mengatasi kondisi grey area (1,81 ≤ Z ≤ 2,99) dipisahkan
menggunakan nilai tengah kritis yakni Z = 2,675 (Altman, 1968; Ross,
2010). Atas dasar mengurangi resiko dari grey area, digunakan variabel
dummy dengan syarat: dummy 1 (Z score ≤ 2,675), dummy 0 (Z score >
2,675).

Pada tabel 3.1 berikut merupakan summary dari definisi operasional dan
pengukuran variabel-variabel penelitian diatas, yaitu:

Tabel 3.1 Variabel Penelitian

Tipe
No. Variabel Indikator Skala
Variabel
Berikut merupakan interpretasi nilai Altman
Z-score, yaitu:

1. Z < 1,81 : Perusahan diprediksi akan


mengalami kebangkrutan.

2. 1,81 ≤ Z ≤ 2,99 : Perusahaan berada


dalam kondisi tidak menentu (grey
area).

3. Z > 2,99 : Perusahaan diprediksi


1. Dependen Kebangkrutan beroperasi normal (Altman, 1968). Ordinal

Grey area dipisahkan menggunakan nilai


tengah kritis yakni Z = 2,675, sehingga
digunakan variabel dummy, yaitu:

1. Variabel dummy 1 jika Z ≤ 2,675 (grey


area mengarah bangkrut dan diprediksi
bangkrut).

2. Variabel dummy 0 jika Z > 2,675 (grey


area mengarah normal dan diprediksi
normal) (Altman, 1968; Ross, 2010).
Diukur dengan menggunakan ukuran
Employee
berdasarkan penelitian Situm (2015) dan Rasio
Cost
diperbaharui, yaitu: Staff Costs/EBIT.

Diukur dengan menggunakan Discretionary


2. Independen Manajemen
Accrual menggunakan metode Modified Rasio
Laba
Jones Model (Dechow, 1995).

Diukur dengan menggunakan rasio Return


Profitabilitas Rasio
on Asset (ROA) (Robert, 1997).

3.3. Metode Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, data yang digunakan berupa data sekunder. Metode
pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
1. Studi dokumentasi terhadap laporan keuangan tahunan, annual report dan
ringkasan kinerja saham perusahaan pertambangan yang diperoleh dari
Bursa Efek Indonesia (IDX) mulai dari tahun 2011-2015 dengan tujuan
untuk memperoleh data-data guna memperhitungkan besarnya ukuran tiap
rasio variabel independen seperti employee cost, EBIT, discretionary
accrual, return on assets dan ukuran dari Altman Z-Score.
2. Literatur berupa: buku teks, artikel, jurnal, tesis serta data tertulis lainnya
yang berhubungan dengan informasi yang dibutuhkan juga dikumpulkan
untuk memahami dan memperdalam studi-studi terdahulu tentang
employee costs, manajemen laba, profitabilitas dan kebangkrutan.
Software statistik berupa SPSS Versi 22 digunakan sebagai alat ukur untuk
melakukan pengujian variabel penelitian ini. Berdasarkan data yang telah
dikumpulkan dari Bursa Efek Indonesia tersebut, pemilihan sampel didasarkan atas
beberapa kriteria yang dinginkan sebagai berikut:
1. Perusahaan yang bergerak dalam industri pertambangan dalam kurun
waktu 2011-2015, diluar itu dikeluarkan dari sampel.
2. Menerbitkan laporan keuangan tahunan atau annual report peride 2011-
2015 ke dalam Bursa Efek Indonesia.
3. Laporan keuangan atau annual report perusahaan pertambangan yang
diterbitkan harus memiliki lampiran auditor report dengan opini setara
wajar dari auditor independen.
4. Memiliki data tentang kinerja saham atau listing saham di Bursa Efek
Indonesia selama kurun waktu 2011-2015.

3.4. Metode Analisis Data


Dalam pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan regresi logistik.
Statistik uji regresi logistik digunakan untuk prediksi kejadian suatu peristiwa
dengan mencocokkan data pada fungsi logit kurva logistik. Metode ini merupakan
model linier umum yang digunakan untuk regresi binomial. Seperti analisis regresi
pada umumnya, metode ini menggunakan beberapa variabel prediktor, baik
numerik maupun kategori. Menurut Ghozali (2013), pada umumnya penelitian
menggunakan tingkat signifikansi 5% (α = 5%) dimana dapat diartikan bahwa
peneliti memiliki
keyakinan bahwa dari 100% sampel, probabilitas anggota sampel yang tidak
memiliki karakteristik populasi adalah 5%.
Berdasarkan teori tersebut, maka pengujian ini dilakukan dengan
menggunakan tingkat signifikansi 0,05 (α = 5%). Ketentuan penolakan atau
penerimaan hipotesis adalah sebagai berikut:
1. Jika nilai signifikansi < 0,05 maka hipotesis diterima (koefisien regresi
signifikan). Ini berarti variabel independen mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel dependen.
2. Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka hipotesis ditolak (koefisien regresi
tidak signifikan). Ini berarti bahwa variabel independen tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
Pengujian signifikansi pada regresi logistik terbagi menjadi dua yaitu
pengujian secara simultan dan pengujian secara parsial. Pengujian secara parsial
dapat dilakukan dengan uji Wald. Sedangkan pengujian secara simultan atau
serentak dilakukan dengan menggunakan uji Overall Model Fit.
Metode analisis data dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan hasilnya digunakan untuk
memecahkan suatu masalah. Penelitian ini menggunakan teknik analisis kuantitatif,
analisis data kuantitatif merupakan suatu bentuk analisa yang menggunakan data
numeric (angka) dan perhitungan dengan metode statistik, sehingga data tersebut
harus diklasifikasikan dalam kategori tertentu, untuk mempermudah proses analisis.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
regresi logistik. Alasan pemilihan metode ini adalah bahwa data dari variabel
dependen yang digunakan dalam penelitian ini bersifat non-metrik, sedangkan
variabel independen merupakan variabel kontinyu (data metrik). Karena adanya
campuran skala pada variabel independen dan dependen menyebabkan asumsi
multivariate normal distribution tidak dapat terpenuhi. Hal itu menyebabkan
perubahan fungsi menjadi logistik dan tidak membutuhkan asumsi normalitas data
pada variabel independen-nya. Analisis logit digunakan untuk menganalisis data
kuantitatif yang mencerminkan dua pilihan atau biasa disebut binary logistic
regression. Regresi logistik bertujuan untuk menguji apakah probabilitas terjadinya
variabel dependen dapat diprediksi dengan variabel independen-nya. Analisis
regresi logistik dilakukan dengan bantuan program SPSS (Ghozali, 2013).
Asumsi multivariate normal distribution tidak dapat terpenuhi karena
variabel dalam penelitian ini merupakan campuran antara kontinyu (metrik) dan
kategorial (non-metrik). Menurut Ghozali (2013) penggunaan metode regresi
logistik tidak memerlukan asumsi normalitas pada variabel independen-nya.
Artinya, variabel independennya tidak harus memiliki distribusi normal, linier,
maupun memiliki varian yang sama dalam setiap kelompok. Oleh Gujarati (2003)
menyatakan bahwa regresi logistik juga mengabaikan masalah heteroskedastisitas.
Variabel dependen tidak memerlukan asumsi heteroskedastisitas untuk masing-
masing variabel independennya, sehingga tahapan analisisnya hanya terdiri dari
penjelasan statistik deskriptif dan pengujian hipotesis. Tahapan dalam analisis
regresi logistik terdiri dari statistik deskriptif, analisis inferensial dan pengujian
hipotesis yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

3.4.1. Statistik Deskriptif


Analisis statistik deskriptif mempunyai tujuan untuk mengetahui
gambaran umum dari semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini, dengan
cara melihat tabel statistik deskriptif yang menunjukkan hasil pengukuran nilai
minimal (minimum), nilai maksimal (maximum), nilai rata-rata (mean), deviasi
standar (standard deviation) (Ghozali, 2013). Dalam penelitian ini untuk
melakukan analisis penelitian, peneliti mengggunakan bantuan program SPSS
(Statistic Production Solution Service) versi 22 sebagai alat untuk menguji data
tersebut.
1. Mean
Mean adalah suatu nilai yang diperoleh dengan cara membagi seluruh nilai
pengamatan dengan banyaknya pengamatan.
2. Minimum
Minimum adalah nilai terkecil dari data.
3. Maksimum
Maksimum adalah nilai terbesar dari data.
4. Standar Deviasi
Standar deviasi atau simpangan baku merupakan simpangan nilai dari data
yang telah disusun dalam tabel distribusi frekuensi atau data bergolong.
Standar deviasi dapat dirumuskan sebagai berikut (Sugiyono, 2014):

3.4.2. Analisis Inferensial


3.4.2.1. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas berarti adanya hubungan linear yang sempurna diantara
variabel-variabel independen dalam model regresi, konsekuensinya adalah
koefisien- koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standard error
dari model regresi menjadi tidak terhingga. Dalam pengujian multikolinearitas
dapat dideteksi dengan melihat nilai dari tolerance dan variance inflation factor
(VIF). Nilai cut-off yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya
multikolinearitas adalah nilai tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10
(Ghozali, 2013).

3.4.2.2. Menilai Keseluruhan Model (Overall Model Fit)


Uji ini digunakan untuk menilai model yang telah dihipotesiskan telah fit
atau tidak dengan data. Hipotesis untuk menilai metode fit ini adalah:
H0 : Model yang dihipotesiskan fit dengan data
H1 : Model yang dihipotesiskan tidak fit dengan data.
Dari hipotesis ini, agar model fit dengan data maka H0 harus diterima.
Statistik yang digunakan berdasarkan Likelihood, Likelihood L dari model adalah
probabilitas bahwa model yang dihipotesiskan menggambarkan data input. Adanya
pengurangan nilai dari nilai awal -2LogL dengan nilai -2LogL pada langkah
berikutnya menunjukkan bahwa model yang dihipotesiskan fit dengan data. Model
dikatakan fit apabila nilai signifikansi yang lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (Sig.
< 0,05) sehingga H0 tidak dapat ditolak (Ghozali, 2013).

3.4.2.3. Koefisien Determinasi (Nagelkerke R Square)


Nagelkerke R Square merupakan pengujian yang dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar variabel independen mampu menjelaskan dan
mempengaruhi variabel dependen. Nilai Nagelkerke R Square bervariasi antara 1
(satu) sampai dengan 0 (nol). Jika nilai Nagelkerke R Square semakin mendekati 1
(satu) maka pada model dapat diartikan bahwa variabel independen mampu
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi
variabel dependen, sebaliknya jika semakin mendekati 0 (nol) maka kemampuan
variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen terbatas
(Ghozali, 2013).

3.4.2.4. Menguji Kelayakan Model Regresi


Kelayakan model regresi dinilai dengan menggunakan Hosmer and
Lemeshow’s Goodness of Fit Test. Hosmer and lemeshow’s Goodness of Fit Test
adapun hasilnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test sama
dengan atau kurang dari 0,05 (≤ 0,05) maka hipotesis nol ditolak yang
berarti ada perbedaan signifikan antara model dengan nilai observasinya
sehingga Goodness fit model tidak baik karena model tidak dapat
memprediksi nilai observasinya.
2. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test lebih
besar dari 0,05 (> 0,05) maka hipotesis nol tidak dapat ditolak (diterima)
dan berarti model mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat
dikatakan model dapat diterima karena cocok dengan data observasinya
(Ghozali, 2013).
3.4.2.5. Matriks Klasifikasi
Matriks klasifikasi menunjukkan kekuatan prediksi dari model regresi
untuk memprediksi kemungkinan perusahaan berada dalam kondisi bangkrut atau
tidak bangkrut.

3.4.2.6. Model Regresi yang Terbentuk


Analisis regresi logistik digunakan dalam penelitian ini untuk menguji
apakah variabel employee cost, manajemen laba, dan profitabilitas berpengaruh
terhadap kemungkinan kebangkrutan. Model regresi yang dikembangkan:

Ln (BCP/1-BCP) = + β1 (SCEBT) + β2 (DACC) + β3 (ROA) + e


; dimana:
Ln (BCP/1-BCP) : Menggambarkan probabilitas nilai kebangkrutan
dengan metode Z score (variabel dummy 1 jika Z <=
2,675 dan variabel dummy 0 jika Z > 2,675),
α : Konstanta,
SCEBT : Rasio employee cost (Staff Cost/EBIT),
DACC : Rasio manajemen laba (Discretionary Accrual),
ROA : Rasio profitabilitas (Return on Assets),
β1 – β3 : Koefisien regresi,
e : Koefisien error.

3.4.2.7. Uji Wald


Menurut Widarjono (2010) dalam regresi logistik uji Wald digunakan
untuk menguji ada tidaknya pengaruh dari variabel independen terhadap variabel
dependen secara parsial dengan cara membandingkan nilai signifikansi (p-value)
dengan alpha sebesar 5% dimana p-value yang lebih kecil dari alpha menunjukkan
bahwa hipotesis diterima atau terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Objek Penelitian


Populasi yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah
perusahaan pertambangan (tbk) yang terdaftar (listed) di Bursa Efek Indonesia
(IDX) selama periode tahun 2011 hingga 2015 yakni sebanyak 44 perusahaan tiap
tahunnya. Mengingat karakteristik populasi yang ada dan tujuan dari penelitian,
maka penelti menggunakan teknik purposive sampling yaitu metode berdasarkan
pertimbangan dan kriteria tertentu yang dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1

Teknik Pengambilan Sampel

Kriteria Pemilihan Sampel Jumlah Perusahaan


Populasi perusahaan pertambangan yang listing di Bursa
44
Efek Indonesia dari tahun 2011-2015.
Perusahaan pertambangan yang tidak menerbitkan laporan
keuangan atau annual report selama periode 2011-2015. (4)

Perusahaan pertambangan yang tidak mendapatkan opini


setara wajar atau tidak memiliki audit report selama (6)
periode 2011-2015.

Perusahaan pertambangan yang tidak menerbitkan data


kinerja saham selama periode 2011-2015. (3)

Perusahaan pertambangan yang berhenti beroperasi antara


(4)
tahun 2011-2015.
Total sampel akhir 27
Total data penelitian (n = 27 * 5) 135
Sumber: Data sekunder yang diolah
Teknik ini ditujukan untuk mendapatkan sampel yang representatif sesuai
dengan kriteria yang ditentukan. Berdasarkan teknik tersebut dapat dilihat pada
tabel
4.1 bahwa sampel akhir yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 27
perusahaan pada tahun 2011 hingga 2015. Sejumlah 17 perusahaan dikeluarkan dari
sampel penelitian dikarenakan tidak dapat memenuhi persyaratan yang dibutuhkan
dalam purposive sampling. Penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan panel data (pooled data) sehingga sampel penelitian (n) diperoleh
sebanyak 135.

4.2. Analisis Hasil Penelitian


4.2.1. Statistik Deskriptif
Pada table 4.2 dibawah berisi penjelasan mengenai variabel dependen yang
tergolong menjadi dummy 1 atau 0 yaitu sebagai berikut:

Tabel 4.2

Statistik Deskriptif Variabel Dependen

BCP
Dummy = 1 Dummy = 0
Total
Z ≤ 2,675 Z > 2,675
n 73 62 135
(%) 54% 46% 100%
Sumber: Data sekunder yang diolah

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai


berikut:
1. Dari hasil pengolahan data statistik untuk variabel dependen kebangkrutan
dengan kondisi Z ≤ 2,675 diperoleh sebanyak 73 perusahaan, jumlah ini
jika di konversi kedalam persentase adalah sebesar 54% dari keseluruhan
sampel. Dari hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa perusahaan
dengan kondisi mengarah bangkrut (grey area) dan yang diprediksi
bangkut lebih dominan dalam keseluruhan sampel.
2. Dari hasil pengolahan data statistik untuk variabel dependen kebangkrutan
dengan kondisi Z > 2,675 diperoleh sebanyak 62 perusahaan, jumlah ini
jika di konversi kedalam persentase adalah sebesar 46% dari keseluruhan
sampel. Dari hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa perusahaan
dengan kondisi mengarah normal (grey area) dan yang diprediksi normal
tidak dominan dalam keseluruhan sampel.

Tabel 4.3

Statistik Deskriptif Variabel Independen

Dummy = 1 Dummy = 0
Total
BCP Z ≤ 2,675 Z > 2,675
SCEBT DACC ROA SCEBT DACC ROA SCEBT DACC ROA
Mean 1.409 -0.087 -2.286 0.350 0.019 8.681 0.923 -0.038 2.750
Std.
3.527 0.134 6.586 2.374 0.172 7.468 3.087 0.161 8.876
Deviation
Min. -5.080 -0.780 -22.260 -16.890 -0.170 -11.350 -16.890 -0.780 -22.260
Max. 16.230 0.200 15.300 4.000 1.150 26.830 16.230 1.150 26.830
Sumber: Data sekunder yang diolah menggunakan SPSS
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Dari hasil pengolahan data statistik didapatkan mean atas variabel
employee cost yang diukur menggunakan rasio staff costs/EBIT (SCEBT)
dan terkategori dummy = 1 adalah sebesar 1,409 dengan standar deviasi
sebesar 3,527 selama periode 2011-2015. Hal ini menunjukkan adanya
variasi data yang cukup heterogen antara data satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai minimum sebesar
-5,080 adalah PT. Perdana Karya Perkasa pada tahun 2012 sedangkan
nilai maksimumnya
sebesar 16,230 adalah PT. SMR Utama Tbk pada tahun 2014. Hal ini
wajar terjadi dikarenakan tidak mungkin perusahan memiliki tingkat
ukuran salary dan EBIT yang sama rata. Sedangkan mean atas variabel
independen SCEBT yang terkategori dummy = 0 adalah sebesar 0,350
dengan standar deviasi sebesar 2,374 selama periode 2011-2015. Hal ini
menunjukkan adanya variasi data yang cukup heterogen antara data satu
perusahaan dengan perusahaan lainnya. Dapat dilihat dari nilai minimum
sebesar - 16,890 adalah PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk pada tahun
2013 sedangkan nilai maksimumnya sebesar 4,000 adalah PT. Timah
(Persero) Tbk pada tahun 2012. Hal ini wajar terjadi juga dikarenakan
akibat tidak mungkin perusahan memiliki tingkat ukuran salary dan EBIT
yang sama rata. Dari 27 sampel perusahaan pertambangan yang diteliti
dapat ditunjukkan bahwa selama periode tahun 2011-2015 trend
perbandingan rata-rata dari staff costs, EBIT, dan Altman Z-Score pada
tabel 4.4 sebagai berikut:
Tabel 4.4

Trend dari Staff Costs, EBIT dan Altman Z-Score

AVERAGE
Staff Costs ($) EBIT ($) Altman Z-Score
2011 51,729,449 208,788,929 4.72
2012 54,804,206 121,960,219 4.77
2013 40,645,856 68,316,223 3.49
2014 37,552,365 84,389,413 3.21
2015 33,351,692 (30,300,942) 2.16
Sumber: Data sekunder yang diolah
Pada tabel 4.4 diatas dapat diketahui bahwa disaat rata-rata dari jumlah
staff costs lebih kecil daripada rata-rata jumlah EBIT akan menyebabkan
rata-rata nilai Altman Z-Score yang bagus, sedangkan disaat rata-rata dari
jumlah staff costs yang lebih besar dari rata-rata jumlah EBIT akan
menyebabkan
penurunan kualitas nilai rata-rata dari Altman Z-Score sehingga menuju
arah yang beresiko.
2. Hasil pengolahan data statistik didapatkan mean atas variabel manajemen
laba yang diukur menggunakan rasio discretionary accrual (DACC) dan
terkategori dummy = 1 adalah sebesar -0,087 dengan standar deviasi
sebesar 0,134 selama periode 2011-2015. Adanya variasi data yang cukup
heterogen antara data satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dapat
dilihat dari nilai minimum sebesar -0,780 adalah PT. SMR Utama Tbk
pada tahun 2014 sedangkan nilai maksimumnya sebesar 0,200 adalah PT.
J Resources Asia Pasifik Tbk pada tahun 2012. Sedangkan, mean atas
DACC yang terkategori dummy = 0 adalah sebesar 0,019 dengan standar
deviasi sebesar 0,172 selama periode 2011-2015. Hal ini menunjukkan
adanya variasi data yang cukup heterogen antara data satu perusahaan
dengan perusahaan lainnya dapat dilihat dari nilai minimum sebesar -0,170
adalah PT. Surya Esa Perkasa Tbk pada tahun 2011 sedangkan nilai
maksimumnya sebesar 1,150 adalah PT. Bara Jaya Internasional Tbk pada
tahun 2013. Dari 27 sampel perusahaan pertambangan yang diteliti dapat
ditunjukkan bahwa selama periode tahun 2011-2015 trend perbandingan
rata-rata dari sales, piutang, property plant and equipment (PPE) dan
Altman Z-Score pada tabel 4.5 sebagai berikut:
Tabel 4.5

Trend dari Sales, Piutang, PPE dan Altman Z-Score

AVERAGE
Sales ($) Piutang ($) PPE ($) Altman Z-Score
2011 800,796,375 116,581,845 426,890,730 4.72
2012 780,205,644 123,554,217 518,432,477 4.77
2013 685,226,275 120,939,487 542,146,611 3.49
2014 621,243,076 140,003,019 539,197,068 3.21
2015 416,221,521 83,105,695 492,180,149 2.16
Sumber: Data sekunder yang diolah
Pada tabel 4.5 dihalaman sebelumnya dapat diketahui bahwa disaat rata-
rata dari jumlah sales semakin menurun kemudian rata-rata jumlah piutang
semakin meningkat dan rata-rata nilai PPE juga turut meningkat akan
menyebabkan rata-rata nilai Altman Z-Score yang bagus, sedangkan saat
disaat rata-rata dari jumlah piutang semakin menurun dan rata-rata nilai
PPE juga turut menurun akan menyebabkan penurunan kualitas nilai rata-
rata dari Altman Z-Score sehingga menuju arah yang beresiko.
3. Dari pengolahan data statistik didapatkan mean atas variabel profitabilitas
yang diukur menggunakan rasio return on assets (ROA) dan terkategori
dummy = 1 adalah sebesar -2,286 dengan standar deviasi sebesar 6,586
selama periode 2011-2015. Hal ini menunjukkan adanya variasi data yang
cukup heterogen antara data satu perusahaan dengan perusahaan lainnya
dapat dilihat dari nilai minimum sebesar -22,260 adalah PT. Bara Jaya
Internasional Tbk pada tahun 2011 sedangkan nilai maksimumnya sebesar
15,300 adalah PT. J Resources Asia Pasifik Tbk pada tahun 2012.
Sedangkan, mean atas ROA yang terkategori dummy = 0 adalah sebesar
8,681 dengan standar deviasi sebesar 7,468 selama periode 2011-2015.
Hal ini menunjukkan adanya variasi data yang cukup heterogen antara data
satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dapat dilihat dari nilai
minimum sebesar -11,350 adalah PT. SMR Utama Tbk pada tahun 2012
sedangkan nilai maksimumnya sebesar 26,830 adalah PT. Tambang
Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk pada tahun 2011. Dari 27 sampel
perusahaan pertambangan yang diteliti dapat ditunjukkan bahwa selama
periode tahun 2011-2015 trend perbandingan rata-rata dari net income,
total assets dan Altman Z-Score pada tabel 4.6 sebagai berikut:
Tabel 4.6

Trend dari Net Income, Total Assets dan Altman Z-Score

AVERAGE
Net Income ($) Total Assets ($) Altman Z-Score
2011 107,900,610 1,104,751,750 4.72
2012 45,413,961 1,188,751,770 4.77
2013 6,323,547 1,165,468,822 3.49
2014 6,247,890 1,142,109,471 3.21
2015 (81,623,785) 1,015,347,983 2.16
Sumber: Data sekunder yang diolah

Pada tabel 4.6 diatas dapat diketahui bahwa disaat rata-rata dari jumlah net
income dan total assets bernilai positif menyebabkan rata-rata nilai
Altman Z-Score yang bagus, sedangkan disaat rata-rata dari jumlah net
income bernilai negatif akan menyebabkan penurunan kualitas nilai rata-
rata dari Altman Z-Score sehingga menuju arah yang beresiko.
4. Secara keseluruhan dari 135 perusahaan sampel yang diteliti untuk
variabel SCEBT didapatkan mean sebesar 0,923 yang berkisar antara nilai
minimum
-16,890 dan nilai maksimum 16,230. Terdapat nilai staff cost/EBIT yang
bertanda negatif disebabkan adanya perusahaan yang memiliki nilai EBIT
negatif. Untuk variabel DACC secara keseluruhan didapatkan mean
sebesar
-0.038 yang berkisar antara nilai minimum -0.780 dan nilai maksimum
1.150. Sedangkan, untuk variabel ROA secara keseluruhan didapatkan
mean sebesar 2.750 yang berkisar antara nilai minimum -22.260 dan nilai
maksimum 26.830.

4.2.2. Analisis Inferensial


4.2.2.1. Hasil Uji Multikolinearitas
Model regresi yang baik adalah regresi dengan tidak ada gejala korelasi
yang kuat diantara variabel independennya. Multikolinearitas berarti adanya
hubungan linear yang sempurna diantara variabel-variabel independen dalam model
regresi, konsekuensinya adalah koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat
ditaksir dan nilai standard error dari model regresi menjadi tidak terhingga.
Pengujian multikolinearitas dalam penelitian ini menggunakan nilai
tolerance dan nilai VIF sebagai berikut:

Tabel 4.7

Uji Multikolinearitas

Collinearity Statistics
Model
Tolerance VIF
1 (Constant)
SCEBT 0.972 1.029
DACC 0.918 1.089
ROA 0.941 1.062
Sumber: Data sekunder yang diolah menggunakan SPSS

Berdasarkan table 4.7 diatas dapat di lihat bahwa angka tolerance berada
pada posisi lebih besar dari 0,10 (tolerance > 0,10) dan angka variance influence
factor berada pada posisi kecil dari 10 (VIF < 10) sehingga dapat disimpulkan tidak
terjadi multikolinearitas diantara variabel independen penelitian ini.

4.2.2.2. Menilai Keseluruhan Model (Overall Model Fit)


Uji overall model fit atau uji keseluruhan model adalah bertujuan untuk
menguji variabel independen di dalam regresi logistik secara serentak atau simultan
mempengaruhi variabel dependen. Uji overall model fit dihitung dari perbedaan
nilai
-2LL antara model dengan hanya terdiri dari konstanta dan model yang di estimasi
terdiri dari konstanta dan variabel independen. Uji -2LL mengikuti distribusi chi
square dengan derajat kebebasan df (degree of freedom).
Berikut adalah tabel yang menjelaskan Likelihood L yang hanya mengikut
sertakan konstanta, sebagai berikut:

Tabel 4.8

Nilai -2LL yang hanya terdiri dari Konstanta

-2 Log Coefficients
Iteration
likelihood Constant
Step 0 1 186.252 0.163
2 186.252 0.163
Sumber: Data sekunder yang diolah menggunakan SPSS

Hasil pengujuan Likelihood L pada tabel 4.8 menunjukkan hasil -2LogL


(block number = 0) pada saat hanya memasukkan nilai konstanta saja kedalam
model adalah sebesar 186,252. Nilai -2LogL tersebut merupakan Chi Square hitung
yang akan dibandingkan dengan Chi Square tabel dengan df (degree of freedom)
sebesar N
- 1 = 135 - 1 = 134 pada taraf signifikansi 0,05 yaitu sebesar 162,016. Tampak bahwa
-2LogL > Chi Square tabel (186,252 > 162,016) yang diartikan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara model yang hanya berisi konstanta saja dengan
data sehingga model belum dapat dikatakan fit. Selanjutnya pengujian akan
diterapkan untuk model yang berisikan konstanta dan variabel independen dalam
penelitian ini.
Pada tabel 4.9 dihalaman selanjutnya merupakan pengujian Likelihood L
(block number =1) yang dilakukan dengan memasukkan konstanta dengan
tambahan variabel independen sebanyak 3 buah kedalam model sehingga
mempunyai df sebesar 135 – 3 – 1 = 131 dan mempunyai nilai chi square tabel
sebesar 158,712 pada taraf signifikansi 0,05. Tampak bahwa -2LogL < Chi Square
tabel (106,546 < 158,712) yang dapat diartikan bahwa model dengan penambahan
konstanta dan variabel independen adalah fit dengan data sehingga model layak
untuk dipergunakan.
Berikut adalah tabel yang menjelaskan Likelihood L yang telah mengikut
sertakan konstanta dan variabel independen, sebagai berikut:
Tabel 4.9

Nilai -2LL yang terdiri dari Konstanta dan Variabel Independen

-2 Log Coefficients
Iteration
likelihood Constant SCEBT DACC ROA
Step 1 1 118.397 0.349 0.099 -2.104 -0.131
2 108.062 0.504 0.159 -3.779 -0.201
3 106.594 0.563 0.186 -4.980 -0.237
4 106.546 0.573 0.190 -5.287 -0.245
5 106.546 0.573 0.191 -5.300 -0.245
6 106.546 0.573 0.191 -5.300 -0.245
Sumber: Data sekunder yang diolah menggunakan SPSS

Hasil output SPSS pada tabel 4.8 dihalaman sebelumnya merupakan nilai
-2 log likelihood yang terdiri dari konstanta saja, sementara pada tampilan tabel 4.9
diatas merupakan nilai -2 log likelihood yang terdiri dari konstanta dan variabel
independen. Nilai -2 log likelihood yang hanya memasukkan konstanta saja adalah
sebesar 186,252 sedangkan nilai -2 log likelihood yang memasukkan konstanta dan
variabel independen adalah sebesar 106,546 maka perbandingan kedua nilai -2 log
likelihood tersebut adalah sebesar 79,706 seperti ditunjukkan pada tabel
selanjutnya.
Tabel 4.10 dihalaman selanjutnya merupakan perbandingan atau selisih nilai
-2 log likelihood yang terdiri dari konstanta saja dengan -2 log likelihood yang
terdiri dari konstanta dan variabel independen. Perbandingan tersebut mengikuti
sebaran chi square sebesar 79,706 dengan df = 3.
Berikut adalah tabel yang menjelaskan selisih dari Likelihood L yang
hanya mengikut sertakan konstanta dengan Likelihood L yang sudah mengikut
sertakan konstanta dan variabel independen, sebagai berikut:

Tabel 4.10 Perbandingan Nilai -2LL

Chi-square df Sig.
Step 1 Step 79.706 3 0.000

Sumber: DataBlock 79.706


sekunder yang 3 0.000
diolah menggunakan SPSS
Model 79.706 3 0.000

Berdasarkan tabel 4.10 diatas diperoleh nilai signifikansi model sebesar


0,000 karena nilai ini lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (Sig. < 0,05) maka dapat
disimpulkan bahwa penambahan variabel independen memberikan pengaruh nyata
terhadap model atau dengan kata lain model penelitian ini fit dengan data.

4.2.2.3. Koefisien Determinasi (Nagelkerke R Square)


Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar
variabilitas dari variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independen.
Koefisien determinasi pada regresi logistik dapat dilihat dari nilai Nagelkerke R
Square.

Tabel 4.11 Koefisien Determinasi

Step Sumber:
-2 LogData
likelihood Cox
sekunder & Snell
yang diolahR menggunakan
Square Nagelkerke R
SPSS
Square
1 106.546a 0.446 0.596
Pada tabel 4.11 dihalaman sebelumnya tampak bahwa besarnya nilai
koefisien determinasi pada model regresi logistik ditunjukkan oleh nilai Nagelkerke
R Square. Nagelkerke R Square adalah sebesar 0,596 yang berarti bahwa
variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen
adalah sebesar 59,6% sedangkan sisanya sebesar 40,4% dijelaskan oleh variabel-
variabel lain diluar model penelitian ini.

4.2.2.4. Menguji Kelayakan Model Regresi


Untuk melihat kecocokan atau kelayakan model regresi secara keseluruhan
dalam penelitian ini, digunakan uji Hosmer and Lemeshow’s Test dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Jika nilai signifikansi Hosmer and Lemeshow’s Test ≤ 0,05 artinya ada
perbedaan signifikan antara model dengan nilai observasinya sehingga
goodness fit tidak baik karena model tidak dapat memprediksikan nilai
observasinya.
2. Jika nilai signifikansi Hosmer and Lemeshow’s Test > 0,05 artinya model
mampu memprediksikan nilai observasinya atau dapat dikatakan bahwa
model dapat diterima karena cocok dengan data observasinya.

Tabel 4.12

Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit

Step Chi-square df Sig.


1 9.432 8 0.307
Sumber: Data sekunder yang diolah menggunakan SPSS

Pada tabel 4.12 diatas menunjukkan nilai chi-square sebesar 9,432 dengan
signifikansi (p) sebesar 0,307. Berdasarkan hasil tersebut, nilai signifikansi
menunjukkan nilai yang lebih besar dari taraf signifikansi 0,05. Maka dapat
disimpulkan bahwa model mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat
dikatakan model dapat diterima karena cocok dengan data observasinya.

4.2.2.5. Matriks Klasifikasi


Matriks klasifikasi menunjukkan kekuatan prediksi dari model regresi
untuk memprediksi kemungkinan kebangkrutan yang dihadapi oleh perusahaan
pertambangan di Indonesia selama periode 2011-2015. Matriks klasifikasi disajikan
pada tabel 4.13 berikut:

Tabel 4.13 Matriks Klasifikasi

Predicted
Observed BCP Percentage
Z > 2,675 Z ≤ 2,675 Correct
Step 1 BCP Z > 2,675 47 15 75.8
Z ≤ 2,675 8 65 89.0
Sumber: Data sekunder yang diolah menggunakan SPSS
Overall Percentage 83.0

Kekuatan prediksi dari model regresi untuk memprediksi kemungkinan


perusahaan berada dalam kondisi gray area (mengarah bangkrut) dan kondisi
bangkrut adalah sebesar 89%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan
model regresi penelitian ini, terdapat sebanyak 65 perusahaan yang di prediksi akan
berada dalam kondisi gray area (mengarah bangkrut) dan kondisi bangkrut dari
total 73 perusahaan yang terindikasi dengan nilai Z score ≤ 2,675.
Sedangkan, kekuatan prediksi model regresi untuk memprediksi
kemungkinan perusahaan berada dalam kondisi gray area (mengarah normal) dan
kondisi normal adalah sebesar 75,8%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
menggunakan model regresi penelitian ini, terdapat sebanyak 47 perusahaan yang
di
prediksi akan berada dalam kondisi gray area (mengarah normal) dan kondisi
normal dari total 62 perusahaan yang terindikasi dengan nilai Z score > 2,675.
Dapat disimpulkan bahwa kekuatan prediksi atau ketepatan model dalam
mengklasifikasikan observasinya adalah sebesar 83%.

4.2.2.6. Hasil Uji Regresi Logistik


Model regresi logistik yang terbentuk disajikan pada tabel 4.14 sebagai
berikut:

Tabel 4.14

Hasil Uji Koefisien Regresi Logistik

B S.E. df
SCEBT 0.191 0.106 1
DACC -5.300 2.638 1
ROA -0.245 0.048 1
Constant 0.573 0.312 1
Sumber: Data sekunder yang diolah menggunakan SPSS

Berdasarkan hasil uji regresi logistik dari tabel di atas, maka persamaan
regresi logistik yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Ln (BCP/1-BCP) = 0,573 + 0,191 SCEBT – 5,300 DACC – 0,245 ROA

4.2.3. Pengujian Hipotesis


4.2.3.1. Uji Wald
Pada uji Wald, pengujian hipotesis akan dilakukan secara individual.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan cara memasukkan satu persatu variabel
employee cost, manajemen laba, dan profitabilitas pada model regresi kemungkinan
kebangkrutan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing
variabel independen terhadap variabel dependen.
Hasil uji Wald dapat dilihat pada tabel 4.15 berikut:
Tabel 4.15 Uji Wald

Expectation B S.E. Wald df Sig. (2- Sig. (1- Exp(B) Result


tailed) tailed)
SCEBT (+) 0.191 0.106 3.239 1 0.072 0.036* 1.210 H1
diterima
DACC (-) -5.300 2.638 4.037 1 0.045 0.023* 0.005 H2
diterima
ROA (-) -0.245 0.048 25.765 1 0.000 0.000* 0.782 H3
* secara statistik signifikan pada taraf sig. 0,05 diterima
Constant 0.573 0.312 3.377 1 0.066 0.033 1.774
Sumber: Data sekunder yang diolah menggunakan SPSS

Berdasarkan tabel pengujian secara individual (uji Wald) diatas dapat


dijelaskan hasil pengujian terhadap hipotesis dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. H 1: Employee cost berpengaruh postif terhadap kecenderungan
terjadinya kebangkrutan
Berdasarkan tabel 4.15 diatas diketahui bahwa employee cost yang diukur
menggunakan staff cost/EBIT (SCEBT) menunjukkan nilai signifikansi
(Sig. 1-tailed) sebesar 0,036 < 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa H 0
ditolak dan H1 diterima, yakni artinya employee cost yang diukur
menggunakan staff cost/EBIT berpengaruh positif terhadap kemungkinan
kebangkrutan. Jika melihat nilai koefisien regresi dari SCEBT menunjukkan
tanda positif sesuai dengan ekspektasi penelitian ini yang dapat diartikan
bahwa dengan semakin meningkatnya ukuran employee cost akan
meningkatkan kecenderungan terjadinya kebangkrutan serta sebaliknya.
Nilai Exp(B) atau nilai odd ratio sebesar 1,210 dapat diartikan bahwa
employee cost yang tinggi akan berdampak pada peningkatan
kecenderungan terjadinya kebangkrutan sebanyak 1,210 kali lipat
dibandingkan employee cost yang rendah.
2. H2: Manajemen laba berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
terjadinya kebangkrutan
Berdasarkan tabel 4.15 dihalaman sebelumnya dapat diketahui bahwa
manajemen laba yang diukur menggunakan discretionary accrual (DACC)
menunjukkan nilai signifikansi (Sig. 1-tailed) sebesar 0,023 < 0,05. Maka
dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H2 diterima, yang artinya
manajemen laba yang diukur menggunakan discretionary accrual
berpengaruh negatif terhadap kemungkinan kebangkrutan. Jika melihat nilai
koefisien regresi dari DACC menunjukkan tanda negatif yang dapat
diartikan bahwa dengan semakin meningkatnya manajemen laba akan
menurunkan kecenderungan terjadinya kebangkrutan serta sebaliknya. Nilai
Exp(B) atau nilai odd ratio sebesar 0,005 dapat diartikan bahwa manajemen
laba yang meningkat akan menurunkan kecenderungan terjadinya
kebangkrutan sebanyak 0,005 kali lipat dibandingkan manajemen laba yang
menurun.
3. H 3: Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
terjadinya kebangkrutan
Berdasarkan tabel 4.15 dihalaman sebelumnya diketahui bahwa
profitabilitas yang diukur menggunakan return on assets (ROA)
menunjukkan nilai signifikansi (Sig. 1-tailed) sebesar 0,000 < 0,05. Maka
dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H3 diterima, yang artinya
profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kemungkinan kebangkrutan. Jika
melihat nilai koefisien regresi dari ROA menunjukkan tanda negatif yang
dapat diartikan bahwa semakin meningkatnya profitabilitas akan
menurunkan kecenderungan terjadinya kebangkrutan dan sebaliknya. Nilai
Exp(B) atau nilai odd ratio sebesar 0,782 dapat diartikan bahwa peningkatan
profitabilitas akan menurunkan kecenderungan terjadinya kebangkrutan
sebanyak 0,782 kali lipat dibandingkan penurunan profitabilitas.

4.3. Pembahasan Hasil Penelitian


4.3.1. Pengaruh Employee Cost Terhadap Kemungkinan Kebangkrutan
Efisiensi costs pada setiap quartal menggambarkan kemampuan
perusahaan
untuk beroperasi secara efisien. Dampak efisiensi tersebut tentu saja dapat
menghindarkan perusahaan dari kegagalan keuangan. Lalu, nilai EBIT yang
semakin meningkat menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
laba dan sebagai tolak ukur atas kinerja keuangan yang sehat. Pada penelitian ini,
trend data pada variabel employee cost dapat dilihat pada bagian statistik deskriptif.
Pada data trend tersebut rata-rata dari staff costs yang bernilai lebih kecil
dibandingkan rata-rata nilai EBIT memiliki kualitas Altman Z-Score yang bagus,
sedangkan disaat proporsi rata-rata staff costs menjadi lebih besar daripada rata-rata
EBIT akan menyebabkan kondisi yang beresiko. Lewat analisis terhadap hasil
statistik tersebut ditunjukkan bahwa memang benar porsi nilai EBIT yang lebih
besar dibandingkan employee costs dapat menempatkan perusahaan dikondisi yang
menguntungkan.
Dilihat dari segi bidang usaha pertambangan, karyawan adalah salah satu
faktor kunci yang menentukan produktifitas perusahaan. Tanpa karyawan yang
handal dalam soft skill maupun kemampuan teknis mustahil perusahaan dapat
mencapai goals yang diinginkan dalam visi dan misi perusahaan, akan tetapi biaya
yang dialokasikan untuk karyawan juga dapat menempatkan perusahaan dalam
posisi yang beresiko. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semakin
tinggi gaji yang diperoleh karyawan akan membuat karyawan terpacu untuk
memiliki kinerja yang semakin tinggi atau baik (Lawler, 1992; Gerhart, 1992;
Donald, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bukti bahwa secara statistik
employee cost berpengaruh positif terhadap kemungkinan kebangkrutan. Pengaruh
employee cost terhadap kemungkinan kebangkrutan dapat dilihat dari koefisien
regresinya dimana menunjukkan hasil yang diinginkan. Tampaknya memang benar
bahwa meningkatnya employee cost dapat menyebabkan peningkatan
kecenderungan terjadinya kebangkrutan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Blazovich (2014) yang menyatakan bahwa kinerja
dari perusahaan yang memiliki orientasi employee-friendly firm akan memiliki
tingkat resiko yang rendah. Kuat dugaan bahwa hal ini dikarenakan employee
friendly firm yang di teliti pada penelitian tersebut melibatkan ukuran-ukuran selain
daripada salary dan tunjangan rutin seperti berupa value added karena akan sulit
dideteksi tanpa interaksi langsung. Faktor-faktor sehubungan karyawan yang diukur
menggunakan ukuran selain salary dan tunjangan rutin menjadi keterbatasan dalam
penelitian ini. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Situm (2015)
yang menyatakan bahwa employee-related cost tidak menunjukkan pengaruh
terhadap pendeteksian kebangkrutan. Hasil penelitian ini konsisten dengan
penelitian Gudmundsson (2002) yang menyatakan bahwa number of employee yang
meningkat dapat menyebabkan peningkatan resiko kebangkrutan. Peningkatan
jumlah karyawan berdampak pada peningkatan biaya yang dialokasikan untuk
tenaga kerja, oleh karena itu peningkatan biaya tenaga kerja (employee cost) juga
akan berdampak pada peningkatan resiko kebangkrutan vice versa.

4.3.2. Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Kemungkinan Kebangkrutan


Bagi perusahaan pertambangan dalam sampel penelitian ini tampaknya
berupaya untuk mengurangi atau menunda kemungkinan terjadinya kebangkrutan
salah satu cara dengan manajemen laba. Melihat kondisi perusahaan pertambangan
selama periode tersebut pastinya ada upaya manipulasi laba yang dilakukan demi
kelangsungan operasional perusahaan. Pada penelitian ini, trend data pada variabel
manajemen laba dapat dilihat pada bagian statistik deskriptif. Pada data trend
tersebut, disaat rata-rata sales yang semakin menurun sementara rata-rata nilai
piutang dan rata-rata dari property plant and equipment (PPE) yang meningkat
justru menunjukkan kualitas Altman Z-Score yang bagus, sedangkan disaat rata-rata
nilai piutang dan rata-rata nilai PPE yang menurun menempatkan perusahaan
dikondisi
yang beresiko. Kondisi yang tidak lazim ini nampaknya menjadi salah satu faktor
pendukung bagi manajemen (agent) untuk menjalankan kegiatan manajemen laba
agar perusahaan tidak terlihat seperti mengalami guncangan finansial ataupun
hanya ingin menunda kemungkinan kebangkrutan atas dasar motivasi akan insentif.
Dari keseluruhan sampel kondisi perusahaan pertambangan yang diteliti,
sampel di dominasi oleh kondisi perusahaan yang berada pada kriteria grey area
(mengarah bangkrut) dan kondisi diprediksi bangkrut. Setelah diprediksi dengan
perhitungan statistik terhadap sampel dominan tersebut kondisi perusahaan yang
tergolong type II error berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan
yang tergolong type I error. Berarti, terdapat banyak perusahaan yang tidak
menyadari bahwa kondisinya semakin memburuk selama kurun waktu 2011-2015
tetapi tetap menjalankan kegiatan manajemen laba.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bukti bahwa manajemen laba
berpengaruh negatif terhadap kemungkinan kebangkrutan. Lebih lanjut, pengaruh
yang digambarkan oleh manajemen laba dalam penelitian ini memiliki arah negatif
dimana mengindikasikan bahwa semakin besar manajemen laba mampu
menurunkan kecenderungan terjadinya kebangkrutan. Arah hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian Campa (2014) yang menyatakan bahwa perusahaan yang
bangkrut melakukan manajemen laba yang meningkat. Penelitian ini cenderung
konsisten dengan penelitian Eternadi (2012) yang menyatakan bahwa perusahaan
mengalami kegagalan karena melakukan manajemen laba yang semakin rendah.
Secara statistik mungkin terlihat arah hasil penelitian Eternadi (2012) ini positif,
akan tetapi hal tersebut dikarenakan penggunaan variabel independen dan dependen
yang berbeda dengan model penelitian ini menyebabkan hasil nilai statistik juga
menjadi berbeda. Akan tetapi secara konsep tampak bahwa manajemen laba yang
rendah berperan dalam menyebabkan perusahaan mengalami kebangkrutan
sehingga dengan manajemen laba yang semakin meningkat maka perusahaan dapat
terbebas dari resiko kebangkrutan. Tampaknya Dutzi (2016) benar dengan
menyatakan bahwa hubungan manajemen laba terhadap kebangkrutan perusahaan
adalah hubungan yang ambigu,
dikarenakan banyak faktor atau alasan yang dapat menyebabkan manajemen untuk
meningkatkan atau menurunkan tingkat laba. Lebih lanjut, hasil penelitian ini jelas
menunjukkan sifat optimis dari manajemen untuk berusaha meningkatkan
manajemen laba agar terbebas dari kecenderungan kebangkrutan. Sifat optimistis
tersebut diduga kuat didorong oleh beberapa alasan utama seperti faktor insentif
manajemen maupun upaya untuk menunda terjadinya kebangkrutan. Disisi lain
manajemen laba juga punya resiko yang mungkin disadari atau tidak yaitu
mengakibatkan hasil pengambilan keputusan jangka panjang yang bias bagi para
pemangku kepentingan karena laba yang dilaporkan berasal dari praktek-pratek
manipulasi.

4.3.3. Pengaruh Profitabilitas Terhadap Kemungkinan Kebangkrutan


Pada penelitian ini, trend data pada variabel profitabilitas dapat dilihat
pada bagian statistik deskriptif. Pada data trend tersebut perbandingan rata-rata dari
net income dan rata-rata total assets yang menghasilkan nilai positif akan
menunjukkan kualitas Altman Z-Score yang bagus, sedangkan disaat rata-rata net
income berubah menjadi bernilai negatif justru menyebabkan kondisi yang
beresiko. Lewat analisis terhadap hasil statistik tersebut ditunjukkan bahwa
memang benar kontrol terhadap hasil perbandingan net income terhadap total assets
(return on assets) yang bernilai positif akan menempatkan perusahaan dikondisi
yang menguntungkan.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bukti bahwa profitabilitas
berpengaruh negatif terhadap kemungkinan kebangkrutan. Lebih lanjut lagi,
pengaruh yang digambarkan oleh profitabilitas yang diukur dengan return on assets
dalam penelitian ini memiliki arah negatif dimana mengindikasikan bahwa semakin
besar rasio return on assets mampu menurunkan kecenderungan terjadinya
kebangkrutan di perusahaan pertambangan vice versa. Hasil penelitian ini konsisten
dengan penelitian Veronica (2014) dan Brindescu (2016) yang menyatakan bahwa
rasio profitabilitas menunjukkan pengaruh bertolak belakang terhadap
kebangkrutan. Semakin tinggi rasio dari return on assets menunjukkan bahwa
perusahaan menggunakan asset-nya lebih efektif dalam menghasilkan keuntungan.
Sebaliknya, rasio return on assets yang
rendah menunjukkan bahwa perusahaan menggunakan asset secara tidak efektif.
Ukuran return on assets yang rendah dapat menempatkan perusahaan dalam kondisi
tidak menguntungkan dan probabilitas kebangkrutan akan meningkat dari waktu ke
waktu. Tingkat profitabilitas adalah salah satu hal utama dalam operasional sebuah
perusahaan, dengan laba yang bertumbuh menggambarkan kondisi keuangan yang
baik dan dapat membiayai segala kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan.
Return on assets yang tinggi menggambarkan tingkat pengembalian atas investasi
yang baik sehingga dengan tingkat profitabilitas yang tinggi kebangkrutan tentu
dapat dihindari. Tetapi tanpa mengabaikan hasil return on assets yang dapat
menempatkan perusahaan dalam kondisi menguntungkan tersebut, pemilik
perusahaan atau stakeholder juga harus sadar dan paham akan adanya prinsip
konservatisme dalam akuntansi karena dalam penelitian ini juga terbukti bahwa
manajemen memiliki peranan dalam menciptakan hasil dari laba dengan cara
manipulasi laba. Profitabilitas yang baik harus dibuktikan dengan laba yang
berkualitas dan laba yang berkualitas adalah laba yang terbebas dari unsur-unsur
manipulasi dalam proses penciptaannya.
BAB V
KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap hasil penelitian,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Employee cost berpengaruh positif terhadap kemungkinan kebangkrutan.
Pengaruh yang digambarkan oleh employee cost dalam penelitian ini
memiliki arah positif dimana mengindikasikan bahwa semakin
meningkatnya employee cost akan meningkatkan kecenderungan
terjadinya kebangkrutan vice versa. Hasil penelitian ini sejalan dengan
Gudmundsson (2002).
2. Manajemen laba berpengaruh negatif terhadap kemungkinan
kebangkrutan. Pengaruh yang digambarkan oleh manajemen laba dalam
penelitian ini memiliki arah negatif dimana mengindikasikan bahwa
semakin besar manajemen laba yang dilakukan mampu menurunkan
kecenderungan terjadinya kebangkrutan vice versa. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Eternadi (2012).
3. Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kemungkinan kebangkrutan.
Pengaruh yang digambarkan oleh profitabilitas memiliki arah negatif yang
mengindikasikan bahwa semakin besar tingkat profitabilitas dengan
ukuran return on assets mampu menurunkan kecenderungan terjadinya
kebangkrutan vice versa. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil
penelitian Veronica (2014) dan Brindescu (2016).
5.2. Keterbatasan Penelitian
Berikut keterbatasan penelitian yang mungkin dapat mempengaruhi hasil
dari penelitian ini:
1. Dasar employee cost yang di teliti dalam penelitian ini hanya
menggunakan besaran salary dan tunjangan rutin yang diterima oleh
karyawan. Hal-hal lainnya yang berada diluar lingkup salary dan
tunjangan rutin dikeluarkan dari pengukuran sehingga menjadi
keterbatasan dalam penelitian ini.
2. Perusahaan tambang di Indonesia yang diteliti selama periode 2011-2015
sedang mengalami kondisi yang tidak menentu, sehingga anomali pada
data perusahaan akan sering terlihat.

5.3. Implikasi
Implikasi dari hasil penelitian ini antara lain:
1. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor utama yang menentukan
produktifitas perusahaan, akan tetapi peningkatan employee cost dapat
mengakibatkan peningkatan resiko kebangkrutan. Oleh karena itu
diharapkan agar employee cost sebisa mungkin ditekan agar probabilitas
resiko tersebut muncul sangat kecil tentunya dengan tetap memperhatikan
produktifitas perusahaan.
2. Pada saat berhadapan dengan kondisi yang sulit manajemen laba mungkin
memberikan kesempatan dalam menunjukkan kemampuan perusahaan
untuk bangkit akan tetapi manajemen laba juga akan menghasilkan
keputusan yang bias karena informasi yang terbentuk akibat manipulasi
berdasarkan kepentingan manajemen. Bagi auditor ekternal dan internal
diharapkan selalu mengawasi aktifitas dan tingkat dari manajemen laba
yang dilakukan manajemen perusahaan.
3. Return on assets adalah salah satu tolak ukur atas profitabilitas, dengan
tingkat net income yang semakin besar daripada total asset menandakan
bahwa perusahaan dapat memperoleh laba yang tinggi dengan
memanfaatkan asset yang seminim mungkin sehingga kemungkinan
kebangkrutan akan semakin rendah. Akan tetapi sebagai pemilik
perusahaan atau stakeholder harus tetap memiliki prinsip kehati-hatian
terhadap hasil laba yang tinggi tersebut karena manajemen laba juga punya
peran dalam membentuk laba yang terlihat baik terutama perusahaan yang
mengaplikasikan metode pencatatan accrual basis.

5.4. Saran
Berikut beberapa saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil dari
penelitian ini:
1. Penelitian mendatang disarankan mengunakan time series yang lebih
panjang untuk bisa menggeneralisasi hasil penelitian.
2. Penelitian yang akan datang diharapkan dapat menambah varian sampel,
tidak hanya perusahaan manufaktur saja, tetapi juga dengan menggunakan
industri lain, seperti keuangan, jasa dan lainnya.
3. Jika akan memanfaatkan employee cost untuk penelitian selanjutnya,
disarankan agar mengekstrak data tidak hanya dari pos salary dan
tunjangan rutin, jika memungkinkan untuk bisa mendapatkan ukuran
lainnya terkait employee bahkan jika memungkinkan jumlah karyawan
dari tiap perusahaan yang dijadikan sampel penelitian.
4. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti tentang perilaku
akuntansi dari perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Hal ini penting
karena terdapat perusahaan yang berhasil menyembunyikan kondisi buruk
bisnisnya dengan pemanfaatan metode accrual basis. Oleh karena itu,
diperlukan metode pengukuran lainnya misalnya dengan pemanfaatan
metode cash basis sebagai tolak ukur.
DAFTAR PUSTAKA

Akerlof, G. and Janet Yellen. 1986. Efficiency Wage Models of the Labor Market.
Cambridge: Cambridge University Press.
Altman, E. 1968. Financial Ratios, Discriminant Analysis and the Prediction of
Corporate Bankruptcy. Journal of Finance, No. 23, pp: 589–609.
Andromeda, Donny A. 2008. Analisis Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Return
Saham Pada Perusahaann Manufaktur di BEJ yang Diaudit Oleh Kantor
Akuntan Publik Berskala Besar dan Kantor Akuntan Publik Berskala Kecil.
Tesis. Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Bartual, C. et all. 2012. Credit Risk Analysis: Reflection on the Use of the Logit
Model. Journal of Applied Finance & Banking, Vol. 2(6), pp: 1-13.
Beaver, W.H. 1966. Financial Ratios as Predictors of Failure. Journal of
Accounting Research, Vol. 4, pp: 71-111.
Blazovich, Janell L., Katherine Taken Smith dan L. Murphy Smith. 2014.
Employee- Friendly Companies and Worklife Balance: Is There an Impact
on Financial Performance and Risk Level. Journal of Organizational
Culture Communications and Conflict, Vol. 18, No. 2, pp: 1-13.
Brigham, F. Eugene dan Louis C. Gapensky. 1997. Financial Management.
Florida: The Dryden Press.
Brindescu, Daniel. 2016. Profitability Ratio as a Tool for Bankruptcy Prediction.
SEA- Pratical Application of Science, Vol. 4(2), pp: 369-372.
Campa, Domenico dan Maria-del-Mar C.M. 2014. Earnings Management among
Bankrupt Non-Listed Firms: Evidence from Spain. Spanish Journal of
Finance and Accounting, Vol. 43, No. 1, pp: 3-20.
Chariri, Anis dan Imam Ghozali. 2003. Teori Akuntansi. Semarang: BP UNDIP.
Dechow, Patricia M., Richard G. Sloan dan Amy P. Sweeney. 1995. Detecting
Earnings Management. The Accounting Review, Vol. 70, No. 2, pp: 193-225.
Donald, G. Gardner, Linn Van Dyne dan Jon L. Pierce. 2004. The Effect of Pay
Level on Organization-Based Self Esteem & Performance: A Field Study.
Journal of Occupational and Organizational Psycology, Vol. 77, pp: 307-
322.
Dutzi, Andreas and Bastian Rausch. 2016. Earnings Management before
Bankruptcy: A Review of the Literature. Journal of Accounting and
Auditing: Research & Practice, Vol.2016, pp:1-21.
Emery, R. Douglas dan John D. Finnerty. 1997. Corporate Financial Management.
New Jersey: Prentice Hall Inc.
Eternadi, H. et all. 2012. Discretionary Accruals Behavior of Iranian Distressed
Firms. Middle Eastern Finance and Economics, Vol.16, pp: 44-53.
Gerhart, B. dan Milkovich, G. T. 1992. Employee Compensation: Research and
Practice. Handbook of industrial and organizational psychology, Vol. 3, pp:
481–570.
Ghozali, Imam. 2013. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gitman, Lawrence J. 1994. Principle of Managerial Finance. Boston: Addison
Wesley Publishing Company.
Gudmundsson, Sveinn Vidar. 2002. Airline Distress Prediction Using Non-
Financial Indicators. Journal of Air Transportation, Vol.7 (2), pp: 3-24.
Gujarati, Damodar N. 1995. Basic Econometric, Third Edition. New York: Mc
Graw- Hill.
Gujarati, Damodar. 2003. Ekonometri Dasar. Diterjemahkan oleh: Sumarno Zain.
Jakarta: Erlangga.
Habib, Ahsan et all. 2013. Financial Distress, Earnings Management and Market
Pricing of Accruals during the Global Financial Crisis. Managerial Finance,
Vol. 39, No. 2, pp: 155-180.
Hanafi, Mamduh M. 2004. Manajemen Keuangan, Cetakan Pertama. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta
Jensen, Michael C. dan William H. Meckling. 1976. Theory of the Firm:
Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of
Financial Economics, No. 3, pp: 305-360.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Peranan Sektor Pertambangan
Dalam Mendorong Perekonomian Nasional. 20 Desember 2016.
http://www2.esdm.go.id/berita/umum/37-umum/601-peranan-sektor-
pertambangan-dalam-mendorong-perekonomian- nasional.html?
tmpl=component&print=1&page=
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2015. Statistik Minyak dan Gas
Bumi. Jakarta: Direktorat Jendral Minyak dan Gas.
Keynes, J. Maynard. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money.
London: Palgrave Macmillan
Khaliq, Ahmad, et all. 2014. Identifying Financial Distress Firms: A Case Study of
Malaysia’s Government Linked Companies (GLC). International Journal of
Economics Finance and Management, Vol. 3, No. 3, pp:141-150.
Kim, H and Z. Gu. 2006. Predicting Restaurant Bankruptcy: A Logit Model in
Comparison with a Discriminant Model. Journal of Hospitality & Tourism
Research, Vol. 30(4), pp: 474-493.
Lawler, E. E. III, dan Jenkins, G. D. Jr. 1992. Strategic reward systems In M. D.
Dunnette & L. M. Hough (Eds.). Handbook of industrial and organizational
psychology, Vol. 3, No.2, pp: 1009–1055.
Miller, Merton H. 1977. Debt and Taxes. Journal of Finance, Vol. 23, pp: 261-275.
Ministry of Energy and Mineral Resources Republic of Indonesia, 2015. Handbook
of
Energy & Economic Statistics of Indonesia. Jakarta: Kementrian ESDM.
Modigliani, Franco dan Miller H. Miller. 1958. The Cost of Capital, Corporate
Finance and the Theory of Investment. American Economic Review, Vol.
48, pp: 261-297.
Noe, Raymond A. et all. 2015. Human Resource Management: Gaining a
Competitive Advantage, 9th Edition. New York: McGraw-Hill.
Prihanthini, Ni Made E.D. dan Maria M. Ratna Sari. 2013. Prediksi Kebangkrutan
Dengan Model Grover, Altman Z score, Springate dan Zmijewski pada
Perusahaan Food and Beverage di Bursa Efek Indonesia. E-Jurnal
Akuntansi Universitas Udayana, Vol. 5.2, pp: 417-435.
Robert, Ang. 1997. Buku Pintar: Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Mediasoft
Indonesia.
Ross, Stephen A. et all. 2010. Corporate Finance, 9th Edition. New York: McGraw-
Hill.
Santoso, Singgih. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: PT Elek
Media Komputindo.
Scott, W. 1997. Financial Accounting Theory. New Jersey: Prentice Hall Canada
Inc. Sheikhi, Maryam, Mirfeiz F. Shams, dan Zeinab S. 2012. Financial
Distress
Prediction Using Distress Score as a Predictor. International Journal of
Business and Management, Vol. 7, No. 1, pp: 169-181.
Sinarti dan Tia Maria Sembiring. 2015. Bankruptcy Prediction Analysis of
Manufacturing Companies Listed in Indonesia Stock Exchange.
International Jornal of Economics and Financial Issues, Vol. 5, pp: 354 –
359.
Situm, M. 2015. The Relevance of Employee Related Ratios for Early Detection of
Corporate Crises. Economic and Business Review, Vol. 16, No. 3, pp: 279-
314.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Alfabeta.
Supriadi, Agus et all. 2015. Dampak Pembatasan Ekspor Bijih Besi Terhadap
Penerimaan Sektor ESDM dan Perekonomian Nasional. Jakarta: Pusat Data
dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (1).
Umar, Husein. 2011. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta:
Rajawali Pers.
Veronica, M. Sienly dan Samuel P.D.A. 2014. Bankruptcy Prediction Model: An
Industrial Study in Indonesian Publicly-Listed Firms during 1999-2010.
Review of Integrative Business & Economics Research, Vol. 3(1), pp: 13-41.
Watts, Ross L. dan Jerold L. Zimmerman. 1990. Positive Accounting Theory: A
Ten Year Prespective. The Accounting Review, Vol. 65, No. 1, pp: 131-156.
Widarjono, Agus. 2010. Analisis Statistika Multivariat Terapan. Yogyakarta: UPP
STIM YKPN.
Zaki, Ehab, Rahim Bah dan Ananth Rao. 2011. Assessing Probabilities of Financial
Distress of Banks in UAE. International Journal of Managerial Finance,
Vol.7, No. 3, pp: 304-320.
LAMPIRAN I

Hasil Analisis Inferensial

Uji Multikolinearitas

Coefficientsa

Collinearity Statistics

Model Tolerance VIF

1 (Constant)

SCEBT 0.972 1.029

DACC 0.918 1.089

ROA 0.941 1.062

a. Dependent Variable: FDS

Uji Overall Model Fit

Iteration Historya,b,c

Coefficients

Iteration -2 Log likelihood Constant

Step 0 1 186.252 0.163

2 186.252 0.163

a. Constant is included in the model.

b. Initial -2 Log Likelihood: 186,252

c. Estimation terminated at iteration number 2


because parameter estimates changed by less
than
,001.
Iteration Historya,b,c,d

Coefficients

Iteration -2 Log likelihood Constant SCEBT DACC ROA

Step 1 1 118.397 0.349 0.099 -2.104 -0.131

2 108.062 0.504 0.159 -3.779 -0.201

3 106.594 0.563 0.186 -4.980 -0.237

4 106.546 0.573 0.190 -5.287 -0.245

5 106.546 0.573 0.191 -5.300 -0.245

6 106.546 0.573 0.191 -5.300 -0.245

a. Method: Enter

b. Constant is included in the model.

c. Initial -2 Log Likelihood: 186,252

d. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates


changed by less than ,001.

Omnibus Test

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 79.706 3 0.000

Block 79.706 3 0.000

Model 79.706 3 0.000

Koefisien Determinasi (Nagelkerke R Square)

Model Summary

Cox & Snell Nagelkerke R


Step -2 Log likelihood R Square Square

1 106.546a 0.446 0.596

a. Estimation terminated at iteration number 6 because


parameter estimates changed by less than ,001.
Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 9.432 8 0.30
7

Matriks Klasifikasi

Classification Tablea

Predicted

FDS
Percentage
Observed Z > 2,675 Z ≤ 2,675 Correct

Step 1 FDS Z> 47 15 75.8

2,675 Z ≤ 8 65 89.0

83.0
2,675

Overall Percentage

a. The cut value is ,500

Uji Wald

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a SCEBT 0.191 0.106 3.239 1 0.072 1.210

DACC - 2.638 4.037 1 0.045 0.005


5.300
ROA - 0.048 25.765 1 0.000 0.782
0.245
Constant 0.573 0.312 3.377 1 0.066 1.774

a. Variable(s) entered on step 1: SCEBT, DACC, ROA.


LAMPIRAN II

Output Statistik
Deskriptif
Report
FDS SCEBT DACC ROA
Z > 2,675 N 62 62 62
Dummy 0 0.3501 0.0192 8.6815
Mean
Std. Deviation 2.37490 0.17279 7.46825
Minimum -16.89 -0.17 -11.35
Maximum 4.00 1.15 26.83
Z ≤ 2,675 N 73 73 73
Dummy 1 Mean 1.4099 -0.0879 -2.2868
Std. Deviation 3.52770 0.13419 6.58677
Minimum -5.08 -0.78 -22.26
Maximum 16.23 0.20 15.30
Total N 135 135 135
Mean 0.9232 -0.0387 2.7505
Std. Deviation 3.08791 0.16167 8.87699
Minimum -16.89 -0.78 -22.26
Maximum 16.23 1.15 26.83
Statistik Deskriptif per tahun 2011 - 2015
Report
tahun SCEBT DACC ROA
2011 N 27 27 27
Mean 1.3752 -0.0340 5.5673
Std. Deviation 3.23132 0.14420 10.07444
Minimum -2.03 -0.45 -22.26
Maximum 11.75 0.36 26.83
2012 N 27 27 27
Mean 1.0457 -0.0032 4.4146
Std. Deviation 2.59425 0.10535 9.42724
Minimum -5.08 -0.17 -11.35
Maximum 9.47 0.20 22.86
2013 N 27 27 27
Mean 0.1259 0.0002 3.0491
Std. Deviation 4.06124 0.24363 8.88168
Minimum -16.89 -0.22 -18.59
Maximum 9.01 1.15 18.20
2014 N 27 27 27
Mean 1.3275 -0.0728 1.7042
Std. Deviation 3.39414 0.16291 7.74355
Minimum -1.37 -0.78 -16.27
Maximum 16.23 0.16 15.37
2015 N 27 27 27
Mean 0.7417 -0.0838 -0.9827
Std. Deviation 1.69281 0.10345 7.07785
Minimum -1.06 -0.35 -12.20
Maximum 7.13 0.20 15.34

Anda mungkin juga menyukai