Anda di halaman 1dari 7

LTM PRAKTIKUM KOMUNIKASI KEPERAWATAN

Tahapan Komunikasi Terapeutik


Auberta Amadea Puttiwi , 2006598566 , PKK – F

Menurut Stuart dan Sundeen, komunikasi terapeutik merupakan hubungan


interpersonal antara perawat dan klien dengan tujuan yang diarahkan pada
pertumbuhan emosional pasien meliputi: realisasi diri, penerimaan diri dan
peningkatan penghormatan terhadap diri yang dapat dicapai melalui eksplorasi
berbagai aspek pengalaman hidup klien. Pada hakikat nya, komunikasi tersebut
adalah suatu hubungan perawat dengan pasien yang dirancang untuk mencapai
tujuan therapy dalam pencapaian tingkat kesembuhan yang optimal dan efektif
dengan harapan lama hari rawat pasien menjadi pendek dan dipersingkat (Muhith
& Siyoto, 2018). Dari kedua pengertian diatas dapat dipahami bahwa komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien.
Pelaksanaan komunikasi terapeutik harus direncanakan dan terstruktur
dengan baik supaya dapat berjalan dengan efektif dan semestinya. Oleh karena itu,
komunikasi terapeutik dapat dilakukan melalui beberapa fase, seperti yang telah
dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen (2013) yang menyatakan empat fase
dalam komunikasi terapeutik, yaitu :
1. Tahap Pra Interaksi (Persiapan)
Fase pra-interaksi dimulai sebelum kontak pertama perawat dengan pasien.
Tugas awal perawat adalah melakukan eksplorasi diri. Pada tahap pra-interaksi,
perawat diharapkan untuk memahami dan mengevaluasi diri nya terlebih dahulu
sebelum melakukan komunikasi dengan klien. Tahap ini harus dilakukan oleh
seorang perawat untuk memahami dirinya, mengatasi kecemasannya, dan
meyakinkan dirinya bahwa dirinya siap untuk berinteraksi dengan klien. Jika
dirasa dirinya belum siap untuk bertemu dengan pasien makan perawat perlu
belajar kembali dan berdiskusi dengan teman kelompok yang lebih berkompeten
untuk mengatasi klien. Perawat yang telah selesai dengan penilaian diri sendiri
(self-assesment) dapat melanjutkan tugas dengan mencari informasi terkait pasien.
Melalui informasi yang diperoleh, perawat dapat merencanakan langkah awal
untuk berinteraksi dan mengatur pertemuannya dengan pasien (Stuart, 2013).
Pada tahap persiapan ini, penting untuk kita memahami apa saja yang
boleh dilakukan sebelum bertemu dengan pasien / klien kita. Hal yang perlu
dilakukan pada tahap pra-interaksi antara lain:
a. Evaluasi diri dengan mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri seperti:
 Apakah saya memandang individu secara stereotip?
 Bagaimana pengalaman interaksi saya dengan pasien?
 Bagaimana saya menghadapi pasien yang sedang marah, sedih, dan
kecewa?
 Bagaimana respon saya selanjutnya jika menghadapi pasien yang diam dan
menolak berbicara?
 Apa harapan perawat terhadap interaksinya dengan pasien? (disesuaikan
dengan kondisi klien)
b. Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri. Ini sangat penting dilakukan
agar perawat mampu mengatasi kelemahannya dan menggunakan
kekuatannya secara maksimal pada saat berinteraksi dengan klien.
Contoh : Seorang perawat memiliki kekuatan untuk memulai pembicaraan
dan memiliki kelemahan yaitu sensitif. Seharusnya, perawat dapat
mengontrol perasaan sendiri sehingga ia tidak ikut menangis ketika
melihat seorang klien menangis. Dengan demikian, ia dapat memberi
ketenangan saat berinteraksi.
c. Mengumpulkan data pasien yang ditinjau dari catatan medis/catatan
keperawatan untuk menemukan berbagai informasi seperti identitas,
kondisi maupun perkembangannya. Kemudian, mencari literatur yasng
berkaitan dengan masalah yang dialami pasien tersebut.
d. Rencana interaksi pertama dengan pasien. Pada tahap ini perawat perlu
mempersiapkan rencana percakapan, teknis pelaksanaan (tempat dan
waktu), teknik komunikasi, dan teknik observasi selama percakapan
berlangsung. Contoh : Saya telah membuat kontrak untuk melakukan
perawatan luka hari ini pukul 8 pagi
Kemudian, hal yang tidak boleh dilakukan pada tahap pra interaksi, antara lain :
a. Tidak menyelesaikan self-assesment. Contoh : Kelemahan cemas yang
berlebihan. Pada saat perawat merasa cemas, dia tidak akan mampu
mendengarkan apa yang dikatakan klien dengan baik (Brammer, 1993)
sehingga perawat tidak akan mampu menggunakan active listening
(mendengarkan secara aktif). Disamping itu kecemasan perawat dapat
meningkatkan kecemasan klien. Oleh karena itu, sebelum berinteraksi
dengan klien, perawat perlu menggali perasaannya dan menyelesaikan
kecemasan pada dirinya.
b. Kurang observasi dan mengumpulkan data pasien. Adanya perbedaan
bahasa yang menjadi permasalahan saat komunikasi berlangsung.
Contoh : mahasiswa menjadi sangat kecewa dan cemas karena klien yang
dipilihnya sebagai kasus utama tersebut sama sekali tidak bisa berbahasa
Indonesia dan hanya bisa berbahasa Sunda, sedangkan dia sendiri tidak
mengerti bahasa Sunda karena dia lahir di Sumatera.
2. Tahap Orientasi (Perkenalan)
Fase orientasi adalah fase dimana perawat dan pasien pertama kali
bertemu. Salah satu perhatian utama perawat adalah untuk mencari tahu mengapa
pasien mencari bantuan. Tugas utama tenaga kesehatan pada tahap ini adalah
memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan penerimaan, serta
membantu pasien dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Fokusnya
adalah pada tujuan pasien yang dapat dirumuskan setelah masalah teridentifikasi.
Tujuan tahap ini adalah untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang
telah dibuat dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang
lalu. Hal – hal berikut ini yang harus dilakukan, antara lain :
a. Memulai interaksi diawali dengan salam terapeutik, berjabat tangan, dan
perkenalan (perawat terlebih dahulu memperkenalkan dirinya).
Menggunakan teknik komunikasi terbuka. Contoh : “Bagaimana
perasaannya hari ini, Bu?”
b. Evaluasi masalah atau keluhan pasien. Contoh : “Bagaimana keadaan
Bapak hari ini jika dibandingkan dengan kemarin?”
c. Validasi terhadap tujuan yang telah dirumuskan serta kontribusi yang telah
dilakukan dalam mengatasi masalah.
d. Membuat kontrak pertemuan (tujuan, waktu, dan tempat), sebagai alat
untuk mengingatkan klien akan kesepakatan yang telah dibuat terkait
dengan interaksi yang sedang berlangsung. Perawat perlu menjelaskan
atau mengklarifikasi peran perawat dan klien agar tidak terjadi
kesalahpahaman klien terhadap kehadiran perawat serta menekankan
bahwa perawat hanya membantu, sedangkan kekuatan dan keinginan
untuk berubah ada pada diri klien sendiri
Kemudian, hal yang tidak boleh dilakukan pada tahap orientasi, antara lain :
a. Membocorkan privasi pasien/klien. Dalam hubungan interaksi tenaga
kesehatan dan pasien, terdapat kegiatan menjaga kepercayaan pasien
supaya tercipta suasana yang dan pasien dapat membuka diri terhadap
informasi tertentu yang bersifat privasi.
3. Tahap Kerja (Proses Keperawatan)
Sebagian besar hubungan terapeutik dilakukan selama fase kerja. Pada
tahap ini, perawat melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan saat tahap
sebelumnya. Perawat dan pasien mengeksplorasi stres dan mempromosikan
pengembangan wawasan pada pasien dengan menghubungkan persepsi, pikiran,
perasaan, dan tindakan. Wawasan ini harus diterjemahkan ke dalam tindakan dan
perubahan perilaku. Perawat membantu pasien mengatasi kecemasan,
meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab diri, serta mengembangkan
mekanisme koping konstruktif. Perubahan perilaku aktual adalah fokus dari fase
ini. Hal – hal berikut ini yang harus dilakukan, antara lain :
a. Mengkaji (Assesment) kondisi pasien. Perawat dituntut untuk mempunyai
kepekaan dan tingkat analisis yang tinggi terhadap adanya perubahan
dalam respon verbal maupun nonverbal klien.
b. Mendiagnosis masalah pasien
c. Menegakkan Asuhan Keperawatan (Intervension)
Kemudian, hal yang tidak boleh dilakukan pada tahap kerja, antara lain :
a. Tidak menyimpulkan permasalahan klien. Hal tersebut dapat
mengakibatkan adanya ketidaksamaan persepsi terhadap masalah antara
perawat dan klien. Sehingga penyelesaian masalah tidak terarah dan tidak
relevan dengan hasil yang diharapkan dan masalah klien menjadi tidak
terselesaikan
4. Tahap Terminasi
Tahap terminasi merupakan tahap ketika perawat akan menghentikan
interaksi dengan pasien. Menurut Keliat, Akemat, Helena & Nurhaeni (2007),
tahap ini terbagi menjadi dua tahapan yaitu terminasi sementara dan terminasi
akhir.
a. Terminasi sementara : Pada terminasi sementara perawat dengan pasien
akan bertemu kembali pada waktu yang telah ditentukan.
b. Terminasi akhir : terminasi akhir terjadi jika pasien dan keluarganya sudah
mampu menyelesaikan masalahnya.
Hal yang perlu dilakukan pada tahap terminasi antara lain:
a. Mengevaluasi secara Objektif dengan meminta klien untuk menyimpulkan
apa yang telah didiskusikan dan mengecek pemahaman pasien
b. Mengevaluasi Subjektif dengan apa yang dirasakan pasien setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
c. Menyepakati dan Menindaklanjuti kontrak untuk pertemuan selanjutnya
serta mengingatkan tugas apa yang harus dilakukan pasien
d. Menutup interaksi dengan salam terapeutik
Kemudian, hal yang tidak boleh dilakukan pada tahap kerja, antara lain :
a. Terminasi dilakukan sepihak. Konsekuensinya, kemungkinan klien
mengalami depresi dan regresi karena adanya perasaan penolakan,
kehilangan dan mengingkari manfaat dari interaksi yang telah dilakukan
b. Tidak ada tindak lanjut yang jelas. Hal tersebut bisa mengakibatkan klien
tetap mengalami kecemasan, bahkan menambah kecemasan mereka karena
perawat yang diharapkan mampu memberikan dukungan, ternyata tidak
sesuai dengan harapannya
Dari keseluruhan komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat terhadap
pasien sangat menunjang proses penyembuhan atau pemulihan pasien. Hal ini
dikarenakan pada komunikasi terapeutik, perawat dapat mengetahui segala
keluhan pasien dan perawat juga mengedukasi pasien untuk menghadapi keluhan
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan pengalaman mengenai
proses komunikasi terapeutik untuk dapat menerapkan hal tersebut dengan baik.
Sehingga, tujuan yang akan di capai oleh perawat dan pasien dapat terwujud.

Daftar Pustaka

Astuti, Dyah Rahmi. (2019). Motif Perawat sebagai Profesi dan Pelaku
Komunikasi Terapeutik. Communicatus : Jurnal Ilmu Komunikasi, 3(2),
189-210. Retrieved from https://journal.uinsgd.ac.id/

Brownie, S., Scott, R., & Rossiter, R. (2016). Therapeutic Communication and
Relationships in Chronic and Complex Care. Nursing Standard
(2014+), 31(6), 54. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.7748/ns.2016.e9847

Donovan, L. M., & Mullen, L. K. (2019). Expanding Nursing Simulation


Programs with A Standardized Patient Protocol on Therapeutic
Communication. Nurse Education in Practice, 38, 126-131. Retrieved
from http://dx.doi.org/10.1016/j.nepr.2019.05.015

Keliat, B., Akemat., Helena, N., & Nurhaeni, H. (2007). Keperawatan Kesehatan

Jiwa Komunitas : Basic course. Jakarta : EGC

Nara, Maria Yulita. (2020). Komunikasi Terapeutik dalam Asuhan Keperawatan


di Ruangan Rawat Inap Kelas III RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
Jurnal Communio : Jurnal Ilmu Komunikasi, 9(1 Januari 2020), 1489 –
1506. Retrieved from https://ejurnal.undana.ac.id/

Stuart, G. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing 10th edition. St.
Louis: Mosby

Walsh, J. (2011). Therapeutic Communication with Psychotic Clients.  Clinical


Social Work Journal, 39(1), 1-8. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.1007/s10615-010-0287-0

Anda mungkin juga menyukai