Mitra Bestari Prof. Dr. Syamsuddin Haris (Ahli Kajian Kepartaian, Pemilu, dan Demokrasi)
Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA (Ahli Kajian Otonomi Daerah dan Politik Lokal)
Dr. Lili Romli (Ahli Kajian Pemilu dan Kepartaian)
Drs. Hamdan Basyar, M.Si (Ahli Kajian Timur Tengah dan Politik Islam)
Dr. Sri Nuryanti, MA (Ahli Kepartaian dan Pemilu)
Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, S.IP, M.A. (Ahli Gender dan Politik)
Dr. Ganewati Wuryandari, MA (Ahli Kajian Hubungan Internasional)
DR. Yon Machmudi, M.A (Ahli Studi Islam dan Timur Tengah)
Dr. Sri Budi Eko Wardani, M.Si (Ahli kepemiluan dan kepartaian)
Dewan Redaksi Prof. Dr. Firman Noor, M.A (Ahli Kajian Pemikiran Politik, Pemilu dan Kepartaian)
Moch. Nurhasim, S.IP., M.Si (Ahli Kajian Pemilu dan Kepartaian)
Dra. Sri Yanuarti (Ahli Kajian Konflik dan Keamanan)
Drs. Heru Cahyono (Ahli Kajian Politik Lokal)
Redaksi Pelaksana Dra. Awani Irewati, MA (Ahli Kajian ASEAN dan Perbatasan)
Indriana Kartini, MA (Ahli Kajian Dunia Islam dan Perbandingan Politik)
Alamat Redaksi Pusat Penelitian Politik-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai III & XI
Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan 12710
Telp/Faks. (021) 520 7118, E-mail: penerbitan.p2p@gmail.com
Website: www.politik.lipi.go.id | http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
Catatan Redaksi
iii
Artikel
• Formula Konversi Suara Saint Lague dan Dampaknya
pada Sistem Kepartaian: Evaluasi Pemilu Serentak 2019
Mouliza K.D Sweinstani 111–124
• Paradoks Pemilu Serentak 2019: Memperkokoh Multipartai
Ekstrem di Indonesia
Moch. Nurhasim 125–136
• Redesain Pendaftaran Pemilih Pasca-Pemilu 2019
Muhammad Imam Subkhi 137–154
• Penyederhanaan Partai Politik melalui Parliamentary Threshold:
Penyelenggaran Sistematis terhadap Kedaulatan Rakyat
Jerry Indrawan dan M. Aji 155–166
• Meredam Konflik dalam Pusaran Siber dalam Proses
Penetapan Hasil Rekapitulasi Pemilu Serentak 2019
Chastiti M.W dan Edward S.R 167–178
• Ujaran Kebencian, Hoax dan Perilaku Memilih
(Studi Kasus pada Pemilih Presiden 2019 di Indonesia)
Ferdinand Eskol Tiar Sirait 179–190
• Problematik Rekrutmen Penyelenggara Pemilu di
Tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara) pada
Pemilu Serentak 2019: Antara Regulasi dan Implementasi
Muhammad Nuh Ismanu 191–207
• Pendanaan Negara kepada Partai Politik:
Pengalaman Beberapa Negara
Sri Yanuarti 209–228
Review Buku
• Menimbang Demokrasi Dua Dekade Reformasi
Sutan Sorik 229–235
| i
CATATAN REDAKSI
Untuk pertama kalinya, Indonesia menggelar perlunya perubahan formula elektoral dalam
pemilu serentak. Pemilu 2019 menyatukan sistem daftar proporsional yang diterapkan di
lima jenis pemilihan sekaligus yakni pemilihan Indonesia. Dengan memperhatikan LSq dan
presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan BONUSRAT, studi ini merekomendasikan
DPRD Kabupaten/kota. Pemilu serentak semula formula Hungarian Sainte Lague sebagai
dianggap lebih efisien, baik dari sisi waktu alternatif formula elektoral yang dapat digunakan
maupun anggaran. Namun demikian, dalam di Indonesia.
prakteknya, pemilu serentak menyisakan Artikel berikutnya, PARADOKS PEMILU
sejumlah persoalan yang juga menajdi pekerjaan S E R E N TA K 2 0 1 9 : M E M P E R K O K O H
rumah bersama bagi pemerintah dan pemangku MULTIPARTAI EKSTREM DI INDONESIA
kepentingan lainnya. ditulis oleh Moch Nurhasim membahas mengenai
Jurnal Penelitian Politik nomor ini Pemilu serentak 2019 diyakini oleh sejumlah
menyajikan delapan artikel yang membahas kalangan akan membahwa dampak signifikan
topik-topik yang terkait dengan pemilu dan bagi pembenahan sistem politik di Indonesia.
partai politik. Artikel pertama yang ditulis oleh Dampak itu sebagai konsekuensi bekerjanya efek
Mouliza K.D Sweinstani berjudul FORMULA ekor jas di satu sisi dan kecerdasan politik pemilih
KONVERSI SUARA SAINTE LAGUE DAN di sisi lain, pada saat pemilu diserentakkan
DAMPAKNYA PADA SISTEM KEPARTAIAN: penyelenggaraanya. Tetapi hasil Pemilu 2019
EVALUASI PEMILU SERENTAK 2019. Dalam justru menunjukkan bukti yang berbeda, karena
sebuah negara demokrasi, pilihan dari sistem asumsi penerapan skema pemilu serentak justru
pemilu perlu untuk dipilih dan dirumuskan meleset dan tidak terbukti. Ada kesalahan
secara komprehensif karena masing-masing asumsi dan dalam memahami konteks teoretik
memiliki konsekuensi politik yang berbeda. maupun praktik di beberapa negara, sehingga
Tidak terkecuali di Indonesia, perubahan unsur menyebabkan bangunan desain pemilu serentak
sistem pemilu pada Pemilu Serentak 2019 juga 2019 terkesan “serampangan”. Akibatnya hasil
memiliki konkuensinya tersendiri. Salah satu pemilu nyaris tidak berbeda sama sekali dengan
perubahan yang menarik untuk dikaji lebih pemilu dengan skema pileg mendahului pilpres,
dalam adalah perubahan formula elektoral dari atau pemilu terpisah. Hal tersebut sebagai akibat
Hare LR menjadi Sainte Lague (SLM). Dengan para penyusun Undang-Undang Pemilu Serentak
melakukan simulasi penghitugan formula Hare 2019 hanya mengandalkan keserentakan, dan
LR, SLM, dan dua alternatif lain, yaitu d’Hondt tidak melihat keterhubungan antar sistem dan
dan Hungarian Sainte Lague, diketahui bahwa tidak ada perubahan sistem pemilu, sehingga
SLM memberikan dampak yang nyaris identik pemilu serentak menghasilkan multipartai
dengan Hare LR dalam hal jumlah partai ekstrim. Hasil itu semakin memperkokoh kritik
politik yang potensial dihasilkan. SLM masih bahwa pemilu proporsional yang tidak disertai
berpotensi besar menghasilkan multipartai dengan perubahan fundamental secara teknis,
ekstrem karena formula ini tidak dapat secara tidak mungkin dapat mendorong multipartai
optimal menyederhanakan partai politik terpilih. moderat.
Kondisi ini tentunya membuat perubahan formula Evaluasi pemilu serentak 2019 juga dapat
ini masih belum sejalan dengan kepentingan dilihat dari sisi pendaftaran pemilih. Artikel
penguatan sistem presidensialisme yang berjudul REDESAIN PENDAFTARAN
memerlukan adanya penyederhanaan partai. PEMILIH PASCA-PEMILU 2019 ditulis oleh
Oleh karena itu, tulisan ini merekomendasikan Imam Subkhi membahas mengapa DPT untuk
Catatan Redaksi | v
Jurnal Penelitian
Abstrak | vii
___________________________________
Kata Kunci: Deklarasi Pemilu, Peperangan Siber,
DDC: 324.9598 Peperangan Informasi, Resolusi Konflik
___________________________________
Chastiti Mediafira Wulolo, Edward
Semuel Renmaur DDC: 324.9598
Ferdinand Eskol Tiar Sirait
MEREDAM KONFLIK DALAM
PUSARAN SIBER DALAM PROSES UJARAN KEBENCIAN, HOAX
PENETAPAN HASIL REKAPITULASI DAN PERILAKU MEMILIH:
PEMILU SERENTAK 2019 (STUDI KASUS PADA PEMILIHAN
PRESIDEN 2019 DI INDONESIA)
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 16, No.2, Desember 2019, hlm. 167- Jurnal Penelitian Politik
178 Vol. No.2, Desember 2019, hlm. 179-190
Pemilihan umum (Pemilu) serentak tahun 2019
Pilpres 2019 adalah pengulangan dari kontestasi
merupakan pesta demokrasi terbesar sepanjang
2 (dua) kandidat yang sebelumnya bertarung pada
sejarah kontestasi politik di Indonesia. Berbagai
pilpres 2014. Kontestasi pilpres 2019 diwarnai
cara dihalalkan oleh masing-masing kubu untuk
dengan meluasnya penggunaan ujaran kebencian
meraih suara. Namun hal yang disesalkan adalah
dan hoax, dimana salah satu medium terbesar
penggunaan isu-isu SARA yang dipolitisasi untuk
dalam penyebarannya adalah pada media sosial.
saling menjatuhkan elektabilitas kompetitornya.
Sebagaimana hasil-hasil penelitian terdahulu,
Konflik besar yang terjadi pasca deklarasi Pemilu
kampanye negatif dan hitam terutama diarahkan
menjadi sorotan penting bagi peneliti, karena muncul
pada petahana. Penggunaan media sosial dan berita
konflik pada ranah siber yang dinilai berperan
daring sebagai medium kampanye negatif dan hitam
signifikan pada stabilitas keamanan dalam negeri
ini dikarenakan media sosial dan portal berita daring
jelang pengumuman rekapitulasi suara Pemilu
memiliki fitur-fitur yang sulit dikendalikan oleh
serentak. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas
petahana. Dengan menggunakan metode kualitatif,
tentang apa saja konflik yang terjadi di ranah siber
tulisan ini mencoba melihat dampak dari kampanye
dan faktor apa saja yang menjadi pemicu serta
hitam terhadap perolehan suara capres petahana Joko
bagaimana resolusi untuk meredam konflik tersebut.
Widodo. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa
Metode penelitian yang digunakan deskriptif analisis
sedikit banyaknya kampanye negatif dan hitam
yang dipadu dengan pendekatan kualitatif dalam
memiliki dampak yang terbatas pada perolehan
menggali berbagai perspektif tentang konflik pada
suara. Dampak ini terutama terlihat di daerah-
ranah siber jelang pengumuman rekapitulasi Pemilu
daerah di mana faktor sosiologis memainkan peran
2019. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
penting dalam menentukan pilihan politik. Namun,
mewawancarai sejumlah informan dan menelusuri
ia tidak memiliki dampak pada daerah-daerah
berbagai informasi terkait melalui literatur, jurnal,
dimana faktor psikologis (yakni kedekatan partai)
buku dan dokumen relevan lainnya. Berdasarkan
lebih berpengaruh. Singkatnya, hasil penelitian ini
hasil penelitian ditemukan bahwa konflik yang
memperlihatkan bahwa faktor-faktor sosiologis
terjadi pada ranah siber merupakan jenis peperangan
dan psikologis merupakan variable anteseden yang
informasi yang menggunakan isu-isu hoaks seputar
mempengaruhi relasi antara kampanye hitam dengan
Pemilu untuk mempengaruhi perspektif masyarakat
perolehan suara.
Indonesia. Faktor yang menjadi pemicu konflik
tersebut adalah lemahnya sistem penyelenggaraan
Kata Kunci: ujaran kebencian, hoax, media digital,
Pemilu Serentak 2019 dan ambisi masing-masing
perilaku memilih, pilpres
pasangan calon yang menghalalkan berbagai cara
untuk memenangkan Pemilu. Resolusi konflik yang ___________________________________
ditawarkan adalah dengan menggunakan aksi-aksi
yang sifatnya teknis maupun berupa kebijakan DDC: 324.6598
yang dapat diterapkan pada ranah Siber maupun Muhammad Nuh Ismanu
bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Pada
akhirnya tulisan ini diharapkan dapat memberikan PROBLEMATIK REKRUTMEN
rekomendasi tentang solusi untuk meredam konflik
pada pusaran siber dalam proses penetapan hasil PENYELENGGARA PEMILU
rekapitulasi Pemilu 2019.
Abstrak | ix
Jurnal Penelitian
___________________________________ ___________________________________
In a democratic country, the choice of the electoral Simultaneous elections 2019 are believed by a
system needs to be chosen and formulated number of people to have a significant impact on the
comprehensively because each has different political improvement of the political system in Indonesia.
consequences. No exception in Indonesia, changes in The impact is a consequence of the operation of
the electoral system in the 2019 elections also have coattail effect on the one hand and the political
their own consequences. One interesting change efficacy on the other hand when the election is
to be studied further is the change in the electoral synchronized. But the results of the 2019 elections
formula from Hare LR to Sainte Lague (SLM). By actually show different evidence, because the
simulating the calculation of the Hare LR formula, assumption of the implementation of the election
SLM, and two other alternatives, namely d’Hondt scheme simultaneously precisely misses and is not
and Hungarian Sainte Lague, it is known that SLM proven. There are errors in assumptions and in
has an impact that is almost identical to the Hare LR understanding the theoretical and practical contexts
in terms of the number of potential political parties in several countries, causing the 2019 simultaneously
elected. SLM still has great potential to produce election design building look “haphazard”. As a
extreme multi-parties because this formula cannot result, the election results are almost no different
optimally simplify the selected political parties. from elections with the legislative election scheme
This condition certainly makes the change is still preceding the presidential election, or a separate
not in line with the interests of strengthening the election. This is due to the fact that the compilers of
presidential system that requires the simplification of the 2019 Election Law at the same time rely solely on
the party. Therefore, this study recommends the need simultaneity, and do not see the interconnectedness
to change the electoral formula in the proportional of the system and no change in the electoral system,
list system implemented in Indonesia. With regard so that simultaneous elections produce extreme
to LSq and BONUSRAT, this study recommends the multiparty parties. The results reinforce criticism
Hungarian Sainte Lague formula as an alternative that proportional elections that are not accompanied
electoral formula that can be used in Indonesia. by fundamental technical changes, are unlikely to
encourage moderate multiparty.
Keywords: Electoral Formula, Hare LR, Sainte
Lagüe, Party System Keywords: Simultaneous Elections, Extreme
Multiparty, Electoral System Structuring
Abstract | xiii
FORMULA KONVERSI SUARA SAINTE LAGUE DAN DAMPAKNYA
PADA SISTEM KEPARTAIAN: EVALUASI PEMILU SERENTAK 2019
Abstract
In a democratic country, the choice of the electoral system needs to be chosen and formulated comprehensively
because each has different political consequences. No exception in Indonesia, changes in the electoral system in
the 2019 elections also have their own consequences. One interesting change to be studied further is the change in
the electoral formula from Hare LR to Sainte Lague (SLM). By simulating the calculation of the Hare LR formula,
SLM, and two other alternatives, namely d’Hondt and Hungarian Sainte Lague, it is known that SLM has an
impact that is almost identical to the Hare LR in terms of the number of potential political parties elected. SLM still
has great potential to produce extreme multi-parties because this formula cannot optimally simplify the selected
political parties. This condition certainly makes the change is still not in line with the interests of strengthening
the presidential system that requires the simplification of the party. Therefore, this study recommends the need to
change the electoral formula in the proportional list system implemented in Indonesia. With regard to LSq and
BONUSRAT, this study recommends the Hungarian Sainte Lague formula as an alternative electoral formula that
can be used in Indonesia.
Abstrak
Dalam sebuah negara demokrasi, pilihan dari sistem pemilu perlu untuk dipilih dan dirumuskan secara komprehensif
karena masing-masing memiliki konsekuensi politik yang berbeda. Tidak terkecuali di Indonesia, perubahan
unsur sistem pemilu pada Pemilu Serentak 2019 juga memiliki konkuensinya tersendiri. Salah satu perubahan
yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah perubahan formula elektoral dari Hare LR menjadi Sainte Lague
(SLM). Dengan melakukan simulasi penghitugan formula Hare LR, SLM, dan dua alternatif lain, yaitu d’Hondt
dan Hungarian Sainte Lague, diketahui bahwa SLM memberikan dampak yang nyaris identik dengan Hare LR
dalam hal jumlah partai politik yang potensial dihasilkan. SLM masih berpotensi besar menghasilkan multipartai
ekstrem karena formula ini tidak dapat secara optimal menyederhanakan partai politik terpilih. Kondisi ini tentunya
membuat perubahan formula ini masih belum sejalan dengan kepentingan penguatan sistem presidensialisme yang
memerlukan adanya penyederhanaan partai. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan perlunya perubahan
formula elektoral dalam sistem daftar proporsional yang diterapkan di Indonesia. Dengan memperhatikan LSq dan
BONUSRAT, studi ini merekomendasikan formula Hungarian Sainte Lague sebagai alternatif formula elektoral
yang dapat digunakan di Indonesia.
Kata Kunci: Formula Elektoral, Hare LR, Sainte Lague, Sistem Kepartaian
Formula Konversi Suara Sainte Lague ... | Mouliza K.D Sweinstani | 111
Pendahuluan partai dalam lembaga legislatif tergolong
sebagai multipartai ekstrem, maka tarik menarik
Dalam sebuah negara demokrasi modern seperti
kepentingan yang heterogen dapat terjadi dan
saat ini, rakyat cenderung tidak lagi memerintah
menghambat proses tata kelola pemerintahan.
secara langsung, melainkan melalui pemberian
Sebaliknya, bila tergolong sebagai multipartai
mandat kepada pejabat publik yang dipilih atas
moderat, konsolidasi kepentingan politik
nama kepentingan rakyat melalui mekanisme
diasumsikan lebih mudah diwujudkan karena
pemilu. Pilihan dari sistem pemilu sebagai pintu
presiden sebagai aktor sentral dalam sistem
masuk pertama proses artikulasi kepentingan
presidensial tidak terpenjara kepentingan politik
masyarakat perlu untuk dipilih dan dirumuskan
yang multipolar.
secara komprehensif. Hal ini dikarenakan pilihan
tersebut berkaitan dengan potret representasi Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu
politik yang akan dihasilkan. Artinya, pilihan di Indonesia, Pemilu Serentak 2019 yang telah
sistem pemilu menjadi hal yang cukup krusial dilaksanakan pada bulan April 2019 lalu menjadi
karena sistem pemilu dapat memberikan babak baru kepemiluan di Indonesia. Setelah
dampak, salah satunya, pada preferensi pilihan 11 kali penyelenggaraan pemilu di Indonesia
masyarakat yang lebih lanjut dapat berdampak sejak tahun 1955, rekayasa desain pemilu yang
pada bagaimana karakter pejabat publik yang mulai gencar dilakukan sejak tahun 2004 dengan
terpilih. mengubah sistem proporsional daftar tertutup
menjadi daftar terbuka, meningkatnya ambang
Selain dapat memberikan dampak pada
batas parlemen, merekayasa besaran dapil, dan
wajah representasi yang akan dihasilkan, dalam
sebagainya ternyata belum mampu menciptakan
konteks tata kelola pemerintahan, sistem pemilu
perubahan yang signifikan, terutama pada sistem
juga dapat memberikan dampak pada efektivitas
kepartaian yang dihasilkan. Oleh karena itu,
penyelenggaraan pemerintahan. Terutama dalam
dengan melakukan beberapa perubahan unsur
negara presidensialisme multipartai seperti
dalam sistem pemilu pada Pemilu tahun 2019,
Indonesia, desain sistem pemilu dapat menjadi
diharapkan beberapa ketidaksempurnaan hasil
penentu bagaimana seharusnya bangunan koalisi
pemilu sebelumnya dapat diperbaiki.
dibentuk. Pilihan sistem pemilu dengan segala
unsur di dalamnya dapat pula memengaruhi Berkaitan dengan beberapa penyempurnaan
bagaimana derajat polarisasi dalam sistem yang diasumsikan terjadi, Pemilu Serentak
multipartai yang dapat dilihat dari jumlah partai 2019 diasumsikan dapat mendorong efek ekor
politik dalam parlemen dan jarak ideologi jas, menciptakan partai pemenang mayoritas,
masing-masing, apakah multipartai sederhana/ meningkatkan political efficacy pemilih, dan
moderat12 dengan jumlah partai politik 3-5, mendukung penguatan sistem presidensial
atau justru multipartai ultra dan ekstrem dengan karena presiden didukung oleh suara mayoritas
jumlah lebih dari 5 partai politik dan jarak di DPR. Sayangnya, apa yang diasumsikan
ideologi yang berjauhan3. terjadi dari penyelenggaraan Pemilu Serentak
2019 ternyata belum dapat terwujud dan belum
Jenis multipartai tersebut sedikit banyak
dapat memberikan dampak yang signifikan pada
berperan dalam efektivitas penyelenggaraan
proses politik di Indonesia. Efek ekor jas yang
pemerintahan presidensial. Apabila jumlah
pada awalnya diasumsikan akan terjadi, justru
tidak terbukti. Bahkan PDI Perjuangan sebagai
1
Michael Coppedge, “The Dynamic Diversity of Latin partai pengusung pasangan capres-cawapres
American Party Systems,” Party Politics, (1998), https://doi.
org/10.1177/1354068898004004007. terpilih dan sebagai partai politik dengan suara
terbanyak saja hanya mampu memeroleh suara
2
Coppedge; Giovanni Sartori and European Consortium
for Political Research., Parties and Party Systems: A
sebesar 19%. Angka tersebut tidak jauh berbeda
Framework for Analysis (ECPR, 2005), https://books. dengan trend perolehan suara PDI Perjuangan
google.co.id/books/about/Parties_and_Party_Systems. dari tahun 2004 hingga 2014 yang berkisar
html?id=ywr0CcGDNHwC&redir_esc=y.
pada 16-18 persen. Artinya, perolehan suara
3
Sartori and European Consortium for Political Research., PDI Perjuangan pada tahun 2019 tidak dapat
Parties and Party Systems: A Framework for Analysis.
112 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 16, No. 2 Desember 2019 | 111-124
sepenuhnya dikatakan sebagai konsekuensi multipolar) dalam lembaga perwakilan dapat
dari efek ekor jas semata. Seharusnya, jika efek membuat pemerintahan presidensial terjebak
ekor jas memang terjadi, PDI Perjuangan dapat pada deadlock. Sarjana dalam negeri seperti
menjadi partai pemenang dengan suara yang Hanta Yuda juga menyatakan bahwa sistem
dominan dan hegemonik yang tentunya dapat presidensial dalam sistem kepartaian multipartai
lebih dari 19%. Begitu pula dengan partai politik membuat sistem presidensial menjadi setengah
pengusung lainnya, ketika efek ekor jas ini terjadi hati. Sekalipun di Indonesia kekhawatiran
seharusnya mereka juga memeroleh suara yang Mainwaring akan adanya deadlock belum
signifikan karena konsekuensi dari efek ekor jas sampai terjadi, jumlah partai politik yang terlalu
yang tersebar (diffused coattail effect) 4. banyak tetap saja menjadi problem terutama
Di samping efek ekor jas yang tidak terjadi, karena kepentingan multipolar yang dapat saling
Pemilu Serentak 2019 juga belum secara menyandra satu sama lain. Konsekuensinya,
optimal meningkatkan kecerdasan pemilih. proses perumusan kebijakan dapat memakan
Yang terjadi justru pemilih kebingungan dengan waktu yang berlarut. Jika sudah demikian,
mekanisme tersebut karena pilihan politik yang kepentingan masyarakat tentunya menjadi
terlalu banyak. Survei publik yang dilakukan korbannya.
oleh LIPI pada April-Mei 2019 menunjukkan
bahwa mayoritas responden (74% dari 1453)
Formula Baru, Masalah Lama
mengaku bahwa pemilu serentak (mencoblos
lima surat suara) lebih menyulitkan bagi pemilih Jumlah partai yang masih terlalu banyak dari
dibandingkan jika pemilu legislatif dan pilpres hasil Pemilu Serentak 2019 merupakan sebuah
diselenggarakan terpisah. Pendapat elite politik ironi. Jika menelisik lebih dalam pada unsur
survei elite yang dilakukan LIPI juga sejalan sistem pemilu pada penyelenggaraan Pemilu
dengan pendapat publik di mana 84% dari 119 Serentak 2019, pembaharuan formula konversi
elite setuju bahwa mekanisme Pemilu Serentak suara yang diasumsikan mampu mendorong
2019 menyulitkan pemilih5. Mekanisme yang semangat penyederhanaan partai politik sudah
dinilai menyulitkan tersebut justru berujung pada dilakukan. Selain ambang batas parlemen,
menjamurnya praktik politik transaksional. pilihan formula konversi suara menjadi kursi
Terkahir, berkaitan dengan penguatan memang dapat menjadi cara ampuh memangkas
sistem presidensial, hasil Pemilu Serentak jumlah partai politik yang lolos ke legislatif
2019 juga tidak dapat sepenuhnya menjamin karena masing-masing dari formula ini memiliki
semangat tersebut. Kekhawatiran ini muncul konsekuensi pada derajat proporsionalitas dan
karena hasil Pemilu Serentak 2019 ternyata preferensi pemberian keuntungan pada partai,
masih menghasilkan 9 partai politik di lembaga apakah hanya kepada partai besar atau juga
legislatif. Kondisi ini tentunya tidak berbeda mengakomodasi partai kecil7. Oleh karena itu,
dengan hasil Pemilu 2014 di mana 10 partai pilihan dari formula matematis ini dapat sangat
politik berhasil menduduki kursi DPR. Kaitannya menentukan sistem kepartaian dalam suatu
dengan penguatan sistem presidensial, secara negara demokrasi.
konseptual Mainwaring 6 menyatakan bahwa Berkaitan dengan hal tersebut, untuk pertama
sistem multipartai tidak cocok dengan sistem kalinya Indonesia mengimplementasikan formula
presidensial karena polarisasi (bahkan kondisi konversi suara dengan metode divisor dengan
jenis Saintè Lagüe Murni (SLM), setelah
sebelumnya sejak pemilu 1955 formula yang
4
David Samuels, “Concurrent Elections, Discordant Results:
Presidentialism, Federalism, and Governance in Brazil,” digunakan adalah Kuota Hare atau Hare Largest
Comparative Politics, (2000), https://doi.org/10.2307/422421. Remainder (Hare LR). Perbedaan menonjol dari
5
LIPI, “Pemilu Serentak Dan Konsolidasi Demokrasi Di
kedua formula ini adalah SLM tidak mengenal
Indonesia” (Jakarta, 2019).
7
Kenneth Benoit, “Which Electoral Formula Is the Most
6
“Party Discipline in the Brazilian Constitutional Congress,” Proportional? A New Look with New Evidence,” Political
Legislative Studies Quarterly 22, no. 4 (1997): 453–83, http:// Analysis, (2000), https://doi.org/DOI: 10.1093/oxfordjournals.
www.jstor.org/stable/440339. pan.a029822.
Formula Konversi Suara Sainte Lague ... | Mouliza K.D Sweinstani | 113
adanya bilangan pembagi pemilih (BPP) dan Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah
sisa suara yang menjadi ciri dari Hare LR. Pada bagaimanakah semangat penyederhanaan partai
SLM, perolehan suara partai politik akan dibagi dapat diartikulasikan melalui formula SLM?
dengan divisor tertentu, yaitu bilangan ganjil dari Apakah formula ini sudah tepat sebagai jalan
1,3,5 dan seterusnya hingga semua kursi habis keluar sistem multipartai ekstrem di Indonesia dan
terdistribusikan. Formula Saintè Lagüe secara bagaimana formula ini memberikan potensi pada
umum, baik yang murni maupun yang modifikasi, efektivitas penyelenggaraan sistem presidensial
juga kerap kali diasosiasikan oleh beberapa pihak mendatang? Berkaitan dengan pertanyaan-
seperti Puskapol UI sebagai formula yang mampu pertanyaan tersebut, tulisan ini berusaha untuk
memberikan keuntungan pada partai-partai besar melakukan analisis dan memberikan evaluasi
(Tempo.co, 2019). tentang menggunaan formula SLM dalam
Prinsip pembagian suara pada SLM yang kepemiluan Indonesia. Pembahasan dalam
demikian ternyata memberikan dampak pada tulisan ini akan diawali dengan memaparkan
proses pembagian suara yang cukup signifikan berbagai alternatif formula konversi suara dan
jika dibandingkan dengan formula Hare LR. dampaknya pada sistem kepartaian. Selanjutnya,
Dalam formula Hare LR, karena suara dibagi dalam tulisan ini juga akan dijelaskan tentang
dengan BPP, maka akan menghasilkan sisa kursi bagaimana perbandingan formula konversi
yang akan diberikan kepada partai politik dengan suara yang selama ini diberlakukan di Indonesia
sisa suara terbesar pada proses penghitungan yang akan dilihat dampaknya pada fragmentasi
selanjutnya. Karenanya, Hare LR seringkali partai politik dalam lembaga perwakilan.
dianggap lebih dapat mengakomodasi partai kecil Terkahir, tulisan ini juga akan memberikan
karena partai politik mungkin saja mendapatkan rekomendasi formula konversi suara yang
kursi dari sisa kursi dan sisa suara terbesar sejalan dengan semangat penyederhanaan partai
tersebut. Namun, dengan waktu penyelenggaraan untuk memperkuat sistem presidensial, apakah
yang serentak, formula Hare LR dapat menjadi dengan mempertahankan SLM atau dengan
formula yang melelahkan karena harus melakukan memilih formula lain yang lebih tepat. Metode
penghitungan secara bertingkat. Oleh karena itu, yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode
SLM dengan cara penghitungan yang dinilai kualitatif dengan data-data yang diperoleh dari
lebih praktis dipilih dalam mekanisme Pemilu studi kepustakaan yang relevan dengan sistem
Serentak ini. pemilu dan sistem kepartaian. Penulis juga
melakukan uji simulasi dari beberapa formula
Namun demikian, adanya fakta bahwa jumlah
elektoral dengan data hasil Pemilu Serentak
partai politik terpilih pada Pemilu Serentak 2019
2019 yang diperoleh dari Data Rekapitulasi Hasil
yang masih tergolong sebagai multipartai ekstrem
Pemilu Serentak 2019 dari KPU.
(9 partai terpilih), menunjukkan bahwa SLM
belum juga mampu menyelesaikan permasalahan
klasik yang berkaitan dengan banyaknya Formula Elektoral dan Potensi
jumlah partai politik terpilih. Dengan fakta
Proporsionalitasnya
yang demikian, argumen yang dibagun penulis
dalam tulisan ini adalah formula SLM yang baru Dalam sistem pemilu daftar proporsional,
diterapkan justru memberikan dampak yang pemilihan formula konversi suara menjadi
nyaris identik dengan formula sebelumnya, yaitu penting karena masing-masing formula
Hare LR, di mana SLM masih berpotensi besar memiliki derajat proporsionalitasnya sendiri.
menghasilkan multipartai ekstrem karena formula Formula konversi suara atau yang dapat disebut
ini tidak dapat secara optimal menyederhanakan dengan formula elektoral didefinisikan sebagai
partai politik tepilih. Kondisi ini tentunya mekanisme matematis yang digunakan untuk
membuat perubahan formula ini masih belum mentransformasi suara menjadi kursi yang mana
sejalan dengan kepentingan penguatan sistem formula ini akan memiliki dampak politik tertentu.
presidensialisme yang memerlukan adanya Meskipun terlihat rumit karena memerlukan
penyederhanaan partai. penghitungan matematis untuk menentukan
114 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 16, No. 2 Desember 2019 | 111-124
partai mana yang berhak mendapatkan kursi ini dikarenakan ketika bilangan pembagi menjadi
dan dalam jumlah berapa kursi tersebut dapat lebih besar, maka kuota menjadi semakin kecil.
diperoleh, formula konversi suara dalam sistem Ketika kuota menjadi semakin kecil, maka sisa
pemilu daftar proporsional ini sangat diperlukan kursi menjadi lebih sedikit. Kondisi tersebut
guna menciptakan pembagian kursi yang tentunya tidak menguntungkan partai kecil
proporsional dengan perolehan suara partai sesuai karena kesempatannya untuk mendapatkan
dengan prinsip dalam sistem pemilu ini. kursi menjadi lebih kecil. Dengan kondisi yang
Secara sederhana, formula konversi suara demikian, maka semakin kecil kuota dalam
dibagi menjadi dua, yaitu formula sisa suara formula LR, semakin tidak proporsional sebuah
terbesar/the largest reminder (LR) dan rerata formula9 karena ia mempersempit kesempatan
tetinggi/highest-average (HA). Prinsipnya dalam partai kecil untuk mendapatkan kursi.
formula sisa suara terbesar pembagian kursi Sementara itu, pada formula rerata tertinggi/
ditentukan dengan cara membagi perolehan suara divisor, dua varian yang cukup sering digunakan
partai dengan besaran distrik. Sementara itu, pada oleh negara-negara dengan sistem pemilu daftar
formula rerata tertinggi, sisa kursi tidak dikenal proporsional adalah d’Hondt dan Saintè Lagüe.
karena perolehan suara dibagi dengan divisor Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam
tertentu tingga seluruh kursi habis terbagi. jenis formula ini perolehan suara dibagi dengan
Masing-masing dari dua jenis rumpun besar bilangan pembagi tertentu yang membuah sisa
formula tersebut terdiri dari beberapa varian. kursi tidak dikenal dalam formula ini karena
Dalam formula sisa suara terbesar, setidaknya semua kursi habis terbagi. Hanya saja, pada
terdapat empat varian formula LR yang biasa formula d’Hondt, perolehan suara akan dibagi
digunakan oleh negara-negara di dunia. Keempat dengan bilangan pembagi utuh yaitu 1,2,3,4,5
varian terserbut adalah Hare, Droop, dan dua dan seterusnya hingga semua kursi habis terbagi.
Imperiali Kuota. Perbedaan di antara keempat Sementara pada formula Saintè Lagüe, perolehan
varian dalam formula LR adalah terletak pada suara dibagi dengan bilangan ganjil (1,3,5,7,9,11
bilangan pembagi (denominator). Pada formula dan seterusnya) hingga semua kursi habis terbagi.
Hare LR yang merupakan formula LR tertua dan Divisor pertama pada Saintè Lagüe sendiri dapat
yang paling banyak diketahui oleh public berlaku bervariasi tergantung kebutuhan dan tujuan dari
formula perolehan suara (V) dibagi dengan rekayasa formula tersebut yang tentunya setiap
besaran distrik (M), maka pada formula Droop modifikasi di dalamnya dapat memberikan
LR perolehan kursi dihitung dengan formula konsekuensi politik tersendiri. Secara umum
perolehan suara dibagi dengan besaran distrik dikenal Saintè Lagüe Modifikasi dengan divisor
ditambah satu (V/M+1)8. Begitu pula dengan pertama 1,4 dan Hongarian Sainte Lague dengan
Imperiali LR, bilangan pembagi pada formula divisor pertama 1,5.
ini lebih besar jika dibandingkan dengan kedua Dengan bilangan pembagi yang berbeda,
jenis formula kuota sebelumnya. Pada Imperiali formula d’Hondt dan Sainte Lague memberikan
Kuota yang normal, perolehan suara akan dibagi derajat proporsionalitas yang berbeda pula di
dengan besaran distrik ditambah dua (V/M+2). mana d’Hondt menghasilkan proporsionalitas
Sementara pada Reinforce Imperiali Quota, yang lebih kecil dibandingan dengan Sainte
perolehan suara dibagi dengan besaran distrik Lague 10. Namun, jika dibandingkan dengan
ditambah tiga (V/M+3). formula LR, formula divisor masih memberikan
Perbedaan penambahan angka 1,2, dan 3 proporsionalitas yang lebih kecil. Diantara
pada bilangan pembagi tersebut berpengaruh beberapa varian dari kedua jenis formula
pada derajat proporsionalitas yang dihasilkan. di atas, pemeringkatan formula elektoral
Diantara keempat varian besar formula LR, mana yang paling proporsional sudah banyak
Hare LR cenderung lebih proporsional jika
dibandingkan dengan ketiga varian lainnya. Hal 9
Lijphart and Aitkin..
8
Arend Lijphart and Don Aitkin, Electoral Systems and Party Lijphart and Aitkin; Benoit, “Which Electoral Formula Is
���
Systems, Comparative European Politics, 1994. the Most Proportional? A New Look with New Evidence.,”
Formula Konversi Suara Sainte Lague ... | Mouliza K.D Sweinstani | 115
dilakukan dan diterima oleh publik 11. Namun, Tabel 1. Perbandingan Derajat Disproporsionalitas
simpulan besar yang sajuh ini digunakan adalah Formula Elektoral Menurut Benoit dan Lijphart
simpulan yang dikemukakan oleh Lijphart yang
menyatakan bahwa Hare LR sebagai formula
yang memberikan proporsionalitas tertinggi12.
Tentunya, simpulan tersebut bukan
merupakan simpulan yang baku. Dengan
memperbandingkan 11 formula elektoral,
Benoith berhasil membuat pemeringkatan baru
yang menyimpulkan bahwa formula Sainte
Lague justru sebagai formula dengan derajat
proporsionalitas tertinggi dengan perbedaan Sumber: Benoit, 200015
proporsionalitas dengan Hare LR yang tidak
begitu signifikan, terutama ketika besaran dapil
Berdasarkan pada tabel di atas, diketahui
kurang dari 10 (M<10)13. Dengan hukum tersebut,
bahwa perbedaan konstanta yang dihasilkan dari
artinya ketika alokasi kursi dalam satu dapil
penghitungan Benoit, antara SLM dan Hare LR
kurang dari 10, Hare LR dan Sainte Lague Murni
hanya memiliki perbedaan sebesar 0,20. Dengan
akan menghasilkan indeks disproporsionalitas
kondisi yang demikian, artinya hasil penghitungan
(LSq) 14 yang hampir sama. Berikut adalah
kursi yang dihasilkan oleh kedua formula ini
perbandingan indeks LSq formula elektoral hasil
nyaris identik. Bahkan pada beberapa kasus,
penghitungan Benoit dan Lijphart.
kedua formula ini justru tidak menghasilkan
suatu perbedaan. Merujuk pada asesmen terbaru
tentang indeks LSq yang dilakukan oleh Benoit
pada tahun 2000, lantas jika kedua sistem ini
tidak memiliki perubahan yang signifikan apakah
perubahan formula elektoral yang dilakukan di
Indonesia pada Pemilu Serentak 2019 sudah tepat
sasaran? Sebelum menjelaskan lebih lanjut dan
memaparkan beberapa simulasi data, perihal
pengaruh pilihan formula elektoral pada sistem
kepartaian akan penulis jelaskan terlebih dahulu
pada bagian selanjutnya.
A New Look with New Evidence.,” Benoit, “Which Electoral Formula Is the Most Proportional?
���
116 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 16, No. 2 Desember 2019 | 111-124
ideologi17. Dalam sebuah negara dengan sistem Kaitannya dengan formula elektoral,
kepartaian multipartai, sistem kepartaian dapat pemilihan formula elektoral juga dapat
lebih mudah jika dilihat berdasarkan pada jarak memengaruhi jumlah partai politik yang dapat
ideologinya. Hal ini dikarenakan jarak ideologi lolos ke lembaga perwakilan. Hal ini bisa
tersebut dapat menentukan bagaimana polarisasi dilihat dari bagaimana sebuah formula dapat
kekuatan politik dalam suatu negara. Berdasarkan mengakomodasi partai politik yang berkompetisi
pada jarak ideologinya, sistem kepartaian dalam pemilu. Secara sederhana, logika yang
dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu berjalan dalam formula pemilihan adalah ketika
(i) pluralisme sederhana dimana tidak terjadi formula pemilihan memiliki derajat proporsional
polarisasi ideologi dan biasanya terdiri dari dua tinggi maka formula ini dapat mengakomodasi
partai, (ii) pluralisme moderat dengan polarisasi partai-partai kecil sehingga jumlah partai politik
kecil dan biasanya terdiri dari 3-4 partai sebagai terpilih dalam lembaga perwakilan akan semakin
basisnya, (iii) pluralisme ekstrem yang multipolar besar. Artinya, jika menggunakan kategorisasi
dan dengan jumlah partai yang banyak, dan sistem kepartaian Sartori di atas, kemungkinan
(iv) partai hegemonik yang memiliki polarisasi polarisasi jarak ideologi menjadi semakin besar
dan jumlah partai sangat besar namun terdapat pula. Sebaliknya, ketika proporsionalitas yang
satu partai politik yang dominan menguasai dihasilkan dari sebuah formula elektoral rendah,
pemerintahan. berarti formula ini hanya menguntungkan
Meskipun Duverger dan Sartori telah partai-partai besar. Dengan demikian, jumlah
membuat kategorisasi sistem pemilu, menurut partai politik dalam lembaga perwakilan menjadi
Sartori 18, partai politik yang dapat dikategorikan semakin sedikit dan kemungkinan lahirnya partai
dalam perhitungan sistem kepartaian adalah partai mayoritas dapat diwujudkan.
yang menjadi bagian dari parlemen. Dengan kata Berdasarkan pada hasil penilaian yang
lain, Sartori menekankan sistem politik pada dilakukan oleh Benoit (2000) dan Gallagher
sejumlah partai politik yang memiliki posisi (1992), diketahui bahwa selain sistem pluralitas,
tawar untuk membuat koalisi dan memengaruhi formula dalam sistem pemilu daftar proporsional
kehidupan partai. Definisi inilah yang kemudian yang paling menguntungkan partai besar adalah
dirumuskan oleh Laakso dan Taagepera19 secara formula Imperiali Kuota. Penghitungan ini
matematis sebagai jumlah efektif partai politik dilakukan dengan menghitung BONUSRAT atau
(Effective Number of Party/ENP) yang dihitung Bonus Ratio (Adavantange Ratio dalam istilah
dengan formula: Laakso dan Taagapera20 untuk melihat seberapa
besar keuntungan sebuah sistem pemilu bagi
partai besar. Hasil dari penghitungan tersebut
Ns = dimana Si adalah
dapat diketahui dalam tabel dibawah ini:
proporsi kursi partai i, jika menghitung
ENEP, maka Si diganti dengan Vi atau
proporsi suara partai i
Formula Konversi Suara Sainte Lague ... | Mouliza K.D Sweinstani | 117
Tabel 2. Perbandingan Bonus Ratio Formula formula Hare LR dan SLM yang digunakan
Elektoral Menurut Benoit dan Gallagher Indonesia.
118 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 16, No. 2 Desember 2019 | 111-124
dengan kursi yang diperoleh oleh masing-masing politik mulai kembali bermunculan. Namun,
pihak. Misalnya, Partai Nasional Indonesia (PNI) tidak seperti liberalisasi politik pada masa awal
dengan perolehan suara 22,32% mendapatkan kemerdekaan dan tidak pula seperti masa orde
57 kursi DPR. Sementara itu, peserta yang baru dengan pembatasan partisipasi politik,
memeroleh suara dibawah 0,5% masing-masing kehadiran partai politik pada masa reformasi
memeroleh 1 kursi. Di satu sisi, keberimbangan dapat dikontrol melalui berbagai peraturan dalam
proporsi suara dengan kursi yang demikian pemilu dan pembentukan partai politik. Oleh
menurut Renwick23 memiliki peran yang cukup karena itu, jumlah partai politik peserta pemilu
penting karena proporsionalitas sebuah sistem pada era ini lebih sedikit dan lebih dapat dapat
pemilu dapat digunakan untuk mengidentifikasi dikontrol dibanding pada Pemilu 1955 sekalipun
nilai-nilai demokratis seperti distribusi yang adil kebebasan berkumpul dan berserikat dijamin
dan representatif dari sistem pemilu. Di sisi lain, pada masa ini.
dengan semakin akomodatifnya sistem pemilu Selain jumlah partai politik peserta pemilu
pada keberimbangan perolehan suara setiap yang lebih sedikit, perubahan sistem pemilu pada
peserta pemilu, justru memungkinkan terjadinya masa reformasi ini juga dilakukan. Misalnya,
polarisasi kepentingan karena banyaknya pihak terjadi perubahan sistem daftar tertutup menjadi
yang memeroleh kursi. daftar terbuka yang dimulai tahun 2004,
Memasuki Orde Baru, penulis menilai penggunaan ambang batas elektoral (2004)
bahwa penyelenggaraan pemilu pada masa dan ambang batas parlemen mulai tahun 2009
ini tidak dapat dikatakan sebagai pemilu yang yang selalu ditingkatkan persentasenya pada
demokratis. Justifikasi tersebut dapat dilihat pemilu kemudian, perubahan daerah pemilihan,
dari penyelenggara dan peserta pemilu yang perubahan alokasi kursi, dan sebagainya. Dengan
seluruhnya berasal dari unsur pemerintah. Selain beragam rekayasa desain yang demikian, indeks
itu, pada masa ini juga dilakukan kebijakan LSq pada pemilu-pemilu di era ini menjadi
penyederhanaan partai politik melalui kebijakan semakin besar. Artinya, rekayasa desain sistem
fusi partai tahun 1973. Sekalipun semangat pemilu yang dilakukan telah menjadi semakin
penyederhanaan tercapai dimana terbukti kompetitif. Dengan kata lain sistem pemilu
hanya terdapat 2 partai (PDI dan PPP) dan yang berlaku tidak lagi memberikan kursi “yang
1 organsisasi (Golkar) pada masa tersebut, mudah” bagi seluruh partai politik sesuai dengan
namun penyederhanaan ini dilakukan secara proporsi perolehan suaranya, termasuk bagi
dipaksakan, bukan dengan desain sistem pemilu partai-partai kecil. Terutama dengan semakin
yang demokratis. Oleh karena itu, sekalipun ditingkatkannya ambang batas parlemen,
hasil penghitungan LSq pada pemilu masa ini pemilu di era reformasi menjadi memiliki
konstan bergerak pada angka 2, hasil tersebut kecenderungan untuk meloloskan partai-partai
tidak dapat serta merta dijadikan sebagai alat menengah ke besar. Namun demikian, dengan
analisis proporsionalitas sistem pemilu pada masa tetap menggunakan formula Hare LR pada
ini. Dengan kondisi yang demikian, karenanya pemilu 1999-2004, besarnya indeks LSq tersebut
penulis tidak akan membahas secara lebih rinci belum mampu sepenuhnya mendorong semangat
sistem pemilu pada masa orde baru. penyederhanaan partai politik karena jumlah
Melihat proses pemilu yang tidak demokratis partai terpilih masih berkisar antara 9 sampai
pada masa Orde Baru, memasuki era reformasi dengan lebih dari 20 partai politik. Pada Pemilu
beragam kebijakan disusun sebagai upaya 1999, 20 partai politik terpilih untuk duduk
pembenahan desain sistem pemilu dan sistem sebagai pemegang mandat rakyat. Sementara
kepartaian di Indonesia. Dengan dibukanya pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014, masing-
saluran partisipasi politik yang luas, pada masa masing menghasilkan 16 partai politik (2004), 9
reformasi organisasi masyarakat dan partai partai politik (2009), dan 10 partai politik (2014)
yang terpilih menjadi wakil rakyat.
The Politics of Electoral Reform: Changing the Rules of
���
Democracy, The Politics of Electoral Reform: Changing Jika merujuk pada kategorisasi sistem
the Rules of Democracy, 2010, https://doi.org/10.1017/ kepartaian yang dikemukakan oleh Coppedge,
CBO9780511676390.
Formula Konversi Suara Sainte Lague ... | Mouliza K.D Sweinstani | 119
maka sistem kepartaian pasca reformasi hasil melihat kondisi yang demikian perubahan dalam
pemilu 1999-2014 dengan sistem pemilu rekayasa desain Sistem Pemilu Serentak 2019
yang diasumsikan lebih demokratis masih menjadi wajar untuk dilakukan.
menempatkan sistem kepartaian Indonesia
dalam sistem multipartai ultra. Kondisi ini
• Hasil Pemilu Serentak 2019 dan Proyeksi
tentunya rentan dengan kepentingan sentrifugal
Sistem Kepartaian Ke Depan
dan multipolar serta fragmentasi kekuatan
politik. Berkaitan dengan sistem pemerintahan Dengan asumsi memperbaiki apa yang dihasilkan
presidensial, kondisi ini tentunya dapat pada Pemilu 2014, elite sepakat untuk mengubah
menghambat jalanannya proses pemerintahan formula konversi suara dari Hare LR menjadi
karena tarik menarik kepentingan dan beragam. SLM pada Pemilu Serentak 2019. Jika hanya
Selengkapnya mengenai hasil penghitungan melihat jumlah partai politik lolos ke DPR,
derajat disproporsional sistem Pemilu 1999-2014 Pemilu Serentak 2019 berhasil mengurangi
dapat dilihat pada tabel di bawah ini: jumlah partai politik di parlemen, walau dengan
perubahan tidak signifikan. Formula SLM
yang digunakan pada Pemilu Serentak 2019
Tabel 3. Perbandingan Sistem Pemilu dan Derajat juga mampu membuat indeks LSq semakin
Disproporsionalitas Sistem Pemilu 1955-2014*
besar menjadi 4,51 dibandingkan pemilu 2014.
Pemilu 1955 1999 2004 2009 2014
Sistem Proporsional Proporsional Proporsional Proporsional Proporsional Artinya, sistem yang digunakan pada Pemilu
Terpilih/Peserta
Daftar Tertutup
28 unsur/118
Daftar Tertutup
20/48 parpol
Daftar Terbuka
16/24 parpol
Daftar Terbuka
9/44 parpol
Daftar Terbuka
10/12 parpol
Serentak 2019 dengan formula SLM lebih tidak
Formula Elektoral
LSq
Hare LR
1,55
Hare LR
3,19
Hare LR
4,16
Hare LR
6,15
Hare LR
2,45 proporsional dibandingkan dengan pemilu
sebelumnya, dan asumsi yang menyatakan SLM
ENPP (terdapat non 4,72 7,08 6,13 8,16
partai)
Kategori (terdapat non Multipartai Multipartai Multipartai Multipartai
Multipartai partai) Ekstreem Ekstreem Ekstreem Ekstreem menguntungkan partai besar, seolah benar.
Sumber: Diolah oleh Penulis dari hasil Pemilu
1955-2014 Tabel 4. Hasil Pemilu Serentak 2019 dan
penghitungan LSq Pemilu Serentak 2019
*Penulis mengecualikan data pada pemilu di era Orde Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Baru karena beberapa alasan pemilu nondemokratis
Urutan Ke v-s (v-s)^2
suara suara kursi kursi
Partai Demokrasi Indonesia
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 1
Perjuangan
27053961 19,33 128 22,26
-2,93 8,60
Partai Gerakan Indonesia
2 17594839 12,57 78 13,57
Raya -0,99 0,99
10
Pembangunan
Partai Persatuan Indonesia
6323147
3738320
4,52
2,67
19
0
3,30
0,00
1,21
2,67
1,47
7,13
Pemilu ini bahkan hanya menyisakan 2 partai 11 Partai Berkarya 2929495 2,09 0 0,00 2,09 4,38
120 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 16, No. 2 Desember 2019 | 111-124
Pemilu Serentak 2019 masih menghasilkan Tabel 7. Simulasi Penghitungan Suara dengan
multipartai ultra/ekstrem. Oleh karena itu, dengan menggunakan d’Hondt
menggunakan data rekapitulasi hasil Pemilu PROVINSI/D
APIL
NO PARTAI PARTAI
TOTAL
SUARA SAH
PARTAI DAN
% SUARA BAGI 1 BAGI 2 BAGI 3 BAGI 4
PEROLEHAN
KURSI
%KURSI V-S (V-S)^2
DKI JAKARTA 2
beberapa formula elektoral yang mungkin dapat
7 BERKARYA 36.722 1,4 36722 18361 12241 9181 0 0,00 1,40 1,96
8 PKS 477.773 18,2 477773 238887 159258 119443 2 28,57 -10,36 107,23
9 PERINDO 92.228 3,5 92228 46114 30743 23057 0 0,00 3,52 12,37
10 PPP 68.896 2,6 68896 34448 22965 17224 0 0,00 2,63 6,90
yang dilakukan. Alasannya perolehan suara Tabel 8. Simulasi Penghitungan Suara dengan
pada Dapil DKI Jakarta 2 menunjukkan adanya menggunakan Formula Hongarian Sainte Lague
gap yang cukup signifikan antara partai politik PROVINSI/D
APIL
NO PARTAI PARTAI
TOTAL
SUARA SAH
PARTAI DAN
% SUARA BAGI 1,5 BAGI 3 BAGI 5 BAGI 7
PEROLEHAN
KURSI
%KURSI V-S (V-S)^2
DKI JAKARTA 2
7 BERKARYA 36.722 1,4 24481 12241 7344 5246 0 0,00 1,40 1,96
8 PKS 477.773 18,2 318515 159258 95555 68253 2 28,57 -10,36 107,23
oleh Benoit. Sementara formula yang dipilih Tabel 9. Rekapitulasi Simulasi Formula Elektoral
untuk dilakukan simulasi adalah Hare LR, SLM, Formula LSq BONUSRAT Partai Politik Proporsionalitas Keuntungan Partai
dan SLM digunakan dalam simulasi ini untuk Hare LR 14,6 1,26 6 Paling Proporsional Tidak Menguntungkan
7 BERKARYA 36.722 1,4 36722 12241 7344 5246 0 0,00 1,40 1,96
8 PKS 477.773 18,2 477773 159258 95555 68253 2 28,57 -10,36 107,23
Formula Konversi Suara Sainte Lague ... | Mouliza K.D Sweinstani | 121
signifikan berimplikasi pada penyederhanaan besar, yang secara teoritis kemungkian jumlahnya
jumlah partai. tidak lebih dari 5 partai politik. Jika kondisi
Simulasi di atas juga menunjukkan bahwa tersebut terjadi, maka polarisasi kepentingan
rasio keuntungan bagi partai besar (BONUSRAT) dalam lembaga legislatif cenderung lebih kecil.
yang dihasilkan SLM tidak berbeda jika Implikasi lebih jauh, kondisi ini dapat semakin
dibandingkan dengan Hare LR dengan perolehan mendukung jalannya pemerintahan presidensial
angka 1,26. Oleh karena itu, berdasarkan Tabel karena presiden tidak lagi terpenjara kepentingan
5 dan Tabel 6, tidak dapat dilihat perbedaan partai politik yang multipolar.
yang signifikan antara Hare LR dan SLM. Mendasarkan pada analisis dari keempat
Asumsi bahwa SLM akan menguntungkan partai simulasi yang penulis lakukan, mengadopsi
besar, menyederhanakan sistem kepartaian, dan Sainte Lague ala Hongaria berpotensi lebih dapat
menghasilkan partai dengan suara mayoritas, diterapkan di Indonesia. Justifikasi untuk pilihan
juga tidak terbukti karena SLM justru memiliki tersebut adalah, secara umum jika dibandingkan
implikasi pada sistem kepartaian yang sama seluruh varian Sainte Lague, d’Hondt secara
dengan Hare LR. Hanya saja dengan metode konstan memiliki rasio keuntungan bagi partai
penghitungan yang lebih sederhana. besar yang lebih tinggi. Dengan demikian
Dari keempat formula yang penulis implikasi dari d’Hondt akan lebih efektif jika
simulasikan, d’Hondt (Tabel 7) dan Hongarian diterapkan pada negara di mana perbedaan
Sainte Lague (Tabel 8) menjadi alternatif yang perolehan suara partai besar dan partai kecil
mungkin bisa diterapkan di Indonesia. Hal ini signifikan. Sementara di Indonesia, formula
dikarenakan keduanya merupakan formula yang ini mungkin menjadi kurang efektif karena
mampu menghasilkan jumlah partai terpilih perolehan suara partai politik cenderung berada
paling sederhana. Hasil simulasi menunjukkan di spektrum tengah. Perolehan suara partai
bahwa kedua formula ini menghasilkan hanya 3 politik dalam perjalanan kepemiluan di Indonesia
partai politik terpilih. Artinya formula ini berhasil sejauh ini cenderung mengalami pemerataan
menghasilkan sistem multipartai moderat yang karena perbedaan suara antarpartai yang
dimungkinkan memiliki tingkat polarisasi tidak signifikan. Konsekuensinya, sepanjang
yang cenderung rendah. Meminjam simpulan perjalanan kepemiluan di Indonesia (kecuali
yang dikemukakan Mainwaring tentang sistem pada masa orde baru dengan pemilu yang tidak
presidensial yang tidak cocok dengan sistem demokratis) tidak pernah ada partai politik
multipartai24, apa yang dihasilkan oleh kedua terpilih dengan suara mayoritas. Artinya, tidak
formula ini juga diproyeksikan dapat menjadi ada partai politik yang signifikan memiliki suara
jalan keluar bagi sistem presidensialisme besar dan tidak ada yang memiliki suara teramat
multipartai, karena formula ini menghasilkan kecil. Oleh karena itu, ketika d’Hondt digunakan
jumlah partai yang tidak terlalu banyak. Dengan dalam kondisi tersebut, yang terjadi justru partai
menggunakan baik d’Hondt maupun Hongarian besar tidak dapat bekerja secara optimal karena ia
Sainte Lague, partai politik yang terpilih di bukan menjadi partai mayoritas dalam lembaga
Dapil 2 Jakarta pada simulasi di atas hanya legislatif. Selain itu, selisih suara antara partai
PDI-Perjuangan, Gerindra dan PKS. terpilih dan tidak terpilih juga menjadi sangat
tipis. Dengan pertimbangan demikian, Sainte
Selain menghasilkan jumlah partai politik
Lague ala Hongaria dengan divisor pertama 1,5
yang moderat, kedua formula di atas juga
cenderung dapat diadopsi di Indonesia karena
memiliki BONUSRAT yang besar, artinya
sistem ini tidak secara ekstrem menguntungkan
partai-partai besar lebih diuntungkan dengan
partai besar namun tetap bisa memberikan hasil
formula ini. Dengan potensi BONUSRAT yang
berupa penyederhanaan partai politik terpilih.
demikian, diasumsikan bahwa partai politik
yang terpilih dalam lembaga legislatif adalah
hanya partai-partai dengan perolehan suara yang
Constitutional Congress.,”
122 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 16, No. 2 Desember 2019 | 111-124
Penutup: Mempertahankan Sainte varian dari Sainte Lague, namun dengan divisor
Lague Murni? pertama yang lebih besar, yaitu 1,5. Dengan
divisor pertama yang lebih besar tersebut, Sainte
Memilih sistem pemilu bagi suatu negara sering Lague ala Hongaria berhasil memberikan dampak
kali dapat menjadi hal yang cukup krusial dan pada penyederhaan partai secara demokratis
memerlukan pertimbangan komprehensif. karena formula ini mampu memberikan
Setiap pilihan dari sistem pemilu termasuk keuntungan pada partai dengan perolehan suara
pilihan beragam unsur di dalamnya memiliki besar dengan rasio keuntungan yang tidak begitu
konsekuensi politik berbeda satu sama lain. ekstrem. Bagi pendukung proporsionalitas,
Begitu juga dengan pilihan formula elektoral formula ini mungkin dianggap mematikan bagi
dalam sebuah sistem pemilihan, setiap formula partai-partai kecil. Namun, mengingat bahwa
konversi suara menjadi kursi memiliki implikasi segala pilihan politik juga berkonsekuensi pada
pada sistem kepartaian melalui potensi partai politik itu sendiri, pertimbangan atas implikasi
politik terpilih yang akan dihasilkan. Di samping lebih jauh dari formula ini pada penyederhanaan
mempertimbangkan konsekuensi politik yang partai dan upaya mendukung pemerintahan
dihasilkan dari sebuah sistem pemilihan, presidensial perlu menjadi dasar utama agar
tujuan politik utama dari penyelenggaraan multipartai ekstrem di Indonesia yang multipolar
pemilu juga perlu dipertimbangkan, seperti dan sentrifugal dapat di atasi. Dengan demikian,
apakah ingin menghasilkan sistem pemilu yang diharapkan partai politik dapat kembali pada
proporsional dan ramah bagi seluruh partai, ingin marwah utamanya yaitu membawa kepentingan
menghasilkan partai hegemonik, atau melakukan rakyat, bukan sekadar kepentingan partai.
penyederhanaan partai secara demokratis. Tujuan
tersebut selanjutnya harus dijaga secara konsisten
agar seluruh sistem yang ada dalam negara Daftar Pustaka
tersebut dapat koheren dan saling mendukung Benoit, Kenneth. “District Magnitude, Electoral
satu sama lain. Formula, and the Number of Parties.” European
Journal of Political Research, 2001. https://doi.
Sebagai negara demokrasi, sejak era
org/10.1023/A:1011067724688.
reformasi Indonesia mulai melakukan penataan
———. “Which Electoral Formula Is the Most
kelembagaan agar lebih demokratis. Salah Proportional? A New Look with New Evidence.”
satu itikad baik yang sudah dilakukan adalah Political Analysis, 2000. https://doi.org/DOI:
perubahan desain elektoral sejak penyelenggaraan 10.1093/oxfordjournals.pan.a029822.
Pemilu 2004 hingga 2019. Banyak hal baru yang Blondel, Jean. “Types of Party System.” In The
dilakukan pada Pemilu Serentak 2019, salah Western European Party System, 1990.
satunya mengaplikasikan formula elektoral Coppedge, Michael. “The Dynamic Diversity of
SLM untuk mengonversi suara menjadi kursi. Latin American Party Systems.” Party Politics,
Namun, hasil penghitungan matematis ternyata 1998. https://doi.org/10.1177/1354068898004
menunjukkan penggunaan formula ini tidak 004007.
memberikan perbedaan signifikan dengan Duverger, Maurice. Political Parties, Their
formula sebelumnya (Kuota Hare). Maka Organization and Activity in the Modern State.
Methuen, 1969. https://archive.org/details/
penerapan SLM sebagai formula elektoral di
politicalparties0000duve.
Indonesia perlu dikaji ulang karena tidak sesuai
Gallagher, Michael. “Comparing Proportional
dengan semangat penyederhanaan partai di Representation Electoral Systems: Quotas,
Indonesia. SLM masih berpotensi besar akan Thresholds, Paradoxes and Majorities.” British
menghasilkan sistem multipartai ultra/ekstrem. Journal of Political Science, 1992. https://doi.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan dalam org/10.1017/S0007123400006499.
studi ini, alternatif formula yang dapat diterapkan Gallagher, Michael, and Paul Mitchell. The Politics
di Indonesia untuk mendukung konsistensi tekad of Electoral Systems. The Politics of Electoral
Systems, 2006. https://doi.org/10.1093/01992
penyederhanaan partai adalah formula Hongarian
57566.001.0001.
Sainte Lague. Pada prinsipnya formula ini adalah
Formula Konversi Suara Sainte Lague ... | Mouliza K.D Sweinstani | 123
Laakso, Markku, and Rein Taagepera. “‘Effective’ Sartori, Giovanni. “Party Types, Organisation and
Number of Parties: A Measure with Functions.” West European Politics, 2005.
Application to West Europe.” Comparative https://doi.org/10.1080/0140238042000334
Political Studies, 1979. https://doi. 268.
org/10.1177/001041407901200101. Sartori, Giovanni, and European Consortium
Lijphart, Arend. “Degrees of Proportionality of for Political Research. Parties and Party
Proportional Representation Formulas.” Systems: A Framework for Analysis .
In Electoral Laws and Their Political ECPR, 2005. https://books.google.co.id/
Consequences, 2003. books/about/Parties_and_Party_Systems.
Lijphart, Arend, and Don Aitkin. Electoral Systems html?id=ywr0CcGDNHwC&redir_esc=y.
and Party Systems. Comparative European Taagepera, Rein&Markku Laakso. “Proportionality
Politics, 1994. Profiles of West European Electoral Systems.”
LIPI. “Pemilu Serentak dan Konsolidasi Demokrasi European Journal of Political Research, 1980.
Di Indonesia.” Jakarta, 2019. https://doi.org/10.1111/j.1475-6765.1980.
tb00582.x.
Mainwaring, Scott, and Anibal Perez Linan. “Party
Discipline in the Brazilian Constitutional
Congress.” Legislative Studies Quarterly 22,
no. 4 (1997): 453–83. http://www.jstor.org/
stable/440339.
Renwick, Alan. The Politics of Electoral Reform:
Changing the Rules of Democracy. The Politics
of Electoral Reform: Changing the Rules of
Democracy, 2010. https://doi.org/10.1017/
CBO9780511676390.
Samuels, David. “Concurrent Elections, Discordant
Results: Presidentialism, Federalism, and
Governance in Brazil.” Comparative Politics,
2000. https://doi.org/10.2307/422421.
124 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 16, No. 2 Desember 2019 | 111-124
TENTANG PENULIS