Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan penting, karena
menjadi makanan pokok penduduk Indonesia. Padi (Oryza sativa L.) termasuk
tanaman pangan berupa rumput-rumputan yang berasal dari benua Asia dan
Afrika Barat. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat
untuk meningkatkan produksi tanaman padi seperti intensifikasi dan
ekstensifikasi. Di Kalimantan Tengah sendiri luas panen padi pada tahun 2018
mencapai 202.142 ha, dengan jumlah produksi 742.758 ton, menempatkan padi
pada urutan teratas untuk komoditas tanaman pangan. (Erlina, 2020).
Pertumbuhan Padi yang sangat pesat tidak terlepas dari serangan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) diantaranya walang sangit dan wereng. Beberapa
faktor yang mendukung keberadaan dan perkembangan Walang Sangit di lapang
diantaranya penanaman padi yang tidak serempak, penanaman padi terus-menerus
sepanjang tahun, adanya inang alternatif terutama Echinochloa crusgalli dan E.
colonum di sekitar pertanaman padi, dan varietas tanaman padi (Kalshoven et al.
1981) Sehubungan adanya serangan hama, khususnya hama Walang Sangit, maka
tindakan pengendalian terhadap hama perlu dikembangkan. Walang sangit
(Leptocorisa spp.) merupakan hama yang merusak tanaman padi ketika mencapai
fase berbunga matang susu (Syam dkk 2008). Walang sangit dapat menyebabkan
kehilangan hasil mencapai 50% (BBPADI, 2011). Bahkan jika serangan
beratakibat populasi tinggi dapat menurunkan hasil sampai 100% (Kartohardjono
dkk, 2009).
Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau,
Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu area food estate di Kalimantan
Tengah. Petani mayoritasnya menanam tanaman padi baik padi ladang maupun
padi sawah. Permasalahan utama petani di Desa belanti adalah serangan
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada pertanaman
padi (Oryza sativa) dengan Perangkap Neraca Live Trap ?

1
2) Bagaiman Instensitas Serangan Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada
pertanaman padi (Oryza sativa) dengan Penggunaan Perangkap Neraca Live
Trap ?
3) Bagaimana Efektivitas Penggunaan Neraca Live Trap dalam Mengendalikan
Hama Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada pertanaman padi (Oryza
sativa) ?

1.3. Tujuan Penelitian


1) Mengetahui populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada pertanaman
padi (Oryza sativa) dengan Penggunaan Neraca Live Trap
2) Mengetahui Instensitas Serangan Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada
pertanaman padi (Oryza sativa) dengan Penggunaan Perangkat Neraca Live
Trap
3) Mengetahui Efektivitas Penggunaan Neraca Live Trap dalam Mengendalikan
Hama Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada pertanaman padi (Oryza
sativa)

1.4. Hipotesis Penelitian


1) Jumlah Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada pertanaman padi
(Oryza sativa) Cukup Tinggi
2) Neraca Live Trap Mampu Menekan Instensitas Serangan Tikus Sawah
(Rattus argentiventer) pada pertanaman padi (Oryza sativa)

1.5. Manfaat Penelitian


1) Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai
populasi dan instensitas serangan Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada
pertanaman padi (Oryza sativa)
2) Dapat menentukan langkah awal untuk mencegah serangan dan
mengendalikan hama tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada pertanaman
padi (Oryza sativa)

2
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Padi (Oryza sativa)


2.1.1. Klasifikasi Tanaman Padi (Oryza sativa)
Padi (Oryza sativa) merupakan tanaman musiman yang termasuk dalam
Genus Oryza. Genus Oryza memiliki 20 spesies, tetapi yang dibudidayakan
adalah Oryza sativa L di Asia, dan Oryza glaberrima Steud di Afrika. Padi
termasuk pada genus Oryza yang meliputi lebih kurang 25 spesies. Sekarang
terdapat dua spesies tanaman padi yang dibudidayakan yaitu Oryza sativa L dan
Oryza glaberrima Steud. Oryza sativa berkembang menjadi tiga ras sesuai dengan
eko geografisnya yaitu Indica, Japonica, dan Javanica (Norsalis, 2011).
Berdasarkan sistem budidaya padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi
lahan kering (gogo) dan padi sawah. Padi gogo ditanam dilahan kering (tidak
digenangi), sedangkan padi sawah ditanam disawah yang selalu tergenang
(Norsalis, 2011).
Menurut Norsalis (2011), tanaman padi (Oryza sativa) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Glumiflorae
Famili : Graminae
Sub Famili : Orczadiae/Poaceae
Genus : Oryza
Spesies : Oryza sativa L.

2.1.2. Morfologi Tanaman Padi (Oryza sativa)


Akar tanaman padi berfungsi menyerap air dan zat-zat makanan dari dalam
tanah. Akar pada tanaman padi terdiri dari akar tunggang, dan akar serabut. Akar
tunggang yaitu akar yang tumbuh pada saat benih berkecambah dan akar serabut

4
yaitu akar yang tumbuh dari akar tunggang setelah tanaman berumur 5-6 hari
(Agronomiunhas, 2015). Kira-kira 5-6 hari setelah berkecambah, dari batang yang
masih pendek itu keluar akar-akar serabut yang pertama dan dari sejak ini
perkembangan akar-akar serabut tumbuh teratur. Letak susunan akar tidak dalam,
kira-kira pada kedalaman 20-30 cm. Akar tunggang dan akar serabut mempunyai
bagian akar lagi yang disebut akar samping yang keluar dari akar serabut disebut
akar rambut dan yang keluar dari akar tunggang, bentuk dan panjangnya sama
dengan akar serabut (Agronomiunhas, 2015 ).
Batang tanaman padi tersusun atas rangkaian ruas-ruas. Antara ruas satu
dengan ruas lainnya dipisahkan oleh buku. Ruas batang padi memiliki rongga di
dalamnya yang berbentuk bulat. Ruas batang dari atas ke bawah semakin pendek.
Pada tiap-tiap buku terdapat sehelai daun. Di dalam ketiak daun terdapat kuncup
yang tumbuh menjadi batang. Pada buku yang terletak paling bawah, mata-mata
ketiak yang terdapat antara ruas batang dan daun, tumbuh menjadi batang
sekunder yang serupa dengan batang primer. Batang-batang sekunder ini akan
menghasilkan batang-batang tersier dan seterusnya, peristiwa ini disebut
pertunasan. Tinggi tanaman padi dapat digolongkan dalam kategori rendah 70 cm
dan tertinggi 160 cm. Adanya perbedaan tinggi tanaman pada suatu varietas
disebabkan oleh pengaruh lingkungan (Wati, 2015).
Daun padi berbentuk pita, terdiri dari pelepah dan helai daun. Pada
perbatasan antara kedua bagian tersebut terdapat lidah dan di sisinya terdapat daun
telinga. Daun yang keluar terakhir disebut daun bendera. Tepat didaun bendera
berada, timbul ruas yang menjadi malai yang terdiri atas sekumpulan bunga. Daun
yang terakhir keluar dari batang membungkus malai atau bunga padi pada saat
fase generatif (bunting), dikelompokkan menjadi 4 yaitu : 1) Tegak (kurang dari
30o, 2) Agak tegak sedang (45o), 3) Mendatar (90o ), 4) Terkulai (>90o ) (Suharno
dkk, 2010).
Bunga padi berkelamin dua dan memiliki 6 buah benang sari dengan tangkai
sari pendek dan dua kantung serbuk di kepala sari. Bunga padi juga mempunyai
dua tangkai putik dengan dua buah kepala putik yang berwarna putih atau ungu.
Sekam mahkotanya ada dua dan yang bawah disebut lemma, sedangkan yang atas

5
disebut palea. Pada dasar bunga terdapat dua daun mahkota yang berubah bentuk
dan disebut lodicula. Bagian ini sangat berperan dalam pembukaan palea.
Lodicula mudah menghisap air dari bakal buah sehingga mengembang. Pada saat
palea membuka, maka benang sari akan keluar. Pembukaan bunga diikuti oleh
pemecahan kantong serbuk dan penumpahan serbuk sari (Suparyono dan Setyono,
2011).
Malai adalah sekumpulan bunga padi (spikelet) yang keluar dari buku
paling atas. Bulir-bulir padi terletak pada cabang pertama dan cabang kedua,
sedangkan sumbu utama malai adalah ruas buku yang terakhir pada batang.
Panjang malai tergantung pada varietas padi yang ditanam dan cara bercocok
tanam. Panjang malai dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu malai pendek
kurang dari 20 cm, malai sedang antara 20-30 cm, dan malai panjang lebih dari 30
cm (Anonim, 2011)
Buah tanaman padi disebut dengan gabah sebenarnya adalah putih
lembaganya (endosperm) dari sebutir buah yang erat berbalutkan oleh kulit ari.
Lembaga yang kecil itu menjadi bagian yang tidak ada artinya. Beras yang
dianggap baik kualitasnya adalah beras yang berbutir besar panjang dan berwarna
putih jernih serta mengkilat. Biji padi setelah masak dapat tumbuh terus akan
tetapi kebanyakan baru beberapa waktu sesudah dituai (4-6 minggu). Gabah yang
kering benar tidak akan kehilangan kekuatan tumbuhnya selama 2 tahun apabila
disimpan secara kering. Bentuk panjang dan lebar gabah dikelompokkan
berdasarkan rasio antara panjang dan lebar gabah. Dapat dikelompokkan menjadi
bulat (1,0), agak bulat (1,1-2,0), sedang (2,1-3,0), dan ramping panjang (lebih dari
3,0) (Wibowo, 2010).

6
2.1.3. Fase-Fase Pertumbuhan Tanaman Padi (Oryza sativa L)
Fase-Fase pertumbuhan tanaman padi menurut Eva (2008) Merupakan
sebagai berikut :
1) Fase Vegetatif (fase ini lamanya 60-70 hari)
a. Fase bibit berkecambah (germination): mulai nampak pertumbuhan akar
dan daun berturut-turut, dan bibit menyerap sebagian besar dari
endosperm. Petani biasanya melakukan perendaman benih selama 24 jam
kemudian diperam 24 jam lagi. Tahan perkecambahan benih berakhir
sampai daun pertama muncul dan ini berlangsung 3-5 hari.
b. Fase pertunasan  (seedling stage): dimulai dari terbentuknya tunas pertama
dari buku terbawah, akan bertambah sampai tercapai jumlah maksimum,
berhenti membentuk tunas setelah tunas-tunas tersier terbentuk.
c. Tahap Pembentukan anakan (tillering stage): Setelah kemunculan daun
kelima, tanaman mulai membentuk anakan bersamaan dengan
berkembangnya tunas baru. Anakan muncul dari tunas aksial (axillary)
pada buku batang dan menggantikan tempat daun serta tumbuh dan
berkembang. Bibit ini menunjukkan posisi dari dua anakan pertama yang
mengapit batang utama dan daunnya. Setelah tumbuh (emerging), anakan
pertama memunculkan anakan sekunder, demikian seterusnya hingga
anakan maksimal.
2) Fase Reproduktif (fase ini lamanya 30 hari)
a. Fase primordia: dimulai dari pembentukan primordia 60-70 hari setelah
tabur benih
b. Fase pemanjangan ruas dan ”booting”: biasa disebut padi sedang bunting
(75 hari sesudah tabur)
c. Fase heading: diikuti keluarnya malai dari pelepah daun bendera
d. Fase berbunga: dimulai dari saat keluarnya benang sari dan terjadinya
pembuahan. Kira-kira 25 hari setelah fase bunting atau 100 hari sesudah
tabur.

7
3) Fase pemasakan (fase ini lamanya 25-35 hari) Setelah terjadinya pembuahan
telur dan endosperm maka perkembangan gabah merupakan proses yang
berturutan, meliputi :
a. Fase masak tepung: Caryopsis menjadi bubur lunak dan makin keras;
b. Fase masak susu: isi gabah caryopsis mula-mula seperti air sampai
beruba seperti susu.
c. Fase masak gabah: Caryopsis menjadi keras dan terang, gabah
berkembang penuh dan tidak lagi terdapat warna kehijauan;
d. Fase lewat masak: setelah gabah masak, daun berangsur-angsur
mengering dari bawah, bersamaan jeraminya akan kering dan mati. Bila
fase ini terlampaui, gabah mulai rontok.

2.2. Klasifikasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)


Tikus yang termasuk golongan hewan pengerat atau Rodensia merupakan
kelompok terbesar dari kelas hewan mammalia, karena memiliki spesies yang
banyak, mencapai 2.000 spesies atau 40% dari 5.000 spesies hewan kelas
mammalia (Aplin et al. 2003).
Kedudukan tikus sawah dalam klasifikasi menurut Murakami et al, (1992)
adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus rattus
Sub Spesies : Rattus rattus argentiventer Robb & Kloss.

2.3. Morfologi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)


Tikus secara umum dicirikan oleh dua gigi seri bagian atas dan bawah. Gigi
seri tidak memiliki akar gigi sehingga dapat tumbuh terus sepanjang hidup tikus.
Tikus sawah tidak bertaring sehingga terdapat celah antara gigi seri dan geraham

8
atau disebut rumpang. Secara naluriah, tikus menjaga panjang gigi serinya agar
tidak menembus tengkorak. Karena itu, tikus selalu mengasah gigi seri sepanjang
hidupnya dengan mengerat benda benda keras. Berdasarkan perkembangan
tubuhnya, tikus secara umum dibedakan ke dalam tiga katagori, yaitu tikus muda
(juvenile) yang masih menyusui, tikus remaja (subadult), dan tikus dewasa
(adult). Tikus remaja mempunyai ukuran badan menyerupai dewasa, tetapi alat
kelamin sekunder belum terlihat. Tikus dewasa sudah memiliki puting susu dan
testes (Suyanto 2006).
Tikus sawah dapat dikenali melalui ciri-ciri morfologinya, yaitu bobot
badan dewasa yang berkisar antara 70-300 gram, panjang kepala-badan berkisar
antara 170-208 mm, dan panjang tungkai belakang 34-43 mm. Ekor tikus sawah
biasanya lebih pendek dari panjang kepala-badan dengan rasio 96,4% (Murakami
et al. 1992). Tubuh bagian dorsal (punggung) berwarna cokelat kekuningan
dengan bercak-bercak hitam pada bulunya, sehingga memberi kesan seperti
berwarna abu-abu. Bulu pelindung berwarna hitam/gelap dan pendek. Rumbai
bulu roma di bagian depan telinga berwarna jingga pada tikus yang muda. Hal ini
merupakan karakteristik tikus selama pradewasa dan dewasa muda. Daerah
tenggorokan, perut, dan inguinal tikus berwarna putih, dan pada bagian bawah
lainnya berwarna keperakan atau putih keabu-abuan. Bagian thorax dan abdomen
biasanya berwarna gelap. Warna pada permukaan atas kaki tikus sama dengan
warna badan dan banyak yang berwarna cokelat gelap pada bagian karpal dan
tarsal. Ekor tikus berwarna gelap pada bagian atas dan bawah. Ciri penting
morfologi tikus sawah dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 7

Tabel 2. Beberapa ciri penting morfologi tikus sawah


No Karakter Ciri Morfologi
1 Tektur rambut Agak kasar
2 Bentuk hidung Kerucut
3 Bentuk badan Silindris
4 Warna badan bagian punggung Cokelat kelabu kehitaman
5 Warna badan bagian perut Kelabu pucat atau putih kotor
6 Warna ekor bagian atas Cokelat hitam
7 Warna ekor bagian bawah Cokelat hitam
8 Habitat Sawah (ketinggian <1500 m dpl)

9
9 Bobot tubuh (g) 70-300
10 Panjang kepala-badan (mm) 170-208
11 Lebar daun telinga (mm) 19-22
12 Panjang telapak kaki belakang (mm) 32-39
13 Lebar gigi pengerat (mm) 3
14 Jumlah puting susu (pasang) 6
Sumber: Priyambodo (1995)

2.4. Ekologi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)


Tikus sawah (R.argentiventer) merupakan hama utama penyebab kerusakan
terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola
tanam yang intensif. Tikus sawah dapat merusak tanaman padi pada semua stadia
pertumbuhan dari semai hingga panen, bahkan di dalam gudang penyimpanan
(BB Padi 2009). Tikus sawah sebagian besar tinggal di persawahan dan
lingkungan sekitar sawah. Tikus sawah memiliki daya adaptasi yang tinggi
sehingga mudah tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Selain itu, tikus
sawah juga suka menggali liang untuk berlindung dan berkembangbiak, membuat
terowongan atau jalur sepanjang pematang dan tanggul irigasi (Rochman, 1998).
Sebagai hewan nokturnal, tikus memiliki orientasi mencari makan,
pasangan, dan kawasan (Brooks & Rowe 1979). Selain itu, tikus memiliki
kemampuan fisik seperti menggali, memanjat, meloncat, melompat,
menggerogoti, berenang, dan menyelam (Rochman 1992). Tikus telah memiliki
otak yang berkembang sempurna sehingga mampu belajar dan mengingat dengan
baik. Tikus sawah dapat mengingat sarang, sumber pakan yang aman ataupun
beracun, dan sumber air (Anggara et al. 2008).
Tikus sawah termasuk hewan omnivora (pemakan segala jenis makanan),
seperti biji-bijian (beras, gabah, jagung), umbi-umbian, serangga, dan sebagainya.
Pada saat makanan berlimpah, tikus sawah akan menjadi lebih selektif dan
memilih makanan yang paling disukai, yaitu biji-bijian atau padi yang tersedia di
sawah (Rochman et al. 1982).
Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat
dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling suka memakan bagian malai
atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian, tikus

10
mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji
yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian
pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif,
tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya
(Priyambodo 2009).

2.5. Gejala Serangan Tikus Sawah (Rattus argentiventer)


Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat
dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling senang memakan bagian
malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian , tikus
mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji
yang masihtersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian
pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif,
tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya
(Priyambodo, 1995).
Menurut Harahap dan Tjahjono (2003) tikus dapat menyerang tanaman padi
pada berbagai fase tanaman padi. Pada fase vegetatif, tikus akan memutuskan
batang padi sehingga tampak berserakan, tikus akan menggigit lebih dari jumlah
yang dibutuhkan untuk makan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus bersifat
khas, yaitu ditengah-tengah petakan sawah tampak gundul, sedangkan bagian tepi
biasanya tidak diserang. Mereka juga menyerang bedengan persemaian dengan
memakan benih-benih yang disebar atau mencabut tanaman-tanaman yang baru
tumbuh. Berdasarkan penelitian Murakami dkk, (1992) kerusakan oleh satu ekor
tikus adalah 5 rumpun padi per malam pada stadia 1-3 minggu, 5 rumpun per
malam pada stadia anakan maksimal, 7 rumpun padi per malam pada stadia
premordia, dan 12 rumpun padi per malam pada stadia padi bunting (Priyambodo,
1995).

2.6. Metode Pengendalian Tikus Sawah (Rattus argentiventer)


Pengendalian tikus sawah sering dilakukan oleh manusia. Beberapa metode
pengendalian yang dapat dilakukan antara lain kultur teknis, sanitasi, fisik-
mekanis, biologis atau hayati, dan kimiawi. Elemen penting yang harus

11
diperhatikan untuk mengendalikan tikus di persawahan adalah sanitasi lingkungan
dan monitoring populasi tikus di sekitar persawahan (Priyambodo 2009). Sanitasi
dapat menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan sumber pakan
alternatif terutama saat periode bera, sehingga secara tidak langsung dapat
menurunkan populasi tikus sawah (Sudarmaji, 2004).
Pengendalian secara hayati (biologi) terhadap populasi tikus dilakukan
dengan menggunakan parasit, predator, atau patogen untuk mengurangi atau
bahkan menghilangkan populasi tikus dari suatu habitat. Namun cara ini kurang
efektif dan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian populasi
tikus secara hayati dengan penggunaan parasit, patogen, dan manipulasi genetik
telah dirintis, namun belum dapat diterapkan secara luas (Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan, 2003).
Pengendalian secara kultur teknis dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu
pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam, dan
penggunaan tanaman perangkap, sedangkan pengendalian secara kimiawi dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu penggunaan umpan beracun, penggunaan
bahan fumigasi, dan bahan kimia penarik (attractant) (Priyambodo 2009). Metode
pengendalian terhadap tikus yang sering digunakan oleh manusia yaitu secara
mekanik dengan menggunakan perangkap dan secara kimiawi dengan
menggunakan rodentisida (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2003).
Umumnya pengendalian hama dengan menggunakan Perangkap dapat
dikatakan berhasil. Pengendalian dengan Perangkap dapat memberikan efek
positif berupa hasil yang cepat, efektif selain itu dapat digunakan dalam jangka
waktu yang panjang dan menghemat biaya tenaga kerja.
2.7. Pengendalian Tikus Sawah Menggunakan Live Trap
Alat perangkap tikus yang tersedia sampai saat ini dapat digunakan untuk
menangkap tikus dengan hasil tangkapan hidup (live trap) dan tangkapan mati
(snap trap). Menurut jumlah tangkapan, alat perangkap tikus dibedakan menjadi
perangkap dengan tangkapan banyak (multiple live capture trap) dan tangkapan
tunggal (single trap). Umpan diletakkan di dalam perangkap untuk menarik tikus
masuk ke perangkap. Pada saat lahan sawah dalam periode baru dapat digunakan

12
umpan berupa biji-bijian dan pada saat tanaman padi dalam stadia generatif dapat
menggunakan umpan yang mengandung protein tinggi seperti kepiting dan ikan
kering.
Live-trap atau perangkap hidup adalah tipe perangkap yang dapat
menangkap tikus dalam keadaan hidup di dalam perangkap. Tipe perangkap ini
terbagi menjadi dua, yaitu single live-trap adalah perangkap yang hanya dapat
menangkap 1 ekor tikus, dan multiple live-trap adalah perangkap yang dapat
menangkap lebih dari satu ekor tikus dalam sekali pemerangkapan. Kedua tipe
perangkap ini banyak digunakan untuk mengendalikan tikus rumah di pemukiman
(Desi Rini Astuti, 2013).
Beberapa jenis perangkap yang dikenal dalam pengendalian tikus antara lain
perangkap hidup (live trap) dan perangkap mati (kill trap). Beberapa perangkap
yang termasuk perangkap hidup diantaranya single live trap, multiple live trap,
Sherman aluminium live trap, havahart live trap, sedangkan yang termasuk
perangkap mati diantaranya snap trap, sticky-board trap/gluetrap (perangkap
berperekat), gin trap dan pitfall trap (perangkap jatuhan). Semua perangkap ini
dapat digunakan oleh manusia dan dapat ditemukan dengan mudah (Setiana,
2007).
Penggunaan perangkap (trap) merupakan metode pengendalian fisik
mekanis terhadap tikus yang paling tua digunakan. Dalam aplikasinya, metode ini
merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis karena perangkap dapat
digunakan beberapa kali dan pemasangan umpan pada perangkap dapat
mengintensifkan jumlah tenaga kerja. Beberapa keunggulan mengendalikan hama
tikus dengan live trap adalah tikus dapat ditangkap dengan mudah dan dapat
dilakukan secara terus menerus tanpa menimbulkan resistensi pada tikus dan
menjaga keseimbangan populasi ambang batas ekonomi. Hasil tangkapan tikus
dapat langsung diketahui berapa yang tertangkap untuk mengetahui seberapa
efisiennya perangkap tersebut. Perangkap live trap dapat digunakan setiap hari
dilapangan untuk mengendalikan hama tikus dan langsung di musnahkan atau
diteliti lebih lanjut, jumlah hasil tangkapan pada live trap juga bisa menangkap

13
satu atau lebih setiap perangkapnya dengan menggunakan beberapa umpan di
dalamnya.

BAB III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian di laksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2021,
bertempat di persawahan padi yang terdapat di Desa Belanti Siam, Kecamatan
Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.

14
3.2. Deskripsi Areal Pengambilan Sampel
Lahan yang digunakan untuk pengambilan sampel yaitu lahan gambut sawah
dengan sistem pertanaman semi organik. Adanya Drainase pada lahan gambut
sawah untuk menampung Air. Pada saat Musim Tanam Permukaan lahan akan
digenangi air, sedangkan pada saat musim Pra Panen lahan akan dikeringkan dari
air. Tanda tanda keberadaan tikus pada lahan sawah adanya lubang tikus pada
gundukan tanah atau adanya lubang tikus pada tanah dengan jejak kaki tikus
berada pada sekitaran hamparan lahan sawah. Selain itu adanya tanda tanda
serangan tikus pada padi dengan batang padi yang sudah ada bekas gigitan. Tikus
sawah juga sering berada pada gulma yang banyak atau pada keadaan lembab dan
gelap.

3.3. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : tanaman padi (Oryza
sativa) varietas Inpari 24, lahan padi, pupuk Bravo, pupuk kimia, Tikus sawah
(Rattus argentiventer), ikan asin, dan Gabah padi.
Alat yang digunakan adalah neraca live trap, tempat minum tikus, tempat
umpan tikus, cangkul, pisau, penggaris, kertas label, kain hitam, platik, karung,
kamera dan alat tulis serta peralatan survey lapangan.

3.4. Perangkap Tikus Neraca Live Trap


.

15
A

B C

D E

Gambar 1. Perangkap Tikus Neraca live trap (a), Pintu masuk tampak dari Bawah
(b), Pintu masuk tampak dari atas (c), Lubang Penghubung ke bagian
tengah perangkap (d), Bagian tengah tempah berkumpulnya tikus (e)
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Perangkap Tikus neraca live trap adalah Perangkap Tikus (perangkap hidup,
tikus yang tertangkap berada dalam keadaan hidup) yang di dapat lebih dari satu
tikus yang terperangkap di dalamnya. Panjang dari Perangkap Tikus neraca live
trap ini 3 meter, tinggi 50 cm dan lebar 50 cm dengan terdapat 3 bagian setiap
bagian perangkap memiliki panjang 1 meter, pada sisi kanan dan kiri perangkap
terdapat 2 pintu masuk masing masing dan pada bagian tengah dalam perangkap
terdapat lobang yang menghubungkan perangkap ke tengah untuk tempat tikus
berkumpul nantinya. Pintu masuk neraca live trap dibuat pada ketinggian 35 cm
dari atas dasar perangkap neraca live trap dengan lebar pintu 10 cm dan tinggi
pintu 10 cm, kemudian pada tangga atau jalan tikus untuk naik ke atas terbuat dari
jaring dengan lebar 10 cm dan panjang 30 cm sampai ke tanah. Model Perangkap
neraca live trap pada pintu masuknya terinspirasi dari timbangan neraca yang jika
tikus berada pada posisi kiri atau kanan bagian neraca, maka neraca akan berat
sebelah yang mengakibatkan tikus kan turun ke bawah dalam perangkap. pada

16
bagian dalam tengah perangkap di buat lubang dari pipa dengan diameter 8 cm
dan panjang 10 cm untung menghubungkan tiap perangkap, pada lubang pintu
masuk penghubung perangkap di buat kaca plastik transparan yang apabila tikus
mendorong kaca plasik tersebut maka kaca plastik tersebut akan terangkat dan
apabila tikus sudah berada pada bagian tengah, maka pintu kaca plastik tersebut
akan tertutup kembali. Pada bagian atas perangkap diberi pintu dengan lebar 10
cm untuk pemberian pakan di dalam perangkap dan juga untuk mempermudah
membersihkan perangkap. Pada bagian tengah Perangkap pada saat dilapangan
nantinya akan ditutupi dengan terpal agar tikus di dalamnya tampak aman karena
kondisinya Kering dan gelap, sedangkan pada bagian sisi kiri dan kanan di
biarkan supaya tikus nantinya akan masuk ke bagian tengah perangkap.
Proses tikus masuk atau terperangkap pada Perangkap Tikus neraca live trap
adalah pada bagian pintu masuk perangkap di beri umpan agar memancing tikus
nantinya dengan penciuman tikus yang tajam. Umpan akan diberikan pada area
pintu masuk perangkap dan pada bagian dalam perangkap. Cara kerja Perangkap
Neraca live trap ini adalah ketika tikus berada pada bagian posisi neraca maka
neraca aka berat sebelah seperti hal nya timbangan neraca, kemudian tikus akan
terjatuh kebawah dalam perangkap. Perangkap neraca live trap akan di
aplilkasikan di area yang ada tanda tanda keberadaan tikus seperti adanya lubang
pada bagian gundukan tanah, adanya jejak kaki tikus, atau pada area gulma yang
rimbun. Perangkap akan di buat pada bagian pinggir lahan sawah dengan jarak
tiap perangkap 50 meter.

3.4. Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan secara metode survei/observasi lapangan.
Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi yaitu dengan melakukan
pengamatan terhadap lahan pertanaman padi lahan gambut sawah pada fase
vegetatif yang berumur 8 MST, 9 MST dan 10 MST, fase reproduktif yang
berumur 11 MST, 12 MST, 13 MST serta pada fase pemasakan 14 MST dan 15
MST.

17
Neraca live trap dipasang pada tempat pinggiran sawah dengan jarak antar
perangkap 50 meter. Setiap perangkap neraca live trap diberi umpan dan di dalam
perangkap diberi tempat air minum untuk tikus.
Rancangan yang digunakan pada percobaan ini adalah rancangan acak
kelompok (RAK). Percobaan ini akan terdiri dari 3 perlakuan dan 3 ulangan
sehingga terdapat 9 unit satuan percobaan neraca live trap.
Perlakukuan percobaan sebagai berikut :
N.0 = Neraca live trap tanpa perlakuan
N.1 = Neraca live trap + Ikan asin
N.2 = Neraca live trap + Gabah padi

Gambar 2. Tata letak Perangkap Neraca Live trap


Sumber : Dokumentasi Pribadi
Pelaksanan Pemerangkapan Neraca live trap dalam 1 hari dilakukan
sebanyak 3 kali yakni pengaplikasian dilakukan pada Pagi Hari, Siang Hari dan
Sore hari. Kemudian menghitung jumlah tikus yang terperangkap pada neraca live
trap.

3.5. Variabel Pengamatan


1) Populasi tikus yang terperangkap perangkap Neraca live trap
Tikusterperangkap
Menghitung Populasi Tikus =
Jumlah Perangkap

18
2) Intensitas serangan hama tikus
a
I= × 100 %
a+b
Keterangan :
I = Persentase tanaman yang rusak
a = Jumlah tanaman yang diserang
b = Jumlah tanaman/petak
3) Gejala serangan hama tikus
4) Efektivitas
Jumlah tikus tertangkap
Trap Succes = × 100 %
Jumlah perangkap × Hari
5) Hasil Produksi Padi

3.6. Analisis Data


Data disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan dianalisis disertai dengan
pembahasan hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anggara, A.W. dan Sudarmaji. 2008. Perbaikan komponen TBS sawah irigasi:
pesemaian dan padi umur genjah sebagai tanaman perangkap. Dalam:
Suprihatnoet al. (eds). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Padi Menunjang
P2BN. Buku 1. BB Padi. Sukamandi. hlm. 427-437.

19
Anonim, 2011. Fase Pertumbuhan Tanaman Padi. http: // pejuang - pangan.
blogspot. co. id / 2011 / 07 / fase - stadia – pertumbuhan – tanaman - padi.
html?m=1.

Aplin, K.P., P.R. Brown., J. Jacob., C.J. Krebs., and G.R. Singleton. 2003. Field
Methods for Rodent Studies in Asia and the Indo-Pacific. Australian
Centre for International Agricultural Research, Canberra. 223 pp

Baco, D. (2011). Pengendalian tikus pada tanaman padi melalui pendekatan


ekologi. Pengembangan Inovasi Pertanian, 4(1), 47-62.

Desi Rini Astuti, 2013, Keefektifan Penggunaan Rodentisida Racun Kronis


Generasi II Terhadap Keberhasilan Penangkapan Tikus Di Daerah Fokus
Leptospirosis Kota Semarang, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2003. Hama tikus dan rekomendasi


pengendaliannya di Indonesia. Makalah review proyek ACIAR ASI/98/36.
Jakarta: Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan.

Eva, K. R. 2008. Keanekaragaman Arthropoda Pada Lahan Padi Organik Dan


Anorganik di Desa Bantengan Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri.
Skripsi: Jurusan Biologi Fakultas Sains Dan Teknologi. Universitas Islam
Negeri Malang. Malang.

Hamdan Maruli Siregar, dkk. 2020. Preferensi Serangan Tikus Sawah (Rattus
argentiventer) terhadap Tanaman Padi. Agrovigor (Jurnal
Agroekoteknologi). Vol 13 No (1):16–21

Lydia Maria Ivakdalam, 2014. Uji Keefektifan Enam Jenis Perangkap Dalam
Pengendalian Tikus Sawah (Rattus Argentiventer). AGRILAN Jurnal
Agribisnis Kepulauan. Vol 2 No (2):38-46

Mulyana, A. N. (2017). Keberhasilan Pemerangkapan Tikus dengan Tiga Jenis


Umpan pada Habitat Luar Rumah di Dramaga, Bogor. Bogor: Fakultas
Pertanian IPB.

Murakami, O, dkk. 1992. “Tikus Sawah”. Laporan Akhir Kerjasama Indonesia-


Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162). Jakarta:
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman

Norsalis. E, 2011. Padi Sawah dan Padi Gogo Tinjauan secara Morfologi,
Budidaya dan Fisiologi. Nusa Tenggara. 03:33:34

20
Priyambodo S. 2009. Pengendalian Hama Tikus Terpadu.Ed ke-4. Jakarta:
Penebar Swadaya.

Priyambodo, S. 1995. Pengendalian hama tikus terpadu. Seri PHT. Jakarta:


Penebar Swadaya. 135 hlm.

Rochman, Sudarmaji, dan A. Hasanuddin. 1998. Masalah hama tikus dan cara
pengendaliannya pada sistem usahatani di lahan pasang surut. Prosiding
Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang
Surut. Bogor: Puslitbangtan. hlm. 85-91.

Suharno, Nugrohotomo, Bharoto, dan Ariani. K. T, 2010. Daya Hasil dan


Karakter Unggul Dominan Pada 9 Galur dan 3 Varietas Padi (Oryza sativa
L)di Lahan Sawah Irigasi Teknis. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, Volume 6,
nomor 2, Desember 2010. Pdf.

Suparyono dan Setyono. A, 1993. Padi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suyanto, A. 2006.Rodent di Jawa. Seri Panduan Lapang. Bogor: Pusat Penelitian


Biologi LIPI. 99 hlm.

Wati. R, 2015. Respon Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi


Unggul Lokal dan Unggul Baru Terhadap Variasi Intensitas Penyinaran.
Skripsi. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Medan

Wibowo. P, 2010. Pertumbuhan dan Produktivitas Galur Harapan Padi (Oriza


sativa L) Hibrida di Desa Ketaon Kecamatan Banyudono Boyolali.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Pdf

Yuni Erlina, dkk. 2020. Analisis Faktor Sosial Ekonomi Pengembangan Padi
Lokal Spesifik Lokasi Di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah.
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah. Vol 5 No (1) Hal
61-68

21

Anda mungkin juga menyukai