Anda di halaman 1dari 11

Ornamen-ornamen Bermotif Kedok Wajah

dalam Seni Arsitektur Tradisional Bali


Oleh
I Gusti Agung Bagus Suryada
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
E-mail: bagusur@gmail.com

ABSTRACT

Traditional Balinese architecture is highly identical with the existence of various ornaments and
decorative elements in almost all of its parts. The ornaments and decorative elements in the Balinese
traditional architecture are usually adopted from animals, plants and natural elements. Among
numerous popular motives, the motive of “kedok wajah” (mask) is popular enough and has many
variants. It can be found carved in various parts of the Balinese traditional building. This article
discusses the variants of forms and meanings of the ornaments with “kedok wajah”, which is well-
known in the Balinese traditional building, as the motive.

Key words: ornament, kedok wajah, motive, traditional Balinese architecture, variant.

PENDAHULUAN Kekarangan dapat didefinisikan sebagai


Latar Belakang bentuk ragam hias tradisional Bali yang
Arsitektur tradisional Bali dikenal sebagai mengambil satu bagian dari tubuh makhluk
salah satu wujud arsitektur nusantara yang hidup dan dikembangkan menjadi sebentuk
banyak memuat berbagai bentuk ragam hias ragam hias. Contoh ragam hias kekarangan
berupa ornamen-ornamen dan elemen-elemen yang dikenal dalam seni arsitektur tradisional
dekoratif pada perwujudan bangunannya. Bali, adalah karang hasti (ornamen bermotif
Bentuk-bentuk ornamen maupun elemen kepala seekor gajah), karang manuk (ornamen
dekoratif berlanggam Bali ini lazimnya bermotif kepala seekor burung), dan karang
mengambil motif-motif yang diilhami dari simbar (ornamen bermotif kelopak). Ragam
bentuk hewan, tumbuh-tumbuhan, dan hias pepatran pada umumnya mengambil
elemen-elemen yang terdapat di alam. bentuk tanaman menjalar yang lengkap
Hewan-hewan yang umumnya dijadikan dengan bentuk daun, tangkai, kuncup, dan
sebagai motif ragam hias antara lain: gajah, bunganya yang sedang mekar sempurna.
burung gagak, angsa, elang, naga, dan kijang. Perwujudan pepatran juga memiliki karakter
Adapun jenis-jenis tumbuhan yang banyak khusus, yaitu bentuknya yang memanjang dan
menjadi ilham motif ragam hias, antara lain mengisi bidang-bidang persegi panjang pada
adalah tanaman teratai, tumbuh-tumbuhan bangunan-bangunan berlanggam Bali.
menjalar berbunga, dan sosok imajinatif Beberapa contoh ornamen pepatran populer
pohon kehidupan. Bentuk lain yang banyak dalam seni arsitektur tradisional Bali adalah
digunakan sebagai motif ragam hias adalah patra samblung, patra punggel, patra cina,
berupa elemen-elemen alam, semacam awan, dan patra olanda.
air, matahari, bulan, api, dan bebatuan. Dalam seni arsitektur tradisional Bali
Di antara bentuk-bentuk ragam hias yang dikenal pula adanya bentuk-bentuk ornamen
dikenal dalam seni arsitektur tradisional Bali, kekarangan yang mengambil motif berupa
terdapat dua jenis ragam hias terpopular yang kedok-kedok wajah dari berbagai makhluk.
memiliki berbagai bentuk varian. Kedua jenis Ornamen-ornamen kekarangan yang
ragam hias tersebut dikenal dalam istilah dimaksud dalam istilah lokal Balinya disebut
lokalnya sebagai kekarangan dan pepatran. dengan karang hasti (ornamen kedok wajah
1
seekor gajah), karang manuk atau karang TINJAUAN PUSTAKA
goak (ornamen kedok wajah seekor burung), Dalam melakukan kajian ini, digunakan
karang bhoma (ornamen kedok wajah raksasa dua buah panduan konseptual sebagai acuan
Bhoma), karang tapel dan karang sae studi, yaitu: (a) konsepsi bangunan suci Hindu
(ornamen kedok wajah raksasa), dan karang Bali sebagai representasi dari wujud gunung,
bentolu (ornamen kedok wajah raksasa dan (b) mitologi tentang tokoh Kirthimukha,
bermata satu). Ornamen-ornamen kedok Kala Rahu, dan Bhoma.
wajah ini secara konsisten tetap dipahatkan
pada posisi-posisi tertentu pada perwujudan Bangunan Suci Hindu Bali sebagai
bangunan-bangunan berlanggam Bali. Representasi Wujud Gunung
Tulisan ringkas ini berisikan kajian Gunung dalam mitologi dan ajaran agama
tentang berbagai bentuk varian dan latar Hindu sering kali diposisikan sebagai suatu
belakang konsep dari keberadaan ragam hias tempat yang suci di dunia. Dalam kosmologi
kekarangan bermotif kedok-kedok wajah dan mitologi Hindu pun disebutkan adanya
dalam seni arsitektur tradisional Bali. sebuah gunung mahasuci penyangga alam
semesta yang bernama Meru. Gunung kosmik
Rumusan Masalah ini diyakini memiliki sebuah puncak suci
Artikel ini membahas tentang dua hal bernama sorga, sebagai tempat
pokok berkenaan dengan ornamen bermotif bersemayamnya para dewata. Kesucian
kedok wajah yang dikenal dalam seni gunung kosmik Meru ini di beberapa wilayah
arsitektur tradisional Bali, yaitu (a) wujud- belahan dunia selanjutnya diterjemahkan
wujud variannya, dan (b) posisi sebagai sosok gunung-gunung yang
penempatannya pada bangunan tradisional disakralkan oleh umat sekitarnya, seperti
Bali. Mount Everst dan Kailasa (India), Semeru dan
Penarungan (Jawa), dan Agung (Bali).
Tujuan dan Manfaat Penelitian Konsepsi-konsepsi tentang kesucian Gunung
Tujuan dari kajian ini dapat Meru dan gunung-gunung mitologis lainnya
diklasifikasikan menjadi dua hal pokok, yaitu: itu selanjutnya terejawantahkan juga dalam
(a) mengidentifikasikan wujud-wujud varian karya-karya seni arsitektur bangunan suci di
dari ornamen bermotif kedok wajah yang negara-negara yang memperoleh pengaruh
dikenal dalam seni arsitektur tradisional budaya India.
Bali, dan Fisik Gunung Meru seperti juga gunung-
(b) menemukan prinsip penggunaan dan gunung lain pada umumnya secara umum
penempatan ornamen-ornamen tersebut dapat dibagi atas tiga bagian utama sesuai
pada bangunan tradisional Bali. konsepsi Tri Angga1. Dalam konsepsi ini
Hasil dari kajian ini diharapkan mampu dikenal adanya paham bahwa gunung dapat
memberi dua macam manfaat utama sebagai dinalogikan seperti tubuh manusia yang
berikut. terdiri dari bagian kepala, badan, dan kaki.
(a) Manfaat akademis Ketiga bagian gunung pun selanjutnya dibagi
Hasil kajian ini ditargetkan dapat menjadi bagian puncak gunung, badan
memperkaya pengetahuan tentang wujud gunung, dan kaki gunung. Konsepsi tiga
dan posisi penempatan elemen-elemen bagian gunung ini selanjutnya diterapkan pula
ragam hias arsitektur tradisional Bali. pada dalam perwujudan arsitektur bangunan
(b) Manfaat praktis suci Hindu Bali sebagai tiga buah bagian
Hasil akhir kajian diharapkan pula dapat
memberikan pengetahuan acuan bagi 1
Tri angga merupakan sebuah konsep didalam
penggunaan ornamen semacam itu pada budaya Bali, yaitu konsep yang menganalogikan
bangunan tradisional Bali. setiap benda seperti badan manusia, yang terdiri
dari tiga bagian, yaitu: kepala, badan, dan kaki
(Tonjaya, 1982:19).
2
bangunannya. Ketiga bagian bangunan suci Siwa memerintahkan raksasa ciptaannya
Hindu Bali tersebut disebutkan sebagai untuk memakan dirinya sendiri. Raksasa
bagian atap bangunan (raab), bagian ruang ciptaan Dewa Siwa tersebut patuh, dan
suci (pengawak), dan bagian kaki bangunan kemudian mulai memakan kakinya, paha,
(bebaturan). Ruang suci atau rong pada perut, kemudian lengannya, dan seluruh
bagian pengawak bangunan, memiliki nilai badannya sendiri, hingga hanya tersisa
yang setara dengan ruang suci pada bangunan wajahnya (kepalanya) saja.
candi Jawa maupun pada kuil mandir India
yang disebut garbhagṛha. Rong maupun
garbhagṛha pada dasarnya memiliki makna
yang setara dengan rongga gua pada daerah
badan gunung (cf. Kramrisch, 1976: 162).

Kirthimukha, Kala Rahu, dan Bhoma


a. Mitologi Kīrrtimukha
Menurut Zimmer dan Campbell (1992),
sosok raksasa mitologis India klasik
kīrrtimukha, telah dijadikan sebagai motif
bentuk ornamen kedok wajah pada kuil-kuil Gambar 1. Kīrrtimukha, India
di India. Penempatannya adalah diatas lubang sumber: http://himalayanacademy.com
pintu kuil. Penamaan ornamen kedok wajah
semacam ini sama dengan nama pada
mitologinya yaitu kīrrtimukha (face of glory)
yang kalau diterjemahkan menjadi ‘wajah
kecemerlangan’(dalam bahasa Indonesia) .
Mitologi tentang raksasa Kīrrtimukha
diceritakan bahwa, pada suatu waktu, konon
ada sesosok raja raksasa (titan) yang bernama
Jalandara. Jalandara mengutus raksasa Rahu
(Bali: Kala Rahu) untuk menghancurkan
Gambar 2. Banaspati, Jawa Timur
kekuasaan Dewa Siwa, sebagai dewa
penguasa tertinggi di alam raya. Serangan sumber: survey, 2005
yang dilakukan oleh raksasa Rahu (Kala
Rahu) ini, menyebabkan Dewa Siwa menjadi
sangat marah. Dalam kemurkaannya,
keluarlah satu makhluk yang sangat dahsyat,
dari kening Dewa Siwa (ajñācakra). Makhluk
ini siap melawan dan mengalahkan raksasa
Rahu.
Setelah terjadi pertempuran akhirnya
raksasa Rahu berhasil dikalahkan. Raksasa
Rahu takluk dan memohon ampun kepada
Dewa Siwa. Sementara itu raksasa ciptaan Gambar 3. Kala, Jawa Tengah
Dewa Siwa yang dahsyat itu, selalu merasa sumber: survey, 2005
lapar. Raksasa ini terus-menerus memakan
segala yang ditemuinya di alam. Dewa Siwa Setelah kejadian ini Dewa Siwa bersabda:
menjadi gusar melihat tindakan raksasa “Sejak saat ini wahai anakku engkau bernama
ciptaannya ini, dan segera turun tangan Kīrrtimukha, dan engkau Ku nobatkan
menyelamatkan isi alam semesta ini. Untuk sebagai penjaga istanaKu (kuilKu), engkau
menghentikan keganasan ciptaanya ini, Dewa
3
Ku tempatkan di ambang pintuKu, engkau ke dalam lapisan-lapisan bumi. Bhoma yang
akan disegani. Barang siapa yang akan masuk merupakan sosok putra Dewa Wisnu dan
ke dalam kuil, tanpa menyembah terhadapmu, Dewi Pertiwi, di alam dianalogikan sebagai
mereka tidak akan mendapat berkat dan pepohonan, tumbuh-tumbuhan, ataupun hutan
rahmatKu.” (vanaspati) yang tumbuh pada tanah (bumi)
yang mendapatkan cukup air (hujan). Dalam
Mengenai ornamen kedok wajah yang budaya Jawa dan Bali Vanaspati lebih dikenal
terletak diatas pintu kuil, Holt (1967) dengan sebutan Banaspati, yang dapat
menyebutkan bahwa, ornamen banaspati pada dimaknai sebagai pohon-pohon besar ataupun
candi-candi di Jawa Timur, ornamen kala raja hutan4.
pada candi-candi di Jawa Tengah, memiliki
makna yang sama dengan karang bhoma di c. Mitologi Kāla Rahu
Bali. Baik banaspati, kala, maupun bhoma, Kāla Rahu adalah nama tokoh raksasa
mempunyai sumber konseptual yang sama, yang merupakan musuh para dewata
bersumber dari mitologi bangsa India kuno, (Sanskerta: asura) dalam cerita pencarian
yakni cerita Kīrrtimukha. amṛta (air suci kehidupan abadi), oleh para
dewata dan para raksasa. Pada bagian akhir
b. Mitologi Bhoma cerita tersebut, amṛta5 yang muncul dari
Pada mitologi Hindu di India dikenal lautan Ksirarnava akhirnya berhasil dikuasai
cerita tentang sosok raksasa Bhoma yang oleh para dewata. Pada saat para dewata
merupakan putra dari Dewa Wisnu (dewa air) bersama-sama akan meminum amṛta, satu
dan Dewi Pertiwi (dewi bumi). Dalam cerita raksasa/asura bernama Kāla Rahu berubah
ini dikisahkan bahwa, pada suatu waktu, wujud menyerupai dewa dan secara diam-
Dewa Wisnu berubah wujud menjadi seekor diam menyusup diantara para dewata, untuk
babi hutan. Perwujudan Dewa Wisnu ini dapat ikut meminum amṛta. Kehadiran Kāla
menggali tanah hingga mencapai dasar bumi. Rahu di antara para dewata ini, diketahui dan
Hal ini dilakukan untuk mencari dasar lingga dilaporkan oleh Dewa Surya (Dewa Matahari)
(tiang) besar milik Dewa Siwa2. Pada saat dan Dewa Candra (Dewa Bulan) kepada
babi hutan perwujudan Dewa Wisnu, Dewa Wisnu. Pada saat amṛta diminum oleh
menggali dasar bumi, bertemulah dia dengan Kāla Rahu dan memasuki rongga mulutnya,
sesosok Dewi yang cantik jelita yang Dewa Wisnu menebas leher sang asura
bernama Dewi Pertiwi. Pertemuan Dewi dengan senjata cakranya, sehingga kepalanya
Pertiwi (dewi bumi) dengan dewa air/hujan terpisah dari badannya. Kepala Kāla Rahu
yang sedang berwujud babi hutan ini, yang sudah mendapat mujizat dari amṛta
membuahkan kisah percintaan. Kisah mampu hidup abadi, sedangkan badannya
percintaan ini melahirkan seorang putra yang yang belum mendapat mujizat dari amṛta
berwujud menakutkan, bernama Bhoma3. terkulai mati. Sejak saat itu kepala Kāla Rahu
Dalam cerita ini, wujud Wisnu sebagai babi yang hidup abadi diceritakan selalu berusaha
hutan yang menggali tanah mencapai dasar membalas dendam pada Dewa Surya (Dewa
bumi, analog dengan karakter air atau hujan Matahari) dan dewa Candra (Dewa Bulan).
di alam yang selalu mengalir turun meresap Kepala Kāla Rahu selalu berupaya menelan
kedua musuh utamanya itu. Akan tetapi Dewa
2
Surya maupun Dewa Candra selalu keluar
Dalam mitologi lingobhava, Dewa Brahma lagi melalui lubang leher sang Kāla Rahu
berubah wujud, menjadi angsa dan terbang yang terputus dari badannya. Di alam nyata
mencapai puncak lingga milik Dewa Siwa.
Dewa Wisnu berubah wujud menjadi babi hutan
4
yang menggali tanah mencari dasar lingga (cf. Hobart, 2003: 123.
Zimmer and Campbell, 1992: 131). 5
Amṛta disebut juga soma (Feller, 2004: 185).
3
Cerita tentang Bhoma, terdapat dalam lontar Dalam bahasa Bali amrta, dikenal dengan
Bhomakawya. sebutan tirta amertha.
4
peristiwa ini dianalogikan dengan fenomena mitologi dalam ajaran agama Hindu, (d)
gerhana matahari dan gerhana bulan6. pendekatan tentang karakter makhluk yang
dijadikan motif tersebut di alam nyata, dan (e)
METODE pendekatan atas hasil studi tentang karakter
Objek dan Lokasi Penelitian wilayah kaki, badan, dan puncak gunung.
Objek kajian dapat dikelompokkan atas
dua jenis objek berdasarkan fungsinya, yaitu HASIL DAN PEMBAHASAN
(a) objek berupa wujud-wujud ornamen Deskripsi tentang Ornamen-ornamen
bermotif kedok wajah yang terdapat pada Bermotif Kedok Wajah dalam Seni
bangunan-bangunan suci tradisional Bali, Arsitektur Tradisional Bali.
serta (b) literatur/pustaka yang memuat Pada bagian ini dipaparkan deskripsi
tentang konsep tentang ornamen tersebut. singkat mengenai bentuk ornamen-ornamen
Lokasi kegiatan penelitian ini adalah berada bermotif kedok wajah yang dikenal dalam
dalam wilayah Pulau Bali. seni arsitektur tradisional Bali. Ornamen-
ornamen ini lazimnya dipahatkan pada
Metode Penelitian material batu alam, bata merah, atau kayu
Metode penelitian yang diterapkan adalah serta ditempatkan pada posisi-posisi tertentu
hermeneutik yang pada intinya berupaya pada perwujudan bangunan berlanggam Bali.
menafsirkan muatan makna yang termuat
dalam suatu karya seni. Dalam menjalankan a. Karang bhoma
metode ini dibutuhkan pula beberapa macam Ornamen karang bhoma merupakan
pendekatan dari berbagai aspek dari objek ornamen popular dan termasuk sebagai
kajian itu sendiri (cf. Jones, 2000: 4, 24). ornamen yang paling disakralkan dalam seni
Dalam proses melakukan penelitian ini arsitektur tradisional Bali. Ornamen ini
terdapat dua macam tahap penelitian yang diwujudkan sebagai sebentuk wajah raksasa
dijalankan secara berurutan dan saling dengan mulut yang sedang menganga
berkaitan. Kedua tahapan tersebut dapat menyeringai, memperlihatkan lidah, gigi, dan
disebutkan sebagai tahapan pengumpulan data taring tajamnya. Relief kedok wajah sang
sebagai tahap pertamanya, dan tahapan kajian raksasa ini lazimnya dipahatkan dengan
data sebagai tahapan keduanya. sepasang mata melotot, rambut yang ikal
Dalam tahap pertama, pengumpulan data tebal, dan beberapa hiasan kepala dan kalung.
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu; (a) Ornamen ini memiliki beberapa varian
observasi ke lapangan terhadap bangunan- bentuk, antara lain (1) dalam wujud kedok
bangunan suci Hindu Bali yang memuat wajah raksasa saja, (2) dalam wujud sebentuk
bentuk-bentuk ornamen bermotif kedok wajah raksasa sebatas leher yang diapit
wajah, (b) studi kepustakaan, dan (c) sepasang tangan mengembangnya berkuku
interview tidak terstruktur dengan para tajam, serta (3) dalam wujud sebentuk wajah
informan yang memiliki pemahaman yang dengan atau tanpa sepasang tangan yang
kuat terhadap eksistensi dan makna ornamen- disatukan dengan pahatan tanaman menjalar
ornamen tersebut. berbunga.
Dalam tahap kedua, teknik kajian atau Ornamen karang bhoma ini mengambil
pembahasannya menggunakan metode ilham dari mitologi Hindu tentang putera
hermeneutik yang juga menerapkan beberapa Dewa Wisnu dengan Dewi Pertiwi yang lahir
macam pendekatan. Beberapa macam dalam wujud seorang raksasa menakutkan,
pendekatan tersebut adalah (a) pendekatan bernama Bhoma Narakāsura. Karang bhoma
berdasarkan aspek morfologi ornamen, (b) dipahatkan di atas lubang pintu masuk
pendekatan atas posisi ornamen pada arsitektur gerbang utama (kori agung)
bangunan, (c) pendekatan berdasarkan kompleks bangunan pura, kori agung
bangunan kediaman pendeta Hindu (geria),
6 dan kori agung kediaman raja (puri) (cf.
cf.Kramrisch, 1976: 325-328.
5
Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Karang bhoma diyakini sebagai relief sakral
Jakarta, 2001: 66). Ada kalanya pula karang yang menggambarkan spirit penjaga kesucian
bhoma dipahatkan di atas lubang pintu masuk area-area pura dan bangunan-bangunan suci
ruang suci (rong) sebuah bangunan suci dari vibrasi energi-energi negatif dari luar.
(pelinggih) Hindu Bali.
b. Karang sae
Karang sae merupakan ornamen dalam
seni arsitektur tradisional Bali yang juga
bermotif kedok wajah seorang raksasa dengan
bentuk dasar dan varian-variannya yang
menyerupai karang bhoma. Meskipun wujud
dasar kedua ornamen serupa, akan tetapi
apabila diamati secara lebih seksama, akan
terlihat adanya perbedaan wujud kedok wajah
raksasa yang terdapat pada karang sae dengan
yang terdapat pada karang bhoma. Kedok
wajah raksasa karang sae mengambil bentuk
berupa raksasa bergigi taring yang runcing-
Gambar 4. Kori Agung runcing, memiliki sepasang tanduk, dan
sumber: survey, 2010 bentuk wajah yang lebih “kurus” dari pada
kedok wajah karang bhoma.
Pahatan karang sae ditempatkan di atas
lubang pintu masuk arsitektur gerbang
bangunan-bangunan rumah masyarakat
umum, bangunan-bangunan sekolah,
perkantoran, maupun bangunan-bangunan
sekular berlanggam Bali lainnya. Ornamen
karang sae yang bersifat sekular dianggap
sebagai tiruan dari ornamen karang bhoma
yang disakralkan. Kata ‘sae’ dalam karang
sae diperkirakan berasal dari kata ‘saih’
dalam bahasa Bali yang berarti padanan atau
Gambar 5. Varian Karang Bhoma tiruan7.
sumber: survey, 2010

Gambar 7. Karang Sae


sumber: survey, 2010
Gambar 6. Varian Karang Bhoma
sumber: survey, 2010
7
Kutipan hasil wawancara dengan seorang nara
sumber dalam Titib (1983).
6
memperlihatkan gigi, lidah, dan taring
tajamnya (cf. Proyek Peningkatan Penelitian
Arkeologi Jakarta, 2001: 67). Ornamen yang
bersifat sekular ini pada umumnya
ditempatkan di bagian kaki bangunan
(bebaturan), pada bidang-bidang datar
maupun pada bidang-bidang menyudut
bangunan.

e. Karang manuk
Gambar 8. Karang Bentolu Karang manuk mengambil motif tampak
sumber: survey, 2011 samping wajah seekor burung. Ornamen ini
lazimnya dipahatkan pada keempat sudut
bangunan. Ornamen karang manuk
dipahatkan pada bagian-bagian atas bangunan,
seperti di pojok-pojok atas dari bagian kaki
bangunan (bebaturan), badan bangunan, atau
kepala bangunan. Kata ‘manuk’ berarti
burung, hal ini juga menjadi sangat mudah
dipahami dengan melihat bentuk ornamen
Gambar 9. Karang Tapel karang manuk yang mengambil motif wajah
sumber: survey, 2010 seekor burung. Karang manuk disebut juga
dengan karang goak atau ukiran wajah burung
c. Karang bentolu gagak (cf. Proyek Peningkatan Penelitian
Perwujudan karang bentolu relatif mudah Arkeologi Jakarta, 2001: 67).
diidentifikasikan karena memiliki motif Perwujudan ornamen karang manuk pada
berupa kedok wajah raksasa bermata satu bangunan-bangunan berlanggam Bali
yang melotot, dengan rahang terbuka dan lazimnya dipahatkan sebagai wajah seekor
bergigi taring yang tajam. Kedok wajah burung bermata melotot, hanya berparuh atas,
karang bentolu umumnya dipahatkan hanya bergigi taring tajam, berambut ikal, dan
dengan rahang atas saja, berambut ikal lebat, dilengkapi hiasan kepala sederhana. Pahatan
dan sedikit hiasan kepala (cf. Proyek karang manuk ada kalanya dipahatkan
Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta, menyatu dengan ukiran tanaman menjalar
2001: 67). Karang bentolu pada bangunan- (pepatran) dan ukiran kelopak bunga (karang
bangunan berlanggam Bali dapat dijumpai simbar).
pada berbagai bagian bangunan, seperti pada
dasar bangunan (bebaturan), pada umpak
(sendi), pada badan bangunan, atau pada
hiasan di puncak atap bangunan.

d. Karang tapel
Karang tapel dapat diartikan sebagai
ornamen topeng. Kata ‘tapel’ dalam bahasa
Bali dapat diterjemahkan sebagai topeng
dalam bahasa Indonesia. Ornamen ini juga
bermotif kedok wajah raksasa dengan hiasan
sederhana pada kepala dan lehernya. Wajah
raksasa pada karang tapel dipahatkan hanya
dalam wujud wajah dengan mata melotot, Gambar 10. Karang Manuk
sumber: survey, 2010
rambut ikal lebat, serta mulut menganga
7
konsep antara ornamen-ornamen bermotif
kedok wajah tradisional Bali dengan konsep
ornamen kīrthimukha dan (2) keterkaitan
konsep antara motif ornamen kedok wajah
tradisional Bali dengan posisi penempatannya
pada bangunan berlanggam Bali.

a. Kaitan antara ornamen-ornamen bermotif


kedok wajah tradisional Bali dengan konsep
ornamen kīrthimukha.
Kīrthimukha adalah nama sejenis
ornamen kedok wajah raksasa yang terdapat
Gambar 11. Karang Manuk di atas lubang pintu gerbang bangunan-
sumber: survey, 2010 bangunan kuil di India dan Nepal. Konsep
raksasa dengan wajah yang menakutkan ini
f. Karang hasti bersumber dari sebuah mitologi Hindu yang
Karang hasti atau karang gajah terkenal dalam budaya klasik India.
merupakan ornamen bermotif wajah seekor Mitologi ini selanjutnya menjadi ilham
gajah. Ornamen ini dapat dijumpai terpahat di dipahatkannya relief kedok-kedok wajah
sudut-sudut bagian bawah dari bagian kaki raksasa Kīrthimukha yang menakutkan di atas
bangunan (bebaturan). Perwujudan ornamen lubang-lubang pintu gerbang kuil India dan
kedok wajah gajah ini juga cukup mudah Nepal. Relief semacam ini juga dapat
dikenali karena motifnya yang khas berupa ditemukan di berbagai kuil negara lain yang
wajah gajah yang bermata besar, bertelinga mendapat pengaruh budaya Hindu dan
lebar, berbelalai, bergading, dan berambut Buddha dari India. Pada gerbang kuil-kuil di
ikal lebat (cf. Proyek Peningkatan Penelitian Indonesia, relief semacam ini dinamai relief
Arkeologi Jakarta, 2001: 67). Karang hasti kala-makara (Jawa Tengah), banaspati (Jawa
juga digambarkan sebagai kepala gajah Timur), dan karang bhoma (Bali). Ornamen-
dengan mulut menganga, dilengkapi hiasan ornamen kīrthimukha versi Indonesia ini
kepala sederhana, serta ada kalanya sesungguhnya memiliki motif yang sama,
dipahatkan menyatu dengan ukiran-ukiran meskipun ketiganya memiliki sebutan yang
lain semacam pepatran. berbeda-beda. Penamaannya yang berbeda-
beda tersebut sangat terkait dengan adanya
perbedaan mitologi yang melatarbelakangi
keberadaannya. Para sarjana menafsirkan
bahwa mitologi wajah raksasa Kīrthimukha
tidak begitu dikenal di Indonesia. Cerita
tentang kepala raksasa Kīrthimukha pada
masa dahulu diperkirakan tidak sepopular
cerita-cerita lainnya, seperti (1) mitologi
kepala raksasa Kala Rahu, sebagai pemakan
bulan dan matahari di Jawa Tengah, (2)
mitologi kepala raksasa Banaspati, sebagai
Gambar 12. Karang Hasti penjaga hutan di Jawa Timur, serta (3)
sumber: survey, 2010 mitologi kepala raksasa Bhoma, sebagai
putera Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi di Bali.
Dialog antarkonsep Selain berupa karang bhoma, di Bali
Bagian ini membahas tentang dua hal masih terdapat beberapa bentuk ornamen
yang berkenaan tentang konsep ornamen bermotif kedok wajah raksasa lainnya seperti
bermotif kedok wajah, yaitu (1) keterkaitan karang sae, karang bentolu, dan karang tapel.
8
Karang bhoma merupakan ornamen sakral gunung. Dalam seni bangunan tradisional
yang dipahatkan di atas lubang pintu gerbang Bali, pahatan ornamen karang manuk
utama (kori agung) bangunan pura dan lazimnya ditempatkan di bagian-bagian
beberapa bangunan lainnya di Bali. Karang bangunan yang menggambarkan alam
sae, karang bentolu, dan karang tapel juga atas, seperti di atas karang hasti pada
bermotif kedok wajah, akan tetapi ketiganya bagian kaki bangunan (bebaturan).
tidak disakralkan dan tidak ditempatkan di Bangsa burung yang bersayap memiliki
atas lubang pintu masuk gerbang utama (kori wilayah jelajah hingga ke badan gunung
agung) bangunan pura. Berdasarkan bentuk dan langit, sedangkan gajah sebagai
dasar keempat ornamen tradisional Bali ini hewan darat hanya mampu menjelajahi
dapat disebutkan sebagai ornamen hamparan daratan alam bawah (cf.
pengembangan dari bentuk ornamen kedok Gelebet, dkk., 2002: 360).
wajah kīrthimukha India. Akan tetapi hanya Karang manuk dapat pula ditemukan
karang bhoma yang memiliki kesetaraan terpahat di bagian-bagian atas bangunan,
tingkat kesakralan dengan ornamen seperti pada puncak atap (raab).
kīrthimukha versi India. Gambaran ini sangat sejalan dengan
konsep penggambaran sorga sebagai alam
b. Kaitan antara bentuk ornamen kedok muka penuh kedamaian yang dibayangkan
tradisional Bali dengan posisi penempatannya berada di puncak gunung. Dalam konsep-
pada bangunan berlanggam Bali. konsep seni rupa dan budaya Indonesia
Dalam seni arsitektur tradisional Bali pra-Islam, burung merupakan salah satu
juga dikenal adanya bentuk ornamen kedok komponen yang banyak digunakan untuk
wajah lainnya yang berbentuk dasar wajah menggambarkan alam sorga. Beberapa
hewan, seperti karang hasti (ukiran motif contoh yang dapat diketengahkan tentang
wajah gajah) dan karang manuk (ukiran motif konsep-konsep burung di alam sorga
wajah burung). Kedua ornamen ini adalah konsep burung cendrawasih
selayaknya karang bhoma dan ornamen- sebagai burung penuntun jalan ke sorga
ornamen kedok wajah lainnya ditempatkan (Bali: manuk dewata) serta konsep kinara
secara konsisten pada posisi-posisi tertentu dan kinari sebagai burung-burung
pada bangunan tradisional Bali. berkepala manusia yang menjaga pohon
(1) Karang hasti atau karang gajah sebagai suci Kalpavriksa di sorga.
simbolisasi keberadaan hewan gajah di
alam, ditempatkan di bagian terbawah
dasar bangunan. Gajah merupakan Karang
mamalia berkaki empat, hewan berbadan boma
Karang
besar, kokoh, dan kuat. Habitat alami manuk
gajah adalah daerah hamparan hutan di
kaki gunung. Karakter-karakter yang
seperti ini sangat sejalan dengan
penempatan karang hasti di bagian bawah Karang
dari kaki bangunan (bebaturan), sebagai tapel
figur-figur hewan kuat yang kokoh Karang
menyangga bangunan (cf. Gelebet, dkk., hasti

2002: 360).
(2) Karang manuk atau karang goak
merupakan simbolisasi satwa burung yang
Gambar 13. Posisi Ornamen pada Kori
hidup di alam. Karakter burung yang
Agung
mampu terbang, menyebabkan banyak sumber: analisis, 2012
jenis burung yang memiliki habitat hidup
di wilayah alam atas atau daerah badan
9
atau ruang suci sebuah arsitektur rumah
Tuhan di Bali.
(4) Ornamen-ornamen kedok wajah lainnya,
seperti karang sae, karang bentolu, dan
karang tapel merupakan pengembangan
lain dari kīrthimukha. Ornamen-ornamen
semacam ini di samping sebagai hiasan
bangunan suci, juga dapat dimaknai
sebagai elemen-elemen dekoratif pada
berbagai bagian bangunan berlanggam
Bali pada masa sekarang.
Konsep penempatan ornamen-ornamen
kedok wajah pada bangunan tradisional Bali
sangat berkaitan dengan konsep seni arsitektur
tradisional Bali yang menggambarkan
bangunan sebagai sebuah simbolisasi
Gambar 14. Pasangan Kinara- keberadaan gunung di alam nyata. Gunung
Kinari merupakan elemen alamiah di bumi yang
sumber: http://baltyra.com disucikan dan diyakini sebagai tempat
bersemayamnya berbagai energi positif,
(3) Karang bhoma selain merupakan kekuatan alam, dan roh-roh suci. Berbagai
simbolisasi wajah raksasa Bhoma, juga konsep tentang alam gunung dengan
dapat dimaknai sebagai gambaran hutan tingkatan-tingkatan dan ekosistemnya juga
di badan gunung yang merupakan salah dijadikan ilham bagi berbagai perwujudan
satu sumber kehidupan bagi berbagai arsitektur tradisional Bali. Selain dari pada
makhluk hidup. Hutan yang terletak di itu, gunung juga memiliki beberapa tingkatan
daerah badan gunung juga berfungsi alam dengan masing-masing karakteristik
menjaga stabilitas ekosistem alam dan ekosistemnya sebagai habitat hidup bagi
penyimpan cadangan air bersih di bumi. berbagai jenis makhluk.
Hutan juga mencegah longsornya tanah
gunung yang dapat membahayakan SIMPULAN
kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Simpulan yang diperoleh dari hasil kajian
Gambaran seperti ini juga sejalan dengan ini dapat disebutkan sebagai berikut.
konsep wajah raksasa Kīrthimukha yang a. Ornamen karang bhoma, karang sae,
ditugaskan untuk menjaga pintu kuil karang bentolu, dan karang tapel
Dewa Siwa. Para dewata dan jiwa-jiwa merupakan ornamen-ornamen kedok
suci leluhur dalam konsep vernakular wajah yang dikenal dalam seni arsitektur
klasik Indonesia digambarkan tradisional Bali. Ornamen ini merupakan
bersemayam di puncak gunung-gunung bentuk pengembangan dari ornamen
suci di alam. Gunung-gunung semacam kīrthimukha yang popular dalam seni
ini senantiasa terjaga kesakralannya oleh arsitektur kuil India.
adanya hutan lebat sebagai wilayah b. Ornamen karang bhoma merupakan
proteksi dan “tembok pembatas” yang ornamen kedok wajah raksasa yang
memisahkannya dengan alam hidup disakralkan dalam seni arsitektur
manusia yang sekular dan profan. Uraian tradisional Bali. Ornamen ini hanya dapat
analogis ini mempermudah pemahaman ditemukan terpahat pada gerbang suatu
tentang penempatan karang bhoma yang area atau bangunan yang disakralkan di
berada di badan bangunan, di atas lubang Bali.
pintu masuk gerbang menuju area suci c. Konsep penempatan ornamen-ornamen
kedok wajah pada perwujudan bangunan-
10
bangunan tradisional di Bali adalah Indian Art and Civilization. Princetown
mengikuti konsep yang menganalogikan University Press, Princetown, NJ.
bangunan tradisional Bali sebagai
simbolisasi eksistensi gunung di bumi
dengan segala macam spesies yang
menghuninya.

DAFTAR PUSTAKA

Feller, Daniell. 2004. The Sanskrit Epic's


Representation of Vedic Myths. Motilal
Banarsidass Publ., Delhi.

Gelebet, I Nyoman, dkk. 2002. Arsitektur


Tradisional Daerah Bali. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan
pariwisata Deputi Bidang Pelestarian
dan Pengembangan Budaya Bagian
Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan
Sejarah dan Tradisi Bali, Denpasar.

Hobart, Angela. 2003. Healing Performances


of Bali: Between Darkness and Light.
Berghahn Books, Oxford.
Jones, Lindsay. 2000. The Hermeneutics of
Sacred Architecture: Hermeneutical
calisthenics : a morphology of ritual-
architectural priorities. Singapore:
Harvard University Press.

Kramrisch, Stella. 1976. The Hindu Temple,


volume II. Montilal Banarsidass, Delhi.

Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi


Jakarta. 2001. Peningkatan Apresiasi
Masyarakat terhadap Nilai-nilai Sumber
Daya Arkeologi, Bedugul, 14-17 Juli,
2000: Proceedings EHPA. Jakarta:
Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi
Jakarta.

Titib, I Made. 1983. Arti dan Fungsi Bhoma


pada Kori Agung di Bali. Institut Hindu
Dharma, Denpasar.

Tonjaya, I Nyoman Gede Bandesa K. 1982.


Lintasan Asta Kosali. Nyoka Ria, Denpasar.

Zimmer, Heinrich Robert dan Campbell,


Joseph. 1992. Myths and Symbols in
11

Anda mungkin juga menyukai