Anda di halaman 1dari 17

EKSISTENSI KONSEPSI SUMERU PADA KARYA-KARYA SENI KLASIK

DI ASIA TENGGARA

I Nyoman Widya Paramadhyaksa

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, 80361, Indonesia

E-mail: mahadhyaksa@yahoo.com

Abstrak

Artikel ini membahas mengenai eksistensi konsepsi Sumeru sebagai suatu latar konseptual utama bagi berbagai wujud
karya seni klasik di wilayah Asia Tenggara. Dipilihnya wilayah Asia Tenggara sebagai wilayah kajian adalah
berdasarkan pertimbangan bahwa di wilayah ini banyak ditemukan adanya wujud pengaruh budaya India yang telah
berasimilasi sedemikian rupa dengan kultur lokal. Wujud asimilasi budaya semacam itu sangat banyak dijumpai pada
berbagai wujud karya seni klasik di daerah ini.
Metode kajian yang digunakan adalah metode hermenetik dengan paradigma rasionalistik. Karya-karya seni klasik yang
dijadikan objek kajian ini adalah karya-karya seni klasik yang paling banyak mengadopsi filsafat India, yaitu seni tata
kota, seni bangunan kuil, seni busana raja, seni busana penari, dan seni arca. Negara-negara asal karya seni dipilih
berdasarkan pertimbangan kuatnya latar belakang sejarah perkembangan agama Hindu-Buddha pada masa lalunya,
yaitu di Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Indonesia.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsepsi Sumeru sebagai kutub protagonis dari gunung kosmik Meru
merupakan salah satu sumber inspirasi utama bagi terciptanya berbagai wujud karya seni klasik di wilayah Asia
Tenggara.

Kata kunci: Asia Tenggara, karya seni klasik, kosmologi, konsepsi Sumeru.

PENDAHULUAN

Asia Tenggara dalam berbagai literatur disebutkan sebagai suatu wilayah khusus yang banyak mendapat
pengaruh budaya dari dua peradaban besar di Asia pada masa lalu, yaitu India dan Cina. Karakter daratan
Asia Tenggara yang subur, juga banyak memberi inspirasi positif bagi masyarakatnya dalam menghasilkan
berbagai karya seni yang kaya dengan muatan nilai-nilai kearifan lokal. Berdasarkan telaah pustaka, dapat
dipaparkan bahwa ada banyak karya seni klasik Asia Tenggara yang bernapaskan konsepsi Hindu dan
Buddha yang berakar kultur India. Wujud eja wantah konsepsi-konsepsi berlatar kultur India tersebut relatif
lebih mudah terlacak dalam karya-karya seni klasik lokal Asia Tenggara, semacam seni tata kota, seni
arsitektur, seni arca, dan seni pertunjukannya. Masa klasik yang dimaksud dalam tulisan ini berkenaan
dengan masa perkembangan dan kejayaan budaya bercorak Hindu dan Buddha di wilayah ini pada masa lalu.

Sebuah konsepsi India klasik yang berperan penting dalam wujud-wujud budaya bercorak Hindu dan Buddha
di Asia Tenggara adalah konsepsi Sumeru. Konsepsi ini menjelaskan tentang keberadaan satu kutub
protagonis dari gunung kosmik penyangga alam semesta yang bernama Meru. Konsepsi ini sesungguhnya
merupakan penggalan dari konsepsi pasangan Sumeru-Kumeru yang merupakan dua kutub oposisi biner
gunung Meru dalam kosmologi Hindu dan Buddha. Konsepsi Sumeru relatif kurang dikenal di Indonesia
dibandingkan dengan konsepsi tentang keberadaan gunung Meru sendiri yang begitu popular dan banyak
diacu sebagai konsepsi fundamental utama. Meskipun demikian adanya, sesungguhnya esensi konsepsi
Sumeru juga banyak menjiwai akar budaya di India dan negeri-negeri yang mendapat pengaruh ekspansi
budayanya. Konsepsi Sumeru juga telah menyebar dan banyak memberi ilham bagi karya-karya seni klasik
di negara-negara yang berada di bagian tenggara dari benua Asia itu sejak masa lalu.

1
Tulisan ringkas ini membahas mengenai wujud penerapan konsepsi Sumeru dalam karya-karya seni klasik di
Asia Tenggara. Dipilihnya konsepsi Sumeru sebagai konsep utama kajian ini adalah berdasarkan
pertimbangan bahwa konsep tersebut merupakan sebuah konsepsi yang kurang popular namun sesungguhnya
memiliki nilai fundamental yang kuat dalam pandangan Hindu dan Buddha. Kajian yang mengulas tentang
konsepsi ini pun relatif tidak sebanyak tulisan-tulisan yang membahas esensi dan penerapan konsepsi Meru.
Pada bagian berikutnya dilakukan tinjauan terhadap wujud terapan konsepsi Sumeru dalam karya-karya seni
klasik di Asia Tenggara yang lahir pada masa perkembangan dan kejayaan budaya Hindu dan Buddha. Ada
empat jenis objek cabang seni yang dijadikan sebagai objek kajian, yaitu objek berupa karya seni tata kota,
karya seni arsitektur, karya seni arca, dan karya seni pertunjukan. Keempatnya merupakan cabang-cabang
seni yang paling popular yang diyakini mampu merepresentasikan gambaran kehidupan seni secara
keseluruhan pada masa-masa tersebut. Terpilihnya Asia Tenggara sebagai wilayah kajian, berdasarkan
pertimbangan bahwa pada masa lalunya, daerah ini merupakan wilayah yang banyak mendapat pengaruh
budaya-budaya India, seperti agama, filsafat, tata pemerintahan, sistem sosial kemasyarakatan, dan tata
kehidupan seninya.

METODOLOGI

Artikel ini merupakan ringkasan dari hasil kajian secara desk study yang menggunakan paradigma penelitian
rasionalistik dengan penalaran deduktif. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode hermenetik yang
pada dasarnya menekankan kajian pada penafsiran makna yang termuat dalam karya-karya seni atau pustaka-
pustaka sastra klasik. Dalam proses menafsirkan makna objek seni ini, peneliti pada umumnya akan
menggunakan beberapa macam pendekatan untuk memperoleh tafsiran-tafsiran makna dari berbagai sudut
pandang. Hasil penafsiran tersebut selanjutnya disintesisasi untuk menghasilkan temuan akhir tentang
tafsiran makna terdekat yang termuat pada objek-objek seni. Teknik pengumpulan data yang diterapkan
dalam kajian ini lebih banyak menerapkan telaah pustaka, serta kajian terhadap perwujudan objek-objek
karya seni klasik di Asia Tenggara.

Konsepsi utama yang dijadikan sebagai grand concept dalam kajian ini adalah konsepsi Sumeru. Objek yang
dijadikan sebagai materi penelitian ini adalah berupa berbagai wujud karya seni klasik di Asia Tenggara,
seperti seni tata kota, seni arsitektur kuil, seni pahat, dan wujud beberapa atribut dalam tradisi seni
pertunjukan tradisionalnya. Mengingat banyaknya objek dan luasnya wilayah kajian, maka dalam tulisan ini
hanya akan diulas secara lebih mendalam karya seni klasik di empat negara yang paling banyak mendapat
pengaruh budaya Hindu dan Buddha di Asia Tenggara, yaitu Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Indonesia.
Wujud-wujud karya seni yang dipilih seluruhnya merupakan karya seni berwujud benda. Secara garis besar
karya-karya yang dijadikan materi kajian tersebut dapat diklasifikasikan sebagai karya seni yang bersifat
makro, seperti tata kota; karya seni berskala messo, seperti tata seni arsitektur; dan karya seni berskala
mikro, seperti seni patung dan seni busana. Objek-objek karya seni yang dicermati dipilih secara purposive
berdasarkan pertimbangan karakteristiknya yang mampu mewakili gambaran kehidupan seni pada masanya
di wilayah itu. Karya-karya seni yang terpilih juga ditetapkan berdasarkan pertimbangan ketersediaan
literatur yang mengulas tentang objek tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kosmogoni Hindu-Buddha

Kosmogoni adalah pengetahuan yang mengulas tentang proses terciptanya alam semesta beserta segala
isinya. Dalam pandangan Hinduisme, alam semesta digambarkan tercipta dari satu titik awal yang kemudian
menyebar seimbang ke empat arah utama yang berbeda, yaitu ke arah utara, timur, selatan, dan barat.
Keempat arah tersebut selanjutnya dikenal menjadi empat arah suci yang menjadi acuan arah kosmologis dan
ritual dalam tatanan budaya-budaya yang bercorak Hindu dan Buddha di dunia. Gambaran peristiwa
kosmogoni semacam ini selanjutnya melahirkan gambaran wujud figur Brahma sebagai dewa pencipta alam
semesta yang dirupakan sebagai sesosok dewa dengan empat wajahnya menghadap ke empat arah suci

2
tersebut (Kenoyer dan Heuston, 2005: 93). Dalam konteks ini Dewa Brahma pun mendapat julukan sebagai
Caturmukha (‘berwajah empat’)(Chari, 2005: 256).

Eksistensi Dewa Brahma sebagai manifestasi Tuhan pada saat menciptakan jagat raya ini, makin diperkuat
dengan penempatan sosok Brahma sebagai sosok dewa sentral yang dikelilingi delapan dewa penjaga arah
mata angin. Formasi semacam ini terdapat dalam konsepsi dewa-dewa Asta Dik Pala yang dikenal di India
dan negara-negara yang mendapat pengaruh kulturnya. Pada posisinya seperti ini, sosok Brahma dapat
disetarakan pula dengan gunung Meru sebagai gunung utama kosmik yang pada konteks tertentu juga
digambarkan dikitari oleh dewa-dewa Asta Dik Pala (Veṭṭaṃmāṇi, 1975: 62). Dalam konsepsi Sapta Loka-
Sapta Patala yang mengulas tentang empatbelas tingkatan alam semesta, Brahma dan pasangannya,
Saraswati, juga mendapat penghormatan tersendiri dibanding sosok-sosok dewa-dewi lainnya. Pasangan
dewa pencipta dan dewi ilmu pengetahuan serta seni ini digambarkan bersemayam pada tingkatan alam
tertinggi di jagat raya, yaitu pada tingkatan alam Satya Loka (Bahadur, 1995: 20)

2. Kosmologi Hindu-Buddha

Kosmologi adalah pengetahuan tentang tatanan proses berlangsungnya segala siklus di alam semesta. Dalam
pandangan Hinduisme dan Buddhisme, alam semesta digambarkan terdiri dari beberapa tingkatan alam yang
dihuni oleh berbagai jenis makhluk dalam beberapa tingkatan kehidupan. Secara umum, tingkatan-tingkatan
alam semesta tersebut terklarifikasikan atas tiga tingkatan alam utama, yaitu (1) tingkatan alam bawah
(pātāla) yang dihuni oleh para rakshasa, danawa, daitya, serta kaum nāga, (2) tingkatan alam tengah (dunia)
yang dihuni oleh umat manusia, binatang, serta tetumbuhan, dan (3) tingkatan alam alam atas (loka) sebagai
tempat bersemayamnya para dewata, roh-roh suci, dan makhluk-makhluk setengah dewa lainnya.

Dalam konsepsi Sapta Loka-Sapta Patala, tingkatan-tingkatan alam semesta tersebut digambarkan terdiri
atas tujuh tingkatan alam bawah (Sapta Patala) yang terdiri dari Patāla, Rasātala, Mahātala, Talātala,
Sutala, Vitala, dan Atala, serta tujuh tingkatan alam atas (Sapta Loka) yang terdiri dari Bhur Loka, Bhuvar
Loka, Svar Loka, Maha Loka, Jana Loka, Tapa Loka, dan Satya Loka (Garg, 1992: 446). Alam manusia
disebutkan berada pada tingkatan alam atas terendah, yaitu Bhur Loka. Adapun kerajaan sorga digambarkan
berada di tingkatan Svar Loka.

3. Gunung Meru dan puncak Sumeru-Kumeru

Dalam pandangan Hinduisme dan Buddhisme, keempatbelas tingkatan alam semesta tersebut diilustrasikan
terhubung oleh sebuah pilar utama yang suci, tinggi, dan kokoh. Pilar penopang alam semesta ini dalam
banyak pustaka disebut sebagai axis mundi yang berwujud sebuah gunung mahasuci kosmik yang bertingkat-
tingkat, bernama Meru. Gunung Meru berada di posisi sentral yang dikelilingi oleh tujuh lingkar benua dan
tujuh lingkar samudera (Beér, 2004: 368). Selayaknya gambaran sosok Brahma, gunung kosmik ini pun
digambarkan memiliki empat wajah yang masing-masing menghadap ke empat arah utama, yaitu utara,
timur, selatan, dan barat.

Gunung ini juga diyakini memiliki dua buah puncak di kedua kutubnya yang bersifat saling bertolak
belakang. Puncak pertama Meru yang berkarakter antagonis dinamai Kumeru. Puncak ini berada di kutub
selatan gunung yang merupakan daerah pusat hunian para asura, rakshasa, danawa, dan daitya sebagai
kelompok oposisi dari para dewata (sura). Dalam banyak literatur, Kumeru disepadankan dengan alam
neraka, hunian para setan dan tempat penyiksaan roh-roh berdosa di alam semesta. Puncak kedua Meru yang
bersifat protagonis, dikenal dengan nama Sumeru. Puncak ini berada di kutub utara gunung dan disebut-
sebut sebagai lokasi kerajaan sorga yang diperintah oleh satu sosok raja para dewata, yaitu Indra, bersama 32
tokoh dewa bawahannya (Linrothe, 1999: 179). Sumeru merupakan daerah yang suci dan penuh
kebahagiaan. Kutub kedua gunung Meru ini juga digambarkan sebagai tempat bersemayamnya roh-roh suci
alam semesta yang berkarakter protagonis dan berhaluan kanan (O'Flaherty, 1980: 81).

4. Kesetaraan antara makro kosmos dan mikro kosmos


3
Konsepsi kesetaraan antara makro kosmos dan mikro kosmos merupakan salah satu konsepsi fundamental
yang paling popular dalam pandangan Hinduisme dan Buddhisme. Konsepsi ini dikenal dengan berbagai
sebutan dalam tatanan budaya berbagai bangsa, seperti Brahmāṇḍa-Kṣūdra brahmāṇḍa (India),
Hongguanshijie-Weiguanshijie (Cina), Dai uchuu-Syou uchuu (Jepang), dan Bhuwana Agung-Bhuwana Alit
(Bali). Konsepsi ini pada dasarnya memaparkan bahwa alam semesta atau dunia sebagai makro kosmos
diyakini memiliki karakter dan elemen-elemen pembentuk yang setara dengan apa yang terdapat pada tubuh
manusia sebagai mikro kosmosnya.

Dalam tabel di bawah ini dapat dilihat tafsir kesetaraan makna konseptual antarelemen yang terdapat pada
tingkatan makro kosmos (jagat raya) dan mikro kosmos (tubuh manusia). Ada empat konsepsi pokok yang
dijadikan sebagai pedoman komparasi, yaitu (1) konsepsi gunung Meru, (2) puncak kutub Sumeru-Kumeru,
(3) konsepsi Sapta Loka-Sapta Patala, dan (4) konsepsi lima elemen pembentuk alam semesta (India: Panca
Bhuta).

Konsepsi Pada makro kosmos Pada mikro kosmos


Gunung Meru Gunung-gunung suci di dunia Sumbu tubuh/tulang punggung
Puncak Sumeru Puncak gunung tertinggi Ubun-ubun
Puncak Kumeru Dasar terdalam bumi Kedua telapak kaki
Sapta Loka Lapisan-lapisan bumi di atas permukaan tanah Tingkatan-tingkatan badan atas tubuh
Sapta Patala Lapisan-lapisan tanah dan perut bumi Tingkatan-tingkatan bagian kaki
Panca Bhuta Lima elemen penyusun bumi Lima elemen tubuh manusia
a. Pertiwi a. Tanah, batu a. Tulang, otot
b. Apah b. Air b. Darah, cairan tubuh
c. Teja c. Panas, magma c. Suhu badan
d. Bayu d. Udara, angin, gas alam d. Udara, gas dalam tubuh
e. Akasa e. Ruang abstrak alam e. Jiwa

Tabel 1. Kesetaraan Konseptual antara Makro Kosmos dan Mikro Kosmos


(sumber: kajian dari berbagai literatur, 2012)

Adapun lingkungan binaan manusia, wilayah kota, desa, maupun berbagai karya arsitektur hunian manusia
lainnya dapat dimaknai sebagai alam menengah atau messo kosmos. Tingkatan alam ini memiliki strata yang
berada di posisi antara alam besar atau makro kosmos (jagat raya) dan alam kecil atau mikro kosmos (tubuh
manusia). Karya arsitektur dibangun di dalam wadah alam raya serta difungsikan untuk mewadahi kegiatan
umat manusia. Pandangan ini menyebabkan setiap karya arsitektur seyogyanya juga ditata dan dirancang
dengan prinsip hubungan harmonis dan memiliki makna serta elemen-elemen pembentuk yang setara dengan
segala yang terdapat dalam tataran makro kosmos dan mikro kosmos.

WUJUD-WUJUD KARYA SENI KLASIK ASIA TENGGARA

Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang gambaran empat wujud karya seni klasik berwujud benda di Asia
Tenggara, yaitu seni tata kota kuno, seni bangunan kuil, seni arca, dan atribut seni pertunjukkannya.

1. Seni tata kota kuno

a. Kota Bangkok, Thailand

Kota Bangkok yang pada masa sekarang dikenal sebagai ibu kota Thailand merupakan salah satu kota di
Asia Tenggara yang banyak menerapkan konsepsi dan pola penataan seperti layaknya tata kota kerajaan
sorga di puncak Sumeru. Kota dengan banyak bangunan kuil ini memiliki nama asli dalam bahasa Thai yang
sangat panjang, yaitu “Krung Thep Mahanakhon Amon Rattanakosin Mahinthara Ayuthaya Mahadilok Phop
Noppharat Ratchathani Burirom Udomratchaniwet Mahasathan Amon Piman Awatan Sathit Sakkathattiya
4
Witsanukam Prasit”. Nama tersebut apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, menjadi ‘The city of
angels, the great city, the eternal jewel city, the impregnable city of God Indra, the grand capital of the
world endowed with nine precious gems, the happy city, abounding in an enormous Royal Palace that
resembles the heavenly abode where reigns the reincarnated god, a city given by Indra and built by
Vishnukarma’ (Dixon, 2009: 7). Nama panjang kota Bangkok tersebut benar-benar mampu menyiratkan
konsepsi apa yang teraplikasikan dalam penataan kota kuno ini. Nama panjangnya ini pula yang
menyebabkan Bangkok dijuluki pula sebagai kota dengan nama terpanjang di dunia. Meskipun demikian
adanya, masyarakat Thailand pada umumnya hanya akan menyebut nama ibu kotanya itu secara singkat
sebagai Krung Thep Mahanakhon atau Krung Thep saja.

Dalam area pusat kota Bangkok berdiri megah sebuah kompleks istana raja yang digambarkan sebagai
cerminan dari istana sorga milik dewa Indra sebagai raja para dewa yang bersemayam di puncak Sumeru
(Griswold, 1958: 13). Di daerah pusat kota ini juga terdapat kuil Wat Suthat yang mengikuti nama kota
Suthatsa Nakhon sebagai sebutan kota sorga di puncak gunung Meru itu dalam bahasa Thai. Gambaran
tentang keberadaan kuil di pusat kota Bangkok ini sekaligus mempertegas pemahaman tentang adanya
kesetaraan konseptual antara penataan ibu kota negeri Thailand tersebut dengan gambaran ibu kota kerajaan
sorga yang berada di puncak Sumeru.

b. Angkor Wat, Kamboja

Angkor Wat merupakan salah satu tinggalan kota kuno yang paling terkenal di dunia. Ada dugaan, bangunan
ini sesungguhnya merupakan sebuah kota tertata lengkap yang lambat laun difungsikan sebagai bangunan
kuil (Osborne, 2001: 29). Bangunan indah di kota Angkor ini dibangun oleh Raja Suryavarman II pada awal
abad 12 Masehi, dengan berlandaskan konsepsi-konsepsi Hindu untuk memuliaan dewa Wisnu (Corfield,
2009: 8). Dalam perkembangan selanjutnya, diduga kuil kota ini lebih banyak dimanfaatkan untuk kegiatan-
kegiatan yang bercorak Buddhis. Perwujudan Angkor Wat dapat digambarkan sebagai sebuah karya seni
arsitektur yang mengkombinasikan gaya bangunan suci India Selatan yang menggambarkan kuil sebagai
representasi gunung, dengan gaya bangunan lokal bangsa Khmer penghuni wilayah Kamboja. Kuil-kota ini
dirancang sedemikian rupa sebagai representasi dari gunung kosmik mahasuci alam semesta, Meru, sebagai
tempat bersemayam bagi para dewata. Wujud arsitektur Angkor Wat juga banyak memuat relief dan arca
yang menggambarkan mitologi Hindu terpopular sepanjang masa, yaitu peristiwa pemutaran gunung
Mandara oleh para dewata dan asura dalam upaya mereka mengaduk lautan susu (Kśīrārṇava).

Nama Angkor Wat yang berasal dari bahasa Khmer itu dapat diterjemahkan sebagai ‘kuil kota’. Kata angkor
berasal dari istilah rakyat lokal, nokor, yang merupakan bentuk adaptasi dari kata nagar dari bahasa
Sanskerta yang berarti ‘kota’ (Groslier, 2006: 175). Kata Wat merupakan bentuk terjemahan dari kata vatthu
dalam bahasa Pali yang berarti ‘landasan-landasan kuil’. Pada masa lalunya, kuil ini juga pernah mendapat
sebutan sebagai Preah Pisnulok (Harris, 2008: 35). Sebutan itu dapat disepadankan artinya dengan istilah
Sanskerta Vara Vishnuloka yang berarti ‘istana Wisnu yang indah’.

c. Kota Srikshetra, Myanmar

Dalam sejarah Myanmar disebutkan tentang keberadaan kota kuno Srikshetra (Old Prome) yang berlokasi di
tepian sungai Irrawaddy sebagai ibu kota kerajaan Pyu pada masa lalu. Kota ini konon dibangun oleh para
dewa yang dipimpin langsung oleh Indra, dengan konsep meniru gambaran kota Sudarsana (sorga) yang
berada di puncak gunung Meru. Dalam konsepnya, kota Srikshetra semula direncanakan memiliki 32 buah
gerbang utama kota dengan sebuah istana emas di pusat kotanya. Sayangnya, berdasarkan data sisa
peninggalan kota itu, gagasan awal konsep kota itu agaknya belum berhasil diwujudkan sepenuhnya. Tata
pemerintahan kerajaan Pyu juga diperkirakan menerapkan konsep tata pemerintahan kerajaan Indra di sorga
itu. Dalam sejarah disebutkan pula bahwa Pyu terdiri dari 32 buah provinsi bawahan dengan satu buah
provinsi utama sebagai ibu kota kerajaan yang berada di area pusat (Snodgrass, 1985: 76).

5
Kota lain di Myanmar yang layak untuk dicermati adalah Mandalay. Kota ini dibangun oleh Raja Mindon
pada tahun 1857 Masehi. Area pusat kota ini dirancang khusus dengan dikelilingi tembok dan parit
membentuk petak segi empat yang masing-masing sisinya memiliki panjang lebih dari 1,6 kilometer. Istana
raja sendiri dibangun megah di area pusat kota. Hal khusus yang dapat dikemukakan tentang kota kuno ini
adalah berkenaan dengan adanya bangunan menara bertingkat tujuh di dekat bangunan utama tempat
singgasana raja. Menara ini ditafsirkan sebagai simbolisasi dari wujud gunung kosmik Meru yang bertingkat-
tingkat itu. Dalam area kota juga terdapat dua belas gerbang yang semuanya dihias dengan motif rasi bintang
dan zodiak. Gambaran ini diperkirakan memiliki relasi yang kuat dengan konsep kerajaan sorga di puncak
gunung Meru yang juga dikitari oleh bintang dan beraneka macam benda langit bercahaya (Heine-Geldern,
1956: 5-6)

d. Kota Trowulan, Indonesia

Trowulan adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Wilayah ini kaya dengan
tinggalan arkeologis kerajaan Majapahit yang menyebabkan area ini sangat diyakini sebagai daerah yang
pernah menjadi wilayah ibu kota kerajaan Majapahit pada masa kejayaannya. Berdasarkan catatan sejarah,
wilayah kota kuno ini pada mulanya hanya merupakan area hutan belantara yang berada dalam wilayah
kerajaan Kediri. Pada tahun 1293 seorang pangeran keturunan kerajaan Singasari yang bernama Raden
Wijaya mulai membuka wilayah tersebut dan selanjutnya menatanya menjadi sebuah kota kerajaan kecil
bernama Majapahit. Kerajaan kecil ini selanjutnya berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan besar dengan
armada perang yang tangguh dan memiliki wilayah bawahan yang luas membentang di kepulauan Nusantara
dan semenanjung Malaka. Sejarah Indonesia pun mencatat kerajaan ini sebagai kerajaan Hindu terbesar yang
pada masa kejayaannya juga dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh di kepulauan Nusantara.

Dalam seni tata kotanya, Trowulan memiliki pola ruang yang diperkirakan menerapkan modifikasi dari
konsepsi Asta Dik Pala atau konsepsi ‘delapan dewa penjaga arah mata angin’ (Munandar, 2008: 92-101).
Karakter geografis lahan asli kota Trowulan yang kurang sesuai dengan posisi ideal menurut konsepsi Asta
Dik Pala, diduga menjadi sebab utama adanya modifikasi semacam itu. Modifikasi penerapan konsep
tersebut diperkirakan dilakukan dengan memutar posisi asli kedelapan dewa penjaga arah tersebut sebesar 90
derajat searah putaran jarum jam dalam penerapannya di lapangan. Hasil pemutaran tersebut menyebabkan
posisi Dewa Īśāna yang menjaga arah timur laut berubah posisi menjadi arah tenggara, sedangkan posisi
Dewa Varuna sebagai penguasa arah barat menjadi berpindah posisi ke arah utara. Perpindahan posisi
tersebut juga berlaku pada keenam tokoh dewa yang menjaga enam arah lainnya.

Pemutaran arah ini diperkirakan dilakukan secara sengaja berdasarkan kondisi geografis Trowulan itu
sendiri. Posisi gunung yang ideal sesuai konsepsi Asta Dik Pala adalah di arah timur laut, tempat
bersemayamnya Dewa Īśāna. Gunung dalam konteks ini dimaknai sebagai tempat suci yang dalam
pandangan Hinduisme diyakini pula sebagai tempat bersemayamnya Dewa Siwa (Īśāna) bersama
pasangannya, Dewi Durga atau Dewi Giriputri (‘dewi putri gunung’). Pasangan dewa-dewi utama Hindu ini
digambarkan bersemayam di puncak sebuah gunung suci kosmik lainnya yang bernama Kailāsā. Dalam
kenyataannya di Trowulan, posisi Īśāna ditempatkan di arah tenggara sesuai posisi rangkaian gunung berapi
Anjasmoro, Welirang, Arjuno, dan Penanggungan yang berjarak 20-25 km dari Trowulan. Posisi Varuna
sebagai dewa laut yang bersemayam di arah barat dalam konsepsi Asta Dik Pala, diputar ke arah utara
Trowulan. Pemutaran ini sejalan dengan posisi Laut Jawa sebagai laut terdekat dari kota Trowulan yang
memang berada di daerah utara wilayah kota kuno ini (Munandar, 2008: 94-95). Prinsip pemutaran arah
kosmologis tradisional semacam ini sesungguhnya juga berlaku di pulau Bali. Komunitas Hindu Bali bagian
selatan dan bagian utara masing-masing menunjuk arah kaja (arah posisi gunung) ke arah utara dan selatan
sesuai posisi barisan pegunungan yang berada di daerah tengah pulau Bali. Penetapan arah semacam ini
menyebabkan posisi arah kelod (arah posisi laut) menjadi terputar sesuai kondisi eksisting wilayah.

Hipotesis tentang adanya pemutaran posisi dewa-dewa Asta Dik Pala di Trowulan ini juga diperkuat oleh
adanya kesesuaian konseptual antara fungsi serta posisi bangunan-bangunan tinggalan arkeologis di lapis

6
luar kota Trowulan dan tokoh dewa penjaga arah mata angin yang diacunya. Gambaran kesesuaian tersebut
dapat dilihat dalam bentuk tabel 2 di bawah ini.

Nama dan tugas dewa Posisi sebenarnya Posisi di Trowulan Objek atau bangunan yang ada
Kuvera Pelabuhan Hujung Galuh
Utara Timur
(dewa kekayaan dan kemakmuran) (pelabuhan perdagangan utama)
Īśāna (nama lain dewa Siwa) Rangkaian pegunungan berapi dan
Timur Laut Tenggara
(dewa tertinggi) Candi Tikus (pemandian suci kerajaan)
Indra Candi Kedaton
Timur Selatan
(raja para dewa) (diduga tempat istana kediaman resmi raja)
Agni
Tenggara Barat Daya -
(dewa api)
Yama
Selatan Barat -
(dewa maut)
Nirṛti Candi Brahu
Barat Daya Barat Laut
(dewa pelebur dan kemeranaan) (bangunan pembakaran jenazah raja)
Varuna
Barat Utara Laut Jawa
(dewa laut)
Vāyu
Barat Laut Timur Laut -
(dewa angin)

Tabel 2. Penerapan Asta Dik Pala di Trowulan (sumber: adaptasi dari Munandar, 2008: 92-101)

Adanya kesesuaian fungsi dan posisi bangunan peninggalan kota Trowulan tersebut, secara tidak langsung
juga mendukung hipotesis lainnya tentang posisi titik pusat kota Trowulan. Titik pusat konstelasi dewa-dewa
Asta Dik Pala juga dimaknai sebagai posisi gunung Meru sebagai pusat alam semesta dalam kosmologi
Hindu. Gunung kosmik yang memiliki puncak utama berupa sorga hunian para dewata ini diilustrasikan
terkitari oleh tujuh lingkaran samudera dan tujuh lingkaran benua. Gambaran ini sangat sesuai dengan
kenyataan adanya kolam utama kota yang sangat luas bernama Segaran (‘samudera’). Kolam ini juga secara
tepat mengambil posisi di titik yang dikitari bangunan-bangunan tinggalan arkeologis Trowulan yang
ditemukan di lapangan. Satu dugaan lain yang belum ditemukan bukti pembenarnya adalah berkenaan
dengan keberadaan sebuah bangunan serupa menara bertingkat-tingkat di tengah kolam Segaran yang dapat
diartikan sebagai simbolisasi eksistensi gunung mahasuci Meru itu sendiri (Munandar, 2008: 96).

e. Kota Cakranegara, Indonesia

Kota Cakranegara merupakan nama sebuah kota peninggalan peradaban kerajaan Hindu Karangsem, Bali di
Pulau Lombok. Kota ini dikenal sebagai ibu kota pemerintahan kerajaan Cakranegara yang merupakan
kerajaan bawahan Karangasem pada masa lalu. Ibu kota kerajaan ini dibangun pada tahun 1692 di atas lahan
kosong yang cukup luas oleh seorang raja Karangasem yang bernama I Gusti Anglurah Ketut Karangasem.
Cakranegara memiliki ciri khas yang sangat unik dibanding kota-kota tinggalan budaya Hindu pada masa
sebelumnya. Tata ruang yang teratur dan terpola rapi sempurna, menyebabkan kota ini dikenal juga sebagai
sebuah kota kuno berpola grid yang paling sempurna di Indonesia.

Pola utama yang berlaku di Cakranegara tidak berbeda jauh dengan pola yang diterapkan di pusat-pusat
wilayah kerajaan tradisional di Bali. Keberadaan pusat kota juga ditandai dengan adanya elemen pempatan
agung yang berwujud perempatan besar kota. Di titik pusat pempatan agung kota Cakranegara ini konon
dahulunya terdapat satu sosok patung Dewa Brahma berwajah empat yang sedang duduk memangku
potongan wajah kelimanya (wawancara dengan Lalu Mulyadi, 2011). Cakranegara juga dilengkapi dengan
adanya tiga buah Pura Kahyangan Desa yang berada pada posisi hulu, tengah, dan hilir wilayah desa.
Bangunan-bangunan Hinduistis lain yang terbangun dalam area pusat kota ini antara lain: (a) Pura Meru
yang diperkirakan berfungsi sebagai pura kerajaan, (b) puri sebagai kediaman penguasa wilayah, dan (c)
taman pemandian kerajaan yang bernama Taman Mayura. Suatu hal menarik di Cakranegara adalah
berkenaan dengan angka 33 yang ditetapkan sebagai jumlah seluruh petak persil bangunan (karang) dalam
area kota itu (Hadinoto, 1999: 24). Angka 33 juga ditetapkan sebagai jumlah pancuran air yang terdapat
dalam area pemandian Taman Mayura (wawancara dengan Lalu Mulyadi, 2011).
7
Gambaran kelima kota yang dibangun pada masa kejayaan peradaban Hindu di atas memberikan pemahaman
bahwa ada kecenderungan bahwa wilayah ibu kota kerajaan lama di negera-negara tersebut memang sengaja
ditata berdasarkan gambaran ilustrasi kerajaan sorga di puncak kutub Sumeru. Wilayah kerajaan dikelola
selayaknya kehidupan di kutub Sumeru yang protagonistik dengan sorga di puncaknya yang
direpresentasikan sebagai pusat ibu kota negeri dengan sebuah istana utama yang dihuni seorang raja.

2. Seni bangunan kuil

Bangunan kuil di negara-negara Asia Tenggara beragam karakter fisiknya. Di negara-negara Thailand,
Kamboja, dan Myanmar yang kaya warisan bangunan kuil Hindu dan Buddha, seni bangunan sucinya lebih
banyak didominasi seni kuil klasik India. Bahan bangunan, langgam, aksen ragam hias, dan landasan
konseptualnya banyak mengadopsi seni arsitektur mandir India. Kesan visual yang berbeda dirasakan pada
wujud bangunan kuil di Vietnam. Di negara yang berbatasan langsung dengan Cina ini, gaya bangunan
kuilnya lebih banyak terkesan kecinacinaan.

Di Indonesia, kuil peninggalan masa Hindu dan Buddha banyak ditemukan di pulau Sumatera, Jawa, dan
Bali. Di ketiga pulau ini, kuil-kuil tersebut dinamai dengan istilah lokal sebagai candi dan pura. Wujud candi
dan pura di Indonesia banyak memuat langgam campuran antara India, Cina, dan karakter seni arsitektur
lokalnya. Porsi campuran antara ketiganya sangat bervariasi tergantung latar belakang agama, masa
pendirian, dan lokasi bangunan candi yang bersangkutan. Meskipun demikian adanya, perwujudan kuil di
negara-negara Asia Tenggara, baik yang berlatar konsepsi Hindu, Buddha, maupun sinkretisasi Hindu-
Buddha, pada dasarnya tetap memiliki konsepsi fundamental yang tidak berbeda.

Bangunan-bangunan kuil dimaknai sebagai simbolisasi wujud alam semesta yang berperan sebagai ruang
suci tempat umat menyatukan pikiran dalam memuja Sang Esa. Setiap bagian dari bangunan kuil diyakini
pula memuat makna yang setara dengan tingkatan-tingkatan maupun elemen-elemen pengisi alam semesta.
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan adalah berkenaan dengan penerapan konsepsi Hinduistis Sapta
Loka-Sapta Patala dan konsepsi Tri Loka yang sama-sama dikenal dalam pandangan Hindu dan Buddha.
Konsepsi tentang adanya beberapa tingkatan alam semesta tersebut, pada bangunan kuil Hindu dan Buddha
di Asia Tenggara digambarkan sebagai wujud bangunan kuil dengan ragam hias yang menyimbolkan
berbagai karakter setiap tingkatan alam semesta beserta makhluk-makhluk penghuninya.

Pada bagian lainnya, konsepsi Tri Loka Hindu teraplikasikan dalam kuil Hindu sebagai tiga bagian vertikal
bangunan kuil. Ketiga bagian tersebut adalah bagian kaki atau dasar bangunan sebagai simbol alam bawah
(bhur loka), bagian badan bangunan sebagai simbol alam peralihan (bvar loka), dan bagian kepala atau atap
bangunan sebagai simbol alam atas (svar loka). Konsepsi Tri Loka Buddha diterapkan dalam kuil Buddhis
yang berwujud stupa sebagai tiga tingkatan bagian bangunan yang terdiri dari bagian kaki sebagai simbol
alam keinginan (kama loka), alam berwujud (rupa loka), dan alam tidak berwujud (arupa loka) (Fischer-
Schreiber, 1994: 86). Konsepsi Tri Loka dalam pandangan Hindu maupun Buddha pada dasarnya memuat
ajaran tentang pembagian jagat raya atas tiga tingkatan, yaitu alam manusia sebagai alam terbawah, alam
sorga para dewata sebagai alam atas, dan alam peralihan untuk para leluhur sebagai tingkatan alam yang
berada di antara keduanya (Rodrigues, 2006: 91).

Dalam beberapa pustaka tersirat pula, bahwa bangunan-bangunan kuil di Asia Tenggara cenderung hanya
menggambarkan alam atas (loka) pada alam semesta. Tingkatan-tingkatan loka itu pada umumnya
digambarkan sebagai wujud badan dan atap bangunan kuil yang terdiri dari beberapa tingkatan yang makin
mengecil ke atas. Pada bagian puncak bangunan lazimnya akan terpasang sebentuk ornamen utama yang
suci, mungil, dan berbentuk meruncing ke atas. Ornamen ini di beberapa negara dikenal dalam berbagai
istilah, antara lain kalasa (India), stupika atau ratna (Indonesia), xạỵmṇī (Thailand), dan sorin (Jepang).
Dalam konteks bahasan ini, tentunya dapat dengan mudah dipahami bahwa ornamen-ornamen di puncak
bangunan kuil-kuil Asia Tenggara itu pada intinya merupakan simbolisasi kutub protagonis Sumeru dari
gunung Meru.
8
Gambar 1. Bangunan Candi Hindu Gambar 2. Gambar 3.
Prambanan, Indonesia Stupa Buddha di Thailand Meru di Pura Kehen, Bali
(sumber: survey, 2008) (sumber: http://sukhothai.thaiwebsites.com) (sumber: survey, 2008)

Penerapan konsepsi gunung Meru yang diwujudkan secara penuh dan lengkap dengan dua kutub oposisi
biner Sumeru-Kumeru, dapat dilihat pada bangunan meru di Pura Kehen, Bangli, Bali yang memiliki (a)
dasar berbentuk bedawang nala sebagai simbol alam bawah (pātāla), magma di perut bumi, atau neraka di
kutub Kumeru, serta memiliki (b) atap bertingkat-tingkat yang berpuncak ornamen murdha sebagai simbol
lapisan-lapisan alam atas (loka) yang dipuncaki oleh sorga di kutub Sumeru (Paramadhyaksa, 2009: 99-101).

3. Seni pengarcaan dewata dan konsepsi Dewa Raja

Dalam sistem tata pemerintahan tradisional di Asia Tenggara dikenal adanya konsepsi Dewa Raja yang juga
berlatar kultur India klasik. Konsep ini pada intinya menjabarkan tentang eksistensi dan kedudukan sosok
raja maupun ratu di kerajaan-kerajaan klasik Asia Tenggara yang dihormati dan diposisikan selayaknya
inkarnasi satu tokoh dewa sorga di dunia (Peacock, 1970: 155). Titah seorang raja pada masa itu pun
dipatuhi selayaknya perintah langsung yang diturunkan oleh dewata dari sorga.

Dalam berbagai literatur disebutkan pula bahwa konsepsi Dewa Raja ini pada masa lalu merupakan sebuah
konsepsi utama yang diterapkan dalam sistem tata pemerintahan kerajaan-kerajaan tradisional di Asia
Tenggara, seperti di Myanmar, Kamboja, dan Thailand (Morley, 2001: 97). Bukti tinggalan tentang
penerapan konsepsi Dewa Raja di Indonesia lebih mudah terlacak. Berdasarkan temuan artifak arca dan
prasasti, dapat dipastikan bahwa beberapa sosok raja maupun ratu yang telah mangkat, lazimnya akan
diarcakan sebagai satu tokoh dewa yang dipuja dalam hidupnya (Soekmono, 2005: 28). Beberapa tokoh raja
dan ratu nusantara yang telah mangkat dan diarcakan sebagai tokoh dewa dapat dicermati pada tabel 3
berikut ini.

Nama raja/ratu Kerajaan asal Daerah Tokoh dewata yang diacu


Ratu Mahendratta Bedahulu Bali Dewi Durga
Raja Airlangga Kahuripan Jawa Timur Dewa Wisnu
Ratu Ken Dedes Singasari Jawa Timur Dewi Prajnaparamita
Raja Anusapati Singasari Jawa Timur Dewa Siwa
Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi Majapahit Jawa Timur Dewi Parwati

Tabel 3. Pengarcaan Raja dan Ratu sebagai Tokoh Dewata


(sumber: analisis dari berbagai sumber, 2012)

9
Gambar 4. Arca Tribhuwana Gambar 5. Gambar 6. Arca Durga
Wijayatunggadewi sebagai Detail Mahkota Arca Ken Dedes Mahisāsuramardhini di Candi
Dewi Parwati sebagai Dewi Prajnaparamita Prambanan
(sumber: http://wilwatiktamuseum.files. (sumber: http://upload.wikimedia.org) (sumber: survey, 2008)
wordpress.com)

Arca-arca "dewa-raja" atau "dewa-ratu" yang berhasil teridentifikasikan pada umumnya memiliki ciri-ciri
fisik dan atribut yang sama. Arca-arca tokoh penguasa dari zaman Majapahit, baik yang berkelamin laki-laki
maupun perempuan, pada umumnya mengambil sikap tegak kekaku-kakuan, mata terpejam bermeditasi, dan
telapak tangan sedang menggenggam kuncup lotus (Kartodirdjo, 1993: 249). Sikap tangan seperti ini
merupakan tanda khas yang menunjukkan bahwa sosok arca dewata yang dicermati merupakan sosok raja
telah mangkat yang diarcakan sebagai tokoh dewata. Pada bagian kepala tokoh arca dewa-raja pada
umumnya akan dilihat adanya hiasan kepala berbentuk dasar menyerupai krucut berpuncak tunggal bernama
kirita makuta (Munandar, 2008: 11) (lihat gambar 4 dan 5). Mahkota seperti ini juga dikenakan pada kepala
arca pemujaan kepada tokoh "dewa asli" (lihat gambar 6). Bentuk dasar mahkota berpuncak tunggal serupa
ini menyerupai bentuk mahkota yang dikenakan oleh tokoh-tokoh raja maupun dewata yang dikenal dalam
sendratari Ramayana dan Mahabharata di Jawa dan Bali hingga saat ini.

4. Mahkota raja dan penari

Seni pertunjukan klasik di Asia Tenggara beragam karakternya. Mulai dari seni pertunjukan tari lepas,
sendratari, drama, hingga pada seni pentas boneka. Di Indonesia seni pertunjukan semacam itu tumbuh subur
dan terlestarikan secara turun temurun terutama di daerah-daerah yang masih mempertahankan tradisi kultur
Hindu atau Buddha.

Mencermati warna-warni seni pertunjukan klasik Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, terdapat suatu hal
yang cukup menarik untuk ditelusuri. Hal menarik tersebut salah satunya berkenaan dengan adanya
kesamaan bentuk dasar dari mahkota-mahkota di kepala beberapa tokoh penari, pemain drama, hingga
sosok-sosok boneka dalam seni pertunjukan klasiknya. Cobalah perhatikan wujud mahkota para tokoh atau
boneka dalam seni pertunjukan di Indonesia berikut ini. Tokoh dan boneka yang terpampang pada gambar 8,
10, dan 11 di bawah ini memerankan sosok raja maupun dewata dalam seni pertunjukan klasik di Jawa.

10
Gambar 7. Chada atau mahkota penari Gambar 8. Mahkota penari tokoh Gambar 9. Mahkota gelung supit
Thailand raja urang untuk tokoh ksatria Arjuna
(sumber: (sumber: http://www.kemlu.go.id) (sumber: http://my.opera.com)
http://seebeautifulthailand.blogspot.com)

Bentuk dasar mahkota tersebut terlihat serupa dengan gambaran mahkota di kepala arca tokoh "dewa-raja"
dan "dewa-asli" pada gambar 4-6. Kenyataan ini tentunya dapat menjadi semacam bukti pendukung bagi
adanya argumentasi yang menyebutkan bahwa mahkota dengan bentuk semacam itu memang cenderung
hanya dikenakan oleh tokoh-tokoh raja, ratu, maupun dewata dalam tradisi kultur klasik di Indonesia. Bentuk
hiasan kepala berpuncak tunggal semacam itu juga dapat dijumpai dalam karya seni pertunjukan dan seni
patung klasik Thailand. Dalam bahasa Thai, mahkota tinggi runcing itu disebut sebagai chada yang sejatinya
diperuntukkan bagi raja dan ratu kerajaan Siam sebagai perlengkapan busana kebesarannya (lihat juga
Handley, 2006: 380). Dalam tradisi seni pertunjukan wayang kulit Jawa, mahkota berpuncak tunggal itu
dikenal dengan nama makuta, sedangkan dalam seni wayang kulit Bali, hiasan kepala semacam itu dinamai
sebagai pepudakan. Dalam seni pertunjukan wayang wong Sriwedari-Solo, hiasan mahkota semacam ini
dinamai sebagai tropong (Hersapandi, 1999: 50). Sementara dalam seni arca tradisional Bali, bentuk
mahkota semacam ini dikenal dengan nama cecandian (lihat gambar 12). Hiasan kepala bertipe cecandian
ini memang hanya diperuntukkan bagi arca atau patung tokoh dewa, dewi, maupun raja dan ratu (wawancara
dengan I Ketut Suweca, 2012).

11
Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12.
Wayang kulit Jawa tokoh raja Wayang kulit Jawa tokoh dewata Mahkota Patung tokoh dewata di Bali
(sumber: wayang.wordpress.com) (sumber: wayang.wordpress.com) (sumber: survey, 2012)

PEMBAHASAN

Makro kosmos (jagat raya) dan mikro kosmos (tubuh manusia) sesungguhnya merupakan dua tingkatan alam
yang berbeda dalam hal skala, kedudukan, dan fungsinya. Meskipun demikian, berbagai bangsa meyakini
bahwa keduanya tetap memiliki elemen-elemen yang bernilai setara dan memiliki kesamaan sifat. Dalam
konteks ini, area lingkungan hunian, area kota, dan bangunan yang berposisi sebagai "messo kosmos",
dimaknai pula sebagai alam tiruan jagat raya yang berperan mewadahi aktivitas hidup manusia. Sudah
selayaknya, "messo kosmos" pun ditata agar memiliki karakter yang setara dengan makro kosmos dan mikro
kosmos.

Adanya hubungan kesetaraan antara ketiga kosmos tersebut dalam pandangan Hindu juga makin diperkuat
dengan adanya konsepsi kosmologi klasik yang menggambarkan tentang wujud jagat raya sesungguhnya.
Segala hal yang berlaku dalam pandangan kosmologi Hindu klasik itu, diyakini pula akan dapat dijumpai
padanannya dalam segala tatanan kehidupan yang berlangsung di tataran messo kosmos dan mikro kosmos.
Pandangan semacam itu selanjutnya juga telah menjadi ilham bagi lahirnya berbagai wujud karya seni di
negara-negara yang banyak mendapat pengaruh kultur Hindu India, seperti Kamboja, Thailand, Myanmar,
dan Indonesia. Pada bagian berikut ini dijelaskan tentang adanya kesetaraan makna dari elemen-elemen yang
terdapat dalam berbagai wujud karya seni klasik di Asia Tenggara.

1. Keberadaan sebuah elemen pusat

Pada karya-karya seni tata kota dan bangunan kuil klasik di Asia Tenggara lazimnya terdapat sebentuk
elemen yang diposisikan sebagai elemen pusat atau titik sentral dari kota atau kuil tersebut. Elemen pusat ini
pada umumnya tertata sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah terlihat sebagai sebuah elemen yang
bernilai paling utama. Karakter khas dari elemen pusat ini dapat dicermati dalam beberapa aspeknya seperti
pada (1) keutamaan posisi, (2) dimensi, (3) kualitas material penyusunnya, (4) kualitas wujudnya, dan (5)
keberadaan elemen-elemen pengitar atau pendukungnya.

2. Objek inti dan tingkatan strata objek pengitarnya

12
Objek inti ini dikitari oleh elemen-elemen pendukung dengan tingkat kesucian maupun strata kedudukan
yang makin menurun dari area dengan lingkar radius terdekat hingga ke lingkar radius terjauh dari titik
pusat. Aplikasi dari konsep ini dapat dicermati pada tata kota klasik semacam kota Srikhestra di Myanmar,
Angkor Wat di Kamboja, dan Bangkok (Krung Thep) di Thailand. Titik pusat pada kota-kota ini pada
umumnya berupa istana atau bangunan kuil utama yang dikitari oleh elemen-elemen utama pengitar lainnya,
semacam benteng, rumah pejabat, maupun parit atau kolam yang lebar. Lingkungan permukiman rakyat
umum berada di lingkar radius terluar wilayah. Pada tata denah bangunan candi Borobudur, eksistensi
konsep ini lebih mudah terlihat. Stupa induk yang berada di pusat mandala candi dikitari oleh stupa-stupa
kecil, arca Buddha, dan relief-relief yang makin menurun tingkat kesuciannya hingga ke lingkar radius
terjauh dari stupa induk di titik pusat bangunan candi.

3. Objek inti dan objek-objek "penjaga"-nya

Kota Trowulan yang diyakini sebagai ibu kota kerajaan Majapahit, diduga memiliki titik pusat berupa kolam
Segaran. Kolam kerajaan ini selain secara dimensional memang sangat luas, juga diyakini sebagai
representasi dari konsep tujuh samudera (sāgara) yang mengitari gunung Meru, gunung mahasuci kosmik.
Kolam Segaran juga dikelilingi oleh beberapa bangunan utama yang diperkirakan sengaja dibangun sebagai
representasi dari keberadaan dewa-dewa penjaga arah mata angin yang dikenal dalam konsepsi Asta Dik
Pala. Konsep penempatan elemen pusat yang dijaga elemen-elemen yang merepresentasikan dewa-dewa
Asta Dik Pala ini menurut Munandar (2005), juga terterapkan pada tata tapak kompleks-kompleks puri di
Bali.

4. Objek inti dengan empat wajahnya

Dalam mitologi klasik Hindu, disebutkan bahwa alam semesta tercipta dari satu titik awal yang akhirnya
berkembang ke empat arah berbeda secara seimbang. Gambaran ini direpresentasikan sebagai sosok Brahma
sebagai dewa pencipta dan gunung Meru sebagai gunung utama kosmik yang sama-sama digambarkan
memiliki empat wajah serupa itu (lihat gambar 13). Konsep tentang keberadaan empat wajah serupa ini
sangat nyata terlihat pada perwujudan pusat kota Cakranegara maupun kota-kota di Bali yang berbentuk
pempatan agung. Pusat kota berbentuk pertemuan empat ruas jalan - dari utara, timur, selatan, dan barat -
yang saling bertemu di satu titik bernama pempatan agung.
Pada bangunan kuil maupun stupa, konsep empat wajah ini juga mudah dicermati. Sebagai representasi alam
semesta, bangunan-bangunan suci Asia Tenggara klasik pada umumnya juga dirancang memiliki empat
wajah serupa dengan empat pintu dan empat tangga masuk yang menghadap empat arah yang berbeda pula
(lihat gambar 14-15).

Gambar 13. Arca Brahma Gambar 14. Gambar 15.


Berwajah Empat di Thailand Denah Candi Borobudur, Indonesia Denah Kuil Takeo, Ankor, Kamboja
13
(sumber: dok.Kosohn, 2009) (sumber: analisis, 2012) (sumber: Snodgrass, 1985: 75)

5. Keberadaan sumbu utama

Selayaknya alam semesta yang digambarkan memiliki satu sumbu utama yang berwujud gunung Meru. Pada
wujud karya-karya seni klasik Asia Tenggara, posisi sumbu utama tersebut juga dapat ditelusuri
keberadaannya. Pada bangunan kuil Hindu maupun stupa Buddha, eksistensi sumbu utama tersebut
teraplikasikan sebagai adanya dua sumbu dasar bangunan, yaitu sumbu horizontal atau bagian dasar
bangunan sebagai simbol alam manusia di dataran bumi, dan sumbu vertikal atau bagian badan-atap
bangunan sebagai simbol alam dewata (Tuhan) di sorga (langit). Hubungan kedua garis dasar ini membentuk
makna simbolis bahwa bangunan suci merupakan tempat terjadinya hubungan harmonis antara manusia dan
Tuhan. Dalam pandangan Hinduisme, hubungan harmonis antara alam vertikal (Tuhan di alam atas sebagai
pihak pemberi) dan alam horizontal (manusia di alam bawah sebagai pihak penerimanya)(Paramadhyaksa,
2009: 62).

Dalam konsep tata kota, garis sumbu utama kosmik tersebut terejawantahkan di titik pusat kota. Di
Cakranegara maupun kota-kota tradisional di Bali yang berpola pempatan agung, konsep sumbu utama
kosmik ini diadaptasi sebagai konsepsi lokal, Akasa-Pertiwi. Konsepsi ini pada dasarnya menggambarkan
hubungan harmonis antara alam langit (akasa) tempat Tuhan bersemayam dan alam bumi (pertiwi) sebagai
wilayah hunian umat manusia. Esensi konsepsi ini sangat mudah dirasakan pada wujud pempatan agung
yang berfungsi sebagai pusat kota, ruang abstrak multimakna ritual, dan ruang terbuka yang menjadi tempat
terjadinya pertemuan antara alam atas (langit) dan alam bawah (bumi).

Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18.


Lingga-Yoni Ilustrasi sumbu pada bangunan kuil Ilustrasi sumbu pada tubuh manusia
(sumber: www.barakatgallery.com) (sumber: dok.Kosohn, 2009) (sumber: www.exoticindiaart.com)

6. Keberadaan elemen puncak

Pada wujud-wujud karya seni bangunan kuil dan seni hias mahkota raja di Asia Tenggara juga ditemukan
adanya sebentuk elemen puncak yang bernilai estetika dan simbolis yang tinggi. Elemen tersebut pada
umumnya berwujud sebagai benda mungil dan memiliki makna konotatif yang dapat disepadankan sebagai
bentuk jambangan air suci, permata, atau berbagai jenis batu mulia lainnya.

Pada bangunan kuil dan stupa, konsep satu elemen puncak tersebut sangat mudah terlihat wujud aplikasinya.
Ornamen suci ini dapat dipastikan terpahat di puncak atap bangunan suci, berbentuk mungil yang cenderung
meruncing ke atas. Apabila dikaji berdasarkan pemahaman bahwa bangunan suci Hindu maupun Buddha
14
merupakan simbolisasi gunung Meru, maka dapat ditafsirkan pula bahwa elemen puncak kuil yang kecil dan
disucikan tersebut merupakan simbolisasi sorga yang tinggi, suci, dan sulit dicapai di puncak Sumeru itu.

Dalam seni ragam hias busana raja, busana penari, maupun atribut arca tokoh raja dan dewata, elemen
puncak tunggal tersebut sangat mudah dilihat sebagai sebentuk ornamen di puncak mahkota raja atau
mahkota penari pemeran tokoh raja, dewata, atau tokoh-tokoh suci dalam seni pentas klasik Asia Tenggara,
utamanya di Indonesia. Elemen puncak ini membentuk kesatuan yang selaras dengan bentuk keseluruhan
mahkota. Dalam tradisi seni di Jawa dan Bali, mahkota ramping berpuncak tunggal semacam ini memang
cenderung hanya dikenakan oleh tokoh-tokoh raja, atau penari pemeran tokoh raja atau dewata.

Apabila kenyataan ini dikaitkan dengan eksistensi konsep sumbu kosmik dalam tubuh manusia yang diyakini
sebagai sumbu tengah tubuh, maka dapat dipastikan bahwa mahkota dengan bentuk dasar dan puncak
tunggal semacam itu memang merupakan wujud simbolis dari puncak sumbu kosmik alam semesta atau
puncak dari kutub Sumeru, yaitu sorga itu sendiri. Penafsiran ini semakin diperkuat dengan keberadaan
konsepsi dewa Indra sebagai raja para dewa di sorga, dan konsepsi Dewa Raja di Asia Tenggara. Sosok raja
sebagai tokoh representasi kekuatan dewata di alam nyata, sudah selayaknya mengenakan berbagai atribut
busana – salah satunya mahkota – yang menunjukkan kesucian, kewibawaan, dan kesempurnaan dewa-dewa
utama sorga di puncak kutub Sumeru itu. Pandangan semacam ini juga berlaku pada perwujudan arca dewata
dan arca sosok raja atau ratu yang telah mangkat dari beberapa kerajaan di wilayah Nusantara.

7. Konsep angka 33

Setidaknya telah teridentifikasi adanya dua kota klasik di Asia Tenggara yang memuat konsep angka 33 pada
perwujudan tata ruang, konsep tata pemerintahan, dan wujud arsitekturnya. Kedua kota tersebut adalah
Srikshetra di Myanmar dan Cakranegara di Indonesia. Di kota Srikshetra, angka 33 teraplikasikan pada
jumlah keseluruhan provinsi yang berada dalam tata pemerintahan kerajaan itu. Ada 32 buah provinsi
bawahan dan sebuah provinsi pusat yang berperan sebagai lokasi ibu kota negeri. Ke-32 provinsi bawahan
juga direncanakan masing-masing memiliki sebuah gerbang utama wilayah. Sementara pada provinsi utama
terdapat istana raja yang dibangun berlapis emas utama. Apabila ditotal secara keseluruhan, maka jumlah
gerbang ditambah satu istana raja itu pun merujuk ke angka 33. Di kota Cakranegara, angka 33 juga dapat
ditelusuri dari jumlah keseluruhan petak persil (karang) yang ada dalam area kota kuno itu. Dalam wujud
seni arsitektur yang lebih mikro, angka 33 juga ditetapkan menjadi jumlah pancuran suci yang terdapat di
dalam area pemandian Taman Mayura yang dahulunya difungsikan sebagai taman pemandian utama
kerajaan Cakranegara.

Adanya temuan “angka sakti” 33 yang di dua kota yang berlokasi terpisah sangat jauh itu tentunya agak sulit
untuk dapat dipahami sebagai suatu kebetulan yang tidak berlatar konsepsi tertentu. Apabila ditelusuri dari
ilustrasi kota Sudarsana (sorga) di puncak kutub Sumeru dari gunung kosmik Meru, latar belakang konsep
angka 33 ini sepertinya menjadi lebih mudah dipahami. Kerajaan sorga yang dipimpin Indra itu memang
dihuni pula oleh 32 dewa bawahan lainnya. Dengan jumlah total 33 tokoh dewata ini, hampir dapat
dipastikan bahwa konsep angka 33 di dua kota kuno tersebut memang berlatar pada konsep “peniruan” tata
pemerintahan ideal kota sorga di puncak Sumeru itu.

8. Sumeru dalam Berbagai Tingkatan Wujud Karya Seni Klasik Asia Tenggara

Wujud-wujud karya seni klasik tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan atas tiga tingkatan, yaitu
tingkat makro berupa seni tata kota; tingkat messo berupa seni arsitektur kuil; dan tingkat mikro berupa
ragam seni pahat serta seni mahkota raja atau penari. Ada kecenderungan bahwa setiap tingkatan karya seni
yang berakar dan lahir pada masa kejayaan budaya Hindu dan Buddha di Asia Tenggara tersebut mengadopsi
dan meniru gambaran alam Sumeru dengan sorga di puncaknya itu. Wilayah kerajaan dengan ibu kotanya
dimaknai sebagai kutub Sumeru dengan kota Sudarsana yang penuh kebahagiaan itu. Di dalam area ibu kota
terdapat istana raja yang dimaknai sebagai tiruan istana Indra yang berperan sebagai raja dari para dewata di
sorga. Dalam seni arsitektur kuil, konsepsi Sumeru dimaknai sebagai wujud bangunan secara keseluruhan.
15
Adapun ilustrasi sorga diwujudkan sebagai ornamen indah di puncak utama bangunan kuil. Konsep ornamen
puncak yang mungil, suci, dan indah tersebut juga terterapkan dalam wujud tata busana raja, penari maupun
arca tokoh raja atau dewata. Sosok raja pada masa lalu dimaknai juga sebagai reinkarnasi dewata untuk
memerintah di dunia, selayaknya Indra yang menjadi raja di sorga. Fisik raja pada masa itu pun
disepadankan sebagai wujud sempurna alam semesta dalam skala mikro. Bagian kepala raja yang berkuasa
senantiasa dilengkapi mahkota “kedewataan” yang mengerucut dan berpuncak satu, selayaknya sorga
sebagai puncak Sumeru di jagat raya ini.

9. Sintesisasi antarkonsep

Hasil ulasan tentang wujud-wujud karya seni klasik di Asia Tenggara tersebut pada dasarnya menunjukkan
adanya kesamaan akar nilai filosofis di dalam berbagai karya seni yang telah diadopsi oleh kearifan bangsa-
bangsa Asia Tenggara sejak zaman dahulu. Wujud-wujud karya seni tersebut terilhami oleh konsepsi
kosmogoni dan kosmologi Hindu dan Buddha klasik India yang terkenal, yaitu tentang gunung Meru.

Hal menarik yang dapat dikemukakan di sini bahwa meskipun dalam gambaran imajinernya, Meru
dideskripsikan sebagai gunung utama yang memiliki dua kutub Sumeru-Kumeru yang masing-masing
memiliki puncak sorga dan neraka, bangsa-bangsa Asia Tenggara ternyata hanya mengadopsi satu karakter
kutub gunung mahasuci tersebut. Hal ini dapat ditelusuri dari adanya kecenderungan bahwa wujud karya-
karya seni klasik Asia Tenggara pada umumnya hanya menjadikan kutub Sumeru dengan sorga di
puncaknya sebagai konsep acuan yang paling utama. Seni tata kota, seni bangunan suci, seni busana raja dan
penari, serta tata seni arca klasik pada umumnya banyak mengadopsi konsep kemuliaan dan kesempurnaan
alam sorga yang suci dengan karakter para tokoh penghuninya dalam wujud karya-karya seni di dunia nyata.
Mudah sekali dipahami bahwa ada semacam pandangan yang memposisikan Sumeru dengan kerajaan
sorganya sebagai gambaran ideal dan panutan bagi tatanan kehidupan tradisional bangsa-bangsa Asia
Tenggara yang banyak mendapat pengaruh kultur India itu. Pada bagian sebaliknya, karakter kutub Kumeru
yang antagonistis dengan alam neraka di puncaknya itu sangat jarang teraplikasikan.

SIMPULAN

Hasil bahasan tentang latar konseptual dari wujud-wujud karya seni klasik Asia Tenggara ini menghasilkan
beberapa simpulan sebagai berikut.
1. Karya seni klasik di wilayah ini banyak mendapat pengaruh kultur Hindu dan Buddha India, khususnya
yang berkenaan dengan konsepsi kosmogoni dan kosmologi.
2. Konsepsi gunung Meru merupakan salah satu konsepsi utama yang banyak mengilhami wujud-wujud
karya seni klasik tersebut. Dalam pengaplikasiannya, konsepsi tersebut telah diadaptasi sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan karakter budaya lokal setiap bangsa "pengguna"-nya.
3. Dalam pandangan budaya klasik bangsa-bangsa Asia Tenggara tersebut, kutub utara gunung Meru yang
bernama Sumeru, dengan sorga utama di puncaknya dimaknai sebagai gambaran kehidupan
mahasempurna dan ideal. Ilustrasi karakter alam sorga itu pun dijadikan sebagai sumber inspirasi utama
dalam berbagai tingkatan produk karya seni dan budaya klasik bangsa-bangsa di bagian tenggara benua
Asia tersebut.

DAFTAR RUJUKAN

Bahadur, V. S. Rangarao. (1995), The Hindu Religion, Concept Publishing Company, New Delhi.
Beér, Robert. (2004), The Encyclopedia of Tibetan Symbols and Motifs, Serindia Publications, Inc., Chicago.
Chari, S. M. Srinivasa. (2005), The Philosophy of the Bhagavadgītā: a Study Based on the Evaluation of the
Commentaries of Śaṁkara, Rāmānuja and Madhva, Munshiram Manoharlal Publishers, Delhi.
Corfield, Justin J. (2009), The History of Cambodia: The Greenwood Histories of the Modern Nations, ABC-
CLIO, California.

16
Dixon, Glenn. (2009), Pilgrim in the Palace of Words: A Journey Through the 6,000 Languages of Earth,
Dundurn Press Ltd, Toronto.
Fischer-Schreiber, Ingrid, Stephan Schuhmacher & Gert Woerner. (1994), The Encyclopedia of Eastern
Philosophy and Religion: Buddhism, Hinduism, Taoism, Zen. Shambhala, Boston.
Garg, Gaṅgā Rām. (1992), Encyclopaedia of the Hindu World, Concept Publishing Company, New Delhi.
Griswold, Alexander B. (1958), The Royal Monasteries and Their Significance, Fine Arts Dept., New York.
Groslier, Bernard Philippe. (2006), Angkor and Cambodia in The Sixteenth Century: According to
Portuguese and Spanish Sources. Translated by Michael Smithies. Orchid Press, Bangkok.
Hadinoto. (1999), “Pola Spasial dan Sistem Jalan dari Kota Cakranegara dan Probolinggo, sebuah
Perbandingan” in Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur vo. 27, No.2, Desember, Jurusan Teknik Arsitektur,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Handley, Paul M., (2006). The King Never Smiles: A Biography of Thailand's Bhumibol Adulyadej, Yale
University Press, New Haven.
Harris, Ian. (2008), Cambodian Buddhism: History and Practice. University of Hawaii Press, Honolulu.
Heine-Geldern, Robert. (1956), Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia, SEAP Publications,
New York.
Hersapandi. (1999), Wayang Wong Sriwedari: Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial, Tarawang,
Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono, (1993). 700 tahun Majapahit, 1293-1993: Suatu Bunga Rampai, Dinas Pariwisata
Daerah, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, Surabaya.
Kenoyer, Jonathan Mark & Kimberly Burton Heuston, (2005), The Ancient South Asian World, Oxford
University Press, New York.
Linrothe, Robert N, (1999). Ruthless Compassion: Wrathful Deities in Early Indo-Tibetan Esoteric Buddhist
Art, Serindia Publications, Inc., Hong Kong.
Morley, Grace & Arputha Rani Sengupta, (2001). God & King, the Devarāja Cult in South Asian Art and
Architecture: Proceedings of the Seminar, 2001, Published for National Museum Institute by Regency
Publications, New Delhi.
Munandar, Agus Aris. (2005), Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke-14-19, Komunitas
Bambu, Depok.
Munandar, Agus Aris. (2008), Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian, Komunitas Bambu, Depok.
O'Flaherty, Wendy Doniger. (1980), The Origins of Evil in Hindu Mythology, University of California Press,
California.
Osborne, Milton. (2001), The Mekong: Turbulent Past, Uncertain Future, Grove Press, New York.
Paramadhyaksa, I Nyoman Widya. (2009), Concepts of Balinese Meru. Disertasi, Kyoto Institute of
Technology, Kyoto.
Peacock, James L. & A. Thomas Kirsch. (1970), The Human Direction: An Evolutionary Approach to Social
and Cultural Anthropology, Appleton-Century-Crofts, Boston.
Rodrigues, Hillary. (2006), Hinduism: The Ebook, JBE Online Books, Delhi.
Snodgrass, Adrian. (1985), The Symbolism of the Stupa, SEAP Publications, Singapore.
Soekmono, R., (2005). Candi: Fungsi dan Pengertiannya, Jendela Pustaka, Jakarta.
Veṭṭaṃmāṇi. (1975), Purānic Encyclopaedia: A Comprehensive Dictionary with Special Reference to the
Epic and Purānic Literature, Motilal Banarsidass, Delhi.

Daftar Nara Sumber

Lalu Mulyadi (53th.), Dosen dan peneliti Cakranegara, wawancara tanggal 8 Nopember 2011 di tempat
kerjanya, Kampus ITN Malang, Malang, Jawa Timur, Indonesia.
I Ketut Suweca (65th.), Seniman, wawancara tanggal 9 Juni 2012 di kediamannya, Br. Denjalan, Desa
Batubulan, Gianyar, Bali, Indonesia.

17

Anda mungkin juga menyukai