Anda di halaman 1dari 6

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
Jl. Semarang No 5 Malang, 65145, Indonesia
Telp : 0341 512312, Fax. 0341-551921

Nama : Ahmad Amru Asy Syafiq

NIM : 190711637255

Prodi/Off : S1 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Mata Kuliah/ Off : Hak Asasi Manusia/ A

1. Pengertian pelanggaran HAM berat


Dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Pelanggaran
HAM berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau
diluar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan
orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
(system discrimination) secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara
sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius.

2. Bentuk Pelanggaran HAM Berat


Pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang Pengadilan HAM didefinisikan
sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
komunitas dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM. Yang dimaksud kejahatan genosida menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a) Membunuh anggota kelompok.
b) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mentak yang berat terhadap annggota-
anggota kelompok.
c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya.
d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok.
e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.

Adapun yang dimaksud dengan kemanusiaan menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor


26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM adalah suatu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari rangsangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahawa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap pendidik sipil berupa:

a) Pembunuhan
b) Pemusnahan
c) Perbudakan
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
f) Penyiksaan
g) Perkosaan, perbudakan seksual secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang
setara
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara umum sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional.
i) Penghilangan orang secara paksa
j) Kejahatan apartheid

Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dari kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut


diatas substansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Statuta
Roma. Jika berdasarkan statua roma Pelanggaran HAM berat memiliki 4 bentuk yaitu:
1) Kejahatan Genosida
2) Kejahatan terhadap kemanusiaan
3) Kejahatan Perang
4) Kejahatan Agresi

3. Dasar Peraturan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia


Dasar peraturan tentang HAM berat di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 adalah sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, dalam UU No.26 Tahun 2000 hukum acara atas pelanggaran HAM berat
dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.

4. Penerapan Sanksi dan Peradilan terhadap Pelanggaran HAM Berat di Indonesia


Penerapan sanksi terhadap Pelanggaran HAM Berat di Indonesia terhadap pelaku
pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 200
tentang Pengadilan HAM. Ketentuan pidana untuk pelanggar kasus HAM berat diatur
dalam Pasal 36 – 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, meliputi:
 Pasal 36
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling
singkat 10 (sepuluh) tahun.
 Pasal 37
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a, b, c, d, e atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling
singkat 10 (sepuluh) tahun.
 Pasal 38
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 5 (lima) tahun.
 Pasal 39
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 5 (lima) tahun.
 Pasal 40
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf g, h, atau I dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
 Pasal 41
Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dipidana dengan pidana yang
sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal
38, Pasal 39, Pasal 40.
 Pasal 42
1) Komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komando militer dapat dipertanggung jawabkan terhadap tindak pidana yang
berada dalam yuridiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang
berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah
kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut
merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut,
yaitu :
a) Komando militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar saat
itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan
atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat ; dan
b) Komando militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah
atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya
kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.
2) Seseorang atasan, baik polisi maupun sipil, bertanggung jawab secara pidana
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang
efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap
bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a) Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi
yang secara jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau,
baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat ; dan
b) Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada
pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan.
3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adan ayat (2) diancam
dengan pidana yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

Peradilan terhadap Pelanggaran HAM berat berdasarkan Pasal 104 ayat (1) Undang-
Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan bahwasanya
untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di Lingkungan
peradilan umum.

5. Contoh Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Salah satu bentuk dari pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia adalah
Pembunuhan Dukun Santet 1998, peristiwa geger sante atau pembunuhan terhadap dukun
santet yang terjadi di banyuwangi pada 1998 sudah berlangsung lebih dari 21 tahun. Saat
ini, setelah 21 tahun sejak Reformasi 1998, pengungkapan kasus hukumnya belum juga
tuntas. Peristiwa ini bermula dari pembunuhan akibat kesalahpahaman sekelompok orang
mengenai santet. Karena santet dianggap sebagai perbuatan sihir jahat, agresif, bahkan
digunakan untuk membunuh orang. Saat itu, pelaku pembunuhan merupakan kelompok
tidak dikenal. Untuk melindungi orang yang diduga dukun santet, Bupati Banyuwangi
Purnomo Sidik mendata orang-orang yang masih memiliki kekuatan magis atau dukun.
Setiap orang di pasar, sesepuh desa, hingga di lingkungan mana pun tak luput dari
pendataan ini. Dikutip dari Harian Kompas yang terbit 14 Oktober 1998, ia
menginstruksikan semua camatnya untuk mengirim data tentang orang yang dianggap
dukun santet di wilayahnya dengan tujuan menyelamatkan mereka. Radiogram ini
akhirnya bocor ke sekelompok orang. Awalnya bertujuan untuk menyelamatkan orang
yang diduga mempunyai santet, radiogram malah menjadikan petaka. Radiogram yang
menulis lengkap nama-nama orang yang mempunyai ilmu santet malah menjadi sumber
informasi bagi sekelompok orang untuk melakukan penyisiran dan pembunuhan massal.

Sumber: Pembunuhan Dukun Santet 1998, Kesalahan Memahami Budaya hingga Motif
Politik Halaman all - Kompas.com

Daftar Rujukan:

SEPTIANI, D. (2016). LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM


PEMENUHAN HAK-HAK KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT DI
DAERAH (Doctoral dissertation, Fakultas Hukum Unpas).

Anda mungkin juga menyukai