Laporan Kasus Rhinitis Alergi
Laporan Kasus Rhinitis Alergi
KASUS
1.1 IDENTITAS
Nama : Tn. U
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 34 tahun
Alamat : Jl. Baru HHII Dalam RT 12/01 No. 12, Jakarta Utara
No. RM : 163624
Tanggal Pemeriksaan : 27 November 2012
Keluhan Utama :
Bersin-bersin terus menerus sejak 6 tahun yang lalu
Riwayat Pengobatan :
Sebelumnya pasien hanya mengobati keluhan hanya dengan menggunakan obat warung.
Riwayat Kebiasaan :
Pasien bekerja sebagai petugas pengamanan, dan untuk berangkat ke tempat bekerja,
pasien menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Pasien tidak menggunakan masker
saat bekerja dan mengendarai kendaraan bermotor.
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : tidak diukur
Pernafasan : 20 x/ menit
Nadi : 84 x/menit
Suhu : Afebris
Status Lokalis
Telinga
Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Preaurikula Kelainan kongenital - -
Radang - -
Tumor - -
Trauma - -
Nyeri tekan - -
Aurikula Kelainan kongenital - -
Radang - -
Tumor - -
Trauma - -
Nyeri tarik - -
Retroaurikula Edema - -
Hiperemis - -
Nyeri tekan - -
Radang - -
Tumor - -
Sikatriks - -
Canalis Acustikus Kelainan kongenital - -
Externa Kulit - -
Sekret - -
Kloting - -
Serumen - -
Edema - -
Jaringan granulasi - -
Massa - -
Cholesteatoma - -
Membrana Timpani Intak + +
Reflek cahaya + +
Fungsi Pendengaran
Aurikula Dextra Aurikula Sinistra
Batas atas dan batas bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Rinne Rinne positif Rinne positif
Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak ada lateralisasi
Hidung
Bentuk : normonasi
Cavum nasi : lapang (+/-), perdarahan mengalir (-/-), blood clotting (-/-)
Mukosa : Hiperemis (-/+)
Concha : concha inferior eutrofi (+/-)
Septum : C-Shape deviasi ke arah sinistra
Sinus paranasal : nyeri tekan pada: pangkal hidung (-), pipi (-), dahi (-), tidak
terlihat pembengkakan pada daerah muka
Tenggorokan :
Mukosa : Hiperemis (-/-), Granul (-/-)
Uvula : Deviasi (-/-)
Tonsil : T1 – T1, Hiperemis (-), kripta melebar (-/-), detritus (-/-)
1.4 RESUME
Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus menerus setiap hari
sejak 6 tahun yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 3-5 kali. Bersin didapatkan pada
waktu yang tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin meningkat apabila
terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan selama 3-4 hari dalam 1 minggu. Keluhan
juga disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pilek dengan
cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau. terkadang sampai
dengan hidung tersumbat. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung, dan kemudian
menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak
mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak
disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan koana nasalis sinistra menyempit, hipertrofi
konka nasalis inferior sinistra, hiperemis pada konka nasalis inferior sinistra, dan C-
shaped deviasi ke arah sinistra.
1.5 DIAGNOSIS
Suspect Rhinitis Alergika Intermiten Ringan
1.6 PENATALAKSANAAN
Non- Medikamentosa
a. Menghindari allergen penyebab, dengan menggunakan masker saat bekerja
dan berkendara
Medikamentosa
a. Antihistamin H2 : Lorantadin 1x1
b. Dekongestan : Pseudoefedrin 3x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut (Von Pirquet, 1986).1
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.1
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.1
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menim-
bulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa
hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menye-
babkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti
sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung.1
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial
dan rinitis alergi.1
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari :
1. Respons primer:
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder:
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas selular atau humoral atau kedua-nya di bangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier:
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergan-tung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.1
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis). Di Indonesia tidak dikenal
rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu
nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten
atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan
alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan
alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada
anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
diban-dingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.1
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlang-sungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari , 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.1
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.1
2.5 Diagnosis
2. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
ampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.
Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (fades adenoid). Dinding posterior
faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding Jateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).1
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent /Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, .walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil daiam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.1
In vivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri. Skin Endpoint
Titration/SET), SET dilakukan untuk aiergen inhalan dengan menyuntikkan
aiergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain aiergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan ;iet eliminasi dan provokasi ("Challenge
Test").
Alergen ingestan secara tuntas lenyap :ari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu :ada "Challenge Test", makanan yang dicurigai ; berikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali : hilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1
Melakukan uji
Kalau memungkinkan gunakan aplikator seperti di atas sehingga dapat digunakan
banyak antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup antigen, harus
dengan posisi menghadap ke atas sehingga antigen tidak tumpah. Kalau tidak ada
aplikator seperti itu dapat digunakan antigen yang mudah didapat (tetanus,
tuberculin, dan sebagainya). Dengan menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan
bahwa sejumlah 0,1 ml antigen masuk secara intrakutan hingga berbentuk
gelembung dan tidak subkutan. Beri tanda dengan lingkaran masing-masing lokasi
antigen. 5
Hasil pemeriksaan
Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam. Bila setelah 24 jam hasil tes tetap negatif maka
cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih kuat. Indurasi yang
terjadi harus diraba dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur dalam mm dengan
diameter melintang (a) dan memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula
(a+b):2. Suatu reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih. 5
Efek samping
Dapat terjadi suatu reaksi kemerahan yang persisten selama 3-10 hari tanpa
meninggalkan sikatriks. Pada orang yang sangat sensitif dapat timbul vesikel dan
ulserasi pada lebih dari satu lokasi antigen. 5
Interpretasi
Uji kulit ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan status imunologik selular
seseorang karena untuk dapat disimpulkan hasil uji harus disesuaikan dengan
anamnesis dan keadaan klinik. Untuk menilai suatu uji kulit, seperti juga prosedur
diagnostik yang lain, sangat tergantung pada pemeriksanya. Bila disimpulkan
bahwa kemungkinan terdapat gangguan pada sistem imunitas selular, maka dapat
dipertimbangkan pemberian imunoterapi. Tetapi untuk memulai terapi sebaiknya
pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan secara in vivo. 5
2.6 Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan aiergen pe-
nyebabnya (avoidance) dan eliminasi
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi, Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada a, inhalan dengan gejala yang bera:
sudah berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberi hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blc: antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 imunoterapi yang umum dilakukan intradermal dan
sublingual.1
2.7 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung
2. Otitis media efusi yang sering residiual utama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal1
Gambar 12 Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi1
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada pasien dengan Riniris Alergi perlu diketahui alergen penyebab pada pasien
dan keteraturan terapi pada pasien untuk mencegah terjadinya kekambuhan dan
mengurangi resiko kearah komplikasi pada rinitis alergi, seperti sinusitis, polip, ataupun
otitis media.
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal : 128-134.
2. Snow Jr, James B. Ballenger, John Jacob. 2003. Balllenger’s Otorhinolarynology Head
and Neck Surgery Sixteenth Edition. Hamilton : BC Decker Inc. Hal : 708 – 739.
3. Hawke, Michael et all. 2002.Diagnostic Handbook of Otorhinolaryngology. New York:
Material. Hal :91-155
4. Lalwani, Anil K. 2008. Current Diagnosis and TreatmentOtolaryngology Head and Neck
Surgery Second Edition.New York : Mc Graw Hill. Hal : 267 - 272
5. AP, Arwin Dkk. 2007.Buku Ajar Alergi imunologi Anak Edisi 2. Jakarta :IDAI . Hal : 76 - 88