Anda di halaman 1dari 13

Gagasan Utama

8 Kurnia Novianti

Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan Agama dalam


Perspektif Antropologi
Kurnia Novianti
Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, LIPI
kurnia.novianti@yahoo.com
antrop2010@gmail.com

Abstract Abstrak
As a discipline, anthropology raised Sebagai sebuah disiplin ilmu, antropologi
‘culture’ as a central concept that is widely mengangkat “kebudayaan” sebagai sebuah
discussed. In the process, ‘culture’ has very konsep sentral yang dibahas secara luas.
Dalam prosesnya, “kebudayaan” memiliki
interesting dynamics, especially when used
dinamika yang sangat menarik, khususnya
as an analytical tool in assessing change and
ketika digunakan sebagai sebuah alat analisis
religion issues. This paper argues about the dalam menilai isu-isu perubahan sosial dan
dialectic of culture, change, and religion agama. Tulisan ini memaparkan dialektika isu-
issues so that can explain the phenomena isu kebudayaan, perubahan sosial, dan agama
that observed in our daily lives. Through untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang
literatures and observation method, this diamati dalam kehidupan kita sehari-hari.
paper aims to provide a perspective to Melalui metode kepustakaan dan pengamatan,
understand the meaning of a phenomenon tulisan ini bertujuan untuk memberikan sebuah
that observed and analyzed through the perspektif dalam memahami arti fenomena yang
reveal of ‘hidden transcript’ behind the diamati dan dianalisis melalui pengungkapan
phenomenon. “catatan tersembunyi” di belakang fenomena
itu.
Key words: culture, social change, religion,
anthropological perspective Kata Kunci: kebudayaan, perubahan sosial,
agama, perspektif antropologis

Pendahuluan agama menjadi salah satu bahan diskusi


yang selalu menarik terutama ketika
Kebudayaan, perubahan sosial, agama dipolitisir oleh pihak-pihak
dan agama merupakan tiga konsep besar tertentu untuk mendapatkan keuntungan,
yang menjadi topik-topik pembahasan baik materil maupun immateril.
dalam diskusi-diskusi antropologi.
Kebudayaan telah menjadi konsep Untuk memahami keterkaitan
utama dan salah satu yang paling banyak antara ketiga konsep besar tersebut,
dibahas dalam perkembangan disiplin tulisan ini hendak mengargumentasikan
ini. Fokus perhatian pada masyarakat bagaimana kebudayaan, perubahan
atau komunitas yang dalam perjalanan sosial, dan agama saling “berkomunikasi”
sejarahnya mengalami dinamika yang sehingga dapat menjelaskan fenomena-
berbeda-beda antara masyarakat yang fenomena atau gejala-gejala yang teramati
satu dengan yang lain, membawa dalam kehidupan masyarakat sehari-
pembahasan mengenai perubahan hari. Sebagai alat analisis yang utama,
menjadi satu hal yang tidak mungkin kebudayaan lebih dipahami sebagai
dihindari. Sementara agama menjadi isu sesuatu yang memiliki sifat yang dinamis
yang juga banyak menghiasi diskusi- sehingga dalam prosesnya tidak steril
diskusi para akademisi/peneliti sosial- dari perubahan yang berdampak pada
budaya, termasuk antropolog sejak modifikasi atau pembentukan kembali
perkembangan awal hingga kini. Bahkan (reshape) kebudayaan sebuah masyarakat.
HARMONI Mei - Agustus 2013
Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan Agama dalam Perspektif Antropologi 9

Kebudayaan bahkan memiliki variasi dengan perubahan tetapi juga dengan


sebagai hasil dari pengalaman dan agama karena di dalamnya isu kekuasaan
interpretasi yang beragam manusia pun muncul mewarnai dialektika antara
atau individu yang menjadi anggota ketiganya.
masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh
Geertz (1973: 35) bahwa manusia adalah
makhluk yang memiliki kemampuan Beberapa Teori tentang Kebudayaan
untuk memodifikasi perilakunya di
tempat-tempat yang berbeda sehingga Melewati abad ke-20, para
apa yang terlihat belum tentu merupakan antropolog membangun ide tentang
dirinya yang sebenarnya. Kondisi ini kebudayaan sebagai teori ilmiah
yang memunculkan konsep-konsep apa yang berkekuatan/powerful, sulit/
itu natural, universal, dan constant di sophisticated, dan berpengaruh
dalam diri manusia. meskipun sebagai sebuah disiplin, ide
ini hanya menempel sebagai pengertian
Dengan demikian, para antropolog yang bersifat “antiquated” dalam ilmu
yang semula memfokuskan perhatian pengetahuan. Antropologi, sebagai salah
pada masyarakat-masyarakat yang satu ilmu sosial yang memfokuskan
homogen, bounded, dan dianggap perhatiannya pada aspek manusia
unik sehingga menghasilkan teori- sebagai makhluk sosial/human social dan
teori antropologi yang memosisikan sistem budaya/cultural system, kemudian
kebudayaan sebagai pedoman bagi menempatkan konsep “kebudayaan/
masyarakatnya, seperti dituntut untuk culture” sebagai sentral kajian yang terus
lebih peka terhadap masyarakat- mengalami perkembangan.
masyarakat yang dalam pengamatan
terlihat mengalami perubahan dan Teori-teori kebudayaan yang pernah
menunjukkan dinamika yang beragam. dimunculkan oleh para ahli terdahulu
Munculnya fenomena atau gejala seperti Boas, Durkheim, dan Taylor, lebih
tersebut kemudian juga berdampak pada membangun ide tentang “…matters that
semakin maraknya kritikan terhadap culture addresses”. Sementara liberal
teori-teori antropologi yang melestarikan theory yang dipopulerkan oleh Descartes,
homogenitas kebudayaan. Hobbes, dan Locke lebih menitikberatkan
pada “…undergird the institutions and
Sebagai bagian dari masa practices” dari negara liberal modern
kontemporer yang sedang bergerak ini, dan demokratis. Namun tidak seperti
penulis pun tertarik untuk memelajari teori liberal, yang menjadikannya
dinamika yang terjadi di masyarakat sebagai ilmu yang seragam/a unified
melalui pengamatan sehari-hari, science, teori kebudayaan/culture theory
di mana kebudayaan yang semula menjadi respon yang dimunculkan dan
penulis bayangkan hanya dimiliki oleh berinteraksi langsung dengan temuan-
sekelompok masyarakat tertentu dengan temuan empiris dan masalah-masalah
ciri atau karakteristik tertentu pula, kini yang ditujukan oleh domain of systemic
menujukkan ‘wajah’ yang lain. Terlebih order it refers to. Culture mengkajinya
ketika fenomena globalisasi mulai marak dalam sistem-sistem simbol yang
dibicarakan oleh pelbagai kelompok atau bervariasi (Boggs, 2004).
komunitas –tidak hanya akademisi tetapi
juga masyarakat luas- batas-batas budaya Boggs (2004) dalam hal ini
menjadi semakin tidak jelas (blurred). lebih menitikberatkan pada culture
Diskusi akan menjadi lebih menarik sebagai sebuah teori karena culture
ketika kebudayaan tidak hanya dikaitkan mengabstraksikan dan merepresentasikan
prinsip-prinsip yang mengatur/ordering
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 12 No. 2
10 Kurnia Novianti

principle (sistem-sistem simbol) yang itu ‘subjektif, atau ‘objektif’, dan muncul
diorganisir oleh kumpulan manusia beragam istilah yang menyertainya.
(…the anthropological idea of culture Namun yang perlu dilihat adalah perilaku
is theory because it abstracts and manusia sebagai tindakan simbolis/
represents the ordering principle memunculkan simbol-simbol sehingga
(systems of symbols) of organized muncul pertanyaan apakah kebudayaan
human collectives). Lebih lanjut Boggs dibentuk secara terpola atau merupakan
mengatakan bahwa sistem yang dirujuk kerangka berpikir, atau kombinasi
oleh teori kebudayaan tidak langsung keduanya (Geertz, 1973: 10). Pada bagian
diturunkan oleh inherent properties yang selanjutnya, Geertz kembali menegaskan
dimiliki manusia, yang secara variabel bahwa kebudayaan adalah struktur
terhubung/relevant respects antara satu makna dari perilaku sebagai konspirasi
tradisi kebudayaan dengan yang lain, sinyal, dikatakan juga sebagai fenomena
tetapi melalui sistem-sistem simbol yang psikologis, karakteristik dari pikiran
bervariasi dan makna yang memberikan seseorang, personality, struktur kognitif,
bentuk kepada hal yang “nyata/real” dan sebagainya (Geertz, 1973: 12).
dan sistem-sistem bahasa, kekerabatan,
pertukaran ekonomi, dan politik yang Kebudayaan juga tidak bersifat
diperhatikan oleh antropologi. statis/ajeg tetapi dinamis menurut
Goodenough (1994). Untuk memahami
Sementara konsep kebudayaan sebuah kebudayaan, diperlukan
dalam pandangan Geertz lebih bersifat pemahaman mengenai bahasa yang
semiotic. Ia mengutip pernyataan Max digunakan oleh masyarakat yang diteliti
Weber bahwa manusia adalah seekor karena bahasa mengantarkan peneliti
binatang yang bergantung pada jaringan- untuk mengetahui praktek-praktek
jaringan yang dirajut/dipintalnya sendiri. sehari-hari, nilai-nilai, dan kepercayaan/
Berdasarkan hal itu, Geertz memaknai keyakinan –sebagai komponen dalam
kebudayaan sebagai jaringan-jaringan kebudayaan- yang dimiliki dan
yang terbentuk itu dan analisis yang memberikan fungsi bagi masyarakat
digunakan untuk menjelaskannya tidak pemiliknya. Goodenough menambahkan
menggunakan penelitian ilmiah untuk bahwa sebuah teori harus mampu
mencari hukum tetapi lebih kepada menjelaskan bagaimana kebudayaan
pendekatan interpretif untuk mencari dan bahasa berubah-ubah/dinamis dari
makna yang tersembunyi. Apabila waktu ke waktu. Ini tidak hanya dipelajari
ingin memahami apa itu science, bukan dari perkembangan emosi dan kognitif
melihat apa teori yang digunakan atau individu tetapi juga dari interaksi-
temuan-temuan yang dihasilkan tetapi interaksi sosial antaranggota masyarakat
lebih kepada apa yang dilakukan oleh (Goodenough, 1994: 266).
para peneliti/praktisinya (what the
practitioners of it do) (Geertz, 1973: 5). Dengan demikian, teori kebudayaan
dapat menjelaskan mengenai kelompok-
Kebudayaan dalam pandangan kelompok sosial dan aktivitas mereka,
Geertz adalah dokumen yang bergerak, sebagai bahasan selanjutnya. Salah
bersifat publik, meskipun bersifat satu kritik Goodenough mengenai
ide/ideational tetapi ia tidak sekedar pandangan kebanyakan antropolog
tersimpan di kepala seseorang, adalah keyakinan bahwa kebudayaan
meskipun tidak bersifat fisik, kebudayaan dan bahasa bertalian dengan masyarakat
bukanlah entitas yang gaib. Perdebatan atau komunitas secara keseluruhan.
yang kemudian muncul diantara para Untuk itu, ia menekankan bahwa lebih
intelektual adalah apakah kebudayaan penting berpikir bahwa komunitas atau

HARMONI Mei - Agustus 2013


Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan Agama dalam Perspektif Antropologi 11

masyarakat memiliki kebudayaan dan mengenai hubungan antara evolusi fisik


bahasa yang selalu diperbarui (dalam dan perkembangan kebudayaan untuk
istilah Goodenough adalah makeup) mendukung pandangan yang tumpang
ketimbang kebudayaan dan bahasa tindih atau interaktif. Kedua, penemuan
yang seragam (Goodenough, 1994: bahwa perubahan biologis yang besar
266). Dari penjelasan konsep tersebut, hingga menghasilkan manusia modern
sambil merefleksikan pengamatan yang lepas dari nenek moyangnya berada pada
dilakukan selama ini, penulis mencoba sistem saraf pusat pada otak manusia.
memahami bahwa kata ‘make up’ Ketiga, kenyataannya manusia dalam
mengandung makna yang erat dengan istilah secara fisik adalah makhluk yang
proses yang dialami oleh kebudayaan. masih belum lengkap (an incomplete) dan
Dengan kata lain, kebudayaan senantiasa belum selesai (an unfinished) sehingga
mengalami perubahan dalam konteks manusia harus terus belajar untuk bisa
tempat dan waktu tertentu. memfungsikan segalanya (Geertz, 1973:
44).
Kebudayaan yang senantiasa
diperbarui ini hendaknya tidak dilihat Oleh karena itu, kebudayaan
sebagai sesuatu yang bersifat monolitik digunakan manusia untuk dapat
yang menentukan perilaku masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya,
tetapi sebagai pemahaman dan harapan dengan pelbagai material hasil
sebagai variasi dari kegiatan yang mereka kebudayaan yang bentuknya beragam
lakukan yang menuntun perilaku dan yang tentu saja diproduksi oleh manusia
interpretasi mereka. Teori kebudayaan sendiri. Termasuk di dalamnya simbol-
yang dikutip Goodenough dari Geertz simbol yang diproduksi, digunakan, dan
lebih menekankan pada interaksi manusia direproduksi oleh manusia, yang tidak
sebagai pembentuk dan pemelihara hanya sekedar bentuk-bentuk ekspresi,
kebudayaan. Namun Goodenough instrumentalitis, atau keterkaitan-
juga mengingatkan bahwa kebudayaan keterkaitan dengan keberadaan manusia
seharusnya tidak ditempatkan di luar sebagai makhluk biologis, psikologis,
masyarakatnya (Goodenough, 1994: maupun sosial sehingga Geertz
266-267). Sebuah kebudayaan menurut mengatakan bahwa tanpa manusia, tidak
Goodenough adalah kumpulan ada kebudayaan, dan tanpa kebudayaan,
pemahaman dari individu-individu tidak akan ada manusia (Geertz, 1973: 47).
anggota masyarakat dimana setiap
individu memiliki kecenderungan Dengan kemampuan yang
hubungan sesuai dengan pemahaman dimilikinya, manusia juga berperan
bersama dalam kelompoknya. Dengan dalam mengubah atau memodifikasi
demikian, teori kebudayaan harus kebudayaan sebagai hasil interaksinya
dapat menjelaskan proses-proses dengan pihak-pihak lain di luar
yang mengurangi atau menambahkan kebudayaannya. Seperti dikatakan
perbedaan diantara individu pemahaman oleh Keesing (1994) bahwa manusia di
dan hubungan tersebut (Goodenough, manapun memiliki pengalaman yang
1994: 267). berbeda-beda dalam menyikapi dunia
“di luar sana”; embodiedness ini menjadi
Pemikiran penting yang lain berasal model dalam konsepsi budaya dari
dari Geertz (1973), yang menempatkan orientasi ruang, agensi, persepsi, emosi,
kebudayaan sebagai sebuah konsep yang dan pikiran mereka sehingga tidak dapat
berdampak pada konsep tentang manusia. dikatakan bahwa kebudayaan berasal
Ia memberikan tiga catatan penting, yaitu dari elaborasi pengalaman ynag menuju
pertama, membuang pandangan berurut ke satu arah (yang sama). Sehingga secara

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 12 No. 2


12 Kurnia Novianti

budaya, pencitraan dan pengalaman tiap menunjukkan bahwa agama telah


manusia bervariasi tergantung waktu dan menjadi satu isu yang menarik perhatian
tempatnya (sebagai konteks). para antropolog sejak lama. Agama,
menurut Turner (1987) sangat terkait
Dalam critical theory, Keesing dengan keadaan natural emosional dan
menekankan pada pentingnya perhatian imajinatif, dan memberikan konsekuensi
yang lebih luas pada bentuk-bentuk secara budaya berupa ketidakpastian
simbolis, komunikasi, dan makna. elemen-elemen pengetahuan, di mana
Analisis budaya harus memerhatikan semua agama primitif kemudian
semua struktur dan makna yang dicemooh dan dianggap tidak cerdas.
diciptakan dan dilestarikan dari aktivitas Ia pun menegaskan bahwa isu agama/
manusia sehingga apa yang dibutuhkan religi bukanlah isu yang sederhana tetapi
antropolog dan peneliti-peneliti ilmu isu yang di manapun selalu kaya dan
sosial lainnya adalah konsep kebudayaan kompleks/rumit sehingga bukan berarti
yang mengategorisasikan cara hidup sebuah masyarakat yang perkembangan
modern yang kompleks dan komunitas teknologinya jauh tertinggal dibandingkan
pada skala kecil, di masa lalu dan masyarakat yang lain, sistem religinya
masa kini. Kesimpulannya, Keesing dapat dipahami dengan mudah. Karena
mengajukan 4 point sebagai kritik dan menurut Turner, masalahnya tidak
materi untuk didiskusikan lebih lanjut, terletak pada perbedaan struktur kognitif
yaitu: tetapi pada struktur kognitif identical
1) Pandangannya untuk menghindari yang mengartikulasikan keragaman dari
reifikasi dalam produksi dan pengalaman budaya.
reproduksi kebudayaan. Religi/kepercayaan melalui
2) Konsepsi yang mengasumsikan ritualnya dilihat oleh Turner (1987) sebagai
bahwa tradisi budaya membawa seperangkat sistem simbol yang ada pada
kekuatan ideologis tertentu. sebuah masyarakat (secara implisit)
yang menceritakan suatu pengalaman
3) Asumsi bahwa di dalam setiap empirik yang nyata sebagai interpretasi
komunitas/masyarakat akan selalu asli terhadap kebudayaan mereka sendiri.
ada tradisi-tradisi budaya yang Dilihat dari prosesnya, (hampir semua)
subdominan dan parsial sebagaimana prosesi ritual menceritakan sebuah
kekuatan hegemoni pada tradisi alur, yang terkadang bergerak maju
dominan. ataupun bersifat menyerupai lingkaran
(cycle) sehingga banyak sekali aspek
4) Tidak dapat diasumsikan bahwa
yang ingin digambarkan di dalam ritual
kebudayaan merupakan unit
tersebut. Seperti halnya kedua upacara
yang terbatas sehingga adanya
yang diteliti oleh Turner, di mana ada
interpenetrasi, superimposition,
aktor-aktor yang berperan, benda-benda
dan campuran/pastiche dapat lebih
yang digunakan, dan seting waktu dan
dipahami (Keesing, 1994).
tempat juga kemudian penting untuk
diperhatikan. Semua itu dikatakan
sebagai simbol-simbol yang –tentu saja-
Konsep Agama dalam Antropologi maknanya tidak terlihat secara kasat mata
Salah satu tokoh besar dalam tetapi harus diinterpretasi secara sangat
antropologi yang memusatkan hati-hati. Untuk itu, aspek “emotional”
perhatiannya pada kepercayaan praktek- dan “imaginative” harus dimiliki
praktek agama sebagai isu utama oleh etnografer karena hanya dengan
adalah Victor Turner. Bagian ini hendak ikut merasakan dan membayangkan/

HARMONI Mei - Agustus 2013


Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan Agama dalam Perspektif Antropologi 13

memetakan jalan cerita ritual yang sumber-sumber kita, juga simbolis untuk
berlangsung, ia dapat memahami makna mengungapkan emosi-emosi seperti gerak
di balik simbol-simbol yang digunakan hati, nafsu, sentimen, afeksi, perasaan, di
di dalamnya. Inilah yang disebut dalam suatu konsep yang serupa tentang
dengan aspek “emphatetic” yang Turner suasana umum yang meliputi, dan nada
tekankan untuk meneliti aspek religi serta sifat yang melekat pada suasana itu
dalam masyarakat. (Geertz, 1977).

Sementara dalam Religion as Bagi antropolog, pentingnya agama


a Cultural System, Geertz (1977) terletak pada kemampuannya untuk
mengonsepsikan agama sebagai: 1. berlaku; bagi seorang individu atau
Sebuah sistem simbol-simbol yang sebuah kelompok sebagai sumber konsep
berlaku untuk, 2. Menetapkan suasana umum namun jelas tentang dunia, dan
hati dan motivasi-motivasi yang kuat, hubungan-hubungan di antara keduanya
yang meresapi dan tahan lama dalam di satu pihak, yaitu model dari segi agama
diri manusia dengan, 3. Merumuskan itu, yang tak kurang jelasnya yaitu model
konsep-konsep mengenai suatu tatanan untuk segi agama itu. Lebih lanjut, studi
umum eksistensi dan, 4. Membungkus antropologis mengenai agama dengan
konsep-konsep ini dengan semacam demikian merupakan operasi dua tahap,
pancaran faktualitas sehingga, 5. Suasana yaitu pertama, suatu analisis atas sistem
hati dan motivasi-motivasi itu tampak makna-makna yang terkandung di dalam
khas realistis. Sistem-sistem simbol itu simbol-simbol yang meliputi agama
merupakan sumber-sumber informasi tertentu, dan kedua, mengaitkan sistem-
yang ekstrinsik sehingga tidak seperti sistem ini pada struktur-struktur sosial
gen-gen misalnya, semua itu terletak di dan proses-proses psikologis. Hanya
luar batas-batas organism individual bila kita mempunyai sebuah analisis
yaitu dalam dunia intersubjektif dari teoritis atas tindakan simbolis yang
pemahaman-pemahaman bersama. dapat dibandingnya dengan kepuasan
(sofistikasi) pada apa yang sekarang
Simbol-simbol atau sistem- kita miliki untuk tindakan sosial dan
sistem simbol yang menyebabkan atau psikologis, kita akan dapat secara efektif
mendefinisikan disposisi-disposisi yang menguasai segi-segi kehidupan sosial
kita tetapkan sebagai sesuatu yang dan psikologis itu yang di dalamnya
bersifat religius dan yang menempatkan agama memainkan sebuah peranan yang
disposisi-disposisi itu dalam suatu menentukan.
kerangka kerja kosmik adalah simbol-
simbol mengenai hakikat dasariah dari Dengan demikian, Geertz (dalam
kenyataan bias kabur, dangkal, atau Ethos, World View, and The Analysis of
terlalu seringkali bertentangan tetapi Sacred Simbol, 1977) menegaskan bahwa
agama harus menegaskan sesuatu, kalau agama tidak pernah merupakan metafisik
agama tidak mau hanya terdiri dari semata-mata. Namun bukan hanya itu,
koleksi praktik-praktik yang diterima dan agama juga tidak dapat dianggap melulu
sentimen-sentimen konvensional yang bersifat etik/ethics. Ada dua konsep
biasanya kita acu sebagai moralisme. terkait dengan agama yaitu ‘ought’
Agama di satu sisi menanamkan kekuatan (yang seharusnya ada) yang bersifat
sumber-sumber simbolis kita untuk sangat memaksa itu dirasakan muncul
merumuskan gagasan-gagasan analitis dari suatu ‘is’ (yang nyatanya ada) yang
dalam sebuah konsep otoritatif tentang bersifat faktual, yang komprehensif, dan
bentuk menyeluruh dari kenyataan, dan dengan cara seperti itu agama mendasari
di sisi lain agama menanamkan kekuatan tuntutan-tuntutan tindakan manusia

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 12 No. 2


14 Kurnia Novianti

yang paling spesifik di dalam konteks- yang lain dan dari individu yang satu ke
konteks eksistensi manusia yang paling individu lainnya namun kecenderungan
umum. untuk mengeinginkan sejenis basis
faktual tertentu bagi komitmen-komitmen
Dua konsep lain yang dikaitkan seseorang agaknya secara praktis bersifat
dengan konsep agama adalah etos dan universal.
world view. Etos suatu bangsa adalah sifat,
watak, dan kualitas kehidupan mereka, Bila dibandingkan antara
moral, gaya estetis, dan suasana-suasana pemikiran Turner dan Geertz, Turner
hati mereka. Etos juga merupakan sikap menitikberatkan pada bagaimana di
mendasar terhadap diri mereka sendiri dalam struktur, setiap aktor menjalankan
dan dunia yang direfleksikan dalam perannya sehingga makna di balik simbol
kehidupan. Sedangkan world view adalah yang dianalisis mengarah pada fungsi
gambaran tentang kenyataan apa adanya, dari ritual upacara yang dilakukan
konsep mereka tentang alam, diri, dan dalam kehidupan nyata masyarakat yang
masyarakat. World view mengandung menjalaninya. Sedangkan pengamatan
gagasan-gagasan yang paling dan analisis yang dilakukan Geertz
komprehensif mengenai tatanan. Agama, lebih bersifat interpretive. Meskipun
dalam hal ini adalah sebagian usaha ada kemiripan antara apa yang dilihat
untuk membincangkan kumpulan makna keduanya, yaitu bahwa keyakinan harus
umum bagi individu untuk menafsirkan ditanamkan terlebih dahulu di benak
pengalaman dan mengatur tingkah setiap anggota masyarakat (yang menjadi
lakunya. Konsep lain yaitu simbol-simbol aktor dalam “drama ritual” tersebut)
sakral, yang menghubungkan sebuah sehingga fungsi itu kemudian benar-
ontologi dan kosmologi dengan estetika benar bisa dirasakan secara nyata (dalam
dan moralitas, di mana kekuatan khasnya pandangan masyarakat itu sendiri/native)
berasal dari kemampuan mereka yang dalam kehidupannya.
dianggap ada untuk mengidentifikasikan
fakta dengan nilai pada taraf yang paling
fundamental untuk memberikan pada Isu Kekuasaan dalam Diskusi tentang
sesuatu yang bagaimanapun juga bersifat Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan
faktual murni, suatu muatan normatif Agama
yang komprehensif (Geertz, 1977).
Sejumlah kasus yang mengandung
Dari pemikiran Geertz, hal-hal isu agama banyak bermunculan beberapa
penting yang perlu dicatat adalah tahun belakangan ini. Diantara kasus-
pertama, kekuatan sebuah agama dalam kasus tersebut, isu terorisme menjadi
menyangga nilai-nilai sosial kemudian salah satu yang paling banyak menghiasi
terletak pada kemampuan simbol- ‘ruang diskusi’ banyak pihak –baik politisi,
simbolnya untuk merumuskan sebuah ekonom, ahli hubungan internasional,
dunia tempat nilai-nilai itu, dan juga maupun ahli-ahli yang lain- karena telah
kekuatan-kekuatan yang melawan menjadi isu yang mengglobal. Terlebih
perwujudan nilai-nilai itu menjadi bahan ketika terjadi pemboman gedung World
dasarnya. Agama melukiskan kekuatan Trade Center (WTC) pada tanggal
imajinasi manusia untuk membangun 11 September 2001 yang berdampak
sebuah gambaran kenyataan. Kedua, pada diskriminasi terhadap orang-
kebutuhan akan pendasaran metafisik orang beragama Islam (Muslim) karena
untuk nilai-nilai tersebut tampaknya tindakan anarkisme tersebut dinilai
sangat bervariasi dalam intensitasnya dari identik dengan Islam. Para pelaku atau
kebudayaan yang satu ke kebudayaan pengorganisir rencana pemboman yang

HARMONI Mei - Agustus 2013


Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan Agama dalam Perspektif Antropologi 15

menyebabkan jatuhnya korban warga Bila saja gagasan demokratisasi


sipil tersebut kemudian dilabel atau tidak berkembang pesat seperti sekarang
distigmatisasi sebagai teroris. Wacana ini, bisa jadi kaum liberalis-kapitalis akan
tentang terorisme yang identik dengan kembali pada wujud aslinya sebagai
orang Islam beraliran keras ini semakin negara-negara imperialis, dan perang
disebarluaskan melalui pemberitaan- konvensional akan menjadi pilihan
pemberitaan di pelbagai media massa, bagi mereka karena persenjataan yang
baik elektronik maupun cetak. Dunia memadai. Tetapi, proyek demokratisasi,
seolah-olah memiliki ‘musuh’ baru yaitu --yang awalnya hanya upaya melakukan
terorisme, yang harus diwaspadai karena “gencatan senjata’ terhadap ancaman
jaringannya begitu luas dan serangannya komunis dan Islam--, telah menjadi
yang tidak pandang bulu. maskot kepopulisan negara-negara
barat. Sehingga, mau ditaruh dimana
Sebuah analisis tentang terorisme muka mereka bila mereka sendiri yang
yang disampaikan oleh Nurhadi (2003) menghancurkannya ketika proyek
berikut ini menarik karena dapat demokratisasi ini telah mengalami
dianalisis dengan perspektif antropologi akseptabilitas yang tinggi ditengah
kekuasaan. masyarakat internasional. Dan jalan
Ditengah kemunculan kekuatan- alternatif untuk mewujudkan dua
kekuatan potensial seperti Islam pada kepentingan yang menyatu dari kaum
abad 20, kaum kapitalis barat dihadapkan penguasa politik liberalis-kapitalis dan
pada persoalan pelik dalam menjaga kaum kapitalis barat, adalah terorisme.
kelangsungan proses produksi yang Terorisme yang dimaksud bukan
sarat dengan kebutuhan minyak bumi. untuk melakukan perlawanan terhadap
Menurut keterangan Z.A Maulani, para pengancam hegemoni mereka atas
mantan KABAKIN, persediaan minyak dunia, karena tidak sulit bagi kaum
yang dikuasai mereka atas negara-negara liberalis-kapitalis untuk menghadapi
yang dibawah kendali kaum kapitalis dunia Islam secara terang-terangan,
barat hanya cukup untuk puluhan tahun --bukan dengan cara teror tetapi
lagi. Artinya, ada ancaman yang sangat dengan perang konvensional--, tetapi
mendasar bagi kaum kapitalis barat dan terorisme diciptakan oleh kaum liberalis-
kroninya dalam membangun proyek kapitalis sebagai agen bayaran guna
utama mereka, yakni mempertahankan menghancurkan sasaran-sasaran yang
mega proyek kapitalisme dengan proses menjadi simbol kebebasan mereka. Jadi,
produksi yang harus terus berjalan. agen bayaran terorisme itu jadi korban
Sehingga, slogan perjuangan mereka proyek terorisme liberalis-kapitalis,
adalah “Siapa yang ingin menguasai sementara WTC, Bali dan simbol-simbol
dunia maka kuasailah minyak”. kebebasan milik mereka sendiri adalah
Kepentingan para penguasa politik objek yang sengaja dikorbankan untuk
formal di negara-negara kapitalis barat mendapatkan kemenangan yang lebih
untuk melakukan hegemoni terhadap besar, yakni mempertahankan hegemoni
dunia Islam sebagai kekuatan ideologi, dan persediaan minyak bumi bagi kaum
dan kepentingan kaum kapitalis penentu liberalis-kapitalis.
terhadap persediaan minyak bumi Dampak adanya terorisme
yang tersimpan di negara-negara Islam sekarang ini, di satu sisi telah merugikan
atau berpenduduk mayoritas Islam, citra kaum muslim di mata komunitas
menyatukan dua spektrum kekuatan dunia, seperti kalangan non-muslim
yang selama ini terpendam setelah dan kelompok Islam abangan. Di sisi
komunisme dianggap hancur.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 12 No. 2
16 Kurnia Novianti

lain, wacana terorisme yang dilancarkan dengan mekanisme tertentu. Kekuasaan


barat terhadap dunia Islam telah pada dasarnya dipraktikkan dalam
membangkitkan semangat perlawanan suatu ruang lingkup di mana ada banyak
terhadap kaum liberalis-kapitalis, yang posisi yang secara strategis berkaitan
menganggap teror dalam perspektif teori satu dengan yang lain dan senantiasa
konspirasi. mengalami pergeseran. Di sinilah strategi
berlangsung di mana-mana. Artinya,
Bagi kaum liberalis-kapitalis, dimana terdapat susunan, aturan-
kecaman masyarakat internasional aturan, dan sistem-sistem regulasi, serta
terhadap terorisme, yang diidentikan ada manusia yang saling berhubungan
dengan kelompok Islam, menjadi dengan yang lain, maka di situ pula
kemenangan tahap awal, setidaknya kekuasaan bekerja.
dalam menciptakan alasan (justification)
untuk penaklukan secara militer (baca: Menurut Foucault (dalam Bertens
penjajahan yang terlegalkan) terhadap 2001), kekuasaan mempunyai banyak
negara-negara yang diduga menjadi bentuk dan penerapan dari bentuk-bentuk
sarang teroris dan pendukung terorisme. kekuasaan berbeda-beda berdasarkan
Dan, negara-negara yang dimaksud oleh setting masing-masing. Kekuasaan
Amerika Serikat sebagai “dedengkot” juga terdapat pada sejumlah institusi,
kaum liberalis-kapitalis adalah negara- dan struktur kekuasaan tidak dapat
negara Islam atau berpenduduk diartikan sebagai struktur yang mantap.
mayoritas Islam yang memiliki kekayaan Ia justru akan selalu berubah sejalan
minyak bumi yang sangat besar, seperti dengan interaksi yang terjadi secara
Indonesia, Irak, Afghanistan dan negara- terus-menerus -- baik berupa perjuangan,
negara lain yang memiliki karakteristik perebutan, maupun persaingan – serta
yang sama, yang kemungkinan besar berkembangnya cara berfikir dan perilaku
akan menjadi sasaran berikutnya. para pelaku. Dengan demikian, kekuasaan
pada dasarnya akan selalu dinamis dan
Beberapa konsep muncul dalam menyebar tanpa bisa dilokalisasi, serta
analisis tersebut, diantaranya agen, meresap dalam seluruh jalinan hubungan
kekuatan, kepentingan, hegemoni, sosial (Foucault,1980). Dari analisis di
simbol, dan kelompok-kelompok yang atas, tidak hanya kelompok liberalis-
saling berhadapan. Analisis tersebut kapitalis yang memiliki kekuasaan
pun menyebutkan kata Islam sebagai itu tetapi juga kelompok Islam yang
penanda sebuah identitas yang dimiliki melakukan resistensi.
oleh suatu kelompok. Meskipun analisis
tersebut bukanlah satu-satunya analisis Meminjam pendekatan Gramsci,
tentang terorisme namun penulis yang memfokuskan pada bagaimana dan
melihat bahwa fenomena terorisme ini mengapa secara khusus subyek-subyek
memunculkan isu kekuasaan yang sangat yang disituasikan memobilisasi untuk
menarik. Setiap individu yang terlibat menunjukkan penindasan mereka. Inilah
sangat mungkin disebut sebagai agen pertanyaan yang tidak dielaborasi oleh
yang memiliki kekuasaan (power) untuk Foucault. Sebaliknya, Foucault memiliki
memengaruhi pihak lain dalam bertindak pemikiran teori tentang bagaimana
atau berperilaku. Menurut Foucault kekuasaan (power) membentuk kondisi-
(1977), kekuasaan bukan merupakan kondisi di mana hidup adalah hidup (the
sebuah benda yang bisa dimiliki, conditions in which lives are lived) (Li,
diberikan atau dipindahtangankan. 2007: 25). Governmentality merupakan
Kekuasaan merupakan suatu strategi mekanisme berlangsungnya kekuasaan
yang kompleks dalam suatu masyarakat dalam relasi kekuasaan. Artinya, ia bukan

HARMONI Mei - Agustus 2013


Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan Agama dalam Perspektif Antropologi 17

hanya gambaran bagaimana negara cara yang beragam “playing across


mengontrol masyarakat atau bagaimana another” menghasilkan kesenjangan
negara mengendalikan populasi dengan (gaps) dan pertentangan-pertentangan
memanipulasi pengetahuan dan (contradictions). Para subyek yang
kebenaran, atau gambaran mengenai terbentuk dari matrik-matrik ini menemui
bagaimana populasi dapat mengahasilkan ketidakkonsistenan yang memberikan
praktek yang dikehendaki oleh negara. kemungkinan bagi pandangan yang kritis.
Governmentality merupakan gambaran Kemudian, kekuatan dirasakan bersifat
tentang mekanisme berlangsungya memencar atau menyebar, atau bahkan
kekuasaan dalam setiap relasi sosial tidak dirasakan sebagai kekuasaan
sehingga tidak bisa direduksi sebagai sama sekali, dapat menjadi subyek dari
manifestasi relasi masyarakat dengan kesadaran kritis. Tentu saja, menunjukkan
negara. Relasi sosial antar individu bagaimana kekuasaan bekerja, unsettling
juga dapat merefleksikan mekanisme truths, dengan demikian dapat diteliti dan
governmentality. Terlebih lagi upaya dikontestasi sebagaimana agenda politik
mengidentifikasi berlangsung tidaknya menurut Foucault maupun Gramsci.
mekanisme governmentality melalui
ada tidaknya perlawanan kelompok Kekuasaan juga selalu bertautan
subordinat terhadap kelompok dominan dengan pengetahuan, sebab manusia
merupakan bentuk simplifikasi ketika melakukan interaksi dengan
mekanisme itu. yang lain akan selalu mengkonstruksi,
mendekonstruksi, dan merekonstruksi
Sementara Gramsci lebih pengetahuannya (Foucault, 2000).
menggunakan konsep hegemony Pengetahuan itu berasal dari relasi-relasi
untuk tujuan ini, dan formulasinya kekuasaan yang menandai keberadaan
terkenal misterius dan terfragmentasi. subjek (Foucault,1980). Dengan demikian,
Dalam critical review terhadap kekuasaan dan pengetahuan merupakan
konsep hegemony Gramsci, Crehan dua sisi yang bekerja dalam proses yang
berargumentasi bahwa istilah hegemony sama. Kekuasaan selain membentuk
merupakan “simply names the pengetahuan, juga memproduksi wacana.
problem –bagaimana relasi kekuasaan Wacana pada dasarnya “menyatukan”
menjadi dasar dari bentuk-bentuk bahasa dengan praktik. Wacana mengacu
yang bervariasi dari ketidaksetaraan pada produksi pengetahuan melalui
yang diproduksi dan direproduksi”. bahasa yang memberi makna pada
Gramsci tidak menggunakannya untuk benda-benda material dan praktik-
menggambarkan kondisi yang tetap praktik sosial. Wacana juga dipahami
(fixed condition), namun lebih sebagai sebagai penjelasan, pendefinisian,
cara untuk membicarakan “bagaimana pengklasifikasian, dan sistem-sistem
kekuasaan hidup dalam rentang waktu abstrak pemikiran. Wacana menyediakan
dan tempat tertentu”, selalu, sebagai kita cara-cara memperbincangkan sesuatu
perpaduan/campuran dari paksaan topik tertentu, baik bertautan dengan ide,
(coercion) dan persetujuan/kesepakatan praktik-praktik, maupun bentuk-bentuk
(consent) (Li, 20007: 25). pengetahuan yang diulang-ulang di
beberapa wilayah aktivitas.
Kekuasaan-kekuasaan (powers)
yang bersifat multipel tidak dapat ditotal Kemudian, bagaimana isu agama
dan terlihat mulus. Inilah pengamatan dimunculkan? Kontestasi antara
yang sangat penting menurut Li (2007: 25- kelompok-kelompok yang disebutkan
26). Keberagaman kekuasaan, beragam dalam analisis di atas memunculkan
cara praktik memosisikan orang, cara- agama sebagai sebuah identitas. Penulis

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 12 No. 2


18 Kurnia Novianti

melihat agama dimunculkan dalam di antara sejumlah interaksi dan peristiwa


bentuk simbol-simbol yang telah dalam praktik-praktik sosial sejumlah
dikenal (recognized) sehingga wacana pelaku dengan posisi yang menyebar.
yang dibangun tentang terorisme dan Lebih lanjut menurut Giddens, bekerjanya
pelakunya, tidak hanya memunculkan kekuasaan dapat dipelajari dari cara para
tindakan-tindakan (kekerasan) yang pelaku memproduksi dan merepoduksi
dimunculkan tetapi juga segala atribut struktur sosial melalui interaksi-interaksi
yang dikenakan oleh individu-individu di antara mereka. Dari interaksi-interaksi
tersebut. Perhatian dalam kajian ini bukan tersebut, menurut Giddens (1979 dan
pada ritual yang dilakukan oleh para 1984), tidak mungkin terjadi penguasaan
pemilik agama tetapi kepada analisis atas total atas pelaku tertentu terhadap pelaku
sistem makna-makna yang terkandung lain, yang tercipta adalah dialektika
di dalam simbol-simbol yang meliputi kontrol (the dialectic of control). Artinya,
agama tertentu, dan mengaitkan sistem- dalam kekuasaan selalu terlibat relasi
sistem ini pada struktur-struktur sosial otonomi dan ketergantungan, baik pada
dan proses-proses psikologis. tataran yang menguasai maupun yang
dikuasai, bekerja saling mengontrol.
Kekuasaan tidak lagi berada di
tangan para pemimpin agama seperti Bertolak dari adanya para pelaku
yang muncul pada kajian-kajian yang saling mengontrol itulah, menurut
terdahulu tetapi juga ditemukan pada Giddens (1984), istilah kekuasaan
individu penganut agama tertentu. menjadi berbeda dengan istilah dominasi.
Dalam konteks pemboman di Bali (tahun Dominasi, lebih mengacu pada skemata
2004) dan beberapa daerah lainnya asimetri hubungan tataran struktur,
beberapa tahun belakangan, muncul terutama mencakup skemata penguasaan
individu-individu yang melakukan atas orang (politik) dan barang (ekonomi).
bunuh diri dengan membom dirinya Sedangkan kekuasaan menyangkut
sendiri. Tindakan ini jelas bukan tanpa kapasitas yang terlibat dalam hubungan
tujuan dan kepentingan. Namun terlihat sosial pada tataran pelaku (interaksi
bahwa kekuasaan juga bertautan dan praktik sosial). Dengan kata lain,
dengan pengetahuan, sebab manusia kekuasaan bekerja tidak dilihat dari
ketika melakukan interaksi dengan otoritas penguasaan akses politik dan
yang lain akan selalu mengkonstruksi, ekonomi yang dimiliki oleh salah satu
mendekonstruksi, dan merekonstruksi pelaku terhadap pelaku yang lain, namun
pengetahuannya (Foucault, 2000). kekuasaan bekerja dalam praktik-praktik
Pengetahuan itu berasal dari relasi-relasi sosial sejumlah pelaku dalam rangka
kekuasaan yang menandai keberadaan mereproduksi dua struktur dominasi
subjek. Dengan demikian, kekuasaan dan (politik dan ekonomi) di atas.
pengetahuan merupakan dua sisi yang
bekerja dalam proses yang sama. Isu terorisme kemudian tidak
terlepas dari isu-isu politik dan ekonomi
Oleh karena itu, penulis melihat yang menjadi kepentingan aktor-aktor
bahwa kebudayaan, perubahan, dan di belakangnya. Dalam hal ini, penulis
agama sarat akan isu kekuasaan sebagai melihat bahwa telah terjadi ‘komoditisasi’
praksis dari keberadaan individu- agama demi tujuan-tujuan tertentu.
individu yang saling berinteraksi. Agama tidak lagi sekedar perasaan-
Kekuasaan dipahami sebagai relasi; perasaan atau sentimen-sentimen yang
sesuatu gambaran jalinan yang tidak dipelihara melalui ritual-ritual yang
tunggal, tidak homogen, dan tidak utuh. Ia dilaksanakan secara terus-menerus tetapi
justru merupakan jalinan yang kompleks telah mengalami proses pemaknaan

HARMONI Mei - Agustus 2013


Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan Agama dalam Perspektif Antropologi 19

yang begitu rumit sehingga mampu ruang diskusi para akademisi masa kini.
memberikan justifikasi atas tindakan yang
dilakukan. Proses tersebut menunjukkan Dalam evaluasi singkat ini pula,
adanya perubahan cara pandang sebagai penulis ingin menyampaikan bahwa
hasil ‘interaksi’ manusia/individu dengan isu-isu kekuasaan tidak lagi didominasi
lingkungan sosial-budaya di mana ia oleh disiplin ilmu politik tetapi juga
hidup. Proses itu menjadi semakin menjadi sangat menarik dan bermanfaat
kompleks ketika individu-individu ketika ‘dipertemukan’ dengan isu-
(kelompok) yang memiliki kepentingan isu kebudayaan yang menjadi fokus
dan tujuan tertentu berhadapan dengan kajian antropologi. Kebudayaan yang
kelompok-kelompok lain yang berbeda di dalamnya juga membahas interaksi
kepentingan dan tujuan. Di sinilah manusia dan lingkungannya (baik sosial,
terjadi upaya memodifikasi kebudayaan ekonomi, politik, maupun budaya)
melalui konstruksi, rekonstruksi, atau menjadi sangat kompleks karena
dekonstruksi pengetahuan. senantiasa mengalami perbaikan atau
modifikasi sebagai wujud dari perubahan
yang dialaminya.
Penutup Dengan demikian, kebudayaan
menjadi satu konsep yang semakin
Pemikiran-pemikiran terdahulu
menarik dibahas ketika dihubungkan
para antropolog yang menghasilkan
dengan isu-isu lain seperti perubahan
teori-teori kebudayaan yang statis, tetap,
dan agama. Dengan mengamati dinamika
dan bounded akan sulit menjelaskan
yang terjadi di masyarakat sehari-hari,
fenomena-fenomena yang menjadi hasil
keterkaitan antara ketiganya semakin
dari dinamika kehidupan masyarakat
jelas terlihat. Sementara isu kekuasaan
yang berinteraksi dengan masyarakat-
yang menjadi fokus kajian dalam
masyarakat lain, baik dalam lingkup
perkuliahan ini, juga mewarnai analisis
nasional, internasional, ataupun
fenomena yang diamati. Perspektif ini
global. Kebudayaan yang dianggap
memberikan pandangan dan wawasan
homogen dan lestari sepanjang masa
yang berbeda dengan disiplin ilmu politik
juga mendapat banyak revisi dari
yang menempatkan kekuasaan pada
pelbagai pihak. Antropolog kemudian
struktur sosial yang ada di masyarakat.
merekonstruksi atau mendekonstruksi
Sehingga dalam penelitiannya, seorang
pemikiran-pemikirannya dengan
antropolog dapat lebih memahami makna
meminjam pemikiran-pemikiran dari
dari fenomena yang ditelitinya dengan
disiplin-disipilin ilmu yang lain sehingga
cara menguak ‘hidden transcript’ yang
menghasilkan teori-teori kebudayaan
tersembunyi di balik fenomena tersebut.
yang banyak digunakan dalam ruang-

Referensi

Boggs, James P., 2004, The Culture Concept as Theory, in Context. CURRENT
ANTHROPOLOGY, 45(2): 187-209.
Foucault, Michel. 2000, Power, Penguin Book Ltd, London.
Foucault, Michel. 1980, Power / Knowledge: Selected Interview & Other Writing,
Pantheon, New York.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 12 No. 2


20 Kurnia Novianti

Foucault, Michel.1977, Discipline and Punish, Penguin Book Ltd, London.


Geertz, Clifford. 1977, Religion as a Cultural Sistem dalam Interpretation of Cultures,
Basic Books, New York.
Geertz, Clifford. 1973, The Impact of the Concept of Culture on the Concept of Man
dalam The Interpretation of Cultures, Basic Books, New York.
Geertz, Clifford. 1973, Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture
dalam The Interpretation of Culture, Basic Books, New York.
Giddens, Anthony. 1984, Constitution of Society: The Outline of the Theory of
Structuration, Polity Press, Cambridge.
Giddens, Anthony. 1979, Central Problems ini Social Theory, Macmillan, London.
Goodenough, Ward H. 1994, Toward a Working Theory of Culture dalam Assessing
Cultural Anthropology, Robert Borofsky, ed., McGraw-Hill, Inc, New York.
Keesing, Roger M. 1994, Theories of Culture Revisited dalam Assessing Cultural
Anthropology, Robert Borofsky, ed., McGraw-Hill, New York.
Li, Tania Murray. 2007, The Will to Improve: Governmentality, Development, and the
Practice of Politics, Duke University Press, London.
Nurhadi, Robi, 2003, Politik Teror: Resistensi Konflik Peradaban?. http://www.dephan.
go.id/modules.php?name=Sections&op=viewarticle&artid=63., diakses tanggal 3
Juni 2011.
Turner, Victor. 1987, Planes of Classification in a Ritual of Life and Death dalam The
Ritual Process: Structure and Anti-Structure, Cornell UP, New York.

HARMONI Mei - Agustus 2013

Anda mungkin juga menyukai