Anda di halaman 1dari 90

Olahraga

dalam Pusaran
Kebudayaan

PENULIS :
Dr. Muhammad Hamid Anwar, S.Pd., M.Phil.
KATA PENGANTAR

Olahraga dalam konteks kebudayaan merupakan sesuatu hal yang sangat


menarik untuk dikaji, mengingat—keterlibatannya dengan berbagai element sosial
merupakan suatu yang yang sulit untuk dihindarkan. Namun demikian, untuk
merunut berbagai wacana keolahragaan dalam perspektif soisologis ternyata juga
merupakan hal yang tidak mudah. Keterjebakan olahraga dalam perspektif
biomedis dan mekanis menjadikannya relatif miskin untuk diperbincangkan dalam
wacana sosial.
Dalam perkembangan peradaban modern, dengan jelas dapat disimak
bagaimana jejak industrialisasi di berbagai bidang sangat kuat menggejala. Hal ini
juga melanda ke dalam ruang keolahragaan. Tanpa disadari, pengaruh
industrialisasi tidak hanya kemdian mempengaruhi pada soal bagaimana kemudian
konsep olahraga itu dipraktikan. Lebih jauh, pengaruh itu juga turut menggeser
makna dan nilai dari olahraga.
Berbagai macam bentuk entitas yang lahir kemudian akibat persentuhan
olahraga dan kebudayaan sampai saat ini dapat dikatakan telah melampaui berbagai
bentuk produk kebudayaan lainnya. Namun demikian, tidak banyak kesadaran itu
muncul dan memberikan perhatian yang serius untuk mengkaji hal tersebut. Fakta
nyata yang ada adalah, bahwa saat ini dalam konteks ke Indonesiaan masih relatif
sulit untuk menemukan berbagai tulisan maupun hasil kajian yang memberikan
penjelasan tuntas mengenai olahraga adlam perspekstif sosiologis maupun
kebudayaan. Buku ini baru sekedar memberikan gambaran permukaan saja, namun
penulis yakin—hal ini akan menjadi pemicu bagi banyak analisis-analisis yang
lebih mendalam terhadap olahraga dalam perspekstif budaya. Bagaimanapun
kedangkalan yang ada dalam karya ini, namun ada sisi optimis meski sangat sedikit
tetap akan memberikan kontribusi dalam wacana keolahragaan.

Yogyakarta,
November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii

Bab I
Hakikat Kebudayaan dan Unsur-Unsur kebudayaan 1

Bab II
Pusaran kebudayaan 10

Bab III
Olahraga dalam Konteks Kebudayaan 16

Bab IV
Dampak Pusaran Kebudayaan Terhadap Olahraga 31

Bab V
Olahraga dan Pendidikan 69

Referensi 105

iii
BAB I.
Hakikat Kebudayaan dan Unsur-Unsur kebudayaan

A. Penafsiran kebudayaan Secara etimologis


Secara harfiah, "kebudayaan" adalah sebuah kata benda dalam bahasa
Indonesia yang mengacu pada segala hal yang terkait dengan budaya atau
warisan budaya. Ini mencakup aspek-aspek seperti bahasa, seni, adat istiadat,
sistem nilai, tradisi, norma sosial, pengetahuan, dan banyak lagi yang
membentuk cara hidup dan identitas suatu kelompok manusia atau masyarakat.
Dengan kata lain, secara harfiah, "kebudayaan" adalah sebuah istilah
yang merujuk pada keseluruhan aspek yang berkaitan dengan budaya manusia
dan bagaimana budaya ini diwujudkan dan dipertahankan oleh suatu kelompok
sosial. Istilah ini mencakup segala sesuatu yang mencerminkan identitas,
pandangan dunia, dan cara hidup suatu masyarakat atau kelompok manusia
tertentu.
Kata "kebudayaan" dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar
"budaya," yang memiliki akar kata dalam bahasa Sanskerta, yakni "buddhaya."
Akar kata "buddhaya" dalam bahasa Sanskerta memiliki makna "pengetahuan"
atau "pembelajaran," dan kemudian berkembang menjadi "budaya" dalam
bahasa Indonesia dengan makna yang lebih luas.
Proses perkembangan kata ini melibatkan perubahan makna dari asalnya
yang lebih terfokus pada pengetahuan dan pembelajaran, hingga menjadi istilah
yang mencakup seluruh kompleksitas pola-pola perilaku, nilai-nilai, norma-
norma sosial, kesenian, pengetahuan, dan sistem-sistem yang berkembang dalam
masyarakat.
Kata "kebudayaan" digunakan untuk merujuk pada warisan intelektual
dan materi manusia yang diwariskan melalui generasi, dan mencerminkan cara
hidup dan pandangan dunia suatu kelompok manusia. Ini meliputi bahasa,
agama, seni, ilmu pengetahuan, teknologi, dan segala aspek kehidupan sosial
yang membentuk identitas dan eksistensi suatu kelompok masyarakat.

1
Perkembangan makna kata "kebudayaan" dari "pengetahuan" hingga
cakupan yang lebih luas adalah sebuah contoh bagaimana bahasa berkembang
seiring waktu dan bagaimana kata-kata dapat mengalami perubahan makna
sesuai dengan kebutuhan budaya dan perkembangan masyarakat.
B. Hakikat Kebudayaan
Konsep kebudayaan dapat didefinisikan berbeda oleh beberapa ahli.
Berikut adalah beberapa pandangan dari berbagai ahli mengenai hakikat
kebudayaan:
Edward B. Tylor: Salah satu pendiri antropologi budaya, Tylor
mendefinisikan kebudayaan sebagai "keseluruhan yang kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan lainnya serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat." Tylor menekankan unsur universalitas dan evolusi dalam
kebudayaan.
Franz Boas: Boas menekankan pluralitas dan keragaman budaya. Ia
berpendapat bahwa budaya adalah unik untuk masing-masing kelompok
manusia dan tidak dapat dikelompokkan dalam tingkatan evolusi.
Clifford Geertz: Geertz mendefinisikan budaya sebagai "sistem makna
yang dihasilkan oleh perilaku manusia." Ia menekankan pentingnya tafsir dan
interpretasi dalam memahami kebudayaan, serta bagaimana simbol-simbol dan
makna budaya dapat ditafsirkan oleh individu.
Bronislaw Malinowski: Malinowski menekankan bahwa budaya adalah
alat yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis
mereka. Ia memandang budaya sebagai sarana untuk memecahkan masalah
manusia sehari-hari.
Penting untuk diingat bahwa definisi kebudayaan dapat bervariasi antara
ahli dan dapat berubah seiring perkembangan pemikiran dalam ilmu sosial dan
humaniora. Kesamaan dalam pandangan mereka adalah bahwa kebudayaan
mencakup norma, nilai, praktik, dan simbol yang membentuk cara hidup
masyarakat manusia.

2
Kebudayaan tidak bisa diartikan secara sederhana sehingga terdapat
berbagai definisi mengenai kebudayaan yang berasal dari gagasan para sarjana
luar negeri. Definisi kebudayaan yang dikumpulkan oleh A.L. Kroeber dan C.
Kluckhohn berjumlah sekitar 160 buah yang ditulis dalam buku Culture: A
Critical Review of Concept and Definitions. Koentjaraningrat, seorang tokoh
antropologi di Indonesia mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Dalam
definisi ini kebudayaan bermakna sangat luas dan beragam karena mencakup
proses berlajar dalam sejarah hidup manusia yang diwariskan antargenerasi.
Kebudayaan memiliki pengertian sebagai segala tingkah laku manusia
dalam kehidupannya yang diperoleh melalui proses belajar. Namun, seringkali
kebudayaan hanya bermakna atau berkaitan dengan bidang seni. Sebaliknya,
segala hal yang berkaitan dengan perilaku manusia dalam kehidupannya bisa
dikategorikan sebagai kebudayaan. Misalnya, cara makan, sopan santun,
upacara perkawinan hingga cara memilih pimpinan pun merupakan bentuk
kebudayaan manusia. Definisi kebudayaan dalam antropologi adalah segala
tingkah laku manusia yang layak dipandang dari sudut kebudayaan sehingga
bisa dikategorikan sebagai kebudayaan.
Koentjaraningrat membagi kebudayaan dalam tiga wujud, yakni ideas
(sistem ide), activities (sistem aktivitas), dan artifacts (sistem artefak).
1. Wujud Kebudayaan sebagai Sistem Ide
Wujud kebudayaan sebagai sistem ide bersifat sangat abstrak, tidak bisa
diraba atau difoto dan terdapat dalam alam pikiran individu penganut
kebudayaan tersebut.
2. Wujud Kebudayaan sebagai Sistem Aktivitas
Wujud kebudayaan sebagai sistem aktivitas merupakan sebuah aktivitas
atau kegiatan sosial yang berpola dari individu dalam suatu masyarakat.
Sistem ini terdiri atas aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan
berhubungan secara kontinu dengan sesamanya.
3. Wujud Kebudayaan sebagai Sistem Artefak

3
Wujud kebudayaan sebagai sistem artefak adalah wujud kebudayaan
yang paling konkret, bisa dilihat, dan diraba secara langsung oleh
pancaindra. Wujud kebudayaan ini adalah berupa kebudayaan fisik yang
merupakan hasil-hasil kebudayaan manusia berupa tataran sistem ide atau
pemikiran ataupun aktivitas.
C. Unsur-Unsur kebudayaan
Koentjaraningrat, seorang antropolog terkemuka Indonesia, memberikan
kontribusi besar terhadap pemahaman tentang kebudayaan di Indonesia. Dalam
karyanya yang terkenal "Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan," ia
mengidentifikasi beberapa unsur kebudayaan. Berikut adalah unsur-unsur
kebudayaan menurut Koentjaraningrat:
1. Sistem Pengetahuan dan Kepercayaan (Cognitif):
Sistem pengetahuan mencakup gagasan, konsep, dan teori yang dimiliki
oleh suatu masyarakat. Ini mencakup kepercayaan tentang alam semesta,
keberadaan manusia, kehidupan setelah mati, dan konsep-konsep metafisika
lainnya.
2. Sistem Nilai dan Norma (Afektif dan Psikomotor):
Sistem nilai mencakup evaluasi dan penilaian masyarakat terhadap apa yang
dianggap baik atau buruk, benar atau salah. Norma-norma adalah aturan-
aturan yang mengatur perilaku dan tindakan berdasarkan pada sistem nilai.
3. Sistem Kesenian (Ekspresif dan Psikomotor):
Seni dalam kebudayaan melibatkan ekspresi kreatif melalui seni rupa,
musik, tari, dan berbagai bentuk seni lainnya. Seni mencerminkan keunikan
dan identitas budaya.
4. Sistem Bahasa (Kognitif dan Afektif):
Bahasa adalah sarana utama komunikasi dalam masyarakat. Selain itu,
bahasa juga mencerminkan cara pandang dan nilai-nilai budaya.
5. Sistem Peralatan Hidup (Psikomotor dan Afektif):
Ini melibatkan alat dan benda-benda yang digunakan oleh masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Peralatan hidup mencerminkan teknologi dan
cara masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya.

4
6. Sistem Sosial (Psikomotor dan Afektif):
Ini mencakup organisasi sosial, struktur keluarga, hierarki, dan hubungan
sosial antarindividu dan kelompok.
7. Sistem Kelembagaan (Psikomotor dan Afektif):
Kelembagaan melibatkan struktur dan lembaga-lembaga dalam masyarakat,
seperti kelembagaan agama, pendidikan, dan politik.
8. Sistem Teknologi (Psikomotor dan Kognitif):
Teknologi mencakup alat, teknik, dan pengetahuan yang digunakan oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
9. Sistem Ekonomi (Psikomotor dan Afektif):
Ini melibatkan cara masyarakat memproduksi, mendistribusikan, dan
mengonsumsi sumber daya ekonomi. Sistem ekonomi mencerminkan nilai-
nilai dan norma-norma ekonomi dalam masyarakat.
10. Sistem Politik (Psikomotor dan Afektif):
Ini mencakup struktur politik, sistem pemerintahan, dan proses pembuatan
keputusan dalam masyarakat.
11. Sistem Hukum (Psikomotor dan Afektif):
Ini melibatkan norma-norma hukum dan sistem pengaturan perilaku
masyarakat.
12. Sistem Kepercayaan (Afektif):
Kepercayaan melibatkan keyakinan dan sikap masyarakat terhadap
kekuatan gaib, rohaniah, dan aspek-aspek spiritual.
Perlu dicatat bahwa unsur-unsur ini saling terkait dan membentuk suatu
sistem kebudayaan yang utuh. Koentjaraningrat menekankan pentingnya
melihat kebudayaan secara holistik dan memahami interaksi kompleks antara
unsur-unsur tersebut dalam konteks kehidupan masyarakat. Definisi ini
mencerminkan pandangan Koentjaraningrat tentang kebudayaan yang
melibatkan dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik masyarakat.
D. Berbagai macam Teori tentang Kebudayaan

5
Dalam upaya mendiskusikan kebudayaan, ada beberapa teori yang
pantas untuk dirujuk sebagai tambahan pisau analisa, diantaranya sebagai
berikut:
1. Teori Struktural Fungsional
Teori Struktural-Fungsional adalah pendekatan dalam sosiologi dan
antropologi yang menekankan peran dan fungsi berbagai elemen dalam
suatu sistem sosial untuk mempertahankan stabilitas dan keseimbangan.
Teori ini menyoroti bagaimana berbagai bagian masyarakat saling
berinteraksi dan berkontribusi pada keberlangsungan masyarakat secara
keseluruhan. Teori Struktural-Fungsional memiliki akar sejarah yang kuat
dan memiliki kontribusi signifikan dari sejumlah tokoh penting dalam
disiplin sosiologi. Teori Struktural-Fungsional memiliki akar filosofis
dalam pemikiran positivistik, yang menekankan pada penelitian ilmiah dan
pemahaman obyektif terhadap realitas sosial.
Dalam teori ini, Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari
berbagai bagian yang saling berhubungan. Setiap bagian dari masyarakat
memiliki fungsi tertentu yang berkontribusi pada kelangsungan sistem.
Selanjutnya, Masyarakat sering dibandingkan dengan organisme hidup.
Setiap bagian memiliki peran seperti organ-organ dalam tubuh manusia.
Perbandingan ini membantu untuk menjelaskan bagaimana keberlanjutan
sistem dipertahankan melalui fungsi-fungsi yang terkoordinasi. Teori
Struktural-Fungsional memberikan pemahaman mendalam tentang
bagaimana elemen-elemen masyarakat saling berinteraksi untuk
menciptakan suatu sistem yang stabil. Meskipun telah mengalami kritik dan
variasi, konsep-konsep fungsionalisme tetap menjadi bagian penting dalam
sejarah dan perkembangan sosiologi.
2. Teori Sosial Konflik
Teori Sosial Konflik adalah suatu pendekatan dalam sosiologi yang
menekankan pertentangan dan ketidaksetaraan sosial sebagai motor utama
perubahan sosial. Teori ini beranggapan bahwa masyarakat tidak selalu
bersatu dan harmonis, melainkan terbagi oleh konflik dan pertentangan

6
antar-kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda. Teori ini memiliki
akar dalam pemikiran Karl Marx, yang menyoroti pertentangan kelas dalam
masyarakat kapitalis.
Fokus dalam perspesktif teori ini kemudian menjadi dasar bagi analisis
ketidaksetaraan dan konflik sosial.
Teori Sosial Konflik berpendapat bahwa konflik sosial bukanlah sesuatu
yang harus dihindari, melainkan merupakan motor utama perubahan sosial.
Ketidaksetaraan dan konflik dapat mendorong perubahan menuju suatu
masyarakat yang lebih adil. Masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang
memiliki kepentingan yang berbeda.
Konflik terjadi ketika kelompok-kelompok ini bersaing untuk sumber daya
dan kekuasaan. Institut-institusi sosial, seperti pemerintahan, hukum, dan
pendidikan, dapat menjadi alat dominasi bagi kelompok yang lebih kuat.
Mereka dapat digunakan untuk mempertahankan ketidaksetaraan atau untuk
mengubahnya.
3. Teori Simbolik (Interaksionisme Simbolik)
Teori simbolik menekankan pentingnya simbol dan makna yang
diberikan manusia pada pengalaman kehidupan sehari-hari. Kebudayaan
dipahami melalui interpretasi simbol dan interaksi sosial.
Teori Interaksionisme Simbolik (Symbolic Interactionism) adalah
suatu pendekatan dalam sosiologi yang memfokuskan pada makna-makna
yang dibuat dan diberikan oleh individu melalui interaksi sosial. Teori ini
menekankan pentingnya simbol dan bahasa dalam proses interaksi sosial, di
mana makna-makna disusun dan ditafsirkan oleh individu melalui
pertukaran simbol-simbol. Simbol adalah tanda atau representasi yang dapat
memiliki makna yang berbeda bagi setiap individu. Proses memberi makna
terjadi melalui interaksi sosial di mana simbol-simbol digunakan dan
diartikan.
Dalam teori ini, memberikan kontrast terhadap teori strukturalis yang
cenderung menekankan pada struktur sosial dan determinisme. Menekankan
pada kebebasan individu untuk memberi makna dan merespons dalam situasi

7
tertentu. Teori Interaksionisme Simbolik digunakan secara luas dalam
penelitian kualitatif untuk memahami dan menjelaskan dinamika sosial
dalam kehidupan sehari-hari.
Teori Interaksionisme Simbolik memberikan pandangan yang
mendalam tentang cara individu berinteraksi dan membentuk makna dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan menyoroti simbol dan makna, teori ini
memberikan pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas hubungan
sosial dan identitas individu.

8
Bab II
Pusaran kebudayaan

A. Pusaran
Pusaran kebudayaan adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan interaksi dan pertukaran budaya yang intens antara masyarakat
yang berbeda. Istilah ini sering digunakan dalam konteks globalisasi, di mana
komunikasi, perjalanan, dan pertukaran informasi yang cepat memungkinkan
penyebaran budaya dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat.
Pusaran kebudayaan mengacu pada proses saling pengaruh dan adopsi
aspek-aspek budaya antara masyarakat yang berbeda. Hal ini dapat terjadi
melalui berbagai cara, seperti perdagangan internasional, migrasi, media massa,
internet, pariwisata, dan interaksi antarbudaya lainnya.
Dalam pusaran kebudayaan, unsur-unsur budaya seperti bahasa,
makanan, mode, musik, seni, agama, dan nilai-nilai sosial sering kali berpindah
dan beradaptasi di antara masyarakat yang berbeda. Hal ini dapat menciptakan
bentuk-bentuk baru dari budaya yang merupakan perpaduan dari berbagai
pengaruh budaya yang berbeda.
Namun, pusaran kebudayaan juga dapat menimbulkan tantangan dan
konflik. Beberapa orang mungkin merasa terancam dengan perubahan budaya
dan adopsi unsur-unsur budaya asing, sementara yang lain mungkin melihatnya
sebagai peluang untuk berekspresi dan menggali nilai-nilai budaya baru.
Secara keseluruhan, pusaran kebudayaan adalah fenomena kompleks
yang mencerminkan dinamika dan interaksi yang terjadi antara masyarakat
yang berbeda di era globalisasi. Olahraga merupakan bagian integral dari
kebudayaan manusia. Konsep olahraga sebagai bagian dari kebudayaan
mencakup hubungan yang erat antara olahraga dan aspek-aspek budaya seperti
nilai-nilai, tradisi, norma sosial, identitas, dan ekspresi kreatif masyarakat.

9
B. Proses perkembangan dan pergeseran kebudayaan
Sesuai dengan hakikat manusia yang senantiasa berubah dan
berkembang dalam setiap waktu, maka kebudayaan yang merupakan bentuk
hasil budi dan daya manusia maka juga turut berkembang. Dalam konteks dunia
yang semakin mengglobal, maka proses perkembangan kebudayaan saat ini
tidak bisa diurai secara mandiri dalam konteks lokalnya. Pertemuan kebudayaan
dengan berbagai bentuk entitas kebudayaan dari berbagai arah menjadikan
proses perkembangan kebudayaan menjadi semakin cepat dan seringkali
keberadaannya semakin rumit.
Berbagai macam teori mencoba menguraikan bagaimana proses
perubahan dan perkembangan kebudayaan yang terjadi, diantaranya adalah:
a. Akulturasi Kebudayaan
Akulturasi kebudayaan adalah proses saling pengaruh antara dua
kelompok budaya yang berinteraksi secara intensif. Dalam proses ini, kedua
kelompok budaya mempengaruhi satu sama lain dan mengadopsi unsur-
unsur budaya dari masing-masing kelompok. Akulturasi seringkali terjadi
saat dua kelompok budaya memiliki kontak yang berkelanjutan, baik
melalui perdagangan, migrasi, kolonisasi, atau interaksi sosial lainnya.
Perbedaan antara akulturasi dan asimilasi adalah bahwa dalam
akulturasi, kedua kelompok budaya tetap mempertahankan sebagian besar
identitas budaya mereka. Ini berbeda dengan asimilasi, di mana satu
kelompok budaya mengambil alih unsur-unsur budaya dari kelompok lain
dan mengintegrasikannya sepenuhnya ke dalam budaya mereka sendiri.
Proses akulturasi dapat menghasilkan perpaduan budaya yang unik,
dengan unsur-unsur budaya dari kedua kelompok yang tetap ada dan
berinteraksi. Ini seringkali menciptakan keragaman budaya yang kaya dan
beragam. Akulturasi juga bisa menjadi sumber inovasi dalam berbagai
bidang seperti seni, musik, makanan, dan teknologi.
Penting untuk diingat bahwa akulturasi adalah proses yang
kompleks dan sering kali melibatkan negosiasi, pertukaran budaya, dan

10
kadang-kadang juga konflik budaya. Hasil akulturasi dapat sangat
bervariasi tergantung pada konteks sosial, politik, dan sejarahnya
b. Asimilasi Kebudayaan
Asimilasi kebudayaan adalah proses di mana sebuah kelompok
individu atau masyarakat mengadopsi unsur-unsur budaya dari kelompok
lain dan mengintegrasikannya ke dalam budaya mereka sendiri. Ini sering
terjadi ketika dua kelompok budaya yang berbeda secara intensif
berinteraksi, dan satu kelompok budaya menjadi dominan atau berpengaruh
terhadap yang lain.
Dalam proses asimilasi, unsur-unsur budaya seperti bahasa, agama,
nilai-nilai, norma sosial, makanan, pakaian, dan praktik-praktik kehidupan
sehari-hari dari kelompok dominan akan diadopsi oleh kelompok yang
kurang dominan. Hasil dari asimilasi adalah bahwa kelompok yang kurang
dominan mengalami perubahan dalam budaya mereka dan mungkin
mengalami penurunan dalam identitas budaya mereka.
Proses asimilasi kebudayaan dapat berdampak baik atau buruk
tergantung pada konteksnya. Di satu sisi, asimilasi dapat membantu
mengurangi konflik antar kelompok budaya dan menghasilkan integrasi
sosial yang lebih baik. Di sisi lain, jika tidak ada penghargaan terhadap
keberagaman budaya atau jika asimilasi dipaksakan, hal itu dapat
menyebabkan hilangnya warisan budaya yang kaya dan penindasan
kelompok budaya yang kurang dominan.
Penting untuk memahami bahwa asimilasi budaya adalah proses
yang kompleks dan sering kali melibatkan pertukaran dua arah antara
kelompok budaya yang berinteraksi. Dalam konteks globalisasi, asimilasi
budaya menjadi semakin relevan karena interaksi antarbudaya semakin
umum dalam masyarakat yang semakin terhubung secara global.
C. Elemen-elemen sentral yang mempengaruhi munculnya pusaran kebudayaan
Pusaran kebudayaan atau sering disebut "melting pot" adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana berbagai kelompok
budaya dengan latar belakang yang berbeda saling berinteraksi dan unsur-unsur

11
budaya mereka berbaur menjadi satu budaya yang lebih homogen. Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi munculnya pusaran kebudayaan atau melting
pot adalah:
1. Imigrasi: Ketika imigran dari berbagai wilayah dan budaya berpindah ke
suatu negara atau kawasan, mereka membawa dengan mereka warisan
budaya mereka sendiri. Imigrasi yang besar dan beragam dapat menjadi
faktor utama dalam munculnya pusaran kebudayaan.
2. Urbanisasi: Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari pedesaan ke
perkotaan. Di kota-kota besar, berbagai kelompok budaya sering kali hidup
berdampingan, berinteraksi, dan saling memengaruhi, yang dapat
menghasilkan proses pusaran kebudayaan.
3. Komunikasi dan Teknologi: Kemajuan teknologi dan komunikasi, seperti
internet dan media sosial, telah memungkinkan pertukaran budaya yang
lebih cepat dan luas. Ini dapat menggabungkan unsur-unsur budaya dari
seluruh dunia.
4. Pendidikan: Sistem pendidikan yang inklusif dan multikultural dapat
menghasilkan pemahaman dan toleransi terhadap berbagai budaya. Hal ini
dapat mendorong proses pusaran kebudayaan.
5. Perdagangan: Hubungan ekonomi dan perdagangan antarnegara dapat
memperluas pertukaran budaya. Produk, makanan, dan gaya hidup dari
berbagai budaya dapat menjadi populer di luar wilayah asalnya.
6. Kebijakan Pemerintah: Kebijakan pemerintah yang mendukung
multikulturalisme, hak asasi manusia, dan perlindungan hak-hak kelompok
budaya yang berbeda dapat memfasilitasi proses pusaran kebudayaan.
7. Konflik dan Perubahan Sosial: Konflik politik, perang, atau perubahan
sosial dapat memaksa kelompok budaya untuk berinteraksi lebih intensif
dan mengakibatkan perubahan budaya
8. Adaptasi dan Evolusi Budaya: Manusia secara alami beradaptasi dengan
lingkungan dan situasi sosial baru. Ini dapat memicu perubahan budaya dan
menciptakan pusaran kebudayaan.

12
Pusaran kebudayaan adalah proses yang kompleks dan dapat memiliki
dampak positif dalam menciptakan masyarakat yang lebih beragam dan
inklusif. Namun, juga bisa menjadi sumber konflik budaya jika tidak dielola
dengan bijak

13
BAB III
Olahraga dalam Konteks Kebudayaan

A. Ontologi Olahraga
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu :
On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara
eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge
base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah
untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan
untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu
teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi
objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan.
Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang
ada.
Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang
lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek
formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika)
dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan
ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya
berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.
Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being / wujud seperti
karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika
yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari
suatu benda untuk menentukan arti, struktur dan prinsip benda tersebut.
(Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM)
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang
filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi

14
melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan
tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai
dengan berjalannya waktu.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan
penyelidaikan kefalsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat yang
tertua di antara segenap filsuf Barat yang kita kenal ialah orang Yunani yang
bijak dan arif yang bernama Thales. Atas perenungannya terhadap air yang
terdapat dimana-mana, ia sempai pada kesimpulan bahwa air merupakan
subtansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang penting
bagi kita sesungguhnya bukanlah ajaran-ajarannya yang mengatakan bahwa air
itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa mungkin sekali
segala sesuatu berasal dari satu subtansi belaka
Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat
berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Disinilah
letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu
memandang segala sesuatu sebagaimana keadaan yang wajar. Apabila mereka
menjumpai kayu, besi, air, danging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang
sebagai subtansi-subtansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi
kebanyakan orang tidaklah ada pemeliharaan antara kenampakan (appearance)
dangan kenyataan (reality).
Secara sepintas dapat dinyatakan, bahwa ruang cakupan perbincangan
ontologi adalah mengenai hakikat keberadaan sesuatu. Lantas, bagaimana hal
itu jika selanjutnya dikaitkan dengan olahraga. Dengan pertanyaan yang lebih
sederhana maka bisa dirumuskan, “apa hakikat olahraga?”. Selama ini orang
tidak akan mempermasalahkan ketika tidak ditanyakan soal hakikat. Kita
seolah-olah memahaminya begitu saja. Namun, ketika diajukan pertanyaan
mendasar—tiba-tiba kita akan merasa kesulitan dalam menjawabnya. Misal,
kita memahami dan meyakini betul bahwa kita selama ini hidup dan menjalani
hidup sebagai seorang manusia. Kita tidak pernah mempertanyaan keberadaan
dan jati diri kita sebagai manusia. Seolah-olah hal itu bukan merupakan hal
yang tidak kita ketahui. Namun menjadi masalah ketika seseorang kemudian

15
mempertanyakan, “apakah sebenarnya manusia itu?”. Penulis yakin,
pertanyaan yang tampak sederhana dan mudah itu ternyata menjadi sangat sulit
untuk dijawab. Masing-masing orang kemudian akan memiliki versi
jawabannya sendiri yang tidak sering akan memunculkan pertentangan.
Hal yang demikian sepertinya juga patut kita telisik kembali tatkala
mencoba membicarakan mengenai olahraga. Sebenarnya, “apakah sebenarnya
olahraga itu?”. Sebagian orang mungkin akan merasa lucu dengan pertanyaan
sederhana itu. Mereka menganggap bahwa olahraga adalah sebuah hal
sederhana yang dengan mudah sudah atau dapat dilakukan oleh semua orang.
Namun, hakikat dari olahraga sendiri menjadi hal yang sedikit rapuh ketika
ditarik pada ruang hakikat yang semestinya sudah dapat terjelaskan dengan
mudah.
Realitas kekinian memunculkan banyak sekali spekulasi-spekulasi
pemahaman terhadap hakikat olahraga yang bahkan menjadikan perdebatan
yang cukup serius di kalangan akademisi. Contohnya saja adalah munculnya
cabang olahraga baru di dunia olahraga kompetitif, yakni e-sport. Perdebatan
mengenai entitas ini secara gamblang saat ini telah membelah para akademisi
dan praktisi olahraga ke dalam dua bagian, yakni pro dan kontra. Bagi orang
yang menyetujui bahwa e-sport layak disebut olahraga adalah pada sisi
kompetitifnya. Sementara itu, bagi yang menolak—mereka mempertanyakan
dimana unsur pelibatan fisik yang selama ini senantiasa melekat dalam semua
bentuk tafsiran terhadap olahraga.
Terlepas dari mana yang benar dari kedua kubu yang berseteru, pada
kenyataan hal ini menunjukkan ada persoalan ontologis yang sampai hari ini
dapat dikatakan belum tuntas dalam ruang keolahragaan. Beberapa pendapat
menyatakan bahwa olahraga itu sangat berbeda dengan aktivitas fisik
keseharian pada umumnya. Meski, seringkali aktivitas fisik keseharian justru
melibatkan unsur fisik dan pemanfaatan tenaga yang justru lebih besar
dibandingkan olahraga, namun sebagian orang sepakat untuk menyatakan
bahwa itu bukan olahraga. Contoh misalnya saja adalah mencangkul di sawah.
Secara pelibatan fisik, tentunya mencangkul seharian di sawah membutuhkan

16
tenaga dan kemampuan daya tahan fisik lebih besar di banding jogging selama
setengah jam. Namun, dalam hal ini—tidak harus seorang ahli pun akan
menyepakati bahwa mencangkul di sawah itu bukan merupakan olahraga,
namun jogging ringan yang tidak terlalu melelahkan itu justru merupakan salah
satu contoh aktivitas olahraga.
B. Hakikat Olahraga dalam Masyarakat
Mengapa olahraga harus ditinjau melalui perspektif sosiologis?
Demikian kiranya pertanyaan awal yang akan dikemukakan tatkala kita
menjumpai mata kuliah ini. Lantas apa pula pengertian sosiologi olahraga itu?
Menurut Selo Sumarjan, Sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang
mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-
perubahan sosial. Struktur Sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur
sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-
lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial
adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama,
umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi
kehidpuan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama,
antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya.
Sementara itu, Makna olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah
gerak badan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu
atau rombongan. Sedangkan dalam Webster’s New Collegiate Dictonary
(1980) yaitu ikut serta dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan,
dan aktivitas khusus seperti berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic
games di Amerika Serikat)
Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa
segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan
membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai
perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan,
perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia
Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.

17
Mencermati perkembangan olahraga saat ini, kita akan dihadapkan pada
sesuatu yang sangat rumit. Tidak bisa kita melakukan proses analisa parsial
pada ruang olahraga saja. Namun lebih jauh olahraga sudah merajut hubungan
yang erat dengan berbagai elemen sosial yang lain. Bahkan sebagian orang
menyatakan bahwa olahraga sudah menjelma menjadi sebuah budaya tersendiri
ataupun lebih jauh lagi sudah menjelma menjadi sebuah miniatur sosial.
Bagaimana tidak, dalam ruang olahraga saat ini bisa kita cermati betapa
rumitnya struktur yang terbangun seperti layaknya sebuah sosial/ masyarakat.
Oleh sebab itu, masalah-masalah yang muncul dalam olahraga—pun akhirnya
tidak berhenti pada masalah-masalah aktivitas fisik semata. Namun lebih jauh
sudah berkembang menjadi selayaknya permasalahan sosial. Maka dalam hal
ini diperlukan sebuah pisau analisa yang mampu menembus ke ruang itu.
Pendekatan biosaintifik tidak akan mampu sampai pada dataran itu. Harus ada
pendekatan yang lebih relevan dalam hal ini. Untuk itulah, maka sosiologi
olahraga hadir mencoba menjawab tantangan yang ada.
a. Tingkatan sosial dalam olahraga
Satu hal yang menjadi cirikhas sosial adalah adanya tingkatan sosial.
Disukai atau tidak, dikehendaki atau tidak tingkatan sosial akan muncul dalam
sebuah masyarakat. Dalam wacana umum sosiologis, tingkatan sosial sering
diungkapkan dengan istilah kasta. Faktor yang menyebabkan munculnya
tingkatan sosial diantaranya adalah:
1) Agama
Seseorang yang memiliki pemahaman/ ilmu keagamaan yang relatif tinggi
akan mendapatkan tingkatan sosial yang tinggi dalam masyarakat. Ada
penggolongan Kiyai, pendeta, santri, umat/ awam, dsb. Dalam sebuah
thesisnya Clifford Gheertz menggolongkan umat islam di jawa dalam tiga
golongan struktur, yaitu kiyai, santri, dan abangan.
2) pendidikan
Dalam ruang formal maupun informal, strata pendidikan maupun
penguasaan keilmuan akan menentukan tingkatan sosial seseorang.
Semakin tinggi tingkatan strata keilmuannya, maka semakin tinggi pula

18
tingkat penghargaan yang akan diterimanya dalam ruang masyarakat
maupun institusi formal. Contohnya saja; seorang yang sudah memperoleh
gelar doktor akan mendapatkan tingkatan sosial yang tinggi baik di institusi
pendidikan maupun masyarakat.
3) dan lain-lain; masih banyak lagi faktor penyebab yang lain.
Dalam perkembangannya, seperti yang telah disebutkan dalam
pengantar bahwa olahraga saat ini sudah menjadi miniatur sosial—maka
permasalahan yang berkaitan dengan tingkatan sosial pun tidak bisa
dihindarkan. Dalam dunia olahraga tingkatan sosial muncul dalam berbagai sisi;
1. cabang olahraga
Secara garis besar dari kecabangan yang menjadi pilihan untuk dilakukan
oleh masyarakat, olahraga dipilah menjadi dua, yaitu olahraga elit dan
olahraga rakyat. Olahraga elit adalah olahraga yang dimainkan oleh kelas-
kelas sosial tertentu. Sebuat saja adalah kaum kaya, seperti; golf, polo,
bowling, dsb. Sementara olahraga rakyat adalah olahraga yang dimainkan
oleh orang kebanyakan/ umum, seperti; sepak bola, voli, tenis meja, bulu
tangkis, dsb.

2. Atlet
Dari sisi atlet muncul berbagai macam jenis tingkatan; misal:
1) dari tingkatan umur muncul kategori; kelompok umur, junior, senior.
2) Dari ruang lingkup event muncul; lokal (popda, dsb), nasional (PON,
dsb), internasional.
3) Dari lingkup pertandingan dan motivasi bertanding muncul istilah
profesional dan amatir
4) Dalam ruang beladiri dan tinju muncul tahapan kelas berdasarkan berat,
sabuk, dsb.
Tumin menganalisa tingkatan sosial dalam olahraga dalam berbagai macam;
1 Kuno
Bahwa tingkatan sosial itu sudah ada sejak sangat lama. Seperti layaknya
ungkapan bahwa tanpa harus mempertimbangkan seberapa lengkapnya

19
unsur kebudayaan yang ada, namun kebudayaan lahir semenjak manusia itu
ada. Demikian pula kiranya dengan tingkatan sosial. Semenjak manusia ada,
dan terjadilah interaksi sosial antar individu di dalamnya—disana
dimulailah kemunculan tingkatan sosial. Contoh yang paling konkrit dalam
dunia olahraga adalah pada waktu pelaksanaan olimpiade kuno. Pada saat
itu peserta yang diperbolehkan turut serta hanyalah kaum laki-laki. Ada
tingkatan sosial yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.
2 Sosial.
Yang dimaksutkan dengan ini adalah bahwa adanya tingkatan sosial itu
membawa karakteristik dari sebuah sosial itu sendiri. Dimana ada sebuah
ruang sosial maka disanalah bisa dipastikan adanya tingkatan sosial. Entitas
tingkatan sosial dalam sebuah ruang sosial hampir dipastikan tidak bisa
ditolak keberadaannya.
3 Akibat
Mengandaikan kata ”akibat” tentunya tidak akan bisa dilepaskan dari
ungkapan sebab. Dalam hal ini dimaknai bahwa tingkatan sosial itu berada
dalam sebuah rentetan peristiwa sebab akibat. Sebuah kemunculan
tingkatan sosial merupakan akibat dari sebuah struktur, yang tentu saja akan
segera menjadi penyebab bagi munculnya sebauah tingkatan sosial yang
lain. Contoh; pada zaman dahulu orang kulit hitam (negroit) dianggap
sebagai kasta rendahan (budak). Oleh sebab itu (akibatnya) mereka tidak
diperkenankan untuk mengikuti olahraga dalam event apapun.
4 Dimana-mana/ beraneka ragam
Bahwa, tingkatan sosial itu akan merealisasikan dirinya dalam berbagai
macam bentuk dan diruang manapun dalam sebuah struktur sosial.
C. Manifestasi Olahraga dalam perkembangan kebudayaan
Di berbagai budaya di seluruh dunia, olahraga sering kali memiliki peran
penting dalam menggambarkan nilai-nilai yang dihargai dan dijunjung tinggi.
Misalnya, olahraga seperti sepak bola atau kriket dapat mencerminkan nilai-nilai
kompetisi, kerjasama tim, keberanian, keadilan, dan semangat juang. Nilai-nilai ini

20
sering diterapkan dalam konteks sosial yang lebih luas dan dapat mempengaruhi
pandangan dan perilaku masyarakat.
Selain itu, olahraga juga melibatkan tradisi dan ritual yang mengikat
masyarakat. Contohnya, Olimpiade adalah acara olahraga internasional yang
memiliki akar sejarah di Yunani kuno dan terus dipraktikkan hingga saat ini.
Olimpiade menjadi simbol persatuan, persaingan yang sehat, dan nilai-nilai olimpik
yang melintasi batas-batas budaya dan politik.
Olahraga juga berperan penting dalam membentuk identitas budaya. Misalnya,
olahraga seperti baseball di Amerika Serikat atau kriket di India sering dianggap
sebagai simbol identitas nasional dan sumber kebanggaan bagi masyarakat mereka.
Selain itu, olahraga juga dapat memperkuat identitas regional, etnis, atau kelompok
tertentu.
Selain itu, olahraga juga berfungsi sebagai sarana ekspresi kreatif. Atlet dan
peserta olahraga sering menggunakan kemampuan fisik dan teknik mereka untuk
menciptakan gerakan, strategi, dan gaya yang unik. Hal ini dapat dilihat dalam
tarian olahraga, olahraga ekstrim, seni bela diri, dan banyak bentuk olahraga
lainnya di mana aspek estetika dan ekspresi pribadi juga diperhatikan.
Dalam keseluruhan, olahraga sebagai bagian dari kebudayaan mencakup nilai-nilai,
tradisi, identitas, dan ekspresi kreatif yang melibatkan masyarakat dalam konteks
olahraga. Hal ini membuktikan bahwa olahraga tidak hanya merupakan kegiatan
fisik semata, tetapi juga memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk dan
memperkaya kebudayaan manusia.
Perkembangan kebudayaan dan perkembangan olahraga saling berhubungan
erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Berikut adalah beberapa cara di mana
perkembangan kebudayaan berpengaruh terhadap perkembangan olahraga, dan
sebaliknya:
1. Nilai dan norma sosial: Kebudayaan manusia mencerminkan nilai-nilai dan
norma sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Olahraga juga
mencerminkan nilai-nilai ini dalam praktik dan aturan yang ada. Misalnya,
nilai-nilai seperti kompetisi yang sehat, keberanian, kesetiaan, kerjasama,
dan penghormatan terhadap lawan menjadi landasan penting dalam

21
pengembangan dan pelaksanaan olahraga. Di sisi lain, olahraga juga dapat
memengaruhi perkembangan kebudayaan dengan mempromosikan nilai-
nilai tersebut dalam masyarakat.
2. Identitas budaya: Olahraga dapat berperan penting dalam membentuk
identitas budaya. Masyarakat sering kali mengidentifikasi diri mereka
dengan olahraga tertentu yang menjadi simbol identitas nasional, regional,
atau kelompok. Misalnya, olahraga seperti sepak bola di Brasil atau sumo
di Jepang menjadi bagian integral dari identitas budaya mereka. Sebaliknya,
identitas budaya yang ada dalam masyarakat juga dapat memengaruhi
perkembangan olahraga dengan memberikan ciri khas yang unik pada
praktik olahraga yang dilakukan.
3. Perkembangan teknologi: Perkembangan teknologi dalam kebudayaan juga
memiliki dampak pada perkembangan olahraga. Kemajuan dalam teknologi
komunikasi, transportasi, dan penyiaran memungkinkan penyebaran
olahraga di seluruh dunia dan meningkatkan popularitasnya. Televisi,
internet, dan media sosial telah mengubah cara kita mengkonsumsi dan
berpartisipasi dalam olahraga. Sebaliknya, inovasi teknologi dalam
peralatan dan fasilitas olahraga juga telah mempengaruhi perkembangan
olahraga dengan memungkinkan peningkatan performa atlet dan
pengalaman para peserta dan penonton.
4. Pengaruh budaya lokal: Budaya lokal memiliki pengaruh yang kuat
terhadap jenis olahraga yang berkembang dalam suatu masyarakat.
Misalnya, kondisi geografis, tradisi lokal, dan kegiatan ekonomi dapat
memengaruhi jenis olahraga yang populer dalam suatu daerah. Misalnya,
olahraga ski populer di daerah beriklim dingin seperti Norwegia, sementara
olahraga selancar dominan di daerah pesisir yang memiliki ombak besar. Di
sisi lain, perkembangan olahraga juga dapat mempengaruhi budaya lokal
dengan mengenalkan gaya hidup dan kegiatan baru dalam masyarakat.
Dalam keseluruhan, perkembangan kebudayaan dan perkembangan olahraga
saling terkait dan saling mempengaruhi. Olahraga mencerminkan nilai dan norma
sosial dalam masyarakat, membentuk identitas budaya, dipengaruhi oleh

22
perkembangan teknologi, dan dipengaruhi oleh budaya lokal. Sementara itu,
perkembangan kebudayaan juga mempengaruhi perkembangan olahraga melalui
nilai-nilai, tradisi, dan identitas budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Olahraga memiliki keterkaitan yang erat dengan nilai-nilai sosial dalam
masyarakat. Berikut adalah beberapa nilai-nilai sosial yang sering kali dihubungkan
dengan olahraga:
1. Kompetisi yang sehat: Nilai kompetisi yang sehat adalah salah satu aspek
sentral dalam olahraga. Olahraga mengajarkan peserta untuk bersaing
dengan fair, menghormati aturan, menghargai lawan, dan menerima
kemenangan atau kekalahan dengan sportivitas. Kompetisi yang sehat dapat
membangun semangat persaingan yang positif dan memberikan peluang
untuk tumbuh, belajar, dan berkembang bagi individu dan tim.
2. Kerjasama dan kerja tim: Olahraga juga mengajarkan nilai kerjasama dan
kerja tim. Dalam banyak jenis olahraga, kesuksesan tim tergantung pada
kerja sama yang baik antaranggota tim. Peserta belajar untuk bekerja
bersama, saling mendukung, dan menghargai peran masing-masing. Hal ini
dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya bekerja sama dalam
mencapai tujuan bersama dan menghormati kontribusi individu dalam
konteks tim.
3. Disiplin dan tanggung jawab: Olahraga mengajarkan nilai disiplin dan
tanggung jawab. Peserta harus mengikuti aturan, menjaga kebugaran fisik
dan mental, menghormati waktu latihan dan pertandingan, serta mematuhi
pedoman yang ditetapkan. Melalui olahraga, individu belajar untuk menjadi
disiplin, bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka, serta
mengembangkan sikap konsisten dalam mencapai tujuan.
4. Keadilan dan integritas: Nilai-nilai keadilan dan integritas sering kali
dipromosikan dalam olahraga. Olahraga mendorong kesetaraan peluang,
fair play, dan menghargai kejujuran. Atlet diharapkan untuk bertindak
dengan integritas, mengikuti aturan dengan adil, dan tidak menggunakan
praktik curang atau doping. Olahraga juga memberikan kesempatan untuk

23
melatih pemahaman tentang hak dan kesetaraan individu serta menghargai
kejujuran dalam persaingan.
5. Ketahanan dan semangat juang: Olahraga sering kali mempromosikan nilai-
nilai ketahanan, semangat juang, dan ketekunan. Peserta dihadapkan pada
tantangan fisik dan mental yang menguji ketahanan mereka. Melalui
olahraga, individu belajar untuk tidak menyerah, menghadapi rintangan,
dan berusaha keras untuk mencapai tujuan. Semangat juang ini dapat
mentransfer ke aspek kehidupan lainnya dan membantu dalam mengatasi
kesulitan dan tantangan yang dihadapi.
Nilai-nilai sosial ini membentuk dasar etika olahraga yang diterapkan dalam
berbagai tingkatan kompetisi, mulai dari tingkat amatir hingga tingkat profesional.
Melalui olahraga, nilai-nilai sosial ini dipraktekkan, ditekankan, dan diperkuat,
yang pada gilirannya dapat membentuk karakter individu dan masyarakat secara
keseluruhan.
Olahraga dapat dikatakan sebagai perwakilan kebudayaan masyarakat karena
olahraga mencerminkan nilai-nilai, tradisi, identitas, dan praktik sosial yang ada
dalam suatu kelompok atau komunitas. Berikut adalah beberapa cara di mana
olahraga menjadi perwakilan kebudayaan masyarakat:
1. Nilai-nilai sosial: Olahraga mencerminkan nilai-nilai sosial yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat. Misalnya, nilai-nilai seperti kompetisi yang sehat,
keberanian, keadilan, kerja tim, kesetiaan, dan semangat juang dapat
tercermin dalam olahraga. Nilai-nilai ini mempengaruhi cara olahraga
dilakukan, aturan yang diterapkan, serta perilaku dan sikap para peserta dan
penonton. Oleh karena itu, olahraga menjadi cerminan nilai-nilai yang
penting dalam kebudayaan masyarakat.
2. Identitas budaya: Olahraga sering kali menjadi bagian integral dari identitas
budaya suatu masyarakat. Olahraga yang populer dalam suatu kelompok
atau komunitas dapat mencerminkan kekhasan budaya mereka. Misalnya,
olahraga tradisional seperti sepak takraw di Asia Tenggara atau hurling di
Irlandia merupakan bagian penting dari identitas budaya masyarakat

24
setempat. Olahraga ini tidak hanya mencerminkan budaya fisik, tetapi juga
nilai-nilai, mitos, dan sejarah yang melekat pada budaya tersebut.
3. Tradisi dan ritual: Olahraga juga melibatkan tradisi dan ritual yang
memainkan peran penting dalam kebudayaan masyarakat. Misalnya,
Olimpiade adalah acara olahraga yang memiliki akar sejarah yang kuat dan
menjadi simbol persatuan global. Olimpiade melibatkan ritual pembukaan
dan penutupan, upacara pengibaran bendera, serta acara-acara yang
memiliki makna simbolis. Olahraga tradisional atau acara olahraga lokal
juga sering kali dihubungkan dengan perayaan tradisional atau upacara
keagamaan tertentu.
4. Mode dan simbolisme: Olahraga juga mempengaruhi mode dan simbolisme
dalam kebudayaan masyarakat. Pakaian, atribut, warna, dan logo yang
terkait dengan olahraga sering kali menjadi simbol identitas dan
kebanggaan. Misalnya, seragam tim, logo klub, atau merchandise olahraga
dapat menjadi sarana untuk mengekspresikan afiliasi dengan tim atau
olahraga tertentu, serta menyampaikan pesan budaya dan identitas kepada
orang lain.
5. Perayaan dan hiburan: Olahraga sering dijadikan sebagai ajang perayaan
dan hiburan dalam kebudayaan masyarakat. Pertandingan olahraga yang
penting seperti Piala Dunia FIFA atau Olimpiade tidak hanya melibatkan
olahraga itu sendiri, tetapi juga merayakan kebersamaan, semangat
nasional, dan kegembiraan. Selain itu, olahraga juga menjadi bagian dari
hiburan publik melalui acara-acara olahraga yang disiarkan di televisi,
stadion yang menjadi tempat pertunjukan, dan festival olahraga yang
mengumpulkan masyarakat dalam kegiatan yang bersifat sosial dan
rekreasi.
Melalui nilai-nilai, identitas budaya, tradisi, mode, dan perayaan yang
terkait dengan olahraga, olahraga menjadi perwakilan kebudayaan masyarakat. Hal
ini memperlihatkan bahwa olahraga tidak hanya merupakan kegiatan fisik semata,
tetapi juga memainkan peran penting dalam membentuk dan mewakili kebudayaan
manusia.

25
Bab IV
Dampak Pusaran Kebudayaan terhadap Olahraga

Awal milenium ketiga ini tampaknya kebudayaan peradaban merupakan


kata kunci pokok untuk memahami interaksi manusia dalam dunia global. Pada
tataran teoretis, disatu pihak kebudayaan dianggap isu sentral, di pihak lain
pengertian konsep kebudayaan itu sendiri sudah menjadi sangat kabur akibat
banyaknya kritik dekonstruktif, melalui filsafat, kultur kritik, studi budaya, wacana
postkolonial, hingga antropologi kontemporer hingga studi budaya kini cenderung
bergeser dari membicarakan tentang substansi menuju ke wacana. Pada tataran
praksis, di satu sisi kebudayaan dianggap kunci pokok, namun dalam realitasnya
kebudayaan justru kehilangan daya ikat dan otoritas, akibat pola organisasi baru,
jenis legitimasi baru, kultur baru kosmopolitan, dan pecahnya komunitas
tradisional. Untuk memahami kebudayaan yang di dalamnya olahraga menjadi
katalisator sekaligus produk budaya yang berelasi dan turut membentuk manusia
yang mendiaminya. Relasi antara budaya dan olahraga sangat erat dan kompleks,
membentuk suatu ikatan yang kuat dalam masyarakat.
Hubungan ini menciptakan dinamika yang unik dan berdampak pada
berbagai aspek kehidupan. Olahraga sering menjadi ekspresi dari identitas kultural
suatu masyarakat. Setiap jenis olahraga dapat mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan
norma budaya yang dianut oleh komunitas tertentu. Pakaian, simbol, dan ritual
dalam olahraga sering kali mencerminkan unsur-unsur budaya yang mendalam.
Misalnya, kostum atau seragam tim olahraga seringkali mencakup motif dan warna
yang memiliki makna khusus bagi suatu kelompok etnis atau daerah. Pertandingan
olahraga sering kali dihubungkan dengan ritual dan perayaan budaya. Sebelum atau
setelah pertandingan, masyarakat dapat melibatkan diri dalam upacara tradisional,
tarian, atau musik yang memperkaya pengalaman olahraga dan mempertegas ikatan
budaya. Program olahraga dapat menjadi sarana untuk mendidik dan membentuk
karakter muda sesuai dengan nilai-nilai budaya. Melalui pelatihan olahraga,
generasi muda dapat belajar tentang kerja sama, semangat juang, disiplin, dan nilai-

26
nilai lain yang dihargai dalam budaya mereka. Peristiwa olahraga berskala besar,
seperti Olimpiade atau Piala Dunia, seringkali menjadi kesempatan untuk
mempromosikan dan memamerkan budaya suatu negara. Pada saat yang sama,
mereka menarik perhatian wisatawan dari berbagai latar belakang budaya,
menciptakan pertukaran budaya yang positif. Budaya dan olahraga saling
mempengaruhi dalam inovasi dan evolusi. Teknologi baru, gaya hidup, dan
preferensi masyarakat dapat menciptakan tren baru dalam olahraga, sementara
olahraga itu sendiri dapat membawa perubahan budaya dan norma dalam
masyarakat. Partisipasi dalam kegiatan olahraga dapat memperkuat ikatan
komunitas dan solidaritas sosial. Tim olahraga sering kali menjadi fokus untuk
bersatu dan mendukung satu sama lain, menciptakan rasa persatuan yang kuat di
antara anggota komunitas.
Gambaran mengenai perpaduan kebudayaan dan olahraga tergambar dalam
keunikan sistem relasinya yang terkadang kompleks namun nampak sepele.
Barangkali oleh masyarakat olahraga tidak lagi berwujud definisi teoretis yang
selama ini didapatkan dibangku sekolah dan paparan pertandingan dan perlombaan
yang berakar pada kompetisi dan hasrat akan prestasi, namun olahraga telah
melebur menjadi sebuah nafas kehidupan sehari-hari yang menggelora dalam setiap
aktivitas manusianya. Di suatu sudut kota yang kaya akan sejarah dan tradisi,
terdapat sebuah perpaduan harmonis antara kebudayaan dan olahraga. Kota ini
dipenuhi dengan warisan budaya yang kental, mengakar dalam setiap sudutnya.
Setiap elemen kehidupan sehari-hari mencerminkan kekayaan warisan nenek
moyang, dan salah satu aspek yang paling menonjol adalah peran olahraga dalam
membentuk identitas kota tersebut.
Pagi hari misalnya, disetiap kota dan wilayah selalu dimulai dengan gerakan
gemuruh di lapangan olahraga. Sejak matahari terbit, warga setempat berkumpul
untuk menjalani ritual sehat yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan sehari-hari mereka. Olahraga bukan hanya sebuah aktivitas fisik, tetapi
juga sebuah perayaan kebersamaan dan semangat komunitas. Di lapangan, berbagai
generasi bertemu dan bersatu, membaur dalam kegembiraan bermain bersama.

27
Namun, tidak hanya kebersamaan yang menjadi ciri khas daerah itu.
Kebudayaan yang kaya turut memperkaya pengalaman olahraga. Stadion-stadion
yang megah menjadi panggung bagi pertunjukan seni lokal sebelum pertandingan
dimulai. Tarian tradisional, musik etnik, dan pameran seni rupa menjadi bagian dari
pemanasan spiritual sebelum aksi fisik dimulai.
Pertandingan olahraga bukan hanya sebuah ajang kompetisi, tetapi juga
panggung untuk merayakan kekayaan kultural. Tim-tim lokal memakai seragam
yang dirancang dengan motif-motif tradisional, menampilkan identitas khas kota
mereka. Penonton tidak hanya menyaksikan pertandingan, tetapi juga merayakan
keberagaman budaya yang tercermin dalam setiap aksi atlet.
Di luar stadion, pusat-pusat kebudayaan menjadi saksi bisu dari kejayaan
masa lalu. Museum-museum yang menggambarkan sejarah, galeri seni yang
menampilkan karya seniman lokal, dan pusat-pusat kebudayaan menjadi tempat
pelancong dan warga setempat untuk terus memelihara dan menghargai warisan
budaya mereka.
Melalui perpaduan unik antara kebudayaan dan olahraga, kota ini bukan
hanya menjadi pusat kegiatan fisik, tetapi juga jendela ke dalam kekayaan sejarah
dan tradisi. Dalam setiap langkah, dalam setiap gerakan, warga kota ini
mengabadikan warisan mereka dengan bangga, menciptakan keseimbangan indah
antara ruang fisik dan spiritual, antara keberagaman dan persatuan.
Dalam era modernitas yang kaya akan inovasi dan teknologi, olahraga telah
menjalani transformasi yang mendalam, menjadi lebih dari sekadar kegiatan fisik
atau hiburan semata. Di tengah kehidupan yang terus berubah, olahraga telah
menjadi cermin dari dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat modern.
Ceritanya dimulai di pusat kota futuristik, di mana stadion modern berdiri
menjulang tinggi sebagai monumen kemajuan teknologi. Di dalamnya, ribuan
penonton terhubung melalui teknologi canggih, menciptakan pengalaman
berolahraga yang tidak hanya lokal, tetapi juga global. Pertandingan tidak hanya
dipantau di dalam stadion, tetapi juga di seluruh penjuru dunia melalui platform
digital yang memungkinkan interaksi dan partisipasi secara real-time. Para atlet
modern bukan hanya pejuang fisik, tetapi juga pionir teknologi. Pelatih

28
menggunakan analisis data, kecerdasan buatan, dan teknologi wearable untuk
memahami dengan lebih baik kinerja atlet dan merancang strategi yang lebih
efektif. Setiap gerakan, denyut jantung, dan langkah di lapangan dapat diukur,
dianalisis, dan dioptimalkan untuk mencapai performa terbaik. Namun, di balik
kemajuan teknologi, esensi manusia dalam olahraga tetap terasa kuat. Kompetisi
yang penuh semangat, perjuangan atlet untuk mencapai prestasi puncak, dan
kegembiraan penonton yang bersatu dalam sorak-sorai menjadi bagian tak
terpisahkan dari pengalaman olahraga modern. Stadion bukan hanya tempat
pertandingan, tetapi juga arena di mana emosi dan energi berkembang seiring
dengan dinamika permainan. Selain itu, olahraga dalam konteks modernitas telah
menjadi platform untuk mengatasi isu-isu sosial dan lingkungan. Atlet dan tim
menggunakan ketenaran mereka untuk menyuarakan pesan-pesan penting, seperti
kesetaraan, keberlanjutan, dan perdamaian dunia. Acara olahraga bukan hanya
pertunjukan keterampilan fisik, tetapi juga panggung untuk menyampaikan pesan
dan memotivasi perubahan positif dalam masyarakat.

Perspektif Antropologi
Perspektif antropologi kebudayaan adalah suatu cara pandang yang
digunakan oleh para antropolog untuk memahami dan menganalisis fenomena
kebudayaan manusia. Antropologi kebudayaan merupakan cabang dari antropologi
yang fokus pada studi tentang kehidupan sosial, kepercayaan, nilai, norma, dan
praktek-praktek budaya dalam berbagai masyarakat. Antropologi kebudayaan
menganut prinsip relativisme budaya, yaitu pendekatan yang menghargai dan
mencoba memahami suatu kebudayaan dari perspektif internal masyarakat tersebut.
Ini berarti tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk dari yang lain, dan
perbedaan budaya harus dipahami dalam konteks historis dan sosialnya.
Antropolog kebudayaan sering menggunakan metode observasi partisipatif, yaitu
dengan terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat yang mereka studi. Dengan
berinteraksi secara langsung, antropolog dapat mendapatkan pemahaman
mendalam tentang nilai, norma, dan pengalaman budaya yang mungkin sulit
dipahami hanya dengan observasi dari kejauhan. Antropologi kebudayaan

29
memfokuskan pada analisis sistem simbolik yang ada dalam suatu masyarakat. Ini
mencakup studi tentang bahasa, mitos, ritual, dan artefak budaya sebagai cara untuk
memahami cara masyarakat menyusun dan menyampaikan makna. Antropolog
kebudayaan tertarik pada struktur sosial dan institusi-institusi dalam suatu
masyarakat. Mereka mempelajari hubungan kekerabatan, sistem ekonomi,
organisasi politik, dan sistem nilai yang membentuk dasar kehidupan sosial
masyarakat. Antropolog kebudayaan memperhatikan proses difusi, yaitu
penyebaran ide, teknologi, atau praktik budaya dari satu masyarakat ke masyarakat
lain, serta akulturasi, yaitu proses interaksi dan pertukaran budaya antara dua
kelompok yang berbeda.
Antropologi kebudayaan mengembangkan berbagai teori untuk
menjelaskan perubahan budaya, evolusi sosial, dan interaksi antarbudaya. Beberapa
teori terkenal melibatkan konsep seperti fungsionalisme, strukturalisme, konflik
sosial, dan postmodernisme. Pentingnya memahami konteks historis dan sosial dari
suatu masyarakat sangat ditekankan dalam antropologi kebudayaan. Faktor-faktor
seperti sejarah, ekonomi, politik, dan lingkungan memainkan peran penting dalam
membentuk budaya suatu masyarakat.
Antropologi kebudayaan menyajikan panggung untuk menjelajahi kaya
akan keanekaragaman manusia. Dalam perjalanannya, disiplin ini memberikan
wawasan mendalam tentang cara manusia beradaptasi, berinteraksi, dan
membentuk dunia mereka melalui lensa kebudayaan. Dengan cermat mengamati
dan menganalisis praktek-praktek budaya, antropologi memberikan pemahaman
yang lebih mendalam tentang makna dan dinamika sosial manusia.
Pendekatan utama antropologi kebudayaan adalah relativisme budaya.
Konsep ini mengajarkan kita untuk melihat suatu masyarakat dari perspektif
internalnya, tanpa menilai atau membenarkan dari sudut pandang kita sendiri. Kita
diajak untuk memahami bahwa setiap kebudayaan memiliki konteks sejarah, nilai-
nilai, dan norma-norma yang membentuknya, dan tidak ada kebudayaan yang
superior atau inferior.
Dalam praktiknya, antropolog kebudayaan sering terlibat dalam observasi
partisipatif. Mereka memasuki kehidupan masyarakat yang mereka studi,

30
berinteraksi secara langsung dengan anggota masyarakat tersebut. Dengan
melakukan ini, antropolog bukan hanya pengamat luar yang memerhatikan dari
kejauhan, tetapi mereka ikut merasakan dan memahami realitas sehari-hari
masyarakat yang mereka amati. Antropologi kebudayaan juga menyoroti sistem
simbolik. Ini mencakup analisis mendalam terhadap bahasa, mitos, ritual, dan
artefak budaya. Bahasa, sebagai alat komunikasi utama, membuka pintu untuk
memahami cara manusia menyusun makna dan melibatkan diri dalam konstruksi
realitas bersama. Mitos dan ritual memberikan pandangan tentang sistem
kepercayaan dan praktek keagamaan yang mendalam, sementara artefak budaya
menjadi jendela ke dalam kreativitas dan nilai-nilai yang diyakini oleh suatu
masyarakat.
Tidak hanya fokus pada aspek-aspek kultural yang tampak, antropologi
kebudayaan juga menggali struktur sosial dan institusi-institusi dalam suatu
masyarakat. Bagaimana masyarakat mengorganisasi diri dalam hubungan
kekerabatan, bagaimana sistem ekonomi mereka berjalan, dan bagaimana struktur
politik mereka membentuk kehidupan sosial, semuanya menjadi fokus penelitian.
Konteks historis dan sosial juga memegang peranan sentral dalam
antropologi kebudayaan. Keterkaitan antara sejarah, ekonomi, politik, dan
lingkungan alam menjadi pokok bahasan yang memahami keberlanjutan dan
perubahan budaya suatu masyarakat. Dengan memasukkan faktor-faktor ini,
antropolog dapat menjelaskan bagaimana budaya suatu masyarakat tidak hanya
dipertahankan, tetapi juga terus berkembang.
Sebagai akhir dari eksplorasi antropologi kebudayaan, kita menyadari
bahwa ini bukan hanya tentang memahami perbedaan budaya, tetapi juga tentang
mengenali persamaan kemanusiaan di antara keragaman ini. Dalam kerangka ini,
antropologi kebudayaan memainkan peran kunci dalam membangun jembatan
antara kelompok manusia yang berbeda dan meretas jalur menuju pemahaman
global yang lebih dalam tentang manusia dan kebudayaannya.

31
Kebudayaan sebagai Pengalaman
Kita telah melihat percaturan konsep kebudayaan dalam baluran perspektif
antropologi sebagai teropong utama dalam mengamati olahraga di masyarakat
dalam perspektif historis yang kemudian berakhir pada tersebarnya konsep tersebut
ke banyak bidang kajian di awal milenium ketiga ini. Dalam situasi itu ada baiknya
kita mengintip pula perspektif filosofis, sebab sejak pertengahan abad ke-20 hingga
awal milenium ketiga ini kebudayaan menjadi pusat gravitasi pada bidang filsafat
juga. Dalam wacana tentang kebudayaan, dunia filsafat membawa kecenderungan
baru, yakni menyeret konsep budaya ke ranah pengalaman.
Pergumulan filsafat untuk melepaskan diri dari kecenderungan
metafisiknya telah melahirkan kiblat baru ke arah wilayah praksis, pengalaman
eksistensial konkrit dan bahasa, artinya, ke arah dunia khas manusia, alias ke arah
konteks kebudayaan. Hal itu nampak jelas sejak fenomenologi, eksistensialisme,
marxisme, strukturalisme, teori kritis Fankfurt, analis linguistik, hermeneutika
hingga poststrukturalisme. Fenomenologi dan hermeneutika, membawa
konsekuensi radikal dan jauh dalam mengubah persepsi tentang kebudayaan, yang
sering tidak disadari bahkan oleh mereka yang berkecimpung di bidang antropologi
sekalipun, sebagaimana telah terpapar di bahasan sebelumnya. Dan di sana kata
kunci yang menentukan dalam pemahaman baru kebudayaan itu adalah
pengalaman.
Dalam tilikan filsafati dan sains posisi pengalaman, sebagaimana
terwujudkan dalam sebuah gerak ragawi yang dinamai dengan berolahraga. Posisi
pengalaman berolahraga tersebut dapat dikatakan dilematis. Dilema yang setiap
muncul kembali dan menggugat berbagai bentuk definisi serta pola-pola tetapan
yang telah dibeku-bakukan. Sisi pertama para ilmuwan dan filsuf meyakini bahwa
nalar mampu menangkap prinsip esensial-formal realitas objektif dan
membekukannya sebagai kerangka peta-kognitif. Di sisi lain, kenyataan hidup
selalu dialami sebagai sesuatu yang mengalir, mengelak, kompleks, dan kabur,
sehingga membekukannya dalam prinsip-prinsip formal teraa bagai melakukan
penghianatan atasnya. Pengalaman adalah lokus pengetahuan umum sekaligus juga
potensi teror terhadapnya.

32
Dalam kerangka dialektika Platonik pengalaman bukanlah kenyataan yang pada
dirinya sendiri dapat dipahami. Pengalaman hanya dapat dipahami dengan
mengaitkan peristiwa kepada idea dan mengorelasikan berbagai unsur yang
membentuk peristiwa itu sendiri. Hasilnya tergantung pada bentuk refleksi yang
digunakan: sejauh mana refleksi itu mampu menggapai idea kebenaran yang abadi.
Bagi fenomenologi dan eksistensialisme pengalaman tak bisa dilihat
sebagai sekedar kenyataan yang kompleks, objek yang membingungkan, atau
sekedar bahan untuk proses dialektika belaka, melainkan sebagai dunia persepsi
dan rasa dengan tatanannya sendiri. Yang dibutuhkan adalah pengamatan lebih
dekat terhadap pola konkret pengalaman eksistensial.
Dengan kecenderungan macam itu, kaum eksistensialis memang sering dituding
sebagai subjektivistik atau bahkann irasional. Masalahnya, bertentangan dengan
Hegel, bagi para eksistensialis macam Kierkegaard misalnya, realitas bukanlah
sesuatu yang ditangkap pleh kesadaran atau Roh. Tidak juga ia sekedar proses
dialektis kesadaran murni yang mengekternalisasi diri. Sebaliknya, eksistensi
dialami lebih dulu. Alur Cartesian yang menganggap bahwa saya berpikir maka
saya ada disini tidaklah tepat. Saya tidak pertama-tama berpikir lantas dari sana
disimpulkan bahwa saya ada. Saya mengalami bahwa saya memang ada, barulah
kemudian saya meragukan dan berpikir. Sasaran dasar kaum eksistensialis adalah
hendak memahami pola dan struktur pengalaman primordial kita dalam dunia
kehidupan ini.
Selain Kierkegaard, fenomenologi Husserl juga memberi inspirasi awal
sekaligus dasar perkembangan bermacam kecenderungan filsafat abad duapuluh
selanjutnya. Ironisnya, di penghujung penalarannya fenomenologi justru membuka
kemungkinan ke arah kritik mendasar yang menumbangkan metafisika sibjek-objek
adalah konsepnya tentang dunia kehidupan dan intensionalitas yang kemudian
mengalami jalan buntu dan akhirnya konsep dunia-kehidupan diambil oleh
Heidegger dan membawanya ke konsekuensi lebih jauh. Baginya dunia kehidupan
itu adalah eksistensi, cara manusia mengada dalam dunia dan sejarah dalam
masyarakat, tradisi dan kebudayaan yang bermanifestasi dalam bentuk gerak
naluriah dan alami yakni olahraga.

33
Konsep penting lain dari Husserl adalah intensionalitas, konsep yang
mengatakan bahwa kesadaran kita pada dasarnya selalu tentang sesuatu. Ada
hubungan ketergantungan inheren antara kesadaran dan realitas. Kelak konsep ini
pun diperdalam oleh Heidegger. Heidegger memperlihatkan bahwa kemampuan
kita untuk membentuk representasi realitas pun sebenarnya dimungkinkan justru
oleh kenyataan bahwa kita sudah selalu terikat pada realitas itu dan sudah selalu
menggaulinya. Segala representasi yang kita buat tentang realitas selalu dilandasi
pergaulan dan kesatuan dasar itu. Sementara kesatuan dasar yang merupakan
fondasi itu sendiri sebenarnya tak akan pernah terumuskan dan tuntas. Ia akan tetap
merupakan horizon dasar yang tersembunyi dan implisit di balik segala pernyataan
yang kita buat. Konsekuensinya, tugas nalar bukanlah mencari fondasi terdalam
yang kokoh, pasti dan tak tergoyahkan, melainkan menyingkapkan saja setiap kali
unsur-unsur yang terkandung dalam hubungan kesatuan dasar tersebut. Ini berarti
bahwa anggapan tentang diri sebagai subjek yang seolah mandiri terlepas dari dunia
luarnya menjadi ilusi belaka. Maka Heidegger diri (Dasein) hanya bisa dipahami
dalam serba keterhubungannya dengan orang lain, dalam hidup bersama, sebagai
mengada bersama yang mengartikulasikan diri dalam bahasa yang lazim kita sebut
sebagai kebudayaan.
Merleau-Ponty memperlihatkan bahwa persepsi adalah pemahaman
primordial yang memungkinkan kita membentuk makna keberadaan kita. Dan
untuk sebagian besar persepsi itu pra-sadar dan pra-personal. Persepsi itu mewujud
lewat tubuh ego, yang juga pra-sadar. Dan karena menyangkut medan serba pra-
sadar itu, maka yang harus dikerjakan fenomenologi hanyalah membuat deskripsi
saja, bukan analisis (Husserl) atau pun interpretasi (Heidegger). Dunia adalah
medan alamiah segala pikiran dan perspesi eksplisit kita. Jika para filsuf telah selalu
bersusah payah berusaha memecahkan segala masalah dengan mengacu pada
kebenaran abadi atau pun pada evidensi apodiktik yang tak tergugat (Husserl), bagi
Merleau-Ponty kita sudah selalu berada dalam kebenaran, yakni dalam pengalaman
di dunia ini. Pengalaman di dunia inilah yang bersifat nyata dan jelas dengan
sendirinya, self-evident. Kesatuan mendasar antara diri dan dunia itu mewujud dan

34
menampakkan diri dalam rupa hasrat, emosi, evaluasi dan perilaku daripada dalam
pengetahuan objektif.
Dengan begitu Merleau-Ponty menggeser pusat gravitasi dari subjektivitas
ke dunia, dari kesadaran murni ke ranah pengalaman. Namun tentu saja dunia
dialami selalu dalam hubungan dengan subjektivitas maupun inter-subjektivitas.
Segala pengalaman saya tentang dunia adalah totalitas kesatuan pengalaman saya
pribadi dan pengalaman orang lain yang masuk dalam hidup saya. Tradisi
Husserlian-Heideggerian yang kemudian lebih dikenal sebagai tradisi
hermeneutika ini bersama dengan fenomenologi Merleau-Ponty, berkulminasi pada
pemikiran Gadamer. Jalur inilah yang mengolah refleksi atas sentralitas
pengalaman. Dan melalui sudut pandang ini pemahaman kita akan kebudayaan,
sejarah, tradisi dan identitas dapat menjadi berbeda.
Untuk memudahkan pemahaman kita, beberapa prinsip berikut dapat
disarikan dari kerangka pemikiran Gadamer.
1. Pengalaman atau realitas bersifat kompleks, licin dan tak pernah habis
terjelaskan
2. Relasionalitas adalah kunci untuk memahami pengalaman. Di sana subjek dan
objek terpintal dalam hubungan timbal balik
3. Proses adalah konsep yang lebih relevan daripada substansi atau pun esensi
4. Klaim-klaim tentang realitas bukanlah representasi satu banding satu atas
realitas, melainkan interpretasi atas realitas
5. Realitas adalah proses yang menyejarah, bukan sistem yang a-historis
6. Kebenaran tidak lagi dilihat sekedar sebagai masalah proposisi yang
terjustifikasi, pernyataan yang terjamin atau pun korelasi objektif statis antara
dalam dan luar, melainkan lebih perkara pencerahan dan tindakan yang
dimungkinkannya

Kerangkan berpikir macam di atas itu akan membawa pemahaman tidak


konvensional dan penting bila digunakan untuk memahami fenomena budaya,
hubungan interkultural, identitas dan otentisitas.

35
Sebagai aliran yang hidup dan dinamis kebudayaan memiliki prinsip
perubahannya sendiri. Kebudayaan terdiri dari unsur-unsur yang saling
keterkaitannya longgar sehingga ketika lingkungan berubah penataan ulang selalu
dimungkinkan. Dalam situasi macam itu kebudayaan memiliki ketidaktentuannya
sendiri, tekanan, konflik, dan improvisasinya sendiri. Kebudayaan adalah proses
tuntutan dan tuntutan tandingan, proses perubahan cara menyikapi persoalan,
proses penemuan ungkapan baru, produk gerak baru, dsb. Kebudayaan adalah
pergumulan kekuasaan untuk memaknai hal-hal penting dalam hidup, seperti
memaknai kemenangan, kekalahan, kontestasi, aspek afeksi menyangkut harga diri,
dll. Kebudayaan adalah kemampuan untuk memperbarui dan menata ulang secara
kreatif, proses transmisi dan transformasi, berdasarkan kondisi yang ada dan
kemungkinan yang terbuka.
Kebudayaan bukanlah sistem tertutup. Keterkaitannya dengan komunitas
sosial tertentu pun tidaklah mesti satu banding satu. Kebudayaan dapat
menyeberangi batas-batas geopolitis. Dalam kerangka budaya, berbagai negara bisa
saling tumpang tindih, sekurang-kurangnya pada aspek-aspek tertentu. Dalam
aspek-aspek tertentu Indonesia dan negara tetangga misalnya berbudaya serupa,
yakni berolahraga lewat beragam ekspresi korporeal yang mengobjek hal yang
sama, yaitu tubuh. Bahkan olahraga sebagai produk kebudayaan yang berkembang
pada skala transnasional, tanpa terikat konteks negara-bangsa. Bila kita hendak
menekankan keunikan kebudayaan, maka keunikan itu harus dilihat pada kenyataan
bahwa kebudayaan adalah perwujudan lokal dari proses pertukaran dan
persilangan.

Manusia dan Olahraga


Manusia, sebagai makhluk yang penuh gairah dan keinginan, telah
membawa olahraga menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan evolusinya. Dari
zaman prasejarah hingga era modern, olahraga telah menjadi manifestasi fisik,
intelektual, dan spiritual manusia. Melalui lensa olahraga, kita dapat melihat
refleksi kompleksitas manusia, dari keinginan untuk bersaing hingga pencarian
makna hidup yang mendalam.

36
Olahraga adalah lebih dari sekadar gerakan tubuh; itu adalah ekspresi dari
potensi manusia. Dalam upaya untuk mengoptimalkan kemampuan fisiknya,
manusia telah menciptakan berbagai jenis olahraga. Dari berlari di padang savana
hingga berkompetisi di stadion modern, olahraga telah menjadi sarana untuk
mengeksplorasi batas kemampuan manusia.
Pertandingan olahraga, seperti Olimpiade kuno di Yunani kuno, menjadi
pentas untuk merayakan keterampilan atletik dan semangat persaingan. Namun,
olahraga juga mengandung nilai-nilai lebih mendalam. Setiap perlombaan adalah
perwujudan tekad, keberanian, dan dedikasi. Melalui proses latihan dan
pertandingan, manusia belajar tentang kemandirian, kerja sama tim, dan kegigihan.
Olahraga juga menjadi katalisator bagi perubahan sosial. Melalui olahraga,
batasan-batasan sosial dapat diatasi, dan persamaan dapat ditegakkan. Contoh
inspiratif dari atlet yang mengatasi rintangan, terlepas dari latar belakang etnis,
gender, atau status ekonomi, menciptakan narasi keberagaman dan inklusivitas.
Seiring waktu, olahraga telah menjadi jembatan antarbudaya. Event
internasional seperti Piala Dunia sepak bola atau Olimpiade menjadi panggung
global yang menyatukan manusia dari berbagai penjuru dunia. Di sini, perbedaan
budaya bukanlah penghalang, melainkan sumber kekayaan dan keindahan yang
merayakan persatuan manusia. Namun, olahraga juga memperlihatkan sisi lain
manusia yang lebih gelap. Ambisi yang berlebihan untuk kemenangan, penggunaan
doping, dan perilaku tidak etis di lapangan dapat mencerminkan ketidakseimbangan
nilai dalam perjalanan manusia. Oleh karena itu, olahraga juga mengajarkan
pentingnya integritas, etika, dan tanggung jawab.
Dalam keseluruhan, olahraga adalah bagian dari perjalanan manusia yang
penuh warna. Ini adalah refleksi dari ambisi manusia untuk menjadi yang terbaik,
untuk melampaui batas-batasnya sendiri, dan untuk mengejar tujuan-tujuan yang
lebih besar. Melalui perjalanan ini, manusia dan olahraga terus saling membentuk,
membimbing, dan mengilhami satu sama lain dalam perjalanan menuju
kesempurnaan.

37
Manusia sebagai mahluk yang berubah bentuk
Menurut Canetti manusia adalah mahluk yang mampu berubah bentuk.
Dalam olahraga perubahan bentuk ini termanifestasi ke dalam mimesis,
metamorphosis, bahkan kamuflase yang difasilitasi oleh olahraga yang menjadikan
manusia memiliki identitas tertentu. Elias Canetti, seorang filsuf, penulis, dan
peneliti kebudayaan Austria-Bulgaria, adalah sosok yang merentang pikiran dan
pandangan tentang dinamika manusia dalam kompleksitasnya. Dengan karya-
karyanya, seperti "Crowds and Power" dan "Auto-da-Fé," Canetti membawa kita
dalam perjalanan pemikiran yang mendalam mengenai sifat manusia, masyarakat,
dan kekuasaan.
Dalam karyanya yang terkenal, "Crowds and Power," Canetti merinci
bagaimana manusia berperilaku dan berinteraksi ketika berada dalam kerumunan
atau massa. Dia membahas dinamika kekuatan dalam kerumunan, di mana
individu-individu mengalami transformasi psikologis saat menjadi bagian dari
suatu kelompok. Canetti menelusuri sejarah, mitologi, dan fenomena sosial untuk
mengungkap rahasia kekuatan dan kehendak manusia yang muncul dalam
kerumunan. Canetti juga menghadirkan konsep yang unik tentang "ratusan wajah,"
menggambarkan kemampuan manusia untuk mengadaptasi diri dan berubah-ubah
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan sosial. Pemikiran ini
menciptakan pandangan yang mendalam tentang kompleksitas identitas manusia
yang selalu berubah dan terbentuk oleh interaksi sosialnya.
Pemikiran Canetti tidak terbatas pada analisis kerumunan saja; ia juga
mengeksplorasi kekuasaan dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat.
Ia menggambarkan kekuasaan sebagai suatu yang kompleks, menekankan bahwa
kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh pemimpin atau elit, tetapi juga dipertahankan
oleh masyarakat dalam bentuk-bentuk yang bervariasi.
Salah satu kontribusi besar Canetti terletak pada kajiannya tentang kekuasaan dan
kekuatan dalam konteks budaya dan sejarah. Ia mengidentifikasi hubungan antara
ritual dan kekuasaan, menggali akar-akar budaya yang membentuk struktur sosial
manusia. Dalam pandangannya, manusia dan kekuasaan tak terpisahkan, dan

38
melalui pemahaman yang mendalam terhadap keduanya, kita dapat mengeksplorasi
dimensi kehidupan yang tak terbatas.
Dalam karyanya yang lain, "Auto-da-Fé," Canetti membawa pembaca
dalam labirin kompleks psikologi manusia, menyoroti konflik internal dan eksternal
yang membentuk karakter dan tindakan mereka. Novel ini menjadi karya seni sastra
yang mencerminkan ketajaman analisis Canetti terhadap sifat manusia dalam
kondisi tertentu. Elias Canetti, dengan pemikiran yang menggugah, menantang, dan
melibatkan, telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman kita tentang
manusia dan masyarakat. Dengan cara yang unik, ia membuka pintu ke dalam
labirin kompleks kebudayaan, kekuasaan, dan identitas manusia, menginspirasi
generasi setelahnya untuk terus menjelajahi dan memahami esensi kemanusiaan.
Dalam ranah olahraga, pemikiran Elias Canetti, sosok filsuf yang
menelusuri kompleksitas manusia dalam kerumunan dan dinamika kekuasaan,
memberikan kontribusi uniknya untuk memahami dunia olahraga. Meski karyanya
sering kali terfokus pada analisis budaya dan kekuasaan dalam masyarakat,
pemikiran Canetti dapat diaplikasikan dengan sangat menarik ketika kita
memandang olahraga sebagai arena di mana manusia berinteraksi, bersaing, dan
mengungkapkan identitas kolektif. Lebih lanjut, dalam karyanya "Crowds and
Power," Canetti menggambarkan perubahan psikologis yang terjadi pada individu
ketika mereka menjadi bagian dari kerumunan. Dia mengemukakan bahwa
kerumunan memiliki kekuatan unik yang mampu mengubah perilaku manusia,
menenggelamkan individualitas, dan membentuk identitas baru yang terbentuk oleh
kolektivitas. Ketika diterapkan pada dunia olahraga, pemikiran ini menjadi jendela
yang menarik untuk melihat bagaimana atmosfer dalam stadion atau lapangan dapat
menciptakan energi yang luar biasa, mengubah individu menjadi bagian dari suatu
entitas kolektif yang mendukung satu tim.
Olahraga seringkali menjadi manifestasi nyata dari kekuatan dan kehendak
manusia. Pertandingan-pertandingan besar seperti Piala Dunia sepak bola atau
Olimpiade menghadirkan kerumunan besar yang menciptakan atmosfer yang
mendebarkan. Dalam konteks ini, Canetti akan melihat olahraga sebagai panggung

39
di mana individu-individu bersatu dalam kerumunan, merasakan kekuatan kolektif
yang dapat mempengaruhi emosi dan perilaku mereka.
Konsep Canetti tentang "ratusan wajah" juga dapat diterapkan pada atlet dan
penggemar olahraga. Atlet, sebagai individu, dapat mengalami transformasi
identitas ketika berada di lapangan atau dalam tekanan pertandingan. Mereka bukan
hanya individu, tetapi juga menjadi simbol dari identitas suatu tim atau negara. Di
sisi lain, penggemar olahraga, ketika berkumpul dalam kerumunan, dapat
mengalami perubahan psikologis dan emosional yang mengakibatkan kesatuan
dalam mendukung tim atau olahragawan favorit.
Pemikiran Canetti tentang kekuasaan juga menawarkan wawasan dalam
dinamika tim dan hubungan antar atlet. Struktur kekuasaan dalam tim olahraga,
peran pelatih, dan hubungan di antara rekan satu tim merupakan cerminan dari
pemikiran Canetti tentang bagaimana kekuasaan dihasilkan, dipertahankan, dan
terkadang digeser dalam suatu kelompok manusia. Namun, perlu diakui bahwa
Canetti sendiri tidak secara eksplisit membahas olahraga dalam karya-karyanya.
Pengaplikasian pemikirannya terhadap olahraga merupakan interpretasi yang dapat
membuka diskusi dan refleksi lebih lanjut. Dalam hal ini, pemikiran Canetti
memberikan sudut pandang yang unik dan menantang tentang cara kita memahami
kompleksitas hubungan manusia dalam konteks olahraga, di mana kerumunan dan
kekuasaan menjadi elemen-elemen kunci yang membentuk naratif dinamika sosial
dan identitas manusia. Olahraga bukan sekadar serangkaian gerakan fisik atau
pertandingan kompetitif; itu adalah panggung di mana kompleksitas hubungan
manusia diungkap dalam segala keunikan dan keberagamannya. Dalam sorotan
stadion yang terang benderang atau di bawah sinar sorot televisi, kisah-kisah
manusia yang saling terkait dan bertautan dalam dunia olahraga terungkap,
membentuk naratif yang melibatkan kegembiraan, persaingan, solidaritas, dan
bahkan ketegangan. Dalam konteks olahraga, kita melihat dinamika interpersonal
yang berkembang antara atlet dan rekan satu timnya. Hubungan ini seringkali
menjadi kunci kesuksesan suatu tim. Sebuah tim olahraga bukan hanya koleksi
individu yang terampil dalam keterampilan teknis, tetapi juga sebuah entitas sosial
yang mengandalkan koordinasi, komunikasi, dan saling pengertian. Hubungan erat

40
ini melibatkan interaksi yang kompleks, di mana kekuatan dan kelemahan setiap
individu diidentifikasi dan dimaksimalkan untuk mencapai tujuan bersama.
Di sisi lain, hubungan antara atlet dan pelatih juga mencerminkan aspek
dinamis yang unik. Pelatih berperan sebagai pemimpin, mentor, dan motivator.
Mereka memiliki peran kritis dalam membimbing, mendidik, dan mengembangkan
potensi atlet. Ini adalah dinamika kepercayaan dan komunikasi yang tumbuh, di
mana atlet memercayakan perjalanan keberhasilan dan pengembangan diri mereka
kepada visi dan panduan pelatih.
Pada level yang lebih luas, hubungan antara penggemar dan atlet
menciptakan ikatan emosional yang mendalam. Penonton yang bersatu dalam
kerumunan stadion atau di depan layar televisi membentuk komunitas virtual yang
terikat oleh kecintaan terhadap suatu tim atau olahragawan tertentu. Reaksi
bersama, sorak sorai, dan kekecewaan bersama menciptakan ikatan sosial yang
unik, menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang dalam perasaan
persatuan dan kebersamaan. Sebagai antitesis, kompleksitas hubungan manusia
dalam olahraga tidak selalu menghasilkan harmoni. Terdapat juga ketegangan dan
konflik yang dapat memerangi pesona olahraga. Persaingan yang intens, rivalitas
yang memanas, atau ketidaksetaraan dalam pembagian peran dalam tim dapat
menciptakan gesekan dan dinamika yang menantang.
Penjabaran dalam pisau analisis yang lebih luas, olahraga juga menjadi
panggung refleksi nilai-nilai sosial. Isu-isu seperti ras, gender, dan etnisitas sering
kali tercermin dalam dinamika hubungan di lapangan dan di luar lapangan.
Olahraga, sebagai cermin masyarakat, sering menjadi wadah untuk menyuarakan
hak dan mengatasi ketidaksetaraan, membentuk perubahan sosial dan menciptakan
dialog yang mendalam tentang inklusivitas dan keadilan.
Dalam keseluruhan, kompleksitas hubungan manusia dalam dunia olahraga
membentuk kisah manusia yang luar biasa. Ini adalah narasi tentang kegembiraan
dan kesedihan, kemenangan dan kekalahan, persahabatan dan rivalitas, serta
tantangan dan transformasi. Melalui lensa olahraga, kita dapat memahami manusia
dalam segala keberagaman, dan kita dapat merasakan kekuatan yang

41
menghubungkan kita sebagai satu umat manusia yang bergerak bersama dalam
perjalanan penuh warna ini.

Olahraga dan Modernitas


Era modernitas, dengan dinamika perubahan yang cepat dan transformasi
teknologi, telah memberikan dampak yang mendalam pada dunia olahraga.
Olahraga, yang mungkin pada awalnya dipandang sebagai hiburan fisik semata,
kini menjadi cermin dari kompleksitas, tantangan, dan identitas dalam era yang
terus bergerak maju ini. Pertama-tama, transformasi teknologi telah memberikan
dimensi baru pada cara kita melibatkan diri dalam dan menyaksikan olahraga.
Siaran langsung, media sosial, dan teknologi pemantauan kinerja atlet merupakan
bagian integral dari pengalaman olahraga modern. Dengan satu klik, kita dapat
terhubung dengan dunia olahraga di seluruh penjuru dunia, menciptakan jaringan
global yang menyatukan pencinta olahraga dari berbagai latar belakang.
Modernitas, olahraga juga menjadi wadah bagi inovasi teknologi dan
desain. Alat-alat analisis kinerja canggih, pelacakan data, dan teknologi pakaian
pintar menjadi perangkat standar bagi atlet dan pelatih. Ini bukan hanya tentang
peningkatan kinerja fisik, tetapi juga mengenai penciptaan pengalaman olahraga
yang lebih mendalam dan terhubung. Berseberangan dengan tesis sebelumnya, di
balik kemajuan teknologi, olahraga dalam era modernitas juga diwarnai oleh
tantangan etika dan nilai-nilai sosial. Isu-isu seperti penggunaan doping,
komersialisasi yang berlebihan, dan tekanan terhadap atlet untuk mencapai standar
yang tidak realistis menciptakan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang moralitas dan
integritas dalam dunia olahraga. Perubahan-perubahan ini merangkul pergeseran
budaya dan sosial yang menciptakan lingkungan baru yang harus dihadapi oleh atlet
dan para pelaku olahraga.
Selain itu, olahraga dalam era modernitas juga mencerminkan transformasi
dalam identitas sosial dan budaya. Olahraga tidak lagi hanya dipandang sebagai
ajang kebugaran fisik atau kompetisi, tetapi juga sebagai wahana untuk
menyuarakan isu-isu sosial, politik, dan lingkungan. Atlet dan tim menggunakan
ketenaran mereka untuk mengadvokasi perubahan positif dan menciptakan

42
kesadaran akan masalah-masalah global. Keterlibatan olahraga dalam mengatasi
ketidaksetaraan, mendukung keragaman, dan merangkul nilai-nilai keadilan telah
menjadikan olahraga sebagai kekuatan yang memobilisasi dan menginspirasi. Atlet
menjadi pahlawan sosial yang bukan hanya dicontohkan melalui keberhasilan di
lapangan, tetapi juga melalui pengaruh dan dampak positif yang mereka bawa ke
dalam masyarakat.
Olahraga dalam era modernitas tidak hanya mencerminkan perkembangan
teknologi dan perubahan dalam dinamika kompetitif. Ini adalah perwujudan dari
nilai-nilai, tantangan, dan identitas manusia yang berubah seiring waktu. Melalui
olahraga, kita dapat melihat refleksi dari masyarakat modern yang terus
berkembang dan mengeksplorasi batas-batas kemanusiaan.
Era teknologisasi ini membawa perubahan mendalam dalam hampir semua
aspek kehidupan, dan dunia olahraga tidak luput dari gelombang inovasi yang
disebabkan oleh transformasi teknologi. Revolusi ini telah merombak cara atlet
berlatih, pertandingan diselenggarakan, dan bagaimana penggemar terlibat dalam
pengalaman olahraga. Melalui perubahan ini, teknologi telah mengukir jalan untuk
menghadirkan era baru dalam olahraga.
Salah satu transformasi paling mencolok adalah dalam analisis kinerja atlet.
Teknologi pemantauan kinerja dan alat analisis data canggih memungkinkan
pelatih dan ahli kebugaran untuk mendapatkan wawasan mendalam tentang kondisi
fisik dan mental atlet. Dari pemantauan denyut jantung hingga analisis gerakan
tubuh, teknologi ini membantu merinci aspek-aspek kritis yang membentuk kinerja
atlet, memungkinkan pelatihan yang lebih tepat dan efisien.
Selain itu, inovasi dalam peralatan dan teknologi pakaian pintar telah
mengubah cara atlet berkompetisi. Sepatu yang dirancang dengan teknologi terkini,
pakaian yang dapat mengatur suhu tubuh, dan peralatan berbasis sensor
menghadirkan performa yang lebih baik dan meminimalkan risiko cedera. Seiring
dengan itu, implementasi teknologi video dan sistem analisis replays
memungkinkan hakim dan wasit untuk membuat keputusan yang lebih akurat,
menghindari kontroversi yang dapat memengaruhi hasil pertandingan.

43
Dalam aspek pertandingan, teknologi telah menghadirkan pengalaman baru
bagi penggemar olahraga. Siaran langsung dengan kualitas gambar tinggi,
penentuan gol otomatis dalam sepak bola, dan inovasi seperti virtual reality (VR)
atau augmented reality (AR) membawa penggemar lebih dekat ke dalam aksi. Ini
bukan lagi sekadar menonton, melainkan merasakan seolah-olah mereka berada di
tengah lapangan atau lintasan.
Pengalaman penggemar juga ditingkatkan melalui media sosial, platform digital,
dan aplikasi seluler. Interaksi langsung antara atlet dan penggemar melalui media
sosial menciptakan komunitas yang terhubung erat. Penggemar tidak hanya
menyaksikan pertandingan; mereka juga berpartisipasi dalam diskusi, membagikan
momen favorit mereka, dan merayakan kemenangan bersama. Ini menciptakan
ikatan yang lebih kuat antara penggemar dan olahraga mereka. Dengan semua
transformasi ini, ada pula tantangan dan pertanyaan etika yang muncul. Penggunaan
teknologi untuk meningkatkan kinerja atlet menimbulkan pertanyaan tentang batas-
batas manipulasi genetik dan etika dalam olahraga. Selain itu, penggunaan
teknologi video dan kecerdasan buatan dalam penentuan keputusan pertandingan
menciptakan tantangan seputar keadilan dan integritas dalam olahraga.
Dalam keseluruhan, transformasi teknologi dalam dunia olahraga
membawa kita ke sebuah era baru yang memadukan keunggulan fisik dengan
kecanggihan teknologi. Ini bukan hanya tentang meningkatkan kinerja atlet, tetapi
juga memberikan pengalaman yang lebih mendalam dan terlibat bagi penggemar.
Sebagai pintu gerbang menuju masa depan olahraga, inovasi ini terus membentuk
dinamika dan identitas olahraga di era modern.
Olahraga, selain menjadi panggung bagi keterampilan atletik dan
kegembiraan penggemar, juga menciptakan landasan etika yang penting untuk
memandu perilaku para pesertanya. Dalam dunia olahraga, etika bukan hanya
sekadar seperangkat aturan formal; ia mencerminkan nilai-nilai dan moralitas yang
membentuk karakter atlet, melibatkan penggemar, dan menciptakan fondasi bagi
keadilan dan integritas dalam pertandingan.
Salah satu nilai etika yang paling fundamental dalam olahraga adalah fair play atau
bermain dengan jujur. Fair play menuntut atlet untuk bersaing secara adil,

44
menghormati aturan, dan menghindari tindakan curang atau ketidakadilan. Saat
atlet menunjukkan sportivitas, mereka tidak hanya merefleksikan profesionalisme
mereka tetapi juga menciptakan lingkungan yang positif dan adil untuk semua
peserta.
Kejujuran menjadi pilar utama dalam etika olahraga. Atlet yang jujur tidak
hanya bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri tetapi juga terhadap rekan
setim, lawan, dan penggemar. Ketika kejujuran diutamakan, kepercayaan dalam
dunia olahraga diperkuat, dan citra olahraga sebagai wadah kejujuran dan integritas
tetap terjaga. Selain itu, etika dalam olahraga mencakup penghargaan terhadap
lawan dan semangat sportsmanship. Bahkan di tengah-tengah persaingan yang
intens, atlet diharapkan untuk menunjukkan sikap hormat dan kerjasama.
Menghargai lawan, menunjukkan sikap yang sportif dalam kemenangan dan
kekalahan, serta memberikan dukungan moral kepada sesama atlet adalah elemen-
elemen kunci dari etika sportsmanship.
Aspek lain dari etika olahraga adalah perlakuan yang adil dan setara
terhadap semua atlet, tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, atau latar
belakang lainnya. Keberagaman dan inklusivitas harus menjadi nilai yang
ditekankan dalam dunia olahraga, menciptakan lingkungan di mana setiap individu
memiliki peluang yang sama untuk berkembang dan bersaing. Etika olahraga tidak
hanya terbatas pada tindakan dan perilaku atlet. Penggemar dan penonton juga
berperan dalam menjaga etika olahraga. Mengekspresikan dukungan dengan cara
yang menghormati, menghindari perilaku yang merendahkan, dan menghormati
keputusan wasit atau hakim adalah tanggung jawab moral yang harus dipegang oleh
setiap individu yang terlibat dalam pertandingan.
Saat kita merenungkan etika dalam olahraga, kita menyadari bahwa ini tidak
hanya tentang kemenangan dan kekalahan. Ini adalah tentang bagaimana olahraga
menciptakan platform untuk mengukir karakter dan membentuk moralitas. Melalui
fair play, kejujuran, sportsmanship, dan kesetaraan, olahraga menjadi lebih dari
sekadar pertandingan. Ini menjadi sarana untuk membentuk individu yang
bertanggung jawab, beradab, dan memiliki integritas, menciptakan komunitas
olahraga yang dihargai oleh masyarakat dan dihormati oleh dunia. Etika bukan

45
hanya panduan, tetapi fondasi untuk membangun dunia olahraga yang lebih baik
dan lebih bermakna bagi semua.

Otentisitas Olahraga dalam Kebudayaan


Olahraga bukan hanya sekadar aktivitas fisik atau pertandingan yang terjadi
di lapangan atau arena. Lebih dari itu, olahraga mencerminkan aspek otentisitas
dalam kebudayaan, menjadi bagian integral dari identitas masyarakat yang
melibatinya. Dalam kompleksitasnya, olahraga bukan hanya sebuah tontonan,
tetapi juga refleksi nilai, tradisi, dan jati diri suatu komunitas. Otentisitas olahraga
terbentuk melalui hubungan erat antara kebudayaan dan aktivitas fisik itu sendiri.
Setiap jenis olahraga membawa jejak-jejak historis dan nilai-nilai yang mengakar
dalam tradisi lokal. Misalnya, sepak bola memiliki tempat khusus dalam
kebudayaan Brazil dan Argentina, sementara baseball menjadi simbol Amerika
Serikat. Melalui olahraga ini, masyarakat menyampaikan cerita, merayakan
warisan budaya mereka, dan mewariskan tradisi dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Identitas olahraga juga tercermin dalam cara suatu masyarakat merayakan
dan menghidupi permainan tersebut. Ritual, lagu dukungan, dan tradisi seputar
pertandingan menjadi elemen-elemen khas yang menciptakan keunikan dan
otentisitas dalam setiap budaya. Sebagai contoh, haka dari Selandia Baru adalah
ekspresi budaya Maori yang membangkitkan semangat dan kekuatan di antara para
pemain rugby dan penggemarnya.
Otentisitas olahraga juga tercermin melalui ikon dan pahlawan lokal yang diangkat
dalam dunia atletik. Atlet yang berasal dari suatu daerah tidak hanya menjadi
representasi prestasi olahraga, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan dan inspirasi
bagi masyarakat setempat. Mereka membawa cerita hidup, keberhasilan, dan tekad
yang menggambarkan jiwa komunitas tempat mereka tumbuh.
Otentisitas olahraga tidak hanya berkaitan dengan warisan dan tradisi.
Seiring dengan perubahan zaman, olahraga terus berkembang dan menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai dan aspirasi masyarakat modern. Contohnya, ekspansi
olahraga elektronik atau esports mencerminkan perubahan dalam cara kita

46
mengonsumsi dan berpartisipasi dalam dunia olahraga, menciptakan bentuk
otentisitas baru yang sesuai dengan zaman ini.
Penting untuk dicatat bahwa otentisitas olahraga juga menghadapi
tantangan, terutama dalam konteks globalisasi dan komersialisasi. Beberapa
pertandingan olahraga tradisional menghadapi risiko kehilangan elemen lokal dan
otentisitas budaya mereka karena dominasi format global atau permintaan
komersial. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara ekspansi global dan
pemeliharaan akar lokal menjadi penting dalam memastikan otentisitas olahraga.
Dalam konteks keseluruhan, otentisitas olahraga adalah perjalanan melalui
sejarah, nilai, dan identitas. Olahraga menjadi lebih dari sekadar pertandingan atau
hiburan; itu adalah cermin yang mencerminkan kekayaan budaya dan keberagaman
masyarakat yang melibatinya. Dalam evolusi konstan dan penyesuaian dengan
zaman, otentisitas olahraga tetap menjadi elemen kritis yang memperkaya dan
memperdalam pengalaman manusia dalam merayakan keberagaman kebudayaan
mereka.
Fair play, atau bermain dengan jujur, bukanlah sekadar seperangkat aturan
yang dipatuhi oleh atlet dan peserta pertandingan. Ini adalah inti etika dan keadilan
dalam dunia olahraga, menjadi landasan yang mengukir karakter, menghormati
pesaing, dan menciptakan lingkungan pertandingan yang sehat dan adil. Fair play
melampaui batasan kemampuan fisik dan keahlian teknis. Ini adalah komitmen
untuk berkompetisi dengan jujur, menghormati lawan, dan mematuhi aturan yang
telah ditetapkan. Ketika atlet memperlihatkan sikap fair play, mereka tidak hanya
menunjukkan keterampilan atletik mereka tetapi juga menggambarkan moralitas
dan etika mereka sebagai individu.
Salah satu aspek utama dari fair play adalah kepatuhan terhadap aturan dan
etika pertandingan. Atlet yang memahami dan menghormati aturan menciptakan
lingkungan di mana persaingan dapat terjadi dengan adil. Mereka tidak mencari
cara-cara curang atau memanipulasi peraturan demi keuntungan pribadi. Dalam fair
play, kehormatan dan integritas diutamakan melebihi kemenangan dengan cara
tidak etis. Fair play juga mencakup sikap positif dan sportivitas dalam kemenangan
maupun kekalahan. Atlet yang mampu menerima kekalahan dengan kepala tegak

47
dan merayakan kemenangan tanpa merendahkan lawan menunjukkan jiwa
sportivitas. Mereka menyadari bahwa persaingan itu sendiri membawa hikmah dan
pembelajaran, dan sikap tersebut membantu menciptakan iklim yang memupuk
semangat saling menghargai.
Tidak hanya untuk atlet, fair play juga melibatkan peran hakim, wasit, dan
pengawas pertandingan. Keputusan yang adil, tanpa pandangan prasangka atau
diskriminasi, adalah inti dari fair play. Keputusan ini mencerminkan keadilan dan
memberikan keyakinan kepada atlet bahwa pertandingan mereka diadili dengan
objektif dan tanpa pengaruh negatif.
Fair play memiliki dampak jangka panjang yang melampaui lapangan atau
arena pertandingan. Nilai-nilai yang ditanamkan melalui fair play, seperti integritas,
tanggung jawab, dan saling menghormati, dapat membentuk karakter individu-atlet
yang berlanjut hingga kehidupan sehari-hari mereka di luar dunia olahraga. Ini
menciptakan pemimpin dan model peran yang mampu mempengaruhi masyarakat
dengan positif.
Meskipun fair play menjadi aspek yang sangat dihargai dalam dunia
olahraga, tantangan selalu ada. Tekanan untuk menang, ambisi pribadi, dan
ekspektasi yang tinggi dapat menggoda para atlet untuk melanggar etika fair play.
Oleh karena itu, pendidikan dan pemahaman akan nilai-nilai fair play perlu
ditanamkan dari tingkat awal pembelajaran olahraga. Fair play bukanlah hanya
norma-norma aturan, melainkan fondasi moral dan etika dalam dunia olahraga. Ini
adalah pilar yang menciptakan pertandingan yang adil, memberdayakan karakter
atlet, dan membentuk komunitas olahraga yang sehat dan positif. Dalam semangat
fair play, olahraga menjadi alat untuk membentuk karakter dan mempromosikan
keadilan, menghadirkan pengalaman yang luar biasa bagi atlet dan penggemar di
seluruh dunia.
Olahraga bukan hanya tentang keterampilan fisik atau hasil pertandingan;
itu juga menciptakan panggung bagi nilai-nilai moral yang membangun karakter
dan mencerminkan keadilan. Dalam setiap lapangan atau arena, moralitas menjadi
pemandu perilaku atlet, pelatih, dan penonton, membentuk pondasi yang mendalam
dalam dunia olahraga.

48
Salah satu aspek moralitas dalam olahraga adalah sportivitas atau
sportmanship. Sportivitas mencakup sikap positif, kesopanan, dan sikap terbuka
terhadap lawan, bahkan dalam situasi kekalahan atau kemenangan. Atlet yang
menunjukkan sportivitas menghormati aturan permainan, menghargai lawan, dan
merayakan kemenangan dengan penuh etika. Sikap ini menciptakan atmosfer
kompetisi yang sehat dan mendalamkan pengalaman berolahraga.
Moralitas dalam olahraga juga tercermin dalam kejujuran dan integritas. Atlet yang
mematuhi aturan, mengakui kesalahan, dan menolak untuk menggunakan cara-cara
curang menunjukkan moralitas tinggi. Integritas dalam olahraga adalah pondasi
kepercayaan, baik antar atlet sendiri maupun antara atlet dan penggemar. Moralitas
ini bukan hanya tentang memenangkan pertandingan, tetapi juga tentang
memenangkan kehormatan dan rasa hormat.
Selain itu, moralitas dalam olahraga terkait dengan tanggung jawab dan
kerjasama dalam tim. Atlet yang menghargai peran masing-masing, mendukung
rekan satu tim, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka menciptakan
lingkungan tim yang kuat dan terpadu. Oleh karena itu, moralitas dalam olahraga
tidak hanya terfokus pada pencapaian individu tetapi juga pada kontribusi positif
terhadap kesuksesan tim.
Keadilan menjadi unsur krusial dalam moralitas olahraga. Pengawasan
pertandingan, keputusan wasit, dan penerapan aturan adalah langkah-langkah yang
menciptakan keadilan. Atlet yang menerima keputusan dengan lapang dada, tanpa
melibatkan sikap tidak sportif, mencerminkan moralitas yang kuat dan kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam olahraga.
Disisi lain, tantangan moral dalam olahraga seringkali muncul dari tekanan
untuk mencapai kemenangan. Ambisi untuk mencapai kesuksesan dapat menggoda
atlet untuk mengorbankan nilai-nilai moral, seperti fair play atau sportivitas. Oleh
karena itu, pendidikan moral di dunia olahraga menjadi krusial untuk membantu
atlet menghadapi dilema moral dan membuat keputusan yang tepat. Moralitas
dalam olahraga juga membentuk karakter di luar lapangan. Nilai-nilai seperti
ketekunan, disiplin, dan kerja keras, yang ditanamkan melalui olahraga, membantu
membentuk individu yang bertanggung jawab dan memiliki prinsip moral dalam

49
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, olahraga tidak hanya menjadi arena
pertandingan, tetapi juga menjadi sekolah moral yang mengajarkan nilai-nilai yang
diperlukan untuk menjadi individu yang baik.
Moralitas dalam olahraga adalah pondasi yang membangun karakter dan
menciptakan lingkungan pertandingan yang adil dan sehat. Ini melibatkan
sportivitas, kejujuran, integritas, tanggung jawab, dan keadilan. Melalui
penghayatan nilai-nilai moral ini, olahraga tidak hanya menjadi ajang kompetisi
fisik, tetapi juga panggung bagi pertumbuhan dan perkembangan karakter manusia.
Moralitas dalam olahraga menciptakan pengalaman berolahraga yang mendalam
dan bermakna, yang membentuk individu dan masyarakat yang lebih baik.
Manusia, sebagai makhluk yang kompleks, mengejar berbagai aspek
kehidupan untuk mencapai kesejahteraan dan makna. Di antara upaya tersebut,
olahraga muncul sebagai kegiatan yang tidak hanya membangun fisik, tetapi juga
merentangkan jiwa dan menyelaraskan hubungan antara individu dengan
masyarakat. Dalam dinamika berolahraga, manusia menemukan sebuah jalan untuk
menggali potensi, memperkuat tubuh, dan membangun keseimbangan holistik.
Olahraga menjadi manifestasi keseimbangan fisik manusia. Tubuh yang
sehat adalah modal utama untuk menjalani kehidupan yang produktif dan
bermakna. Melalui gerakan dan latihan fisik yang teratur, manusia membangun
kekuatan, keketahan, dan ketangkasan. Aktivitas olahraga tidak hanya menciptakan
tubuh yang bugar, tetapi juga melibatkan seluruh sistem fisiologis untuk bekerja
secara optimal, mendukung kesehatan jantung, paru-paru, dan otak. Olahraga
bukan hanya sekadar tentang kekuatan fisik; itu juga merentangkan jiwa manusia.
Saat berolahraga, individu tidak hanya melibatkan tubuh mereka tetapi juga
menantang batasan mental dan emosional. Disiplin, tekad, dan semangat juang
muncul sebagai bagian dari perjalanan olahraga. Keberhasilan atau kegagalan
dalam mencapai tujuan olahraga seringkali mencerminkan dinamika emosional dan
mentalitas positif yang mendorong pertumbuhan pribadi.
Berolahraga juga menghubungkan manusia dengan masyarakat. Tim
olahraga, klub, atau komunitas atletik menciptakan lingkungan sosial yang
mendukung dan memotivasi. Solidaritas dalam perjuangan bersama, kerjasama

50
dalam tim, dan dukungan dari sesama atlet membentuk ikatan sosial yang
memperkuat rasa kepemilikan dan identitas komunitas. Olahraga menciptakan
aliran positif yang menghubungkan manusia, mengatasi batasan sosial, dan
merangkul keberagaman. Keseimbangan dalam olahraga tidak selalu mudah
dicapai. Terkadang, tekanan untuk mencapai tingkat prestasi tertentu dapat
menghancurkan keindahan olahraga itu sendiri. Manusia harus tetap waspada
terhadap risiko cedera, perbandingan yang tidak sehat, dan kecenderungan untuk
mengorbankan kesehatan mental demi kesuksesan fisik. Oleh karena itu, penting
untuk memahami bahwa olahraga harus menjadi perjalanan yang membawa
keseimbangan dan kesejahteraan.
Olahraga juga menciptakan kesadaran akan pentingnya perawatan
lingkungan dan keseimbangan ekologi. Menggunakan alam sebagai arena
berolahraga mengajarkan manusia untuk menghargai dan melindungi lingkungan.
Ketika manusia merasakan keajaiban alam melalui kegiatan lari di hutan, mendaki
gunung, atau berenang di laut terbuka, hubungan kesejahteraan pribadi dengan
keseimbangan ekosistem menjadi lebih terasa.
Manusia yang berolahraga tidak hanya berusaha memperkuat tubuh fisik,
tetapi juga merentangkan jiwa dan membentuk keseimbangan holistik. Olahraga
adalah medium yang menyatukan fisik, mental, dan sosial, menciptakan hubungan
yang mendalam antara manusia dan alam, serta antara individu dan masyarakat.
Dalam setiap langkahnya, manusia yang berolahraga menjelajahi makna hidup dan
menemukan keseimbangan yang esensial untuk kehidupan yang berarti.
Olahraga sebagai produk budaya manusia tidak selamanya manis, ada sisi-
sisi gelap bukan pada masyarakat yang menghidupinya, melainkan dalam diri
manusianya sendiri. salah satu patologi yang dapat kita lihat yakni skizofrenia.
Skizofrenia, suatu gangguan mental kompleks yang memengaruhi persepsi, pikiran,
dan emosi seseorang, bukanlah hal yang lazim terkait dengan dunia olahraga yang
sering dihubungkan dengan kebugaran fisik dan performa atletik. Namun, di balik
sorotan lampu panggung dan sorak sorai penonton, terkadang terdapat cerita kelam
tentang individu yang berjuang dengan skizofrenia dalam dunia olahraga. Dalam

51
esai ini, kita akan merenung tentang pengaruh skizofrenia terhadap atlet, tantangan
yang dihadapi, dan dampaknya terhadap kesehatan mental dan performa mereka.
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang dapat memengaruhi kognisi, emosi,
dan perilaku seseorang. Dalam konteks olahraga, individu yang hidup dengan
skizofrenia mungkin mengalami tantangan unik yang dapat memengaruhi
kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Meskipun tidak banyak diberitakan,
beberapa atlet yang menghadapi skizofrenia telah memberikan wawasan berharga
tentang perjuangan mereka dalam mempertahankan keseimbangan antara
kehidupan olahraga dan tantangan kesehatan mental.
Salah satu aspek utama dari skizofrenia yang memengaruhi keterlibatan
dalam olahraga adalah gangguan persepsi dan realitas. Individu dengan skizofrenia
mungkin mengalami halusinasi atau delusi yang dapat memengaruhi konsentrasi
dan fokus, dua aspek penting dalam dunia olahraga. Tantangan untuk memisahkan
realitas dari pikiran batin mereka dapat menjadi rintangan serius terhadap
keberhasilan dalam latihan dan pertandingan.
Selain itu, pengelolaan stres juga menjadi aspek kritis dalam kehidupan
seorang atlet dengan skizofrenia. Kompetisi yang intens dan tekanan untuk tampil
dengan baik dapat menjadi pemicu yang memperburuk gejala skizofrenia. Bagi
mereka yang hidup dengan kondisi ini, menemukan cara untuk mengatasi stres dan
menjaga keseimbangan mental menjadi lebih rumit dan menantang. Tetapi,
olahraga juga dapat menjadi alat yang bermanfaat dalam mengelola skizofrenia.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa latihan fisik dapat memiliki dampak
positif pada kesehatan mental secara umum, termasuk mengurangi gejala depresi
dan kecemasan. Bagi beberapa individu dengan skizofrenia, rutinitas olahraga
dapat menjadi bentuk terapi tambahan yang membantu mengelola gejala dan
meningkatkan kualitas hidup.
Penting untuk dicatat bahwa setiap individu dengan skizofrenia memiliki
pengalaman yang unik, dan pendekatan terhadap olahraga sebagai bagian dari
perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kenyamanan masing-masing.
Tim dukungan yang terdiri dari profesional kesehatan mental, pelatih, dan rekan
setim dapat berperan penting dalam memberikan dukungan dan membantu

52
menciptakan lingkungan yang mendukung. Dengan semakin meningkatnya
pemahaman tentang kesehatan mental, penting bagi dunia olahraga untuk mengakui
bahwa atlet dapat menghadapi tantangan mental yang kompleks, termasuk
skizofrenia. Dengan menciptakan lingkungan yang inklusif dan peduli, dunia
olahraga dapat menjadi tempat yang mendukung dan memberdayakan para atlet
yang berjuang dengan gangguan mental ini. Melalui pendekatan holistik yang
menggabungkan kesehatan fisik dan mental, kita dapat bersama-sama merangkul
dan menghapus stigma seputar skizofrenia dalam dunia olahraga.

Menjadi Otentik dengan Berolahraga


Menjadi manusia otentik adalah perjalanan yang mendalam untuk
menemukan dan menghargai esensi diri. Ini melibatkan pengenalan, penerimaan,
dan pengekspresian diri yang jujur dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam esai
ini, kita akan menjelajahi elemen-elemen kunci yang membentuk perjalanan
menuju otentisitas dan bagaimana pengalaman, refleksi, dan interaksi dengan dunia
dapat membantu membentuk manusia yang otentik.
Salah satu langkah awal menuju otentisitas adalah pengetahuan tentang diri
sendiri. Ini bukan hanya tentang pemahaman mengenai hobi, minat, atau preferensi
pribadi, tetapi juga melibatkan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai,
keyakinan, dan tujuan hidup. Menelusuri akar dari apa yang benar-benar penting
bagi kita membuka pintu ke dunia otentisitas.
Penerimaan terhadap diri sendiri, dengan semua kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki, adalah langkah berikutnya. Terkadang, kita cenderung berusaha
menjadi apa yang diharapkan oleh orang lain atau masyarakat. Namun, menjadi
manusia otentik melibatkan penerimaan penuh terhadap diri sendiri, bahkan pada
bagian-bagian yang mungkin tidak selalu sempurna. Ini melibatkan tanggung jawab
terhadap keaslian kita sendiri dan berani mengeksplorasi sisi-sisi yang mungkin
tersembunyi.
Kepatuhan terhadap nilai-nilai dan integritas pribadi juga memainkan peran penting
dalam perjalanan otentisitas. Ketika kita hidup sesuai dengan apa yang kita yakini,
kita membangun fondasi keberanian dan kejujuran dalam tindakan dan hubungan.

53
Meskipun ada tekanan eksternal untuk berubah, menjadi manusia otentik berarti
tetap setia pada nilai-nilai kita sendiri, bahkan jika itu berarti menjadi berbeda atau
menentang arus.
Pengalaman hidup dan refleksi terhadapnya merupakan bagian integral dari
proses menjadi manusia otentik. Melalui pengalaman, baik sukses maupun
kegagalan, kita membangun pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri.
Refleksi pada pengalaman ini membantu kita meresapi pelajaran dan menemukan
arti di balik peristiwa-peristiwa hidup, membimbing kita dalam pertumbuhan
pribadi.
Interaksi dengan dunia dan orang-orang di sekitar kita juga memainkan
peran sentral dalam perjalanan otentisitas. Melalui hubungan, kita memiliki
kesempatan untuk melihat diri kita melalui cermin interaksi sosial. Feedback dari
orang lain dapat memberikan wawasan yang berharga, membantu kita melihat sisi-
sisi diri yang mungkin tidak kita sadari. Sementara itu, membangun hubungan yang
otentik dengan orang lain melibatkan kejujuran dan keterbukaan, menciptakan
lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi.
Menjadi manusia otentik adalah perjalanan seumur hidup yang melibatkan
pengetahuan, penerimaan, dan pengekspresian diri. Ini adalah upaya untuk hidup
sesuai dengan nilai-nilai dan integritas pribadi, meskipun terkadang harus
berhadapan dengan tekanan eksternal. Pengalaman hidup, refleksi, dan interaksi
dengan dunia membentuk lapisan-lapisan keaslian diri, membawa kita ke arah
kehidupan yang lebih bermakna dan otentik.
Eksistensi dalam konteks kebudayaan merujuk pada keberadaan dan peran
individu atau kelompok dalam suatu sistem nilai, norma, dan praktik budaya.
Eksistensi ini berkaitan erat dengan cara individu atau kelompok tersebut
berinteraksi, beradaptasi, dan memberikan makna terhadap dunia di sekitarnya
dalam kerangka budaya tertentu. Dalam esai ini, kita akan menjelajahi bagaimana
eksistensi manusia tercermin dan memengaruhi kebudayaan. Eksistensi manusia
dalam kebudayaan diwarnai oleh kompleksitas identitas, nilai, dan peran sosial.
Individu membentuk identitas mereka melalui faktor-faktor seperti agama, bahasa,
etnisitas, dan nilai-nilai pribadi. Seiring waktu, eksistensi ini juga dapat terbentuk

54
oleh pengalaman hidup, perubahan sosial, dan dinamika lingkungan budaya
mereka.
Salah satu elemen kunci eksistensi manusia dalam kebudayaan adalah
bahasa. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin budaya yang
mencerminkan cara individu atau kelompok memberikan makna terhadap dunia.
Melalui bahasa, nilai-nilai, tradisi, dan pengetahuan dibagikan dan diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya, membentuk dasar budaya. Norma dan etika
sosial juga memainkan peran penting dalam eksistensi dalam kebudayaan. Individu
mengikuti aturan dan norma tertentu yang diakui oleh masyarakat tempat mereka
tinggal. Penyimpangan dari norma ini dapat memiliki konsekuensi sosial yang
signifikan dan mencerminkan bagaimana eksistensi individu dalam kebudayaan
dipandang oleh komunitasnya.
Seni dan budaya kreatif yang juga di dalamnya olahraga, juga berkontribusi
pada eksistensi manusia dalam kebudayaan. Melalui seni, individu dapat
mengekspresikan gagasan, emosi, dan perspektif mereka, menciptakan karya yang
mencerminkan kekayaan dan keberagaman budaya. Seni tidak hanya menjadi
manifestasi eksistensi, tetapi juga menjadi warisan berharga yang membentuk
identitas budaya. Dalam era globalisasi, eksistensi dalam kebudayaan juga
terpengaruh oleh interaksi antarbudaya. Individu memiliki akses lebih besar ke
informasi, ide, dan budaya dari seluruh dunia. Ini menciptakan dinamika baru di
mana eksistensi lokal bersilangan dengan pengaruh global, membentuk kebudayaan
yang terus berkembang dan berubah. Penting untuk diakui bahwa eksistensi dalam
kebudayaan bukanlah proses statis. Budaya selalu berubah dan berkembang seiring
waktu, dan individu memiliki peran dalam membentuk dan mempertahankan
dinamika ini. Eksistensi manusia dalam kebudayaan adalah perjalanan yang penuh
dengan penemuan, adaptasi, dan interaksi, menciptakan mozaik keberagaman dan
kaya akan makna.
Modernisasi telah membuka kemungkinan dialog antarbudaya lebih luas
dan lebih mendalam lagi kini, tapi juga memberi otonomi lebih besar kepada
individu dalam berhubungan dengan tradisi awalnya. Bila dalam masyarakat
pramodern, tradisi mengendalikan reflektivitas individu, kini dalam masyarakat

55
modern justru kebalikannya, reflektivitas individulah yang mengendalikan tradisi,
dalam artian tradisi berolahraga. Tradisi budaya seseorang kini menjadi hanua salah
satu pilihan di antara banyak pilihan dalam bazar budaya atau supermarket budaya
hari ini, yang bahkan manusia berubah menjadi objek atas olahraga yang
hakikatnya adalah produk yang dilahirkannya sendiri. Ia bisa saja menjadi budak
dan tuan sekaligus.
Orang melakukan seleksi unsur-unsur apa dari berbagai tradisi kebudayaan
itu yang ia sukai dan hendak ia apropriasi (ia jadikan miliknya). Secara kultural
manusia abad ini memanh menjadi hibrida alias percampuran dari unsur-unsur
berbagai tradisi kultural yang ia anggap terbaik. Dengan sendirinya keterikatan
pada tradisi kulturalnya pribadi memang menjadi longgar. Dalam arti ini
modernisasi cenderung memaksa tradisi-tradisi kultural untuk mereformulasikan
dan menerjemahkan diri ke dalam tuntutan pemaknaan baru, kerangka berpikir baru
dan peluang-peluang baru.

56
BAB V
Olahraga dan Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu fenomena terbesar dalam sejarah


peradaban manusia. Dalam beberapa penafsiran menyatakan, proses pendidikan
merupakan salah satu hal yang khas terjadi dalam ruang kemanusiaan. Untuk itu,
ketika mencoba menganalisis olahraga dalam keterkaitannya dengan kebudayaan,
maka hal menarik yang harus dilakukan adalah melakukan analisis terhadap
berbagai keterkaitan antara olahraga dalam pendidikan.
Dalam konteks ke Indonesiaan, ketika mencoba untuk menganalisis
fenomena olahraga dalam ruang pendidikan, kita akan dihadapkan pada konsep
yang lebih dikenal dengan sebutan pendidikan jasmani. Meskipun secara hakikat
pendidikan jasmani itu sendiri tidak dapat diterjemahkan secara langsung dari
olahraga, namun pada kenyataan pendidikan jasmani merupakan sebuah proses
asimilasi antara pendidikan dan olahraga.
Pendidikan jasmani merupakan sebuah upaya pendidikan yang
memanfaatkan olahraga sebagai salah satu media dalam menyampaikan dan
mencapai tujuan pendidikannya. Maka, dalam realitasnya—persoalan yang muncul
dalam ruang pendidikan jasmani—pun kemudian tidak bisa dihindarkan mendekati
dengan persoalan yang muncul dalam olahraga pada umumnya. Beberapa isyu kuat
yang kemudian muncul dalam ruang pendidikan jasmani dan olahraga selanjutnya
akan dibahas dalam bab ini.
A. Isyu Gender dalam Pendidikan Jasmani/ Olahraga
Sampai saat ini, walaupun kata emansipasi sudah sangat sering kita
dengar, namun pada kenyataan perdebatan mengenai eksistensi perempuan
dalam struktur masyarakat masih saja kuat menggejala. Dalam realitas yang
nyata banyak orang menyatakan bahwa keberadaan perempuan dalam
struktur sosial cenderung dalam posisi yang dirugikan.Marginalisasi peran
dan pembelengguan etis menempatkan perempuan pada posisi yang
cenderung tidak menguntungkan, second class, dan sub ordinat dari kaum
laki-laki.

57
Istilah gender menjadi ruang konflik yang tak henti-hentinya
dipertentangkan dalam wacana sosial. Sementara apa yang dimaksutkan
dengan gender itu sendiri, serta apa yang menjadikannya rentan untuk
diperdebatkan banyak salah untuk diterjemahkan. Konsep gender seringkali
dikacaukan dengan konsep sex secara hakikatnya. Terlebih lagi dalam dunia
olahraga—pertentangan tentang kata keseteraan gender menjadi lebih
sengit. Hal ini ditengarai karena dunia olahraga saat ini cenderung
dilekatkan dengan paradigma maskulin yang sangat memungkinkan
munculnya bias gender. Lantas apa sebenarnya gender itu sendiri?
Untuk lebih memperjelas akan konsep gender perhatikan tabel
berikut:
Laki-laki Perempuan Kategori
Mempunyai penis Vagina

SEX
Testis Ovarium
Memproduksi sperma Melahirkan
Jaqun Menyusui
Dsb Dsb
Gagah Lembut
Tegas Sopan
GENDER

Bertanggung jawab Cengeng


Rasional Emosional
Pemberani Penakut dan lemah
Kasar Sensitif
Egois Khawatir
Dsb Dsb

Dari tabel di atas dapat dimaknai sebagai berikut :


SEX adalah konsep yang membedakan antara kaum laki-laki dan
perempuan dengan mendasarkan pada sesuatu yang sifatnya biologis,
kodrati, dan tidak bisa dipertukarkan. Sementara GENDER adalah konsep

58
yang memilahkan antara laki-laki dan perempuan dengan mendasarkan
pada sesuatu yang merupakan hasil konstruksi sosial, bukan kodrati dan bisa
dipertukarkan. Gender seringkali juga disebut sebagai pembagian peran
ataupun pelabelan (stereotype)
Dalam wacana sosiologis dari kedua konsep di atas, gender-lah yang
menjadi pusat perbincangan. Disinyalir, pola-pola pelabelan yang
disematkan antara kaum laki-laki dan perempuan—pada akhirnya
cenderung merugikan perempuan dalam upayanya mengambil peran-peran
yang lebih luas di sektor publik. Perhatikan Ilustrasi berikut:

Ilustrasi I. Pekerjaan dan Jenis Kelamin

Setelah memperhatikan gambar di atas, barangkali sepintas hal itu


tidak ada yang menjadi masalah, alias bagi anda hal itu biasa saja dan tidak
mengundang keanehan. Hal ini dikarenakan tanpa anda sadari, cara berpikir
kita selama ini diwarnai budaya patriarki yang secara tidak sadar
mempengaruhi cara pandang kita terhadap laki-laki dan perempuan dalam
mengambil peran-peran sosial. Ketika kita mendengar kata ‘dokter’ maka
secara umum yang terbayang adalah sosok laki-laki, sebaliknya—kalau kita
mendengar kata ‘perawat’ maka yang segera terbayang adalah sosok
perempuan. Demikian pula berlaku seperti digambar untuk posisi Pilot,
Pramugari, Direktur, maupun sekretaris. Seolah, peruntukkan jenis kerja
tersebut dilekatkan pada jenis kelamin tertentu. Padahal secara fakta,
banyak yang dalam kondisi yang sebaliknya.

59
Ketika kita lebih jeli lagi untuk mencermati mengenai pembagian
peran itu, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa kaum perempuan selalu
diidentikan dengan peran-peran kedua setelah pria. Lebih luas lagi, ketika
mencoba dicermati berbagai peran yang banyak dapat dijalani dalam ruang
publik, secara umum lebih banyak yang ‘seolah’ diperuntukkan bagi kaum
laki-laki.
Proses marginalisasi kaum perempuan dalam ruang sosial dianggap
sistemik dan massif yang pada akhirnya merugikan kaum perempuan.
Semenjak kecil kaum perempuan dilekatkan dengan segala sesuatu yang
sifatnya lembut. Mainan boneka dan alat masak memasak dan berdandan
merupakan hal yang lazim bagi anak-anak perempuan. Sementara bagi anak
laki-laki diberikan mainan mobil-mobilan, pistol-pistolan, ataupun berbagai
mainan lain yang mengarah pada keterampilan yang lebih kompetitif di
masa mendatang. Hal inilah yang menjadi fokus perjuangan para kaum
feminis untuk menuntut dan melawan. Segala macam bentuk usaha
sistematis pelemahan peran perempuan rung-ruang sosial harus
dihilangkan.
a. Realitas Timpang Gender dalam Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani secara definif berbeda dengan olahraga. Namun
cara pandang masyarakat terhadap pendidikan jasmani seringkali tidak bisa
dilepaskan dari bagaimana cara pandang masyarakat terhadap olahraga pada
umumnya. Patut disadari bersama bahwa ruang budaya Indonesia diwarnai
secara nyata oleh corak patriarki dalam segala lini. Hal ini tidak bisa
dihindarkan pula pada ruang olahraga. Olahraga senantiasa dilekatkan
dengan peran-peran maskulin. Aktivitas fisik yang berat dan memerlukan
kekuatan otot maksimal senantiasa menjadi citra olahraga dalam perspektif
umum. Cara pandang ini pula pada akhirnya tidak bisa dihindarkan
berimbas dalam ruang pendidikan jasmani.
Pendidikan jasmani ketika mencoba dirujuk pada definisi awalnya
dengan jelas termaktub dalam amanat yang dituangkan dalam kurikulum,
yaitu “…. merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang

60
memanfaatkan aktivitas jasmani sebagai sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan pada umumnya”. Melalui definisi tersebut dengan mudah dapat
dimaknai bahwa pendidikan jasmani bukan merupakan pendidikan untuk
jasmani. Namun—jasmani lebih ditempatkan sebagai media/ jalan dalam
memperoleh tujuan pendidikan. Ironisnya, realitas yang terjadi di
masyarakat pada umumnya memandang bahwa pendidikan jasmani adalah
pendidikan untuk jasmani. Dengan demikian kiranya pendidikan jasmani
tidak bisa melepaskan diri dari bagaimana cara pandang masyarakat
terhadap tubuh.
Tubuh dalam tradisi masyarakat Indonesia ditempatkan sebagai
ruang etis yang senantiasa harus didisiplinkan. Sekian banyak nilai sosial
dibangun dengan menyandarkan pada realitas tubuh. Tubuh yang elok, rapi,
dan sopan merupakan representasi dari nilai kemuliaan berperilaku.
Demikian pula sebaliknya, bahwa tubuh yang penuh dengan keterbukaan
adalah simbol ketidak sopanan, sehingga perlu dididik dan didisiplinkan.
Cara pandang masyarakat terhadap tubuh berimbas pada bagaimana
klasifikasi tubuh dalam masyarakat muncul dan bagaimana nilai dan
perkenaan terhadapnya harus dilakukan. Nampak secara nyata proses
klasifikasi cara pandang masyarakat terhadap tubuh seperti halnya ketika
dilakukan pembedaan cara pandang terhadap tubuh laki-laki dan tubuh
perempuan. Tubuh laki-laki lebih diidentikan pada realitas yang lumrah
sehingga tidak begitu dipersoalkan untuk dipertontonkan. Sebaliknya, tubuh
perempuan adalah perwakilan dari sekian banyak kesakralan yang harus
ditutup dengan rapat untuk menghindari aib jika dipertontonkan. Cara
pandang ini tentunya tidak lepas dari bagaimana secara umum masyarakat
Indonesia menganut keyakinan dan tata adat istiadat yang didalamnya juga
membicarakan persoalan tubuh perempuan dalam ruang publik.
Untuk selanjutnya, pembahasan yang akan dimunculkan bukan
mencoba untuk mengadili bahwasannya kemudian sekian banyak
keyakinan maupun tata norma masyarakat telah membuat perempuan
menjadi relatif terbatas kebebasannya untuk melakukan kegitan olahraga

61
yang notabene sebagian besar tentunya dilakukan dengan tubuh yang relatif
terbuka, namun tentunya perlu dimunculkan sebuah cara pandang lain
terkait untuk mengatasi hal itu.
Diluar kejelian untuk memaknai bahwa perseteruan mengenai
perempuan dan laki-laki dalam ruang sosial senantiasa masih cukup kuat—
dilain sisi diyakini wacana emasipasi yang mengusung jargon kesetaraan
telah selesai adanya. Sementara itu, kalau diperhatikan lebih cermat,
bahwasannya wacana emansipisasi dalam tahap praksis ke Indonesiaan
seringkali berjalan serampangan tanpa mempertimbangkan ragam ideologi
yang kemudian berkembang dalam masyarakat terkait wacana gender.
Menurut Ratna Megawangi, ada dua teori yang berkembang dalam
menganalisis wacana gender. Yang pertama yaitu teori Nature. Teori ini di
pengaruhi oleh teori struktruktural fungsional. Menurut teori ini
membicarakan masalah gender tidak bisa melepaskan dari potensi biologis.
Artinya bahwa stereotype gender yang dilekatkan pada seseorang memang
sudah sesuai dengan fungsi strukturnya. Misalnya saja, kenapa seorang
perempuan lebih lemah lembut, sensitif, relatif gampang khawatir—hal ini
terkait erat dengan fungsi strukturnya untuk menjadi seorang ibu.
Sementara, teori yang kedua adalah teori Nurture. Teori ini
dipengaruhi oleh teori klasik sosial konflik. Menurut teori ini, perbedaan
gender yang terjadi merupakan murni hasil rekayasa sosial. Jadi kenapa
perempuan disudutkan pada posisi yang lemah dikarenakan kekalahnnya
dalam pergulatan memperebutkan eksistensi dalam struktur masyarakat
oleh kaum laki-laki. Untuk itu perlu perjuangan yang lebih serius untuk bisa
merubahnya.
Keyakinan terhadap dua aliran tersebut di atas, sangat
mempengaruhi bagaimana kemudian seorang laki-laki maupun perempuan
mempraktikkan tata relasi mereka dalam kehidupan, tidak luput juga
tentunya dalam pendidikan jasmani. Misal saja, seorang guru pendidikan
jasmani, secara sadar ataupun tidak—akan mengimplementasikan cara
pandangnya terhadap perempuan secara gender dalam pola

62
pembelajarannya. Dan—tentunya bagaimanapun cara pandang yang ia
miliki tentunya akan mengandung implikasi yang mesti disadari dan
terkontrol. Karena, bisa jadi keyakinan gender dari guru tidak senantiasa
selaras dengan keyakinan yang dimiliki siswa yang diajar, sehingga sangat
mungkin memunculkan persoalan yang menjadikan proses pembelajaran
tidak berjalan optimal.
Pengaruh konsep gender yang dipahami oleh guru dapat memiliki
dampak pada proses pembelajaran pendidikan jasmani yang dilakukan.
Berikut ini beberapa pengaruh yang mungkin terjadi:
1. Persepsi tentang kemampuan fisik: Jika guru memiliki pemahaman
stereotipik tentang perbedaan kemampuan fisik antara laki-laki dan
perempuan, hal ini dapat mempengaruhi cara guru memberikan
instruksi dan ekspektasi terhadap siswa. Misalnya, guru mungkin
cenderung mengharapkan laki-laki lebih kuat dan lebih mampu dalam
aktivitas fisik tertentu seperti angkat beban, sementara perempuan
diharapkan lebih lemah. Hal ini dapat mengarah pada ketidakadilan
dalam perlakuan dan penghargaan terhadap kemampuan siswa
berdasarkan gender mereka.
2. Pemilihan dan penekanan pada aktivitas tertentu: Konsep gender yang
dipahami oleh guru juga dapat mempengaruhi pilihan aktivitas dan
penekanan dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Misalnya, guru
mungkin lebih cenderung memberikan fokus pada olahraga yang
dianggap "maskulin" seperti sepak bola, basket, atau gulat, sementara
aktivitas seperti senam atau tari dianggap "feminin". Hal ini dapat
mengabaikan minat dan potensi siswa yang mungkin berbeda dengan
stereotip gender.
3. Perbedaan perlakuan dan dukungan: Guru yang memiliki pemahaman
gender yang kuat mungkin cenderung memberikan perlakuan dan
dukungan yang berbeda terhadap siswa berdasarkan gender mereka. Hal
ini dapat mencakup memberikan lebih banyak kesempatan dan
perhatian kepada siswa laki-laki dalam kompetisi atau permainan tim,

63
sementara perempuan mungkin lebih diarahkan ke aktivitas yang
dianggap lebih "halus" atau "terarah pada penampilan". Perlakuan yang
tidak adil seperti ini dapat mempengaruhi rasa percaya diri, partisipasi,
dan motivasi siswa dalam pembelajaran pendidikan jasmani.
4. Norma sosial dan stereotip gender: Guru juga dapat membantu
memperkuat atau menantang norma sosial dan stereotip gender melalui
pengajaran dan interaksi dengan siswa. Jika guru secara tidak sadar atau
sadar memperkuat stereotip gender yang ada, seperti mengomentari
penampilan fisik siswa atau membatasi partisipasi berdasarkan gender,
hal ini dapat memperkuat pembatasan peran dan ekspektasi gender yang
sempit. Sebaliknya, guru juga dapat memainkan peran penting dalam
menghilangkan stereotip dan mengembangkan lingkungan
pembelajaran yang inklusif dan mendukung bagi semua siswa.
Dalam upaya menciptakan pembelajaran pendidikan jasmani yang
inklusif, penting bagi guru untuk menyadari dan mengkaji kembali
pemahaman mereka tentang gender serta menghindari diskriminasi atau
perlakuan yang tidak adil berdasarkan gender. Guru perlu memberikan
kesempatan yang setara bagi semua siswa untuk berpartisipasi dalam
berbagai jenis aktivitas fisik dan memberikan dukungan yang adil dan
positif bagi kemajuan dan perkembangan fisik siswa tanpa memandang
gender mereka.
Sementara itu dalam dunia olahraga maupun pendidikan jasmani,
apakah memang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan bisa
disamakan?? Hal ini masih menjadi perbincangan yang senantiasa layak
untuk dikaji dan diselesaikan. Walaupun dalam wacana sosial ataupun
keilmuan yang lain, tidak akan pernah ada kata selesai. Kebenaran yang
muncul pada suatu titik akan segera menjadi tesis baru yang mengundang
sejuta tanya yang mempertanyakan kebenarannya.
Dalam kenyataan, realitas pendidikan jasmani yang memanfaatkan
aktivitas olahraga dalam mencapai tujuannya seringkali diidentikkan
tafsirnya sebagai olahraga itu sendiri. Sehingga banyaknya fakta tentang

64
bias gender dalam olahraga tidak pula luput akhirnya berimbas munculnya
berbagai bentuk bias gender dalam praktik pendidikan jasmani. Praktik
pendidikan jasmani yang dominan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk
aktivitas fisik menjadikan manifestasi praktik dari pendidikan jasmani
cenderung maskulin.
Wacana maskulin dalam pendidikan jasmani mengacu pada
dominasi atau kecenderungan dalam sistem pendidikan jasmani yang lebih
mendukung atau mengutamakan atribut dan nilai-nilai yang dianggap
maskulin. Ini dapat mencakup preferensi terhadap olahraga dan kegiatan
fisik yang dianggap "laki-laki", penekanan pada kompetisi, kekuatan fisik,
agresi, dan atribut-atribut yang seringkali dikaitkan dengan stereotip
maskulin.
Wacana maskulin dalam pendidikan jasmani dapat memiliki
beberapa dampak dan implikasi, antara lain:
1. Stereotip gender: Wacana maskulin dapat memperkuat dan
mempertahankan stereotip gender yang membatasi. Misalnya, jika
sistem pendidikan jasmani lebih fokus pada olahraga kontak fisik yang
dianggap "laki-laki", siswa perempuan mungkin merasa kurang
didorong atau kurang diterima untuk berpartisipasi.
2. Pengabaian kepentingan dan preferensi siswa perempuan: Ketika
kegiatan dan kurikulum pendidikan jasmani didominasi oleh wacana
maskulin, siswa perempuan mungkin merasa tidak mewakili atau
diabaikan dalam kegiatan fisik. Hal ini dapat mengurangi partisipasi
mereka dalam pendidikan jasmani dan memengaruhi kesehatan dan
kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
3. Peningkatan risiko cedera: Wacana maskulin yang terfokus pada
kompetisi dan kekuatan fisik dapat meningkatkan risiko cedera,
terutama jika tidak ada perhatian yang cukup terhadap keselamatan dan
kesehatan. Hal ini dapat mengintimidasi siswa yang mungkin merasa
tidak nyaman atau tidak cukup terlatih untuk berpartisipasi dalam
kegiatan fisik yang lebih agresif.

65
b. Konsep Adil Gender
Pertanyaan selanjutnya adalah, lantas bagaimana dengan konsep
adil gender itu? Konsep adil gender sebenarnya dalam hal ini oleh penulis
dimunculkan sebagai sebuah counter wacana terhadap beberapa jargon
“persamaan hak” yang kerapkali salah kaprah untuk diterjemahkan. Jargon
persamaan senantiasa dimaknai bahwa perempuan dan laki-laki memang
dalam cara pandang sosial benar-benar bisa untuk mengambil peran yang
sama. Hal ini tentu saja bisa dengan jelas ditebak berafiliasi pada aliran
nurture, dimana peran gender semata-mata hanya merupakan hasil
konstruksi sosial yang sangat memungkinkan untuk dirubah dan dilawan.
Lantas bagaimana dengan para penganut ideologi yang berada di sisi yang
lain, yaitu ideologi nature? Apakah mereka salah?
Dalam kajian ini tidak mencoba untuk menghadirkan mana yang
lebih benar dari kedua aliran yang berkembang dalam diskursus gender.
Karena tentu saja sebuah kebenaran fakta sosial tidak bisa ditentukan secara
mutlak. Lantas dimana kata “adil gender” kemudian bisa diterjemahkan
dalam konsep sosial?
Walaupun sering terdengar bahwa kata adil tidak mesti sama, namun
dalam tataran praktis hal itu sangat sulit untuk diwujudkan. Pola pikir
kwantitatif menghegemoni kecenderungan konsep pada umumnya.
Sehingga istilah adil juga senantiasa dikaitkan dengan tafsiran persamaan.
Untuk menjembatani hal itu, semestimya ketika tidak ada satu teoripun yang
diyakini mempunyai tingkat kebenaran mutlak dalam hal ini, maka kata adil
semestinya lebih bisa didekatkan pada penafsiran kebebasan. Kebebasan
mensyaratkan makna penghargaan atas sebuah pilihan. Dalam kaitannya
dengan konsep gender, adil semestinya dimaknai dengan sebuah pengakuan
dan toleransi yang penuh akan sebuah model konsep gender yang diakui dan
diyakini sepenuhnya oleh seseorang. Ketika seseorang memilih untuk
menjadi seorang feminim maupun maskulin adalah sebuah kebebasan
individual yang tidak bisa diganggu gugat. Aplikasinya dalam dunia
olahraga, bahwa semestinya kita membebaskan semua predikat olahraga

66
beserta semua aktivitas didalamnya dari berbagai label gender yang
melingkupinya. Biarkan semua orang bebas melakukan pilihan bagi dirinya
dengan segala bentuk konsekuensi yang ada padanya. Misalnya saja
sepakbola—senantiasa dalam wacana umum dikaitkan dengan peran-peran
maskulin. Hal ini harus dilepaskan, hilangkan pandangan miring terhadap
perempuan ketika memilihnya ataupun menghindarinya berdasarkan
konsep ideology gender yang difahaminya. Dengan demikian kiranya kata
timpang ataupun bias tidak perlu untuk muncul lagi, karena semuanya
dikembalikan pada kebebasan individu masing-masing
c. Adil Gender dalam Pendidikan Jasmani
Konsep adil gender dalam pendidikan jasmani mencakup berbagai
pendekatan yang bertujuan untuk memastikan bahwa pelajaran pendidikan
jasmani tidak diskriminatif dan memberikan kesempatan yang sama bagi
semua individu, tanpa memandang jenis kelamin atau identitas gender
mereka. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang mendasari konsep adil
gender dalam pendidikan jasmani:
1. Kesetaraan akses: Konsep ini menekankan pentingnya memastikan
bahwa semua siswa, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki
kesempatan yang sama untuk mengikuti dan menikmati pelajaran
pendidikan jasmani. Ini melibatkan memastikan bahwa fasilitas,
peralatan, dan peluang yang tersedia tidak didasarkan pada stereotip
gender.
2. Kurikulum inklusif: Pendekatan adil gender dalam pendidikan jasmani
mengharuskan adanya kurikulum yang inklusif dan mencakup berbagai
kegiatan fisik yang relevan bagi semua siswa, tanpa memandang jenis
kelamin mereka. Hal ini berarti menghindari segregasi aktivitas
berdasarkan jenis kelamin dan memberikan pilihan yang sama kepada
semua siswa untuk terlibat dalam berbagai jenis olahraga dan kegiatan
fisik.
3. Penghapusan stereotip gender: Konsep adil gender dalam pendidikan
jasmani bertujuan untuk menghapus stereotip gender yang terkait

67
dengan kemampuan fisik dan minat dalam berbagai kegiatan fisik. Guru
dan pelatih harus menghindari mendukung stereotip yang membatasi,
misalnya, menganggap bahwa laki-laki lebih kuat atau lebih mampu
dalam olahraga tertentu daripada perempuan.
4. Keterlibatan aktif semua siswa: Pendidikan jasmani yang adil gender
memberikan perhatian khusus untuk memastikan bahwa semua siswa
merasa diterima, didukung, dan dihargai dalam lingkungan
pembelajaran fisik. Guru harus membangun suasana yang inklusif di
mana semua siswa merasa nyaman berpartisipasi tanpa takut dijatuhkan
atau dilecehkan.
5. Kesadaran gender dan pengajaran yang responsif: Guru pendidikan
jasmani harus memiliki kesadaran gender dan memahami cara mengajar
yang responsif terhadap kebutuhan dan perbedaan individu siswa.
Mereka harus mengadopsi strategi pengajaran yang mempertimbangkan
perbedaan gender dalam cara siswa belajar dan berpartisipasi dalam
kegiatan fisik.
6. Promosi kesetaraan gender: Pendidikan jasmani dapat digunakan
sebagai platform untuk mempromosikan kesetaraan gender dan
memberdayakan siswa untuk mengatasi stereotip gender dalam
masyarakat. Melalui pendidikan jasmani yang inklusif, siswa dapat
belajar menghormati, menghargai, dan mendukung perbedaan individu,
termasuk perbedaan gender.
Dalam mengimplementasikan konsep adil gender dalam pendidikan
jasmani, penting bagi sekolah dan pengajar untuk bekerja sama dengan
para siswa, orang tua, dan masyarakat secara keseluruhan. Kolaborasi
ini akan membantu menciptakan lingkungan pembelajaran yang
mendukung dan inklusif
Pada dasarnya, sebuah praktik hampir bisa dipastikan berangkat dari
sebuah pemikiran. Demikian pula halnya terkait dengan praktik Pendidikan
Jasmani. Pola pikir yang masih cenderung memandang olahraga secara
umum lebih dekat dengan tradisi maskulin, maka akan cenderung pula

68
mempraktikkan pendidikan jasmani dalam asmosfer yang cenderung
maskulin. Untuk mengatasi wacana maskulin dalam pendidikan jasmani
dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, ada beberapa langkah
yang dapat diambil:
1. Kurikulum yang inklusif: Merancang kurikulum pendidikan jasmani
yang mencakup beragam kegiatan fisik yang dapat menarik minat dan
kebutuhan siswa dari berbagai latar belakang, jenis kelamin, dan
preferensi. Hal ini mencakup mengenali dan menghormati minat dan
bakat siswa perempuan serta memberikan pilihan yang luas untuk
semua siswa.
2. Kesadaran gender: Guru dan staf pendidikan jasmani harus
meningkatkan kesadaran tentang peran gender dan stereotip yang terkait
di dalam kelas dan di luarnya. Mereka harus berusaha menghindari
praktek-praktek yang memperkuat wacana maskulin dan mengadopsi
pendekatan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan dan
preferensi semua siswa.
Keterlibatan siswa perempuan: Penting untuk melibatkan siswa perempuan
secara aktif dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan kegiatan
fisik. Memperhatikan preferensi dan masukan siswa perempuan dapat
membantu menciptakan lingkungan pendidikan jasmani
B. Olahraga dan Pendidikan Jasmani Inklusi
1. Beberapa fakta untuk di renungkan

69
2. Hakikat Pendidikan Inklusi
Hampir semua orang meyakini bahwa tidak ada orang yang
dilahirkan benar-benar sama. Fakta menunjukkan bahwa ketika dalam kasus
kelahiran kembar identik sekalipun—pada kenyataannya akan
menunjukkan perbedaan. Bahkan, tidak jarang perbedaan yang muncul
ternyata cukup kuat. Maka, kembar identik pun hanya akan merujuk pada
proses kelahiran serta tampilan secara permukaan saja.
Persoalannya kemudian adalah, seringkali perbedaan yang terlalu
mencolok seringkali tidak dapat dengan mudah diterima dan difahami.
Orang akan cenderung menerima kenyataan/ kebenaran yang bersifat
umum. Untuk itu—kemudian seringkali muncul istilah ‘normal’ dan ‘tidak
normal’. Kata ‘normal’, disematkan untuk kondisi yang sesuai dengan
kenyataan pada umumnya, demikian pula sebaliknya untuk kata ‘tidak
normal’. Terkait dengan kondisi manusia, definisi tidak normal dahulu
sering digunakan kata yang cukup kasar, yaitu ‘cacat’. Seiring dengan
perkembangan kesadaran, maka kata ‘cacat’ dirasa tidak cukup manusiawi
dan pas untuk disematkan pada seseorang yang memiliki unsur tubuh
maupun psikis berbeda secara umum. Istilah baku yang kemudian
disepakati secara formal bagi seseorang yang memiliki perbedaan ataupun
disfungsi tubuh maupun psikis saat ini adalah “disabilitas”.
Terkait dengan kondisi kekinian, meskipun cara pandang terhadap
disabilitas sudah cukup mengalami perkembangan—namun pada kenyataan

70
dalam ruang pendidikan masih seringkali menyisakan persoalan. Kita bisa
menyimak dari berbagai fakta yang muncul dalam masyarakat, baik itu yang
dapat kita temui langsung ataupun yang terekspos dalam berbagai
pemberitaan. Banyak institusi sekolah yang masih belum siap untuk
memberikan pelayanan pendidikan formal bagi penyandang disabilitas, atau
justru seringkali keluarga (orang tua) dari anak penyandang disabilitas itu
sendiri yang terkadang belum memiliki kesadaran untuk memberikan
proses pendidikan bagi anaknya dengan baik.
Dalam dunia pendidikan kita mengenal konsep pendekatan classical
dan pendekatan individual. Hal ini dibelajarkan secara serius pada setiap
calon guru yang nantinya akan dipecaya mengeksekusi konsep pendidikan
dalam tataran praksisnya. Pendekatan classical tentunya dirancang untuk
memperoleh hasil kinerja yang efektif dikarenakan jumlah siswa yang
dihadapi dalam sebuah proses pembelajaran di sekolah pada umumnya
relatif banyak. Sementara itu, pendekatan individual dimaksudkan untuk
mengakomodir berbagai perbedaan individu yang kemudian akan
mempengaruhi secara signifikan akan pencapaian tujuan pendidikan.
Pradigma pendekatan individual inilah yang pada tahap selanjutnya
mengilhami konsep pembelajaran inklusi yang saat ini seringkali
diperbincangkan seolah-olah menjadi wacana baru dalam dunia pendidikan.
Terminologi ‘inklusi’ secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu
sifat yang terbuka. Keterbukaan dalam hal ini dimaksudkan adalah cara
pandang dalam pendekatan pembelajaran yang mencoba melihat semua
orang mempunyai karakteristik dan potensi yang berbeda untuk kemudian
diyakini dapat dihantarkan mencapai tujuan pendidikan melalui berbagai
sistem yang secara sistematis direncanakan.
Paradigma pendidikan inklusi adalah pendekatan dalam pendidikan
yang menekankan penerimaan dan partisipasi semua individu, termasuk
mereka yang memiliki kebutuhan khusus, dalam lingkungan pendidikan
yang umum. Paradigma ini berusaha untuk menghilangkan segregasi dan

71
diskriminasi dalam pendidikan dengan menyediakan kesempatan yang
setara bagi semua siswa untuk belajar bersama.
Salah satu tujuan utama pendidikan inklusi adalah menciptakan
lingkungan yang ramah dan mendukung bagi semua siswa, tanpa
memandang perbedaan mereka. Dalam pendekatan inklusi, siswa dengan
kebutuhan khusus diharapkan untuk menghadiri sekolah yang sama dengan
siswa lainnya, bukan dipisahkan ke dalam kelas khusus atau sekolah khusus.
Pendekatan ini bertujuan untuk mempromosikan keadilan, persamaan hak,
dan kesempatan bagi semua siswa.
Beberapa prinsip utama dari paradigma pendidikan inklusi meliputi:
1) Penerimaan: Semua siswa diterima dengan baik dan diperlakukan
sebagai anggota yang berharga dalam komunitas pendidikan. Tidak ada
diskriminasi berdasarkan kebutuhan atau kemampuan.
2) Partisipasi: Semua siswa diharapkan untuk terlibat aktif dalam kegiatan
pembelajaran dan kehidupan sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk
berkontribusi dan berinteraksi dengan siswa lainnya.
3) Dukungan: Siswa dengan kebutuhan khusus diberikan dukungan yang
diperlukan untuk memfasilitasi partisipasi mereka dalam pendidikan.
Ini bisa mencakup dukungan khusus, modifikasi kurikulum, atau
bantuan teknologi.
4) Kolaborasi: Guru, staf sekolah, orang tua, dan siswa bekerja sama untuk
menciptakan lingkungan inklusif. Kolaborasi antara semua pihak
penting untuk memenuhi kebutuhan individu dan mencapai tujuan
pembelajaran.
5) Penghargaan terhadap keberagaman: Keberagaman dihargai dan
dianggap sebagai sumber kekayaan dalam lingkungan pendidikan.
Mengakui dan menghormati perbedaan individu merupakan bagian
integral dari paradigma pendidikan inklusi.
Dengan menerapkan paradigma pendidikan inklusi, diharapkan
bahwa semua siswa akan mendapatkan manfaat dari pendidikan yang lebih
inklusif, termasuk peningkatan kesempatan belajar, pengembangan

72
keterampilan sosial, dan pengakuan nilai-nilai keberagaman. Selain itu,
paradigma ini juga berperan dalam mengubah sikap dan persepsi
masyarakat terhadap keberagaman dan inklusi. Dalam tema pembelajaran
kali ini, ranah inklusi lebih difokuskan pada ragam diferensiasi siswa yang
disebabkan karena sifat-sifat yang menetap pada diri individu baik fisik
maupun psikis yang diakibatkan karena penyakit maupun pembawaan.
Secara khusus, ruang kajian diferensiasi dibatasi pada ruang disabilitas.
3. Disabilitas
Hakikat disabilitas adalah kondisi fisik, sensorik, kognitif, atau
mental yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari seseorang dan
membatasi partisipasi mereka dalam berbagai bidang kehidupan. Disabilitas
bukanlah kelemahan atau kegagalan individu, tetapi merupakan
karakteristik yang mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan
lingkungan dan memenuhi kebutuhan mereka. Disabilitas dapat bersifat
jangka pendek atau jangka panjang, dan dapat bersifat bawaan (ada sejak
lahir) atau didapat (terjadi karena cedera, penyakit, atau penuaan). Setiap
individu dengan disabilitas memiliki kebutuhan, kemampuan, dan
pengalaman yang unik.
Penting untuk diingat bahwa disabilitas tidak mengurangi nilai atau
martabat seseorang. Setiap individu, terlepas dari disabilitasnya, memiliki
hak asasi manusia yang sama, termasuk hak untuk kesetaraan, kesempatan,
dan penghargaan. Inklusi dan pengakuan terhadap keberagaman serta
penyediaan aksesibilitas dan dukungan yang diperlukan merupakan langkah
penting dalam memastikan partisipasi penuh dan hak-hak individu dengan
disabilitas.
Sayangnya, masih ada persepsi negatif yang ada dalam masyarakat
terhadap penyandang disabilitas. Banyak orang mungkin tidak memiliki
pemahaman yang memadai tentang disabilitas dan pengalaman hidup
penyandang disabilitas. Ketidaktahuan ini dapat menyebabkan ketakutan,
stereotip, dan prasangka yang tidak akurat terhadap mereka. Penyandang
disabilitas sering kali disalahartikan atau diberi label negatif berdasarkan

73
stereotip yang ada dalam masyarakat. Mereka mungkin dianggap tidak
mampu, tergantung, atau kurang berharga. Stigmatisasi ini dapat
mengakibatkan diskriminasi, perlakuan yang tidak adil, atau pengucilan
sosial.
Ketika penyandang disabilitas mengalami hambatan dalam akses
dan partisipasi dalam kegiatan sosial, termasuk pendidikan, pekerjaan, atau
kehidupan sehari-hari, persepsi negatif dapat berkembang. Pandangan ini
sering kali tidak memperhatikan potensi dan kemampuan individu dengan
disabilitas. Media sering kali mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap
penyandang disabilitas melalui narasi yang tidak akurat atau mencerahkan
hanya aspek negatif dari kehidupan mereka. Mitos dan perwakilan yang
tidak seimbang ini dapat memperkuat persepsi negatif.
Sayangnya, bahkan di dalam masyarakat yang inklusif, ada individu
yang masih mempertahankan prasangka dan diskriminasi terhadap
penyandang disabilitas. Ini bisa terjadi karena pengetahuan yang terbatas,
ketakutan, atau pengaruh budaya yang kuat. Penting untuk terus dilakukan
upaya untuk mengatasi persepsi negatif ini dengan meningkatkan
pemahaman, kesadaran, dan pendidikan masyarakat tentang penyandang
disabilitas. Melalui upaya kolaboratif antara individu, keluarga, lembaga
pendidikan, media, dan masyarakat secara keseluruhan, kita dapat
memperkuat inklusi, mengatasi prasangka, dan mendorong persepsi yang
lebih positif dan inklusif terhadap penyandang disabilitas.
4. Pendidikan Jasmani dan Disabilitas
Pada tema pembelajaran kali ini sebenarnya hampir berhimpit
dengan tema sebelumnya, namun mencoba lebih spesifik terkait dengan
siswa penyandang disabilitas. Persamaannya adalah terletak pada
bagaimana sebagian orang dengan kriteria tertentu menjadi sedikit
terhambat atas keikutsertaannya dalam ruang pembelajaran pendidikan
jasmani. Sementara itu, perbedaannya adalah—para penyandang disabilitas
saat ini dalam ruang keolahragaan secara umum (khususnya olahraga
prestasi), justru sudah mendapatkan perhatian yang serius. Berbagai bentuk

74
pembinaan olahraga disabilitas sudah diprogramkan secara masif baik dari
tingkat daerah maupun nasional. Bahkan untuk keikut sertaannya dalam
event-pun, para penyandang disabilitas sudah mendapatkan suport yang
hampir sama dengan olahraga pada umumnya sampai kancah internasional.
Sementara itu, dalam realitas praktik PJOK sampai saat ini
keikutsertaan para penyandang disabilitas masih sedikit dikhawatirkan.
Konsep sekolah inklusi yang selama ini digaungkan menjadi salah satu cara
keberpikiran baru terhadap berbagai bentuk perbedaan termasuk
didalamnya adalah penyandang disabilitas, pada kenyataan belum dapat
terealisasi dengan baik. Ada beberapa hambatan nyata yang dapat
menghalangi keikutsertaan penyandang disabilitas dalam pendidikan
jasmani. Beberapa hambatan ini meliputi:
1) Kurangnya aksesibilitas fisik: Fasilitas olahraga dan infrastruktur sering
kali tidak dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan aksesibilitas
bagi penyandang disabilitas. Misalnya, kurangnya ramah disabilitas
seperti lift, tangga, atau akses yang dapat menghambat partisipasi
mereka dalam kegiatan olahraga. Barangkali bapak/ ibu guru pernah
mendengar—ada seorang ibu yang berjuang menggendong anaknya
selama tiga tahun naik turun tangga supaya dapat mengikuti proses
pembelajaran di sekolah.
2) Kurangnya dukungan dan pelatihan bagi guru: Guru pendidikan jasmani
sering kali tidak memiliki pelatihan yang memadai dalam mengajar dan
memfasilitasi partisipasi penyandang disabilitas. Kurangnya
pemahaman tentang kebutuhan dan kemampuan individu dapat menjadi
hambatan dalam memberikan pendekatan yang inklusif dan
memodifikasi program olahraga sesuai kebutuhan. Dalam persiapan
guru PJOK, secara umum hanya mendapatkan satu mata kuliah saja
berbobot 2 sks, yakni Pendidikan Jasmani Adaptif. Dengan bekal
pengetahuan yang mereka miliki, jangankan membuat pelayanan
pendidikan inklusif yang optimal—untuk menguasai spektrum
disabilitas yang sangat beragam dan bagaimana upaya pemenuhan

75
kebutuhannya saja, barangkali merupakan hal yang masih menimbulkan
kesulitan bagi seorang guru PJOK.
3) Stigma dan prasangka: Penyandang disabilitas sering menghadapi
stigma dan prasangka di sekitar kemampuan mereka untuk
berpartisipasi dalam olahraga. Persepsi masyarakat yang kurang inklusif
dan ketidakpahaman tentang kemampuan individu dapat menghalangi
partisipasi aktif mereka dan membuat mereka merasa terisolasi.
4) Kurangnya peralatan dan sumber daya yang memadai: Kurangnya
peralatan dan sumber daya yang sesuai untuk penyandang disabilitas
dapat menjadi hambatan dalam melibatkan mereka dalam kegiatan
olahraga. Peralatan khusus atau penyesuaian yang diperlukan untuk
memfasilitasi partisipasi mereka mungkin tidak tersedia atau terbatas.
5) Ketidakpastian hukum dan kebijakan: Kebijakan dan undang-undang
yang tidak jelas atau tidak memadai dapat menghambat keikutsertaan
penyandang disabilitas dalam pendidikan jasmani. Ketidakpastian
tentang hak-hak mereka dan perlindungan hukum dapat membuat
sekolah enggan atau tidak mampu menyediakan lingkungan inklusif
yang diperlukan.
6) Keterbatasan dukungan dan kolaborasi antara stakeholder: Kurangnya
komunikasi dan kolaborasi antara guru, staf sekolah, orang tua, dan
penyedia layanan dukungan dapat menjadi hambatan dalam
menciptakan lingkungan inklusif. Diperlukan upaya kolaboratif yang
kuat untuk mengidentifikasi kebutuhan individu, mengembangkan
rencana dukungan, dan memfasilitasi partisipasi penyandang disabilitas
dalam pendidikan jasmani.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, diperlukan langkah-langkah seperti
perbaikan aksesibilitas fisik, peningkatan pelatihan guru, peningkatan
kesadaran dan pendidikan masyarakat tentang inklusi, peningkatan sumber
daya dan peralatan yang memadai, serta pengembangan kebijakan yang
mendukung inklusi dalam pendidikan jasmani. Kolaborasi dan komunikasi
yang kuat antara semua stakeholder juga penting untuk menciptakan

76
lingkungan yang inklusif dan mendukung partisipasi penyandang disabilitas
dalam kegiatan olahraga.
C. Pendidikan Jasmani/ Olahraga dan Karakter
a) Hakikat Karakter dan Proses Pembentukannya
Hakikat karakter merujuk pada inti atau esensi dari kepribadian
seseorang. Ini mencakup sifat-sifat dan ciri-ciri yang melekat pada individu
dan membentuk identitas mereka. Hakikat karakter melibatkan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang dipegang oleh seseorang. Ini mencakup apa yang
dianggap penting dan benar dalam kehidupan mereka. Contohnya, nilai-
nilai seperti integritas, kejujuran, empati, dan tanggung jawab mungkin
menjadi bagian dari hakikat karakter seseorang. Lebih jauh, hakikat
karakter melibatkan konsistensi dalam perilaku dan tindakan. Orang dengan
hakikat karakter yang kuat akan menunjukkan keselarasan antara kata-kata
dan tindakan mereka. Mereka akan bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang mereka anut, tanpa adanya perbedaan besar antara yang
mereka katakan dan lakukan.
Karakter juga dapat dikatakan sebagai sebuah konsep yang
melibatkan keaslian individu. Ini berarti seseorang tidak berpura-pura
menjadi seseorang yang mereka tidak benar-benar adalah. Mereka
memahami dan menerima diri mereka apa adanya, dan tidak mencoba untuk
menggantikan atau menyembunyikan identitas mereka. Dalam definisi yang
lain karakter mencakup ketahanan moral, yaitu kemampuan seseorang
untuk mempertahankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mereka anut
bahkan dalam situasi sulit atau tekanan. Individu dengan hakikat karakter
yang kuat akan tetap teguh pada nilai-nilai mereka, bahkan ketika
menghadapi godaan atau konsekuensi yang sulit.
b) Perkembangan Pribadi: Hakikat karakter adalah sesuatu yang dapat
berkembang sepanjang hidup. Seseorang dapat terus memperkuat karakter
mereka melalui refleksi diri, pembelajaran, dan pertumbuhan pribadi.
Hakikat karakter berkaitan dengan kesediaan untuk terus tumbuh dan
mengembangkan kualitas positif dalam diri seseorang.

77
c) Dampak pada Interaksi dan Hubungan: Hakikat karakter juga mencakup
bagaimana karakter seseorang mempengaruhi interaksi dan hubungan
mereka dengan orang lain. Sifat-sifat yang melekat pada hakikat karakter
dapat memengaruhi cara seseorang berkomunikasi, memperlakukan orang
lain, dan menjaga hubungan yang sehat.
Penting untuk diingat bahwa hakikat karakter adalah unik bagi
setiap individu. Setiap orang memiliki kombinasi nilai-nilai, sifat-sifat, dan
ciri-ciri yang membentuk hakikat karakter mereka sendiri. Hakikat karakter
adalah inti dari siapa kita sebenarnya dan mendasari perilaku dan tindakan
kita sehari-hari
Proses pembentukan karakter merupakan perjalanan seumur hidup.
Pembentukan karakter tidak terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi
melibatkan pengaruh dan interaksi berkelanjutan antara individu dengan
lingkungan dan pengalaman hidup mereka.
Beberapa faktor yang mempengaruhi lamanya proses pembentukan
karakter antara lain:
1. Periode Pembentukan Awal: Periode anak-anak dan remaja dianggap
sebagai periode kritis dalam pembentukan karakter. Nilai-nilai, norma,
dan pengalaman yang diperoleh selama masa ini dapat membentuk
landasan karakter yang kuat. Namun, pembentukan karakter tidak
berhenti saat mencapai masa dewasa, tetapi terus berlanjut sepanjang
kehidupan.
2. Lingkungan dan Pengaruh Sosial: Lingkungan di sekitar individu,
seperti keluarga, teman, sekolah, dan masyarakat, berperan penting
dalam membentuk karakter. Interaksi dengan orang lain dan pengaruh
sosial membentuk persepsi, sikap, dan nilai-nilai yang membentuk
karakter seseorang. Lingkungan yang positif dan mendukung dapat
mempercepat proses pembentukan karakter yang baik.
3. Pengalaman Hidup dan Refleksi Diri: Pengalaman hidup yang dialami
individu memainkan peran penting dalam membentuk karakter. Melalui
pengalaman hidup, individu dapat belajar dari keberhasilan dan

78
kegagalan, menghadapi tantangan, dan mengembangkan pemahaman
diri yang lebih dalam. Refleksi diri atas pengalaman hidup juga
membantu individu memperbaiki karakter dan membuat perubahan
yang diperlukan.
4. Konsistensi dan Disiplin: Pembentukan karakter melibatkan konsistensi
dalam perilaku dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang
dipegang. Disiplin pribadi dan komitmen untuk mengikuti nilai-nilai
yang dianggap penting adalah faktor penting dalam pembentukan
karakter yang kuat. Disiplin ini adalah proses yang berkelanjutan dan
membutuhkan latihan dan kesadaran diri yang terus-menerus.
Walaupun pembentukan karakter adalah proses seumur hidup,
penting untuk dicatat bahwa individu dapat mengembangkan karakter yang
baik dan memperkuat nilai-nilai positif dalam diri mereka seiring
berjalannya waktu. Dengan pengalaman, pembelajaran, refleksi, dan
komitmen yang tepat, individu dapat terus tumbuh dan mengembangkan
karakter yang lebih baik sepanjang hidup mereka.
d) Pendidikan Jasmani dan Wacana Krisis karakter
Secara sepintas dapat dipahami, bahwa apa yang terjelaskan
mengenai hakikat karakter dan bagaimana proses pembentukannya—adalah
merupakan suatu proses maupun sistem yang cukup rumit dan panjang.
Ditambah lagi dengan problematika uniknya manusia, maka membuat
penyimpulan bagaimana kemudian karakter seseorang itu akan dapat
terbentuk, bukanlah merupakan sesuatu yang sederhana dan mudah.
Fakta kekinian menunjukkan bahwa generasi saat ini seringkali
dicap tengah mengalami krisis karakter. Berbagai kasus yang melibatkan
pelajar marak terjadi baik berupa kasus tindak kekerasan, asusila, ataupun
bahkan kasus kriminal lainnya yang hampir setiap hari dapat disimak di
berbagai media masa. Sekolah kerapkali dituding sebagai ruang yang gagal
untuk melaksanakan tugasnya yakni melakukan proses pembentukan
karakter pada peserta didik. Tudingan hal ini barangkali meski tidak dapat
dikatakan seratus persen benar, namun juga cukup beralasan. Mengingat,

79
hampir lebih dari setengah waktu hidup anak-anak usia sekolah saat ini
dihabiskan di ruang pendidikan sekolah. Selanjutnya, kembali pada hakikat
pendidikan itu sendiri sebagai selain sebagai ruang transfer ilmu namun juga
merupakan ruang transfer nilai (transfer of value).
Pertanyaan selanjutnya adalah, mampukah PJOK dalam proses
pembelajarannya menjadi salah satu ruang yang menjawab kegelisahan
khalayak tentang krisis karakter yang dialami generasi saat ini? Dalam
sekian banyak diskusi, PJOK yang dalam praktik pemnbelajarannya
memanfaatkan aktivitas olahraga—memiliki berbagai nilai yang diyakini
dapat menjadi ruang pembentukan karakter bagi peserta didik. Berikut
adalah beberapa fungsi pendidikan jasmani dalam pembentukan karakter:
1. Pembangunan Nilai dan Etika: Pendidikan jasmani dapat mengajarkan
nilai-nilai etika dan fair play kepada individu. Melalui kegiatan olahraga
dan permainan, individu belajar tentang kerjasama, kejujuran, tanggung
jawab, disiplin, dan menghormati lawan. Ini membantu membangun
karakter yang berintegritas dan menghargai nilai-nilai moral.
2. Pengembangan Kemandirian dan Ketahanan: Pendidikan jasmani
mempromosikan pengembangan kemandirian dan ketahanan mental
serta fisik. Melalui latihan, tantangan, dan pengalaman dalam olahraga
dan kegiatan fisik, individu belajar untuk mengatasi hambatan,
menghadapi kegagalan, dan membangun ketahanan diri. Ini membentuk
karakter yang kuat, tangguh, dan siap menghadapi tantangan kehidupan.
3. Pembentukan Disiplin dan Konsistensi: Pendidikan jasmani mendorong
individu untuk mengembangkan disiplin pribadi dan konsistensi dalam
menjalankan kegiatan fisik secara teratur. Konsistensi dalam menjaga
rutinitas olahraga dan komitmen terhadap kesehatan dan kebugaran
membantu membentuk karakter yang disiplin, bertanggung jawab, dan
memiliki komitmen yang kuat.
4. Pengembangan Keterampilan Sosial: Melalui partisipasi dalam kegiatan
olahraga dan permainan, individu belajar berinteraksi dengan orang lain,
bekerja dalam tim, menghormati perbedaan, dan mengatasi konflik.

80
Pendidikan jasmani membantu mengembangkan keterampilan sosial
seperti kerjasama, komunikasi, kepemimpinan, dan empati. Ini penting
dalam membentuk karakter yang baik dalam hubungan interpersonal.
5. Peningkatan Kesehatan dan Kualitas Hidup: Pendidikan jasmani
memberikan kesempatan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan
kualitas hidup. Melalui aktivitas fisik, individu dapat meningkatkan
kebugaran, kekuatan, kelenturan, dan keseimbangan tubuh. Kesehatan
fisik yang baik berkontribusi pada kesejahteraan mental dan emosional,
yang secara positif mempengaruhi karakter individu.
Dalam keseluruhan, pendidikan jasmani berperan penting dalam
pembentukan karakter dengan mengajarkan nilai-nilai etika, membangun
kemandirian dan ketahanan, mendorong disiplin dan konsistensi,
mengembangkan keterampilan sosial, serta meningkatkan kesehatan dan
kualitas hidup individu. Dengan demikian, pendidikan jasmani menjadi
bagian integral dari pendidikan yang holistik, membantu membentuk
karakter yang seimbang dan bermartabat.
e) Anomali wacana pembentukan karakter dalam pendidikan jasmani
Sampai hari ini para praktisi PJOK (guru) ataupun orang yang gemar
berolahraga, meyakini bahwa melalui aktivitas olahraga yang digelar dalam
ruang pembelajaran, merupakan salah satu sarana efektif dalam
membangun karakter peserta didik. Tak jarang kita temui jargon “olahraga
memupuk jiwa sportifitas”, “Olahraga Sebagai Sarana Pembangunan
Karakter Bangsa”, dan lain sebagainya. Atau guru-guru penjas yang
meyakini bahwa melalui permainan, anak dapat didorong untuk memiliki
sifat disiplin, toleransi, taat peraturan, empaty, dan lain sebagainya.
Dalam tulisan kali ini, tidak mencoba untuk menolak atau
meragukan keyakinan-keyakinan terkait keberadaan PJOK dengan
persoalan bagaimana membangun karakter peserta didik. Namun, lebih jauh
mencoba untuk menggali rasionalisasi dari keyakinan itu, sehingga
memberikan konsep yang dapat dan mudah diterima nalar. Hal ini menjadi
titik krusial akan arti penting keberadaan PJOK dalam kurikulum

81
pendidikan. Karena, sebuah keyakinan akan kebenaran tanpa adanya
rasionalisasi yang benar itu sama juga mitos, ataupun sekedar klaim.
Dalam konteks pendidikan jasmani, terdapat beberapa anomali fakta
yang terkait dengan karakter individu. Berikut adalah beberapa contoh
anomali tersebut:
1. Ketidak berimbangan Antara Kemampuan Fisik dan Karakter:
Terkadang, individu dengan kemampuan fisik yang sangat baik dalam
olahraga atau kegiatan fisik tertentu tidak selalu memiliki karakter yang
kuat atau baik. Meskipun memiliki kekuatan, kecepatan, atau
keterampilan fisik yang unggul, mereka mungkin kurang memiliki nilai-
nilai seperti fair play, kerjasama, atau integritas. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan fisik yang tinggi tidak selalu sejalan dengan karakter
yang baik.
2. Konflik Etika dalam Kompetisi: Kompetisi dalam pendidikan jasmani
sering kali menekankan pencapaian dan kemenangan. Namun, ini dapat
menimbulkan konflik etika dan menciptakan karakter yang kurang
menghargai nilai-nilai fair play dan kejujuran. Terkadang, individu
dapat terjebak dalam sikap yang tidak fair, seperti memanipulasi aturan
atau menggunakan taktik yang tidak etis demi kemenangan. Ini
menunjukkan anomali antara tujuan pengembangan karakter dan
tekanan untuk mencapai keunggulan kompetitif.
3. Stigma dan Pemisahan dalam Olahraga: Beberapa olahraga atau
kegiatan fisik tertentu cenderung menghasilkan stigmatisasi atau
pemisahan antara individu berdasarkan kemampuan fisik atau bakat.
Hal ini dapat menghasilkan karakter yang memperkuat diskriminasi,
inferioritas, atau superioritas berdasarkan atribut fisik. Anomali ini
menunjukkan bahwa tidak semua aspek pendidikan jasmani secara
langsung mendukung pembentukan karakter yang inklusif dan egaliter.
4. Kurangnya Fokus pada Pengembangan Karakter: Dalam beberapa
kasus, pendidikan jasmani mungkin lebih terfokus pada pengembangan
keterampilan fisik daripada pengembangan karakter. Fokus yang terlalu

82
kuat pada kemampuan fisik dapat mengabaikan pentingnya nilai-nilai,
etika, dan pembangunan karakter yang lebih luas. Hal ini dapat
menghasilkan anomali di mana meskipun individu memiliki
kemampuan fisik yang baik, mereka mungkin kurang memiliki karakter
yang kuat atau nilai-nilai moral yang diharapkan.
Penting untuk diingat bahwa anomali tersebut tidak selalu berlaku untuk
setiap individu atau setiap program pendidikan jasmani. Namun,
anomali-anomali ini menunjukkan bahwa ada potensi untuk
ketidakseimbangan antara aspek fisik dan karakter dalam konteks
pendidikan jasmani. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan
pembelajaran nilai-nilai, etika, dan pengembangan karakter yang
seimbang dalam program pendidikan jasmani.
Lebih keras lagi ketika ada pertanyaan begini, sebenarnya
kompetisi-kompetisi olahraga itu apakah benar-benar mengasah jiwa
persatuan dan kesatuan bangsa? Karena faktanya tidak sedikit dalam suatu
kegiatan kompetisi olahraga antar daerah, justru banyak menimbulkan
kericuhan yang bahkan sampai-sampai seolah menimbulkan sikap-sikap
primordialisme yang berlebih. Berbagai tindak kekerasan bahkan sampai
menghilangkan nyawa dilakukan atas nama suku, daerah, ataupun club
dalam beberapa pentas keolahragaan. Meski pada dasarnya olahraga
berbeda secara konsep dengan pendidikan jasmani, namun dalam beberapa
situasi yang terbentuk seringkali mengandung kemiripan. Maka, keraguan
akan wacana karakter dalam olahraga, menjadi kekhawatiran pula dalam
pendidikan jasmani.
Barangkali, fungsi dan makna dari PJOK dalam upaya
pembangunan karakter peserta didik secara apriori memang benar adanya
tidak diragukan lagi. Namun, terkadang—banyak sekali penelitian ataupun
penjelasan bagaimana proses pencapaiannya terkadang justru diluar dari
keyakinan keilmuan yang dapat dikatakan masuk akal. Diketahui bersama,
bahwa mendiskusikan persoalan karakter merupakan bagian dari rumpun
psikologi yang cenderung merupakan bagian dari keilmuan humaniora.

83
Namun, dikarenakan Pendidikan Jasmani yang selama ini secara praktik
keilmuannya cenderung diwarnai dengan paradigma positivis/ eksakta—
menjadikan pendekatan analisis yang dikembangkan cenderung ke wilayah
eksakta. Akibatnya—banyak sekali pendekatan-pendekan pemahaman akan
persoalan-persoalan karakter dalam pendidikan jasmani yang didekati
dengan cara positif yang sifatnya sangat reduktif.

84
REFERENSI

Bompa, T., & Carrera, M. (2015). Conditioning Young Athletes. In Journal of


Chemical Information and Modeling (Vol. 53, Issue 9).

Coakley, J. (2017). Sports in society : issues and controversies (12th ed.). McGraw-
Hill Education.
Dimitropoulos, P., & Scafarto, V. (2019). The impact of UEFA financial fair play
on player expenditures, sporting success and financial performance: evidence
from the Italian top league. European Sport Management Quarterly, 21(1),
20–38. https://doi.org/10.1080/16184742.2019.1674896
Garcia-del-Barrio, P., & Pujol, F. (2020). Recruiting talent in a global sports
market: appraisals of soccer players’ transfer fees. Managerial Finance.
https://doi.org/10.1108/MF-04-2020-0213
George Ritzer & Douglas J Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta : Prenada
Media, 2005).

Green, M. (2007). Policy transfer, lesson drawing and perspectives on elite sport
development systems. International Journal of Sport Management and
Marketing, 2(4), 426. https://doi.org/10.1504/ijsmm.2007.013715

Russell Hoye, Aaron C.T.Smith, M. N. A. B. S. (2015). Sport Managemnet (4th


ed.). Routledge.

Saputra, M. F., & Nurhayati, Y. (2020). Dualisme Lembaga Arbitrase Dalam


Penyelesaian Sengketa Olahraga Di Indonesia. Jurnal Penegakan Hukum
Indonesia, 1(1), 1–20. https://doi.org/10.51749/jphi.v1i1.1

Sims, P. J. (2018). The circumvention of UEFA’s financial fair play rules through
the influx of foreign investments. Northwestern Journal of International Law
and Business, 39(1), 59–84.

Smith, A., & Westerbeek, H. (2004). The sport business future. The Sport Business
Future, 64. https://doi.org/10.1057/9780230513693

Sparkes, A. C., & Smith, B. (2014). Qualitative research methods in sport exercise
and health: from process to product. Abingdon: Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780203852187

Suneki, & Haryono. (2017). Paradigma Teori Dramaturgi Terhadap Kehidupan


Sosial. Civis, 2(2), 1–11.

85
86

Anda mungkin juga menyukai