Anda di halaman 1dari 1

Ubermensch (sebuah kemanusiaan yang melampaui)

Nada yang resah, begitu penyimpulan atas suara-suara yang keluar dari para guru-guru
pengajar PJOK yang bersetia dengan karir pedagogisnya. Lantas bagaimana mereka
memposisikan diri mereka dalam belantara pendidikan yang serba absurd? Para guru secara
umum bergerak diantara sikap iya naif dan tidak naif, memposisikan dirinya sebagai
penebak/pengurai enigma gerak pendidikan jasmani. Lebih dalam, para pengurai enigma ini
berjalan dalam temporalitas waktu dengan senantiasa melakukan upgrading kompetensi
yang dimilikinya, meskipun Pemerintah terkadang abai terhadapnya. Langkah krusial ini
setidaknya menimbang dan kemudian menyingkap kegelapan yang sedang makin besar
tanpa mempengaruhi diri mereka, terutama tanpa kekwawatiran dan ketakutan atas diri
sendiri. Mungkin karena mereka menderita efek konsekuensi immediate visual tersebut?
Konsekuensi tersebut justru dirasakan sebagai cahaya kebahagian, kelegaan, kegembiraan,
peneguhan, semacam fajar jenis baru yang hanya bisa digambarkan dengan susah. Di depan
kabar itu hati mereka dilimpahi rasa syukur, ketakjuban, isyarat penantian sebuah horizon
baru sudah mulai terbuka meski belumlah terlalu jelas. Kapal-kapal mereka sudah berlayar
kembali menempuh segala resiko. Demikianlah segala pengetahuan diijinkan kembali. Para
guru tersebut berusaha untuk mengutuhkan diri atau keyakinan diri yang dengan sukarela
mereka lakukan agar harapan di benak mereka agar menjadikan pendidikan jasmani sebagai
horizon baru bagi anak didiknya. Tidak mudah memang dalam mengarungi laut bagi para
pendidik ini. Laut adalah monster indah yang memikat segaligus mengerikan. Laut
merupakan realitas campur aduk positivitas dan negativitas yang dengan cara beradanya
sendiri mereka tidak terjebak di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai