Anda di halaman 1dari 43

~ Esensi keterhubungan melalui enigma

dari gerbang tanpa gerbang ~


edisi : Ritus Suci Altar Bulan bagian kedua
~Perkamen Saku~

Ritus Suci Altar Bulan


(Bagian 2)

Oleh : Alvi Rheyz


“Jika selama ini anda menganggap bulan hanyalah
benda astronomi yang tidak memiliki peran apapun
selain sebagai penghias angkasa yang sinarnya
mengagumkan pada malam hari, maka setelah
membaca catatan di perkamen ini anda akan
memahami jika keberadaan bulan sangat
mempengaruhi berbagai aspek di alam ini, termasuk
kondisi serta kekuatan psikis manusia”

Dhewasihir Altar

www.dhewasihir.com

1
. FASE Ketiga .
“Ketika manusia modern belum memahami atau tidak
menerima bahwa keberadaan bulan mengandung hikmah
bagi bumi dan aliansi semesta, ibarat seorang anak yang
masih sangat kecil melihat pekerjaan ayahnya atau ketika
seekor hewan melihat seorang manusia sedang
mengerjakan sebuah rangkaian mesin yang rumit dan
mereka tidak memahami hikmah dari pekerjaan tersebut”.
“Bulan memang hanya tampak diam seolah tak
mengerjakan apapun diatas sana, tetapi bukankah pohon-
pohon yang berperan besar sebagai penyaring udara di
bumi untuk menyerap gas dan polusi berbahaya bahkan
bertindak sebagai produsen oksigen (sumber daya hidup utama
manusia untuk bernafas) dan gunung yang berfungsi sebagai
pengatur iklim dan keseimbangan sistem bumi juga tampak
diam seolah tak melakukan apapun ?”.
“Orang yang sedang melamun dan berpikir terlihat sama,
jadi kita tidak bisa memahaminya hanya berdasarkan
melihat bagian kulit belaka”.

2
Kekuatan fase bulan merupakan
pengetahuan klasik yang tersebar dalam banyak
kebudayaan kuno di seluruh dunia, tetapi karena
telah dilupakan ketika pemahaman kerohanian
modern mulai masuk menguasai dan melarang
praktiknya, akhirnya pengetahuan ini hampir
punah bersamaan dengan dewa dewi kuno yang
mewakili dan melambangkan bulan itu sendiri.
Sehingga sekarang hanya tersisa di kalangan para
penganut paganisme, sebagian kecil diterapkan
pada upacara penyihir dan kelompok wicca yang
masih terus melestarikan pengetahuan kuno
tersebut, karena menyadari bahwa fase bulan
tertentu menghasilkan energi yang unik.
Secara tradisional, ada 3 fase bulan yang
dianggap memiliki karakteristik energi paling
menonjol (keunikan energi yang khas jika dibandingkan
dengan fase-fase lainnya), dan aspek tersebut

3
kemudian dipersonifikasikan melalui 3 dewi yang
masing-masing mewakili salah satu perwujudan
dari tiga fase energi jiwa pada wanita (karena bulan
memiliki tipe energi feminin).

Bulan Sabit (Crescent Moon, Maiden) - memiliki


karakteristik energi yang diwakilkan sebagai
gadis/perawan, yaitu energi feminin tahap awal
yang liar dan terkadang cenderung belum stabil,
hal ini dikarenakan seluruh energi besarnya
belum tersalurkan dengan sempurna. Secara
visual tampilan bulan sabit juga menunjukkan
hal senada, dimana sebagian besar dari lingkaran
bulan masih tertutupi (terselimuti bagian gelap) dan
masih membutuhkan beberapa fase lagi
kedepannya (proses) sebelum seluruh potensi
terbaik energinya dapat terlihat dalam fase penuh
atau lebih dikenal sebagai ………….
Bulan Purnama (Full Moon, Mother) - yang
memiliki karakteristik energi sosok Ibu, yaitu

4
puncak dari energi feminin yang sangat halus,
lembut tetapi sekaligus kuat, dengan
mengandung segala nilai-nilai kebijaksanaan dan
cinta kasih. Tentu saja layaknya seorang ibu yang
bersikap benar tanpa melupakan sifat dari bulan
yang memantulkan seperti di paragraf
sebelumnya (Ritus Suci Altar Bulan bagian 1), segala
tindakan yang dipersepsikan sebagai keburukan
atau kebaikan, hanyalah bentuk keinginan mulia
tertinggi dari seorang ibu untuk menjadikan
anak-anaknya jauh lebih baik dengan
memperlihatkan apa yang seharusnya diperbaiki
oleh sang anak tersebut. Layaknya ketika
memberikan sebuah pelita kepada sekawanan
manusia yang sedang tersesat di tengah hutan
belantara yang gelap, ketika mereka dapat
melihat keadaan sekitar dengan bantuan cahaya
yang telah diberikan dan mengetahui kenyataan
bahwa tempat di sekelilingnya penuh dengan

5
marabahaya yang mengancam, selanjutnya
tergantung kesadaran jiwanya, apakah merasa
menyesal telah ditunjukkan kebenaran tersebut
atau merasa bersyukur, karena dengan begitu
mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan lebih
bijak, waspada dan berhati-hati lagi (tetapi ada juga
anak yang sudah terlanjur kotor hatinya menganggap
semua jebakan dan marabahaya tersebut dipersiapkan
sendiri oleh ibunya). Sehingga pada akhirnya
membuat mereka kemungkinan tersesat dalam
lingkup energi fase bulan selanjutnya, yaitu Bulan
Baru atau dikenal juga dengan julukan………….
Bulan Mati (Dark Moon, Crone) - yang memiliki
karakteristik nenek, yaitu fase akhir dari energi
feminin yang memiliki semua sifat dari energi
Bulan Sabit (gadis) sekaligus Bulan Purnama (ibu)
tetapi terbalut seluruhnya dengan selubung hitam
pekat sehingga membuat energi pada bulan baru
lebih berkarakter dark (gelap), sesuai yang

6
dipersembahkan oleh panorama langit malam
pada saat fase ini sedang berlangsung, yaitu
dimana bulan tidak terlihat sama sekali.
Kendati demikian, fase bulan ini mengandung
nilai yang lebih dalam, bahkan jika dibandingkan
dengan fase Bulan Purnama dan hanya segelintir
jiwa yang mampu menyelami dan mengarungi
energi dari fase bulan baru, dikarenakan sifatnya
yang lebih menonjolkan sisi gelap dengan
menyembunyikan cahayanya dibalik jubah hitam.
Secara filosofis, cahaya tidak akan pernah ada
tanpa keberadaan gelap, seperti halnya lampu di
ruangan kita yang tidak akan pernah benderang
jika tidak adanya gelap yang merupakan fondasi
dari eksistensi sinar lampu tersebut berdiri
sebagai lapisan dasar, tetapi pada kenyataannya
manusia yang belum mendewasa di level jiwa
selalu menyimboliskan kegelapan sebagai
kejahatan. Tetapi kembali lagi seperti pada

7
penjabaran sebelumnya di Ritus Suci Altar Bulan
bagian 1, dimana dikatakan jika semua keberadaan
di alam ini bersifat netral, seperti halnya saat fase
bulan purnama yang bukanlah merupakan obat
maupun racun (karena ia bersifat seperti cermin),
begitu juga dengan fase bulan baru. Tetapi
dengan menonjolkan sifat yang lebih gelap di
permukaan, membuat pada akhirnya banyak jiwa
kemudian terserap pada berbagai hal yang
menyesatkan, dan berlanjut di kenestapaan, duka
serta keputusasaan sebelum mereka mampu dan
berhasil mencapai nilai luhur kecahayaan yang
ada didalamnya. Ibarat mengarungi hutan
belantara yang gelap tanpa cahaya, tentu akan
membuat berulang-kali tersandung, terjatuh dan
terluka. Jika ini dijalani oleh yang lemah mental
dan kekuatan jiwanya, maka mereka akan
menyerah. Sebaliknya jika dijalani oleh mereka
yang memiliki mental serta jiwa tangguh, tentu

8
hal ini akan menjadi tantangan tersendiri untuk
melampaui batasannya, tetapi tentu saja memilih
jalan ini harus sadar sepenuhnya bahwa
taruhannya adalah hidup dan mati, karena resiko
terbesar dari menjelajahi hutan belantara yang
gelap tanpa cahaya adalah terjatuh ke jurang
yang curam atau menjadi mangsa dari hewan
buas. Makanya, saya menyebut energi pada fase
bulan mati lebih dalam bahkan jika dibandingkan
dengan fase bulan purnama, karena ia langsung
mengandung 2 gerbang sekaligus, yaitu
kehidupan (putih) dan kematian (hitam). Jadi tidak
salah jika fase bulan ini juga langsung dikenal
dengan dua nama sekaligus, yaitu Bulan Baru
atau Bulan Mati (dan saya selalu percaya jika tidak ada
satupun hal yang terjadi secara kebetulan, sekalipun itu
tanpa disengaja).

Saya memfilosofikan kehidupan sebagai sebuah


jalanan yang dijembatani oleh gerbang awal

9
(kelahiran) menuju gerbang akhir/misteri
(kematian). Ketika manusia lahir, ia keluar melalui
gerbang rahim dan bertemu cahaya, sedangkan
ketika ia mati, ia masuk ke gerbang liang lahat
dan bertemu kegelapan (tempat berjuta misteri).
Untuk memahami hal diatas, cobalah
bayangkan, imajinasikan dan rasakan secara
sederhana, misalnya saat ini anda sedang berada
didalam sebuah terowongan panjang yang sangat
gelap dan di ujungnya terdapat sebuah pintu yang
ketika berhasil anda buka, maka akan
mempertemukan anda dengan dunia luar yang
berselimutkan cahaya terang benderang. Tetapi
sebelum mencapai tujuan tersebut, anda harus
melalui rute panjang pada terowongan ini, yang
dimana didalam ruangannya terdapat begitu
banyak jebakan, rintangan, hambatan dan
marabahaya yang tersebar luas tanpa bisa anda
indrai, yang bukan saja bisa meruntuhkan mental,

10
tetapi dapat mengancam keselamatan jiwa anda
(nyawa).

Jika berhasil melewati segalanya, maka saat


meraih pintu lalu membukanya, anda bukan saja
akan bertemu dengan cahaya, tetapi secara
elemen diri telah mendapat penempahan melalui
perjalanan panjang dengan perjuangan berat
yang telah dilalui sebelumnya, sehingga setelah
keluar dari terowongan tersebut anda siap
mengarungi dunia baru dengan kualitas jiwa
yang lebih baik. Tetapi ketika anda gagal di
pertengahan jalan, maka disitulah segalanya
berakhir (kecuali momen keajaiban terjadi, berupa
sinkronitas misalnya anda bertemu dengan pengembara
lain yang telah memiliki pelitanya sendiri dan sedang
mengarungi terowongan yang sama, untuk kemudian
mengajak anda bersamanya menuju ke arah pintu keluar
berada, tetapi jika ternyata di pertengahan jalan dia
merasa anda menjadi beban, maka kemungkinan
terburuknya anda akan ditinggalkan).

11
Sekalipun dalam penggambaran diatas fasenya
saya balik dari gelap menuju terang, sedangkan
dalam filosofi kehidupan yang saya tuliskan
sebelumnya adalah dari terang (lahir) menuju
gelap (mati), tetapi saya percaya bahwa kehidupan
memiliki siklus lingkaran (roda), bukan siklus
garis horizontal (dari A ke B – atau sebaliknya).
Setelah berada di dunia yang terang dalam
beberapa waktu, maka akan ada sebuah momen
yang memperjalankan kita untuk masuk kembali
ke sebuah terowongan yang gelap, dan tentu saja
tujuannya adalah mencapai pintu keluar. Apakah
akan berakhir dengan mencapai kehidupan
dengan fase baru yang lebih baik ? ataukah
sebaliknya, mengalami fase mati dengan hilang,
putus asa, tersesat, hancur, terjebak, tewas
terbunuh dan lenyap tertelan dalam pekatnya
kegelapan penuh misteri yang mencekam ???...

12
. FASE Keempat .
“Ketika menatap Bulan Purnama, ada yang sekedar
melihat dan menikmatinya dalam bentuk 2 dimensi
(lingkaran - datar tanpa ruang) dan ada yang menyadari di
kedalaman jiwanya jika bentuk sesungguhnya dari bulan
adalah 3 dimensi (bulat - memiliki ruang) sekalipun ia hanya
melihatnya melalui perspektif 2 dimensi (lingkaran datar)”.
“Tidak ada yang kebetulan walau hanya dari cara
memandang yang terlihat sangat sederhana ini, karena
pada kenyataannya ketika mata telah merasa puas hanya
pada kulit terluarnya saja (objek 2 dimensi), maka otak akan
menerjemahkan signal tersebut sebagai perintah untuk
memproses data lebih banyak lagi, tetapi hanya terfokus di
area kulitnya saja (desain objek 2 dimensi memang hanya dapat
dinikmati dari satu arah saja), sehingga pemahaman akan
kandungan isinya tidak pernah tersentuh karena membuat
sang jiwa tidak dapat menyelam lebih dalam lagi”…
“Sesuatu baru dapat diselami jika ia memiliki ruang (untuk
mengandung isi), bukan sesuatu yang datar tanpa ruang
(apalagi isi), begitulah cara sang jiwa berkomunikasi”…..

13
Pada bagian awal dari perkamen ini, saya
menaruh kata pembuka secara tertulis yang
berbunyi “Esensi keterhubungan melalui enigma
dari gerbang tanpa gerbang”, karena di zaman
modern ini sudah begitu banyak hal-hal yang
hanya sekedar dinikmati dan diamati berdasarkan
tampilan kulit terluarnya saja. Sehingga pada
kelanjutannya sang jiwa tidak lagi dapat
menyelami isi untuk menyerap kemurnian dari
saripatinya (esensi), agar bisa memahami serta
melihat segala keterhubungan yang terkandung
didalam enigma niskala (teka-teki abstrak, tak kasat
mata, maya).

Mulai dari seni, ilmu pengetahuan hingga jalan


spiritual kerohanian modern yang masing-masing
merasa sanggup berdiri secara tunggal, seolah-
olah mereka tidak membutuhkan support dari
elemen lain untuk mendukung keberadaannya.
Bukankah itu ibarat sebuah pemilik gedung yang

14
meyakini bahwa bangunan yang telah ia dirikan
tidak butuh keberadaan dari tanah yang
merupakan dasar dari fondasinya ?, bahkan lebih
lanjut tanah tersebut didukung oleh elemen lain
seperti batu, vegetasi, akar pohon dan serangkaian
proses biologis untuk mendukung kepadatannya,
tentu saja akar pohon tidak dapat tumbuh dengan
baik tanpa adanya faktor penunjang lain seperti
air dan sinar matahari yang berperan sebagai
pengatur kelembapan tanah (tidak terlalu
kering/gersang dan tidak terlalu basah/becek, apalagi
sampai mudah longsor). Lebih jauh lagi, sinar
matahari tidak dapat tersuplai secara seimbang ke
bumi tanpa bantuan filter radiasi berupa lapisan
ozon, begitulah seterusnya hingga ikatan ini
terjalin dan membentuk aliansi yang sangat
kompleks di alam ini.
Begitu juga dengan manusia, anda cukup
memejamkan mata dan berdiri di lapangan

15
terbuka, dan menyadari sejauh mungkin mulai
dari tempat kaki anda berpijak saat ini adalah
tanah, lalu bekal nafas yang anda hirup dan
hembuskan berasal dari udara di sekitar,
kemudian sadarilah dengan melebarkan lebih
jauh lagi keterhubungannya, dimulai dari tanah
tempat anda berpijak dan udara yang menjadi
bekal pernafasan anda tersebut, dimana ia
terhubung dengan batu, pohon, tumbuhan,
sungai, bukit, rumput, cacing dan seterusnya
hingga membentuk suatu rangkaian kesatuan
yang kemungkinan besar akan membawa anda
hingga ke luar negeri atau bahkan luar angkasa.
Leluhur manusia terdahulu sangat dekat
dengan alam, sehingga karya, pengetahuan
maupun tekhnologi kuno yang mereka hadirkan
tidak sekedar memiliki kulit tanpa mengandung
isi, misal salah satunya kalender yang dimana saat
ini cuma dijadikan sebagai pajangan dinding,

16
meja atau smartphone untuk penanda hari libur,
hari raya/kebesaran, hari kerja, jadwal temu janji
atau sekedar untuk memunculkan sebuah
pertanyaan iseng tanpa tujuan “ohya bro/sis,
sekarang tanggal berapa ya?”, bahkan ada yang
menyimpan kalender hanya karena formalitas
saja, padahal dia tidak membutuhkan hal tersebut.
Inilah salah satu contoh dimana objek yang
memiliki isi, ketika hanya dilihat dan diamati
secara kulit belaka, maka jiwanya tidak akan
mampu menyelam lebih dalam lagi untuk
menggapai saripatinya.
Mari kita sedikit menelusuri tentang kalender,
yaitu sebuah grafik yang dibuat dengan sistem
pemetaan waktu berdasarkan pada pengamatan
atau perhitungan dari siklus pergerakan benda
astronomi yang dapat terlihat (Matahari atau Bulan),
lalu kemudian membaginya ke periode waktu
tertentu dengan jarak minimal 1 kali rotasi

17
(dengan menjadikan terbit hingga terbenam atau terang
berubah gelap sebagai standar awal), putaran ini
merupakan acuan untuk interval perhari.
Pengetahuan ini telah dipergunakan sejak masa
peradaban kuno baik secara numerik atau dengan
penggunaan simbol khusus (berupa angka, gambar,
kata, abjad, nama dewa/dewi dan lainnya) untuk
berbagai keperluan misal penentuan waktu
terbaik untuk berburu, bercocok tanam atau
melaut. Alam memiliki pergantian musim dan
kondisi yang dinamis, lebih lanjut lagi orang
terdahulu sangat memahami bagaimana segala
keadaan tersebut dapat mendukung atau kurang
mendukung pada ritual-ritual hidup tertentu,
sehingga kita mengenal adanya sebuah istilah
“hari baik” atau “hari kurang baik” , “bulan suci”, “waktu
menyepi”, “hari kebesaran” dan sebagainya.

Sebenarnya hal tersebut sangatlah ilmiah,


mengingat ketika benda langit berada dalam

18
konstelasi tertentu, maka akan memicu terjadinya
berbagai fenomena alam yang dipengaruhi oleh
suhu, tekanan udara, laju kecepatan serta arah
angin, kelembapan tanah, panas inti bumi, proses
penguapan air (evaporasi,transpirasi maupun secara
evepotranspirasi) dan selanjutnya di level sangat
halus yaitu ion, metabolisme, frekuensi serta
resonansi alam, medan elektromagnetik,
kelistrikan bumi yang semua hal tersebut tanpa
sadar mempengaruhi berbagai aspek di alam ini.
Jika kata kalender membuat anda
membayangkan poster berisikan angka sebagai
penunjuk tanggal, nama hari, kode tahun dengan
warna hitam merah lengkap dengan penjelasan
hari libur, hari raya, hari mengenang dan
sebagainya (dan terkadang ada bonus background
berupa foto selebritis atau kandidat partai yang tidak jelas
sebagai penghias) maka saat ini anda mempunyai
sebuah kalender standar dunia yang

19
dipergunakan sebagai fungsi penyamaan waktu
untuk memudahkan sinkronisasi baik dalam skala
nasional maupun internasional, yang dikenal
dengan kalender Masehi (hitungan tahun 1 dimulai
sejak kelahiran Yesus dari Nazaret). Ada begitu banyak
jenis kalender di berbagai kebudayaan, tetapi pada
dasarnya pengamatan serta perhitungannya tetap
mengacu pada pergerakan matahari, bulan atau
keduanya (Matahari dan Bulan). Contoh sederhana
dari ketiganya : kalender Dunia/Masehi adalah
kalender Matahari (solar), kalender Islam/Hijriah
adalah kalender Bulan (lunar) dan Kalender
Hindu/Saka merupakan gabungan dari kalender
Matahari dan Bulan (lunisolar).
Tentu masih banyak lagi sistem kalender yang
telah ada sejak lama dan tersebar di berbagai
budaya, misalnya kalender Jawa, kalender
Tionghoa/Imlek, kalender Maya, kalender Seder
Olam, kalender Qibti dan sebagainya, yang

20
fungsinya bukan saja sebagai penunjuk formalitas
waktu secara umum, tetapi dengan beberapa
fungsi lainnya yang lebih spesifik, seperti
menentukan musim tanam, berburu, melaut,
waktu terbaik untuk bepergian/merantau,
mengetahui profesi sesuai garis tangan,
penetapan hari suci dalam keagamaan, menandai
hari baik dan kurang baik untuk
beraktifitas/keluar rumah di jam-jam tertentu,
penentuan letak strategis suatu bangunan agar
presisi dengan fase puncak dari benda langit di
konstelasi astronomi yang dianggap sakral
(bangunan-bangunan suci/altar kuno menerapkan hal ini,
sehingga sekaligus memiliki fungsi ganda sebagai
observatorium), dan masih banyak lagi pemanfaatan
momen natural yang dihubungkan melalui
perhitungan kalender sesuai keperluan. Walaupun
ada beberapa kalender yang fungsinya lebih
bersifat supranatural (tetapi biasanya ini sangat rahasia
dan pengetahuannya hanya bisa didapatkan melalui jalan

21
pewarisan), salah satu contohnya kalender Qibti
yang diperkirakan berasal dari era Mesir kuno.
Beberapa kali saya temui orang-orang yang
menjadikan diagram Qibti ini sebagai hiasan
dompet (jimat), baik dengan langsung diprint
secara digital, disketsa ulang via kanvas, kulit
hewan, kertas atau penggunaan lainnya melalui
cara apapun yang sebenarnya tidak ada sangkut
pautnya sama sekali secara fungsi sesungguhnya.
Ini seperti penggunaan geometri suci sebagai
aksesories dan foto profil sosmed (misalnya pohon
kehidupan atau metatron) yang makin menjamur
dewasa ini (dengan harapan ada efek magis yang
bekerja). Namun, saya yakin 89% dari mereka tidak
mengetahui apa sesungguhnya fungsi atau
mungkin pesan yang terkandung pada simbol
tersebut dan bagaimana cara menafsirkan serta
mempergunakan grafiknya, sama seperti cara
golongan mereka ketika menggunakan kalender

22
Qibti. Ini ibarat pada sebuah dinding goa ada
tulisan yang dipahat membentuk suatu kalimat
berisi pesan atau instruksi : “Silahkan gunakan
payung, jas hujan atau singgah berteduh ditempat
yang aman kalau sedang hujan agar tidak basah di
perjalanan” ……. Kemudian dari informasi mulut
ke mulut yang telah terjalin selama turun-
temurun, diketahui jika pahatan tersebut ternyata
berhubungan dengan pengetahuan sangat rahasia
agar menjadi tidak basah di saat hujan terjadi……
Lalu di tangan orang yang buta huruf,
kemungkinan besar karena dia tidak bisa
membaca simbol berupa kombinasi abjad yang
terangkai didalamnya, maka dia menafsirkan
sebebasnya „agar tidak basah saat kehujanan di
perjalanan nanti, cukup tulis kembali pesan ini pada
secarik kertas, lalu kemudian simpan kertas tersebut
dalam dompet atau cetak ulang untuk kemudian
dijadikan sebagai aksesories atau foto profil
sosmed‟(dan berharap ada efek magis yang bekerja/terjadi).

23
Kalender-kalender kuno, berasal dari peradaban
masa lampau dimana aksara yang dipergunakan
untuk mengrafiskan diagramnya telah jauh
melintasi zaman, dan tak jarang karena perbedaan
masa yang sudah lumayan cukup jauh tersebut,
dapat menciptakan distorsi pemaknaan. Misalnya
ketika mendapati aksara yang masih berjenis
logografi dalam sistem komunikasi tertulisnya,
seperti pada huruf hielograf, dimana kombinasi 3
gambar (contoh saja, mata – kucing – daun) yang jika
mengikuti pemahaman saat ini mungkin akan
ditafsirkan sebagai “kucing lagi melihat daun, atau
hanya sekedar dimaknai sebagai mata - kucing dan
daun secara harfiah” . Sedangkan pada zaman Mesir
kuno mereka menyembah RA sang dewa
Matahari (sebagai Tuhan tertinggi) yang
disimboliskan dengan mata, kucing BAST sebagai
perwakilan dari kesucian dan kebijaksanaan, lalu
kemudian daun merujuk pada suatu obat

24
penyembuh (tergantung dari jenis daunnya), sehingga
bisa saja itu diartikan sebagai bentuk doa, pujian atau
rasa terima kasih kepada Tuhan yang Maha Suci dan
bijaksana atas karunia obat serta kesembuhan (pada suatu
penyakit atau wabah) . . . . . . . . . . . . .

Sebenarnya tidak perlu rentang waktu berabad-


abad untuk mengalami distorsi ini, bahkan jika
anda menerima lalu kemudian membaca tulisan
saya dari 5 tahun silam yang menyebut tentang
Corona di salah 1 pembahasan dalam grup
whatsapp, maka saya yakin anda akan langsung
terbayang dengan VIRUS CORONA, padahal 5
tahun lalu kami mengenal corona sebagai
permukaan paling luar dari atmosfer Matahari,
bukan nama dari jenis virus.
Begitulah kebijaksanaan manusia terdahulu
dalam membusanakan sabda alam secara filosofis,
atau menyimboliskannya dengan sosok
personifikasi yang dianggap ideal untuk mewakili

25
perwujudan tersebut (dan ini tentu disesuaikan dengan
zaman dimana masyarakat itu hidup). Dalam tradisi
kuno yang kita bahas sebelumnya, dimana 3 fase
bulan (sabda alam) dipersonifikasikan sebagai 3
dewi untuk mewakili “saripati energi feminin secara
spiritual” yang terkandung pada tiap fasenya, yaitu
dewi dengan energi bulan Perawan, dewi dengan
energi bulan Ibu dan dewi dengan energi bulan
Nenek (atau dalam penamaan barat yang lebih familiar dikenal
sebagai : Maiden Moon Goddess, Mother Moon Goddess &
Crone Moon Goddess), dimana ada beberapa
karakteristik energi feminin dari tiap perwakilan
dewi-dewi tersebut sudah tidak sepenuhnya
relevan lagi dengan citra zaman ini. Jika liarnya
perawan dalam pandangan masa tersebut lebih ke
persona jiwa feminin, seperti gadis yang lincah,
suka berlari kesana kemari dengan penuh
semangat tanpa peduli pada hal di sekitar (bahkan
sangking begitu energiknya, tak jarang ia menaiki atap,
melompati pagar kayu dan menabrak hingga membuat

26
banyak benda berantakan tanpa beban berarti/cukup
meminta maaf dengan senyuman lalu kemudian
melanjutkan “keliarannya”). Kelincahan tersebut
cukup dimaklumi karena difahami sebagai akibat
dari belum tersalurkan dengan baiknya
kemurnian energi hidup yang begitu besar
ditambah dengan kematangan jiwa yang belum
stabil sehingga membuatnya menjadi liar……
Jika anda pernah melihat atau menyaksikan sosok
manusia yang cukup liar (energik) tetapi tidak
membuat anda merasakan kebencian, jengkel
ataupun kemarahan mendalam, maka itu adalah
bentuk murni dari energi feminin di fase perawan
yang sedang mengekspresikan jiwanya. Inilah
bentuk energi natural dari bulan sabit yang
kemudian dipersonifikasikan sebagai Maiden
Moon Goddess. (Jika itu adalah keliaran yang
dibuat-buat, mengada-ada baik sebagai bentuk
pelarian dari segala problema kehidupan, keinginan
untuk mendapat pengakuan atau keadaan lainnya

27
yang dipicu oleh luapan residu beban secara
psikologi, maka ketika melihat eksistensi dari
kepribadian tersebut, tentu membuat anda merasa
tidak nyaman, terganggu, menjadi ilfeel atau bahkan
muak, walau ia sedang dalam keadaan diam
sekalipun… dapat dipastikan ini bukanlah ekspresi
jiwa dari energi feminin, karena disadari atau tidak,
jiwa anda dapat menangkap getaran jiwa miliknya).
Lalu bagaimana pemaknaan perawan di
masyarakat zaman ini ? Anda pasti tahu
jawabannya, yaitu sebuah gelar yang diberikan
kepada wanita yang belum pernah melakukan
persetubuhan atau di perspektif lebih sempit,
hanya dimaknai sebagai kondisi dari selaput dara
pada Miss V (tahukah anda jika selaput dara pada
wanita memiliki bentuk menyerupai bulan sabit?
Kebetulan? Atau itu sesungguhnya adalah
perwujudan dari sabda alam yang terukir secara
anatomi pada tubuh manusia, yang mewakili bentuk
dari saripati energi murninya, dalam hal ini Feminin
fase awal, Maiden Moon Goddess) .

28
. FASE Kelima .
“Maukah kita mengakui jika manusia dari peradaban
terdahulu yang merupakan leluhur tidaklah bodoh,
mereka justru sangat memahami apa yang sedang
dilakoninya, hanya saja ketika telah berbeda masa
yang cukup jauh, manusia dari peradaban terbaru
tidak memiliki cukup banyak petunjuk untuk
memahami intisari yang terkandung pada ritual-
ritual kuno”.
“Ketika manusia modern atau setidaknya yang sudah
merasa modern menganggapnya sebagai
takhayul,pemikiran bodoh atau sekedar mitos belaka,
bukankah justru mereka yang sedang
memperlihatkan ketidakcerdasannya karena tidak
mampu untuk memahami esensi dari ritus masa
silam?”..
“Menariknya, anggapan tidak masuk akal hanya
terlahir dari pemikiran orang-orang yang akalnya
belum mampu untuk menjangkau suatu pemahaman,
masuk akal bukan?” …
29
Fase-fase bulan diwakilkan oleh perwujudan
para Dewi atau ketika sebuah fenomena alam
berupa gelombang laut yang sangat ekstrim
bahkan mampu menjelma tsunami, oleh para
leluhur diberikan personifikasi sebagai seorang
Ratu berbusana hijau, apakah karena mereka
bodoh? Tidak, justru itu adalah bentuk kearifan
luhur yang kemudian oleh orang-orang modern
direndahkan menjadi sosok fantasi atau dongeng
karena ketidaksanggupan mereka dalam
memahami kemurnian dari pesan maupun tujuan
yang terkandung didalamnya.
Belakangan ini, saat planet yang menjadi
hunian manusia begitu familiar dikumandangkan
dengan nama Ibu Bumi, apakah mereka yang
mengucapkannya sudah benar-benar bisa
menjangkau esensi kemuliaan dari seorang Ibu?
Lantas, kenapa masih banyak dari mereka

30
berasyik ria dalam merusak alam? Begitukah
perlakuannya terhadap seorang ibu? Pada
akhirnya ketika alam menghadirkan akibat
melalui sabdaNya (yang dikenal sebagai bencana
alam), para manusia modern mengatakan “Bumi
sedang sakit”, padahal pada kenyataannya
merekalah yang sedang sakit.
Sebagian dari manusia modern sebenarnya tidak
benar-benar cerdas ketika mereka menolak
mahakarya warisan leluhur, hanya saja sedang
terjebak dalam sebuah doktrin sosial masa kini.
Kenapa saya berkata demikian? Karena saya
adalah seorang Magician, dan seringkali ketika
memperlihatkan sebuah efek-efek sulap tidak
masuk akal kepada manusia modern, ada
sebagian dari mereka yang walaupun tidak
mengetahui bagaimana cara saya melakukannya,
akan tetapi memiliki keyakinan jika ada
penjelasan masuk akal agar hal tersebut dapat

31
terjadi… Lantas kenapa tidak bisa memiliki
keyakinan yang sama terhadap warisan para
leluhur?... Jika alasannya adalah tidak masuk akal
atau mereka tidak mengerti bagaimana cara
melakukannya, kenapa bisa seyakin itu bahwa
efek dari seni sulap memiliki penjelasan rasional
padahal dia sendiri belum tahu bagaimana cara
melakukannya?, Walau dengan konteks yang
berbeda, tapi hal yang hampir senada juga pernah
saya tuliskan didalam buku RVDS Vol 1 (2016) :
“Sadarkah anda ???, jika menggunakan jubah sihir
maka kurban/tumbal/persembahan adalah bentuk
kesesatan terhadap Tuhan, tetapi jika menggunakan
jubah agama, maka kurban/tumbal/persembahan
adalah bentuk ibadah terhadap Tuhan”…
Stigma ilmu kuno sebagai dongeng, mitos atau
fantasi, justru seringkali terlahir akibat banyaknya
manusia modern yang “buta huruf” dan ini
menjadikan doktrin sosial pun kian tersebar

32
meracuni sekitar. Menemukan keris atau kristal
jenis tertentu yang tertanam pada sebuah pohon
dijadikan jimat, menemukan “sesajen tidak wajar”
yang terdiri dari perunggu, pusaka berbahan
dasar kuningan sedang terkubur didalam tanah
dianggap sebagai bentuk pesugihan sesat, hingga
akhirnya semua hal tersebut berimbas pada ritus-
ritus kuno lainnya. Bagaimana jika ternyata itu
adalah sebuah tekhnologi kuno? Dengan
memanfaatkan potensi natural dari tumbuhan
yang didukung dengan bahan logam pada keris
dan mineral kristal untuk membantu proteksi dari
wabah, filter udara, manipulasi medan
elektromagnetik untuk tujuan tertentu? Atau
memfungsikan gabungan perunggu, bahan dasar
kuningan dari sebuah pusaka yang kemudian
dikubur bersamaan pada tanah jenis tertentu
untuk memaksimalkan kesuburannya atau
mencegah penyebaran racun melalui tanah

33
tersebut? Ritual dengan dampak sekompleks
itulah yang kemudian hanya dijadikan jimat oleh
manusia modern yang “buta huruf” …
Di buku digital perkamen saku : Ritus Suci Altar
Bulan ini saya tidak akan menjelaskan kepada
anda bagaimana cara membaca kalender-kalender
kuno, tetapi saya akan menjelaskan bagaimana
cara agar anda dapat membuat kalender sendiri
sesuai tatacara standar yang ada pada aliran
Neopaganism (pada bagian ketiga). Kenapa tidak
langsung membaca dari kalender yang sudah
ada? Jawabannya sederhana, yaitu perbedaan
aksara dan pemaknaan secara simbolis (terutama di
pikiran bawah sadar).

Misalnya saya menjelaskan cara membaca


kalender yang menyimboliskan bulan dengan
warna biru, maka tentu masing-masing dari anda
akan berbeda pemaknaan di dimensi pikiran
bawah sadar. Contohnya jika warna biru

34
diibaratkan laut yang menenangkan, maka bagi
mereka yang sering menikmati keindahan laut
baik dengan berwisata di kapal pesiar maupun
hanya sekedar duduk di tepi pantai akan setuju,
tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi mereka yang
pernah menjadi korban sabda alam tsunami
ataupun memiliki trauma akibat mempunyai
pengalaman tenggelam dalam pelayaran yang
hampir merenggut nyawanya, bagi mereka laut
adalah bencana, bukan lagi menenangkan…
Di fase-fase bulan purnama yang lebih spesifik,
baik itu karena pengaruh posisi dan jaraknya pada
bumi, berkonjungsi dengan planet tertentu
(termasuk bumi) maupun pola konstelasinya pada
benda astronomi lainnya yang khas, maka akan
menghasilkan energi yang lebih khusus, sehingga
kita mengenal banyak penamaan Bulan Purnama
yang biasanya didominasi oleh istilah barat seperti
Blue Moon, Pink Moon, Wolf Moon, Snow Moon,

35
Sturgeon Moon, Buck Moon, Worm Moon dan
Strawberry Moon. Nama-nama ini diambil sesuai
karakteristik dari energi yang dihasilkan saat fase
bulan purnama tersebut. Salah 1 yang paling
familiar adalah Blue Moon, dimana fase purnama
terjadi 2 kali dalam 1 bulan (month) kalender.
Tetapi saya akan mengambil referensi yang lebih
kuno, seperti yang telah kita bahas pada bagian-
bagian sebelumnya, dimana manusia terdahulu
menerjemahkan pesan alam melalui simbolis, dan
sekalipun hanya berupa pemaknaan secara
personifikasi, selalu saja tepat sasaran.
Warna biru kurang lebih dimaknai sebagai Api
Pemurnian dalam paganism, dan ada 3 warna api
lainnya yaitu Jingga Kekuningan (yang sekarang
lebih dikenal sebagai api merah), Putih dan mendekati
Transparan (biasa disebut juga sebagai api hitam karena
tidak memiliki spektrum warna). Urutan berdasarkan
suhunya mulai dari yang terendah (secara natural

36
tanpa campur tangan zat yang memicu reaksi kimiawi,
seperti misalnya pada kembang api) adalah Merah,
Biru, Putih dan Hitam. Anda tentu pernah
mendengar stigma jika kebanyakan kaum pagan
adalah para pemuja api bukan? Lebih tepatnya
bukan memuja, melainkan mereka menggunakan
api sebagai media atau tekhnologinya.
Secara tradisi kuno, kehadiran fase bulan
purnama ganda (blue moon) dianggap sebagai fase
yang “mencurigakan”, karena kehadiran sang
dewi bulan 2 kali berturut-turut (yang tentu
membawa pesan penting terkait bumi), sehingga saat
fase ini berlangsung, ritual yang dilakukan lebih
ke perbaikan alam dibanding sedot menyedot
energi bulan biru seperti yang dilakukan para
umat buta huruf dewasa ini. Lantas darimana asal
pemberian nama Blue/Biru? Pemberian nama
tersebut memiliki sejarah yang panjang (karena
manusia terdahulu hanya menyimboliskannya dengan

37
malam hari yang memiliki panorama seperti fajar), jadi
untuk mempermudah hal tersebut maka
fenomena alam ini diberi nama Blue Moon.
Dengan melakukan ritual menatap api atau
bahkan sekedar membakar api unggun dengan
jenis kayu dan daun kering tertentu, ada banyak
hal yang dapat dianalisa oleh mereka, misalnya
kandungan – kualitas - tekanan udara, gas, suhu,
kelembaban tanah, panas perut bumi, status
gunung merapi, potensi gempa bahkan kualitas
ion pada lapisan atmosfer (walau zaman dulu mereka
mengenalnya dengan kosa kata berbeda) . Dan dengan
pengetahuan tersebut, mereka dapat melihat
partikel-partikel halus yang merupakan pertanda
awal dari gejala-gejala alam tertentu (dan belum
bisa terlihat oleh mata telanjang) melalui bantuan api
(hasil dari pembakaran dengan campuran daun, kayu dan
zat khusus) yang diposisikan di pertengahan antara
Bulan dan Mata. Analisa didapatkan melalui

38
bagaimana warna ruang yang berada diantara
Bulan dan Api, jika tetap berwarna merah (api tidak
mengalami perubahan, maka keadaan alam sedang stabil)
, jika berwarna biru maka partikel-partikel halus
pertanda sabda alam yang besar (gempa bumi,
gunung meletus dan sebagainya) sedang bersebaran
di udara (berarti kondisi alam sedang tidak stabil dan
akan melakukan siklus penyeimbangan).

Karena secara visual keadaan ini terlihat seperti


fajar (di mata orang terdahulu) maka setiap fase
bulan purnama ganda ini dijadikan sebagai ritual
memperbaiki alam, yang kini dikenal dengan
nama Blue Moon.
Elemen api sejak lama memang selalu
dipergunakan dalam pelengkap di berbagai ritus
suci, karena sifatnya yang secara natural dapat
menyebarkan cahaya secara merata sehingga
membuatnya tidak memiliki bayangan (filosofis
dari layar yang dapat menunjukkan berbagai hal tanpa

39
ditutup-tutupi – tanpa bayangan). Sekali lagi, orang
terdahulu selalu memaknai segala hal yang
natural secara simbolis. Anda juga dapat
menyalakan lilin atau pemantik, kemudian
memantulkan bayangan hitamnya ke dinding,
maka bayangan hitam pada API tidak akan
terlihat sama sekali. (seluruh bagian lain seperti
tangan, pemantk dan lilin anda tetap akan terlihat, kecuali
nyala apinya). Bahkan hanya dengan melihat nyala
pada api, anda bisa mengetahui tingkat
kandungan oksigen dan zat asam pada suatu
tempat, mengingat faktor utama terbentuknya api
adalah kedua unsur tersebut, semakin besar kadar
oksigen maka api akan semakin berkobar !!!.
Jadi apakah saat fase ini, Bulan Purnama benar-
benar bewarna biru? Tidak ! karena warna biru
hanya hasil penerjemahan visual dari partikel tak
kasat mata yang terlihat melalui layar (Api). Ini
seperti tekhnologi berupa layar yang dapat

40
melihat partikel halus (frekuensi rendah), mistik?
mereka bodoh? bahkan saya kehabisan kata-kata
untuk memuji tekhnologi masa silam ini, sebuah
penerapan ilmu fisika dan kimia untuk
menghasilkan tekhnologi setingkat hologram.
Tanpa penggunaan api dengan tekhnik natural
yang rumit, apakah tetap dapat melihat bulan
dengan efek biru?............. Ya, bisa ! Jika ada
semburan abu vulkanik dari letusan gunung
merapi, debu yang tertiup ke udara oleh angin
badai, asap tebal dari pembakaran hutan ataupun
kondisi atmosfir sedang mendukung, anda
(manusia modern) tetap bisa melihat efek bulan
berwarna biru saat fase ini sedang berlangsung
(tanpa menggunakan bantuan Api), tapi tentu saja
anda hanya bisa melihat melalui apa yang
memang sudah terlihat/terjadi (asap tebal, abu
vulkanik, debu akibat hembusan angin kencang), bukan
melalui pertanda awalnya (partikel halus tak kasat

41
mata) yang merupakan indikasi akan terjadinya
hal-hal diatas.
Mengapa tidak diberitahukan cara meracik bahan
bakar apinya di Pdf Ritus Suci Altar Bulan ini?
Sederhana, perbedaan zaman membawa kita pada
permasalahan lainnya, yaitu standar tabu. Dan ada 3
zat yang di zaman ini selalu dianggap dosa – syirik -
tabu oleh komunitas-komunitas tertentu, jangankan
untuk dipergunakan, sebagai bahan perbincangan
saja sangat terlarang… Tapi menurut saya ini sangat
wajar, mengingat kedewasaan jiwa manusia modern
yang terkadang seringkali lupa diri, ibarat membuat
obat berubah menjadi racun karena dipergunakan
secara over (berlebihan).
~ ~
Berhubung perkamen ini tidak memiliki waktu penerbitan
yang pasti, silahkan cek secara berkala di
www.dhewasihir.com atau bisa langsung menghubungi
penulis via Fb (Alvi Rheyz) atau WA : 08992793463 untuk
mendapatkan informasi tentang edisi terbaru. (Tidak
diperjualbelikan, silahkan download secara gratis) .

42

Anda mungkin juga menyukai