Anda di halaman 1dari 2

Kesadaran Eksistensial dan Pendidikan

Oleh :

Taufik Hidayat*

Pendidikan dalam prosesnya yang melampaui dimensi fisik dan metafisik manusia
adalah sebuah kerja yang kompleks. Ia bisa didefinisikan dengan banyak pengertian mulai
dari proses dari tidak tahu menjadi tahu, proses pendewasaan diri, proses transfer of
knowledge, transfer of value, dsb. Namun, tak ada konsep yang secara utuh dan final dalam
membatasi kata pendidikan. Kita bisa bermungkin bahwa pendidikan adalah sebuah
entitas yang proporsional antara yang praktis dan yang teoritis. Dengan demikian,
pemahaman secara komprehensif tentang proses pendidikan adalah gerak bolak-balik
antara yang teoritis dan yang praktis.

Dalam segi praktis, pendidikan adalah dasar seluruh kehidupan manusia baik yang
sekolah atau pun tidak. Sekolah atau instansi pendidikan hanya lah sebuah formalisasi dari
proses pendidikan dalam kehidupan yang inheren dalam kondrat kemanusiaan. Sedang
belajar sebagai hal yang substansial tidak boleh hanya terbatas dalam ruang sempit
sekolah atau institusi pendidikan, tidak terkungkung dalam periode tertentu dan dengan
seragam tertentu. Di titik ini, pendidikan yang merdeka – seperti kata Pablo Freire – adalah
proses pendidikan tanpa terikat ruang dan waktu serta memberi ruang sepenuhnya dalam
aktualisasi kemanusiaan.

Secara eksistensial, manusia dengan segenap perangkap kemanusiannya memang


sangat kompatibel dengan proses pendidikan. Adapun perangkat-perangkat yang
dimaksud adalah Ruh, Aqal, Qalbu, Nafs, dan Tubuh. Kesemuanya dalam kesatuan utuh
membentuk manusia dan pendidikan ada dalam setiap dimensi itu. Maksudnya pendidikan
merentang dari dimensi terluar berupa jasmani hingga pada dimensi termisteri berupa
Ruh, dimensi rohani terdalam. Dengan demikian, pendidikan secara umum dan pendidikan
islam secara khusus berorientasi dalam dua arah yakni ke dalam dan ke luar.

Adapun orientasi pendidikan yang ke dalam, berupaya untuk mengenal individu


dalam dirinya sendiri. Artinya manusia dengan kemanusiaan di dalam dirinya perlu
sepenuhnya dikenali terlebih dahulu agar bisa dieksplorasi secara mendalam dan
difungsikan secara optimal terutama dalam melaksanakan fungsi manusia sebagai
khalifatullah fil ardli. Bahkan Allah SWT menghimbau dan mengarahkan pengenalan
manusia sebagai seorang hamba kepada Tuhannya bisa tercapai dengan ‘ia mengenal
dirinya’. Artinya jalinan antara Ruh, Aqal, Qalbu dan Nafs yang tersirat dalam tubuh
manusia itu adalah pra-syarat dalam mengenal Allah SWT.
Hal itu tak sesederhana penggunaan bahasa penandanya, namun petanda yang
tersimpan dibaliknya memerlukan sebuah refleksi yang konsisten dan mendalam.
Pengenalan terhadap dimensi Aqal dan Qalbu sebagai pengatur kontrol dalam relasi
antagonis antara Nafs1 dan Ruh, pengenalan terhadap Nafs yang mengarah pada hasrat
kebertubuhan serta pengenalan terhadap Ruh yang mengarah pada hasrat akan keilahian
atau ketuhanan. Kesemuanya tentu akan mengarahkan manusia mengenal dirinya secara
utuh.

*Mahasiswa semeseter VI PAI


Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Togo Ambarsari

1
Nafs dalam berbagai konteks terkadang diartikan secara ambigu antara ruh dan hasrat.
Namun dalam teks ini, Nafs adalah Nafs Lawwamah atau Nafs al-Ammarah bissu’, sebuah hasrat
kebertubuhan yang mengarah berlawanan dengan Ruh.

Anda mungkin juga menyukai