Buku 2024 FIKK Herka
Buku 2024 FIKK Herka
Judul Buku
Diusulkan oleh:
"Beberapa buku harus dicecap, yang lain ditelan, dan beberapa yang jumlahnya sedikit
harus dikunyah dan dicerna"
Francis Bacon
Dewasa ini, hampir tidak ada bidang kegiatan yang tidak terkena dampak kemajuan
teknologi pendorong revolusi industri 4.0 bahkan 5.0. Revolusi industri ini secara radikal telah
mengubah seluruh aspek kehidupan, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik,
dan pendidikan. Disrupsi digital mengakibatkan masa depan sulit untuk diprediksi. Maka,
tantangan terbesar dewasa ini adalah menghadapi masa depan yang tidak pasti. Ketidakpastian
menjadi sumber kegelisahan banyak orang dan pemimpin, bahkan menjadi ancaman terhadap
semua bentuk kemapanan, termasuk sistem pendidikan.
Untuk mempermudah proses mempelajari buku ini, penulis membaginya dalam lima
bab. Bab pertama akan memberikan latar tentang manusia dalam pandangan dualisme, yakni
badan dan jiwa. Keduanya menyatu dalam wujud yang satu, yaitu manusia. Manusia, lewat
pendidikan jasmani, mendidik ragawi agar memiliki habituasi yang diinginkan. Di bab
berikutnya, paparan akan semakin terarah pada postmodernisme yang berimplikasi masif pada
dunia pendidikan. Komersialisasi, digitalisasi, dan kapitalisasi dalam rupa pendidikan
menjadikannya tidak terelakkan. Menapaki bab ketiga, tulisan ini akan semakin terarah pada
intisari, yakni mengenai aspek etis yang beroperasi di ranah pendidikan, melalui sebuah paham
pedagogi pendidikan jasmani. Arahan menuju bab empat dan bab lima diawali dengan sebuah
ulasan tentang mengapa kita harus berubah paradigma atau dalam istilah Wittgenstain adalah
shifting paradigm dan diakhiri dengan potensi yang ada pada pendidikan jasmani sebagai
sebuah ilmu untuk melatih dan mempertajam akal budi melalui pendisiplinan tubuh/latihan
ragawi dan jiwa sehingga implikasi etis dari pendidikan jasmani tidak hanya sebatas alat
melainkan membentuk manusia seutuhnya tercapai. Seperti ungkapan Aristoteles filsuf Yunani,
bahwa kita berbuat adil bukan karena kita belajar dan mengerti, melainkan karena terbiasa
dapat terjawab melalui perenungan kembali teacher beliefs dan orientasi pendidikan jasmani
terutama pada aspek etis dan moral.
Penulis tentu tidak akan mencoba masuk disemua aspek kehidupan, hanya akan
berfokus pada aspek pendidikan, dalam hal ini pendidikan jasmani. Buku ini ditujukan pada
mereka para calon guru pendidikan jasmani, guru pendidikan jasmani, dan akademisi yang
digenggamannya masa depan pendidikan jasmani ditentukan.
BAB I
Pendidikan jasmani dan olahraga telah menjadi sajian utama dalam kurikulum
persekolahan di banyak negara dalam kurun waktu hampir satu abad. Sejatinya mata ajar ini
telah dilabeli dengan sebuah dogma “aktivitas non-kognisi”, pun hingga saat ini masih
mencoba mensejajarkan dan mengokohkan dengan bidang ajar lain yang lebih mapan dan
prestisius seperti bahasa Inggris, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. John White pada
bukunya yang berjudul towards a compulsory curriculum dengan keras membantah bahwa
pendidikan jasmani merupakan sebuah mata pelajaran yang posisinya di sekolah kerap
didukung oleh klaim-klaim yang berpretensi buruk tentang kompetensi dan relevansinya
dengan pengembangan karakter dan fungsi otak (Griffey, 1991; White, 2012). Lebih jauh,
pendidikan jasmani telah dilekatkan dengan beraneka-rupa pretensi yang melemahkan.
Namun, justru semakin mekar berkembang sejak tahun 1960an hingga dasawarsa ini. Unsur
penting dalam pendidikan jasmani tentu saja guru dan siswa. Guru menjadi titik sentral yang
dalam perjuangan eksistensinya tidaklah mudah. Hal ini diperkuat oleh Hendry dalam
artikelnya survival in a marginal role: the professional identity of the physical education
teacher secara profetik menyampaikan bahwa meskipun guru pendidikan jasmani digolongkan
marginal dalam struktur kurikulum sekolah, namun ia adalah seorang penyintas (Broadie,
2001; Stent, 1998).
Nilai pendidikan jasmani dalam kurikulum dilihat secara khusus terutama dari posisi
dualistiknya yang cenderung memandang aspek tubuh sebagai satu-satunya kepentingan yang
relatif kecil. Pertimbangan dimensi manusia ini terlihat sebagai satu-satunya keraguan dalam
pendidikan yang ditoleransi secara mendasar bahwa sejumlah bentuk aktivitas dapat
merileksasi dan menyegarkan sehingga berdampak sebagai kunci peningkatan kinerja kognisi.
Manusia merupakan makhluk yang dikaruniai kemampuan untuk bertanya dan
mempertanyaka segala sesuatu tentang dirinya, eksistensinya, dan dunianya. Memahami
manusia bukanlah perkara mudah dan masih berlangsung hingga kini. Esensi manusia sebagai
pribadi menyangkut empat hal mendasar, yaitu kesadaran akan diri, bersifat otonom dan
transedental, serta komunikatif. Untuk lebih memahami persona manusia dalam konteks
pendidikan, dalam hal ini pendidikan jasmani dan olahraga, penting untuk paham bahwa
pribadi manusia dapat dipahami dan bukan hal yang abstrak. Ia adalah makhluk yang konkret.
Enam elemen dasar yang mengungkapkan pribadi individu yakni, karakter, akal budi,
kebebasan, nama, suara hati, perasaan. Manusia dipandang sebagai persona yang unik.
Keunikan ini bersumber dari aspek kerohania, yaitu jiwanya. Jiwa membuat manusia serba
baru. Ia menjadi makhluk dinamis karena jiwanya.
Badan
Manusia terbentuk atas dua hal, badan dan jiwa. Manusia tidak bisa disebut manusia
apabila tidak beriwa, begitu juga sebaliknya sebutan ini akan tiada manakala badan hilang
darinya. Keduanya adalah satu kesatuan yang dan menentukan keutuhan pribadi manusia. Dua
aliran utama yang melihat kedudukan bertolak belakang antara jiwa dan badan, yaitu monisme
dan dualisme. Pertama, monisme. Aliran ini secara tegas menolak pandangan bahwa badan dan
jiwa merupakan dua unsur terpisah. Badan dan jiwa merupakan satu substansi yang keduanya
merupakan satu kesatuan yang membentuk kepribadian manusia. Aliran ini terpecah menjadi
tiga, yakni materialisme, teori identitas, dan idealisme. Materialisme atau kerap disebut
fisikalisme adalah aliran tertua yang memperbincangkan tentang badan dan jiwa dengan prinsip
utama menempatkan materi sebagai dasar bagi segala yang yang ada. Bagi penganut aliran ini
materi adalah sumber absolut atas eksistensinya. Sehingga manusia tidak pernah melampaui
potensi-potensi kejasmaniahannya. Baginya, jiwa tidak memiliki keberadaannya sendir, jiwa
bersumber dari materi. Dalam pengertian yang lebih praktikal, materi menjadi penentu, maka
segala aktivitas yang melibatkan mental tidak lain merupakan keadaan otak. Hal berbeda
diberikan oleh teori identitas hal yang disangkal oleh materialism yaitu aktivitas mental.
Aktivitas mental berkedudukan sebagai identitas manusia yang kemudian mendefinisikan letak
perbedaan jiwa dan badan hanya pada arti, bukan pada referensi (badan dan jiwa dua elemen
yang sama). Cabang monisme yang ketiga adalah idealism. Kaum idealis berpendapat bahwa
ada hal-hal serta gejala yang tidak dapat diterangkan semata berdasarkan materi, seperti
pengalaman, nilai, dan makna yang tidak memiliki korelasi dengan materi. Lebih lanjut,
pengalaman, nilai, dan makna hanya berarti kalua dihubungkan dengan sesuatu yang
immaterial, yaitu jiwa. Untuk dapat masuk pada pemahaman akan hakikat terdalam, dimensi
spiritual menjadi fokus utama, karena dimensi ini memiliki peran yang mendasar dan luas atas
kejadian-kejadian spasial dan temporal. Tokoh filsafat modern yang dianggap sebagai peletak
dasar bagi idealism adalah Rene Descartes dengan ungkapan populisnya cogito ergo sum (saya
berpikir, maka saya ada). Dalam ungkapannya ia mengkaitkan jiwa dengan kegiatan berpikir.
Berpikir merupakan wujud eksistensi sekaligus ciri utama manusia yang hidup. Jadi dasar
eksistensi manusia bukan pada aktivitas jasmaniahnya melainkan pada aktivitas jiwa, yakni
berpikir (Nolan, 2022).
Dualisme merupakan kebalikan dari monism dengan pokok ajaran yang mengafirmasi
dualitas jiwa dan badan. Jiwa dan badan merupakan dua elemen yang berbeda dan terpisah,
dimana perbedaan keduanya terletak pada pengertian dan objek. Bapak filsafat modern, Rene
Descartes yang mengatakan bahwa aku terdiri atas dua substansi, yakni jiwa dan materi atau
badan jasmaniah. Menurutnya, hal yang membedakan manusia dengan hewan adalah jiwanya
dan yang menunjukkan kesamaan tidaklain tubuhnya. Descartes lantas menyebut badan
sebagai l’homme machine otomaton atau mesin yang bergerak sendiri.
Dualisme terbagi menjadi empat aliran, yakni interaksionisme, okkasionalisme,
paralelisme, dan epifenomenalisme. Interaksionisme memfokuskan diri pada hubunga timbal
balik antara badan dan jiwa. Aliran ini menyepakati bahwa peristiwa-peristiwa mental
terkadang menyebabkan peristiwa badani begitu juga sebaliknya namun, pandangan ini tetap
menetapkan bahwa badan dan jiwa sebagai dua entitas yang terpisah. Berbeda dengan
interaksionisme, pada okkasionalisme dimensi ilahi menjadi penghubung jiwa dan badan.
Aliran ketiga yaitu paralelisme. Aliran ini mensejajarkan kejadian yang ragawi dan yang rohani
dengan badan yang memiliki peristiwa sendiri, demikian juga jiwa memiliki peristiwanya
sendiri, namun keduanya berjalan bersama. Epifenomenalisme sebagai cabang dualisme
keempat yang meninjau hubungan badan dan jiwa dari fungsi syaraf. Aliran ini menyatakan
bahwa satu-satunya unsur yang kita dapati untuk menyelidiki proses-proses kejiwaan ialah
syaraf kita. Proses kejiwaan seperti kesadaran dilihat sebagai nyala yang berasal dari proses-
proses syaraf dengan menyangkal pengaruh kesadaran terhadap proses kejiwaan.
Badan merupakan bagian elemen mendasar dalam membentuk pribadi manusia. Badan
adalah dimensi manusia yang paling nyata. Dalam pandangan tradisional, badan hanya dilihat
sebagai kumpulan pelbagai entitas material yang membentuk suatu makhluk yang sifatnya
biologis yang bersifat kausal menjadi ide sentral. Dalam pandangan ini mekanisme gerakan
badan bersifat mekanistik. Dalam sebuah pandangannya, Martin Buber memberikan argumen
tubuh sebagai intermediasi antarpribadi. Sebagai intermediasi, tubuh juga menjadi media
pengembangan diri setiap pribadi. Sebagai contoh, seorang atlet setiap hari melatih diri untuk
menjadi atlet yang handal melalui kegiatan fisik. Demikian pula dengan peserta didik yang
akan menggunakan matanya untuk belajar dan menggunakan tangannya untuk mengerjakan
tugas-tugasnya demi masa depannya yang baik. Akan tetapi badan tidak hanya berfungsi hanya
sebatas contoh di atas. Badan menghadirkan dunia bagi manusia, sebaliknya menghadirkan
manusia bagi dunia. Melalui badan manusia mengarahkan diri pada dunia dan
memanifestasikan diri sendiri terhadap orang lain. Badan dimaknai secara jauh lebih luas
daripada sekedar fisik. Hakikat badan bukan pertama-tama terletak pada dimensi materialnya,
melainkan dalam sebuah aktivitas entitas yang terjadi di dalam badan seperti tertawa,
menangis, berjalan, lari, dan seterusnya.
Jiwa
Terdapat tiga pasal krusial yang menjadikan pendidikan esensial bagi perkembagan
manusia yaitu, pendidikan berlangsung lama dan terus menerus, pendidikan sebagai suatu
tatanan sosial yang direncanakan secara matang oleh suatu masyarakat, dan keterkaitannya
dengan pembentukan watak dan kepribadian manusia. Sebelum memahami jiwa manusia lebih
jauh, kita harus memahami bahwa pada dasarnya manusia adalah homo sapiens dan homo
educandum (makhluk yang berpikir dan makhluk yang dididik), dua hal tersebut menunjukkan
kompleksitas manusia. Jiwa dapat dipahami lewat empat kemampuan dasar. Pertama,
kemampuan menghasilkan kualitas-kualitas penginderaan. Manisnya gula, panasnya api,
dinginnya es, kasar halus permukaan batu dapat kita rasakan hanya karena jiwa memampukan
kita. Kedua, kemampuan menghasilkan makna yang berasal dari penginderaan khusus, dalam
kasus ini telepati. Ketiga, kemampuan memberikan tanggapan terhadap hasil-hasil
penginderaan dan makan dengan jalan merasakan, berkehendak atau berusaha. Keempat,
kemampuan memberikan tanggapan terhadap proses-proses yang terjadi dalam pikiran demi
kebaikan. Seturut yang dikatakan Santo Agustinus, bahwa terdapat dua sumber dari tindakan
moral yaitu kehendak dan cinta. Kehendak merupakan aktivitas jiwa yang membuat manusia
mewujudkan keinginannya. Kehendak selalu menyertai empay dorongan hati manusia, yaitu
keinginan, ketakutan, sukacita.
Dalam bagian ini akan dijabarkan mengenai tiga bagian jiwa menurut filsafat Yunani
kuno yaitu Platon yang masih relevan untuk diangkat dan diperbincangkan. Filsafat pada
mulanya adalah sebuah praktik hidup, dan berubah menjadi lebih teoretis pada jaman modern.
Tawaran pemikiran Platon yang hidup 2.500 tahun yang lalu dapat dijadikan rujukan alternatif
dan tak pernah berhenti mengagetkan kita sehingga dapat dijadikan dasar dalam mendidik jiwa
yang pada akhirnya akan mewujudkan suatu keutamaan.
Menurut Platon, diri sejati manusia adalah jiwanya, sebuah kompleksitas dinamika
internal yang membuat Platon yakin bahwa ada bagian paling penting disitu: rasio. Ide Platon
untuk menstrukturkan pembicaraan tentang jiwa dalam tiga dorongan inti pikiran, afektivitas,
dan nafsu-nafsu menarik untuk disimak. Menurutnya, manusia selalu berada dalam ketegangan
dan pertentangan, acapkali melakukan apa yang tidak dikehendaki. Ada hal-hal yang tidak
kelihatan di dalam diri kita yang bertarung, dan Platon membahasakan situasi jiwa yang
demikian ini sebagai gerakan yang menggerakkan dirinya. Berfilsafat sebagai praktik
pencarian pengetahuan dan jiwa. Manusia dan hidupnya adalah bentukan dia sendiri. Namun,
untuk dapat berkeutamaan dan optimal, jiwa manusia selalu harus menundukkan dirinya pada
pencerahan rasio. Sebagai konsekuensinya, perlu adanya usaha. Usaha tersebut adalah
pendisplinan hasrat (eros). Harapannya dengan pendidikan yang benar, manusia, dalam hal ini
peserta didik akan mencintai pengetahuan (kebijaksanaan) dan memiliku kecenderungan yang
tepat untuk hidup adil dan benar bukan sebaliknya yang oleh Platon diistilahkan merawat jiwa.
Keutamaan manusia merujuk pada kondisi optimal manusia. Karena dalam diri manusia yang
menjadi prinsip adalah jiwanya, maka keutamaan manusia akan muncul apabila jiwanya
terwujudkan secara maksimal maka jiwa manusia akan maksimal apabila tiap bagian dari jiwa
itu bisa memamksimalkan apa yang kodratiah menjadi fungsi-fungsinya. Sejauh yang sejati
dari manusia adalah rasionya, maka keutamaan manusia Ketika rasionya berfungsi secara
optimal.
Tiga bagian jiwa tersebut adalah logistikon (rasio), hasrat harga diri (thumos), dan
nafsu-nafsu rendah (ephitumia) yang disebut dengan jiwa Platonisian. Jiwa ia gambarkan
tentang mitos kereta bersayap lengan dengan sais dan sepasang kuda penariknya. Sebagai
gambaran bagi jiwa, sais adalah lambang untuk rasio, sedangkan dua ekor kudanya, yang putih
adalah symbol untuk harga diri dan kuda hitam adalah lambang bagi nafsu yang ada di bawah
perut manusia.
Pembahasan mengenai bagian jiwa platonisian ini dimulai dengan ephitumia. Ia
letaknya di bawah perut mewakili nafsu-nafsu rendah dan sangat susah ditundukkan pada rasio.
Ephitumia memiliki fungsi penting. Nafsu makan, minum serta seks berguna bagi
keberlangsungan hidup manusia. Eros yang termanifestasikan dalam bentuk nafsu seks
menghasilkan immortalitas relatif. Dalam pandangan Platon, ephitumia dianggap irrasional
dan mortal dengan kecenderungan untuk merusak integritas keseluruhan manusia. Makanan,
minuman, dan seks selalu menaik tanpa batas dan tak mengenal titik puas, pada tingkat tertentu
akan membuat individu manusia hancur sendiri (mortal). Bagian kedua jiwa manusia adalah
thumos. Bila ephitumia ada di bagian perut ke bawah – itulah makanya ia bernama epi-thumia
artinya di sekitar, pinggiran thumos – maka bagian jiwa yang bernama thumos terletak di
atasnya, di bagian thorax, di antara leher dan diafragma dada. Unsur thumos merujuk pada
segala bentuk afektivitas (afek: yang mempengaruhi), rasa, semangat, dan agresivitas. Thumos
adalah tempat keberanian muncul. Platon berpendapat bahwa bagian jiwa inilah yang
merangsang jiwa untuk memberontak dan tidak menyerah begitu saja terhadap takdirnya.
Secara ilustratif figur ephitumia digambarkan sebagai kelas petani dan pedagang yang
orientasinya mencari keuntungan, maka thumos digambarkan seperti prajurit. Perhatian unsur
jiwa yang terletak di dada ini adalah mencari kemenangan dalam kompetisi dan sibuk mencari
penghargaan di mata orang lain. Dimensi afektivitas ini juga dikatakan bersifat irasional
dengan alasan sederhana bahwa seringkali demi rasa harga diri dan bangga diri, orang
meninggalkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Sebagi kuda putih, thumos adalah hasrat-
hasrat yang cenderung baik dan mudah diarahkan oleh akal, namun saat mengikuti dirinya
sendiri, thumos bisa sangat tidak rasional. Bonek (bondo nekat) supporter loyal Persebaya
merupakan representasi utuh dari thumos yang mengikuti dirinya sendiri tanpa tunduk pada
rasio. Orang dengan profesi intelektualpun dapat disetir oleh thumos. Uang, makan, minum,
dan seks bukanlah yang dikejar. Mereka tidak mencari hal-hal material yang rendah sifatnya.
Namun untuk hidup, ada intelektual yang butuh tepuk tangan, butuh dibesarkan egonya, butuh
disanjung. Bagian jiwa ketiga adalah logistikon. Bagian ini merupakan bagian terpenting dan
terbaik dalam jiwa manusia. Unsur yang digambarkan sebagai sais kereta ini disebut juga
sebagai fungsi rasional jiwa. Ia memberitahu dan mengendalikan kuda putih secara langsung,
dan dengan kerjasamanya akan mengendalikan kuda hitam yang binal. Ideal manusia
platonisian adalah manusia yang jiwanya tertata baik, terkoordinasi untuk melayani rasio.
Seperti halnya sais piawai, ia meminta bantuan kuda putih (thumos) untuk menundukkan
ephitumia yang senantiasa memberontak (Wibowo, 2014).
Jiwa bukanlah sebuah entitas, bukan pula sesuatu. Bila kita ingin mencari kodratnya,
maka itu bisa diketahui lewat apa yang ia lakukan dan apa yang mengenainya. Jiwa bisa
dipahami sebagai sebuah prinsip, sejauah ia menggerakkan dirinya sendiri. Namun, jiwa
bukanlah prinsip ultima dalam hierarki realitas menurut Platon dan yang paling tinggi adalah
idea, baru kemudia jiwa, badan dan benda-benda material. Fakta bahwa jiwa dikatakan
menggerakkan dirinya sendiri sangat penting. Karena itu artinya jiwa tidak tergantung pada
objek di luar dirinya. Jiwa selalu memiliki kebebasan internal untuk menggerakkan dirinya
sendiri terlepas dari objek di luar dirinya. Dampaknya, jiwa sendirilah yang mesti merawat
dirinya supaya tidak mudah larut dalam pengaruh-pengaruh luar. Jiwa sebagai kebebasan
menampak dari pilihan-pilihan yang ia buat sendiri (Kotsonis, 2020; Mintz, 2014).
Postmodernisme
Dalam era postmodernisme, pendidikan mengalami transformasi yang signifikan,
terinspirasi oleh keragaman budaya, ideologi, dan pandangan dunia yang beragam. Konsep-
konsep yang diterima secara universal menjadi ditantang, dan pluralitas diakui sebagai fitur
dominan dari masyarakat. Lebih mendalam, perjalanan evolusi pendidikan, konsep
modernisme telah menjadi landasan yang kuat bagi perkembangan sistem pendidikan saat ini.
Modernisme, dengan semangat rasionalitas, kemajuan, dan pemikiran ilmiahnya, telah
membentuk paradigma pendidikan yang menekankan pada pemahaman, standar, dan
keberhasilan. Mari kita telusuri bagaimana modernisme memengaruhi perkembangan
pendidikan dan membentuk paradigma pendidikan masa kini.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, modernisme muncul sebagai gerakan
intelektual yang merayakan kemajuan ilmiah, teknologi, dan sosial. Dalam pendidikan,
modernisme mewakili pemikiran bahwa pendidikan adalah kunci untuk membangun
masyarakat yang lebih maju dan sejahtera. Hal ini tercermin dalam pendekatan sistematis untuk
pendidikan formal yang menekankan pada kurikulum yang terstruktur, evaluasi standar, dan
pengembangan kecerdasan individu (Haryatmoko, 2019; Nally, 2023).
Pada tingkat filosofis, modernisme menekankan pada pemikiran rasional dan ilmiah
sebagai dasar untuk pengetahuan. Dalam pendidikan, ini tercermin dalam penekanan pada
pembelajaran yang berbasis bukti, di mana siswa diajarkan untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan analitis. Kurikulum didasarkan pada disiplin ilmu yang
terpisah, dengan tujuan untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang spesifik
kepada siswa.
Selain itu, modernisme juga memperkenalkan gagasan bahwa pendidikan harus
mempersiapkan individu untuk berpartisipasi dalam ekonomi pasar dan masyarakat yang
modern. Pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri dan ekonomi yang
berkembang, dengan menekankan pada pengembangan keterampilan yang relevan dengan
pasar kerja.
Namun, kritik terhadap pendekatan modernisme dalam pendidikan mulai muncul pada
paruh kedua abad ke-20. Beberapa kritikus menyoroti bahwa pendekatan yang terlalu terfokus
pada standar dan kurikulum yang terstruktur mengabaikan kebutuhan individual siswa dan
keragaman budaya dalam masyarakat. Selain itu, pendekatan yang terlalu ilmiah dan rasional
dapat mengabaikan aspek-aspek emosional, sosial, dan kreatif dari pendidikan.
Meskipun demikian, warisan modernisme dalam pendidikan tetap berpengaruh hingga
saat ini. Banyak prinsip modernisme, seperti penekanan pada pendidikan universal,
penggunaan teknologi dalam pembelajaran, dan standarisasi evaluasi, tetap menjadi bagian
integral dari sistem pendidikan saat ini. Namun, pendekatan pendidikan yang lebih inklusif,
adaptif, dan berorientasi pada siswa mulai muncul sebagai respons terhadap kritik terhadap
pendekatan modernisme yang terlalu terpusat pada standar dan kurikulum yang terstruktur.
Dengan mengakui warisan dan kritik terhadap modernisme dalam pendidikan, kita
dapat terus mengembangkan paradigma pendidikan yang lebih inklusif, adaptif, dan relevan
dengan tuntutan zaman yang terus berubah. Dengan demikian, kita dapat membentuk masa
depan pendidikan yang lebih beragam, berpusat pada siswa, dan mampu menghadapi tantangan
global yang kompleks.
Postmodernisme atau yang akrab dinyatakan dengan postmo, adalah istilah yang begitu
kontroversial sebagai lanjutan dengan segala macam dampaknya dengan asalinya yakni
modernisme. Di satu sisi istilah ini kerap digunakan dengan cara sinis dan berolok-olok, hampir
disemua bidang tidak terkecuali pendidikan. Postmodernisme memang bagai rimba belantara
yang dihuni aneka satwa yang bisa sangat berbeda-beda jenisnya. Maka dengan sendirinya
istilah ini memang merupakan istilah yang sangat longgar pengertiannya alias sangat ambigu
juga. Ia digunakan untuk memayungi segala pemikiran yang satu-sama lain seringkali tidak
persis saling berkaitan. Ambiguitas dan kelonggarannya sekiranya sebanding dengan istilah
modern itu sendiri. Ada banyak hal yang biasa disinyalir sebagai karakteristik utama
kemodernan yang sebetulnya selalu dapat diragukan dan digugat pula. Dan dari sudut pandang
ini ketidakjelasan makna "postmodernisme" boleh jadi justru berakar pada ketidakjelasan
makna "kemodernan".
Istilah postmodern telah begitu menggejala dan digunakan dalam sedemikian banyak
bidang denga meriah dan hiruk pikuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi
kepadanya mengandung risiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode intelektual yang
dangkal dan kosong, yang tentu ini harusnya bisa dielakkan oleh para kaum pendidik, dalam
hal ini guru dan terlebih calon guru. Masalahnya adalah, bahwa istilah itu di satu pihak memang
telah sedemikian populer, dipihak lain senantiasa mengelak untuk bisa didefinisikan dengan
memadai. Keluasan wilayah dimana istilah tersebut saja digunakan sudah membuat
tercengang. Ia digunakan bertebaran dimana-mana sehingga tidaklah mengherankan bila
maknanya menjadi kabur. Kita temukan istilah itu dipakai dalam bidang musik, seni rupa, fiksi,
film, drama, fotografi, kritik sastra, sosiologi, antropologi, filsafat, pendidikan, dan masih
banyak lagi (Agustine et al., 2021).
Di dalam pusaran postmodernitas, hubungan antara pendidikan dan dinamika sosial,
budaya, serta intelektual menjadi semakin kompleks dan berubah secara cepat. Pendidikan
tidak lagi dipandang sebagai entitas tunggal yang terpisah dari konteks sosial, tetapi sebagai
bagian integral dari proses pembentukan dan refleksi masyarakat postmodern.
Pada satu sisi, pendidikan di dalam pusaran postmodernitas tercermin dalam perubahan
signifikan dalam pendekatan, tujuan, dan kurikulum. Berikut adalah gambaran naratif tentang
hubungan pendidikan dalam pusaran postmodernitas:
1. Perubahan dalam Pendekatan dan Metode Pembelajaran. Pendidikan dalam pusaran
postmodernitas mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif, kolaboratif, dan responsif
terhadap keberagaman siswa dan konteks sosial. Metode pembelajaran yang terfokus pada
pembelajaran aktif, pemecahan masalah, dan pengalaman langsung menjadi lebih dominan.
Siswa didorong untuk mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran mereka, dengan
guru berfungsi sebagai fasilitator dan pendukung.
2. Pengakuan terhadap Keragaman dan Pluralitas. Pendidikan postmodern mengakui dan
menghargai keragaman budaya, nilai, dan perspektif. Kurikulum dan materi pembelajaran
dirancang untuk mencerminkan keberagaman ini, dan siswa didorong untuk menghargai
dan memahami perbedaan antara mereka. Pendidikan multikultural dan pembelajaran lintas
budaya menjadi fokus dalam upaya membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang
masyarakat global yang semakin terhubung.
3. Kritis terhadap Narasi dan Konstruksi Sosial. Pendidikan postmodern juga mendorong
siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis terhadap narasi dan konstruksi
sosial yang ada. Mereka diajarkan untuk mempertanyakan asumsi, memeriksa kebenaran,
dan mengidentifikasi bias dalam informasi yang mereka hadapi. Pendidikan kritis menjadi
inti dari pembelajaran, memungkinkan siswa untuk menjadi agen perubahan yang
berpikiran kritis dalam masyarakat.
4. Fleksibilitas Kurikulum dan Pengembangan Keterampilan Abad ke-21. Kurikulum dalam
pendidikan postmodernitas cenderung lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan
siswa serta tuntutan zaman yang terus berubah. Selain pengetahuan akademis, pendidikan
juga menekankan pengembangan keterampilan abad ke-21, seperti keterampilan berpikir
kritis, kolaboratif, kreatif, dan komunikatif, serta literasi digital.
5. Pemberdayaan dan Kemandirian. Pendidikan dalam pusaran postmodernitas berupaya
untuk memberdayakan siswa untuk menjadi individu yang mandiri dan berdaya. Mereka
didorong untuk mengambil inisiatif dalam pembelajaran mereka sendiri, mengembangkan
kemampuan untuk mengatasi tantangan dan memecahkan masalah, dan menjadi
kontributor yang aktif dalam masyarakat (Peters et al., 2020).
Dalam keseluruhan, hubungan pendidikan dalam pusaran postmodernitas adalah
tentang mengakui kompleksitas dan dinamika masyarakat saat ini, dan beradaptasi dengan cara
yang memungkinkan individu untuk berkembang secara holistik dalam konteks yang terus
berubah. Ini menuntut pendekatan yang inklusif, kritis, dan responsif terhadap keragaman dan
tantangan yang dihadapi oleh siswa dan masyarakat secara luas.
Etika
Esensi Pendidikan adalah menuntun dan membangun kemampuan- kemampuan
jiwa/nafsu, akal dan kemauan dengan menggunakan prinsip-prinsip umum atau nilai (baik dan
benar) yang memfokuskan pada guru dan anak agar menjadi aktif dalam upaya mewujudkan
masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil pada situasi zamannya. Namun, yang terjadi
saat ini justru berkebalikan, pendidikan kalau boleh dibahasakan masih berada pada level yang
belum dapat menyentuh akal budi. Kegagalan pendidikan itu justru karena dalam sistem
pendidikan yang secara operasional digerakkan oleh kurikulum dalam melatih implikasi etis
dari ilmu. Ilmu dan pengetahuan diposisikan sebagai alat.
Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak,
adat ataupun kesusilaan. Jadi etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu kesediaan jiwa
seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan kesusilaan. Dalam konteks
filsafat, etika membahas tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk.
Etika lebih banyak bersangkut dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan
dengan tingkah laku manusia (null, 2009; Zagzebski, 1996).
Frans Magnis Suseno, seorang pakar filsuf kenamaan, menuliskan dalam bukunya
bahwa etika perlu dibedakan dengan ajaran moral. Menurutnya, ajaran moral adalah wejangan-
wejangan, khutbah-khutbah, patokan-patokan serta kumpulan peraturan dan ketetapan baik
lisan maupun tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi lebih
baik. Sedangkan etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar mengenai ajaran-ajaran moral
(Franz Magnis-Suseno, 2002).
Pada pemaknaan asali etika merupakan sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Etika dan
moral juga tidak berada di satu tingkat yang sama. Ajaran moral menetapkan bagaimana
manusia harus hidup, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Sedangkan etika membantu
seseorang untuk mengerti. Dengan kata lain, Etika sebagai ilmu menuntut manusia untuk
berperilaku moral secara kritis dan rasional.
Dengan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa etika menuntut seseorang
melakukan ajaran moral tertentu karena manusi sendiri tahu dan sadar bahwa hal itu memang
baik baginya sendiri dan orang lain. Manusia sadar secara kritis dan rasional bahwa memang
sepantasnya bertindak seperti itu atau sebaliknya, jika pada akhirnya bertindak tidak sesuai
dengan ajaran moral tertentu, hal itu dilakukan karena alasan-alasan tertentu yang dapat
dipertanggung jawabkan secara moral. Jadi etika berusaha untuk mengerti apa, atau atas dasar
apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu. Sedangkan ajaran moral dapat
diibaratkan dengan buku petunjuk tentang seseorang memperlakukan hidup dengan baik.
Pada dasarnya etika membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai seperti
nilai baik dan buruk, nilai susila atau tidak susila, nilai kesopanan, kerenda han hati dan
sebagainya. Seorang ahli pernah mengatakan bahwa etika atau filsafat moral baru akan
berkembang apabila norma-norma moral dalam suatu masyarakat mulai disangsikan. Dalam
kenyataan memang tidak setiap bangsa dan tidak setiap lingkungan kebudayaan
mengembangkan suatu etika. Adapun yang seharusnya terdapat dalam setiap lingkungan dan
pada setiap manusia ialah suatu kesadaran moral dan norma-norma yang merupakan patokan
bagi kesadaran moral untuk menilai baik-buruknya tindakan manusia (Paul Suparno et al.,
2015).
Orang yang tidak bermoral dapat dikatakan sebagai orang yang tidak baik, tetapi orang
yang tidak beretika berarti dia hanyalah orang yang tidak mengetahui tentang suatu ilmu. Kalau
moral itu memuat kewajiban-kewajiban dan nilai-nilai manusia, maka yang menjadi tugas etika
ialah untuk mengajukan argumentasi mengapa sesuatu itu merupakan kewajiban atau nilai.
Etika adalah suatu usaha kritis. Etika tidak begitu saja menerima apa saja yang ada
dalam suatu masyarakat yang dianggap sebagai norma atau nilai moral, melainkan
mempertanyakan dahulu dasar-dasarnya. Etika mempertanyakan segalanya mengapa dapat
terjadi dan mengapa ini harus terjadi. Oleh sebab itu, etika dapat dikatakan sebagai suatu ilmu
argumentatif dan rasional dalam arti bahwa etika tidak mengajukan perintah-perintah dan
larangan-larangan, melainkan selalu mencari suatu argumentasi.
Kebutuhan akan etika muncul dalam suatu masyarakat, apabila sistem norma-norma
tradisional mulai dipersoalkan. Pada saat itulah orang mulai menjadi bingung. Manusia tidak
lagi tahu dengan pasti pada ukuran mana dapat menilai sikap dan tindakan-nya. Norma-norma
tradisional mulai diragukan apabila sistem-sistem normatif masuk ke dalam lingkungannya.
Dalam situasi itu perlu adanya suatu ukuran bukan hanya bagi tindakan manusia, melainkan
bagi norma-norma tindakan manusia. Harus ada ukuran untuk dapat diketahui apakah suatu
norma moral tepat atau tidak. Maka di sini etika adalah sebagai seni berargumentasi di bidang
moral.
Bagi kebanyakan orang di zaman dahulu etika tidak perlu. Cukuplah bagi mereka hanya
berpegang pada norma-norma tradisional yang berlaku dalam masyarakat yang didukung oleh
agama mereka dan yang sudah biasa terjadi. Pada zaman sekarang juga situasi seluruh
masyarakat sudah berubah secara radikal. Hampir tidak ada lagi orang yang hidup dalam
lingkungan yang sedemikian utuh sehingga manusia dapat begitu saja mengikuti suatu sistem
moral tertentu. Disintegrasi sosial, individualisasi, serta jangkauan pilihan kemungkinan hidup
bagi individu sudah sedemikian berkembang sehingga orientasi moral semakin sulit. Manusia
sekarang berhadapan dengan semakin banyak masalah yang dirasa berat, tetapi ia tidak
menemukan suatu ukuran atau norma yang dapat dipegang kuat. Sering didengar jawaban:
"ikutilah suara hatimu!", atau "tergantung apa yang kamu kehendaki". Maka pada zaman
sekarang refleksi etis semakin diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan hidup yang
dihadapi.
Pada akhirnya dapat dipahami bahwa moral membahas tentang benar dan salah sesuatu
perbuatan dari aspek yang paling dalam (filosofis), sementara etika mengkaji tentang baik dan
buruk atau pantas dan tidaknya sesuatu perbuatan untuk dilakukan berdasarkan analisis yang
rasional dan kritis terhadap pandangan moralnya.
Kegagalan pendidikan kita adalah karena persis belum berhasil di dalam kurikulum dan
sistem pendidikannya untuk melatih implikasi etis dari ilmu. Cara berpikir yang kita pelajari
dari berbagai macam ilmu dari SD sampai SMP membelalakkan bahwa tidak semua orang mau
menjadi ilmuan sampai perguruan tinggi. Bahwa kita belajar ilmu ini dan itu berarti kita
mencoba mencari objektivitas dan intersubjektivitas dalam komunitas, berkomunikasi secara
sehat.
Implikasi etis dari cara berfikir ini dimaknai sebagai kesanggupan untuk melihat bahwa
diluar diri kita itu ada kebenaran. Terlepas dari kita suka atau tidak suka, terlepas dari cocok
atau tidak cocok dengan pendirian diri sendiri atau dengan pendirian kelompok yang kita ikuti
atau lingkupi. Apa hubungannya dengan kehidupan publik? Pendidikan yang ditarik dari
implikasi objektif science dan etis praktis terapan dari science ini itu adalah bahwa siswa dan
mahasiswa dapat melihat bahwa saya warga negara dan warga negara dilatih untuk tidak
melihat kebenaran berdasarkan apa yang dia yakini, apa yang diyakini oleh peer grupnya atau
kelompoknya dan menguntungkan golongannya sendiri, warga negara dilatih secara konkrit
untuk mengakui realitas di luar dirinya artinya apa, pelajaran kewarganegaraan itu tidak
terlepas dari pelajaran fisika tidak terlepas dari pelajaran matematika tidak terlepas dari biologi
tidak terlepas dari sastra, pendidikan gerak, dan sebagainya. Dihadapannya itu ada Indonesia
yang terhampar berupa masyarakat yang majemuk yang kaya dalam keragaman etnisnya,
agamanya, dan sukunya. Lugasnya yang ingin saya kemukakan adalah cara berpikir yang
masuk akal seperti ini melatih kita melihat dan menyadari bahwa ada tatanan objektif diluar
diri kita yang bernama negara, ada tata sosial yang kita sebut masyarakat, ada tata simbolik
yang kita sebut bangsa yang kesemuanya sekolah dan perguruan tinggi menjadi tempat yang
efektif untuk menyemai benih-benih rasionalitas, melatih daya kritis, dan tentunya
menghaluskan budi agar individu tersebut memiliki karakter layaknya orang yang
berpendidikan, bukan hanya deretan ijazah dan tingginya gelar (von Haaren-Mack et al., 2020;
Wright et al., 2004).
Bagaimana kita berlaku dan bertindak dalam realitas yang kaya ini. Kita mengacu ke
undang-undang, ke hukum ke nilai nilai sosial-budaya, tapi pertanyaan kita bagaimana hukum
mengatur itu semua? Kesanggupan berpikir objektif, masuk akal tidak berdasarkan tahayul
tentu terkait langsung dengan penyusunan undang-undang dan tata hukum. Hukum bertitik
tolak dari adanya realitas objektif hidup bersama dan bagaimana realitas ini ditata. Dan kita
mengaku sebagai negara demokrasi jelas tidak bisa hukum itu saya enak enak perut mereka
yang mau bikin hukum. Dan dalam negara demokrasi juga tidak berarti bahwa hukum melulu
berdasarkan suara atau kehendak mayoritas, karena yang minoritas ini adalah bagian dari
realitas objektif itu. Hukum menjadi bernilai persis ketika hukum sanggup membela golongan
yang suaranya tidak tertampung dalam mayoritas yang ramai dan kuat itu. Hanya dalam arti
hukum bersikap bersifat adil secara hakiki. Buruknya perilaku kewarganegaraan kita
merupakan gejala nyata dari gagalnya pendidikan ilmu-ilmu. Kenapa? dalam sistem
pendidikan kita dalam kurikulum kita ilmu diajarkan sebagai alat, sebagai sarana untuk
mencapai tujuan. Yang lolos adalah bahwa ilmu punya tujuan etis. Bentuk salah satu dari
praktik etis keilmuan itu adalah melatih kesanggupan untuk melihat realitas, memilah-milah,
dan memilih mana yang kata saya mana yang membuat saya senang dan mana yang betul-betul
ada dan objektif tidak bergantung pada saya. Campur aduk dalam kedua ranah ini sangat
mengerikan dan kita memerlukan latihan untuk memilih dan memilah itu. Tanpa melatih
kesanggupan berpikir objektif tanpa melatih kebiasaan membedakan mana urusan dunia dan
mana urusan surga kehidupan publik kita ini semerawut (Supelli, 2015).
Fungsi inti pendidikan adalah melatih berpikir dan memilah-milah beragam kebijakan-
kebijakan negara yang bersifat teknokratik dan pendidikan kita itu dikelola secara teknokratik.
Seperti kata Aristoteles filsuf Yunani kita berbuat adil bukan karena kita belajar dan mengerti
keadilan kita berbuat adil, tapi karena kita terbiasa bertindak adil.
Apa isi dari kebijakan teknokratik isinya adalah memasukkan dalil aksi sama dengan
reaksi, stimulus-respon kepada masyarakat itu diberi insentif dan disinsentif masyarakat
sebagai sebagai stimulus masyarakat akan milih yang insentif maka yang disinsentif dengan
sendirinya itu akan terhindarkan. Tentu saja tata kelola pemerintahan yang baik perlu kebijakan
teknokratik namun jika kita tidak memahami pengandaian stimulus dan respons yang
tersembunyi ini lalu mau diterapkan termasuk Pendidikan termasuk lalu ini bisa
mentransformasi masyarakat akibatnya mengerikan dan kita sudah mengalami itu kita
sebetulnya dalam masyarakat hasil dari stimulus dan respons ini transformasi masyarakat itu
hanya berlangsung jika perubahan itu mengena sampai ke tingkat keyakinan apa yang kita
yakini cara berpikir kita sampai menggerakkan kita untuk bertindak baru terjadi transformasi.
Pendekatan teknokratis stimulus itu berhenti di tataran respons psikologis. Demi apa, demi
kepentingan demi keselamatan kita sendiri kita ikuti kita menanggapi maka yang dipancing itu
kan psikologi masyarakat dan persis dari psikologi kita belajar bahwa pendekatan stimulus dan
respons ini terujinya pada apa? pada anjing Pavlov itu kan penelitiannya Pavlov bahwa Anjing
itu kalau dikasih makan perintah lalu dikasih makan dikasih stimulus dia akan merespons
dengan kata lain ya kebijakan X sebagai stimulus masyarakat diharapkan merespon seperti
anjing Pavlov (Foxall, 2020). Kebijakan teknokratik sebagai arahan itu penting tetapi
mengandaikan bahwa perubahan terjadi dengan melatih insting stimulus dan respons pelan-
pelan masyarakat kita kita ini terbiasa untuk bersikap dan bertindak bukan karena kita tahu
bahwa itu baik dan layak dilakukan kita bertindak karena terbiasa untuk dirangsang kalau tidak
dirangsang ya Tidak diragukan. bukan karena kita mengerti ini yang mengerikan dan ini terjadi
pada kita. disuruh antri itu jarang sekali bisa baru sekarang akhir-akhir ini mulai bisa. Kiranya
Cukup jelas bahwa kebijakan teknokratik tidak memadai kalau kita mau transformasi kalau
kita mau menjadi ya tidak masyarakat tidak terlalu berat lah kata-kata itu masyarakat ilmiah
tapi yang masuk akal saja.
Transformasi terjadi pada aras pedagogi pada aras pendidikan jadi kita membutuhkan
ilmuwan teknokratik, scientist yang sangat canggih dan teknis untuk merancang kebijakan-
kebijakan teknokratik tetapi perlu diikuti oleh ahli pedagogi, perlu diikuti oleh ahli yang
mengerti pendidik/educators itu perlu karena dia yang mengerti bagaimana menggerakkan
motivasi dan melatih orang-orang. transformasi melibatkan pedagogi dan pendidikan adalah
bagian dari kebudayaan. kebudayaan tentu bukan hanya panggung pertunjukan seni pameran
benda-benda indah itu semua penting itu semua berharga dan itu semua adalah salah satu sisi
kebudayaan. kebudayaan melibatkan cara berpikir nilai-nilai perilaku dan etos bertindak,
pengertian ini lolos dari pemahaman umum tentang kebudayaan maka muncullah pendapat
bahwa tata kelola pendidikan tinggi perlu dirombak supaya lebih dekat dengan riset dan
teknologi alasannya selama ini pendidikan tinggi itu terlalu dekat dan berada terlalu banyak
pengaruh kebudayaan sehingga kurang menghasilkan daya guna alangkah aneh pandangan ini
dan alangkah tercerabut dari sejarah ilmu. ilmu dan teknologi adalah anak kebudayaan yang
pada gilirannya ikut membentuk realitas budaya dan bersama-sama dengan berbagai
budayanya menghasilkan dunia maya itu adalah teknologi. Dan itu menjadi kebudayaan kita
sekarang, lalu kita mau mengatakan sains dan teknologi bukan ada di bawah kebudayaan.
transformasi masyarakat dalam berpikir dan memecahkan persoalan ini menyangkut latihan
tadi saya katakan memilih memilah itu menyangkut latihan latihan apa? terus-menerus
mengenai hal-hal yang kemudian kita pikirkan untuk hidup bersama latihan bahwa ada dunia
objektif sampai ketingkat ragawi. pendidikan kita itu hanya di kepala. pertanyaan saya
bagaimana kita mau bertransformasi menjadi masyarakat yang mau antri kalau kita tidak
pernah melatih badan kita itu untuk antre bagaimana kita mau menghasilkan tulisan yang baik
kalau kita tidak tahan duduk di depan komputer atau di atas meja menulis tangan selama
beberapa waktu sehingga terkumpul seluruh konsentrasi sesekali berdiri berjalan untuk
melenturkan bokong dan punggung yang pegel tetapi setia dan itu latihan badan, latihan ragawi.
membuang sampah kalau tidak pernah kita latih tidak pernah, seperti kata Aristoteles filsuf
Yunani kita berbuat adil bukan karena kita belajar dan mengerti keadilan, kita berbuat adil
karena kita terbiasa bertindak adil (Giorgetti et al., 2020).
Informasi adalah dasar untuk membentuk pengetahuan dan memperluas pemahaman
kita tentang realitas berpikir tidak lepas dari kebertubuhan kita dari latihan kita ini tinggal
dimana apa yang setiap hari kita sentuh apa yang setiap hari memberi kita makan padahal
pendidikan itu semakin mengembangkan kejian terhadap tubuh tanpa latihan ragawi kita pelan-
pelan sedang membangun republik slogan, republik komentar warga pintar omong
mengandalkan mulut untuk berkomentar tapi begitu eksekusi begitu harus bertindak tidak bisa.
Pendidikan jasmani sering kali dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan
keterampilan fisik dan kebugaran tubuh. Namun, di balik gerakan dan permainan, terdapat
pelajaran yang mendalam tentang nilai-nilai moral dan etika. Dengan cara yang unik,
pendidikan jasmani menyediakan platform untuk membentuk karakter siswa melalui prinsip-
prinsip etika yang diterapkan dalam setiap aktivitasnya (Kohl et al., 2013).
Dalam setiap sesi pendidikan jasmani, nilai-nilai etika ditanamkan secara langsung
melalui praktik-praktik yang dijalankan. Guru bukan hanya berperan sebagai instruktur fisik,
tetapi juga sebagai model peran moral bagi siswa. Mereka memperlihatkan pentingnya fair
play, kerjasama, dan sportivitas dalam setiap gerakan dan permainan. Langkah-langkah kecil
seperti memberikan apresiasi terhadap usaha, menghormati aturan, dan menghargai lawan,
menjadi fondasi dari pelajaran etika dalam pendidikan jasmani.
Salah satu aspek utama dari etika dalam pendidikan jasmani adalah fair play. Siswa
diajarkan untuk memahami bahwa kemenangan bukanlah segalanya, tetapi bagaimana cara
mereka bermain game dengan jujur dan menghormati aturan. Mereka belajar untuk menerima
kekalahan dengan sportivitas dan menghargai upaya keras lawan. Melalui kompetisi yang adil,
siswa belajar tentang integritas, tanggung jawab, dan menghormati keberagaman kemampuan
di antara rekan-rekan mereka.
Kerjasama dalam tim merupakan aspek penting dalam etika pendidikan jasmani. Siswa
diajarkan untuk menghargai kontribusi setiap anggota tim, berbagi tanggung jawab, dan
bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam suasana yang aman dan terbuka, mereka
belajar untuk mendengarkan pendapat orang lain, memecahkan masalah secara kolektif, dan
mendukung satu sama lain. Melalui pengalaman ini, siswa tidak hanya mengembangkan
keterampilan sosial, tetapi juga membangun rasa persaudaraan dan solidaritas dalam tim.
Konflik adalah bagian alami dari interaksi manusia, termasuk dalam konteks aktivitas
fisik dan olahraga. Dalam pendidikan jasmani, siswa diajarkan untuk mengelola konflik dengan
damai dan berkomunikasi secara efektif. Mereka belajar untuk mengekspresikan pendapat
mereka dengan hormat, mendengarkan dengan empati, dan mencari solusi yang
menguntungkan semua pihak. Dengan demikian, pendidikan jasmani tidak hanya menjadi
wadah untuk pengembangan fisik, tetapi juga untuk pertumbuhan emosional dan sosial yang
sehat.
Pendidikan jasmani memiliki potensi yang besar untuk membentuk karakter siswa
melalui pengajaran nilai-nilai etika. Melalui praktik-praktik yang dijalankan dalam setiap sesi,
siswa belajar tentang pentingnya fair play, kerjasama tim, dan mengelola konflik dengan damai.
Dengan memperkuat aspek etis ini, pendidikan jasmani tidak hanya membantu siswa menjadi
lebih sehat secara fisik, tetapi juga membentuk individu yang berintegritas, bertanggung jawab,
dan memiliki keterampilan sosial yang kuat. Oleh karena itu, pengintegrasian etika dalam
pendidikan jasmani menjadi kunci untuk membentuk generasi yang berdaya, beretika, dan siap
menghadapi tantangan di masa depan.
BAB V
Agustine, P. N., Nugraha, A. G., Nurida, T. D., & Alif Alfi Syahrin, d. (2021). Pendidikan
Dalam Perspektif Post-Modernisme. Prenada Media.
https://books.google.co.id/books?id=tEgnEAAAQBAJ
Broadie, S. (2001). Soul and Body in Plato and Descartes. Proceedings of the Aristotelian
Society, 101, 295-308. http://www.jstor.org/stable/4545350
Capel, S., Lawrence, J., Martens, M., & Rahman, H. A. (2022). CPD for Teaching and Learning
in Physical Education: Global Lessons from Singapore. Taylor & Francis.
https://books.google.co.id/books?id=cONhEAAAQBAJ
Cheng, Y. C. (2019). Paradigm Shift in Education: Towards the Third Wave of Effectiveness.
Taylor & Francis. https://books.google.co.id/books?id=OpCKDwAAQBAJ
Copleston, F., & Yafi, A. R. (2020). Filsafat Plato. Basabasi.
https://books.google.co.id/books?id=RM0DEAAAQBAJ
Ennis, C. D. (2016). Routledge Handbook of Physical Education Pedagogies. Taylor & Francis.
https://books.google.co.id/books?id=C-nLDAAAQBAJ
Foxall, G. (2020). Intentional Behaviorism: Philosophical Foundations of Economic
Psychology. Elsevier Science. https://books.google.co.id/books?id=K2LcDwAAQBAJ
Franz Magnis-Suseno, S. J. (2002). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. PT
Kanisius. https://books.google.co.id/books?id=kRfjEAAAQBAJ
Giorgetti, F. M., Arslan, A., & Campbell, C. (2020). Culture and Education: Looking Back to
Culture Through Education. Taylor & Francis.
https://books.google.co.id/books?id=_vfrDwAAQBAJ
Griffey, D. C. (1991). The value and future agenda of research on teaching physical education.
Res Q Exerc Sport, 62(4), 380-383. https://doi.org/10.1080/02701367.1991.10607537
Griggs, G., & Petrie, K. (2017). Routledge Handbook of Primary Physical Education. Taylor
& Francis. https://books.google.co.id/books?id=M5RADwAAQBAJ
Haryatmoko. (2019). Mencari Kebijakan di Era Post-Truth: Menghadapi Hoaks, Emosi Sosial,
dan Populisme Agama. In Basis (pp. 28-37). Yogyakarta.
Hattie, J. (2012). Visible Learning for Teachers: Maximizing Impact on Learning. Taylor &
Francis. https://books.google.co.id/books?id=vSoUT6PXdoIC
Jarvis, P. (2012). Towards a Comprehensive Theory of Human Learning. Taylor & Francis.
https://books.google.co.id/books?id=HxKIOPzHEd8C
Khine, M. S., & Nielsen, T. (2022). Academic Self-efficacy in Education: Nature, Assessment,
and Research. Springer Nature Singapore.
https://books.google.co.id/books?id=VypjEAAAQBAJ
Kohl, H. W., Cook, H. D., Environment, C. P. A. P. E. S., Board, F. N., & Medicine, I. (2013).
Educating the Student Body: Taking Physical Activity and Physical Education to
School. National Academies Press.
https://books.google.co.id/books?id=yd6MAgAAQBAJ
Kotsonis, A. (2020). What can we learn from Plato about intellectual character education?
Educational philosophy and theory, 52(3), 251-260.
https://doi.org/10.1080/00131857.2019.1631157
Maxwell, T. (2015). International handbook of research on teachers’ beliefs. Educational
Psychology in Practice, 31. https://doi.org/10.1080/02667363.2015.1027043
Mintz, A. I. (2014). Why did Socrates Deny that he was a Teacher? Locating Socrates among
the new educators and the traditional education in Plato’s Apology of Socrates.
Educational philosophy and theory, 46(7), 735-747.
https://doi.org/10.1080/00131857.2013.787586
Nally, D. (2023). Post-truth, education and dissent. Educational philosophy and theory, 55(5),
609-621. https://doi.org/10.1080/00131857.2021.2000389
Nolan, L. (2022). The Cambridge Descartes Lexicon. Cambridge University Press.
https://books.google.co.id/books?id=oAB5zwEACAAJ
null, n. (2009). Aristotle: The Nicomachean ethics. Oxford: Oxford University Press (Vol. null).
Pandey, S. (2022). Educational Philosophy of Paulo Freire. Blue Rose Publishers.
https://books.google.co.id/books?id=G0h_EAAAQBAJ
Paul Suparno, S. J., M, T. A. H., & Press, S. D. U. (2015). Pembelajaran di Perguruan Tinggi
Bergaya Paradigma Pedagogi Refleksi (PPR). Sanata Dharma University Press.
https://books.google.co.id/books?id=TaKZEAAAQBAJ
Peters, M. A., Tesar, M., Jackson, L., & Besley, T. (2020). What Comes After Postmodernism
in Educational Theory? Taylor & Francis.
https://books.google.co.id/books?id=AnnpDwAAQBAJ
Rogowsky, B. A., Calhoun, B. M., & Tallal, P. (2015). Matching learning style to instructional
method: Effects on comprehension. Journal of educational psychology, 107(1), 64.
Short, J. B., & Hirsh, S. (2022). Transforming Teaching Through Curriculum-Based
Professional Learning: The Elements. SAGE Publications.
https://books.google.co.id/books?id=o_NsEAAAQBAJ
Stent, G. S. (1998). Epistemic Dualism of Mind and Body. Proceedings of the American
Philosophical Society, 142(4), 578-588. http://www.jstor.org/stable/3152282
Supelli, K. (2015). Martha Nussabaum: Merawat Imajinasi dan Pendidikan Keadilan. In Basis
(pp. 15-21). Yogyakarta.
Tsangaridou, N. (2008). Trainee primary teachers' beliefs and practices about physical
education during student teaching. Physical Education and Sport Pedagogy, 13(2),
131-152. https://doi.org/10.1080/17408980701345667
Vodopivec, J. L., Jan?ec, L., & Štemberger, T. (2018). Implicit Pedagogy for Optimized
Learning in Contemporary Education. IGI Global.
https://books.google.co.id/books?id=Q4hoDwAAQBAJ
von Haaren-Mack, B., Schaefer, A., Pels, F., & Kleinert, J. (2020). Stress in Physical Education
Teachers: A Systematic Review of Sources, Consequences, and Moderators of Stress.
Res Q Exerc Sport, 91(2), 279-297. https://doi.org/10.1080/02701367.2019.1662878
White, J. P. (2012). Towards A Compulsory Curriculum. Taylor & Francis.
https://books.google.co.id/books?id=9eSuUgLoWM0C
Wibowo, A. S. (2014). Pendidikan Total-militer Sparta: Mewaspadai Fatamorgana Isih Penak
Jamanku Tho? In Basis (pp. 18-30). Yogyakarta.
Wright, J., Wright, J., Macdonald, D., & Burrows, L. (2004). Critical Inquiry and Problem
Solving in Physical Education (Vol. null).
Wueste, D. E., & Scibilia, D. P. (2021). Teaching Ethics: Instructional Models, Methods, and
Modalities for University Studies. Rowman & Littlefield Publishers.
https://books.google.co.id/books?id=w5M7EAAAQBAJ
Zagzebski, L. (1996). Virtues of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical
foundations of knowledge (Vol. null).
Zhong, Y., Guo, K., Su, J., & Chu, S. K. W. (2022). The impact of esports participation on the
development of 21st century skills in youth: A systematic review. Computers &
Education, 191, 104640.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.compedu.2022.104640
Zhu, Q., Shen, H., & Chen, A. (2021). Can Practicum Teaching Change Preservice Physical
Education Teacher Value Orientations? Journal of Teaching in Physical Education,
40(3), 450-459. https://doi.org/10.1123/jtpe.2019-0295
SURAT PERNYATAAN
2. Buku berjudul Dimensi dan Implikasi Etis Pendidikan Jasmani yang saya tulis
adalah benar-benar bebas dari bentuk plagiasi, belum pernah diterbitkan, dan
tidak sedang dalam proses penerbitan oleh suatu penerbit.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.